Anda di halaman 1dari 6

Nama

NIM
Kelas / Kelompok Praktikum

Emawati Fatima
25010115140332
D-2015 / 6

BEBERAPA BAKTERI PATOGEN YANG MUNGKIN DAPAT


DITEMUKAN PADA SUSU SAPI DAN PENCEGAHANNYA
Mengacu pada Standardisasi Nasional Indonesia (SNI) 01-6366-2000
(BADAN STANDARDISASI NASIONAL, 2000) ada empat macam susu yaitu
susu segar, susu pasteurisasi, susu bubuk dan susu steril/UHT. Susu segar adalah
cairan yang diperoleh dari ambing ternak perah sehat, dengan cara pemerahan
yang benar, terus menerus dan tidak dikurangi sesuatu dan/atau ditambah
kedalamnya sesuatu bahan lain. Setelah mendapat perlakuan
Tulisan ini menyajikan ulasan tentang beberapa bakteri patogen yang
kemungkinan ada dalam susu sapi. Informasi ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman dan kesadaran akan pentingnya menghasilkan produk susu yang
bermutu, aman bergizi, sehat dan halal.
KOMPOSISI DAN MACAM SUSU
Susu adalah sekresi kelenjar ambing yang diperoleh dari proses pemerahan
ternak sapi, kerbau, kuda, kambing, dan hewan lainnya yang mengandung
komponen-komponen gizi penting terdiri atas lemak, protein, laktosa, mineral,
vitamin dan enzim-enzim, serta beberapa mikroorganisme (LAMPERT, 1980).
Komposisi susu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, tingkat
laktasi, pakan, interval pemerahan, temperatur dan umur. Sebagai contoh terdapat
variasi komposisi susu diantara 5 spesies hewan dan manusia terutama dalam
kandungan lemaknya (Tabel 1).

Komponen biokimia yang ada dalam susu merupakan zat-zat yang


diperlukan oleh bakteri sehingga dapat menjadi medium yang baik bagi bakteri
untuk tumbuh dan berkembang-biak. terhadap susu segar diperoleh beberapa
macam susu, antara lain lain:

Susu pasteurisasi adalah susu yang sudah dipanaskan pada suhu 630 C selama
15 menit atau dipanaskan pada suhu 720 C selama 15 detik yang biasa sisebut

dengan HTST (high tempetature short time) pasteurisasi. Proses pasteurisasi


bertujuan untuk membunuh seluruh mikroorganisme baik pembusuk maupun
patogen. Susu pasteurisasi memiliki umur simpan hanya sekitar 14 hari pada
suhu rendah (50 C sampai 60 C).
Susu bubuk adalah susu sapi yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk
dengan perlakuan pengeringan. Pada ummumnya pengeringan dilakukan
dengan menggunakan spray dryer atau roller drayer. Berdasarkan. SNI 012970-1992 (BADAN STANDARDISASI NASIONAL, 1992) ada 2 macam
susu bubuk yaitu susu bubuk berlemak (full cream milk prowder) dan susu
bubuk tanpa lemak (skim milk prowder). Umur simpan susu bubuk dalam
penanganan yang baik dan benar maksimal dua tahun.
Susu UHT (ultra high temperature) merupakan susu yang diolah
menggunakan pemanasan pada suhu 1350 C dan dalam waktu yang singkat
selama 2-5 detik (SNI 01-3950-1998) (BADAN STANDARDISASI
NASIONAL, 1998). Pemanasan pada suhu tinggi bertujuan untuk membunuh
seluruh mikroorganisme baik pembusuk maupun patogen dan spora. Waktu
pemanasan yang singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi
susu serta untuk mendapatkan warna, aroma dan rasa yang relatif tidak berubah
seperti susu segarnya. Susu UHT dapat disimpan pada suhu kamar selama tidak
lebih dari 8 minggu.
Susu kental manis adalah cairan kental yang terdiri dari sebagian penambahan
air dan susu encer yang diuapkan, gula, dengan atau tanpa penambahan lemak
nabati dan atau penambahan vitamin D (SNI 01-2971-1992) (BADAN
STANDARDISASI NASIONAL, 1992).

Faktor utama yang menentukan mutu susu yang telah mendapat perlakuan
tertentu adalah bahan baku, proses pengolahan dan pengemasannya. Bahan baku
adalah susu segar yang memiliki mutu tinggi terutama dalam komposisi gizinya.
Pada umumnya susu yang dikonsumsi masyarakat adalah susu olahan baik dalam
bentuk cair (susu pasteurisasi, susu UHT ) maupun susu bubuk. dan sangat kecil
peluang kita untuk mengkonsumsi susu segar
BAKTERI PATOGEN YANG DAPAT MENCEMARI SUSU
Susu dapat tercemar oleh bakteri patogen atau nonpatogen yang berasal
dari sapi itu sendiri, peralatan pemerahan, ruang penyimpanan yang kurang bersih,
debu, udara, lalat dan penaganan oleh manusia (VOLK dan WHEELER, 1990).
Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan
susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan
penampakan. Pada tinjauan ini dibahas beberapa bakteri patogen yang berpeluang
ada dalam susu antara lain:

Bacillus spp

Bacillus cereus merupakan salah satu spesies penyebab terjadinya


foodborne disease (penyakit bawaan pangan). B. cereus dan B. licheniformis
merupakan spesies dari genus Bacillus yang sering dijumpai pada susu segar

(CRIELLY et al., 1994; PHILLIPS dan GRIFFITHS, 1986). B. cereus


menghasilkan toksin ektraseluler dan metabolit yang membahayakan kesehatan
masyarakat. Dua tipe toksin yang dihasilkan dan memiliki sifat yang berbeda
yaitu diarrhoeagenic toxin dan emetic toxin. Diarrhoeagenic toxin sebagai
penyebab keracunan makanan dapat diproduksi selama fase pertumbuhan di
dalam unus kecil, sebaliknya emetic toxin diproduksi pada makanan sebelum di
konsumsi (GRANUM dan LUND, 1997).
Kemungkinan kontaminasi B. cereus setelah proses pasteurisasi pada susu
pasteurisasi merupakan sesuatu hal yang perlu diperhatikan. Spora B. cereus tahan
terhadap pasteurisasi (Tabel 2) dan tidak tahan dengan proses UHT. Spora terdiri
dari dua tipe yaitu spora berkecambah cepat dan spora berkecambah lambat.
Spora dapat berkecambah, memperbanyak diri dan bersporulasi kembali selama
proses berjalan jika pembersihan tidak efektif (VAN HEDDEGHEM dan
VLAEYNCK, 1992). Spora dapat melekat pada permukaan peralatan proses
setelah tahapan pasteurisasi terutama permukaan yang lebih hydrophobic seperti
gasket dan seal (JENSEN dan MOIR, 2003). Spora yang menempel pada
permukaan stainless lebih tahan panas dari pada dalam bentuk planktonik
(SIMMONDS et al., 2003).
Sel vegetatif B. cereus sangat mudah diinaktifkan dengan perlakuan
pemanasan sedang (BERGERE dan CERF, 1992) dan tidak tahan hidup dengan
perlakuan bath pasteurisasi maupun HTST pasteurisasi (Tabel 2). Sel vegetatif
yang dihasilkan dari spora yang berkecambah setelah perlakuan pasteurisasi
berpengaruh terhadap organoleptik dan fisik produk olahan susu yang akan
merugikan dan juga akan menghasilkan toksin (BERGERE dan CERF, 1992).

Brucella spp

Beberapa spesies dari genus Brucella yang bersifat patogen pada manusia
adalah B. melitensis, B. abortus, B. suis dan B canis (ENRIGHT, 1990) dan
memiliki hewan target sebagai reservoir masing-masing berurutan pada kambing,
sapi, babi dan anjing (ALTON, et al., 1988). Brucella menyebabkan penyakit
brucellosis yang dapat terjadi baik pada hewan maupun manusia. Penyakit yang
terjadi bersifat zoonosis, ditularkan dari hewan ke manusia melalui kontak
langsung dengan bahan keguguran, karkas yang tercemar, minum susu sapi atau
susu hewan lain penderita brucellosis atau makan produk ternak yang tercemar
(FENSTERBANK, 1987).
B. abortus biotipe 1 telah menginfeksi sapisapi di Indonesia (SETIAWAN,
1992), sedangkan sapi-sapi perah di Jakarta terinfeksi B. abortus biotipe 1, biotipe
2 dan biotipe 3 masing-masing berurutan sebanyak 77,6; 13,2 dan 9,2%
(SUDIBYO, 1995). Pada tahun 1984 B. abortus biotipe 1 telah diisolasi dari
sampel susu sapi perah di Lawang, Malang, Jawa Timur (CHOTIAH, 2006) dan
pada tahun 1994 dari sampel susu sapi perah di Jakarta (SUDIBYO, 1995).
Walaupun B. abortus dapat mencemari susu segar, tetapi bakteri tersebut dapat
dirusak dengan perlakuan pasteurisasi.

Campylobacter spp

Sebelum tahun 1970 Campylobacter ditetapkan sebagai penyebab


gastroenteritis pada manusia. Sejak saat itu hasil survey menyebutkan bahwa
bakteri tersebut umumnya sebagai penyebab gastroenteritis akut pada manusia. Di
Amerika telah dilaporkan 99% dari penyakit yang disebabkan oleh Campylobacter
spp. pada manusia adalah Campylobacter jejuni (Campylobacter fetus subsp.
jejuni) dan 1% sisanya Campylobacter coli (WALLACE, 2003).
Di banyak negara sebagian besar kejadian infeksi yang disebabkan oleh
cemaran campylobacter pada susu disebabkan oleh karena susu tidak
dipasteurisasi (HAHN, 1994). Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli tidak
dapat mempertahankan hidup dengan perlakuan pasteurisasi

Enterobacter sakazakii

Enterobacter merupakan salah satu genus dari famili Enterobacteriaceae


yang dikelompok ke dalam kelompok coliform. Pada ternak bakteri tersebut tidak
menyebakan penyakit yang berarti. Menurut NAZAROWHITE dan FARBER
(1997). diduga cemaran dalam produk asal susu terjadi selama proses pengeringan
atau pengemasan. Letupan neonatal meningitis yang bersifat sporadik melibatkan
susu formula bayi yang mengandung bakteri E. sakazakii (CRAVEN et al., 2003).
Walaupun demikian mengapa bakteri tersebut ada dan dapat bertahan didalam
susu formula bayi tidak jelas (BREEUWER et al., 2003).
Kemudian beberapa peneliti mulai tertarik dengan kasus tersebut
diantaranya BOWEN dan BRADEN (2006) mengumpulkan data dari tahun 1958
sampai dengan tahun 2005 dari 9 negara di Amerika Utara, Eropa dan Timur
Tengah telah terjadi 46 kasus infeksi yang disebabkan oleh E. sakazakii pada bayi.
Tujuh puluh dua persen dari kasus tersebut terjadi miningitis dan kematian yang
terjadi sebanyak 42 92% dari yang mati minum susu formula dan 68%
mengandung bakteri E. sakazakii. Menurut ESTUNINGSIH et al. (2006)
menyatakan bahwa 13% susu formula bayi berasal dari dua produsen di Indonesia
mengandung E. Sakazakii. JUUFS dan DEETH (2007) menyimpulkan bahwa
bakteri tersebut tidak dapat mempertahankan hidup setelah perlakuan pasteurisasi

Listeria monocytogenes

Genus Listeria tersebar luas di alam, dalam lingkungan peternakan,


industri peternakan dan pertanian. Terdapat tujuh spesies dalam genus ini, tetapi
hanya satu spesies yaitu L. monocytogenes yang bersifat patogenik pada manusia.
(LUND, 1990). Letupan listeriosis pada perusahaan sapi perah di Massachusetts
pada tahun 1983 yang menimbulkan kematian sebanyak 2 orang dari 7 kasus
perinatal dan 12 orang dari 42 kasus orang dewasa. L. monocytogenes dapat
ditemukan dari susu sapi yang belum dipasteurisasi dan didalam filter pasteurizer,
akan tetapi tidak berhasil diisolasi dari susu yang sudah dipasteurisassi.
Selanjutnya Letupan yang lain terjadi di beberapa negara dilaporkan meliputi susu
segar dan produk olahannya (LUND, 1990). Dalam dua dekade tahun silam

dilaporkan bahwa 45% sampel susu dari kasus mastitis pada sapi perah di
Australia menunjukkan positif terdapat L. monocytogenes. Dilaporkan bahwa
bakteri dapat diisolasi dari susu yang sudah dipasteurisasi, keju dan es krim
(FLEMING et al., 1985).
Sejak tahun 1985 L. monocytogenes dikatagorikan dalam kelompok
foodborne pathogen pada manusia (SUTHERLAND, 1989). Bakteriemi
yangterjadi pada ibu hamil penderita listeriosis dapat menginfeksi fetus melalui
plasenta. Meningitis dan meningoensefalitis berkembang terutama pada bayi yang
baru lahir dan yang lebih dewasa. Beberapa pasien juga mengalami gejala klinis
gastroenteritis. Rataan kasus yang berakibat fatal kira-kira 30% (LUND, 1990). L.
monocytogenes tersebar luas di lingkungan umum dan akan tahan untuk periode
waktu lama. Keberadaan bakteri ini dalam susu kemungkinan akibat pencemaran
baik dari hewan, manusia dan lingkungan selama proses produksi. L.
monocytogenes tidak akan tahan hidup setelah perlakuan HTST komersial
pasteurisasi (LOVETT et al., 1990) dan akan mati dengan proses pasteurisasi
dalam batch komersial (PRENTICE, 1994)
MENCEGAH CEMARAN BAKTERI PADA SUSU
Proses produksi susu di tingkat peternakan memerlukan penerapan good
farming practices seperti yang telah diterapkan di negara-negara maju. Pakan sapi
harus diatur agar bermutu baik dan mengandung zat-zat gizi yang memadai, bebas
dari antibiotika dan bahanbahan toksik lainnya. Sapi perah sebagai produsen susu
harus dijaga kesehatannya agar susu yang diproduksi tidak terinfeksi oleh bakteri
patogen yang dapat menimbulkan penyakit terutama yang bersifat foodborne
pathogen. Lingkungan peternakan, sanitasi alat pemerah dan sanitasi pekerja harus
dijaga terhadap cemaran bakteri patogen dan cara pemerahan harus dilakukan
dengan benar untuk mencegah adanya cemaran mikroorganisme khususnya
bakteri patogen. Sehingga sapi perah akan menghasilkan susu segar dengan
komposisi gizi yang baik dan sehat.
Selanjutnya pada tahapan pasca panen memerlukan penerapan good
handling practices. Penanganan susu segar yang baru diperah harus diberi
perlakuan dingin termasuk selama transportasi susu menuju tempat penampungan,
selama dalam penampungan dan menuju industri pengolahan susu (IPS).
Teknologi dalam pengolahan telah memungkinkan susu untuk disimpan lebih
lama dan dapat mengurangi tingkat cemaran bakteri. Berbagai teknologi
pengolahan susu antara lain susu pasteurisasi, pembuatan susu kental, pembuatan
susu bubuk dan susu UHT, sangat diperlukan penerapan good manufacture
practices. Pengolahan di pabrik untuk mengkonversi susu segar menjadi susu
olahan harus dilakukan dengan sanitasi yang maksimum dengan menggunakan
alat-alat yang steril dan meminimumkan kontak dengan tangan dan seluruh proses
dilakukan secara aseptik. Pengemasan susu harus dilakukan secara higienis
dengan menggunakan kemasan aseptik, kedap udara sehingga bakteri pun tak
dapat masuk ke dalamnya.

Referensi : http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/loksp0837.pdf?secure=1

Anda mungkin juga menyukai