Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH ROBOTIKA

GEOMETRI ROBOTIKA

Diajukan sebagai tugas UAS mata kuliah


ROBOTIKA

Disusun Oleh :
Muh. Alwin Alamsyah

135060300111055

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan


lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di
negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat
penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhantuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang
banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliunan rupiah
dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan
hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang
miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan
orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa
dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan
bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam
perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan
sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan
uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara
pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan
berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada
keadilan dan kebenaran.
Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini
sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup
kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang
semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak layak
hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus
untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan
otoriter tahun 1998, hampir setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundangundangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini,
sehingga keberadaan bangsa kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun,
dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang
kelembagaan maupun sisi kehidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak
kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan
seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru
malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini
menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang
sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut
sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan
strategis dari segi kehidupan sosial dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu

menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang


dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang trouble
maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk.
Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun upaya pembenahan
dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan
suatu yang mustahil dilakukan. Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor
utama. Pertama, perilaku penegak hukum yang koruptif dan yang kedua, pola pikir
para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran
legalistik-positivistik, meskipun sistem kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah
perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama
(orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis,
panggung peradilan Indonesia., dikepung oleh berbagai hal yang sangat rawan
dengan urusan KKN, dan hedonisme, uang yang bersileweran-pun bukan alang
kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny
Indrayana mengatakan sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi
di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah
keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legalistikpositivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki
peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan
bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit
mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari
hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary,
dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat
korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan
dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka
lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa
untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang
dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini
terbukti, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum
tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke
pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih
kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas
preman jalanan.
Berbagai upaya tindakan luar biasa penegak hukum patut kita apresiasi,
terlepas dari pro-kontra beratnya sanksi pidana. Karena secara filosofi pemidanaan
salah satunya bertujuan membuat efek jera bagi pelaku dilain sisi untuk menakut-

nakuti masyarakat agar tidak melakukan kejahatan serupa. Jadi bukan wujud balas
dendam terhadap sang koruptor (Teori Absolut)
Akan tetapi tujuan pemidanaan yang selama ini diimpikan dalam kenyataan,
sulit diwujudkan dilapangan. Pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan
masuh sering obral remisi berujung pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus
korupsi.
Padahal berdasarkan peraturan pemerintah nomor 99 Tahun 2012 tentang
perubahan kedua atas peraturan pemerintah nomor 32 tahun 1999 tentang syarat
dan tata pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan memberi pengetatan
pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme, narkotika dan precursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan
terhadap keamanan Negara, kejahatan HAM yang berat serta kejahatan
terorganisasi lainnya.
Syarat pemberian remisi pelaku korupsi mengalai penambahan dalam PP
nomor 99 Tahun 2012.Pertama,bersedia bekerja sama dengan penegak hukum
untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice
collaborator). Kedua, telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai
dengan putusan pengadilan. Kedua poin persyaratan yang sangat sejalan dengan
semangat pemberantasan korupsi.
PP nomor 99 Tahun 2012 berlaku bagi terpidana yang putusan pidananya telah
berkekuatan hukum tetap setalah tanggal pengesahan, yaitu 12 November 2012.
Sedangkan untuk yang di vonis sebelum tanggal 12 November 2012, maka yang
berlaku adalah ketentuan dalam PP nomor 28 Tahun 2006.
Dari latar pemikiran sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan maka
pertanyaanya adalah bagaimana cara keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia
ini?. Pembuatan makalah ini bertujuan agar pemerintah adil dalam bidang hukum
bagi semua kalangan mulai dari rakyat hingga pemerintah itu sendiri sehingga tidak
ada opini dari masyarakat yang menilai bahwa hukum di Indonesia tajam dibawah
tumpul diatas atau bagi rakyat hukuman sangat tegas atau bisa dibilang bagi
pemerintah hukum itu berlaku meskipun mereka mempunyai kekuasaan dan
jabatan.
.

BAB II
PEMBAHASAN
Pemberian remisi dan pembebasan bersyarat koruptor yang dikeluarkan
Menteri Hukum dan HAM belakangan menimbulkan kontroversi. Hartati Murdaya
mantan anggota Dewan Pembina Partai Demokrat sekaligus terpidana kasus
penyuapan Bupati Buol memperoleh pembebasan bersyarat, alasannya karena
usianya sudah lanjut, membayar semua denda dan telah menjalani hukuman 2/3
meski bukan seorang justice collaborator.
Oleh karena itu, agar ke depan rasa keadilan masyarakat tidak tercoreng
lagi dengan maraknya remisi berujung pembebasan bersyarat. Maka langkah
progresif harus dilakukan. Caranya dengan menuntut terdakwa di muka sidang
bukan hanya pidana pokok, tetapi juga dengan pidana tambahan pencabutan hak
remisi koruptor.
Pertanyaan pasti muncul kemudian, apakah pencabutan hak remisi mungkin
dilakukan? Kalimat Tanya yang kurag lebih sama dengan pencabutan hak politik
dipilih dan memilih terpidana korupsi. Hemat saya mengenai pencabutan hak politik
yang menjadi perdebatan hangat banyak kalangan dan pencabutan remisi, bisa
dilakukan lewat pidana tambahan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur tentang
pidana pokok dan pidana tambahan. Pencabutan hak politik masuk dalam kategori
pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu bagi pelaku tindak pidana. Lebih
jauh, hak-hak yang bisa dicabut lewat keputusan hakim adalah hak menjabat segala
jabatan atau jabatan tertentu, hak masuk pada kekuasaan bersenjata, hak memilih
dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut undang-undang, hak menjadi
penasihat, atau wali, menjadi wali pengawas, kuasa wali (curatele) atas anak sendiri
dan hak melakukan pekerjaan yang ditentukan (vide Pasal 35 KUHP).
Sedangkan untuk pencabutan remisi berlandaskan pada pidana tambahan
dalam undang-undang pemberantasan koupsi. Dimana telah kita ketahui bersama
bahwa selain pidana tambahan dalam KUHP juga berlaku pidana tambahan lainnya.
Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH., progresivisme bertolak dari
pandangan kemanusiaan, bahwa manusia dasarnya adalah baik, memiliki kasih
sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting bagi membangun
kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum menjadi
buruk seperti selama ini terjadi di Negara kita, yang menjadi sasaran adalah para

aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat. Meskipun,
apabila kita berfikir jernih dan berkesinambungan, tidak sepenuhnya mereka
dipersalahkan dan didudukan sebagai satu-satunya terdakwa atas rusaknya wibawa
hukum di Indonesia.
Memang sangat menyedihkan hati, ketika melihat kondisi hukum di
Indonesia dengan segala bentuk praktisnya. Penggunaan hukum yang serba formalprosedural dan teknikal , pada dasarnya telah banyak melupakan sisi kebenaran
materiil, keadilan substansial dan kemanusiaan. Praktis-praktis hukum yang
diterapkan dinegara kita, hingga kini belum mampu memberi garansi untuk
mencapai harkat kemanusiaan yang berkeyakinan, kebenaran materiil dan keadilan
substansial. Kepedulian terhadap hukum yang menjanjikan kebenaran, kemanusian
dan keadilan menurut Satjito Raharjo, baru dapat dicapai jika kita mau keluar dari
tawan-tawanan undang-undang yang serba formal prosedural. Manakala
menginginkan dan mempercayai hukum beserta praktiknya masih dapat dijadikan
media pencerah bangsa, maka harus berani mencari agenda alternative yang
sifatnya
progresif.
Berfikir secara progresif, menurut Satjipto Raharjo berarti harus berani keluar dari
mainstream pemikiran absolutisme hukum, kemudian menempatkan hukum dalam
posisi yang relative. Dalam hal ini, hukum harus diletakkan dalam keseluruhan
persoalan kemanusian. Namun itu bukanlah suatu yang mutlak dilakukan manakala
para ahli hukum berhadapan dengan suatu masalah yang jika menggunakan logika
hukum modern akan menciderai posisi kemanusiaan dan kebenaran. Bekerja
berdasarkan pola pikir hukum yang progresif (paradigma hukum progresif), barang
tentu berbeda dengan paradigma hukum positivistis-praktis yang selama ini
diajarkan di perguruan tinggi. Paradigma hukum progresif melihat faktor utama
dalam hukum adalah manusia itu sendiri. Sebaliknya paradigma hukum peositivistis
meyakini kebenaran hukum di atas manusia. Manusia boleh dimarjinalkan asal
hukum tetap tegak. Sebaliknya paradigma hukum progresif berfikir bahwa justru
hukum bolehlah dimarjinalkan untuk mendukung eksistensialitas kemanusian,
kebenaran dan keadilan.
Kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan
para jurist untuk menjadi sosok manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia
sebagai robot/komputer yang berisi software hukum. Jika demikian, apa bedanya
dengan komputer jika dalam praktiknya para jurist sekedar mengikuti perintah dan
prosedur yang tercetak dalam undang-undang? Untuk apa bertahun-tahun susah
payah dan sibuk mencetak ahli hukum jika kerjanya tidak lebih dari komputer? Jadi,
paradigma hukum progresif akan mengarahkan jurist menjadi sosok yang arifbijaksana dan memiliki wawasan komprehensif dalam mencapai kebenaran dan
keadilan dalam setiap persoalan yang dihadapinya. Paradigma hukum progresif
akan dapat menjinakkan kekakuan dan kebekuan undang-undang. Bukankah UU
Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman kita, mewajibkan hakim untuk

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam
masyarakat.

BAB III
PENUTUP
Untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum di Indonesia yang selalu
dimuat diberbagai media, bahkan menjadi bahan olok-olok dikampung-kampung,
maka harus ada usaha pembebasan diri dari cara kerja yang konvensional yang
diwariskan oleh madzab hukum positif dengan segala doktrin dan prosedurnya yang
serba formal prosedural yang justru melahirkan keadilan yang bersifat formal bukan
keadilan substansial. Pencerahan dan pembebasan dari belenggu formal prosedural
itu barang tentu hanya dapat ditempuh melalui paradigma hukum progresif yang
sangat peduli kepada kebenaran, kemanusiaan dan keadilan. Bukankah keberadaan
hukum ditengah-tengah masyarakat tidak hanya dibatasi untuk mencapai kepastian,
tapi yang jauh lebih besar dari itu adalah untuk mencapai kedilan sejati. Hal ini,
hanya dapat terwujud dan didapatkan melalui penegakan hukum secara progresif.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia ; penyebab dan solusinya.


Ghalia Indonesia. Jakarta. 2002.
Ibrahim,Anis. Hukum Progresif : Pencarian, pembebasan dan pencerahan.
Majalah Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. April 2006.
Indrayana,Denny. Lets Kill the Lawyer (catatan kasus Elza Syarief). Kompas. 13
Mei 2002.
Intergrito. Keteladanan Pendiri Bangsa. KanalKPK. 12 Maret 2015
Satjipto Rahardjo. Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum
Indonesia. Makalah dalam Seminar Nasional Kerja sama IAIN Walisongo dengan
Alumni Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP. Semarang. 8 Desember 2004.

Anda mungkin juga menyukai