Anda di halaman 1dari 258

Reza A.

A Wattimena SS

FILSAFAT DAN SAINS:


Sebuah Pengantar

Inti filsafat adalah membentuk pemikiran,


dan bukan sekedar mengisi kepala dengan
fakta-fakta

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000.00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum satu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terikat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).

FILSAFAT DAN SAINS: Sebuah Pengantar


Reza A.A Wattimena SS
GM
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.
Penerbit PT Grasindo, Jalam Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270

Editor Penyelia: Pamusuk Eneste


Editor: A Sugeng Agus Priyono
Penata Isi:
Design Cover: Ehwan Kurniawan

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo, anggota Ikapi, Jakarta 2007
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa
pun (seperti cetakan, fotokopi, microfilm, VDC, CD-Rom, dan rekaman suara) tanpa izin dari
penerbit.

Isi diluar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Daftar Isi

BAGIAN I
MENGETUK PINTU GERBANG FILSAFAT
Pendahuluan
Bab 1 Serba Serbi Filsafat
1.1 Apa itu Filsafat?
1.2 Beberapa Pertanyaan Mendasar dalam Filsafat
1.3 Pengetahuan Macam Apakah yang Dapat Diperoleh melalui Refleksi
Filsafat?
1.4 Tiga Bidang Utama Refleksi Filsafat
1.5 Kesimpulan
Bab 2 Ciri Filsafat
2.1 Tentang Kebenaran, Makna, dan Hubungan Logis
2.2 Tidak Empiris
2.3 Daya Tarik Filsafat
2.4 Relevansi Filsafat
Bab 3 Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat
3.1 Tulisan Filsafat
3.2 Persiapan yang Diperlukan
3.3 Memahami Tulisan Filsafat
3.4 Bersikap Kritis
Bab 4 Beberapa Cabang Umum Filsafat
4.1 Epistemologi
4.2 Metafisika
4.3 Etika
Daftar Pustaka

BAGIAN II
ILMU PENGETAHUAN DALAM BINGKAI FILSAFAT
Pengantar Dr. Mikael Dua
Pendahuluan
Bab 1 Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Bab 2 Sejarah Ilmu Pengetahuan
Bab 3 Metode Saintifik
Bab 4 Hukum dan Teori di dalam Ilmu Pengetahuan
Bab 5 Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Sosial
Bab 6 Ilmu Pengetahuan dan Nilai (value)
Bab 7 Filsafat Ilmu-ilmu Sosial
Bab 8 Filsafat Ilmu-ilmu Sosial II: Masyarakat: Fakta atau Hipotesa?
Bab 9 Ilmu Pengetahuan dan Umat Manusia
Epilog
Bersikap Kritis Terhadap Ilmu Pengetahuan
Daftar Pustaka

Pendahuluan
Baru-baru ini, saya menonton film yang berjudul Anti Trust. Saya tidak tahu
kapan film tersebut pertama ditayangkan. Di dalam film itu, seorang anak muda ahli
komputer dipaksa untuk memilih, apakah ia mau hidup tenang, berkecukupan
materi, tetapi membohongi orang, dan bahkan lebih dari itu, membiarkan
pembunuhan di depan matanya terjadi. Konteksnya adalah soal teknologi
komunikasi canggih dengan menggunakan satelit. Di dalam film tersebut, ada suatu
perusahaan besar yang hendak memonopoli teknologi itu untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Untuk melakukan itu, perusahaan tersebut bahkan membunuh
orang-orang tertentu. Anak muda ini hendak mengungkapkan kejahatan yang terjadi.
Ia pun punya pendapat bahwa teknologi semacam itu tidaklah boleh dimonopoli oleh
pihak tertentu, tetapi harus digunakan untuk sepenuhnya kepentingan umat
manusia. Kalimat terakhir di dalam film itu adalah, knowledge belongs to the world.
Pengetahuan diciptakan untuk dunia, begitu pula filsafat. Dalam kerangka
itulah buku ini ditempatkan, yakni sebagai

medium untuk mengantar Anda

memasuki dunia filsafat. Memang, buku ini hemat dalam penjelasannya. Akan tetapi,
ada alasan di balik penghematan penjelasan itu, yakni pembaca dapat memperoleh
pengetahuan umum tentang bagaimana berfilsafat, ciri filsafat, dan pandangan
umum tentang filsafat secara singkat dan padat. Plato pernah menulis bahwa filsafat
sebenarnya hanya dapat dinikmati oleh orang-orang tertentu dari kelas tertentu saja.
Dengan buku ini, saya ingin mengkritik pendapat itu. Bagi saya, filsafat ditujukan
untuk semua orang. Seperti layaknya definisi formal demokrasi, yakni dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat, filsafat itu datang dari pengalaman manusia,
dilakukan oleh manusia, dan ditujukan untuk manusia. Manusia disini adalah semua
orang lintas suku, lintas agama.
Pada setiap Bab dalam Bagian I buku ini, mau membahas langkah demi
langkah proses Anda mengenal filsafat. Pada Bab 1,

lebih mau mengajukan

argumentasi tentang hakekat filsafat, apa cabang-cabangnya, dan problem-problem


apa yang biasanya direfleksikan. Pada Bab 2, saya akan menjabarkan ciri kualitatif
filsafat, daya tariknya, serta relevanisi praktisnya bagi kehidupan. Pada Bab 3, lebih
teknis, yakni berupaya memandu Anda dalam proses membaca tulisan-tulisan
filsafat, termasuk juga di dalamnya tips-tips untuk membaca tulisan filsafat, dan
berusaha untuk memahami inti yang mau disampaikan oleh tulisan itu. Pada Bab 4,
memang ada kesan pengulangan. Akan tetapi, sebenarnya saya ingin menegaskan

bahwa seluruh aliran filsafat sekarang ini tidak pernah lepas dari tiga cabang umum
yang ada di dalam filsafat, yakni metafisika, epistemologi, dan etika. Sebenarnya,
beberapa aliran filsafat dominan, seperti eksistensialisme, fenomenologi, idealisme,
dan teori kritis juga banyak merefleksikan problem-problem yang juga dijabarkan di
dalam tiga cabang umum filsafat tersebut, namun dari sudut pandang yang berbeda.
Ulasan lebih jauh atas aliran-aliran filsafat tersebut kiranya butuh buku tersendiri.
Pada akhirnya, saya mengucapkan selamat membaca. Semoga Bagian I buku
ini sungguh-sungguh bisa menjadi pemandu Anda untuk mengetuk pintu gerbang
filsafat, dan tidak ragu-ragu untuk membuka dan kemudian memasukinya.

Reza

BAGIAN I
MENGETUK PINTU GERBANG FILSAFAT

Bab 1
Serba Serbi Filsafat
1.1 Apa itu Filsafat?
Sepanjang saya belajar filsafat, orang-orang di sekitar saya selalu bertanya, kadang
dengan sikap sinis, terkadang murni dengan rasa ingin tahu, apa itu filsafat? Setau (
sepengetahuan) mereka, filsafat adalah pemikiran abstrak, melayang jauh di sana,
jauh dari kehidupan sehari-hari. Apakah seperti itu? Saya sendiri, tentunya setelah
mencoba mempelajari filsafat secara sistematis, punya kesimpulan sendiri, dan
kesimpulan tersebut ternyata berbeda dengan pandangan umum teman-teman saya
tersebut.
Mari mulai terlebih dahulu dengan penelusuran arti kata filsafat. Filsafat
berasal dari kata Yunani, yakni philosophia yang berarti adalah cinta (philia)
kebijaksanaan (sophia). Menurut analisis, kata ini muncul dari mulut Phytagoras
yang hidup di Yunani Kuno pada abad 6 Sebelum Masehi (Budi Hardiman, 2007).
Oleh karena itu, orang yang mencintai kebijaksanaan disebut juga sebagai
philosophos atau filsuf. Orang yang mencintai kebijaksanaan bukanlah orang yang
sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan orang yang terus berupaya mencari
kebijaksanaan. Penjelasan ini membawa kita masuk ke dalam penjelasan tentang
hakekat filsafat.
Biasanya, ada dua jawaban atas pertanyaan tentang hakekat filsafat. Yang
pertama, filsafat adalah suatu aktivitas, dan bukan suatu mata pelajaran atau mata
kuliah saja. Dengan kata lain, Anda berfilsafat, dan tidak hanya belajar filsafat.
Semua orang, tak terkecuali, berfilsafat. Bahkan, orang yang paling sinis dan tidak

suka, serta mengkritik filsafat pun sebenarnya sedang berfilsafat juga. Yang kedua,
filsafat juga sering diartikan sebagai suatu analisis konseptual, yakni berpikir tentang
pikiran. Kedua argumen ini memang menjelaskan sesuatu, tetapi tampaknya tetap
tidak memuaskan.
Kedua definisi tersebut tidak memberikan penjelasan tentang isi atau hakekat
sesungguhnya dari filsafat. Boleh-boleh saja, jika kita berkata bahwa kita sedang
berfilsafat, atau sedang menganalisis secara konseptual. Akan tetapi, apa yang sedang
kita analisis? Apa cara yang kita gunakan untuk menganalisis dan berfilsafat tentang
sesuatu itu? Cara yang paling baik untuk menjawab pertanyaan ini adalah melihat
apa yang para filsuf di dalam sejarah tanyakan dan refleksikan, serta apa jawaban
mereka atas pertanyaan tersebut. Misalnya, Anda diminta untuk menganalisis meja
yang terletak di depan Anda. Refleksi filsafat biasanya akan mengajukan pertanyaan
begini, apa hakekat meja tersebut? Selanjutnya, bagaimana Anda bisa mengetahui
bahwa meja itu ada?
Ada banyak pertanyaan yang bersifat filosofis. Akan tetapi, di balik semua
pertanyaan tersebut, ada satu hal yang sama, yakni semua pertanyaan selalu dimulai
dengan sebuah penalaran rasional (reasoning), dan juga hanya dapat dijawab dengan
penalaran semacam itu. Misalnya, Anda diminta menjawab, bagaimana Anda bisa
mengetahui bahwa di depan mata Anda sekarang, ada buku yang berjudul Pengantar
Filsafat dan Epistemologi. Jawaban Anda tersebut tidaklah boleh mengacu pada
kepercayaan-kepercayaan mistis ataupun religius, seperti jika Anda menjawab bahwa
meja itu bisa Anda ketahui, karena Tuhan memberikan Anda indera. Di dalam
filsafat, jawaban Anda haruslah sedapat mungkin menghindari jawaban religius dan
mistis seperti itu, dan menggunakan semata-mata akal sehat serta penalaran
rasional.
Pada ilmu-ilmu lainnya, ada banyak cara untuk menjawab pertanyaanpertanyaan, seperti dengan meneliti alam, meneliti manuskrip kuno, melakukan
eksperimen di dalam laboratorium, atau melakukan survey lapangan. Semua ini
dapat dikategorikan sebagai penyelidikan empiris, yakni penyelidikan yang langsung
berbasiskan pengalaman inderawi. Hasil dari penyelidikan semacam ini adalah datadata baru dan temuan-temuan baru. Hasil-hasil ini dapat memberikan kontribusi di
dalam refleksi filsafat. Akan tetapi, penyelidikan empiris tidak akan pernah dapat
menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan filosofis (Nuttal, 2001).

Penelitian sosiologi dengan menggunakan statistik tidak akan pernah mampu


menjawab pertanyaan dasar filsafat yang terkait dengan eksistensialisme, apakah
makna dari hidup manusia?

Analisis ekonomi dengan menggunakan data dan perbandingan statistik tidak akan
mampu menjawab, bagaimana kita bisa tahu mengenai realitas?

Pertanyaan tentang tujuan hidup manusia, atau bagaimana cara menata masyarakat
secara adil, tidak pernah bisa dijawab di dalam laboratorium. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, orang harus melakukan refleksi filsafat. Tidak bisa tidak.

1.2 Beberapa Pertanyaan Mendasar di dalam Filsafat


Mari lihat beberapa pertanyaan mendasar yang menjadi refleksi para filsuf di
dalam sejarah, dan bagaimana mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Apakah indera kita, seperti penglihatan, sentuhan, pendengaran, rasa, dan


penciuman dapat memberikan gambaran yang sebenarnya tentang dunia kepada
kita? Apakah setiap kejadian pasti memiliki sebab? Dan jika setiap kejadian memiliki
sebab, lalu dimana sebenarnya letak kebebasan manusia? Setiap manusia memiliki
daging dan tulang. Akan tetapi, manusia juga memiliki pikiran. Lalu, apakah pikiran
itu terpisah dari tubuh yang terbuat dari daging dan tulang? Dapatkah kita memiliki
pikiran tanpa tubuh? Apakah tubuh dan pikiran saling terkait satu sama lain? Jika
ya, bagimana penjelasannya? Di dalam dunia yang kita hidupi ini, kita dapat melihat
pola yang tetap dan berulang. Atas dasar itu, kita dapat merumuskan apa yang
disebut sebagai hukum-hukum alam (laws of nature). Lalu, kita menganggap
hukum-hukum ini bersifat universal, yakni berlaku untuk siapapun tak peduli
dimana ataupun kapan. Bagaimana klaim tersebut dapat dipertanggungjawabkan
secara rasional? Ketika kita menyatakan bahwa seseorang itu baik atau jahat, apakah
kita sedang mengekspresikan penilaian subyektif kita? Lalu, apakah moralitas melulu
menyangkut masalah subyektifitas belaka saja? Apakah pemerintah memiliki hak
dan legitimasi untuk menyeimbangkan kekayaan warganya, sehingga mempersempit
jurang antara yang kaya dan yang miskin? Apa yang membuat negara memiliki
legitimasi?

1.2.1 Beberapa Jawaban Awal atas Pertanyaan-Pertanyaan di atas

Ada berbagai alasan, mengapa kita tidak bisa menjawab pertanyaanpertanyaan di atas dengan menggunakan penyelidikan empiris, misalnya dengan
menggunakan metode statistik di dalam sosiologi maupun ekonomi. Misalnya,
filsafat pengetahuan terlebih dahulu mau bertanya tentang kesahihan panca indera
kita dalam menangkap suatu peristiwa. Jika kita meragukan indera-indera kita, maka
dengan apa kita dapat menganalisis indera-indera tersebut?

Jika

terhadap

mata,

telinga,

kulit,

dan

hidung

kita,

kita

ragukan

keabsahan/validitas/kebenaran penerimaannya. Oleh karena itu, dengan apa lagi


kita bisa meneliti dan mengetahui realitas?

Memang, kita telah mengembangkan berbagai alat yang mampu menganalisis lebih
akurat daripada indera kita. Akan tetapi, tetap saja, kita perlu mengandalkan indera
kita untuk menggunakan alat-alat ini.

Kita sudah menciptakan mikroskop super canggih. Akan tetapi, tetap saja, kita
memerlukan tangan kita, mata kita, telinga kita, dan semua panca indera kita untuk
mengoperasikan mikroskop tersebut.

Dengan kata lain, kita meragukan indera kita maka kita juga meragukan alat-alat
tersebut.
Akan tetapi, kita tetap tidak dapat mengamati secara langsung bahwa setiap
kejadian pasti memiliki sebab. Selanjutnya, jika setiap kejadian memiliki sebab,
bagaimana dengan kebebasan manusia? Oleh karena, jika semua peristiwa memiliki
sebab, segala sesuatu sebenarnya sudah ditentukan sebelumnya oleh sesuatu. Jika
begitu, di manakah tempat kebebasan manusia?

Saya hidup karena orang tua saya melahirkan saya. Saya berbuat baik karena orang
tua saya mengajarkan dan memerintahkan supaya saya berbuat baik. Saya bisa
berbicara karena saya sudah mempelajari bahasa yang sudah ada sebelumnya. Saya
tidak bisa terbang karena fisik manusia memang tidak bisa terbang. Saya harus
makan, tidak bisa tidak. Masih banyak contoh lainnya. Lalu, apakah kita bebas?

Memang, tindakan kita tampak bebas. Akan tetapi, jika kebebasan ini adalah
sebuah ilusi, bagaimana kita bisa sungguh-sungguh tahu mengenai hal ini? Artinya,

10

bagaimana kita bisa sungguh tahu bahwa kita tidak bebas? Bukankah pengetahuan,
sampai taraf tertentu, juga mengandaikan kebebasan?

Setiap bentuk ilmu pengetahuan selalu mengandaikan bahwa kita mampu


mengambil jarak terhadap realitas. Lagi pula, pengambilan jarak mengandaikan
bahwa saya tidak dipengaruhi sepenuhnya oleh realitas. Inilah kebebasan. Jadi,
adanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan, sebenarnya sudah mengandaikan
kebebasan.

Seringkali jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntun ke


pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kesulitan bertambah karena tidak ada fondasi yang
pasti, di mana kita bisa merumuskan suatu jawaban. Biarpun begitu, filsafat
mempertanyakan secara tajam asumsi-asumsi yang telah kita percayai begitu saja
sebelumnya. Lebih jauh lagi, filsafat mempertanyakan proses penalaran untuk
menguji asumsi-asumsi tersebut. Memang, sulit untuk memberikan jawaban ketika
tidak ada satupun yang dapat menjadi pengandaian. Walaupun begitu, ini jugalah
yang membuat filsafat menjadi begitu menarik.
Setiap ilmu pengetahuan biasanya punya pengandaian sebagai titik tolak.
Misalnya, sosiologi mengandaikan adanya manusia yang hidup dalam komunitas
dengan perilaku-perilaku yang kurang lebih bisa dianalisis dan diprediksi. Ekonomi
mengandaikan adanya manusia yang melakukan transaksi jual beli.

Filsafat adalah suatu aktivitas berpikir tanpa pengandaian apapun. Dengan begitu,
filsafat mengajarkan orang untuk berpikir radikal, dalam arti positif, serta mendalam
tentang segala sesuatu. Filsafat tidak puas dengan jawaban-jawaban yang terlalu
harafiah. Filsafat ingin menggali sampai sedalam-dalamnya.

Hal ini memang menciptakan kesulitan sendiri bagi orang yang mau belajar filsafat.
Akan tetapi, hal ini pula yang membuat filsafat menjadi sedemikian menarik dan
menantang.
1.3 Pengetahuan Macam Apakah yang Dapat Diperoleh melalui Refleksi
Filosofis?
Jika pertanyaan-pertanyaan filosofis dapat dijawab dengan menggunakan
penalaran rasional. Selanjutnya,

dapatkah filsafat direfleksikan secara eksklusif

11

terbebas dari penyelidikan empiris tentang dunia? Secara historis, pertanyaan ini
sebenarnya tidaklah tepat. Banyak filsuf besar pada masa lalu yang tidak melulu
menjadi ahli filsafat murni. Penemuan-penemuan saintifik yang baru selalu memicu
lahirnya spekulasi-spekulasi filosofis. Lagi pula, kebingungan teoritis di dalam ilmu
pengetahuan seringkali membutuhkan klarifikasi konseptual dengan menggunakan
filsafat ilmu.
Dengan demikian, relasi antara ilmu pengetahuan dan filsafat itu pada
hakekatnya bersifat dialektis dan kontingen. Artinya, filsafat dan ilmu pengetahuan
selalu saling mempengaruhi secara timbal balik. Tesis ini mengantarkan kita pada
pertanyaan yang lebih mendalam, apakah mungkin untuk sampai pada pengetahuan
tanpa mengandalkan indera-indera kita? Pengetahuan yang kita dapatkan dari
pengalaman inderawi ini kita sebut juga sebagai pengetahuan empiris. Sementara,
pengetahuan yang bersifat independen dari pengalaman itu disebut sebagai
pengetahuan apriori.

Pengetahuan bahwa warna hitam itu berwarna hitam adalah pengetahuan apriori
yang dapat diketahui lepas dari pengalaman inderawi. Untuk mengetahui warna
rumput, kita harus melakukan penyelidikan empiris.
Akan tetapi, untuk mengetahui apakah warna hitam itu berwarna hitam, kita tidak
perlu melakukan penyelidikan tersebut. Pengetahuan akan hitam sudah terkandung
secara analitis di dalam kata warna hitam.
Lalu, apakah pengetahuan yang bersifat apriori itu mungkin? Jika jawabannya
adalah ya maka filsafat adalah satu-satunya yang bisa menyediakan pengetahuan
semacam ini. (ibid)

1.4 Tiga Bidang Utama Refleksi Filsafat


Ada beragam cara untuk merumuskan cabang-cabang filsafat. Tidak ada
diantara beragam pembagian tersebut yang cukup memuaskan karena selalu ada
tema yang tidak pas untuk disatukan ke dalam pembagian-pembagian yang ada.
Nuttall, di dalam bukunya, membagi filsafat ke dalam tiga bidang refleksi. Yang
pertama adalah metafisika. Bidang ini memfokuskan diri pada analisis tentang
hakekat terdalam dari seluruh realitas.

12

Apakah dunia sehari-hari yang kita hidupi ini adalah sesuatu yang nyata?
Jika tidak, apakah hakekat terdalam dari seluruh realitas yang melampaui apa yang
tampak sehari-hari?
Jika ada sesuatu yang ada, mengapa ada sesuatu yang tidak ada?
Mengapa ada perubahan di dalam realitas?
Mengapai di balik segala perubahan tersebut, ada sesuatu yang bersifat permanen?
Apakah Tuhan itu ada?

Yang kedua, adalah epistemologi. Fokus dari epistemologi adalah, apakah dan
bagaimana pengetahuan akan realitas itu mungkin?

Apa yang menjadi batas dari pengetahuan kita? Apakah kita dapat mengandalkan
persepsi-persepsi inderawi untuk memberikan kita pengetahuan yang utuh tentang
dunia?
Apakah ada realitas yang tidak bisa diketahui yang berada di balik apa yang tampak?
Apakah ilmu pengetahuan saintifik dapat memberikan kita pengetahuan tentang
realitas terdalam dari dunia?
Apakah penalaran rasional kita mampu memberikan pengetahuan yang memadai?
Dapatkah penalaran rasional kita menambal kekurangan-kekurangan pengetahuan
yang diperoleh melalui indera?
Apakah ada bentuk pengetahuan yang dapat mengetahui hakekat dari Tuhan?

Yang ketiga adalah filsafat moral dan filsafat politik. Bidang ini menganalisis
tentang hal-hal yang kita alami langsung di dalam kehidupan, dan bagaimana
tindakan kita di dalam dunia sosial.

13

Apakah kriteria-kriteria moral yang dapat membantu kita menentukan tindakan?


Haruskah kita melulu mengikuti intuisi moral kita?
Dapatkah akal budi memberitahukan kepada kita apa yang baik dan apa yang buruk?
Dapatkah akal budi memberitahukan kepada kita bagaimana cara mengatur
masyarakat secara tepat?
Apakah kita mempunyai kewajiban khusus terhadap institusi sosial tempat kita lahir
dan berkembang?
Apakah nilai-nilai yang kita anut itu adalah bentukan dari masyarakat kita, atau kita
sendiri yang membuatnya?

Memang, ada cara lain yang dapat dirumuskan untuk membuat pembagian di
dalam filsafat. Akan tetapi, banyak ahli, seperti Anthony Quinton di dalam buku
Oxford Companion to Philosophy, juga membuat pembagian yang sama dengan saya.
Jika kita melihat dengan jeli, maka sebenarnya epistemologi banyak memiliki
kemiripan dengan metafisika. Beberapa ahli lainnya membedakan antara filsafat
moral di satu sisi, dan filsafat politik di sisi lain.
Logika juga seringkali muncul sebagai cabang tersendiri di dalam filsafat.
Analisis yang lebih detil akan menciptakan banyak sekali cabang-cabang filsafat
lainnya. Beberapa diantaranya akan sangat spesifik. Apa yang saya buat disini
hanyalah sebuah pengantar umum tentang cabang-cabang di dalam filsafat yang
tentunya masih bisa berkembang lebih jauh. Dari pembagian di atas, kita bisa
memfokuskan lebih detil lagi pertanyaan-pertanyaan yang paling mendasar, yakni

apa yang ada (1),


apa yang dapat kita ketahui tentang apa yang ada tersebut (2),
dan apa yang akan kita lakukan terhadapnya (3).

Semua pertanyaan ini sebenarnya saling berkaitan. Misalnya, ketika kita


bertanya tentang apa yang ada, kita harus terlebih dahulu bertanya tentang batas-

14

batas dari pengetahuan kita. Di samping itu, pertanyaan tentang moral dan politik
sebenarnya adalah pertanyaan yang paling relevan dan penting untuk dijawab. Kita
dapat menunda pertanyaan tentang hakekat terdalam dari realitas. Akan tetapi, kita
tidak dapat menunda pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana menciptakan suatu
sistem pemerintahan yang bisa menjamin keadilan sosial. Tetap saja, kita sadar
bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pun bersifat perkiraan. Jawaban atas
satu pertanyaan tentunya akan langsung mempengaruhi perspektif kita atas
pertanyaan lainnya, sehingga jawaban atas pertanyaan lainnya pun akan berubah
(ibid).
1.5 Kesimpulan
Setidaknya, ada dua jawaban mudah untuk menjawab pertanyaan apa itu
filsafat?

Yang pertama adalah filsafat sebagai sebuah aktivitas berpikir tentang realitas
sebagai keseluruhan secara mendalam. Sementara, yang kedua adalah filsafat sebagai
sebuah analisis konseptual tentang tindak berpikir manusia, atau aktivitas berpikir
tentang pikiran itu sendiri.

Filsafat itu sendiri setidaknya dapat dibagi menjadi tiga cabang.

Yang pertama,

adalah metafisika. Metafisika adalah cabang filsafat yang

merefleksikan hakekat dari realitas pada levelnya yang paling abstrak. Yang kedua,
adalah epistemologi. Epistemologi adalah cabang filsafat yang merefleksikan tentang
kapasitas pengetahuan manusia, hakekat pengetahuan manusia, dan genesis dari
pengetahuan manusia. Yang terakhir, adalah etika. Etika adalah cabang filsafat yang
merefleksikan tentang hakekat tindakan, dan bagaimana manusia harus bertindak di
dalam dunia.

15

Bab
2
Ciri Filsafat
2.1 Tentang Kebenaran, Makna, dan Hubungan Logis
Di dalam hidup, hampir segala sesuatu bisa ditafsirkan secara beragam. Fakta
yang satu bisa dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, sehingga menghasilkan
kesimpulan yang berbeda pula. Tidak jarang, kesimpulan yang tumbuh dari sudut
pandang yang berbeda tersebut saling bertentangan satu sama lain. Pada titik inilah
permasalahan filsafat muncul.

Misalnya, orang-orang tertentu sering mengklaim bahwa mereka mengalami


pengalaman mistik tertentu, yakni pengalaman merasa bersentuhan langsung dan
menyatu dengan Tuhan. Perasaan menyatu dan bersentuhan langsung itu begitu
terasa, bahkan lebih kuat dari tindak berdoa itu sendiri. Dari sudut pandang
psikologi, pengalaman ini sering dikaitkan dengan pengalaman halusinasi.

Faktanya sama, yakni ada orang yang mengalami pengalaman mistik. Akan tetapi,
kesimpulan yang ditarik berbeda. Orang beriman dan para mistikus akan melihat
pengalaman tersebut sebagai pengalaman bersatu dengan Tuhan. Sementara,
psikolog mungkin saja melihat pengalaman itu sebagai sebentuk halusinasi.

Contoh lain, kita melihat aksi demonstrasi di jalan-jalan. Selanjutnya, bisa muncul
beragam sudut pandang. Dari sudut pandang pengguna jalan, demonstrasi adalah
suatu tindakan anarkis. Demonstrasi membuat jalanan menjadi macet sehingga
banyak aktivitas yang terbengkalai. Dari sudut pandang lain, mahasiswa misalnya,
demonstrasi adalah suatu aksi demokratis menentang kebijakan-kebijakan yang
dianggap bertentangan dengan kepentingan bersama.

Faktanya sama, yakni adanya demonstrasi. Akan tetapi, kesimpulan yang ditarik
berbeda. Yang satu melihat sebagai tindakan anarkis yang menggangu aktivitas. Yang

16

lain melihat demonstrasi sebagai aksi demokratis menentang kebijakan-kebijakan


yang tidak berpihak pada kepentingan bersama.

Ada tiga hal yang secara implisit terkandung di dalam dua contoh di atas.
Pertama adalah pertanyaan yang berkaitan dengan makna (Woodhouse, 2000).

Apakah yang dimaksud dengan Tuhan sebagai realitas tertinggi? Apakah yang
dimaksud demonstrasi sebagai partisipasi demokratis? Seringkali, pertanyaan filsafat
dirangsang oleh pertanyaan tentang makna, yakni pertanyaan tentang hakekat dari
suatu peristiwa ataupun suatu benda tertentu.

Yang kedua adalah pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran. Memang,


ada beragam penafsiran atas satu fenomena yang sama.

Akan tetapi, di antara beragam penafsiran tersebut, manakah penafsiran yang benar?
Manakah penafsiran yang lebih memadai untuk memandang pengalaman mistik?
Manakah penafsiran yang lebih pas untuk memandang aksi demonstrasi?

Filsafat, dalam prosesnya menggali kebenaran, selalu berupaya melihat konteks


keseluruhan, dan berusaha untuk tidak terpaku pada fenomena-fenomena partikular.
Dari konteks keseluruhan itulah biasanya kita akan mendapatkan sudut pandang
baru yang biasanya tidak terlihat sebelumnya.

Yang ketiga, problem filosofis biasanya juga berkaitan tentang hubungan logis
di antara konsep-konsep yang ada.

Hubungan logis disini adalah kaitan antara dua konsep sedemikian rupa sehingga
kesalahan ide yang satu bergantung pada kebenaran ide yang lain dan juga ketika
kesalahan ide yang satu menentukan kebenaran ide yang lain.

Biasanya, hubungan logis dilambangkan dengan pernyataan jika-maka. Pernyataan


semacam ini bisa juga dikatakan secara lugas, tetapi bisa juga secara tersembunyi.
Bersikap kritis terhadap salah satu aspek dari pernyataan tersebut akan juga
menggoyahkan aspek lainnya. Woodhouse membedakan adanya tiga jenis hubungan
logis.
17

Yang pertama, jika ada dua pernyataan dan dikatakan bahwa dua pernyataan
tersebut tidaklah selaras maka berarti dua pernyataan tersebut tidak bisa benar
kedua-duanya, tetapi bisa juga keduanya sama-sama salah.

Misalnya, jika dikatakan bahwa Bowo berkulit putih maka ia tidak mungkin hitam,
tetapi mungkin saja ia bukan kedua-duanya, ia bisa saja berkulit kuning seperti
orang Cina.

Di

dalam

filsafat,

konsep

kebebasan

seringkali

dipertentangkan

dengan

determinisme. Determinisme berarti suatu hal ditentukan oleh hal lainnya. Jika
sesuatu itu ditentukan maka tidak mungkin ia bebas. Sebaliknya, jika sesuatu itu
bebas maka tidak mungkin ia ditentukan. Saya bukanlah orang bebas karena
keluarga saya menentukan apa yang saya yakini sebagai benar, teman-teman saya
membentuk saya.

Yang kedua, jika ada dua pernyataan, dan pernyataan yang satu
mengandaikan pernyataan yang lain maka pernyataan yang satu harus benar supaya
pernyataan yang lain juga bisa benar.

Misalnya, negara tersebut adalah negara demokrasi maka rakyat memilih siapa yang
akan mewakili mereka di dalam parlemen. Pernyataan negara demokrasi harus
benar. Jika pernyataan itu tidak benar maka pernyataan bahwa rakyat memilih siapa
yang akan mewakili mereka di dalam parlemen menjadi salah.

Yang ketiga adalah tentang konsekuensi logis. Begini, jika suatu pernyataan
memiliki konsekuensi logis maka pernyataan itu mempunyai konsekuensinya benar
ataupun salah. Saya menggunakan contoh yang juga dipakai oleh Woodhouse.

Misalnya, jika ada sebagian tindakan manusia yang dilakukan dengan bebas maka
tindakan kita tidak akan pernah bisa diramalkan sepenuhnya, bahkan oleh seorang
psikolog yang memiliki begitu banyak teori tentang perilaku manusia. Fakta bahwa
ada tindakan manusia yang dilakukan dengan bebas mengandung konsekuensi logis,
bahwa tidak semua perbuatan manusia bisa diprediksi.

18

Dalam hal ini, kita harus pintar-pintar melihat perbedaan antara pernyataan
yang memiliki hubungan logis di satu sisi dan pernyataan-pernyataan yang memiliki
hubungan kontingen. Dua pernyataan bersifat kontigen berarti kebenaran
pernyataan yang satu tidak mempengaruhi kebenaran pernyataan yang lain.
Pernyataan yang satu bisa benar, dan pernyataan yang lain bisa salah. Tidak ada
hubungan logis di antara dua pernyataan itu.

Misalnya, pernyataan bahwa setiap orang bertindak sesuai dengan kepentingan


mereka memiliki relasi kontingen dengan pernyataan bahwa ada orang yang
bertindak salah. Di dalam contoh ini, benar tidaknya pernyataan yang satu (orang
bertindak berdasarkan kepentingan diri) sama sekali tidak mempengaruhi benar
tidaknya pernyataan yang lain (orang bertindak salah).

2.2 Tidak Empiris


Satu hal yang menjadi ciri khas filsafat, yakni bahwa problematika yang
direfleksikannya tidak dapat dijawab oleh sains ataupun logika common sense (logika
pikiran pada umumnya). Hal ini bukan berarti filsafat tidak membutuhkan sains
dengan analisis datanya yang kompleks dan kurang lebih akurat. Seperti yang sudah
disebutkan sebelumnya, fakta-fakta ilmiah memainkan peranan penting di dalam
refleksi filsafat.

Ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan penelitian empiris yang kemudian


menghasilkan fakta-fakta ilmiah. Akan tetapi, apakah yang dimaksud dengan
penelitian empiris?

Penelitian empiris adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk memecahkan


masalah-masalah yang langsung berkaitan dengan pengalaman. Pengalaman ini bisa
didapatkan dari pengamatan langsung dengan menggunakan panca indera, atau juga
bisa didapatkan dari eksperimen di dalam laboratorium.

Untuk menunjuk sesuatu yang empiris, yang perlu dilakukan adalah mengamati
langsung apa yang terjadi di dalam realitas. Misalnya, untuk mengetahui jumlah
penduduk Jakarta Timur, kita tinggal menghitung jumlah penduduk yang ada di
Jakarta Timur melalui sensus penduduk.

19

Popper, seorang filsuf sains di abad ke-20, pernah menyatakan bahwa suatu
klaim empiris tidak hanya harus dapat dibuktikan kebenarannya melalui
pengamatan, tetapi juga harus dapat difalsifikasi, yakni mempunyai kemungkinan
untuk salah. Akan tetapi, falsifikasi ini hanya dapat berlaku untuk teori di dalam
sains, yakni teori ilmiah, dan tidak berlaku untuk teori di dalam filsafat. Jawaban
atas apakah yang menjadi tujuan hidup manusia atau bagaimana kita bisa
mengetahui kenyataan tersebut tidak pernah bisa difalsifikasi karena itu bukanlah
teori ilmiah, melainkan suatu refleksi filosofis.
Seringkali orang tidak bisa membedakan sains di satu sisi dan filsafat di sisi
lain secara tepat. Banyak orang beranggapan bahwa sains berurusan dengan hal-hal
yang bisa diamati. Sementara itu, filsafat berurusan dengan hal-hal yang tidak dapat
diamati. Anggapan ini salah. Selain itu, ilmuwan justru mengajukan suatu teori
tentang hal-hal yang tidak bisa diamati, seperti tentang gravitasi, arus listrik, untuk
menjelaskan fenomena natural tertentu. Para filsuf juga seringkali menolak hal-hal
yang tidak bisa diamati, seperti tentang Tuhan ataupun tentang hakekat manusia.
Dengan demikian, faktor teramati atau tidaknya sesuatu tidak ada hubungannya
dengan perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Filsafat mau menafsirkan
secara jenih apa yang terjadi di depan mata kita, dan bukan mengira-ngira apa yang
ada dibalik kenyataan yang kasat mata tersebut.
Walaupun tidak sepenuhnya bersandar pada data-data dan fakta-fakta ilmiah,
filsafat tetap memerlukan data dan fakta tersebut. Menurut Woodhouse, fakta
empiris tidak memainkan peranan yang final di dalam filsafat. Artinya, fakta empiris
tersebut tetap mempunyai peran besar di dalam filsafat. Peran tersebut tergantung
pada problem filosofis yang tengah direfleksikan. Selanjutnya, kita bisa bertanya,
fakta empiris macam apakah yang dapat berguna di dalam refleksi filsafat? Di dalam
sejarah filsafat, banyak filsuf, mulai dari Aristoteles, Bertrand Russell, yang cukup
banyak mengacu pada fakta-fakta empiris. Aristoteles bahkan membuat sebuah
klasifikasi tentang berbagai mahluk hidup yang ada di alam.

Kesimpulannya, jelas, walaupun tidak menentukan secara final refleksi filsafat, data
dan fakta empiris tetap diperlukan sebagai amunisi untuk merumuskan suatu refleksi
filsafat yang memadai.

2.3 Daya Tarik Filsafat

20

Seringkali orang bertanya kepada saya, "untuk apa orang berfilsafat?" Akan
tetapi, pertanyaan ini kuranglah tepat untuk diajukan karena walaupun Anda tidak
memiliki minat untuk belajar filsafat, beberapa masalah pokok di dalam kehidupan
sehari-hari langsung menarik perhatian Anda untuk berfilsafat. Dalam menjalani
hidup sehari-hari, setiap orang pasti memiliki pengandaian-pengandaian filosofis
tertentu, entah disadari atau tidak. Pengandaian-pengandain tersebut diuji ketika ia
harus memutuskan beberapa hal yang bukan melulu berkaitan dengan fakta empiris,
melainkan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Dengan demikian, pernyataan dasarnya bukanlah untuk apa orang berfilsafat, tetapi
bagaimana orang harus berfilsafat secara memadai.

Salah satu hal yang membuat filsafat menarik adalah kemampuannya untuk
membuat orang menjadi lebih sensitif pada hal-hal yang sebelumnya tidak pernah
dipikirkan.

Anda sudah punya anak, Anda mengajarkan anak Anda untuk tidak minum
beralkohol dan tidak menghisap ganja. Akan tetapi, ketika akhir pekan tiba dan Anda
sedang berkumpul bersama teman-teman Anda, Anda menyediakan minuman keras
dan menghisap ganja bersama teman-teman Anda di rumah tanpa mempedulikan
perasaan anak Anda.

Kita hidup dalam negara yang memiliki kesadaran bahwa setiap orang berkedudukan
setara di hadapan hukum. Semua orang setuju dengan prinsip ini. Akan tetapi, dalam
realitas, hanya orang kayalah yang memperoleh pendampingan hukum yang
memadai. Sebaliknya, orang yang tidak punya cenderung untuk ditindas dan
diperlakukan tidak adil.

Problem filsafat bukanlah problem yang abstrak dan mengawang, tetapi juga
problem yang tumbuh dari pengalaman sehari-hari yang remeh temeh, namun dirasa
ada yang keliru dan membutuhkan telaah lebih jauh. Rangsangan untuk mulai
berfilsafat, demikian tulis Woodhouse, seringkali muncul ketika orang berhadapan
dengan sebuah pernyataan yang dirasanya keliru. (ibid, hal. 51).

21

Misalnya, kita tentu akan tersentak dengan pertanyaan, apakah seorang koruptor
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya? Jika ya, mengapa? Ketika Pak
Harto dibebaskan dari tuntutan hukum apapun, kita patut bertanya mengapa dia
tidak bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya? Ketika berhadapan dengan
permasalahan ini dan mulai memikirkannya lebih jauh, kita terlibat di dalam suatu
problematika filsafat.

Orang-orang yang tidak secara sistematis mempelajari filsafat juga seringkali tertarik
dengan beberapa problem mendasar di dalam filsafat, seperti apakah Tuhan itu ada?
Apakah tujuan hidup manusia? Apakah yang harus kulakukan, sehingga hidup saya
menjadi baik? Ada beragam jawaban yang bisa diberikan dan di dalam filsafat
kesemua jawaban yang diberikan haruslah didasarkan pada penalaran rasional.
Sama halnya dengan para ilmuwan ataupun profesional di bidangnya, para
filsuf juga seringkali menulis dengan bahasa yang teknis. Tulisan tersebut ditujukan
untuk mengkritik para filsuf lainnya atau mengkritik suatu teori yang telah
digunakan untuk menganalisis problematika filosofis lainnya.

Akan tetapi, di balik pembahasan yang rumit tersebut sebenarnya para filsuf
berbicara hal-hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti moralitas, seni,
sains, agama, maupun masyarakat. Dengan kata lain, para filsuf tidak membuat
refleksinya dari kekosongan, melainkan langsung dari realitas yang mereka tatap dan
hadapi sehari-hari, namun dengan sudut pandang yang berbeda.

Woodhouse memberikan sebelas contoh bagaimana para profesional di bidang


lainnya dapat juga masuk ke dalam problematika filosofis dan kemudian berfilsafat.
Contoh:

Misalnya, seorang psikolog yang sangat meyakini bahwa tindakan manusia itu
melulu ditentukan oleh lingkungannya akan bertanya-tanya, apakah manusia itu
bebas?
Seorang pejabat di dalam lembaga sensor film akan bertanya-tanya tentang sejauh
manakah suatu karya seni itu--dalam hal ini film--dapat dikatakan sebagai seni dan
bukan sebagai pornografi?

22

Seorang pejabat publik yang hendak membuat suatu kebijakan untuk kepentingan
bersama akan bertanya tentang bagaimana saya dapat membuat suatu kebijakan
yang tidak diskriminatif sekaligus efektif untuk pemberdayaan? Manusia macam
apakah yang harus diberdayakan disini? Apa konsep dasar dari sikap yang tidak
diskriminatif?

Tentu saja, masih banyak contoh yang lain. Yang ingin saya tekankan adalah
bahwa setiap orang dalam apapun bidang pekerjaan maupun displin yang ia tekuni
pasti akan berhadapan dengan persoalan-persoalan filsafat, walaupun ia tidak
menginginkannya. Setiap orang sudah selalu terlibat dalam persoalan-persoalan
mendasar tentang kehidupan, manusia, Tuhan, dan masyarakat.

Alangkah baik

mengkaji semua tersebut secara jernih dan sistematis. Yang terakhir inilah yang
menjadi fokus filsafat sekaligus daya tariknya.
2.4 Relevansi Filsafat
Dari paparan di atas sebenarnya sudah jelas apa yang menjadi relevansi dari
filsafat. Salah satu yang paling jelas adalah dalam konteks hukum.
Contoh:
Jika benar bahwa manusia itu tidak bebas dan ia sepenuhnya ditentukan oleh
lingkungan sosialnya maka penghukuman terhadap pelaku kejahatan tidaklah bisa
dibenarkan. Karena mereka bertindak bukan atas dasar keinginan bebas mereka,
tetapi karena pengaruh total dari lingkungan ataupun kondisi-kondisi lainnya.
Padahal, hukuman hanya bisa diberikan pada orang-orang yang telah berbuat jahat
sesuai dengan kehendak sendiri, yakni dengan kebebasan.

Di sisi lain, suksesnya sains menjelaskan banyak hal di dalam alam


mendorong manusia untuk semakin berusaha menguasai alam dan kemudian
menggunakannya sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Di dalam pandangan ini,
ada pengandaian bahwa manusia itu adalah mahluk yang terpisah dari alam yang
memiliki status khusus di dalam ini sehingga punya hak untuk menggunakan alam
sepenuhnya untuk kepentingan mereka.

Etika lingkungan, salah satu cabang di dalam filsafat moral menawarkan suatu sudut
pandang baru, yakni manusia itu adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari alam.
Manusia bisa menjadi manusia karena adanya alam. Dengan pengandaian semacam

23

ini, manusia tidak akan mengeksploitasi alam sekehendaknya dan alam tidak akan
rusak seperti sekarang ini. Lagi pula, jika manusia mengeksploitasi alam dan alam
rusak, toh manusia sendiri yang akhirnya harus menderita karena pelbagai bencana
alam yang datang melanda.

Yang juga harus diperhatikan di dalam berfilsafat adalah bahwa dengan


melibatkan diri di dalam beragam problem filosofis yang ada, keyakinan-keyakinan
mendasar seseorang tentang hidup tidak otomatis akan berubah. Perubahan di dalam
memandang persoalan memang agak berubah, tetapi keyakinan dan pengandaian
mendasarnya tidaklah berubah. Pada titik ini, perubahan memang bukanlah sesuatu
yang diharuskan.

Contoh:
Banyak orang beranggapan bahwa orang yang belajar filsafat akan mengalami
peneguhan dan pemurnian di dalam beragama. Akan tetapi, tidak sedikit juga orang
yang berpendapat bahwa filsafat akan membuat orang menjadi bertanya-tanya
tentang agama yang telah dipeluknya.

Refleksi atas problem-problem filsafat akan mengembangkan cara berpikir


orang yang melakukannya. Refleksi filsafat adalah suatu bentuk eksperimen berpikir
yang bersifat luas, mendalam, dan kritis (ibid, hal. 47). Dengan menggunakan cara
berpikir seperti itu, relevansi praktisnya sebenarnya sudah cukup jelas, yakni Anda
akan lebih toleran terhadap pelbagai perbedaan sudut pandang, lebih mandiri dalam
berpikir dan membuat keputusan, serta semakin mampu mengambil jarak dari sikap
dogmatis.
Pertama, filsafat memiliki obyek analisis dan refleksi yang sangat luas, yakni
mencakup seluruh realitas dari sudutnya yang paling mendasar. Banyak pertanyaaan
diajukan. Banyak jawaban juga diberikan. Tidak satupun pertanyaan ataupun
jawaban yang diajukan dapat dianggap sebagai suatu pernyataan mutlak. Filsafat
selalu terbuka untuk sudut pandang baru yang berbeda, terutama sudut pandang
yang mampu membebaskan seseorang dari kebuntuan ketika ia berhadapan dengan
permasalahan-permasalahannya.

Sesungguhnya,

kesadaran

akan

pentingnya

kontribusi dari sudut pandang yang berbeda inilah yang membuat orang-orang yang
menekuni filsafat memiliki sikap toleran dan sedapat mungkin terbebas dari cara
berpikir dogmatis.

24

Kedua, di dalam berfilsafat Anda bebas menganalisis sekaligus merefleksikan


beragam persoalan sesuai dengan pilihan Anda. Anda bisa menggali lebih jauh tematema yang mungkin tidak banyak dibahas di dalam aliran-aliran besar filsafat.

Contoh:
Di dalam kuliah sosiologi, Anda melihat bagaimana manusia begitu dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya. Di dalam psikologi, Anda diajarkan bagaimana manusia
dipengaruhi oleh dinamika internal psikisnya. Oleh karena itu, dengan filsafat Anda
bisa menantang kedua bidang tersebut. Misalnya, yang mana yang lebih menentukan
dinamika psikis manusia atau lingkungan sosialnya? Apa relasi antara perilaku
manusia di dunia sosial dengan disposisi psikisnya?

Oleh karena itu, filsafat mengajak kita untuk berpikir tentang hal-hal yang mungkin
di dalam bidang lainnya telah dianggap benar dan diandaikan begitu saja. Filsafat
mengajak kita untuk berpikir mandiri dan memutuskan sendiri apa yang menjadi
argumentasi independen kita.
Ketiga, tujuan utama belajar filsafat bukanlah menghafal berbagai macam
teori yang sudah ada, melainkan membuat suatu pemikiran independen sendiri
dengan berbekal teori-teori lain yang sudah ada. Dengan kata lain, ketika belajar
filsafat Anda juga haruslah bersikap kritis terhadap semua teori yang Anda pelajari.

Sikap kritis berarti Anda tidak menerima suatu teori atas pernyataan tertentu
berdasarkan otoritas saja, tetapi menerimanya dengan catatan-catatan dan berupaya
mencari ambiguitas-ambiguitas teori tersebut.

Dalam hal ini, Anda ditantang untuk tidak mengikuti pendapat umum, yakni
pendapat orang pada umumnya. Anda pun ditantang untuk mencari alasan-alasan
rasional bagi hal-hal yang sudah diandaikan begitu saja oleh orang lain. Inti filsafat,
demikian tulis Woodhouse, adalah membentuk pemikiran, dan bukan sekedar
mengisi kepala dengan fakta-fakta. (ibid, hal. 49)
Setidaknya, bagi orang yang mempelajari filsafat secara sistematis ada dua
keuntungan yang bisa langsung diperoleh. Pertama, analisis dan refleksi filsafat
dapat membuat orang mengalami perubahan pemahaman. Perubahan pemahaman
ini akan juga merubah cara ia menghayati kehidupan pribadi dan profesinya. Kedua,
seperti sedikit disinggung di atas, refleksi filsafat dapat menjadikan Anda terbebas

25

dari cara berpikir dogmatis. Anda juga akan memperoleh kemampuan untuk
mentolerir berbagai pandangan lainnya yang berbeda dengan pandangan Anda,
otonomi intelektual, dan kemampuan membuat pilihan secara jernih. Ketika Anda
berfilsafat, keutamaan-keutamaan semacam itu tidaklah secara otomatis diperoleh.
Anda harus benar-benar berpikir dan berupaya melakukan analisis dan refleksi
secara sistematis dan tekun. Waktu juga membuat pikiran menjadi semakin matang.
Ketiga, memang filsafat tidak memberikan keterampilan teknis, seperti kalau
Anda belajar akuntansi, teknik elektro, kedokteran. Akan tetapi, filsafat dapat
melengkapi kemampuan Anda di bidang-bidang yang bersifat non-akademik. Dalam
konteks ini, refleksi filsafat dapat membantu Anda mengembangkan diri di dalam
karir yang tengah Anda tempuh.

Posisi-posisi pengambil keputusan di dalam pelbagai bidang profesi, seperti dokter,


pengacara, dan direktur membuat setiap orang, mau atau tidak, bergulat dengan
problem filosofis. Setiap orang bisa saja menghafalkan fakta-fakta, seperti yang Anda
lakukan ketika menempuh pendidikan di sekolah dasar. Akan tetapi, dunia kerja
menuntut jauh lebih banyak dari sekedar kemampuan menghafalkan fakfa-fakta,
terutama jika Anda ingin berhasil.

Fakta dan data bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja. Fakta masih
harus dipertanyakan lagi, dilihat dari berbagai sudut pandang, diuji secara logis,
jelas, dan sistematis. Oleh karena itu, kemampuan untuk melakukan hal-hal itulah
yang akan dikembangkan di dalam proses Anda melakukan refleksi filsafat, apapun
bidang profesi yang Anda geluti sebelumnya.

26

Bab
3
Membaca dan Memahami Tulisan Filsafat
3.1 Tulisan Filsafat
Jika Anda hendak melakukan refleksi filsafat secara sistematis, Anda perlu
membaca banyak buku filsafat. Di dalam buku-buku itu, Anda akan banyak sekali
mendapatkan ide-ide yang menarik dan layak untuk dipikirkan lebih jauh. Di
samping itu, Anda juga akan berhadapan dengan begitu banyak pertanyaan, dan
pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah bisa dijawab secara mutlak.

Yang perlu Anda perhatikan, problem-problem filosofis, seperti yang sudah


disinggung pada bab-bab sebelumnya tidak hanya muncul di dalam buku-buku yang
dianggap sebagai pustaka filsafat saja, tetapi juga di dalam novel, di dalam buku
sastra, bahkan di dalam buku sains. Fakta bahwa ada buku yang judulnya
menggunakan kata filsafat tidak bisa menjadi jaminan bahwa ketika membaca buku
itu, Anda akan menemukan gagasan filosofis yang relevan dan menarik untuk Anda.
Sebaliknya, ketika membaca novel ataupun buku sains pun sebenarnya, Anda justru
dapat menemukan banyak sekali problem filosofis.

Jadi, yang disebut buku filsafat itu jauh lebih banyak daripada buku-buku yang
judulnya menggunakan kata filsafat.
Ketika memilih buku filsafat secara spesifik Anda juga harus sadar bahwa ada
dua jenis buku filsafat, yakni buku filsafat primer dan buku filsafat sekunder. Buku
primer adalah tulisan asli para filsuf. Ia menyampaikan pemikiran-pemikirannya
tentang satu tema tertentu. Biasanya, buku primer ini disebut juga sebagai teks asli,
atau teks orisinal. Buku primer ini juga dapat dibagi lagi menjadi dua jenis, yakni
buku dan antologi. Buku Immanuel Kant yang berjudul Kritik der Reinen Vernunft
adalah sebuah buku primer yang utuh. Di dalam buku itu, ia mengajukan
pandangan-pandangan orisinilnya tentang pengetahuan manusia dan kondisikondisi yang memungkinkan pengetahuan tersebut.
Buku filsafat sering juga berupa antologi atau kumpulan tulisan. Biasanya,
antologi terdiri dari beberapa artikel spesifik yang sebelumnya pernah diterbitkan di

27

jurnal ataupun media lainnya. Akan tetapi, terkadang antologi juga dapat terdiri dari
beberapa tulisan pendek yang memang dirumuskan khusus untuk antologi itu.
Antologi juga biasanya berbentuk kumpulan buku filsuf-filsuf besar, seperti antologi
tulisan Plato atau kumpulan tulisan tentang suatu tema tertentu, misalnya kumpulan
tulisan para filsuf tentang tema epistemologi atau filsafat pengetahuan. Suatu
pengantar filsafat juga bisa berbentuk antologi yang ditulis oleh berbagai macam
orang dan mencakup berbagai macam tema.
Jenis kedua dari buku filsafat adalah buku sekunder. Biasanya, buku sekunder
ini disebut sebagai buku-buku komentar. Fungsi dari buku ini adalah untuk
memaparkan pandangan para filsuf yang terdapat di dalam buku primer, sekaligus
mempertimbangkannya secara kritis. Buku sekunder ini juga dapat menjadi
penuntun atau pemandu pembaca di dalam membaca buku-buku primer. Di samping
menjadi pemapar dan pemandu, buku sekunder juga bisa menjadi ruang untuk
menafsirkan pemikiran filsuf yang sama secara berbeda.

Contoh:
Ada beragam buku dengan sudut pandang yang berbeda yang membahas Kritik der
Reinen Vernunft Immanuel Kant. Sudut pandang yang berbeda tersebut bisa saling
mengkritik satu sama lain, bisa juga mengafirmasi pemikiran Kant, atau justru
mengkritiknya.

Biasanya, untuk mempermudah pembacaan kita lebih tertarik membaca buku


sekunder terlebih dahulu, baru kemudian membaca buku primernya. Akan tetapi,
ada dua alasan yang bisa diajukan untuk menunjukkan bahwa itu bukanlah cara yang
paling ideal untuk diterapkan.

Pertama, dengan membaca langsung tulisan asli para filsuf, Anda diajak untuk tidak
hanya memikirkan apa yang mereka ajukan, tetapi juga melihat ke dalam diri Anda
sendiri. Dari sini, Anda bisa memperoleh beberapa inspirasi di dalam menjalani
hidup, sekaligus mendapatkan kesadaran diri yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
Kedua, dengan membaca teks asli para filsuf secara langsung, Anda akan
mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan tahan lama. Proses internalisasi
akan terjadi, ketika Anda membaca dan menelaah langsung tulisan para filsuf.
Akibatnya, beberapa ide dan inspirasi akan menjadi bagian inheren diri Anda. Inilah
esensi dari seluruh proses pembelajaran filsafat.

28

3.2 Persiapan yang Diperlukan


Di dalam membaca buku-buku filsafat, ide-ide yang dijabarkan oleh para filsuf
seringkali terkesan absurd, abstrak, terutama jika disampaikan dengan bahasa yang
berbelit-belit. Seringkali, Anda akan berjumpa dengan istilah-istilah sulit, kalimatkalimat panjang yang tidak jelas, apalagi jika para filsuf menulis dengan gaya bahasa
yang kuno yang tidak lagi digunakan sekarang. Memang, para filsuf seringkali
mengandaikan bahwa pembacanya sudah mengerti beberapa hal dasar terlebih
dahulu sebelum membaca bukunya. Mereka juga terbiasa mengandaikan bahwa
pembaca buku mereka adalah sesama intelektual juga. Untuk membantu Anda, saya
akan coba memberikan dua hal yang kiranya membantu Anda membuat persiapan di
dalam membaca buku-buku filsafat.
Pertama, Anda harus menyediakan waktu yang cukup banyak untuk
memahami betul suatu tulisan filsafat. Awalnya, Anda membutuhkan satu jam. Lalu,
Anda butuh satu jam lagi untuk benar-benar memahami apa yang ingin dikatakan
oleh sang filsuf. Jadi, dalam proses itu, untuk memahami ide dasar dari tulisan
filsafat, Anda harus mampu mengenali apa yang berada di balik kata-kata atau
tulisan sang filsuf. Di dalam filsafat, Anda tidak bisa menerapkan cara baca instan 20
menit selesai. Di saat membaca, pikiran Anda juga harus terbebas dari masalahmasalah lain yang mungkin membuat Anda resah. Lebih baik, demikian tulis
Woodhouse, tidak membaca sama sekali daripada membaca secara tergesa-gesa.
(ibid, hal. 135)
Kedua, ketika Anda membaca buku filsafat, Anda harus melakukannya secara
berkelanjutan. Jangan membaca buku filsafat bergantian dengan buku lainnya
karena nantinya Anda akan harus mulai dari awal lagi. Ketiga, sedapat mungkin,
Anda haruslah berusaha menjaga jarak terhadap buku yang tengah Anda baca. Pada
titik ini, perasaan subyektif, seperti suka ataupun tidak suka, haruslah ditunda
terlebih dahulu. Tujuannya jelas, supaya Anda dapat menunda segala bentuk
prasangka dan bias yang mungkin Anda miliki. Dengan cara ini, inti utama dari
pemikiran filsuf yang sedang Anda baca juga dapat terpahami secara jernih.
3.3 Memahami Tulisan Filsafat
Salah satu teknik membaca tulisan filsafat yang baik adalah membaca secara
aktif. Artinya, Anda haruslah terus menerus berupaya memahami dan menaggapi
tulisan yang tengah Anda baca. Pada titik ini, Anda bukanlah seorang pembaca yang

29

pasif yang menunggu kejelasan dan makna datang dengan sendirinya. Harus
diperhatikan juga bahwa membaca buku filsafat sangatlah berbeda dengan membaca
koran atau majalah. Ada dua cara yang bisa diterapkan.
Pertama, ketika Anda membaca, Anda juga harus mempersiapkan buku atau
kertas. Di dalam kertas itu, Anda bisa menuliskan catatan-catatan penting,
pertanyaan Anda, kebingungan Anda. Dari catatan ini jugalah Anda bisa memperoleh
bahan untuk berpartisipasi di dalam diskusi. Untuk itu, Anda harus jeli melihat
konsep-konsep kunci, kalimat-kalimat penting, dan kerancuan-kerancuan yang
terdapat di dalam tulisan filsafat yang tengah Anda baca. Untuk membuat
kesimpulan, Anda harus mulai berusaha merumuskan ide dengan menggunakan
bahasa Anda sendiri, dan tidak mengutip langsung dari buku yang Anda baca.
Kedua, ketika Anda membaca ada baiknya Anda menggarisbawahi kalimatkalimat penting. Kalimat-kalimat tersebut juga sebaiknya diberikan catatan-catatan
di pinggirnya. Dalam konteks ini, Anda harus menemukan argumen inti dan
menyeluruh, serta tidak terjebak pada detil yang terkadang kurang signifikan. Tujuan
utama dari penggarisbawahan ini adalah memperjelas perbedaan antara argumen
yang penting dan argumen yang kurang penting. Dengan begitu, Anda akan dapat
menemukan inti dari tulisan dengan mudah.
3.4 Bersikap Kritis
Tahap pertama membaca adalah berusaha memahami. Sedangkan, tahap
kedua di dalam membaca adalah menanggapi. Dalam arti ini, menanggapi bukan
berarti Anda bisa sepenuhnya tidak setuju dan mengganggap buku yang Anda baca
adalah gagasan yang bodoh, melainkan Anda berusaha menentukan sendiri posisi
Anda dengan menggunakan penalaran rasional, ketika selesai membaca tulisan
filsafat. Memang, pada akhirnya, Anda harus sampai pada keputusan apakah
pemikiran sang filsuf tepat, kurang tepat, atau hanya sebagian tepat, dan sebagian
lagi salah. Yang pasti, jika Anda diminta untuk menangapi secara kritis, tidak
otomatis Anda bisa menolak dan mengkritik seenaknya tanpa dukungan argumentasi
rasional yang kuat.

Kelima pertanyaan ini mungkin bisa membantu Anda bersikap kritis terhadap tulisan
filsafat yang tengah Anda baca. Pertama, apakah argumentasi utama sang filsuf
sudah jelas? Kedua, apakah argumentasi sang filsuf didukung oleh premis-premis
dan data yang memadai? Ketiga, adakah kelemahan dari argumen itu yang mungkin

30

saja berangkat dari premis atau data yang tidak memadai? Keempat, apakah
argumentasi utama sang filsuf yang ada di buku itu dapat memenuhi tujuan utama
yang ingin dicapai oleh sang filsuf? Dan kelima, apakah Anda mampu mengajukan
kritik yang dirumuskan berdasarkan penalaran rasional terhadap tulisan filsafat yang
tengah Anda baca? Berfilsafat dan membaca, demikian Woodhouse, adalah dua
sisi dari keping yang sama. (ibid, hal. 147)

31

Bab
4
Beberapa Cabang Umum Filsafat
4.1 Epistemologi
Setelah Anda mendapat pengetahuan umum tentang filsafat, ciri kualitatifnya,
serta teknik membaca dan memahami tulisan-tulisan filsafat maka pada bab ini, saya
akan memperkenalkan Anda dengan beberapa cabang umum di dalam filsafat.
Tulisan di dalam bab ini dapat diperlakukan sebagai teks sekunder, yakni teks yang
mengantar atau memandu Anda untuk membaca tulisan-tulisan asli filsuf yang
bersangkutan. Beberapa cabang yang akan sedikit diperkenalkan di sini adalah
epistemologi, metafisika, dan etika. Bagian etika akan sedikit lebih panjang dari
bagian lainnya karena saya hendak memberikan contoh tentang bagaimana tepatnya
melakukan penelurusan sistematis terhadap beberapa teori di dalam filsafat
terutama filsafat moral atau etika.
Yang pertama adalah epistemologi. Pengetahuan manusia telah menjadi obyek
refleksi filsafat selama ribuan tahun. Nah, seperti sudah disinggung pada bab
pertama, cabang filsafat yang secara khusus merefleksikan pertanyaan-pertanyaan
mendasar sekaligus menyeluruh tentang pengetahuan adalah epistemologi. Secara
etimologis, epistemologi berasal dari kata Yunani, yakni episteme yang berarti
pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ataupun ilmu. Oleh karena
itu, epistemologi adalah salah satu cabang dari filsafat yang hendak membuat refleksi
kritis terhadap dasar-dasar dari pengetahuan manusia. Oleh karena itu, epistemologi
sering juga disebut sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge).
Dengan epistemologi, Anda diajak untuk merefleksikan dan menganalisis ciriciri mendasar dari pengetahuan manusia. Pertanyaan pokok yang diajukan adalah
bagaimana suatu bentuk pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya?
Dimanakah batas-batas pengetahuan manusia? Di samping itu, epistemologi juga
hendak mencari syarat-syarat logis yang memungkinkan pengetahuan. Dalam
konteks ini, pertanyaan dasarnya adalah bagaimana saya tahu bahwa saya tahu?

32

Kita bisa melihat karakter normatif, evaluatif dan kritis yang menandai cabang
filsafat ini. Normatif berarti ada upaya untuk menentukan norma sebagai tolok ukur
kebenaran pengetahuan. Evaluatif berarti epistemologi hendak menilai sejauh mana
suatu pendapat di dalam ilmu pengetahuan ataupun pengetahuan pada umumnya
dapat

dibenarkan

dan

dipertanggungjawabkan.

Sedangkan,

kritis

berarti

epistemologi mengajak Anda untuk mempertanyakan dan menguji seluruh proses


kegiatan mengetahui manusia.

Epistemologi sebenarnya juga masih mempunyai cabang, yakni filsafat sains.


Filsafat sains ini muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan positif dan
sains sejak abad ke-17 dan terus berkembang pesat sampai sekarang. Pada awalnya,
filsafat sains lebih merupakan suatu metode sekaligus pengkajian atas metode
tersebut di dalam praktek kerja sains. Sudarminta, di dalam bukunya yang berjudul
Epistemologi Dasar menyatakan bahwa logika sains dapat dibedakan menjadi dua,
yakni

konteks

penemuan

ilmiah

(context

of

discovery)

dan

konteks

pertanggungjawaban rasional atas penemuan tersebut (context of justification). Yang


menjadi pusat analisis dari filsafat sains adalah konteks pertanggungjawaban
rasional. Akan tetapi, dewasa ini filsafat sains juga berupaya merefleksikan
konsekuensi etis dari perkembangan ilmu pengetahuan, seperti munculnya isu-isu
tentang kloning, penggunaan teknologi nuklir untuk senjata, senjata biologi, dan
sebagainya. (Sudarminta, 2002)
Memang, di dalam dunia akademis, pengetahuan tidak hanya menjadi obyek
kajian filsafat, tetapi juga ilmu-ilmu lainnya, seperti psikologi ilmu pengetahuan, dan
sosiologi ilmu pengetahuan. Nah, yang membedakannya dengan filsafat ilmu
pengetahuan adalah cara pendekatannya. Seperti sudah disinggung sebelumnya,
filsafat hendak menyelidiki secara kritis pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
mendasar sekaligus menyeluruh. Dalam proses ini, banyak pendapat umum dan
argumen yang tidak didukung oleh argumentasi yang kuat akan goyang. Proses yang
kurang lebih sama terjadi di dalam epistemologi ketika hendak merefleksikan
pengetahuan manusia.

Contoh:
Jika pengetahuan manusia melulu disempitkan pada sains saja,

pengetahuan-

pengetahuan lainnya, seperti pengetahuan estetik, akan dianggap tidak bermakna.


Konsekuensinya, pengetahuan manusia direduksi melulu menjadi pengetahuan

33

saintifik saja dan ini adalah proses pemiskinan kekayaan pengetahuan manusia
sendiri. Filsafat sains dapat berperan untuk memperjernih pemahaman ini.

Ada beberapa pertanyaan yang kerap kali menjadi pergulatan para filsuf di dalam
epistemologi.
Contoh:
Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakiki dari pengetahuan? Apa batas-batas
pengetahuan manusia? Apa kaitan pengetahuan dengan kekuasaan? Apa peran
intuisi di dalam pembentukan pengetahuan? Memang, ada banyak pertanyaan
lainnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menjadi bahan refleksi para filsuf
sepanjang jaman, bahkan sampai sekarang.
4.2 Metafisika
Seperti sudah disinggung sebelumnya, metafisika adalah cabang filsafat yang
hendak menyelidiki kenyataan dari sudut yang paling mendasar, paling mendalam,
sekaligus paling menyeluruh. Oleh karena itu, metafisika sering juga disebut sebagai
filsafat dasariah atau seperti yang dikatakan oleh Aristoteles, filsafat pertama. Nah,
Aristoteles membuat nama ini sebenarnya dalam konteks kritiknya terhadap cara
berfilsafat para filsuf

Yunani Kuno sebelum dia. Bagi Aristoteles, para filsuf

sebelumnya memang berfilsafat, tetapi belum sampai pada titik yang paling
mendalam. Artinya, argumen-argumen yang mereka ajukan masihlah sederhana dan
belum memuaskan. Karena itulah, Aristoteles menyebut filsafat sebelumnya sebagai
filsafat kedua (Lanur, 2002).
Ia kemudian mencoba merumuskan suatu bentuk filsafat yang mencoba
menggali semua aspek realitas dari sudutnya yang paling mendalam mulai dari
tentang alam, tentang Tuhan, tentang jiwa, dan tentang badan. Ia pun kemudian
menamakan cara berfilsafat seperti itu sebagai filsafat pertama, atau metafisika.
Dalam konteks ini, ia mau menyelidiki tidak saja obyek-obyek yang dapat ditangkap
oleh panca indera, tetapi juga obyek-obyek yang hakekatnya melampaui panca indera
tersebut, seperti Tuhan.
Yang harus dimengerti adalah bahwa metafisika tidaklah mengacu pada suatu
obyek tertentu yang bersifat konkret, melainkan lebih bersifat formal. Artinya, segala
sesuatu di dalam realitas diselidiki dari sudutnya paling mendalam dan yang paling
mendasar. Oleh karena itu, metafisika dapatlah dikatakan sebagai suatu refleksi

34

filosofis tentang realitas yang paling dalam dan paling akhir secara total. Dengan kata
lain, metafisika hendak mengungkapkan realitas dalam satu konsep dasariah yang
paling total.
Ada beberapa hal yang kiranya perlu ditambahkan tentang konsep metafisika.
Kata meta memiliki arti melampaui dan sering digunakan untuk mengacu pada
aktivitas level kedua, yakni aktivitas yang mampu menganalisis aktivitas level
pertama.

Contoh:
Sosiologi itu menganalisis masyarakat secara langsung. Sementara, meta-sosiologi
menganalisis logika internal dari sosiologi yang digunakan untuk menganalisis
masyarakat.

Jadi, sosiologi berpikir tentang manusia dan kehidupan sosialnya. Sementara, metasosiologi berpikir tentang sosiologi yang tengah memikirkan manusia dan kehidupan
sosialnya. Jelaskah?

Etika berurusan dengan pertanyaan tentang benar dan salah. Sementara,


meta etika berurusan dengan apa artinya benar dan salah. Dengan kata lain,
metafisika, yang melibatkan semua refleksi lain yang bersifat meta, bergerak di level
abstraksi dan universalitas yang lebih tinggi dari subyek yang dianalisisnya. Jika
fisika bersama semua ilmu pengetahuan lainnya berurusan dengan interaksi antar
obyek yang ada di sekitar kita, maka metafisika berurusan dengan pertanyaan yang
lebih abstrak, seperti mengapa ada sesuatu daripada tidak ada, apakah kausalitas itu
niscaya.

Metafisika juga seringkali diartikan sebagai suatu sistem pemikiran yang mencakup
semua, dan bertujuan untuk mendeskripsikan realitas yang melampaui pengalaman
sehari-hari.

Sistem pemikiran semacam ini seringkali dikritik karena telah mengklaim mampu
mengetahui segala sesuatu. Padahal, rasio manusia terbatas di dalam prosesnya
mengetahui realitas sehingga tidak mungkin mampu mengetahui segala sesuatu.

35

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, metafisika sendiri adalah salah satu


tema filsafat yang diajarkan oleh Aristoteles kepada murid-muridnya. Ia membagi
dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan teoritis (theoretical knowledge) dan
pengetahuan praktis (practical knowledge). Pengetahuan teoritis mencakup
matematika, fisika, dan apa yang disebutnya sebagai filsafat pertama (first
philosophy). Nah, filsafat pertama inilah yang nantinya disebut sebagai metafisika,
terutama karena tempatnya berada setelah fisika, dan dianggap melampaui fisika.
Nama metafisika pun akhirnya menjadi salah satu tema penting di dalam pemikiran
Aristoteles.

Di dalam filsafat Aristoteles, metafisika mencakup dua bidang besar di dalam filsafat,
yakni ontologi dan epistemologi. Ontologi merupakan refleksi tentang berbagai tema
umum di dalam filsafat yang terkait dengan hakekat, termasuk hakekat dari Tuhan,
hakekat dari realitas, dan hakekat dari perubahan di dalam realitas tersebut.

Sementara, epistemologi merupakan refleksi filosofis tentang pengetahuan manusia,


yakni tentang struktur pengetahuan manusia, genesisnya, dan batas-batas dari
pengetahuan tersebut. Secara umum, sebenarnya epistemologi dipisahkan dari
metafisika, yakni sebagai salah satu cabang dari tiga cabang filsafat yang sudah saya
tuliskan sebelumnya.

Di dalam perjalanan sejarah, epistemologi telah memperoleh tempat yang


cukup kokoh di dalam refleksi filsafat. Sementara metafisika justru masih menjadi
wilayah abu-abu yang belum mempunyai status tetap, bahkan sampai sekarang. Lagi
pula,

beberapa filsuf berpendapat bahwa pengetahuan yang bersifat metafisis

tidaklah bisa diperoleh karena melampaui batas-batas pengetahuan manusia. Kata


metafisika pun jadi memperoleh makna yang bersifat konotatif.

Contoh:
Saya bertanya tentang apa hakekat dari realitas ini, inti dari realitas yang ada ini?
Hegel menjawab bahwa inti dari realitas adalah Roh Absolut. Spinoza akan
menjawab bahwa inti dari realitas adalah susbtansi.

36

Nah, Roh Absolut dan substansi adalah konsep yang tidak pernah bisa dilihat oleh
mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidup. Jadi, bagaimana kita bisa tahu kalau
konsep-konsep itu ada?

Bahkan, David Hume, seorang filsuf Inggris abad ke-17 berkata bahwa metafisika
haruslah dibuang ke dalam api. Bahkan, dewasa ini banyak filsuf yang berpendapat
bahwa metafisika tidak lebih dari suatu omong kosong belaka, terutama karena
banyak klaim-klaimnya tidak bisa verifikasi secara empiris.
Wittgenstein juga mengkritik seluruh tradisi filsafat barat, terutama para filsuf yang
merasa dirinya telah mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban yang
bermakna. Padahal, mereka berbicara dengan menggunakan bahasa-bahasa yang
tidak tepat. Ketidaktepatan itu membuat apa yang mereka katakan menjadi tidak
bermakna.

Bahkan, ia bertujuan untuk mengembalikan filsafat ke pertanyaan tentang


realitas sehari-hari dan lepas dari metafisika. Ini adalah ironi, yakni Hume dan
Wittgenstein hendak menghancurkan metafisika, tetapi mereka sendiri mengajukan
pertanyaan-pertanyaan filosofis yang bersifat metafisis. Lepas dari pada itu,
problematika tentang status metafisika tetaplah problem yang paling menarik dan
menantang di dalam filsafat.

Filsafat memiliki sejarah yang sangat panjang. Para filsuf yang hidup pada masa lalu
pun masih dibaca dan direfleksikan pemikiran-pemikirannya sehingga kita bisa
mengerti sumbangan apa yang telah mereka berikan dan memperbesar kemungkinan
mengkontekstualisasikannya untuk keadaan sekarang.

Proses membaca dan memahami para filsuf yang hidup pada masa lalu juga
memungkinkan kita mempunyai pandangan yang lebih luas tentang pertanyaanpertanyaan macam apakah yang biasanya menjadi pergulatan utama para filsuf
tersebut. Nah, setiap buku pengantar filsafat haruslah mencoba memberikan kepada
pembacanya suatu rasa historis, terutama perasaan bahwa kita terlibat aktif dalam
pergulatan-pergulatan intelektual para pemikir besar sepanjang jaman.

37

Sejarah filsafat mundur sekitar 2500 tahun yang lalu. Walaupun, aktivitas
berfilsafat itu sendiri berusia jauh lebih tua, bahkan setua peradaban manusia itu
sendiri. Memang, sampai saat ini belum ada penyelidikan lebih jauh tentang filsafat
sebelum 2500 tahun yang lalu. Alasannya jelas, keterbatasan sumber untuk menggali
apa yang terjadi, pada bidang filsafat tentunya, sebelum waktu itu. Sudah ada
beberapa buku di dalam berbahasa Indonesia yang membahas filsafat Yunani Kuno
dan abad pertengahan. Dan pada hemat saya, buku-buku itu cukuplah akurat dan
lugas.
Selanjutnya, Immanuel Kant berpendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui
benda-benda sebagai penampakan, yakni benda yang ada di dalam intuisi apriori
ruang dan waktu. Benda pada dirinya sendiri haruslah diandaikan saja, tetapi tidak
bisa diketahui. (Kant, 1791). Di abad ke-20, A.J Ayer terkenal sebagai filsuf yang
melakukan revolusi atas metafisika. Di dalam bukunya yang berjudul Language,
Truth, and Logic, ia berpendapat bahwa argumentasi di dalam metafisika tidaklah
bermakna. Hampir sepanjang abad ke-20, universitas-universitas di Inggris telah
meninggalkan tema-tema metafisika. Akan tetapi, pada awal abad ke-21, minat
terhadap metafisika tampak kembali bertumbuh di Inggris.
Popper di dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery berpendapat
bahwa argumentasi di dalam metafisika bukanlah tidak bermakna, melainkan
argumennya tidak dapat diuji, dan dibuktikan salah, atau difalsifikasi. Dengan kata
lain, tidak ada satu pun pengamatan empiris yang dapat membuktikan secara akurat
kesahihan argumentasi-argumentasi metafisika. Lagi pula, biasanya metafisika
mengajukan argumen tentang alam semesta ataupun tentang realitas sebagai
keseluruhan. Argumen-argumen tersebut memang masuk akal, tetapi tidak dapat
diverifikasi secara empiris.

Jadi, metafisika tidak dapat dibuktikan benar secara akurat, sekaligus tidak ada satu
pun argumen yang bisa begitu saja menyatakan bahwa metafisika tidaklah bermakna.
Inilah yang disebut sebagai sifat nisbi metafisika.

4.3 Etika
Pada bagian ini, kita memasuki salah satu dari tiga bidang filsafat, seperti yang
telah dijabarkan pada bab pertama, yakni filsafat praktis, atau etika. Walaupun
argumentasi yang dijabarkan tampak abstrak, tetapi isu yang dibicarakan sangatlah
dekat dengan kehidupan kita, terutama karena refleksinya berkaitan dengan

38

tindakan yang memiliki orientasi praktis. Salah satu pembedaan yang pertama-tama
harus dibuat adalah pembedaan antara tindakan di level personal di satu sisi dan
tindakan di level publik di sisi lain. Dan seperti pembedaan konseptual lainnya di
dalam filsafat, pembedaan ini pun tidak tegas dan jelas begitu saja tanpa penjelasan.

Seringkali, pembedaan konseptual berfungsi untuk mempermudah penalaran,


sehingga apa yang ingin disampaikan dapat sungguh dimengerti secara jelas. Akan
tetapi, pembedaan tersebut--terutama di dalam realitas sehari-hari--seringkali
melebur dan tidak tampak.

Di dalam realitas, tindakan personal seringkali memiliki dampak yang bersifat


publik. Tindakan publik pun dilakukan oleh seorang individu yang memiliki
dorongan-dorongan personal.

Jadi, filsafat moral lebih berkaitan dengan tindakan personal daripada dengan
tindakan publik. Sementara itu, tindakan yang bersifat publik lebih berkaitan dengan
filsafat politik yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

Tentu saja, kita dapat membedakan tindakan mana yang bermoral, dan
tindakan mana yang tidak. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa kriteria untuk
membedakan kedua tindakan itu sudah selalu jelas dan pasti. Beberapa filsuf bahkan
berpendapat bahwa kriteria yang jelas dan terpilah semacam itu tidaklah ada karena
moralitas seringkali bersifat subyektif. Refleksi tentang aspek subyektif dari moral ini
pun juga ada beberapa versi. Seringkali, pertimbangan-pertimbangan moral yang
diambil oleh seseorang dilawankan dengan pertimbangan egois yang dianggap
bukanlah suatu pertimbangan moral. Akan tetapi, saya sendiri berpendapat bahwa
kita tidak pernah bisa lepas dari kepentingan diri di dalam semua tindakan kita,
termasuk di dalam bertindak moral. Memang, ada perbedaan tegas antara
kepentingan diri dan egoisme. Perbedaan ini akan diolah juga pada bab ini. Yang
jelas, jika bertindak dengan kepentingan diri dianggap bukan sebagai tindakan moral
dan manusia tidak mampu lepas dari kepentingan dirinya maka moralitas pada
dirinya sendiri pun menjadi tidak relevan.

Satu-satunya cara adalah moralitas harus memberikan ruang bagi kepentingan diri.
Pertanyaan berikutnya adalah mampukah kita merumuskan suatu moralitas yang

39

menampung kepentingan diri manusia, sekaligus menolak egoisme etis?

Memang, di dalam hidup sehari-hari kita begitu mudah mengatakan bahwa


suatu tindakan itu baik dan tindakan lainnya tidaklah baik. Akan tetapi, di dalam
filsafat moral atau etika, definisi konsep baik pun menjadi demikian problematis,
sehingga kita tidak bisa lagi dengan mudah begitu saja menyebut suatu tindakan
sebagai baik dan tindakan lainnya tidak. Dengan kata lain, kita tidak bisa secara
mudah mengetahui arti obyektif dari kata baik. Dari permasalahan inilah nanti
muncul suatu permasalahan epistemologis yang mendasar, yakni apakah kita dapat
menarik dimensi normatif tentang sesuatu dari dimensi deskriptifnya? Dapatkah kita
menarik nilai-nilai tertentu dari fakta yang ada? Dapatkah kita menarik apa yang
seharusnya dari apa adanya? Di dalam filsafat moral, semua argumen untuk
menjelaskan suatu tindakan sebagai bermoral atau tidak haruslah rasional. Tentu
saja, dengan berkata seperti itu, masalahnya tidak langsung terselesaikan.
Problematika tentang relasi antara moralitas dan rasionalitas serta sejauh mana
rasionalitas dapat menjadi fondasi kuat bagi moralitas juga harus direfleksikan lebih
jauh.

Rasio manusia mampu memberikan argumentasi yang mendasar tentang cara untuk
mencapai suatu tujuan. Tetapi, apakah rasio manusia mampu mendefinisikan secara
pasti tujuan itu sendiri? Di dalam sejarah filsafat, beberapa filsuf berpendapat bahwa
tujuan terakhir manusia adalah mencapai kebahagiaan. Dan tindakan yang benar
secara moral adalah tindakan yang dapat membuat manusia mencapai kebahagiaan
yang lebih besar.

Teori semacam ini disebut juga sebagai utilitarianisme. Argumen dasar dari
teori ini berseberangan dengan teori etika Kantian yang sangat menekankan
kewajiban dan rasionalitas dan bukan pada kebahagiaan. Problem yang harus kita
hadapi adalah manakah dari antara dua teori etika ini yang lebih memadai untuk
dipakai sebagai panduan untuk hidup bermoral? Ada teori etika ketiga, yakni yang
banyak dikenal sebagai etika keutamaan. Inti dari teori ini adalah bagaimana
menjadi orang yang sungguh-sungguh memiliki keutamaan dan bukan dalam proses
penentuan tindakan manakah yang lebih benar dan bermoral dari tindakan lainnya.
Dengan kata lain, etika keutamaan lebih mau merumuskan karakter-karakter positif
macam apakah yang harus dikembangkan oleh seorang individu.

40

Tentang Pertimbangan Moral


Di dalam kehidupan sehari-hari, kita memang akrab dengan isu-isu moral
tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitar kita, seperti isu pornografi, isu
sikap anggota DPR, tanggung jawab etis para pebisnis. Akan tetapi, jarang sekali dan
mungkin tidak pernah, kita mendiskusikan isu-isu moral tersebut dalam kerangka
yang lebih filosofis, seperti dalam kerangka epistemologi dan metafisika.

Dengan kata lain, banyak orang mampu memberikan penilaian moral terhadap isuisu moral yang sedang terjadi, tetapi seringkali mereka tidak mampu mengevaluasi
secara kritis penilaian moral mereka sendiri terhadap isu-isu moral itu atau
menjelaskan mengapa mereka harus memberikan penilaian moral terhadap isu-isu
tersebut.

Banyak contoh-contoh yang bisa diberikan. Di level internasional, isu-isu


moral mengenai aborsi, eutanasia, diskriminasi rasial, tentang sanksi hukum banyak
menjadi tema perdebatan. Perdebatan-perdebatan ini terjadi di beberapa level.
Ambillah contoh tentang kasus aborsi.
Ada perdebatan tentang sejauh mana tindak aborsi boleh dibenarkan secara hukum.
Ada perdebatan tentang fasilitas macam apa, di mana didirikan, siapa yang
mengelola, jika aborsi dalam beberapa kasus spesifik, telah diperbolehkan secara
hukum. Lagi pula, ada perdebatan tentang dimanakah, dengan siapakah, wanita yang
sedang dalam kasus-kasus tertentu mampu meminta nasihat tentang hal ini.

Oleh karena itu, di dalam semua level perdebatan ini, pertimbanganpertimbangan moral memainkan peranan penting. Untuk saat ini, marilah kita
fokuskan soal aborsi ini dalam konteks keputusan yang bersifat individual. Seorang
wanita, yang hendak memutuskan apakah ia hendak melakukan aborsi atau tidak,
akan bertanya-bertanya seperti ini.

Apa akibatnya untuk saya dan orang-orang yang dekat dengan saya jika saya
melakukan atau tidak melakukan aborsi?
Apakah saya mempunyai hak untuk membunuh janin yang ada di dalam rahim saya
sekarang ini?

41

Bukankah janin yang ada di dalam rahim saya sekarang ini memiliki hak untuk
hidup? Apakah saya menginginkan bayi ini sebagai anak saya?
Jika saya menginginkan bayi ini, apakah saya mampu menghidupinya?
Dapatkah saya menjadi seorang ibu yang baik?

Jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan itu akan sangat


mempengaruhi keputusan tindakan yang akan diambil. Misalnya, jika ia melahirkan
bayi tersebut maka ia akan kehilangan pekerjaannya dan kehilangan kesempatan
untuk naik jabatannya. Kemungkinan juga, jika ia melahirkan bayi itu, ia akan
merusak

hubungannya

dengan

orang-orang

terdekatnya.

Pertimbangan-

pertimbangan semacam ini memberikan alasan kuat baginya untuk melakukan


aborsi. Di sisi lain, ia mungkin akan merasa bahwa dalam hal ini ia telah bersifat
egois karena hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Atau ia mungkin akan
merasa bahwa tidak masalah ia akan naik jabatan atau tidak karena yang penting ia
ingin memiliki bayi itu dan akan merasa menyesal jika tidak.

Nah, pertimbangan-pertimbangan semacam ini memberikan ia alasan kuat untuk


tidak melakukan aborsi. Ia akan merasa bahwa tidaklah adil, jika seorang bayi mati
sebelum dilahirkan. Di sisi lain, ia mungkin juga akan merasa bahwa ia memiliki hak
untuk melakukan apapun terhadap tubuhnya, termasuk membunuh janin yang ada
di dalam rahimnya.

Mungkin, jika ia hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri, ia akan


melakukan hal itu. Tetapi, jika ia mempertimbangkan kepentingan orang lain di
dalam keputusannya, ia akan melakukan tindakan yang berbeda dan ini sangat
tergantung dari pendapat orang-orang yang dipikirkan kepentingannya. Wanita itu
bisa mendeskripsikan aborsi dari dua sudut pandang yang berbeda.

Pertama, ia bisa melihat aborsi sebagai cara untuk menyingkirkan janin yang tidak
diinginkan dari dalam kandungannya maka layak dilakukan.
Kedua, sebaliknya, ia bisa melihat aborsi sebagai cara untuk menyingkirkan
kehidupan yang sama sekali tidak bersalah maka tidak boleh dilakukan.
Dari sudut pandang tertentu, aborsi akan tampak sebagai suatu jalan yang tepat dan

42

harus diambil.
Dari sudut pandang lainnya, aborsi adalah suatu tindakan yang sangat jahat.
Wanita itu pun mengalami kebingungan, keputusan apa yang harus ia ambil?

Apa yang dapat ditawarkan oleh filsafat moral terhadap orang yang sedang
mengalami dilema moral semacam itu?
Dapatkah filsafat moral memberikan suatu rekomendasi tindakan yang jelas bagi
orang-orang yang sedang berada pada situasi seperti yang dialami wanita itu diatas?

Saya sendiri berpendapat bahwa filsafat moral dapat memberikan suatu cara
pandang tertentu yang nantinya dapat menjadi fondasi rasional bagi apapun
keputusan yang akan diambil wanita tersebut. Dalam konteks ini, wanita tersebut
melakukan refleksi filosofis pada level yang disebut Aristoteles sebagai level
kebijaksaan praktis dengan menggunakan penalaran praktis (practical reasoning).
Penalaran praktis semacam ini dapat membantu kita untuk sampai pada keputusan
akan tindakan yang belum mempertimbangkan aspek-aspek moral. Akan tetapi,
banyak filsuf berpendapat bahwa ada kaitan erat antara pertimbangan praktis
tersebut dengan moralitas. Sementara, beberapa filsuf lainnya berpendapat bahwa
penalaran praktis dapat melulu diperoleh dari rasionalitas dan bisa sungguh terlepas
dari moralitas.
Subyektivisme Etis (ethical subjectivism)
Secara umum, moralitas adalah soal memilih tindakan manakah yang benar
untuk dilakukan, atau tentang bagaimana menjadi orang yang baik. Akan tetapi, di
dalam realitas orang yang berbeda memiliki konsep yang juga berbeda tentang apa
itu yang benar dan apa itu yang baik. Orang yang satu akan sampai pada kesimpulan
yang satu dan orang yang lain akan sampai pada kesimpulan yang lain. Setiap orang
punya tolok ukurnya sendiri tentang apa yang benar dan apa yang salah. Nah, isu-isu
filosofis di dalam moralitas muncul karena banyak orang banyak tidak sependapat
mengenai soal ini.
Salah satu argumen yang digunakan untuk menjawab soal ini adalah bahwa
setiap penilaian moral selalu bersifat subyektif, pandangan orang tentang apa yang

43

baik, apa yang buruk sehingga tidak mungkin mengatakan mana yang lebih tepat dan
mana yang kurang tepat. Nah, orang-orang yang menganut pandangan semacam ini
sebenarnya menganut salah satu teori di antara sekian banyak teori filsafat moral,
yakni teori subyektivisme etis. Argumen intinya begini, ketika orang membuat
penilaian moral maka yang sebenarnya adalah bahwa ia menyatakan apa yang
disetujuinya dan apa yang tidak disetujuinya.

Jika seseorang berkata, makan daging adalah sesuatu yang salah, menurut teori ini,
orang itu berkata bahwa ia tidak setuju dengan tindakan memakan daging.
Demikian pula, jika ada yang berkata bahwa homoseksualitas adalah salah, maka
sebenarnya ia ingin berkata bahwa saya tidak setuju dengan tindakan
homoseksualitas.i

Kritik terhadap Subyektivisme Etis


Setidaknya, ada dua kritik yang dapat diajukan terhadap pandangan ini. Yang
pertama adalah bahwa teori ini dirumuskan berdasarkan pengandaian bahwa kita
tidak dapat salah (infallible) ketika kita membuat penilaian moral. Artinya, kita tidak
dapat salah ketika kita mengekspresikan apa yang menjadi kesukaan kita, dan apa
yang tidak kita sukai. Jika saya berkata, saya suka nasi goreng maka karena saya
adalah orang yang paling tahu tentang apa yang paling menjadi kesukaan saya maka
pernyataan saya pastilah benar. Nah, jika benar bahwa penilaian moral adalah
subyektif dalam arti seperti ini maka tesis ini dapat juga berlaku untuk hal-hal
lainnya, seperti mengambil uang dari orang lain adalah salah, atau membantu
orang yang tidak mampu adalah baik.

Intinya, ketika pernyataan ini secara jujur disampaikan, setiap pernyataan itu adalah
penggambaran dari apa yang saya rasakan dan saya adalah orang yang paling tahu
tentang apa yang saya rasakan maka saya pastilah benar.

Masalahnya adalah bahwa penilaian moral tidak selalu berkaitan dengan apa
yang saya sukai dan apa yang saya setujui. Dengan kata lain, kita tidak selalu yakin
bahwa argumen kita adalah yang paling benar, terutama ketika sedang berhadapan
dengan kasus-kasus moral aktual yang terjadi di depan mata kita. Yang kedua, di
dalam realitas orang tidak pernah sungguh-sungguh tidak setuju, bahkan ketika
tampaknya mereka membuat argumen yang sepenuhnya bertentangan.

44

Jika Anda berkata bahwa homoseksualitas adalah tindakan yang salah dan saya
berkata, homoseksualitas tidaklah salah maka sebenarnya kita tidak sepenuhnya
berbeda pendapat. Karena, apa yang Anda katakan adalah bahwa Anda tidak setuju
dengan homoseksualitas dan apa yang saya katakan adalah bahwa saya tidak tidak
menyetujui homoseksualitas.
Karena, kita berbicara tentang dua hal yang berbeda, yakni dengan berdasarkan
dorongan subyektif kita tentang apa yang kita setujui dan tidak setujui, kita tidak
sepenuhnya berbeda pendapat. Untuk dapat saling mengkritik, suatu pernyataan
haruslah tidak berdasarkan pada dorongan subyektif belaka.

Jika

kita

perhatikan

sungguh-sungguh,

teori

subyektivisme

etis

memiliki

konsekuensi yang langsung mengarah pada relativisme etis, di mana semua nilai
menjadi relatif, dan tidak ada tolok ukur universal untuk menguji suatu penilaian
moral. Apakah kita siap, ketika semua orang berlaku sesuai dengan pertimbanganpertimbangan subyektifnya belaka dan merasa bahwa apa yang mereka lakukan
dapat dibenarkan?
Tentang Emotivisme
Dengan kritik-kritik yang telah diajukan di atas, teori etika subyektivisme etis
tidak otomatis hancur, melainkan mengembangkan dirinya menjadi teori etika
emotivisme. Menurut teori ini, suatu penilaian moral sebenarnya bukanlah sebuah
pernyataan sama sekali. Dengan demikian, pernyataan homoseksualitas itu salah
janganlah dilihat sebagai sebuah klaim, dan juga bukan klaim saya tidak menyetujui
homoseksualitas. Melalui pernyataan ini, seseorang sebenarnya ingin berkata
Homoseksualitas harus dimusnahkan! Dengan kata lain, suatu penilaian moral
sebenarnya adalah suatu ekspresi dari sikap. Nah, suatu tindak mengekspresikan
sikap sama sekali tidak bisa dikatakan benar atau salah.
Karena penilaian moralku bukanlah sebuah pernyataan atas apapun, bahkan
fakta tentang diriku maka penilaian moralku tidak bisa dikatakan tidak salah atau
benar. Ketika saya menyatakan bahwa sesuatu itu salah dan orang menyatakan
sebaliknya maka jelas bahwa kita sedang berbeda pendapat karena kita memiliki
sikap yang berbeda. Dengan demikian, emotivisme sebenarnya dapat lolos dari dua
kritik yang diajukan sebelumnya terhadap subyektivisme etis.

Lalu, dapatkah

45

emotivisme merangsang suatu diskusi yang rasional? Jika penilaian moral kita
bukanlah suatu pernyataan, melainkan hanyalah suatu ekspresi sikap maka kita tidak
dapat menjadikan penilaian moral tersebut sebagai suatu tema di dalam diskusi yang
rasional. Paling maksimal, diskusi yang rasional tersebut dapat membantu seseorang
untuk membujuk orang lain agar menyetujui sikapnya tersebut karena ada
pengandaian bahwa sikap dapat diubah melalui argumentasi yang rasional. Akan
tetapi, tidak semua diskusi yang bertujuan untuk membujuk pihak lain selalu
dibangun di atas landasan yang rasional.

Begitu pula dengan diskusi tentang moralitas, seperti ketika dua orang yang berbeda
mendiskusikan sikap mereka terhadap suatu lagu pop terbaru yang baru saja mereka
dengar. Yang satu menyukai lirik dari lagu tersebut. Sementara, yang lain
berpendapat bahwa lirik lagu itu kampungan dan ia lebih menyukai permainan
gitarnya. Di sini, apa yang menjadi alasan bagi sikap seseorang untuk menyukai lagu
tersebut justru bisa menjadi suatu kualitas yang paling dibenci oleh orang lainnya.
Sikap yang berbeda ini tidak mungkin didamaikan.

Diskusi rasional, dalam konteks emotivisme, lebih bertujuan untuk mengubah


sikap orang lain dan bukan untuk sampai pada kebenaran. Suatu argumentasi moral
haruslah merupakan suatu alasan yang bagus yang menjadi landasan bagi suatu
penilaian moral. Prosesnya adalah dengan menunjukkan bahwa argumen tersebut
disusun berdasarkan premis-premis yang koheren dan kesimpulan dari premis
tersebut adalah sesuatu yang masuk akal yang diturunkan dari premis yang ada.
Akan tetapi, emotivisme menolak penggunaan argumentasi rasional semacam ini.
Jika tujuannya adalah membujuk orang lain untuk mengambil sikap yang serupa
dengan kita maka yang harus digunakan adalah persuasi atau retorika. Dengan
persuasi, orang dapat dibujuk untuk mempercayai suatu argumentasi walaupun
argumentasi tersebut tidaklah koheren dengan premis-premisnya. Menurut
emotivisme, argumentasi yang tidak koheren ternyata dapat mengubah sikap
seseorang maka argumentasi itu sebenarnya sudahlah cukup karena yang ingin
dicapai bukanlah kebenaran obyektif sehingga validitas dan keketatan logika tidaklah
relevan disini.
Keterbatasan Ruang Lingkup Penilaian Moral
Ketika seseorang mengatakan bahwa penilaian moral adalah sesuatu yang

46

subyektif maka sebenarnya mereka sedang memikirkan suatu bentuk partikular dari
penilaian moral, dan kemudian menggeneralisasikannya untuk semua bentuk
penilaian moral lainnya. Salah satu bentuk kesalahpahaman disini adalah tentang
hakekat dari konsep ketidaksetujuan (disagreement) tentang penilaian moral
terhadap suatu tindakan. Marilah kita ambil sebuah contoh. Beberapa orang percaya
bahwa menggunakan alat kontrasepsi ketika berhubungan seks atau berhubungan
seks di luar relasi pernikahan adalah suatu tindakan yang salah. Sementara, beberapa
orang lainnya berpendapat bahwa hal tersebut sangat tergantung dari pertimbangan
pribadi orang yang bersangkutan.

Nah, jika kita berkata bahwa melakukan hubungan seks di luar nikah adalah suatu
tindakan yang salah maka pada saat itu kita sedang membuat suatu klaim etis
(ethical claim). Sementara itu, jika kita membuat pernyataan bahwa hal tersebut
harus dikembalikan pada orang yang bersangkutan untuk membuat keputusan maka
kita sedang membuat sebuah klaim meta-etis (meta-ethical claim) karena masalah
apakah orang berhubungan seks atau tidak sebelum nikah sebenarnya bukanlah
sebuah masalah moral. Dengan kata lain, persoalan seks adalah persoalan yang
bersifat personal.

Akan tetapi, tidak semua tentang seks adalah suatu hal yang bersifat personal
dan subyektif. Suatu klaim meta-etis sangatlah dekat dengan klaim bahwa moralitas
adalah suatu urusan subyektif. Pada hemat saya, ketika seseorang mengatakan
bahwa semua penilaian moral adalah subyektif maka ia harus terlebih dahulu
bertanya tentang apakah ia sudah siap mengatakan bahwa seluruh penilaian moral,
dan bukan hanya suatu penilaian moral subyektif, adalah sesuatu yang subyektif?
Apakah pernyataan bahwa tindak menyiksa anak adalah suatu tindakan yang salah
merupakan suatu penilaian yang subyektif, yang sangat tergantung dari orang-orang
yang bersangkutan? Bahaya sekali jika jawabannya adalah ya.
Tentang Makna Kata Baik
Kita mungkin bertanya-tanya, apakah mungkin merumuskan suatu konsep
moralitas yang bersifat obyektif? Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan ini
adalah dengan menyelidiki apa yang sesungguhnya kita maksudkan ketika kita
mengatakan bahwa sesuatu itu baik.

47

Seperti ketika kita mengatakan bahwa pisau itu baik berarti pisau itu dapat
memotong dengan baik karena memotong adalah fungsi utama dari pisau itu. Hal
yang sama juga berlaku ketika kita menyatakan bahwa pena itu baik atau pun
seorang penari yang baik.

Jika X adalah suatu fungsi yang bersifat partikular maka ketika kita menyatakan
bahwa X adalah baik, pernyataan itu bisa berarti dua hal. Pertama, pernyataan itu
berarti menggambarkan fungsi dari X. Kedua, pernyataan itu mau mengatakan
bahwa jika X ingin berfungsi dengan baik maka X haruslah memiliki karakteristik
yang spesifik. Misalnya, sebuah pisau yang baik haruslah memiliki ketajaman,
sebuah pena yang baik haruslah memiliki keseimbangan tertentu ketika kita
menggunakannya.ii

Sangatlah mungkin bagi dua orang memberikan suatu penilaian baik dengan
berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan

pribadinya

sendiri,

seperti

pujian.

Misalnya, saya dapat memuji sebuah pisau karena ketumpulannya sehingga ketika
saya terkena pisau itu, saya tidak mengalami luka. Akan tetapi, saya tidak bisa
menyebutkan bahwa pisau itu adalah pisau yang baik. Lalu, bagaimana jika saya
memuji orang lain sebagai orang yang baik?
Menurut Aristoteles, setiap manusia memiliki kualitas khusus yang secara
hakiki membedakan ia dari mahluk hidup lainnya. Kualitas khusus ini adalah
kemampuan manusia untuk menggunakan akal budinya, baik secara teoritis maupun
secara praktis. Akan tetapi, pernyataan Aristoteles ini tetap tidak membantu kita
untuk memberikan definisi tentang apa yang dimaksud sebagai tindakan baik secara
moral. Manusia juga bisa melakukan hal-hal lainnya, seperti ketika ia membuat
lelucon, yang tidak memerlukan aktivitas akal budi teoris ataupun praktis, seperti
yang dikatakan oleh Aristoteles. Akan tetapi, fakta bahwa ia adalah seorang pelawak
yang baik sama sekali bukan tanda bahwa ia adalah orang yang baik secara moral.
Keutamaan yang baik juga bisa muncul ketika seseorang sungguh-sungguh
menghayati profesinya secara total, seperti seorang pembuat keramik yang mahir,
yang tentu saja tidak bisa dipastikan bahwa ia baik secara moral.
Guru yang baik, musisi yang baik, direktur yang baik dan semua orang yang memiliki
peran tertentu di dalam masyarakat dapat juga dikatakan baik secara fungsional
tetapi belum tentu baik secara moral.

48

Apakah Orang yang Baik Adalah Orang yang Maju Kehidupannya?


Jika yang kita sebut maju adalah suatu pohon yang tumbuh subur dan
menghasilkan buah yang enak untuk dimakan maka tidak ada masalah yang muncul.
Akan tetapi, halnya tidak semudah itu ketika yang kita bicarakan adalah tentang
manusia. Ada banyak cara bagi manusia untuk menjalankan hidupnya sehingga ada
banyak cara juga mereka dapat dikatakan maju. Sesungguhnya, tidak ada kaitan yang
cukup jelas antara kemajuan kualitas kehidupan di satu sisi, dan kebaikan moral di
sisi lain.

Kemajuan kualitas kehidupan seseorang dapat dilihat dari kepemilikan materialnya,


jumlah keturunannya. Akan tetapi, tidak ada satupun dari semua kriteria ini yang
secara otomatis menunjukkan tingkat kebaikan moralnya.

Fakta dan Nilai


Upaya untuk mendefinisikan konsep baik tampak mengabaikan pembedaan
yang paling mendasar antara fakta (facts) di satu sisi, dan nilai (values) di sisi lain.
Fakta adalah suatu kejadian yang membuat suatu proposisi menjadi benar adanya.

Jika proposisi bahwa Dewi sedang mencium Bambang adalah benar maka itu adalah
fakta, yakni suatu kejadian yang membuat proposisi tersebut menjadi benar. Fakta
ini berkaitan dengan kejadian bahwa Dewi sedang mencium Bambang, yakni relasi
saling mencium di antara keduanya.

Sedangkan, proposisi bahwa Dewi telah menikah dengan Bambang haruslah disusun
oleh beragam variabel karena pernikahan sudah selalu melibatkan pihak-pihak yang
lebih luas daripada sekedar Dewi dan Bambang. Supaya pernikahan Dewi dan
Bambang bisa menjadi suatu proposisi sekaligus fakta yang benar, harus ada apa
yang disebut sebagai institusi pernikahan, harus ada upacara tertentu yang
dilaksanakan. Sehubungan dengan itu, kesemuanya selalu melibatkan orang-orang
lainnya. Sebaliknya,

jika ada perdebatan tentang status pernikahan Dewi dan

Bambang, maka perdebatan ini akan diselesaikan dengan mengacu pada fakta-fakta
yang ada.

Akan tetapi, jika ada perdebatan tentang apakah pernikahan itu adalah
sesuatu yang baik, perdebatan ini adalah perdebatan tentang nilai dan tidak bisa

49

diselesaikan begitu saja dengan fakta-fakta. Dengan kata lain, kita tidak bisa
memutuskan apakah pernikahan itu sesuatu yang baik atau tidak, sama dengan
seperti kita menyatakan bahwa Dewi telah menikah dengan Bambang. Lalu, apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai? Nilai merupakan suatu bentuk sikap
atau posisi kita terhadap suatu fakta, yakni apakah kita menyetujui atau tidak
menyetujui fakta tersebut. Dengan demikian, adalah mungkin bahwa ada dua orang
yang setuju dengan satu fakta tetapi tidak setuju dengan nilai yang harus diberikan
kepada fakta tersebut.
Seringkali dikatakan bahwa fakta bersifat obyektif. Sebaliknya, nilai bersifat
subyektif. Dikatakan juga bahwa kita menemukan fakta tetapi menciptakan nilainilai. Nilai juga tidak ditentukan oleh fakta. Orang yang berbeda dapat memiliki
sikap yang berbeda pada fakta yang sama sehingga dapat juga dikatakan bahwa kita
tidak dapat merumuskan suatu bentuk nilai begitu saja dari fakta yang ada. Akan
tetapi, pada hemat saya, pandangan ini pun tetap tidak terlalu meyakinkan.
Seperti sudah kita lihat pada bagian sebelumnya, terutama pada bagian
tentang pisau yang tajam, kita bisa menyebut suatu pisau sebagai pisau yang baik
dari fakta bahwa pisau itu tajam. Dari fakta ketajaman pisau, kita bisa menarik
kesimpulan bahwa pisau itu adalah pisau yang baik. Walaupun begitu, pisau adalah
sesuatu yang memiliki fungsi yang spesifik. Ketika kita berhadapan dengan sesuatu
yang tidak memiliki fungsi yang spesifik, kita akan mengalami ketidakjelasan dalam
proses membuat kesimpulan tentang nilai dari fakta yang ada.

Dalam kasus tentang nilai-nilai moral, ada problem besar ketika kita hendak
memutuskan apakah orang ini adalah orang yang baik atau bukan, terutama karena
tidak ada kesepakatan mendasar tentang fungsi dari manusia itu sendiri.iii

Apakah Proses Evolusi Manusia Dapat Menyediakan Suatu Nilai Moral?


Tidak diragukan lagi, proses perkembangan manusia selama ribuan dan
bahkan jutaan tahun telah mempengaruhi perilaku dasar manusia, termasuk perilaku
moralnya. Artinya, proses evolusi yang dialami manusia juga telah menentukan apa
yang disebut sebagai nilai-nilai moral (moral values) yang dimiliki manusia.

Misalnya, ada sebuah teori yang mengatakan bahwa bagi pria, upaya untuk
memaksimalkan kemungkinan gen-gennya dapat dilestarikan adalah dengan
melakukan hubungan-hubungan seksualitas di luar relasi keluarganya yang sah.

50

Apakah teori ini benar atau tidak bukanlah tujuan pembahasan saya disini. Yang
menarik adalah jika teori ini benar, perilaku melakukan hubungan seksualitas di luar
pernikahan adalah suatu perilaku yang akan diturunkan secara genetis ke seluruh
spesies manusia. Dengan kata lain, jika teori ini benar, semua pria pada akhirnya
akan menjadi seorang pelaku seks di luar pernikahan. Lalu, apakah dari fakta ini, kita
dapat mengatakan bahwa pria pelaku seks di luar pernikahan adalah seorang yang
baik?

Darwin telah mengatakan bahwa proses evolusi adalah proses adaptasi. Pihak
yang mampu beradaptasi adalah pihak yang akan selamat. Nah, jika para pria yang
melakukan seks di luar pernikahan adalah tipe pria yang selamat,

pria dengan

kualitas ini adalah pria yang paling bisa beradaptasi. Akan tetapi, saya pikir kita
harus lebih cermat mengartikan kata selamat. Kata ini bisa digunakan secara
deskriptif dalam arti yang terbaik yang pada akhirnya selamat. Akan tetapi,
faktanya, bukanlah tipe pria yang suka melakukan seks di luar perikahanlah yang
selamat, melainkan karakter melakukan seks di luar pernikahanlah yang selamat.
Kata selamat juga bisa diartikan di dalam arti yang kedua, yakni sebagai
sebuah pujian (commend). Dengan mengatakan bahwa ia adalah orang yang paling
bisa beradaptasi di dalam lapangan bola, kita sudah memberikan pujian terhadap
orang tersebut bahwa ia pandai bermain bola. Kegagalan membedakan dua arti dari
selamat inilah yang membuat para pendukung teori evolusi menyatakan bahwa
evolusi manusia menyediakan nilai-nilai moral. Salah satu ilmu yang menggunakan
paradigma semacam ini adalah sosiobiologi, yakni ilmu yang bertujuan untuk
mendeskripsikan sekaligus menjelaskan perilaku manusia dengan konsep genetika
yang diwariskan dari orang tuanya. Akan tetapi, pada hemat saya, walaupun manusia
memang berusaha untuk tetap mempertahankan keberadaannya di muka bumi ini
dengan berbagai cara tetapi mempertahankan diri itu bukanlah tujuan mendasar
manusia di dunia ini.
Mempertahankan keberadaan bukanlah satu-satunya tujuan manusia di muka
bumi ini. Jika kita berhubungan seks, hal itu kita lakukan sama sekali bukan untuk
mempertahankan keberlangsung spesies kita. Nah, moralitas selalu berkait dengan
kemampuan

kita

memaknai

keberadaan

kita

di

dunia

ini

dan

intensi

mempertahankan spesies bukanlah satu-satunya alasan untuk kita berbuat moral.


Konsekuensinya, teori evolusi tidak pernah bisa memberikan suatu kriteria penilaian
moral yang sudah jadi kepada kita.

51

Tentang Arti Obyektifitas


Kita harus lebih berhati-hati jika menggunakan kata-kata subyektif dan
obyektif. Dua kata ini, yakni subyektif dan obyektif sering digunakan untuk
menggambarkan suatu bentuk distingsi dan adalah penting bagi kita untuk sungguh
mengerti distingsi macam apakah yang dibuat. Marilah kita pertimbangkan ketiga
pernyataan berikut:
1.Toni beratnya 60 Kg.
2.Toni adalah orang yang murah hati.
3.Toni adalah guru favorit saya.
Nah, kita dapat mengklasifikasi setiap pernyataan diatas sebagai subyektif
atau obyektif dengan cara yang berbeda, dan setiap pengklasifikasian selalu memiliki
alasan yang juga berbeda-beda. Yang pertama, kita dapat mengatakan bahwa
pernyataan pertama adalah pernyataan yang obyektif, sementara pernyataan kedua
dan ketiga adalah pernyataan subyektif.

Alasannya jelas, berat badan Toni selalu dapat diukur dengan timbangan yang jelas
dan obyektif, sementara tingkat kemurahan hati Toni ataupun apakah ia adalah
seorang guru yang favorit atau tidak, tidak pernah dapat diukur dengan tolok ukur
yang jelas.

Yang kedua, pernyataan pertama dan pernyataan kedua adalah pernyataan obyektif,
sementara pernyataan ketiga adalah pernyataan subyektif.
\
Alasannya, kedua pernyataan pertama menyatakan sesuatu tentang kualitas atau
karakter yang ada pada Toni. Sementara, pernyataan ketiga adalah suatu pernyataan
tentang saya dan pikiran saya tentang Toni. Yang ketiga, semua pernyataan di atas
adalah pernyataan obyektif karena semuanya adalah fakta yang dapat menjadi
fondasi bagi suatu klaim nilai tertentu.

Nah, apa yang saya ingin katakan adalah jika ada obyektifitas di dalam suatu
penilaian moral, obyektifitas itu tidaklah sama dengan obyektifitas pada penilaianpenilaian lainnya, seperti Jakarta adalah ibu kota Indonesia, atau tembaga adalah

52

suatu jenis logam. Suatu penilaian moral, seperti bahwa Toni adalah orang yang
murah hati, tidak dapat langsung dianggap sebagai suatu penilaian subyektif dari
orang yang membuat penilaian.

Fakta bahwa ada perbedaan pendapat di dalam penilaian moral, seperti dalam kasus
apakah aborsi diperbolehkan atau tidak, bukanlah bahwa berarti penilaian moral
tidak mampu obyektif, tetapi karena argumen yang diajukan seringkali terlalu
simplistik atau terlalu umum untuk menyentuh kebenaran faktualnya. Memang,
pertanyaan tentang apakah penilaian moral mampu obyektif dan dalam arti apa
penilaian tersebut dapat dikatakan obyektif. Ini menjadi pernyataan utama di dalam
filsafat moral.

Egoisme Psikologis
Egoisme psikologis adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa kita,
manusia, selalu bertindak sesuai dengan kepentingan diri (self interest) kita dan
tidak mungkin bisa lepas dari kepentingan diri ini. Memang, orang bisa
membicarakan mengenai kepentingan orang lain dan bagaimana supaya kepentingan
orang lain tersebut dapat dicapai. Akan tetapi, intensi terdasar dari tindakan ini
adalah bahwa orang selalu melakukan apa yang mereka inginkan, apa yang menjadi
kepentingan diri mereka.
Orang bisa saja memberikan uang sebagai amal pada orang yang tidak
mampu. Akan tetapi, walaupun begitu, apa yang mereka lakukan untuk membantu
orang lain itu sebenarnya merupakan suatu tindakan yang didorong oleh
kepentingan diri mereka sendiri. Memang, pandangan ini terdengar sangat sinis.
Akan tetapi, pandangan ini dapat membongkar motif tersembunyi yang mendorong
semua tindakan yang kita lakukan.
Ada

banyak

contoh

yang

membenarkan

teori

ini.

Teori

ini

juga

memperkenalkan kita dengan argumen yang cukup unik, yakni bahwa orang
mendapatkan kenikmatan tertentu ketika ia bersikap baik pada orang lain. Inilah
alasan utama bahwa mengapa orang suka bersikap baik kepada orang lain. Orang
menjadi sering membantu orang lain, walaupun tampaknya tidak akan ada balasan
dari orang yang dibantu itu. Balasannya adalah kenikmatan yang diperoleh oleh dari
tindakan membantu tersebut.
Jadi, sebenarnya teori ini mau berbicara apa? Teori ini membantu kita untuk
menyadari bahwa walaupun seseorang melakukan tindakan yang tampaknya tidak

53

mempedulikan kepentingannya sendiri, tetapi ia sebenarnya bertindak justru karena


didorong oleh kepentingan diri itu.

Nah, suatu tindakan tidak dapat disebut sebagai tindakan yang tidak egois
ketika orang yang melakukan tindakan itu mengharapkan imbalan dari orang yang
dibantunya atau ia mengharapkan akan mendapatkan kenikmatan tertentu dari
tindakannya tersebut. Akan tetapi, pada hemat saya, hal ini sama sekali tidak
menandakan bahwa tidak ada satupun tindakan manusia yang tidak bebas dari
kepentingan diri. Saya sendiri tidak punya argumentasi yang cukup kuat untuk hal
ini. Untuk hal ini, kita harus mengadakan suatu penelitian yang lebih mendalam
tentang motivasi yang paling mendasar apakah yang sesungguhnya mendorong
setiap

orang

untuk

melakukan

suatu

tindakan.

Penelitian

ini

haruslah

menggabungkan dua pendekatan, baik pendekatan empiris maupun pendekatan


filosofis.
Apakah Kepercayaan dan Hasratlah yang Mendorong Manusia untuk
Melakukan Suatu Tindakan?
Pada bagian ini, saya akan mencoba mempertimbangkan sisi kuat dari teori
egoisme psikologis, yakni bahwa tidak ada tindakan manusia yang sepenuhnya
terlepas dari kepentingan dirinya sendiri. Untuk memahami argumen ini, kita harus
memahami dulu motivasi terdasar yang mendorong setiap tindakan yang dilakukan
manusia. Berikut ini, saya akan ajukan beberapa contoh tindakan dan kemungkinan
penjelasan atas tindakan itu.

Saya membeli sebuah CD karena saya suka salah satu lagu yang terdapat di dalam CD
itu. Saya mempelajari suatu bahasa asing karena saya yakin bahwa hal tersebut
berguna. Pertama-tama haruslah disadari bahwa penjelasan ini tidaklah memadai.
Jika saya membeli sebuah CD, tidak mungkin saya hanya ingin mendengarkan satu
lagu di dalam CD itu. Saya juga diam-diam berharap bahwa lagu-lagu lain di dalam
CD itu juga punya kualitas yang serupa.

Artinya, kita dapat mengatakan bahwa setiap penjelasan atas suatu tindakan
haruslah memiliki setidaknya dua komponen, yakni komponen keyakinan (belief),
dan komponen keinginan (desire). Sesungguhnya, saya akan melakukan tindakan A
jika saya yakin bahwa tindakan A akan menghasilkan X dan X adalah hal yang saya

54

inginkan.

Selanjutnya, penggabungan antara keyakinan dan keinginan tidak hanya


menjelaskan suatu tindakan tetapi juga merupakan sebab dari suatu tindakan.
Penggabungan antara keyakinan dan keinginan menjelaskan suatu tindakan persis
karena penggabungan itu merupakan sebab dari tindakan manusia. Salah satu kritik
atas pandangan ini adalah bahwa tidak hanya keinginan yang digabungkan dengan
keyakinanlah yang menjadi alasan dari suatu tindakan.

Begini, ketika saya mengunjungi seorang teman yang sedang sakit di rumah sakit
maka tindakan tersebut tidak didorong oleh keinginan saya tetapi karena saya
merasa wajib mengunjunginya. Mungkin sekali, tindakan tersebut justru berlawanan
dengan keinginan saya.

Kritik ini sebenarnya bisa ditanggapi secara cukup lugas bahwa suatu tindakan
yang didasarkan oleh kewajiban tidak akan langsung membuat seseorang melakukan
suatu tindakan. Dengan kata lain, saya juga harus mempunyai keinginan untuk
melakukan apa yang wajib saya lakukan. Apapun dasar tindakan kita, baik itu
kewajiban atau bukan, kita harus memiliki keinginan untuk melakukannya atau
setidaknya terkait dengan apa yang ingin saya lakukan.

Teori egoisme psikologis dapat dirumuskan dengan cara yang cukup padat, yakni
ketika ada berbagai tindakan yang ingin saya pilih, saya memilih untuk melakukan
hal-hal selalu yang paling ingin saya lakukan.iv

Kritik terhadap Egoisme Psikologis


Ada beberapa hal yang kiranya bisa dikritik dari teori egoisme psikologis.
Pertama-tama, klaim bahwa setiap orang selalu bertindak seturut dengan apa yang
paling ingin ia lakukan tidak lagi merupakan sebuah hipotesis empiris yang bisa
dinilai benar atau salah. Hal ini haruslah dipandang sebagai kebenaran yang
diandaikan perlu terlebih dahulu (necessary truths) karena apa yang paling ingin
kita lakukan tidak dapat sepenuhnya ditentukan oleh apa yang secara aktual sedang
kita lakukan.

Begini, saya mungkin berpikir bahwa X adalah hal yang paling ingin saya lakukan.

55

Akan tetapi, jika akhirnya saya melakukan Y, maka Y juga sebenarnya bisa menjadi
hal yang paling ingin saya lakukan.

Yang kedua lebih merupakan kritik logis, yakni fakta bahwa kita selalu
melakukan hal yang paling kita inginkan tidak berarti kita selalu bertindak egois dan
tidak akan pernah bisa melakukan tindakan moral. Kesimpulan ini hanya berlaku,
jika kita mengandaikan bahwa kita dianggap bertindak egois bila kita melakukan hal
yang paling ingin kita lakukan. Memang, kepentingan diri seringkali bersifat egois,
tetapi tidak selalu. Jika saya memberikan semua uang saya untuk membantu orang
miskin, tindakan itu tidak dapat dikatakan sebagai tindakan egois, walaupun itu
adalah tindakan yang paling ingin saya lakukan.
Dalam arti ini bertindak sesuai dengan kepentingan diri tidaklah sama dengan
bertindak egois. Adalah juga penting bagi kita untuk membedakan antara melakukan
tindakan yang memiliki dampak baik bagi saya dan melakukan tindakan karena itu
memberikan dampak baik bagi saya. Mungkin, saya akan mendapatkan keuntungan
dengan bersikap baik kepada orang lain. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa
melakukan kebaikan pada orang untuk mendapatkan keuntungan itu. Memang, saya
mungkin menginginkan keuntungan ini, tetapi keinginan ini tidak menjadi alasan
utama yang mendorong saya melakukan tindakan.
Egoisme Etis
Jika egoisme psikologis mengatakan bahwa tindakan moral manusia tidak
mungkin karena setiap orang bertindak sesuai dengan kepentingan dirinya sendiri,
sehingga mereka tidak mungkin bertindak demi kepentingan orang lain. Sebaliknya,
egoisme etis mengatakan bahwa kepentingan diri jelas-jelas merupakan prinsip
utama yang mendorong manusia untuk bertindak. Paham ini menegaskan bahwa
mungkin saja kita bertindak tidak sesuai dengan kepentingan diri kita, tetapi dengan
begitu, kita sudah bertindak secara tidak tepat. Tidak seperti egoisme psikologis,
egoisme etis tidaklah mengatakan bahwa moralitas tidaklah mungkin.
Justru, egoisme etis mengklaim teorinya sebagai suatu rumusan moralitas.
Dengan kata lain, egoisme etis menyatakan bahwa bertindak sesuai dengan
kepentingan diri adalah suatu prinsip moral yang berlaku untuk semua orang. Orang
lain pun juga dianjurkan untuk selalu bertindak moral sesuai dengan kepentingan
diri mereka sendiri. Kesan saya, egoisme etis ini adalah suatu rumusan ajaran moral
yang sangat tidak biasa, di mana moralitas sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang

56

kosong. Dalam hati kita, kita selalu tahu bahwa moralitas yang sesungguhnya
haruslah lebih dari sekedar pengutamaan kepentingan diri.
Bagi beberapa filsuf di dalam sejarah filsafat Barat, egoisme etis tidak akan
pernah bisa menjadi suatu prinsip moral yang memadai. Kant, seorang filsuf Jerman
abad ke-18, pernah

berkata bahwa prinsip moral yang semata-mata hanya

didapatkan dari kepentingan diri akan mengalami inkonsistensi logis yang tidak akan
pernah bisa diterima oleh orang yang rasional. Pemikirannyalah yang akan kita bahas
pada bagian berikutnya.
Imperatif Kategoris Immanuel Kant

Menurut Immanuel Kant, manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang rasional
dan manusia bertindak dengan kehendaknya yang otonom dan bebas ketika
kehendaknya tersebut ditentukan oleh akal budi. Ketika manusia didominasi oleh
perasaan dan emosi, ia menjadi tidak otonom. Akal budilah yang memberi tahu
manusia apa yang harus ia lakukan. Oleh karena itu, suatu tindakan baru bisa disebut
bernilai secara moral jika tindakan tersebut sepenuhnya ditentukan oleh akal budi.

Bagi Kant, jika akal budi hendak menentukan tindakan-tindakan kita, kita
harus mengikuti prinsip-prinsip yang pada dirinya sendiri telah ditentukan oleh akal
budi. Bahkan, orang yang tidak bermoral pun sebenarnya dapat bertindak moral.
Jika seseorang bertindak seturut prinsip-prinsip, tetapi bukanlah prinsip-prinsip
yang murni diturunkan dari akal budi, yakni prinsip yang sudah pada dirinya sendiri
tercampur dengan perasaan dan emosi, ia sebenarnya tidak lagi menjadi rasional.
Dalam arti ini, yang rasional telah menjadi irasional.
Seperti yang sudah mulai kelihatan, Kant tidak melihat adanya konflik antara
kepentingan diri dan akal budi. Hal ini terjadi karena ia yakin bahwa pada
hakekatnya, manusia adalah rasional sehingga kepentingan diri pun sebenarnya
mengikuti apa yang dirumuskan oleh akal budi. Jika memang ada tindakan yang
melulu didorong oleh kepentingan diri, Kant mungkin akan menyatakan tindakan
tersebut sebagai tindakan yang tidak dilakukan secara otonom. Intinya, ketika orang
bertindak egois,

ia sebenarnya sedang ditentukan oleh emosi dan perasaannya.

Tindakan semacam ini, menurut Kant, sama sekali tidak mencerminkan kepentingan
diri yang rasional dari orang itu.

57

Imperatif Hipotetis dan Imperatif Kategoris


Marilah kita lihat bagaimana kita dapat sampai pada prinsip-prinsip moral
dengan menggunakan akal budi kita. Setiap tindakan, menurut Kant selalu didorong
oleh prinsip-prinsip moral atau apa yang disebutnya sebagai maksim. Prinsip-prinsip
dapat dianggap sebagai suatu imperatif atau suatu perintah. Nah, ia lalu
membedakan imperatif tersebut menjadi dua.
Yang pertama adalah imperatif hipotetis, yakni suatu perintah yang
mengatakan bahwa kita harus melakukan sesuatu demi tujuan di luar tindakan yang
kita lakukan tersebut. Jika kita ingin mendapatkan hasil X, kita harus melakukan
tindakan Y. Misalnya, jika Anda ingin berhasil di dalam ujian, Anda harus belajar
dengan rajin. Tindakan adalah suatu sarana bagi tujuan lainnya di luar tindakan itu.
Implikasinya, imperatif hipotetis tidak dapat memerintahkan kepada setiap orang
untuk melakukan suatu tindakan, tetapi hanya orang-orang yang melakukan suatu
tindakan tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pula di luar tindakan itu.
Misalnya, tidak semua orang dapat diperintah untuk belajar dengan rajin.
Hanya orang-orang yang ingin berhasil di dalam ujianlah yang dapat diperintah
untuk belajar dengan rajin. Menurut Kant, imperatif hipotetis tidaklah bisa menjadi
suatu prinsip moral karena bersifat partikular. Sementara, suatu prinsip moral
haruslah bersifat universal sehingga dapat diterapkan untuk semua orang.

Dengan kata lain, suatu prinsip moral yang memadai bukanlah imperatif hipotetis,
melainkan apa yang disebut Kant sebagai imperatif kategoris.

Tampaknya, ada banyak macam imperatif kategoris yang sangat tergantung


pada beragam prinsip moral. Walaupun begitu, Kant tampaknya hanya melihat ada
satu jenis imperatif kategoris yang dapat diformulasikan dengan beberapa cara yang
berbeda.

Imperatif kategoris adalah suatu panduan untuk menguji apakah suatu tindakan
dapat disebut bermoral atau tidak. Dengan kata lain, imperatif kategoris
menyediakan suatu alat penguji apakah suatu prinsip dapat menjadi prinsip moral
atau tidak.v

Jika suatu prinsip hendak dikatakan sebagai suatu prinsip moral, prinsip
tersebut haruslah mampu melewati pengujian yang dilakukan oleh imperatif

58

kategoris. Pertama, kita harus mengadaikan bahwa prinsip atau maksim, tindakan
kita dapat menjadi hukum universal, sehingga semua orang dapat bertindak sesuai
dengan prinsip tersebut. Dengan demikian, kita harus mengandaikan bahwa prinsip
yang kita gunakan dapat digunakan sebagai hukum universal yang berlaku bagi
siapapun seolah-olah tidak lagi ada alternatif. Jika suatu prinsip tidak berhasil
dijadikan suatu bentuk hukum universal, prinsip tersebut tidak dapat menjadi
prinsip moral.
Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah cukup rasional mengikat orang lain
dengan hukum semacam itu, padahal orang lain juga punya otonomi untuk
merumuskan hukumnya sendiri?
Pengandaian Universalitas
Marilah kita coba uji teori egoisme etis dengan rumusan yang telah dibuat oleh
Kant ini.

Seringkali, jika kita membuat janji terhadap orang lain akan suatu hal, biasanya
tindak membuat janji itu akan memberikan keuntungan pada kita. Jika kita ingin
meminjam uang,

kita harus berjanji akan mengembalikan uang yang akan kita

pinjam itu. Mungkin juga, janji yang kita berikan itu merupakan alasan palsu untuk
mendapatkan pinjaman. Dalam hal ini, kepentingan diri juga bisa terpenuhi jika
orang tidak menepati janji, terutama ketika ia menggunakan uang yang ia pinjam
untuk investasi dan tidak mengembalikannya. Oleh karena itu, prinsip yang
digunakan adalah, saya akan melanggar janji demi mencapai keuntungan yang
terbesar bagi saya.

Prinsip ini tidaklah cukup universal, terutama karena hanya berlaku bagi
orang yang melanggar janji tersebut. Jika menggunakan perspektif egoisme etis,
hukum universal yang ditawarkan adalah bahwa setiap orang haruslah melanggar
janji, jika kepentingan diri mereka dapat terjamin dengan melanggar janji tersebut.
Nah, prinsip semacam itu tidak akan pernah menjadi hukum universal. Ketika orang
membuat janji pada orang lain, ia mempunyai komitmen untuk menepati janji itu.
Dengan begitu, prinsip yang seharusnya menjadi hukum universal adalah
sekaligus membuat janji dan menepati janji itu. Dengan kata lain, orang haruslah
berkomitmen di dalam melakukan sesuatu.

59

Jika tindak melanggar janji menjadi suatu hukum universal yang dilakukan oleh
semua orang, janji tidak lagi menjadi berarti. Tidak ada lagi komitmen di dalam
menepati janji berarti janji tidak lebih dari omong kosong belaka.

Dengan demikian, prinsip moral di dalam egoisme etis tidak dapat menjadi
hukum univesal karena di dalamnya sudah selalu terkandung kontradiksi. Sekilas,
tindak mengikuti kepentingan diri adalah tidak rasional, karena keuntungan dari
tindakan ini hanya dapat diperoleh, jika orang lain tidak bertindak berdasarkan
kepentingan diri mereka sendiri. Artinya, saya mendapatkan keuntungan dari
bertindak melulu dengan pertimbangan kepentingan diri sendiri, ketika orang lain
tidak bertindak dengan kepentingan diri mereka sendiri.
Nah, ketika semua orang bertindak dengan kepentingan diri mereka masingmasing, maka keuntungan mungkin saja tidak akan diperoleh oleh siapapun. Dari ini
akan tampak tidak rasional, jika kita merumuskan suatu hukum universal moralitas,
di mana semua orang bertindak dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Prinsip
egoisme etis dapat dirumuskan begini, bertindaklah dengan menjadikan kepentingan
diri sebagai satu-satunya pertimbangan, dan abaikan kepentingan diri orang lain.
Nah, jika saya adalah satu-satunya orang di dunia ini yang hidup dengan prinsip
seperti itu, saya akan diuntungkan karena saya tidak perlu memikirkan kepentingan
orang lain dan masih mendapatkan bantuan dari orang lain yang memiliki karakter
membantu yang cukup tinggi.
Tetap saja, jika semua orang mengikuti kepentingannya sendiri-sendiri,
keuntungan bagi siapapun akan semakin sulit dipastikan. Oleh karena itu, saya rasa
hal ini akan disetujui oleh Kant, prinsip semacam ini tidaklah rasional dan tidak
dapat dijadikan sebagai hukum moral universal. Setidaknya, ada dua hal yang
kiranya perlu direfleksikan lebih jauh disini. Pertama, apakah argumentasi bahwa
kepentingan diri tidak akan dapat menjadi prinsip hukum universal di dalam
moralitas cukup memadai? Kedua, apakah penggunaan rasionalitas secara total
sungguh dapat sampai pada fondasi yang cukup kuat untuk merumuskan prinsip
moralitas, sekaligus mengkritik egoisme etis?
Tujuan Macam Apakah yang Dapat Dibenarkan secara Rasional?
Marilah kita mulai dengan pertanyaan pertama yang diajukan pada bagian
sebelumnya. Apa dasar argumennya, ketika kita menyatakan bahwa kepentingan diri
tidak akan pernah dapat secara memadai menjadi suatu prinsip moral yang

60

universal? Jika setiap orang menjadikan kepentingan diri sebagai satu-satunya


prinsip moral yang ia ikuti, saya pasti berada di dalam bahaya. Akan tetapi, apakah
ini irasional? Bukankah orang yang rasional juga memperjuangkan kepentingan
dirinya, walaupun ia perlu menghadapi resiko-resiko kerugian dari tindakannya
tersebut? Mungkin, penggunaan pertimbangan akal budi rasional akan menuntun
kita pada keputusan yang berbeda-beda sesuai dengan konteks keputusan kita.
Apakah ini berarti bahwa akal budi tidak memberikan jawaban yang sederhana yang
langsung dapat diterapkan begitu saja untuk semua orang? Pada hemat saya, Kant,
dengan teori imperatif kategorisnya, tidak akan setuju dengan cara ini. Baginya,
argumen ini berarti akal budi manusia telah dijajah oleh kepentingan diri atau akal
budi tidak lagi otonom dan bebas.
Kant menegaskan bahwa untuk menilai suatu prinsip moral, akal budi
haruslah otonom dan tidak dibebankan oleh apapun. Memang sangat sulit bagi kita
untuk mengajukan argumentasi yang cukup kuat yang mampu menjelaskan peran
kepentingan diri di dalam moralitas. Tampak tidak bijaksana jika kita menjadikan
kepentingan diri sebagai suatu prinsip moral universal. Akan tetapi, kepentingan diri
jelas-jelas memiliki peran yang sangat signifikan di dalam memotivasi tindakan
manusia. Kant tentu saja akan memandang kritik semacam ini secara sebelah mata
karena argumennya masih berbayang. Selanjutnya, apa sesungguhnya yang
dimaksud oleh Kant dengan rasional? Yang pasti, ia tidak setuju dengan suatu
tindakan yang dilakukan demi tujuan lain di luar tujuan itu disebut sebagai tindakan
yang rasional kecuali tujuan itu adalah tujuan yang murni rasional, di mana setiap
orang dapat setuju. Memang, banyak tujuan tindakan di dalam kehidupan manusia
yang tidak dapat dijustifikasi secara rasional, terutama tujuan-tujuan yang
dipengaruhi oleh emosi dan perasaan karena manusia yang rasional akan
mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat emosional dan
menggunakan perasaan.

Pada hakekatnya, moralitas bukanlah urusan akal budi semata, tetapi juga
melibatkan perasaan dan emosi. Orang yang murni selalu menggunakan akalnya
semata, yang mengesampingkan perasaan, dan emosi-emosinya justru bukanlah
orang yang bijaksana.

Kebaikan moral tertinggi hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang bijak, baik dari
segi emosinya, akal budinya, maupun perasaan-perasaannya.

61

Utilitarianisme
Apakah kita memiliki cara alternatif untuk menilai suatu prinsip moral di
samping cara-cara yang telah dipaparkan sebelumnya? Kant telah merumuskan
suatu filsafat moral yang didasarkan pada kewajiban. Oleh karena itu, filsafat
moralnya disebut juga sebagai etika deontologi.

Selanjutnya, kita akan membicarakan cara berpikir lain yang sering juga disebut
etika konsekuensialis (consequentsialist).

Daripada melihat suatu tindakan berdasarkan pandangan kewajiban, teori ini lebih
mempertimbangkan hasil (result) dari tindakan tersebut.vi Dengan kata lain, untuk
melihat benar atau tidaknya suatu tindakan, teori konsekuensialis melihat hasil dari
tindakan itu sebagai satu-satunya tolok ukur.

Nah, utilitarianisme adalah suatu contoh paling baik dari teori konsekuensialis
ini. Walaupun bukan perumus yang pertama, Jeremy Bentham yang pertama
mencoba menerapkan pandangan ini ke dalam filsafat moral. Yang menjadi dasar
dari utilitarianisme adalah prinsip utilitas. Di dalam Bab I buku An Introduction to
the Principles of Morals and Legislation, Bentham menjelaskan panjang lebar
tentang apa itu prinsip utilitas. Alam, demikian tulis Bentham, telah
menempatkan manusia dalam dua pengaruh dari dua dorongan purba, yakni
kenikmatan (pleasure) dan perasaan sakit (pain). Dengan dua dorongan itulah kita
menjelaskan apa yang kita lakukan dan apa yang harus kita lakukan.vii

Dari kutipan ini, setidaknya ada dua hal yang tampak. Pertama adalah bahwa
perasaan sakit dan kenikmatan menentukan apa yang kita lakukan. Dan kedua
adalah perasaan sakit dan kenikmatan menentukan apa yang seharusnya kita
lakukan.

Yang pertama adalah klaim psikologis (psychological claim) tentang motivasi


manusia (human motivation). Yang kedua adalah klaim tentang etika normatif
(normative ethics).

62

Penting untuk dicatat bahwa kedua klaim tersebut bersifat independen. Artinya, kita
dapat berkata bahwa orang harus melakukan hal-hal yang memperbesar
kenikmatannya dan memperkecil rasa sakitnya tanpa harus mempertimbangkan
bahwa hal ini sudah menjadi fakta yang mendorong tindakan orang tersebut.

Dan sebaliknya, fakta bahwa pertimbangan tentang rasa sakit dan kenikmatan telah
menjadi faktualitas perilaku manusia dapat dilepaskan dari tuntutan moral bahwa
manusia harus bertindak seperti itu.

Klaim psikologi lebih bersifat deskriptif, yakni menggambarkan apa yang


dialami oleh individu ketika ia memutuskan untuk bertindak sesuatu. Di sisi lain,
klaim etis lebih berkaitan dengan rasa sakit ataupun kenikmatan secara total yang
muncul dari suatu tindakan. Walaupun utilitarianisme yang dirumuskan Jeremy
Bentham banyak berbicara tentang rasa sakit dan kenikmatan, tetapi etikanya tetap
bersifat impersonal terhadap siapa yang mengalami rasa sakit ataupun kenikmatan
tersebut. Kenikmatan dan rasa sakit seseorang, demikian tulisnya, haruslah
dipandang sebagai kenikmatan dan rasa sakit yang juga sama dialami oleh orang
lain.viii
Filsuf lain yang juga banyak menulis tentang ini adalah John Stuart Mill.
Kebahagiaan yang ada di dalam konsepsi utilitarianisme, demikian tulisnya,
bukanlah kebahagiaan yang bersifat individual, tetapi kebahagiaan orang-orang
yang sebagai keseluruhan. utilitarianisme menuntut orang untuk menjadi imparsial
dan sebagai seorang pengamat yang netral.ixSebenarnya, paham egoisme etis
memiliki tesis yang kurang lebih serupa dengan utilitarianisme. Paham egoisme etis
berpendapat bahwa setiap orang haruslah berusaha memperbesar kenikmatannya
masing-masing dan mengurangi seminimal mungkin rasa sakit yang dialaminya.
Akan tetapi, dari perspektif utilitarianisme jika paham egoisme etis dilakukan,
kenikmatan yang tertinggi tidak akan pernah dapat dicapai dan rasa sakit tidak akan
dapat diminimalisir secara total. Dan, kesalahan terbesar di dalam egoisme etis
adalah bahwa paham ini tidak pernah mempertimbangkan orang lain di dalam
refleksinya.
Kelemahan Utilitarianisme
Ada beberapa kelemahan mendasar di dalam utilitarianisme. Sebelumnya, kita
sudah melihat bahwa filsafat moral Kant telah mampu memberikan alasan yang kuat

63

bagi tindak menepati janji. Ia melihat bahwa tindak menepati janji dapat
diuniversalkan menjadi hukum universal. Sementara itu, tindak melanggar janji
tidak akan pernah dapat diuniversalkan menjadi hukum moral universal. Di sisi lain,
seorang penganut utilitarianisme akan berpendapat bahwa melanggar janji adalah
suatu

tindakan

memaksimalkan

moral

yang

kenikmatan

harus
dan

dilakukan,

jika

meminimalisir

tindakan

itu

sakit.

Akan

rasa

mampu
tetapi,

pertimbangan utilitarianisme berbeda dengan pertimbangan egoisme etis, terutama


karena paham yang pertama mempertimbangkan orang lain di dalam refleksinya.
Mungkin saja, kerugian satu orang akan menjadi keuntungan bagi banyak orang
lainnya. Keuntungan yang didapat itu dapat membenarkan suatu tindakan yang
merugikan sedikit orang. Hal ini juga berlaku dalam kasus menepati atau melanggar
janji yang telah dipaparkan sebelumnya.
Apakah kesimpulan semacam ini bisa dipertanggungjawabkan? Mungkin saja,
teori utilitarianisme ini lebih realistis daripada teori-teori filsafat moral tradisional
lainnya. Yang terakhir ini, dapat dilihat dari pertimbangan utilitarianisme bahwa
yang menjadi tolok ukur adalah jumlah kenikmatan dan rasa sakit yang pada
akhirnya dirasakan. Argumen ini akan diolah pada bagian berikutnya. Pada saat ini,
saya ingin memaparkan beberapa perkembangan argumen di dalam utilitarianisme,
terutama

untuk

menyoroti

beberapa

kasus

yang

lebih

rumit.

Dalam

perkembangannya, utilitarianisme semakin memberikan perhatian atas akibat


langsung

(direct

consequences)

maupun

akibat

tidak

langsung

(indirect

consequences) dari suatu tindakan, misalnya dalam soal melanggar atau menepati
janji. Efek langsung dari tindak melanggar janji adalah orang yang bersangkutan
tidak lagi akan mempercayai saya pada masa depan. Ketidakpercayaan ini tentunya
membawa akibat lebih jauh. Secara umum, tindak memberikan janji itu pun pada
akhirnya tidak lagi menjadi berarti dan ini tentunya membawa akibat tersendiri.
Akibat tidak langsung ini dapat juga disebut sebagai akibat dari akibat
(consequences of consequences). Akan tetapi, bahkan jika akibat tidak langsung ini
justru memperkecil kenikmatan dan memperbesar penderitaan, kita juga belum bisa
pasti apakah keputusan awal harus diubah atau tidak. Walaupun begitu, akibat tidak
langsung ini tetaplah tidak boleh diabaikan begitu saja. Pertimbangan atas akibat
tidak langsung ini memungkinkan terjadinya perdamaian antara etika-etika
normatif yang lebih konvensional dan utilitarianisme.

Tentu saja, seorang Immanuel Kant, dengan teori etika deontologinya, tidak akan

64

puas dengan pertimbangan akibat tidak langsung ini, terutama karena utilitarianisme
memberikan jawaban yang tepat (right answer), tetapi dengan alasan yang salah
(wrong reason). Mungkin, dengan mempertimbangkan akibat tidak langsung,
seorang utilitaris akan memilih untuk menepati janjinya.

Akan tetapi, menurut seorang Kantian, alasan itu tidaklah memadai sebagai
fondasi untuk menepati janji. Tentu saja, dari sudut pandang etika deontologi, orang
menepati janji karena janji adalah sebuah komitmen dan orang harus menghormati
komitmen apapun konsekuensinya. Walaupun begitu, seorang deontologis juga harus
mempertimbangkan bahwa ada beberapa situasi dan akibat-akibatnya tidak dapat
dihindarkan dan memaksa kita untuk melepaskan komitmen awal kita demi
komitmen yang lebih tinggi, misalnya komitmen pada kemanusiaan. Seorang
utilitaris mungkin tidak akan menerima kritik semacam itu karena argumen di atas
hanyalah datang dari satu sisi saja. Bahkan jika kita mempertimbangkan hanya
akibat langsung yang bersifat jangka pendek saja, jelaslah tindak menepati janji juga
memberikan kenikmatan lebih besar daripada melanggar janji. Tindak menepati janji
layak dilakukan, apapun pertimbangannya, baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Menurut etika utilitarianisme, tindak mengurangi penderitaan selalu lebih
penting daripada tindak menepati janji, karena komitmen mengurangi penderitaan,
terutama dari sudut pandang Kantianisme, lebih besar daripada komitmen menepati
janji.x
Tentang Keadilan
Di dalam perkembangannya, etika utilitarianisme telah mendapatkan banyak
kritik. Kritik tersebut berfokus pada problematika keadilan. Memang, utilitarianisme
tidak bisa langsung memberikan solusi matang tentang apa itu yang baik dan apa itu
yang salah. Beberapa tindakan memang dapat memperbesar kenikmatan, dan
beberapa lainnya tidak. Setiap tindakan harus sungguh-sungguh dipertimbangkan
berdasarkan konteksnya. Memang, ada beberapa prinsip universal yang bisa
digunakan, tetapi prinsip-prinsip tersebut tetap harus disesuaikan dengan kondisi
partikular. Nah, dari perspektif utilitarianisme, pertimbangan keadilan memang agak
dikesampingkan. Terlaksana atau tidaknya keadilan sangat tergantung pada akibatakibat dari tindakan yang dilakukan.

Misalnya, terjadi pembunuhan yang berbau rasial di suatu daerah. Pembunuhan itu

65

memicu kerusuhan dan keresahan sosial di antara masyarakat sekitar. Polisi


menangkap seseorang yang dianggap tersangka, walaupun sebenarnya orang itu
tidak bersalah. Walaupun begitu, keresahan sosial dapat diredakan karena polisi
berhasil menangkap orang yang bertanggungjawab. Jika tidak ada tersangka,
mungkin saja keresahan masyarakat bisa berubah menjadi kerusuhan sosial yang
memakan banyak korban. Dalam situasi ini, seorang utilitaris akan berpendapat
bahwa sebaiknya tersangka tersebut, walaupun tak bersalah, haruslah ditahan dan
dituntut. Akibat jangka panjangnya, masyarakat akan semakin tidak percaya
terhadap polisi karena polisi tidak bisa menjamin keadilan. Akibat jangka pendeknya
adalah terjadinya kerusuhan sosial, akibat ketidakpuasan masyarakat. Oleh karena
itu, menurut utilitarianisme, tindakan menangkap tersangka dan mengurungnya,
walaupun tidak adil, itu adalah tindakan yang benar untuk dilakukan. Tentu saja,
argumen ini akan langsung bertentangan dengan etika tradisional yang lebih
konvensional. Etika tradisional lebih melihat keadilan sebagai sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar apalagi dikorbankan demi akibat-akibat jangka pendek.

Makna Sesungguhnya dari Kebahagiaan


Dalam tegangan antara utilitarianisme dan etika yang lebih tradisional, kita
mungkin bertanya-tanya seperti di bawah ini.

Seberapa pentingkah kita meningkatkan kenikmatan dan mengurangi rasa sakit?


Apakah ini adalah kriteria satu-satunya yang dapat kita pakai untuk mengatakan
apakah suatu tindakan tepat atau tidak? Apakah kita menghargai kenikmatan sebagai
nilai yang paling tinggi diatas semua nilai lainnya? Apakah peningkatan kenikmatan
dan pengurangan penderitaan adalah tujuan tertinggi dari moralitas?

Secara intuitif, kita bisa langsung mengatakan tidak pada hampir semua pertanyaan
di atas. Sampai saat ini, kita sudah melihat bahwa utilitarianisme selalu terkait
dengan dua konsep, yakni antara kenikmatan di satu sisi dan penderitaan di sisi lain.
Jeremy Bentham juga menggunakan dua konsep ini di dalam tulisannya. Makna
kedua kata ini pun juga cukup jelas. Akan tetapi, di dalam beberapa tulisannya, John
Stuart Mill memperkenalkan suatu konsep kebahagiaan dalam arti yang lebih luas.

Jika mau dikatakan secara sloganistik, prinsip dasar utilitarianisme adalah


kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin pihak. Dalam arti ini, konsep

66

kebahagiaan digunakan untuk menggantikan konsep meningkatkan kenikmatan dan


mengurangi rasa sakit. Orang yang mengalami rasa sakit mungkin tidak mengalami
kenikmatan, tetapi mungkin saja ia dapat merasakan kebahagiaan.

Yang lebih penting, klaim bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan


lebih dapat diterima daripada klaim bahwa semua orang menginginkan kenikmatan.
Kadang-kadang, kita rela mengalami penderitaan demi mencapai suatu tujuan
tertentu, tujuan yang membuat kita merasa lebih bahagia, walaupun seringkali tidak
berhubungan dengan kenikmatan.

Contoh:
Orang-orang yang sengaja tidak banyak bersosialisasi sehingga dapat belajar dan
berhasil di dalam ujiannya atau orang yang hidup hemat untuk bisa menabung dan
membeli apa yang diinginkannya pada masa depan.

Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada semua kasus. Kenikmatan dan juga rasa
sakit adalah sebuah sensasi (sensation) dan orang seringkali mengabaikan akibat
jangka panjang dari sensasi. Mereka hanya ingin sekedar merasakannya. Oleh karena
itu, lebih baik kita berbicara tentang kebahagiaan daripada tentang kenikmatan
ataupun rasa sakit karena orang yang memilih untuk tidak menonton bioskop dan
pergi bersama kekasihnya untuk belajar, menganggap lulus ujian adalah kebahagiaan
yang lebih besar daripada pergi bersama kekasihnya. Walaupun untuk lulus, ia harus
berjuang dan menderita terlebih dahulu.
Jelaslah,

semua orang menginginkan kebahagiaan, namun apa itu

kebahagiaan tetaplah diartikan berbeda-beda oleh setiap orang dan

apa yang

membuat bahagia justru bisa sangat berbeda. Selanjutnya, jika satu hal bisa
membuat satu orang lain bahagia dan hal lainnya bisa membuat orang lain bahagia,
bagaimana kita bisa tahu apa yang harus dilakukan untuk memaksimalkan
kebahagiaan? Yang pasti, kita tidak bisa menjamin bahwa satu hal yang dapat
membuat satu orang bahagia juga dapat membuat semua orang merasa bahagia.
Dalam konteks inilah, utilitarianisme mengalami perkembangan menjadi utilitarisme
pilihan (preference utilitarianism). Utilitarisme pilihan sebenarnya memiliki tujuan
yang sama dengan utilitarisme klasik, yakni memaksimalkan kebahagiaan. Akan
tetapi,

konsepsi

kebahagiaan

yang

digunakan

memiliki

perbedaan,

yakni

kebahagiaan sebagai pemuasaan dari hasrat-hasrat (desires).

67

Kadang-kadang, apa yang menjadi hasrat ataupun keinginan saya adalah


mendapatkan sedikit kenikmatan. Kadang-kadang, apa yang menjadi keinginan saya
adalah pencapaian dalam bidang-bidang tertentu, seperti mendapatkan pekerjaan,
memenangkan suatu perlombaan, memenangkan lotere. Kadang-kadang pula, saya
ingin untuk melakukan sesuatu, seperti bercinta, bermain tenis, belajar filsafat.
Keinginan untuk melakukan sesuatu atau untuk mencapai hasil tertentu tidak melulu
dapat dikaitkan dengan pencapaian kenikmatan yang bersifat sensasional. Seringkali,
saya harus menunda kenikmatan yang bersifat sensasional untuk mencapai hasil
tertentu yang saya inginkan. Dalam kasus ini, kebahagiaan tidaklah identik dengan
kenikmatan sensasional, tetapi dengan mengalami dan mencapai tujuan yang
menjadi cita-cita saya. Jika saya mendapatkan apa yang saya inginkan, saya bisa
merasa bahagia. Walaupun untuk mendapatkan keinginan itu, saya harus berjuang
dan merasakan ketidakbahagiaan terlebih dahulu.xi

Nah,

konsep

kebahagiaan

sebagai

pencapaian

keinginan-keinginan

mencerminkan kedalaman pemaknaan akan kehidupan. Konsep ini juga melihat


manusia sebagai mahluk yang otonom yang mampu menentukan apa yang menjadi
cita-cita mereka di dalam hidup. Sementara itu di dalam utilitarisme klasik,
kenikmatan sungguh menjadi tolok ukur utama bagi moralitas. Akan tetapi, apakah
moralitas hanya melulu berkaitan dengan kenikmatan? Marilah kita ambil satu
kasus.

Contoh:
Ada seorang yang menderita pedofilia. Ketika melihat seorang anak kecil, orang itu
memiliki keinginan untuk menyerang anak tersebut. Ternyata, anak itu sendiri tidak
keberatan, jika orang yang menderita pedofilia tersebut menyerangnya. Bahkan,
anak itu menginginkannya. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan. Tindakan
menyerang ternyata memberikan kenikmatan bagi kedua belah pihak.
Nah, apakah tindakan itu, yang melibatkan dua orang tanpa paksaan, dapat
dibenarkan secara moral? Apakah tindakan mereka dapat kita dorong terus seakanakan itu adalah tindakan yang baik secara moral? Jika kita pertimbangkan akibat
jangka panjang dari tindakan tersebut, tentunya kita memiliki alasan untuk
menyebut tindakan itu sebagai salah.

68

Jelaslah, kenikmatan sensasional tidak dapat menjadi kriteria utama bagi tindakan
moral. Fakta bahwa suatu tindakan menghasilkan kenikmatan yang besar tidak
otomatis membuat tindakan itu menjadi bermoral. Seringkali, kebalikannyalah yang
benar, justru karena tindakan itu menghasilkan kenikmatan yang besar, tindakan itu
menjadi tidak bermoral.
Kantianisme Versus Utilitarianisme
Untuk melihat perbedaan pendekatan antara Kantianisme dan utilitarianisme,
marilah kita lihat perbandingan dua pendekatan itu jika dihadapkan pada satu isu
moral yang sama. Perbandingan ini melibatkan argumentasi-argumentasi dasar
kedua pandangan, sekaligus kesimpulan yang dicapainya. Isu yang pertama adalah
soal penghukuman. Bagi banyak orang, perdebatan sekitar penghukuman lebih
tentang tingkat kepantasan suatu hukuman terkait dengan kejahatan yang telah
dilakukan. Akan tetapi, apakah penghukuman tersebut dapat dibenarkan secara
moral? Jika jawabannya adalah ya, apa argumennya?
Tentang Penghukuman
Pertama-tama, marilah kita lihat mengapa Kantianisme dan utilitarianismetentu
dengan alasan yang berbeda--memandang hukuman sebagai sesuatu yang salah.
Hukuman dapat mengambil beragam rupa, seperti denda, penahanan, ataupun
hukuman mati. Bagi seorang utilitaris, penghukuman adalah suatu pemaksaan
tindakan terhadap orang yang tidak mau dihukum. Dampak dari hukuman adalah
membuat si terhukum menjadi menderita. Nah, hal ini hanya bisa dibenarkan jika
tindakan penghukuman ini dapat memberikan kebahagiaan yang lebih besar di
tempat lainnya. Dengan demikian, seorang utilitaris mungkin memahami bahwa si
terhukum tidak mengulangi kesalahan yang sama pada masa depan sehingga tidak
lagi ada korban pada masa datang. Bagi seorang utilitaris, pembenaran bagi
penghukuman sangat tergantung pada efek pencegahannya.
Sementara itu, bagi seorang Kantian
tindak penghukuman berarti tindak pelanggaran hak-hak tertentu yang dimiliki oleh
si terhukum. Manusia, yakni si terhukum tidak lagi dipandang dan dihargai sebagai
manusia yang terhormat. Di sini, si terhukum hanya dijadikan alat bagi tujuan lain di
luar dirinya. Padahal, Kant sangat menekankan bahwa semua manusia tanpa kecuali
harus dijadikan tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sekedar alat. Nah, jika

69

seorang Kantian ingin membenarkan suatu tindak penghukuman,

hukuman itu

haruslah menjamin bahwa si terhukum tidak dilanggar hak-haknya dan tidak


dipermalukan. Sebaliknya, si terhukum haruslah dipandang dan diperlakukan
sebagai seorang subyek moral yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab atas
tindakannya. Menurut Kant, seorang haruslah diperlakukan sebagaimana ia
memperlakukan orang lain. Secara spesifik, jika ia melanggar suatu hukum moral
tertentu, ia layak mendapatkan hukuman.
Dalam kasus ini, penghukuman bukanlah sebuah sikap melecehkan terhadap
si terhukum. Justru sebaliknya, dengan menghukum orang yang bersalah, kita
menunjukkan penghormatan pada semua pihak, baik kepada pelaku maupun kepada
korban. Jika kita tidak menghukum pelaku kejahatan, secara implisit kita
menunjukkan bahwa si pelaku tidak bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi.
Dengan kata lain, tindakan membiarkan pelaku pergi tanpa hukuman adalah suatu
penyangkalan bahwa si pelaku atau si terhukum juga adalah seorang subyek moral.

Dari dua sudut pandang ini, muncullah dua argumentasi penolakan ataupun
penerimaan terhadap hukuman yang berbeda. Bagi para penganut teori Kant,
penghukuman haruslah tepat dan tidak mempedulikan akibat yang mungkin muncul
dari tindakan itu. Sementara bagi seorang utilitaris, penghukuman hanya dilakukan,
jika tindakan itu dapat meningkatkan kebahagiaan yang lebih besar bagi lebih
banyak orang. Bagi Kantian, kegagalan dalam menghukum pelaku kejahatan sama
jahatnya dengan menghukum orang yang sebenarnya tidak bersalah. Bagi utilitarian,
salah atau tidak salahnya pelaku yang dihukum tidaklah menjadi prioritas utama,
jika dibandingkan dengan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakatlah yang
menentukan apakah tindak penghukuman itu akan memberikan kebahagiaan yang
lebih besar atau tidak. Menghukum orang yang tidak bersalah, tetapi dianggap
bersalah menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar daripada menghukum orang
yang bersalah, tetapi tidak dianggap bersalah. Walaupun situasi tampak tidak adil
bagi si pelaku, hasil keseluruhan akan memberikan kebahagiaan yang lebih besar.
Nah, bagi seorang utilitarian, pembenaran atas dasar persepsi masyarakat ini
sudahlah merupakan argumen yang memadai.

Tentang Aborsi
Seperti yang sedikit disinggung pada awal Bab ini, perdebatan tentang
moralitas selalu berlangsung di beberapa level yang berbeda. Pada bagian-bagian

70

sebelumnya, fokus perdebatan kita masihlah berada di tingkat kebijakan sosial.


Memang, perdebatan tentang aborsi juga selalu sudah berkait dengan kebijakan
sosial, tetapi yang lebih penting adalah perdebatan di level individual tentang pilihan
apakah boleh atau tidak melakukan aborsi. Tentu saja, isu ini bukanlah isu setiap
wanita yang sedang hamil.

Akan tetapi, setidaknya ada dua situasi yang perlu sekali pertimbangan
semacam ini. Pertama, adalah pasangan yang melakukan hubungan seks dan
wanitanya yang hamil. Wanita ini tidak ingin mempunyai anak, tetapi ia juga tidak
ingin melakukan suatu tindakan yang salah secara moral. Dalam hal ini, kita bisa
mengandaikan bahwa si pria tidak menawarkan sudut pandang yang berbeda, tetapi
mengikuti saja apa yang menjadi keputusan wanita itu. Pertanyaan yang sungguh
menjadi bahan pergulatan wanita itu adalah apakah secara moral dapat dibenarkan
jika ia melakukan aborsi supaya ia tidak melahirkan anak yang sebenarnya tidak
diinginkannya? Artinya, ia membutuhkan suatu argumentasi moral untuk
membenarkan tindakan yang diinginkannya, yakni melakukan aborsi.

Situasi kedua adalah pasangan yang memiliki relasi yang stabil dan memutuskan
untuk mempunyai bayi. Akan tetapi, ketika si wanita hamil muncullah persoalan
medis. Konsekuensinya, si wanita bisa terancam meninggal atau dapat membuat si
anak lahir cacat. Dalam kasus ini, perdebatan tidak terjadi antara kepentingan diri
dan moralitas, tetapi antara pertimbangan moral yang satu dengan pertimbangan
moral lainnya.

Ada berbagai cara menanggapi kedua situasi yang sudah dipaparkan di atas.
Akan tetapi, saya akan coba menganalisis kasus ini dengan berbekal dua teori etika
yang juga sudah dijelaskan sebelumnya. Mari kita lihat kasus pertama. Jika melihat
kasus itu, apakah kira-kira yang menjadi tanggapan seorang utilitaris? Tindakan
yang benar secara moral adalah tindakan yang mampu memaksimalkan kebahagiaan
bagi sebanyak mungkin pihak.
Si wanita bisa memperhitungkan kepentingannya sendiri, seperti mungkin ia
masih harus menyelesaikan pendidikannya, ia memiliki karir yang menjanjikan, atau
mungkin ia sudah mempunyai anak dan tidak ingin lagi. Akan tetapi, ia juga harus
memperhitungkan kepentingan orang lain. Apa akibat dari keputusannya bagi pria
yang menjadi ayah dari anak itu, akibat bagi orang tuanya, teman-temannya, rekan-

71

rekan kerjanya, dan tentu saja, bagi bayi yang belum dilahirkan itu?
Tentu saja, ada kemungkinan juga bahwa jika bayi itu lahir,

akan

meningkatkan kebahagiaan semua pihak. Akan tetapi, jika kebahagiaan didefinisikan


sebagai terpenuhnya tujuan-tujuan dan karena bayi tidak memiliki tujuan dasar,
aborsi sebenarnya netral dari sudut pandang bayi tersebut.

Sangatlah tidak mungkin bagi untuk merumuskan suatu kesimpulan tanpa


mengetahui konteks situasinya secara konkret. Dari sudut pandang utilitarianisme
sangatlah mungkin wanita itu tidak dapat menyimpulkan tindakan apa yang baik
secara moral, karena ia tidak dapat merumuskan akibat-akibat yang muncul dari
tindakannya tersebut.

Jika begitu, apakah lebih baik baginya untuk menggunakan teori etika
deontologi? Dari sudut pandang teori ini, ada jurang yang besar antara apa yang
ingin saya lakukan dan apa yang harus saya lakukan. Jurang ini tidaklah terlalu
besar di dalam etika utilitarianisme karena keinginan juga merupakan salah satu
faktor penentu suatu tindakan. Akan tetapi, di dalam etika deontologi, keinginan
sama sekali tidak mempunyai pengaruh di dalam pertimbangan. Wanita tersebut
tidaklah harus mempertimbangkan akibat tindakannya bagi orang-orang sekitarnya,
tetapi harus sungguh-sungguh mempertimbangkan hakekat dari tindakan yang akan
dilakukannya, apakah hakekat tindakan itu bermoral atau tidak. Banyak yang
mengatakan bahwa aborsi adalah suatu tindak pembunuhan. Oleh karena itu, jika
wanita itu melakukan aborsi, ia telah membunuh bayinya. Karena membunuh itu
salah, aborsi itu sudah pasti salah secara moral. Ada beberapa pengandaian di dalam
argumen ini yang bisa dipertanyakan.
Jika aborsi adalah suatu pembunuhan, aborsi itu salah. Akan tetapi, argumen
ini valid karena kata membunuh tidak hanya mendeskripsikan suatu tindakan, tetapi
juga sudah menilai suatu tindakan sebagai salah. Lagi pula, aborsi pun bukan lagi
suatu deskripsi tindakan, tetapi sudah selalu memuat penilaian moral, yakni salah.
Jika kita mau sedikit kritis, marilah kita membandingkan aborsi dengan
pembunuhan atas orang yang sudah dewasa. Kesimpulan bahwa aborsi salah tidak
selalu bisa otomatis didapatkan karena tindakan membunuh orang dewasa pun tidak
selalu salah. Ada kasus-kasus, seperti membunuh untuk mempertahankan diri, di
mana pembunuhan tidaklah dianggap salah. Kasus-kasus lainnya, seperti euthanasia,
hukuman mati, dan situasi perang, juga membuat apa yang benar dan salah secara

72

moral menjadi problematis. Dengan demikian, kita melihat adanya dua perbedaan
antara aborsi dan pembunuhan, terutama pembunuhan terhadap orang dewasa.
Perbedaan pertama adalah antara pembunuhan terhadap janin yang belum
lahir dan pembunuhan terhadap orang dewasa. Sementara, perbedaan kedua adalah
pembunuhan terhadap orang dewasa di satu sisi, dan melakukan sesuatu yang salah
secara moral di sisi lain. Salah satu kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa
membunuh janin yang belum lahir tidaklah sama dengan membunuh orang dewasa,
karena orang dewasa adalah seorang individu, sementara janin atau embrio bukanlah
individu. Secara umum, individu selalu sadar akan dirinya sendiri (self conscious).
Sementara, walaupun embrio memiliki kesadaran, tetapi ia tidak sadar akan dirinya
sendiri. Ada masalah dengan argumen terakhir. Jika aborsi/pembunuhan atas janin
dibenarkan,

pembunuhan atas bayi juga dibenarkan karena bayi juga bukanlah

individu yang sadar akan dirinya sendiri. Marilah kita pertimbangkan argumentasi
kedua. Secara umum, kita wajib untuk tidak membunuh orang. Akan tetapi, kita
tidak wajib untuk menyelamatkan orang yang akan meninggal. Biasanya, kewajiban
semacam ini hanya muncul jika yang akan meninggal adalah teman, saudara, atau
orang yang memiliki komitmen khusus dengan kita.

Jika seorang wanita menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, ia


secara jelas menyatakan bahwa ia tidak menginginkan bayi. Oleh karena itu, ia tidak
memiliki komitmen khusus terhadap bayi yang kemungkinan akan lahir. Dalam
kasus-kasus, jika wanita tersebut hamil karena ketidaksengajaan, ia tidak memiliki
kewajiban untuk memiliki bayi itu. Jika embrio tersebut ada di dalam tubuh wanita
itu di luar keinginan wanita itu, wanita tersebut memiliki hak untuk mengangkatnya.
Konsekuensi langsung dari pengangkatan janin atau embrio itu adalah bahwa embrio
itu akan langsung mati. Akan tetapi, kematian embrio tersebut bukanlah sesuatu
yang

menjadi

tujuan

sehingga

tidak

relevan

untuk

menyatakan

apakah

mengangkatnya itu salah secara moral atau tidak.

Contoh lainnya tentang hal ini adalah kematian seseorang karena tidak mendapatkan
donor sumsum tulang belakang. Padahal, sumsum tulang belakang semacam itu
hanyalah dimiliki oleh Anda. Mungkin, Anda tidak menginginkan kematian orang
itu, dan Anda tidak ingin mendonorkan sumsum tulang belakang Anda. Keputusan
ini akhirnya mengakibatkan kematian orang itu. Akan tetapi, Anda sama sekali tidak
bertanggungjawab atas kematian orang yang membutuhkan sumsum tulang belakang

73

Anda itu.

Semua hal ini dapat menjadi pertimbangan wanita yang akan melakukan
aborsi tersebut. Dia akan dapat membuat keputusan dan tindakan yang menurutnya
dapat dibenarkan secara moral. Akan tetapi, walaupun etika deontologi dapat
memperkaya pertimbangan moral yang dilakukan, tetapi tidaklah ada jaminan
bahwa keputusan yang akan diambil akan memiliki tingkat kepastian yang penuh.

Jawaban yang sepenuhnya obyektif tidak akan pernah dapat diraih dalam kasuskasus seperti ini.

Problem yang kurang lebih serupa dapat kita lihat pada situasi kedua, ada
komplikasi

medis

perihal

kehamilan.

Jika

kita

menggunakan

teori

etika

utilitarianisme, kita akan bertabrakan dengan masalah yang sama, bagaimana kita
bisa memperkirakan akibat-akibat yang mungkin terjadi dari dua tindakan yang
berbeda, yakni tidak atau melakukan aborsi? Kemungkinan besar wanita itu akan
meninggal jika ia terus mengandung bayinya. Dan juga, bayi tersebut juga akan
mengalami cacat fisik yang tentunya mengurangi kualitas kehidupannya.
Dari sudut pandang utilitarisnisme, wanita itu haruslah melakukan aborsi.
Tepat tidaknya jawaban ini haruslah dilihat dalam konteks konkretnya. Dalam kasus
ini, etika Kantianisme jelas mengalami problematika yang lebih besar. Apakah kita
harus menyelamatkan wanita itu dan membunuh bayinya atau menyelamatkan
bayinya dan membunuh wanita itu? Jika membunuh dinilai lebih jahat daripada
membiarkan mati (letting die), tindak aborsi adalah sesuatu yang salah. Jika setiap
bentuk kehidupan dianggap sebagai sesuatu yang berharga,

aborsi akan dinilai

sebagai sesuatu yang salah, sama seperti euthanasia juga dinilai sebagai tindakan
yang salah secara moral. Jika kebahagiaan si bayi adalah pertimbangan yang paling
besar, aborsi adalah sesuatu yang mutlak dilakukan karena jika bayi itu lahir, maka
ia akan cacat, dan tidak memiliki ibu.
Etika Keutamaan
Etika Kantian dan etika utilitarianisme meninggalkan kita dengan sebuah
pertanyaan besar, manakah yang harus menjadi prioritas, hakekat dari tindakan itu
beserta dengan kewajiban dasar yang kita miliki sebagai manusia atau akibat-akibat
baik langsung atau tidak langsung dari tindakan yang kita lakukan? Akan tetapi, ada

74

satu teori moral yang tidak secara langsung mempertimbangkan hakekat tindakan
ataupun akibat-akibat tindakan tersebut. Teori etika ini disebut juga sebagai etika
keutamaan (virtue ethics).
Fokus dari teori ini adalah manusia sebagai subyek moral. Hakekat dan akibat
dari suatu tindakan hanya direfleksikan secara tidak langsung. Pada awal bab ini, kita
sudah mencoba untuk mendefinisikan arti kata baik, dan bagaimana kata itu
diterapkan pada benda-benda seturut dengan fungsinya. Jika pisau itu dikatakan
sebagai pisau yang baik, artinya pisau itu dapat melakukan fungsinya dengan baik,
yakni memotong dengan lancar. Jika kebaikan moral adalah ideal normatif manusia,
tentunya kita memiliki kriteria tentang apa itu kebaikan moral. Filsuf yang pertama
kali merumuskan etika keutamaan secara memadai adalah Aristoteles.

Baginya, tujuan dasar setiap manusia adalah untuk mencapai hidup yang baik, yakni
hidup yang bermoral.

Apa yang Dimaksud Keutamaan?


Bagi Aristoteles, untuk menjadi orang yang baik kita harus memiliki karakterkarakter tertentu, seperti murah hati, berani, dan rendah hati. Semua kualitas ini
bukanlah hanya kecenderungan dasar manusia, tetapi merupakan sebuah keutamaan
(virtue). Orang yang murah hati memiliki karakter yang berbeda dengan orang lain
yang tidak murah hati, walaupun orang yang tidak murah hati tersebut memiliki
kecenderungan atau potensi untuk bersikap murah hati. Seorang penganut etika
deontologi akan berkata bahwa sikap murah hati adalah suatu sikap yang benar
secara moral. Oleh karena itu, setiap orang wajib untuk bersikap murah hati. Orang
yang memiliki keutamaan kemurahan hati mungkin akan setuju dengan pendapat
itu.

Ketika ada orang yang membutuhkan meminta uang kepada mereka, keduanya tentu
akan menanggapi secara positif. Penganut etika deontologi akan membantunya
berdasarkan kewajiban. Sementara, penganut etika keutamaan akan membantunya
karena ia memang memiliki karakter keutamaan murah hati di dalam dirinya. Sikap
memberikan uang kepada orang yang membutuhkan itupun akan berbeda. Orang
yang berkeutamaan akan membantunya secara spontan dan hangat. Sementara,
penganut deontologi akan mempertimbangkan kewajibannya untuk membantu orang
lain dan mungkin saja memberikan uang tanpa kehangatan. Karena ia bertindak

75

berdasarkan

kewajiban,

mungkin

saja ia

tidak

bertindak

seturut

dengan

keinginannya. Jika kita memiliki keutamaan kemurahan hati, kita juga akan memiliki
beberapa emosi dan perasaan di dalam tindakan kita. Tindak memberi bantuan pada
orang yang membutuhkan akan dianggap sebagai tindakan yang menyenangkan. Kita
juga akan merasa tidak senang, jika ada orang yang pelit. Di sisi lain, seorang
penganut etika deontologi mungkin tidak menunjukkan kebahagiaan, ketika ia
membantu orang lain. Bagi Kant sendiri, jika kita merasa senang membantu orang
lain, motivasi moral tindakan kita justru harus dipertanyakan. Emosi justru bisa
merusak kemurnian motivasi moral tindakan.

Ada juga perbedaan antara memiliki keutamaan sikap murah hati dan menjadi
murah hati karena pembiasaan. Walaupun orang yang murah hati membantu orang
secara spontan, tetapi ia melakukan itu dengan sadar dan dengan pertimbanganpertimbangan tertentu. Keutamaan kemurahan hati juga selalu sudah mengandaikan
adanya keutamaan untuk membuat penilaian yang tepat. Orang yang terbiasa untuk
bersikap murah hati mungkin akan memberikan uang dalam jumlah yang terlalu
banyak kepada anaknya sehingga mereka tidak lagi menghargai arti uang itu.
Mungkin saja, orang yang terbiasa untuk bersikap murah hati tetap memberikan
uang tersebut, walaupun sebenarnya ia sendiri sedang berkekurangan. Di dalam
kehidupan sehari-hari, kita selalu membandingkan karakter seseorang persis dengan
karakter lawannya. Orang yang murah hati dilawankan dengan orang yang pelit dan
orang yang berani dilawankan dengan orang yang pengecut.

Walaupun begitu, Aristoteles melihat bahwa keutamaan yang sejati sebenarnya


adalah titik tengah di antara dua karakter yang saling berlawanan.

Jadi, orang yang baik adalah orang yang berada di tengah-tengah antara
kebaikan ekstrem dan kejahatan ekstrem. Kemurahan hati terletak di antara
kepicikan (meanness) di satu sisi, dan kejangakan (profligacy) di sisi lain.
Keberanian terletak di antara kepengecutan (cowardice) di satu sisi, dan
kecerobohan (recklessmess) di sisi lain. Untuk menjadi orang yang berkeutamaan,
kita haruslah mempunyai kemampuan untuk menilai secara tepat situasi yang
sedang kita hadapi. Inilah maksud dari pernyataan Aristoteles itu. Inilah juga yang
disebutnya sebagai sikap yang rasional dan bukan menerapkan prinsip-prinsip
umum untuk melakukan tindakan, seperti yang dirumuskan oleh Kant dengan

76

etikanya.
Bagaimana Menjadi Orang yang Memiliki Keutamaan?
Jika keberanian adalah suatu keutamaan, sikap pengecut adalah suatu
kejahatan. Untuk menjadi orang yang berkeutamaan kita haruslah melatih diri dan
bersikap di dalam keutamaan dan menolak untuk melakukan kejahatan. Ada dua
pertanyaan mendasar yang bisa diajukan di sini.

Pertama, bagaimana saya dapat memperoleh keutamaan itu? Dan kedua, karakter
macam apakah yang dapat disebut sebagai keutamaan?

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita haruslah mempertimbangkan terlebih dahulu


bagaimana kita bisa memiliki suatu karakter tertentu. Pandangan umum mengatakan
bahwa karakter didapatkan secara genetis sekaligus dalam proses pembentukan
melalui pendidikan yang telah dilalui. Memang, sulit bagi kita untuk memilih sendiri
karakter macam apakah yang ingin kita miliki, tetapi hal itu bukanlah tidak mungkin.
Justru itu,

jauh lebih mudah bagi kita untuk menentukan karakter orang lain.

Aristoteles sendiri berpendapat bahwa anak-anak haruslah dididik untuk memiliki


keutamaan. Karakter anak memang dapat ditentukan oleh pendidiknya. Orang yang
tidak pernah dididik untuk memiliki keutamaan kemungkinan besar akan memiliki
karakter yang jahat. Sebaliknya, seseorang yang memang pada dasarnya mempunyai
keutamaan dapat terus meningkatkan keutamaannya, jika ia terus melakukan hal-hal
baik.

Akan tetapi, orang yang pada dasarnya tidak murah hati, tetapi ia terus berusaha
untuk memberi, yakni belajar untuk bermurah hati, keutamaan murah hati secara
perlahan akan menjadi bagian dari karakternya. Pengandaian dasar dari etika
keutamaan adalah bahwa setiap orang dapat mengubah karakternya.

Akan tetapi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, orang yang tidak pernah
dididik dalam atmosfer keutamaan akan sulit untuk memiliki keutamaan itu. Lebih
jauh lagi, karena karakter kita bukanlah pilihan bebas yang bisa begitu saja kita
tentukan sendiri, kita tidaklah bertanggungjawab atas tindakan yang kita lakukan
yang berasal dari karakter kita. Dengan kata lain, apakah kita bisa bertanggungjawab
atas tindakan kita, jika pada hakekatnya kita tidak pernah sungguh bebas dalam

77

menentukan tindakan kita? Ini pertanyaan yang belum bisa terjawab, bahkan sampai
sekarang. Marilah kita kembali pada fokus Bab kita, yakni apakah jenis-jenis
tindakan atau karakter yang berkeutamaan itu?
Menentukan Keutamaan
Aristoteles telah memberikan kita beberapa contoh karakter yang merupakan
keutamaan. Pada abad ke-13, pemikiran Aristoteles dikombinasikan dengan ajaran
Kristiani, daftar karakter yang dapat disebut keutamaan mengalami perubahan.
Misalnya, Aristoteles yakin bahwa keutamaan kerendahan hati yang sejati terletak di
tengah-tengah antara kerendahan hati ekstrem dan kesombongan ekstrem. Sekarang
ini, kita juga bisa menambahkan beberapa jenis keutamaan lainnya. Daftar
keutamaan semacam itu bisa terus diperpanjang karena setiap orang punya alasan
tertentu ketika ia mengangkat suatu karakter tertentu menjadi keutamaan. Mari kita
simak beberapa alasan yang mungkin.
Kebahagiaan Sejati
Pertama-tama, kita perlu mengingat kembali etika Aristoteles, terutama
konsep intinya, yakni eudaimonia. Ada beberapa arti yang kiranya dapat
menunjukkan maksud konsep ini, seperti kebahagiaan, kesejahteraan, ataupun
kemajuan. Akan tetapi, tidak ada satupun dari kata ini yang sungguh-sungguh dapat
mendeskripsikan arti dari eudaimonia, seperti dimaksudkan oleh Aristoteles. Yang
pertama, eudaimonia hanyalah dapat diraih oleh mahluk yang rasional dan karena
tanaman serta hewan tidak memiliki rasionalitas yang cukup tinggi, keduanya tidak
dapat mencapai eudaimonia.
Memang, konsep kebahagiaan memiliki kedekatan tertentu dengan konsep
eudaimonia. Kebahagiaan seringkali diidentikkan dengan kenikmatan, tetapi

itu

sama sekali berbeda dengan eudaimonia. Konsep yang tampaknya paling tepat
disamakan dengan eudaimonia mungkin adalah kebahagiaan sejati. Kebahagiaan
semacam ini dicapai oleh orang yang berbeda dengan cara yang berbeda pula dan ini
sangat tergantung dari ketertarikan dari pribadi yang bersangkutan.
Bagi Aristoteles, satu-satunya jalan mencapai eudaimonia adalah dengan
hidup berkeutamaan. Karena kebahagiaan ini sangat tergantung dengan orang yang
bersangkutan, konsep keutamaan sebagai jalan untuk mencapai kebahagiaan pun
sebenarnya juga beragam. Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan keutamaan
untuk mencapai kebahagiaan pun sebenarnya berbeda-beda dan itu sangat

78

tergantung pada individu terkait.


Ada cara lain untuk memahami apa itu keutamaan, yakni dengan menyatakan
bahwa keutamaan-keutamaan hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang baik. Di
dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu dapat mengenali orang yang baik tanpa
analisis terlebih dahulu, terutama dari cara bertindaknya yang menggambarkan
keutamaan apa yang dimilikinya. Orang-orang seperti Ibu Teresa atau Gandhi juga
langsung dapat kita kenali sebagai orang yang baik. Walaupun kita tahu bahwa tidak
ada satupun manusia di dunia ini yang sungguh-sungguh sempurna, tetapi kita selalu
dapat mengatakan bahwa mereka, yakni Ibu Teresa dan Gandhi adalah orang-orang
yang berkeutamaan yang layak untuk dijadikan contoh.
Keutamaan Selalu Menguntungkan bagi Orang yang Memilikinya
Jadi, apa yang membuat suatu karakter layak disebut sebagai suatu
keutamaan? Pertama-tama, kita harus tahu terlebih dahulu apa alasan yang dapat
diterima ketika orang memilih untuk hidup berkeutamaan. Jika tujuan hidup kita
adalah mencapai kebahagiaan sejati dan kebahagiaan itu hanya dapat diperoleh
melalui hidup berkeutamaan, keutamaan sudahlah pasti merupakan sesuatu yang
menguntungkan bagi orang yang memilikinya.

Keutamaan adalah keuntungan bagi orang yang memilikinya. Inilah inti dasar dari
seluruh etika yang dirumusan oleh Aristoteles.

Akan tetapi, pandangan ini bertentangan dengan filsafat moral kontemporer


yang menyatakan bahwa jika kita mendapatkan keuntungan dari kebaikan,
keuntungan tersebut sebenarnya bukan tujuan utama, melainkan hanya efek
samping. Perbuatan yang baik secara moral haruslah baik pada dirinya sendiri dan
bukan hanya menguntungkan bagi orang yang melakukannya. Lepas dari ini, banyak
rumusan Aristoteles tentang keutamaan sebenarnya dapat kita setujui sampai
sekarang. Hal ini tentunya bukanlah sebuah kebetulan.
Moralitas dianggap sebagai suatu rumusan aturan yang memungkinkan kita
hidup bersama di dalam masyarakat. Jika, seperti yang juga dikatakan Aristoteles,
kita sungguh adalah mahluk sosial, kesejahteraan dan kebahagiaan sejati hanya
dapat kita temukan di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin saja, kita
mendapat keuntungan karena orang lain mematuhi aturan hidup bersama di dalam
masyarakat. Dan mungkin saja, kita juga memperoleh keuntungan karena kita

79

sendiri seringkali melanggar beberapa aturan tersebut. Dalam proses jangka pendek,
hal ini bisa berjalan. Akan tetapi dapatlah disimpulkan, bahwa prinsip ini tidaklah
bisa digunakan dalam jangka panjang. Orang mungkin tidak akan terkena kanker
hanya karena ia merokok. Akan tetapi, fakta ini tidak mengubah penilaian bahwa
cara terbaik menghindari kanker adalah dengan tidak merokok.

Dengan demikian, setiap bentuk keutamaan pastilah menguntungkan orang yang


memilikinya. Setiap bentuk keutamaan juga membuat pemiliknya menjadi orang
baik. Dapat juga disimpulkan, dua konsep tersebut, yakni keutamaan dan kebaikan,
adalah dua konsep yang pada hakekatnya sudah saling terkait.

Marilah kita lihat contoh dari argumen di atas dalam konteks kemurahan hati
sebagai keutamaan. Pertama, kita dapat langsung melihat bagaimana keutamaan
kemurahan hati dapat langsung memberikan keuntungan bagi pemiliknya.

Orang yang murah hati akan banyak dikenal dan disukai oleh orang-orang
sekitarnya. Lebih jauh lagi, orang yang murah hati akan mudah sekali mendapatkan
bantuan dari orang lain ketika ia membutuhkannya. Memang, orang yang murah hati
juga terkadang dimanfaatkan oleh orang lain. Akan tetapi, ingat bahwa keutamaan
memang seringkali berkaitan dengan pengorbanan. Tujuan luhur dari keutamaan
tidak akan rusak hanya karena ada pihak lain yang memanfaatkannya. Kedua,
keutamaan membuat manusia menjadi manusia yang baik dan berguna. Orang selalu
membutuhkan kehadiran orang-orang yang mempunyai kualitas kemurahan hati.

Argumen yang saya ajukan di atas memang lancar dan saya rasa, cukup masuk
akal. Tentu saja, kecil kemungkinannya akan ada orang yang menolak kemurahan
hati dianggap sebagai salah satu jenis keutamaan. Jika ada orang yang murah hati,
tetapi tidak mendapatkan keuntungan dari karakternya tersebut,

mungkin saja

sebenarnya ia tidak bersikap tepat dalam situasi yang konkret sehingga apa yang
tampaknya sebagai kemurahan hati sebenarnya merupakan suatu kejahatan. Dalam
konteks ini, saya sendiri berpendapat bahwa dalam situasi tertentu keserakahan juga
dapat disebut sebagai keutamaan terutama karena inilah yang diam-diam menjadi
motivasi yang menggerakan orang untuk bekerja atau lebih lagi motivasi yang
membuat masyarakat menjadi ada dan dinamis. Akan tetapi, ada perbedaan antara
orang yang menjadi sangat serakah dan orang yang menjadi cukup serakah.

80

Orang yang tidak mempunyai keserakahan sama sekali tidak akan memotivasi
dirinya untuk lebih baik dari sebelumnya. Sebaliknya, orang yang terlalu serakah
akan mendorong dirinya secara berlebihan sehingga menghancurkan dirinya dan
mungkin orang-orang sekitarnya.

Semua argumen ini tampak menunjukkan kekosongan epistemologis


(epistemological vacuity) di dalam etika keutamaan. Akan tetapi sebelum sampai
pada

kesimpulan

itu,

ada

baiknya

kita

mempertimbangkan

dulu

konsep

kebijaksanaan sebagai keutamaan. Pertama, kita mungkin menyadari bahwa di


dalam konsep keserakahan sudah selalu terkandung pengandaian akan sesuatu yang
berlebihan, yakni sesuatu yang berlebih daripada yang dibutuhkan oleh seseorang.
Tentu saja, ada konsep keserakahan yang berlebihan. Akan tetapi, konsep ini
sebenarnya

hanya

menegaskan

apa

yang

sebenarnya

sudah

dimaksudkan

sebelumnya.xii Kedua, kita juga bisa melihat, bahwa jika situasi berubah, makna dari
konsep yang ada juga mengalami perubahan. Apa yang dalam situasi kelangkaan
dianggap sebagai serakah justru di dalam situasi kelimpahan dianggap sebagai tindak
penghematan. Sebelum menyelesaikan bagian tentang etika keutamaan, ada baiknya
kita melihat kontribusi apa yang dapat diberikan oleh teori ini kepada debat tentang
penghukuman dan aborsi, yang sebelumnya telah dibedah dengan menggunakan
teori Etika Kant dan etika utilitarianisme.
Tentang penghukuman, keutamaan yang relevan adalah keutamaan keadilan,
yakni bersikap pantas dan tepat sesuai dengan yang layak mereka terima. Dari sini,
kita dapat mengatakan bahwa etika keutamaan memiliki kesesuaian dengan etika
Kantian. Walaupun begitu, keadilan bukanlah satu-satunya keutamaan yang terlibat
di dalam proses penghukuman. Keutamaan kemurahan hati juga diperlukan,
terutama ketika keputusannya adalah bahwa pelaku diberikan kesempatan kedua
untuk memperbaiki hidupnya. Rasa belas kasih juga diperlukan sebagai sebuah
keutamaan, terutama jika kita melihat situasi yang menekan sehingga pelaku
melakukan tindak kejahatan yang membuatnya dihukum. Toleransi jugalah
diperlukan. Tentu saja, di dalam praktek, semua keutamaan ini haruslah
dilaksanakan dalam porsi yang tepat.

Menjadi orang yang memiliki belas kasih memang baik, tetapi tidak perlu menjadi
terlalu sentimentil. Menjadi orang yang toleran memang baik, tetapi tidak perlu

81

menjadi lunak dan membolehkan segala-galanya.

Dengan demikian, etika keutamaan dapat memperkaya pertimbangan ketika kita


harus memutuskan penghukuman terhadap seorang pelaku kejahatan dan hukuman
apa yang pantas untuknya. Akan tetapi, etika keutamaan tidaklah dapat langsung
membantu kita untuk memberikan jawaban umum tentang penghukuman. Hal ini
tidaklah mengejutkan karena fokus utama dari etika keutamaan adalah karakter dan
bukan tindakan langsung. Kiranya, hal yang sama juga berlaku dalam konteks
perdebatan tentang aborsi.
Memilih Teori Etika yang Memadai
Setelah menempuh penjabaran tentang beragam argumen yang menjadi
landasan rasional bagi penilaian dan tindakan moral kita, marilah kita sedikit
mengambil jarak untuk memperoleh pandangan mata burung. Semua teori ini,
termasuk Kantianisme, Utilitarianisme, dan etika Keutamaan bukanlah suatu teori
yang sudah utuh dan sempurna, serta dapat langsung diterapkan begitu saja. Teoriteori yang baru saja dijabarkan ini bukanlah sebuah teori yang bisa kita gunakan
seperti layaknya buku panduan ketika kita tengah membetulkan radio yang rusak.
Setiap teori di sini menyediakan semacam kerangka moral untuk dapat
merefleksikan isu-isu moral.

Beberapa argumen teoritis juga diajukan. Akan tetapi, tidak ada kepastian bahwa
kerangka dan argumen yang diberikan bisa sepenuhnya tepat. Memang, ada
beberapa prinsip bisa dijadikan acuan di dalam membuat penilaian ataupun
keputusan moral. Akan tetapi, tidak ada yang sepenuhnya pasti di dalam prinsipprinsip tersebut.

Pertama,

ada

pandangan

yang

mengatakan

bahwa

sebaiknya

kita

menggunakan teori yang paling dekat dan sesuai dengan intuisi moral yang kita
miliki, yakni pandangan kita pribadi tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
Walaupun tampak masuk akal, ada beberapa kritik yang diajukan terhadap
pandangan ini. Intuisi moral, yakni pandangan kita tentang apa yang baik dan apa
yang buruk tidak netral dan ontologism, melainkan hasil konstruksi dari berbagai
macam aspek, seperti ajaran agama, tradisi kebudayaan setempat, dan dari teoriteori moral yang pernah kita baca. Tidak satupun tanda yang menunjukkan bahwa

82

intuisi moral kitalah yang paling dekat dengan kebenaran moral sehinggai intuisi
tersebut bisa dijadikan tolok ukur di dalam tindakan maupun penilaian moral.
Setiap teori tentang moralitas tidak bisa tidak haruslah memberikan ruang
bagi penilaian subyektif orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, ketidakpastian dari
penilaian moral yang dilakukan seseorang menjadi hambatan yang cukup besar. Nah,
dalam ketidakpastian tersebut, teori-teori etika yang ada hendak memberikan dasar
yang lebih kokoh sehingga berbagai pertimbangan yang ada dapat dilihat dengan
lebih jernih. Memang, tidak ada salahnya jika kita menggunakan intuisi moral
subyektif kita di dalam penilaian moral yang kita lakukan.
Akan tetapi, ada bahaya yang mungkin terjadi di sini karena ada kemungkinan
kita akan menggeneralisasikan penilaian moral kita yang sebenarnya bersifat
partikular. Penilaian moral, demikian tulis Goodman, adalah proses yang rumit
dari orang yang membuat penyesuaian antara prinsip-prinsip umum dan
kepentingan-kepentingan partikular.xiii Kedua, kita dapat memilih teori etika dengan
terlebih dahulu mengetahui pengandaian dasar dari teori tersebut. Dari sudut
pandang ini, Kantianisme melihat moralitas didasarkan pada pengandaian bahwa
manusia adalah mahluk yang rasional. Dalam moralitas, pilihan yang dibuat oleh
seseorang haruslah dapat bersifat otonom dari perasaan, emosi, ataupun
pertimbangan akan keuntungan pada masa depan. Sementara itu, utilitarianisme
mendasarkan moralitas pada pertimbangan akibat-akibat yang mungkin terjadi,
terutama akibat-akibat yang dapat memaksimalkan kebahagiaan bagi sebanyak
mungkin pihak.
Di sisi lain, etika keutamaan mengandaikan bahwa kita harus berupaya untuk
menjadi orang yang baik, yakni orang yang mampu membuat penilaian rasional
dalam situasi yang beragam. Sekilas, etika keutamaan tampak bisa menjadi pilihan
utama yang meyakinkan, tetapi pengandaian-pengandaian dasar dari pilihan moral
kita tetaplah harus dipertimbangkan lebih jauh. Dengan kata lain, kita harus
memeriksa kembali penilaian moral partikular kita sebelum menentukan keputusan
apa yang akan kita ambil. Pada situasi tertentu, pengandaian-pengandaian A
mungkin bisa dibenarkan, tetapi tidak pada situasi lain. Pada situasi lain,
pengandaian-pengandaian A justru bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang salah.
Dilema-dilema moral semacam ini akan seringkali ditemukan jika kita berhadapan
dengan kasus-kasus konkret. Ketiga, kita bisa merumuskan suatu teori yang
merupakan kombinasi dari teori-teori yang sudah ada. Akan tetapi, jika kita
memahami makna dan tujuan sesungguhnya dari suatu teori moral, sebenarnya teori

83

itu bukanlah semacam alat yang bisa kita ambil dan kemudian kita pilih mana yang
paling cocok untuk kita.
Pada hakekatnya, suatu teori moral dirumuskan dengan tujuan untuk
menyingkirkan pilihan-pilihan yang tidak masuk akal, atau pilihan-pilihan yang
melulu didasarkan pada pertimbangan subyektif. Oleh karena itu, jika kita ingin
mengkombinasikan teori-teori yang sudah ada sebelumnya, kita memerlukan
semacam prosedur untuk menentukan teori mana yang hendak digunakan dan kapan
sebaiknya teori itu digunakan. Hal ini tentunya menghadapkan kita pada suatu
masalah baru bagaimana menentukan teori mana yang lebih baik? Dan sebelumnya,
kita sudah melihat bahwa tampaknya intuisi moral kitalah yang seringkali menjadi
kriteria di dalam hal ini. Tentu saja, kriteria semacam ini bukanlah dasar yang baik
bagi suatu pertimbangan. Jika moralitas adalah seluruhnya merupakan masalah
penalaran rasional dan jika penalaran tersebut adalah sesuatu yang bisa dilakukan
oleh komputer, adalah mungkin kita dapat merumuskan suatu prosedur formal,
yakni prosedur algoritma matematis untuk sampai pada suatu keputusan moral. Bagi
beberapa filsuf, kita harus merumuskan suatu prosedur formal untuk sampai pada
keputusan yang dapat menjamin obyektifitas.xiv Dan ketidakmampuan untuk
merumuskan prosedur semacam ini menandakan bahwa ternyata moralitas sungguh
merupakan masalah subyektifitas saja. Moralitas haruslah menjadi pengandaianpengandaian dasar yang harus dipertimbangkan ketika kita hendak membuat suatu
penilaian ataupun tindakan moral. Kadang-kadang, pengandaian tersebut cocok,
tetapi juga kadang-kadang pengandaian tersebut tidak pas.

Lalu, apa yang sesungguhnya harus kita lakukan ketika kita menghadapi
dilema moral? Tentu saja, kita coba menganalisis masalah yang ada dan mencoba
untuk mempertimbangkan belbagai penilaian moral yang mungkin.
Jika ada orang yang bisa kita mintai nasihat yang kebijaksanaan dan integritas
moralnya lebih tinggi dari kita, kita akan bertanya pada dia. Akan tetapi, seringkali
juga kita bertanya pada orang-orang di sekitar kita untuk mengetahui apa yang akan
mereka pikirkan dan lakukan, jika mereka berada pada situasi yang kita alami.
Kadang-kadang, tindak bertanya dan berkonsultasi pada orang lain bukanlah
suatu upaya untuk menemukan jawaban, tetapi untuk menjernihkan permasalahan
yang ada. Seringkali juga, tindak bertanya itu bertujuan untuk mendapatkan
perspektif baru dari orang lain yang mungkin tidak kita lihat jika kita berpikir
sendiri.

84

Filsafat dengan teori-teori yang ada tidak bisa menyederhanakan begitu saja
kompleksitas permasalahan konkret yang dimiliki manusia. Akan tetapi, tetap saja,
kita harus mempunyai prinsip dan metode yang tepat untuk menganalisis dan
mengatur situasi yang kompleks tersebut.
Semua yang telah dijabarkan di dalam Bab ini tentunya dapat semakin
memperkaya pertimbangan-pertimbangan yang bisa kita gunakan. Walaupun, teoriteori tersebut tidak bisa secara langsung memberikan jawaban yang definitif.

Penilaian moral telah lama dianggap sebagai pernyataan posisi personalsubyektif saja. Dari sudut pandang ini, tidak ada yang disebut sebagai
ketidaksetujuan di dalam moralitas. Lalu, emotivisme menawarkan pandangan yang
lebih rumit bahwa penilaian moral mencerminkan sikap kita. Dengan begitu,
perdebatan moral menjadi latihan retorika dengan tujuan untuk mengubah sikap
orang lain. Yang penting bukanlah baik atau buruk, tetapi efektif atau tidak efektif
dalam mempengaruhi orang lain. Kata baik bisa diartikan dengan berbagai cara.
Salah satu cara adalah dengan mengartikannya secara deskriptif, yakni baik sebagai
fungsi. Akan tetapi, penggunaan kata baik secara deskriptif tidaklah dapat digunakan
untuk menjelaskan manusia. Secara hakiki, manusia tidaklah memiliki fungsi. Oleh
karena itu, arti kata baik pun berbeda jika digunakan dalam konteks kehidupan
manusia.
Ada juga jenis teori etika yang mendekripsikan tentang egoisme. Yang
pertama, adalah egoisme psikologis, yakni paham yang mengklaim bahwa kita selalu
bertindak berdasarkan kepentingan diri sehingga tindakan moral menjadi tidak
mungkin. Teori kedua adalah egoisme etis, yakni paham yang menyatakan bahwa
kita haruslah bertindak dengan berdasar pada kepentingan diri kita. Paham yang
terakhir ini ditolak oleh Immanuel Kant karena mengalami kontradiksi pada dirinya
sendiri. Bagi Kant, orang yang bermoral adalah orang yang sepenuhnya rasional.
Tindakannya sepenuhnya ditentukan oleh akal budi. Perasaan dan emosi tidak
mempengaruhinya. Akan tetapi, apakah orang yang sepenuhnya rasional adalah
otomatis orang yang bermoral? Bukankah orang yang rasional pun punya
kepentingan diri?
Utilitarianisme adalah teori etika yang menilai suatu tindakan dari besar
kecilnya kebahagiaan yang ditimbulkan. Jika pertimbangannya melulu didasarkan
pada akibat langsung,

teori etika ini sering menyarankan agar kita bertindak

berlawanan dengan intuisi moral kita. Yang harus disadari adalah bahwa setiap

85

tindakan memiliki akibat tidak langsung yang selalu lebih sulit diperkirakan daripada
akibat langsungnya. Sementara itu, etika keutamaan adalah teori etika yang tidak
mempertimbangkan

tindakan

moral

atau

konsekuensi-konsekuensi

yang

diakibatkannya. Teori ini mulai dengan sebuah pengandaian antropologis bahwa


manusia adalah mahluk yang rasional, seperti yang dirumuskan oleh Kant. Akan
tetapi, manusia bukanlah manusia yang sepenuhnya rasional. Manusia yang
berkeutamaan memang adalah manusia yang rasional, tetapi juga manusia yang
bertindak sesuai dengan konteks konkret dan selalu sudah mempertimbangkan
perasaan serta emosi. Walaupun begitu, konsep keutamaan adalah konsep yang
sangat lentur sehingga sulit untuk didefinisikan secara pasti.

Semua teori moral ini bertujuan untuk merancangbangun proses pembuatan


keputusan-keputusan moral. Kantianisme, utilitarianisme, dan etika keutamaan
adalah contoh dari teori-teori etika yang menekankan satu sisi dari berbagai sisi yang
harus dipertimbangkan di dalam membuat penilaian moral.

Beberapa hal kiranya bisa menjadi refleksi lebih lanjut. Di dalam penilaian
moral, manusia selalu dipengaruhi oleh baik akal budi maupun emosi-emosinya.

Dapatkah

dikatakan,

bahwa

penilaian

moral

yang

baik

selalu

berupaya

menyeimbangkan di antara keduanya? Jika moralitas memberikan tempat bagi


emosi dan perasaan, apakah moralitas lalu masih dapat dikatakan mempunyai sisi
obyektif?

Bagaimana kita menentukan hakekat dari penilaian moral? Atau, dapatkah penilaian
moral melulu kita tempatkan pada persamaan-persamaan logis untuk sampai pada
jawaban logis? Atau, haruskah kita memberi ruang juga pada hal-hal partikular
lainnya?

Bagaimana kita dapat menghadapi dilema moral? Apakah ada dilema-dilema moral
tertentu yang tidak bisa dijawab secara benar? Jika kita tidak dapat merumuskan
suatu prosedur rasional untuk sampai pada keputusan moral, apakah berarti
keputusan moral kita tidak didasarkan pada akal budi?

Memang, filsafat dapat menjernihkan dan memperkaya perdebatan untuk sampai

86

pada keputusan moral yang valid. Akan tetapi, dapatkah filsafat sungguh
memberitahukan kepada kita apa itu kebenaran sehingga dari pengetahuan itu kita
juga bisa bertidak benar?

87

Daftar Pustaka
Aristotle.1976. The Nichomachean Ethics. Harmondsworth.Penguin Books.
Budi Hardiman, Fransisco.2007. Filsafat Fragmentaris.Yogyakarta:Kanisius.
Geach, Peter.1967. Theories of Ethics. Oxford, Oxford University Press.
Hollis, M. 1985.An Invitation to Philosophy.Oxford, Blackwell.
Kant, Immanuel.1998.Groundwork of the Metaphysics of Morals. Cambridge,
Cambridge University Press.
Nuttal, John. 2002. An Introduction to Philosophy.Cambridge.Polity Press.
Rachel, James. 1993. The Elements of Moral Philosophy. New York: McGraw-Hill.
Russell, Bertrand.1980. The Problems of Philosophy. Oxford, Oxford University
Press.
Sudarminta. 2002. J, Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Woodhouse, Mark. B. 2000. Filsafat. Sebuah Langkah Awal (edisi Indonesia),
Yogyakarta: Kanisius.

88

BAGIAN II
Ilmu Pengetahuan
dalam Bingkai Filsafat

89

Pengantar (kemungkinan dari Dr. Mikael Dua)

Pendahuluan
Selama lebih dari 400 tahun, ilmu pengetahuan telah mengubah hidup
manusia. Segala sesuatu yang kini telah menjadi bagian dari hidup kita, seperti
teknologi komunikasi, kesehatan, dan transportasi. Teknologi tidak akan pernah ada
jika ilmu pengetahuan tidak berkembang. Dewasa ini banyak wacana yang
mengungkapkan berbagai permasalahan yang muncul akibat penggunaan teknologi
dan ilmu pengetahuan, seperti masalah lingkungan hidup ataupun masalah etis
lainnya. Akan tetapi, kita pun selalu berharap pada ilmu pengetahuan itu sendiri
untuk memperbaiki semua masalah tersebut. Jika asap kendaraan bermotor dan
mesin pabrik merusak atmosfer dan menimbulkan pencemaran udara, kita berharap
pada ilmu pengetahuan untuk menciptakan alat pembersih udara dan mesin-mesin
yang lebih ramah lingkungan. Memang banyak orang menaruh harapan besar
terhadap ilmu pengetahuan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia secara
keseluruhan.
Akan tetapi, apa yang sebenarnya dimaksud ilmiah sehingga sesuatu itu layak
disebut sebagai ilmu pengetahuan? Bagaimana orang membedakan ilmu
pengetahuan dengan pernyataan-pernyataan palsu yang menyesatkan? Bagaimana
kita mengukur pernyataan pada ilmuwan dan mampu menilainya secara kritis?
Bagaimana kita tahu bahwa yang dinyatakan oleh para ilmuwan itu sesuatu yang
layak dianggap benar dan bukan sekedar pernyataan kosong?
Secara umum dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan selalu berurusan
dengan fakta-fakta, yakni informasi tentang dunia dan unsur-unsurnya yang
dianggap sebagai fakta keras dan dapat dianalisis. Kata ilmu pengetahuan berasal
dari bahasa Inggris, science. Kata itu memiliki akarnya pada bahasa Latin, yakni
scientia yang berarti pengetahuan. Jadi, ilmu pengetahuan menawarkan pada kita
sebuah pengetahuan dan bukan sekedar opini tanpa dasar. Akan tetapi, proses untuk
sampai pada pengetahuan di dalam ilmu pengetahuan sama sekali bukan proses yang
sederhana. Bahkan, proses dan metode yang digunakan seringkali menjadi dasar
untuk menyatakan apakah suatu pernyataan itu ilmiah atau sekedar opini kosong.
Proses melihat dan menafsirkan data, mengolahnya ke dalam analisis, dan kemudian
sampai pada rumusan teoritis sangatlah menentukan kredibilitas dan kualitas suatu
pernyataan ilmiah.
Banyak filsuf ilmu pengetahuan dan ilmuwan sendiri berpendapat bahwa
ilmu pengetahuan tidaklah memberikan suatu kebenaran yang bersifat absolut,

90

melainkan hanya sampai tahap probabilitas. Akan tetapi, jika itu betul, apakah dasar
yang membuat ilmu pengetahuan berkembang menjadi teknologi dan mengubah
hidup manusia selama 400 tahun lebih? Jika pernyataan saintifik hanyalah
probabilitas, bagaimana dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar
dari operasionalisasi masyarakat? Tentunya, jika suatu prinsip ataupun teori ilmu
pengetahuan itu dapat diterapkan, teori tersebut benar dan bukan hanya sekedar
probabilitas! Bagaimana kita dapat bersikap kritis dan skeptis terhadap ilmu
pengetahuan jika di dalam kehidupan sehari-hari kita sudah melihat keberhasilan
ilmu pengetahuan di dalam mengembangkan hidup manusia? Pertanyaan ini tidak
akan dijawab sekarang, tetapi akan terus menjadi bahan refleksi sepanjang buku ini.
Marilah kita sedikit mundur ke beberapa abad sebelum sekarang. Pada abad
ke-17 dan 18 ilmu pengetahuan berkembang pesat di Eropa. Masa-masa ini adalah
masa-masa optimisme dan ilmu pengetahuan pun dilihat dalam kerangka optimisme
terhadap kemajuan peradaban manusia. Rasio manusia menjadi harapan untuk
membebaskan manusia dari mitos, tahayul-tahayul, dan dari tradisi yang seringkali
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Metode ilmiah untuk sampai
pada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan merupakan wujud nyata dari
komitmen para pemikir jaman itu untuk memaksimalisasi rasio demi kebaikan
seluruh manusia. Pada masa itu ada semacam keyakinan yang sangat besar terhadap
kemampuan manusia untuk memahami dunia melalui rasionya dan kemudian
menggunakan pemahaman tersebut demi kebaikan umat manusia.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang telah dibuktikan dan telah dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya.
Dengan kata lain, ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah diafirmasi oleh
bukti-bukti nyata dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam
kerangka itu, tidak ada pernyataan apapun yang dianggap benar kecuali jika buktibukti nyata telah mendukung pernyataan itu atau ada alasan rasional yang kuat
bahwa pernyataan tersebut akan terbukti pada kemudian hari. Hal inilah yang
menjadi ciri dari pemikiran Rene Descartes, seorang filsuf di dalam filsafat modern
yang menolak untuk menerima apapun yang tidak bisa diketahui secara jelas dan
terpilah-pilah.
Ia menyangkal semua data yang masuk melalui panca inderanya untuk sampai
pada satu kebenaran mutlak yang tidak bisa diragukan lagi kebenarannya, yakni aku
berpikir maka aku ada.
Memang data selalu masuk ke dalam pengetahuan kita melalui panca indera.
Akan tetapi, kita tetap perlu bersikap kritis terhadap data-data yang masuk ke dalam
panca indera kita tersebut dan yakin bahwa data-data itu bukanlah sesuatu yang
menipu. Dengan kata lain, kita perlu mengecek dan memastikan setiap hal yang kita
ketahui melalui indera kita bahkan yang tampaknya sudah begitu meyakinkan. Di
abad ke-20 optimisme yang pernah dirasakan dua abad sebelumnya pun mulai

91

meredup. Ilmu pengetahuan memang telah berperan besar di dalam memajukan


kualitas peradaban manusia. Tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat pelayanan
kesehatan, tingkat pendidikan, semuanya meningkat. Walaupun begitu, ilmu
pengetahuan juga berperan besar di dalam proses barbarisasi peradaban dalam
bentuk perang yang menimbulkan banyak korban, baik nyawa maupun harta benda.
Ilmu pengetahuan dapat memberikan berkah sekaligus kutuk yang berpotensi untuk
menghancurkan manusia dalam bentuk teknologi persenjataan perang ataupun
perusakan lingkungan. Senjata nuklir dan senjata biologis dapat membunuh jutaan
manusia dan menghancurkan lingkungan dalam sekejap mata. Ketakutan akan
penyalahgunaan ilmu pengetahuan pun kini banyak timbul.
Selanjutnya, bagaimana peran filsafat ilmu pengetahuan? Filsafat ilmu
pengetahuan mau memeriksa prinsip-prinsip yang digunakan oleh para ilmuwan
untuk memeriksa data, mengolahnya ke dalam analisis, serta kesahihan kesimpulan
teoritis yang muncul dari penelitian ilmuwan tersebut. Dengan kata lain, filsafat ilmu
pengetahuan hendak melihat logika internal dan proses kerja internal di dalam dunia
penelitian saintifik.1 Lebih dari itu, filsafat ilmu pengetahuan mau
mempertimbangkan implikasi dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia.
Menjawab kekhawatiran yang sudah dipaparkan di atas. Filsafat ilmu pengetahuan
hendak memeriksa efek-efek ilmu pengetahuan bagi pengetahuan manusia dan
dampaknya pada refleksi etis tentang berbagai problemnya serta eksesnya di dalam
kehidupan manusia.
***
Sampai abad ke-18 filsafat dan ilmu pengetahuan adalah satu displin. Ilmu
pengetahuan, seperti yang kita maksudkan sekarang ini, pada masa itu disebut
sebagai filsafat natural (natural philosophy) yakni cabang filsafat yang mau
merefleksikan dan memahami struktur dan hakekat alam semesta, baik dengan
pendekatan teoritis ataupun pendekatan eksperimental. Pada abad ke 18 dan 19
perkembangan metode pendekatan ilmu-ilmu alam melaju pesat sehingga ilmu-ilmu
alam mulai terspesialisasi dan memisahkan diri dari filsafat. Dengan proses
spesialisasi semacam ini, semakin tidak mungkinlah bagi seseorang untuk menjadi
ahli di dalam kedua bidang ini sekaligus. Oleh karena itu, filsuf dan ilmuwan alam
pun mulai dipisahkan. Filsuf berperan untuk mengecek prinsip-prinsip dasar yang
digunakan di dalam ilmu pengetahuan.
Kata filsafat ilmu pengetahuan sendiri, sebagai cabang dari filsafat, pertama
kali ditemukan di dalam tulisan-tulisan William Whewell (1794-1886). Ia menulis
tentang sejarah ilmu pengetahuan dan pada 1940 ia juga menulis tentang The
Philosophy of Inductive Sciences, Founded upon their History. Kita juga harus ingat
bahwa beberapa filsuf besar--baik sebelum ilmu pengetahuan (science) sebagai suatu
1

Lihat, Mel Thompson, Philosophy of Science, Coventry, Hodder & Stoughton Educational, 2001, hal. vii.

92

displin sendiri muncul ataupun setelahnya--banyak terlibat di dalam refleksi


matematika dan ilmu-ilmu alam. Aristoteles adalah filsuf pertama yang
menggunakan kata ilmu pengetahuan dan memberikan definisi seperti yang kita
ketahui sekarang ini. Descartes, Pascal, dan Leibniz adalah seorang matematikus.
Memang, ilmu pengetahuan tidak akan pernah berkembang tanpa matematika.
Matematika memiliki peran besar di dalam logika dan begitu juga di dalam filsafat.
Berbagai rumusan di dalam filsafat dan di dalam ilmu pengetahuan selalu sudah
didasarkan pada prinsip-prinsip logis yang berasal dari matematika. Bagi beberapa
filsuf, filsafat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan.
Orang-orang seperti Francis Bacon dan John Locke hendak memberikan landasan
filosofis bagi metode penelitian saintifik. David Hume mau menekankan bahwa
pengetahuan manusia yang sah hanyalah pengetahuan yang didapatkan dari
pengalaman inderawi dan dengan demikian memberikan konstribusi besar bagi
perkembangan metode saintifik. Thomas Hobbes merefleksikan tentang gerak di
dalam dunia dan memberikan sumbangan besar bagi perkembangan fisika
Newtonian.
Bahkan, Immanuel Kant, filsuf yang merumuskan refleksinya secara abstrak
dan memiliki kecanggihan konseptual yang sangat tinggi menulis A General Natural
History and Theory of the Heavens pada 1755. Ia mencoba mengetahui proses
terciptanya tata surya kita. Di dalam bukunya yang berjudul Kritik der Reinen
Vernunft, ia membedakan antara dunia yang tampak bagi kita dan dunia yang tidak
dapat kita ketahui. Distingsi ini memberikan kontribusi besar di dalam metode
pendekatan ilmu-ilmu pengetahuan selanjutnya. Akan tetapi, ternyata tidak semua
filsuf mendukung campur tangan filsafat di dalam ilmu pengetahuan. Beberapa
aliran di dalam filsafat, seperti positivisme logis pada awal abad ke-20 menolak
mencampurkan filsafat yang berkaraktek prinsip-prinsip abstrak dengan
pengetahuan yang sahih dan jelas tak terbantahkan. Bagi mereka, setiap penyataan
hanya dapat dikatakan sah, jika pernyataan tersebut bersih dari prinsip-prinsip
abstrak yang tidak dapat diindera, didukung oleh data-data, dan menggunakan
pendekatan saintifik empiris yang ketat.
***
Secara umum, filsafat ilmu pengetahuan adalah cabang dari filsafat yang
memeriksa kesahihan metode yang digunakan di dalam penelitian saintifik, seperti
proses bagaimana hipotesis dan hukum-hukum dibentuk dari data-data yang ada,
dan memeriksa kesahihan dasar-dasar dari setiap klaim ilmiah tentang dunia.
Ilmuwan cenderung semakin terspesialisasi pada bidang penelitian mereka.
Sementara, filsuf ilmu pengetahuan mengambil jarak dari kekhususan itu dan
berkonsentrasi untuk berpikir kritis dan mendasar tentang prinsip-prinsip, dan relasi
diantara prinsip-prinsip tersebut, yang mendasari pandangan ilmu pengetahuan

93

tentang dunia.2
Ilmu pengetahuan memang mendeskripsikan realitas. Pada titik ini, ilmuwan
seringkali jatuh pada sikap saintisme, yakni suatu paham yang berpendapat bahwa
penggambaran tentang realitas dengan sudut pandang ilmiah yang dilakukan oleh
ilmu pengetahuan adalah satu-satunya kebenaran yang ada. Dengan perkembangan
ilmu pengetahuan yang begitu pesat, ada kecenderungan yang sangat besar bagi para
ilmuwan untuk jatuh ke dalam saintisme semacam itu. Mereka berpendapat bahwa
suatu pernyataan hanya dapat disebut benar jika ada status ilmiah di samping
pernyataan tersebut. Akibatnya, hal-hal yang tidak dapat didekati dengan metode
saintifik, seperti pada seni, emosi-emosi manusia, nilai-nilai tradisi dan agama tidak
dianggap benar dan hanya dianggap sebagai reaksi-reaksi subyektif. Salah satu tugas
utama dan terpenting dari filsafat ilmu pengetahuan adalah mencegah ilmuwan
untuk jatuh ke dalam saintisme semacam itu dan memberikannya pandangan yang
seimbang tentang apa yang dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah dan apa yang
tidak.
Filsafat ilmu pengetahuan juga mau merefleksikan hakekat dari teori-teori di
dalam ilmu pengetahuan, seperti bagaimana suatu observasi akan data dan fakta di
dalam dunia dapat berkembang menjadi suatu pernyataan umum yang bersifat
universal. Selain itu, filsafat ilmu pengetahuan juga mau menyelidiki kriteria-kriteria
yang menentukan apakah suatu teori itu benar atau tidak dan bagaimana
perkembangan teori tersebut di dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di dalam
menganalisis prinsip-prinsip yang mendasari semua praktek ilmu pengetahuan,
filsafat ilmu pengetahuan tentunya memerlukan refleksi dari cabang filsafat lainnya,
seperti metafisika (yang membahas struktur dasar dari realitas), epistemologi
(filsafat pengetahuan), dan dari filsafat bahasa (yang berguna untuk bersikap kritis
terhadap klaim-klaim saintifik dan logika bahasa di balik setiap pernyataan ilmiah).
Dalam kerangka ini, filsafat ilmu pengetahuan tidaklah mau menjadi semacam polisi
di dalam dunia intelektual, melainkan mau mengambil peran aktif di dalam
mendampingi ilmu pengetahuan sehingga dapat menjernihkan beberapa implikasi
teoritis maupun praktis dari ilmu pengetahuan tersebut.
Setidaknya, ada tiga hal yang dapat dilihat dalam kaitan antara filsafat dan
ilmu pengetahuan. Pertama, memang, ilmu pengetahuan dan filsafat berurusan
dengan obyek yang berbeda. Ilmu pengetahuan memberikan informasi tentang
dunia. Sementara, filsafat berurusan dengan norma-norma, nilai-nilai, dan makna
dari kehidupan manusia. Akan tetapi, filsafat dapat menjernihkan beberapa
pernyataan-pernyataan ilmiah. Filsafat juga dapat bersikap kritis terhadap
pernyataan-pernyataan ilmiah dan dapat mengeksplorasi lebih jauh akibat dan
implikasi dari pernyataan-pernyataan ilmiah tersebut. Ini adalah pandangan yang
telah banyak diakui oleh para ahli, baik oleh para ilmuwan maupun oleh para filsuf.
2

Ibid, hal. ix.

94

Kedua, filsafat dan ilmu pengetahuan berurusan dengan obyek yang sama,
yakni dunia dan merumuskan pernyataan-pernyataannya juga secara sintetis.
Pernyataan sintetis berarti pernyataan tersebut memberikan kualitas yang baru
terhadap subyek yang dideskripsikannya. Oleh sebab itu, filsafat dan ilmu
pengetahuan berurusan dengan obyek yang sama dan mendeskripsikan obyek
tersebut dengan cara yang sama. Ilmu pengetahuan juga tidak sekedar melaporkan
fakta melainkan juga berargumentasi dengan teori-teori. Filsafat juga melakukan hal
yang sama. Oleh sebab itu, tidak ada batas yang sangat jelas yang membedakan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Pandangan ini diungkapkan oleh seorang filsuf
asal Amerika yang bernama W. V Quine dalam artikelnya yang diterbitkan pada 1951
berjudul Two Dogmas of Empiricism. Ketiga, tidak hanya ilmu pengetahuan, filsafat
juga dapat memberikan deskripsi tentang realitas. Filsafat dapat sampai pada
kebenaran yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan, walaupun tidak
menggunakan metode saintifik. Pandangan ini banyak diungkapkan oleh para filsuf
kontemporer abad ke-20, seperti Moore, Wittgenstein, Austin, dan Searle.
Pertanyaan kunci yang masih menggantung adalah apakah ada unsur-unsur di
dalam realitas yang tidak dapat dianalisis oleh ilmu pengetahuan, tetapi dapat
dianalisis dengan filsafat? Jika filsafat dan ilmu pengetahuan menyelidiki obyek yang
sama, apakah sumbangan khusus dari filsafat sesungguhnya? Tentu saja, pertanyaan
nakal semacam ini juga dapat muncul, mungkinkah seorang ilmuwan melakukan
penelitian tanpa pendasaran filosofis sama sekali? Atau, apakah apa yang disebut
fisika itu mungkin jika kita tidak terlebih dahulu mengandaikan adanya logika,
metafisika, dan epistemologi?
Di dalam seluruh buku ini, kita akan melihat bahwa ilmu pengetahuan tidak
pernah dapat sungguh-sungguh murni saintifik, empirik, dan tidak membutuhkan
filsafat. Ilmu pengetahuan juga tidak pernah dapat lepas dari pengaruh pandangan
dunia tertentu, konteks bahasa, dan budaya, dari tempat pengetahuan itu berada.
Bahkan, ilmu pengetahuan tidak akan dapat dilepaskan dari struktur ekonomi dan
struktur politik, dari tempat ilmu itu berkembang. Jika seorang ilmuwan hendak
meminta dana untuk mendukung penelitiannya, ia harus menunjukkan bahwa
penelitiannya memiliki nilai bagi masyarakat di lingkungan ia hidup atau bahwa
penelitian tersebut berpotensi memberikan keuntungan bagi masyarakat. Filsafat
ilmu pengetahuan hendak bersikap sangat kritis dan terbuka terhadap semua
pengaruh itu. Pihak-pihak yang memberikan dana pada suatu penelitian memiliki
pertanyaan-pertanyaan yang khusus dan tujuan yang jelas dan tujuan itulah yang
menjadi pengaruh terhadap seluruh proses perjalanan penelitian tersebut.
Akan tetapi, lepas dari semua hal yang disebutkan di atas, filsafat ilmu
pengetahuan memiliki fungsi yang lebih umum, yakni untuk menganalisis dan
menjernihkan konsep-konsep yang digunakan selama penelitian, untuk memeriksa
argumentasi-argumentasi, mengeksplisitkan pengandaian-pengandaiannya, dan
memperjelas logikanya. Selanjutnya, apakah filsafat memiliki kontribusi langsung di

95

dalam memberikan pemahaman tentang realitas ataukah ia hanya menjernihkan dan


mengklarifikasi konsep-konsep yang digunakan di dalam ilmu pengetahuan? Bagi
para filsuf yang hidup pada pertengahan abad ke-20, tugas filsafat memang terbatas,
yakni mengklarifikasi konsep-konsep yang digunakan di dalam ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, hal tersebut kini telah banyak berubah. Para pembaca mungkin dapat
mempertimbangkan dan mengajukan argumentasi sendiri, terutama setelah
menyimak seluruh pemaparan di dalam buku ini, tentang apakah filsafat telah
memberikan sumbangan khasnya sendiri secara langsung bagi pemahaman manusia
tentang dunia ataukah filsafat hanya berfungsi menyistematisasi dan mengklarifikasi
pengetahuan yang telah ada di dalam penelitian ilmiah, atau di dalam pengalaman
sehari-hari manusia?
***
Ada begitu banyak buku dan karya tulis tentang filsafat ilmu pengetahuan dan
ada lebih banyak buku dan literatur lagi tentang sejarah ilmu pengetahuan itu
sendiri. Seluruh buku ini bertujuan untuk menyentuh dan sedikit mengolah berbagai
tema kunci di dalam seluruh diskusi tentang filsafat ilmu pengetahuan sehingga kita
mendapatkan pandangan yang menyeluruh tentang apa yang dimaksud dengan
filsafat ilmu pengetahuan.

Kita tidak akan pernah dapat sungguh-sungguh memahami dan menghargai


ilmu pengetahuan tanpa tahu betul apa peran dan fungsi ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia sepanjang sejarahnya. Oleh karena itu, buku ini akan dimulai
dengan sebuah pemaparan umum tentang sejarah ilmu pengetahuan dari tempat
asalnya, yakni di Eropa. Dalam pemaparan yang bersifat historis tersebut, saya akan
mengeksplisitkan pengandaian-pengandaian yang dipegang oleh filsuf yang
berefleksi tentang ilmu tersebut serta implikasi sosial dari ilmu pengetahuan dan
teknologi yang dirumuskannya.

Ada satu ciri yang melekat erat pada ilmu pengetahuan dan justru yang
membuat suatu pernyataan sah secara ilmiah, yakni metodenya yang bersifat
saintifik. Kita juga akan melakukan pemaparan dan refleksi terhadap metode
saintifik ini, terutama dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan pada abad
ke-17.

Di samping itu, filsafat ilmu pengetahuan juga banyak mendiskusikan tentang


validitas dan kredibilitas dari pernyataan ilmiah. Saya juga akan menyinggung
tentang hal ini.

96

Para filsuf ilmu pengetahuan dan para ilmuwan sendiri telah lama menyadari,
bahwa pengamatan kita akan suatu benda ataupun suatu gejala selalu dipengaruhi
oleh pengandaian-pengandaian dan teori-teori yang telah kita miliki sebelumnya.
Oleh karena itu, seringkali penilaian kita akan suatu teori ataupun fenomena menjadi
bias. Pada titik ini, kita dihadapkan pada problem relativisme di dalam ilmu
pengetahuan. Kita juga akan membahas tentang hal ini.

Ilmu pengetahuan memiliki banyak hal yang dapat dikatakan tentang manusia
dan dunianya, yakni dari asal usul kehidupan sampai teori tentang perilaku manusia,
dan bahkan sampai penciptaan kehidupan buatan. Kita juga akan membahas tentang
isu-isu problematis yang ada di balik semua teori tersebut.

Terakhir, kita akan melihat relasi antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan.
Bagaimana pengaruh otoritas yang ada di dalam komunitas para ilmuwan terhadap
kesahihan dari suatu pernyataan ilmiah ataupun suatu teori? Kita akan mencoba
membedah dan merefleksikan isu ini untuk melihat pengaruh kondisi politik, sosial,
dan ekonomi terhadap ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, hidup tetaplah lebih luas daripada ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu,
kita juga akan melihat batas-batas dari ilmu pengetahuan dan bagaimana kaitan ilmu
pengetahuan dengan bidang-bidang lain di dalam hidup manusia, seperti seni,
literatur, agama, serta tentang makna dari hidup manusia.

97

Bab 1
Filsafat Ilmu Pengetahuan
dan
Ilmu Pengetahuan
Banyak dari kita sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, apakah kita sudah mengerti apa yang dimaksud dengan
filsafat ilmu pengetahuan? Apa yang membedakan ilmu pengetahuan dengan filsafat
ilmu pengetahuan? Bagaimana filsafat pengetahuan berelasi dengan cabang-cabang
filsafat lainnya? Saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.3
1.1 Apa yang Bukan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan lebih luas dari sekedar sejarah ilmu pengetahuan.
Sejarah ilmu pengetahuan berguna untuk memahami proses penemuan berbagai
macam hal di dalam ilmu pengetahuan. Banyak ahli berpendapat bahwa beberapa
problematika di dalam filsafat ilmu pengetahuan tidak dapat dipahami secara
memadai terpisah dari sejarah ilmu pengetahuan.4 Walaupun begitu, kedua bidang
ini tetap harus dipisahkan.
Filsafat ilmu pengetahuan bukanlah kosmologi atau filsafat spekulatif tentang
alam. Kosmologi adalah ilmu yang berupaya melakukan spekulasi pemikiran tentang
proses terciptanya alam semesta, hakekat dan tujuan dari alam semesta, serta arti
dari alam semesta itu sebagai keseluruhan. Kita bisa mengambil contoh tentang
pandangan kosmologis spekulatif dari pemikiran Hegel dan Whitehead. Hegel
berpendapat bahwa alam semesta memiliki karakter yang dialektis. Sementara, pada
pemikiran Whitehead, alam semesta dipandang sebagai suatu bentuk organisme.
Pemikiran-pemikiran semacam itu seringkali imajinatif, spekulatif, dan sangat
bersifat antroposentrik. Memang, pemikiran mereka juga diinspirasikan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan pada jaman mereka hidup. Tambahan pula, di
dalam filsafat ilmu pengetahuan, kita akan seringkali berpapasan dengan pemikirpemikir semacam mereka. Akan tetapi, distingsi tetap harus diberikan karena filsafat
ilmu pengetahuan lebih dari sekedar kosmologi spekulatif.
Filsafat ilmu pengetahuan juga bukanlah sosiologi pengetahuan ataupun
psikologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan adalah ilmu yang mempelajari ilmu
pengetahuan sebagai sebuah aktivitas sosial, yakni sebagai salah satu bentuk aktivitas
sosial di antara aktivitas sosial lainnya. Tentu saja, filsafat ilmu pengetahuan juga
akan berpapasan dengan pertanyaan semacam itu. Akan tetapi, distingsi tetap harus
3
4

Lihat, Brody (ed), Reading in the Philosophy of Science, Englewood, Prentice-Hall, 1970.
Lihat, Introductory Reading di dalam Philosophy of Science, New York, Prometheus Books, 1998, hal. 19.

98

dibuat karena sekali lagi, filsafat ilmu pengetahuan lebih dari sekedar sosiologi ilmu
pengetahuan.
1.2 Apa yang Dimaksud dengan Filsafat Pengetahuan
Secara umum, filsafat ilmu pengetahuan adalah sebuah upaya untuk
memahami makna, metode, struktur logis dari ilmu pengetahuan, termasuk juga di
dalamnya kriteria-kriteria ilmu pengetahuan, hukum-hukum, dan teori-teori di
dalam ilmu pengetahuan. Supaya lebih fokus, marilah kita pertegas beberapa poin
tentang filsafat ilmu pengetahuan.
Ada berbagai konsep yang digunakan secara khusus oleh seorang ilmuwan,
tetapi tidak dianalisis oleh ilmuwan tersebut. Misalnya, ilmuwan seringkali
menggunakan konsep-konsep seperti kausalitas, hukum, teori, dan metode. Dalam
konteks ini, beberapa pertanyaan muncul apa yang dimaksud dengan pernyataan
bahwa suatu peristiwa menyebabkan peristiwa lainnya? Jadi, apakah yang dimaksud
dengan konsep kausalitas itu? Apa yang dimaksud dengan hukum di dalam ilmu
pengetahuan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu berarti kita terlibat di
dalam analisis filsafat ilmu pengetahuan.
Selain itu, ada berbagai konsep lainnya yang berbeda dari apa yang disebutkan
sebelumnya, tetapi juga tidak menjadi obyek analisis kritis dari ilmuwan. Ilmuwan
seringkali menggunakan alat-alat seperti skala, statistik, dan gelas kimia. Bendabenda ini adalah benda-benda yang dapat diamati. Akan tetapi, ilmuwan juga
menggunakan konsep-konsep yang tidak dapat diamati secara harafiah, seperti
eletron, ion, gen. Bagaimana konsep-konsep ini dapat dipahami? Bagaimana
justifikasi atas penggunaan konsep-konsep yang tidak bisa dipahami secara inderawi
ini? Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, berarti kita sudah melakukan refleksi
filsafat ilmu pengetahuan.
Kita juga mungkin saja mengajukan pertanyaan, mengapa konsep-konsep ini
harus dianalisis? Bukankah kita cukup menyerahkan hal ini pada para ilmuwan yang
telah memahami betul penggunaan konsep-konsep ini? Memang, para ilmuwan telah
mengetahui penggunaan konsep-konsep seperti elektron, positron. Di kalangan para
ilmuwan sendiri, kesepakatan tentang penggunaan konsep-konsep khusus tersebut
telah tercipta. Akan tetapi, seorang filsuf yang mendedikasikan dirinya untuk ilmu
pengetahuan tentu akan terganggu dengan penggunaan konsep-konsep tersebut.
Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang pernah melihat secara langsung partikel
subatomik. Filsuf ilmu pengetahuan akan bertanya, dapatkah konsep-konsep murni
tersebut diacu secara inderawi dan dengan demikian tidak menjadi klaim eksklusif
para ilmuwan saja sehingga dapat dicermati oleh orang banyak? Jika hal ini tidak
ditanyakan, para ilmuwan akan mudah sekali bertindak sewenang-wenang dengan
klaim ilmiah mereka dan memperlebar kesenjangan antara ilmuwan dan orangorang awam pada umumnya. Jika begitu, kontrol sosial pun akan sangat sulit
dilakukan. Penyelidikan konsep-konsep abstrak di dalam ilmu pengetahuan yang

99

dilakukan oleh seorang filsuf ilmu pengetahuan seringkali menggunakan sudut


pandang akal sehat dan rasionalitas sehingga dapat menjelaskan kompleksitas teori
ilmu pengetahuan pada orang banyak sekaligus mengajukan pertimbangan kritis
atasnya.
1.3 Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Pengetahuan
Untuk menambah pemahaman kita tentang filsafat ilmu pengetahuan, marilah
kita pertegas perbedaan antara filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Cara terbaik melakukan ini adalah dengan melihat secara detil aktivitas dan fokus
dari kegiatan seorang ilmuwan di satu sisi dan kegiatan seorang filsuf ilmu
pengetahuan di sisi lain. Banyak perbedaan antara dua status ini. Seorang ilmuwan
mengamati fenomena yang ada di dalam dunia dan kemudian menarik kesimpulan
berdasarkan persamaan-persamaan yang ada. Ilmuwan juga melakukan eksperimen
tersendiri dengan memanipulasi situasi sehingga dapat mengamati suatu fenomena
dalam situasi khusus. Ilmuwan mengajukan hipotesis berdasarkan pengamatan dan
eksperimennya tersebut dan kemudian merumuskan teori berdasarkan hipotesisnya
yang telah digabungkan dengan hipotesis-hipotesis yang sudah ada sebelumnya.
Seorang filsuf ilmu pengetahuan sama sekali tidak melakukan langkah-langkah
diatas. Akan tetapi, mereka mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini,
apa yang dimaksud dengan hipotesis? Kriteria macam apakah yang diperlukan untuk
membedakan antara suatu teori ilmiah dan bukan? Dengan kata lain, apakah
perbedaan antara teori ilmiah dan opini kosong tanpa dasar?
Lebih jauh lagi, seorang ilmuwan membuat deduksi terlebih dahulu sebelum
mengamati suatu fenomena. Misalnya, ilmuwan merumuskan suatu teori dari
berbagai hipotesis dan hukum yang ada, serta kemudian mencari bukti-bukti yang
mendukung teori yang dirumuskannya tersebut. Seorang filsuf ilmu pengetahuan
tidak akan melakukan hal itu. Mereka mencoba menjernihkan proses deduksi
tersebut serta menjelaskan peran faktor deduksi di dalam ilmu pengetahuan.
Dari penjabaran ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pada hakekatnya, ilmu
pengetahuan bersifat empiris dan eksperimental. Sementara, filsafat ilmu
pengetahuan bersifat analitis dan reflektif. Memang, karakter analitis dan reflektif
juga akan ada di dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan, terutama yang
merupakan ilmu-ilmu murni. Akan tetapi, cara kerja seorang filsuf ilmu pengetahuan
tidaklah empiris ataupun eksperimental. Dan walaupun ada beberapa bentuk ilmu
pengetahuan murni yang memiliki karakter sama dengan filsafat ilmu pengetahuan,
tetapi ilmu pengetahuan tersebut tidak berargumentasi seketat dan setajam filsafat
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan berbicara tentang dunia. Sementara, filsafat
ilmu pengetahuan berbicara tentang ilmu pengetahuan dalam prosesnya melihat

100

dunia.5
Kesimpulannya, ilmu pengetahuan berisi tentang penjabaran data,
generalisasi dari data-data tersebut, perumusan hukum dan teori serta argumentasi
atasnya. Sementara, filsafat ilmu pengetahuan berisi analisis tentang ilmu
pengetahuan, yakni analisis atas konsep-konsep yang digunakan di dalam ilmu
pengetahuan, serta analisis atas pendasaran-pendasaran rasional dari ilmu
pengetahuan itu. Saya berharap ciri-ciri ini dapat semakin memperjelas kita tentang
arti dari filsafat ilmu pengetahuan. Sekali lagi, filsafat ilmu pengetahuan adalah
sebuah upaya untuk memahami makna, metode, serta struktur logis dari ilmu
pengetahuan, terutama dengan analisis kriteria, konsep-konsep, dan teori-teori yang
ada di dalam ilmu pengetahuan.
1.4 Beberapa Distingsi
Ada bermacam-macam tipe ilmu pengetahuan. Sub Bab ini akan membantu
kita untuk mengenali distingsi dari berbagai tipe ilmu pengetahuan yang ada. Yang
pertama adalah ilmu pengetahuan murni (pure sciences), yang dibedakan dengan
ilmu pengetahuan terapan (applied sciences). Kita harus membedakan antara ilmu
pengetahuan sebagai area pengetahuan kognitif dan ilmu pengetahuan sebagai
aplikasi. Ilmu pengetahuan murni terdiri dari logika dan matematika. Sementara,
ilmu pengetahuan terapan adalah ilmu-ilmu empiris, seperti fisika, kimia, biologi,
dan psikologi. Ekonomi, teknik, kedokteran, dan ilmu-ilmu sosial juga masuk ke
dalam ilmu pengetahuan terapan.
Tentu saja, Ilmu-ilmu terapan selalu membutuhkan ilmu pengetahuan murni
sebagai forma logisnya. Oleh karena itu, ilmu-ilmu terapan memerlukan matematika
dan logika untuk perkembangan lebih jauh. Sebaliknya, ilmu pengetahuan murni
juga memerlukan pembuktian empiris akan kegunaannya. Oleh karena itu, ilmu
pengetahuan terapan dapat memberikan justifikasi empiris terhadap ilmu
pengetahuan murni. Ilmu terapan memungkinkan penerapan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan murni ke dalam kegunaan praktis, seperti pembangunan rumah, jalan
raya, ataupun pelayanan kesehatan.
Yang kedua, adalah ilmu pengetahuan yang berorientasi untuk menemukan
hukum-hukum dan ilmu pengetahuan yang diorientasikan untuk menemukan faktafakta empiris. Ilmu-ilmu seperti kimia dan fisika mau menemukan hukum universal
yang dapat diterapkan di mana pun dan kapan pun. Sementara, ilmu pengetahuan
seperti geografi dan ekonomi lebih mendeskripsikan suatu kejadian lokal yang
bersifat partikular. Yang terakhir ini menjadikan fakta partikular sebagai obyek
penelitian dan bukan hukum universal. Memang, banyak orang yang berpendapat
bahwa yang layak disebut sebagai ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan yang
5

Ibid, hal. 25.

101

diorientasikan untuk menemukan fakta-fakta empiris. Sementara, ilmu pengetahuan


yang berorientasi untuk menemukan hukum-hukum universal tidak dapat
menyandang status sebagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, seperti akan kita lihat
kemudian, keduanya dapat menjadi ilmu pengetahuan jika dapat memenuhi kriteriakriteria yang telah ditetapkan. Lebih jauh lagi, banyak filsuf ilmu pengetahuan
berpendapat bahwa tidak ada ilmu yang secara murni bertujuan untuk menemukan
fakta-fakta empiris belaka. Memang, distingsi ini pada akhirnya tidak lagi banyak
digunakan.
Yang ketiga, adalah distingsi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.
Beberapa ahli berpendapat bahwa hanyalah ilmu alam yang layak disebut sebagai
ilmu. Alasannya mirip seperti yang diajukan sebelumnya, ilmu-ilmu alam bertujuan
untuk mencari hukum universal. Sementara, ilmu-ilmu sosial hanya ingin
mengungkapkan fakta-fakta partikular saja. Ilmu-ilmu alam memang menjadikan
alam sebagai obyek penelitiannya, dan ilmu-ilmu sosial menjadikan kebudayaan
sebagai obyek analisisnya. Yang pertama, menggunakan logika kalkulasi, dan yang
kedua menggunakan pemahaman, empati, dan pengertian (verstehen) untuk
memahami. Yang pertama, menemukan hukum universal, dan yang kedua memaknai
fenomena lokal partikular. Akan tetapi, distingsi dengan argumentasi semacam ini
tidaklah memadai, karena ada beberapa ilmu pengetahuan alam yang menganalisis
obyek partikular, seperti geografi, geologi, dan paleontologi, serta ada ilmu-ilmu
sosial yang ingin mencari hukum-hukum universal, seperti sosiologi dan ekonomi.
Dengan demikian, distingsi ini juga tidak terlalu banyak lagi digunakan. Di dalam
seluruh buku ini, saya akan menekankan bahwa walaupun ilmu-ilmu alam dan ilmuilmu sosial dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan, tetapi ada perbedaan
mendasar di antara keduanya yang harus terus dipertimbangkan.
1.5 Tujuan dari Ilmu Pengetahuan
Mari kita beralih ke pertanyaan yang cukup mendasar, apa yang menjadi
tujuan dari ilmu pengetahuan? Saya akan mencoba memberikan penjelasan dengan
mengacu pada pembedaan antara ilmu pengetahuan murni dan ilmu pengetahuan
terapan. Tujuan dari ilmu pengetahuan terapan (applied sciences) adalah kontrol,
perencanaan, serta pengembangan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup
manusia. Ilmu pengetahuan terapan juga hendak mempelajari penggunaan tenaga
alam demi kepentingan-kepentingan praktis. Contohnya adalah kontrol atas bencana
banjir, pembangunan jalan raya dan jembatan, serta pengembangan sistem
pertanian. Karena hal ini sudah cukup jelas, saya tidak akan memperpanjang tentang
hal ini.
Sementara itu, tujuan ilmu pengetahuan murni (pure sciences) dapat dilihat
dari dua sudut pandang. Secara psikologis, tujuan ilmu pengetahuan murni adalah
pencarian pengetahuan akan kebenaran atau hal yang paling dekat dengan
kebenaran, serta kepuasan untuk menggunakan akal budi kita guna menjelaskan dan

102

memprediksi suatu kejadian. Tentu saja, seorang ilmuwan yang berhasil akan
mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari masyarakat. Akan tetapi, seringkali,
seorang ilmuwan mendapatkan semacam kepuasan batin yang sangat personal dan
mendalam dari kerjanya untuk menemukan kebenaran itu sendiri. Pada beberapa
sisi, kepuasan semacam ini sama dengan kepuasaan artistik, seperti ketika kita
menikmati lagu ataupun lukisan yang indah. Perasaan puas ketika berhasil
menyelesaikan suatu problematika pelik di dalam ranah teori sangatlah besar dan
mendalam.6
Secara logis, tujuan dari ilmu pengetahuan murni adalah untuk mendeskripsikan,
menjelaskan, dan memprediksi suatu kejadian. Deskripsi adalah proses untuk
memaparkan apa yang kita amati pada suatu konteks tertentu. Penjelasan adalah
proses untuk menemukan kesamaan dan perbedaan dari berbagai fenomena yang
kita amati. Proses ini bisa ditempuh dengan menjawab pertanyaan mengapa dan
bagaimana dan jawabannya bisa ditarik menjadi hukum ataupun teori. Prediksi
terkait erat dengan penjelasan. Prediksi adalah proses menurunkan proposisiproposisi analisis dan mengkaitkannya dengan kejadian yang belum terjadi.
Kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa depan dapat menjadi semacam tes
untuk suatu teori.
1.6 Kriteria Ilmu Pengetahuan
Pada bagian ini, saya akan menjabarkan beberapa kriteria untuk menentukan
sesuatu itu layak disebut sebagai ilmu pengetahuan atau tidak. Ada dua kegunaan
dari perumusan kriteria ini. Pertama, kriteria ini berguna untuk membedakan ilmu
pengetahuan dengan pengetahuan umum. Kedua, kriteria ini juga berguna untuk
membedakan ilmu pengetahuan dengan pernyataan-pernyataan yang mengklaim
dirinya ilmiah, tetapi sebenarnya tidak memiliki landasan yang kuat. Marilah kita
perjelas hal ini dengan satu buah contoh. Banyak ahli dan mungkin hampir semua
orang yakin bahwa teori gravitasi yang dirumuskan oleh Newton adalah merupakan
ilmu pengetahuan. Sementara, banyak ahli yang meragukan kesahihan astrologi
sebagai ilmu pengetahuan. Mungkin, Anda semua akan setuju dengan yang terakhir
ini. Akan tetapi, apakah alasan di balik klaim bahwa teori Newton merupakan ilmu
pengetahuan, sementara astrologi hanyalah opini tanpa dasar belaka? Pada titik
inilah penentuan kriteria mutlak diperlukan. Kriteria yang akan saya paparkan di
bawah ini mengacu pada rumusan Professor Herbert Feigl di dalam berbagai
tulisannya.7
Setidaknya, ada lima kriteria. Pertama, adalah bahwa suatu teori atau
pernyataan ilmiah dapat diuji secara intersubyektif. Artinya, suatu teori atau
pernyataan tidak hanya diketahui dan diyakini sang ilmuwan saja, tetapi dapat diuji
6

Lihat, Ibid, hal. 31.

103

oleh siapa saja, yakni secara intersubyektif. Oleh karena itu, intuisi subyektif tidak
pernah dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan. Kedua, adalah bahwa suatu
ilmu pengetahuan dapat dipercaya. Artinya, ketika suatu pernyataan atau suatu teori
sedang diuji, teori tersebut benar atau setidaknya memiliki kemungkinan logis yang
sangat besar untuk benar. Ketiga, adalah kejelasan dan ketepatan. Artinya, suatu
teori atau penemuan ilmiah tidaklah boleh bersifat ambigu. Konsep yang
diperkenalkan haruslah jelas dan tepat, tidak berlebih dan tidak kurang. Cara
mengetahui hal ini adalah dengan menggunakan alat uji coba, ataupun alat-alat
lainnya. Keempat, adalah koheren dan sistematik. Artinya, suatu teori atau
pernyataan ilmiah harus teratur dan terhubung secara sistematis dengan premispremisnya. Suatu teori tidak boleh memiliki kontradiksi internal di dalam
bangunannya sendiri. Kelima, adalah cangkupan yang terbatas dan
kompherensibilitas.
Mari kita pertimbangkan kelima aspek ini secara mendetil. Yang pertama
adalah ilmu pengetahuan sebagai pernyataan yang dapat diuji secara intersubyektif.
Di dalam ilmu pengetahuan, ada berbagai bentuk pernyataan, seperti deskripsi,
hukum-hukum, penjelasan teoritis. Semua hal ini disebut sebagai klaim-klaim
pengetahuan. Kita harus melihat bukti-bukti yang ada dan menunjukan apakah
bukti-bukti tersebut sesuai dengan teori atau tidak. Kriteria ini tidak ingin
membuktikan bahwa suatu teori benar atau tidak tetapi apakah suatu teori dapat
diuji atau tidak. Suatu teori haruslah dapat diuji. Jika tidak, itu bukanlah teori.
Misalnya pernyataan ini, Ada gunung-gunung besar di sisi lain dari bulan.
Pernyataan ini dapat diuji, tetapi belum tentu benar.
Apakah yang dimaksud dengan intersubyektif? Intersubyektifitas seringkali
disamakan dengan obyektifitas. Obyektivitas sendiri memiliki berbagai macam arti.
Sesuatu disebut obyektif berarti sesuatu itu tidak didasarkan pada ilusi, halusinasi,
intuisi subyektif. Selain itu, sesuatu disebut obyektif jika sesuatu itu sungguhsungguh berada di dunia eksternal dan bukan hanya konstruksi pikiran kita.
Obyektifitas juga seringkali digunakan untuk menandakan tidak adanya bias serta
menunjukkan adanya kebebasan dari pengaruh perasaan ataupun nilai-nilai tertentu.
Lepas dari itu, obyektivitas juga mengacu pada kemampuan suatu temuan ataupun
pernyataan untuk diuji oleh orang lain sehingga kepercayaan, intuisi privat, sensasisensasi serta pengalaman yang tidak dapat diulang tidak akan pernah dapat disebut
sebagai ilmu pengetahuan. Itulah arti obyektivitas di dalam ilmu pengetahuan.
Suatu pernyataan ilmiah juga harus dapat dipercaya kebenarannya. Ilmu
pengetahuan tidak hanya tertarik dengan pernyataan yang dapat diuji secara
intersubyektif, tetapi juga pada kebenaran suatu teori ataupun pernyataan. Kita
dapat memberikan penilaian tentang kebenaran suatu teori berdasarkan uji coba. Uji
coba ini dikenal juga sebagai konfirmasi. Konfirmasi yang positif dapat dicapai jika
7

Lihat, Ibid, hal. 32-34.

104

suatu teori dapat mencapai tahap verifikasi penuh. Di dalam ilmu pengetahuan,
verifikasi penuh tidak akan pernah dapat dicapai. Haruslah dicatat bahwa teori ilmu
pengetahuan yang dapat dipercaya akan sangat berguna bagi kita untuk membuat
semacam prediksi. Selanjutnya, suatu teori yang dapat diuji secara intersubyektif
tidaklah berarti teori tersebut benar. Artinya, dipenuhinya syarat pertama tidak
berarti syarat kedua terpenuhi.
Suatu teori ilmu pengetahuan juga harus bersifat tepat dan jelas. Kata tepat
dan kata jelas dapat digunakan dengan dua arti. Pertama, kedua kata itu mengacu
pada hilangnya ambiguitas dan ketidakjelasan di dalam suatu teori. Kedua, kedua
kata itu mengacu pada rumusan yang tepat dan rigid tentang hukum-hukum yang
dijabarkan. Misalnya, Adalah lebih mungkin jika X mengakibatkan Y. Pernyataan
tersebut tidaklah memenuhi syarat ketepatan dan kejelasan. Akan tetapi,
Probabilitas dari pengaruhi X terhadap Y adalah 98 %. Pernyataan ini tepat dan
jelas sehingga dianggap lebih memadai dari pernyataan sebelumnya.
Teori ilmu pengetahuan juga harus koheren dan sistematis. Di dalam ilmu
pengetahuan, yang dicari bukanlah kumpulan fakta-fakta yang tidak saling
berhubungan, tetapi fakta-fakta yang memiliki kesatuan konsep dan saling
berhubungan satu sama lain. Koherensi dan sistematika suatu teori dapat diuji jika
kita menganalisisnya berdasarkan prosedur hipotetis-deduktif di dalam ilmu
pengetahuan. Prosedur tersebut terdiri dari empat langkah. Pertama, suatu teori
berawal dari suatu masalah yang ada pada fenomena di dunia. Kedua, seorang
ilmuwan harus merumuskan hipotesis, hukum, dan teori tentang fenomena yang
sedang dianalisis, atau untuk menyelesaikan masalah yang sedang dianalisisnya.
Ketiga, masalah atau fenomena yang diteliti oleh seorang ilmuwan haruslah fakta
yang dapat diamati. Keempat, suatu teori juga harus dapat diuji kebenarannya.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan adalah suatu jaringan pernyataan yang
menyatu, terintegrasi, dan bukan hanya sekedar kumpulan fakta atau pernyataan
yang saling tidak berhubungan. Akan tetapi, kesatuan analisis tersebut juga harus
bebas dari kontradiksi internal.
Yang terakhir, suatu teori ilmiah juga harus komprehensif. Kata komprehensif
di sini mengacu pada dua arti. Pertama, suatu teori dapat disebut komprehensif jika
teori tersebut memiliki daya penjelas yang kuat. Teori Newton dianggap sebagai teori
ilmiah karena mampu menjelaskan mengapa benda akan jatuh ke bawah jika kita
melemparnya, sekaligus menjelaskan mengapa bumi tidak lepas dari orbitnya, serta
bulan selalu berada di sana. Kedua, komprehensif juga berarti teori tersebut lengkap
dalam penjelasannya. Akan tetapi, tidak berarti teori tersebut harus bersifat final dan
tak terbantahkan. Tentunya, kita tidak akan yakin bahwa suatu teori tentang ilmuilmu empiris akan selalu sama dan pasti setiap waktu. Kita harus selalu siap
mengganti atau melepaskan suatu teori yang sudah tidak lagi memadai.
Kesimpulannya, suatu teori layak disebut sebagai ilmu pengetahuan jika teori
105

tersebut mampu memenuhi kelima kriteria yang sudah dijabarkan sebelumnya. Jika
tidak mampu memenuhi kelima kriteria itu, teori tersebut akan dicap tidak ilmiah.
Kembali pada contoh awal kita, teori Newton memenuhi kelima kriteria tersebut.
Sementara, astrologi tidak maka astrologi bukanlah suatu ilmu pengetahuan. Akan
tetapi, kriteria yang dipaparkan Feigl ini tidaklah mutlak. Banyak filsuf ilmu
pengetahuan kemudian mengkritik kriteria ini, baik beberapa ataupun semuanya.
1.7 Apa yang Dimaksud dengan Ilmu Pengetahuan?
Ilmu pengetahuan mencakup tujuh macam tindakan, yakni tindak melakukan
pengamatan seakurat dan sepasti mungkin, mencatat pengamatan tersebut sedetil
mungkin, mengklasifikasi data yang telah didapat sesuai dengan kebutuhan analisis,
mengambil kesimpulan yang bersifat umum dari data-data yang bersifat partikular,
membuat semacam pernyataan deduksi dari kesimpulan yang telah didapat, menguji
pernyataan tersebut dengan bukti-bukti yang didapat kemudian, dan
menghubungkan teori yang didapat dengan berbagai teori lainnya yang sudah ada
sebelumnya. Ketujuh tindakan ini haruslah dilakukan berurutan, yang satu setelah
yang lain.8
Akan tetapi, konsep tentang ilmu pengetahuan yang telah saya jabarkan
sebelumnya juga mendapatkan beberapa tantangan teoritis. Salah satu filsuf yang
banyak mendiskusikan tentang hal ini adalah Karl Popper. Baginya, ilmu
pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang terdiri dari empat hal yang diatur
secara sistematis, yakni pernyataan awal dan klasifikasi data yang relevan dengan
fenomena yang diteliti seakurat dan setepat mungkin, pernyataan umum (hukum)
yang berasal dari pencarian persamaan atas beragam data yang didapat, pernyataan
teoritis yang menghubungkan berbagai bentuk pernyataan hukum yang sudah ada
sebelumnya, dan terakhir adalah pernyataan umum yang lebih spesifik yang ditarik
dari berbagai hukum yang ada, yang kemudian dikonfirmasi kembali oleh
pengamatan dan uji coba lebih jauh.9 Ada dua hal yang kiranya perlu dicatat tentang
pemahaman Popper ini. Pertama, keempat langkah tersebut berlaku untuk ilmu-ilmu
alam maupun ilmu-ilmu sosial. Di dalamnya, logika matematika sangatlah
diperlukan untuk membangun argumentasi. Kedua, metode yang digunakan untuk
melakukan keempat hal diatas tidak selalu otomatis induksi, tetapi juga sudah
melibatkan deduksi-deduksi tertentu, dan bahkan intuisi. Semoga pemaparan di Bab
ini dapat memberikan gambaran tentang apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
filsafat ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

8
9

Lihat, ibid, hal. 34.


Lihat, Ibid, hal. 35.

106

Bab 2
Sejarah Ilmu Pengetahuan
Filsafat ilmu pengetahuan memiliki perbedaan dengan sejarah ilmu
pengetahuan. Meskipun demikian, kita tidak akan memahami dan menghargai yang
satu tanpa yang lainnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu baru dapat dipahami
sungguh-sungguh jika refleksi tentang sejarah ilmu pengetahuan telah dilakukan
sebelumnya. Ada dua alasan untuk hal ini. Pertama, perkembangan ilmu
pengetahuan mencerminkan pemahaman tentang realitas pada waktu itu. Ilmu
pengetahuan akhirnya turun berpartisipasi aktif membentuk realitas tersebut.
Filsafat berurusan dengan semua bentuk pertanyaan tentang dunia dan pemahaman
manusia atasnya. Oleh sebab itu, kita harus melihat bagaimana relasi timbal balik
antara filsafat dan ilmu pengetahuan dalam konteks historis perkembangannya.
Kedua, seorang ilmuwan biasanya membuat teori untuk mengkritik dan melampaui
teori-teori yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita
untuk melihat bagaimana proses perkembangan ilmu pengetahuan dalam konteks
historisnya sehingga kita memperoleh pemahaman yang umum dan menyeluruh
tentang proses perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.10 Dalam kerangka yang
sama adalah juga penting bahwa kita melihat isu-isu utama yang menjadi pergulatan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Khususnya, ada isu utama tentang filsafat alam dan
bagaimana perkembangan serta perubahannya selama lebih dari 2500 tahun
sejarahnya.
Ada dua paradigma besar yang melandasi perkembangan filsafat. Pertama,
adalah paradigma yang dirumuskan oleh para filsuf Yunani Kuno, terutama
Aristoteles. Paradigma ini memperoleh kritik tajam. Selanjutnya, digantikan oleh
paradigma Newtonian. Pergantian ini banyak disebut oleh para ahli sebagai lahirnya
ilmu pengetahuan modern. Kedua, adalah paradigma Newtonian yang kemudian
berkembang dan digantikan oleh teori kuantum dan teori relativitas.
Konsekuensinya, pada akhir abad ke-20 dunia ilmu pengetahuan telah berubah total
dari dunia ilmu pengetahuan pada abad ke-19, yang juga sudah sama sekali berbeda
dunia ilmu pengetahuan pada jaman Yunani Kuno dan abad pertengahan.
2.1 Para Filsuf Yunani Kuno
Filsafat Yunani Kuno didominasi oleh karya-karya Sokrates, Plato, dan
Aristoteles. Akan tetapi, sebelum mereka ada beberapa filsuf yang banyak dikenal
sebagai filsuf pra-sokratik. Mereka mau merefleksikan hakekat dari realitas yang
didasarkan pada pengamatan atas alam. Oleh sebab itu, mereka banyak dikenal
10

Lihat, Thompson, 2001, hal. 1.

107

sebagai para ilmuwan Barat pertama.


Para pemikir Pra-Sokratik
Thales adalah seorang filsuf sekaligus ilmuwan pertama dari Barat. Ia hidup
sekitar 6 abad sebelum Masehi. Ia berpendapat bahwa seluruh alam dan realitas ini
dapat dipikirkan dalam satu elemen. Hal ini adalah sesuatu yang sangat baru pada
masa-masa itu. Orang-orang lebih banyak berpikir tentang dewa-dewa sebagai
penguasa alam dan seluruh realitas. Ia berpendapat bahwa elemen utama penyusun
realitas ini adalah sesuatu yang cair. Oleh karena itu, elemen yang menyusun seluruh
realitas ini adalah air. Mungkin, pernyatannya tampak simplistik dan tidak dapat
dibuktikan. Akan tetapi, dibutuhkan suatu keberanian intelektual dan intuisi yang
sangat tajam untuk merumuskan hal tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah
manusia, terutama pada masa-masa semua orang masih berpendapat bahwa dewadewalah yang mengatur dan membentuk seluruh alam dan realitas yang ada.
Di abad yang sama, ada beberapa filsuf yang mengkritik pendapat tersebut
dan mulai mengembangkan rumusan mereka sendiri. Herakleitos berpendapat
bahwa esensi dari realitas adalah perubahan. Bahkan, hal-hal yang tampaknya sudah
bersifat permanen sesungguhnya merupakan satu tahap saja dari perubahan yang
secara niscaya akan datang. Konsep kita tentang rumah ataupun tentang pohon
memang tetap. Akan tetapi, pohon dan rumah di dalam realitas tidak pernah tetap. Ia
sangat terkenal dengan salah satu pernyataannya: Anda tidak pernah melangkah di
dalam sungai sama untuk kedua kalinya. Dewasa ini, kita hidup dalam sebuah masa,
setiap orang telah yakin dan tidak lagi mempertanyakan pernyataan bahwa segala
sesuatu yang ada di muka bumi dan seluruh alam semesta ini berada dalam proses
perubahan yang terus menerus. Akan tetapi, Herakleitos sampai pada pernyataan ini
melalui pengamatan dan logikanya, semua orang di sekitarnya pada waktu itu
berpikir sebaliknya.
Pada abad ke-5 sebelum Masehi, Leukippos dan Demokritos merumuskan
sebuah teori tentang atom. Inti teori itu adalah bahwa seluruh realitas dibentuk oleh
sebuah partikel yang sangat kecil dan ada ruang kosong yang memisahkan antara
partikel yang satu dengan partikel lainnya. Jika ada benda yang memiliki bentuk dan
substansi yang berbeda dengan benda yang lainnya, hal itu berarti bahwa benda
tersebut dibentuk oleh campuran dan kuantitas atom yang berbeda. Yang penting
dari para pemikir ini bukanlah isi dari teori mereka, melainkan cara berpikir dan
logika yang mereka gunakan. Mereka melihat bahwa substansi dari realitas dapat
terdiri dari beberapa unsur, baik itu unsur yang padat, cair, ataupun yang berupa
udara, dan kesemuanya itu tergantung pada tempratur udara. Mereka sampai pada
kesimpulan bahwa atom-atom yang sama akan membentuk rangkaian yang berbeda
pada suhu yang berbeda. Mereka mengamati dunia, berupaya memberikan
penjelasan, dan merumuskan teori yang bersifat umum dari semua gejala yang
bersifat partikular. Para filsuf ini melakukan apa yang kita sebut sekarang ini sebagai

108

kegiatan ilmu pengetahuan. Mereka memiliki intuisi dan logika yang tajam,
walaupun tidak, atau belum, menguasai metode eksperimental dan sistematika yang
memadai.
Plato
Para filsuf Pra-Sokratik mempelajari dan merumuskan teori tentang alam
yang dapat mereka amati. Akan tetapi, ada filsuf lain yang merefleksikan tidak hanya
benda-benda yang dapat dia amati, tetapi juga benda-benda pada taraf konseptual
ideal. Filsuf ini bernama Plato. Ia berpendapat bahwa semua benda yang kita lihat di
sekitar kita merupakan tiruan dari realitas yang lebih abadi dan murni. Misalnya,
saya melihat kursi. Kursi itu bukanlah kursi yang ideal, melainkan tiruan dari kursi
ideal, abadi, dan murni yang berada di dunia ide-ide. Dengan demikian, untuk
sungguh-sungguh memahami dunia, orang harus melihat melampaui yang
partikular, yakni segala sesuatu yang dapat diamati, dialami, dan melihat ke dalam
dunia ide-ide yang abadi dan murni.
Di dalam bukunya yang berjudul The Republic, ia menuliskan tentang perumpamaan
gua. Di dalam gua, kebanyakan orang hanya melihat bayangan dari realitas, yakni
dalam bentuk bayangan yang terpantul akibat cahaya yang timbul dari api. Hanyalah
para filsuf yang mampu melihat melampaui bayangan-bayangan semu pantulan
tersebut, yakni ke obyek yang sesungguhnya. Sang filsuf pun keluar dari gua, dan
melihat matahari bersinar. Dengan demikian, realitas dipahami sebagai sesuatu yang
berada di luar gua dan hanya diketahui ketika manusia memalingkan mukanya dari
bayangan dan menatap sinar matahari. Artinya, Plato mengajak kita untuk melihat
melampaui dunia sehari-hari yang bisa kita amati dan mengkontemplasikan prinsipprinsip dan konsep-konsep yang ideal.
Pandangan semacam ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan dan dunia
pemikiran di Eropa, bahkan sampai sekarang. Pikiran dan jiwa dipisahkan dari dunia
material yang dapat dialami melalui pengalaman inderawi. Pikiran mampu melihat
dunia luar, dan melampaui apa yang tampak, serta menyentuh ide dari realitas yang
bersifat murni dan ideal. Hal ini sangatlah berbeda dengan pandangan para filsuf
pra-sokratik. Pandangan ini jugalah yang kemudian mengubah arah dan cara filsafat
serta ilmu pengetahuan merefleksikan tentang dunia, yakni filsafat mengarahkan
analisis dan refleksinya kepada dunia ide-ide yang murni dan ideal, sementara ilmu
pengetahuan memfokuskan analisisnya pada pengalaman dan dunia fisik, serta
berupaya memahaminya.
Aristoteles
Aristoteles (385-322 BC) berpendapat bahwa pengetahuan tentang dunia

109

datang melalui pengalaman yang kemudian ditafsirkan oleh rasio. Oleh karena itu,
seorang filsuf maupun ilmuwan harus memeriksa fenomena yang ada di realitas, dan
bukan memalingkan analisisnya ke dunia ide-ide, seperti yang dilakukan Plato.
Proses penelitian ilmiah sekarang ini diinspirasikan jauh lebih banyak oleh
pemikiran Aristoteles daripada oleh Plato. Bagi Aristoteles, pengetahuan adalah
sesuatu yang berkembang dari persepsi dan pengalaman kita akan realitas, yakni
dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari pengalaman inderawi
kita. Pernyataan ini adalah pernyataan yang nantinya akan menjadi inti yang paling
sentral di dalam ilmu pengetahuan.
Aristoteles juga membuat pembedaan dari berbagai bentuk ilmu pengetahuan,
serta memisahkan berbagai macam mahluk hidup ke dalam berbagai golongan
species dan genus, sebuah proses klasifikasi yang menjadi bagian penting di dalam
ilmu pengetahuan sekarang ini. Ia juga adalah pemikir yang pertama kali
merumuskan konsep tentang waktu, ruang, dan tentang kausalitas. Ia juga
berpendapat bahwa segala sesuatu di dalam realitas memiliki empat penyebab yang
bersifat niscaya. Penyebab itu disebutnya sebagai causa.
Penyebab pertama adalah penyebab material, yakni substansi fisik dari suatu entitas.
Penyebab kedua adalah penyebab formal, yakni bentuk dari suatu entitas yang
membedakan patung dari batu pembuat tembok, walaupun keduanya berasal dari
materi yang sama, yakni batu.
Penyebab ketiga adalah penyebab efisien, yakni penyebab yang secara harafiah
menyebabkan sesuatu itu terjadi, atau yang menyebabkan adanya sesuatu.
Dan yang terakhir adalah penyebab final, yakni tujuan dari keberadaan entitas
tersebut. Bagi Aristoteles, jika kita ingin mendeskripsikan suatu obyek, kita harus
menjabarkan secara penuh keempat penyebab tersebut. Penjabaran tidak berhenti
hanya dengan sekedar memberikan penjelasan tentang bahan mentah suatu obyek,
tetapi juga tujuan dan alasan keberadaan obyek tersebut. Segala sesuatu di dalam
realitas memiliki telos, yakni tujuan finalnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa
segala sesuatu memiliki tujuan pada masa depan yang terpisah dari alasan dibuatnya
sesuatu tersebut pada masa lalu.
Setidaknya ada dua hal penting yang diberikan Aristoteles untuk
perkembangan ilmu pengetahuan. Pertama, ia merumuskan suatu bangunan teori
yang sangat luas dan komprehensif. Bangunan teori ini nantinya akan sangat
mempengaruhi dunia ilmu pengetahuan, dan akan sangat sulit untuk digantikan,
seperti akan kita lihat usaha Copernicus dan Galileo. Kedua, pada abad ke-17, para
ilmuwan masih memegang paradigma bahwa penyebab kausal/efisien lebih
berperan daripada penyebab final. Dengan kata lain, alasan keberadaan suatu
benda ditempatkan dalam kedudukan lebih tinggi dari pada tujuan yang mungkin
berbeda dari benda tersebut pada masa depan. Inilah yang menjadi cikal bakal
paradigma deterministik, yakni bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya.

110

Archimedes
Para pemikir yang sudah disampaikan di atas lebih banyak dikenal sebagai
filsuf daripada sebagai seorang ilmuwan, walaupun pada masa-masa itu, distingsi
antara filsafat dan ilmu pengetahuan belumlah sejelas sekarang karena ilmu
pengetahuan, seperti yang kita ketahui sekarang ini, disebut juga sebagai filsafat
natural (natural philosophy). Akan tetapi, ada satu orang di antara para filsuf Yunani
Kuno tersebut yang mungkin dapat dipandang sebagai ilmuwan terhebat sebelum
munculnya ilmu pengetahuan modern melalui karya Isaac Newton. Nama orang itu
adalah Archimedes (287-213 BC). Konon, pada waktu ia mandi, ia menemukan
rumusan fisika yang telah lama ia pikirkan dan kemudian berteriak, Eureka,
eureka! Marilah kita perjelas relevansi rumusan yang tengah ia pikirkan pada waktu
itu.
Tugas yang diemban Archimedes pada waktu itu adalah untuk menentukan apakah
sebuah mahkota dibuat dari emas murni atau tidak. Berat mahkota tersebut sama
dengan berat emas yang telah disediakan sebelumnya. Ia mau mengukur kandungan
emas di dalam mahkota tersebut dan membandingkannya dengan berat emas yang
telah disediakan dan memiliki berat yang sama dengan mahkota tersebut. Akan
tetapi, ia tidak boleh mencairkan mahkota tersebut untuk mengukur kandungan
emas yang ada di dalamnya. Dengan memperhatikan jumlah air yang keluar dari bak
mandi setelah ia masuk ke dalam bak tersebut, ia telah menemukan sebuah metode
yang sederhana untuk mengukur berat dirinya sendiri. Metode yang sama dapat
digunakan untuk mengukur kandungan emas di dalam mahkota. Ia memasukkan
mahkota tersebut ke dalam suatu wadah yang penuh dengan air. Lalu, ia juga
memasukkan emas murni yang memiliki berat yang sama dengan emas tersebut ke
dalam wadah yang persis sama. Kemudian, ia melihat jumlah air yang tumpah ketika
mahkota dan emas murni tersebut diletakkan di dalamnya. Air yang tumpah dari
emas murni memiliki jumlah yang lebih banyak. Sedangkan, air yang tumpah dari
mahkota memililiki jumlah yang lebih sedikit. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa mahkota tersebut bukanlah terbuat dari emas murni, melainkan ada
tambahan logam lainnya.
Archimedes telah menemukan sebuah prinsip, yakni bahwa tingkat kemurnian
suatu subtansi adalah sama dimanapun substansi itu berada. Setiap penambahan ke
dalam subtansi tersebut akan mengubah berat keseluruhan. Tumpahan air
merupakan cara yang paling sederhana untuk mengetahui hal tersebut. Ini
merupakan pencapaian yang sangat luar biasa baginya, walaupun tidak bagi sang
pembuat mahkota karena ia dihukum mati! Di samping itu, ia juga menemukan alat
pengungkit, derek, dan katrol. Banyak dari temuannya tersebut digunakan untuk
kepentingan militer. Bahkan, ia menggunakan lensa untuk memfokuskan cahaya
matahari, yang nantinya digunakan oleh tentara Yunani untuk mengecoh tentara
111

Roma dan bahkan menimbulkan kebakaran di perkemahan mereka.


Para filsuf pra-sokratik adalah para pemikir yang banyak berefleksi secara spekulatif
tentang hakekat dari realitas dan dunia. Plato dan Aristoteles mengajarkan kita
untuk berpikir secara sistematis tentang konsep-konsep di dalam ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, Archimedeslah yang mengajarkan kita untuk menerapkan ilmu
pengetahuan ke dalam dunia praktis, terutama dengan menggunakan eksperimen
dan teori untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.
2.2 Para Pemikir Abad Pertengahan
Munculnya ilmu pengetahuan modern pada abad ke 17 dan 18 seringkali
dikontraskan dengan dunia ilmu pengetahuan pada abad pertengahan yang
mendahuluinya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pada abad pertengahan, ilmu
pengetahuan dan filsafat didasarkan pada iman kepada Tuhan dan di bawah otoritas
agama. Karena peneguhan iman serta pengembangan otoritas agamalah yang
menjadi tujuan dari ilmu pengetahuan dan filsafat. Sementara itu, semenjak abad ke
17 ilmu pengetahuan didasarkan pada bukti-bukti empiris dan rasionalitas.
Walaupun begitu, kita tidak pernah boleh menganggap remeh perkembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat yang dicapai pada abad pertengahan. Justru oleh karena itu,
ilmu pengetahuan modern bisa berkembang karena prinsip-prinsip dasarnya telah
ditemukan pada masa tersebut. Dengan demikian, sebelum membahas tentang ilmu
pengetahuan modern kita harus mengetahui terlebih dahulu prinsip-prinsip dasar
yang dikembangkan sebelum masa-masa tersebut dan latar belakang dari munculnya
ide-ide baru yang revolusioner di dalam ilmu pengetahuan.
Setelah Aristoteles
Setelah Aristoteles meninggal, muncullah filsafat stoa yang berpendapat
bahwa alam semesta merupakan bentukan dari Logos, yakni rasio dunia dan para
filsuf Epicurean yang memiliki pendapat lebih impersonal dan bersifat atomis
tentang alam. Kemudian, teologi Kristen pun berkembang dan banyak digunakan
untuk mengkritik pandangan dua aliran tersebut. Oleh karena itu, sikap banyak
orang pada dunia seperti dicerminkan oleh Santo Augustinus, seorang pemikir
Katolik adalah pandangan lebih bersifat Platonistik, yakni bahwa dunia yang ada di
depan mata kita ini merupakan gambaran yang tidak sempurna dari apa yang di
surga yang bersifat murni, kekal, dan ideal.
Pandangan yang bersifat Platonistik ini semakin mendapatkan dukungan dari
rumusan yang dibuat oleh Ptolomeus dari Alexandria 2 abad setelah Masehi. Di
dalam rumusan itu ia menulis bahwa bumi dikelilingi oleh ruang-ruang berkabut. Di
dalam ruang tersebut terdapat matahari, bulan, bintang-bintang, dan planet-planet.
Sisi terluar dari ruang ini dianggap sebagai tempat kediaman Tuhan. Baginya, setiap
benda-benda langit tersebut memberikan pengaruh besar terhadap bumi. Anggapan
112

ini mendorong ketertarikan orang-orang pada waktu itu untuk melakukan penelitian
astrologi. Segala sesuatu yang berada di atas bulan bersifat sempurna dan tidak
berubah. Sementara, segala sesuatu yang berada di bawah bulan bersifat tidak
sempurna dan secara tetap terus mengalami perubahan.11
Filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno sempat hilang dari daratan
Eropa. Masa-masa ini banyak juga dikenal sebagai Abad Kegelapan. Akan tetapi,
pemikiran Aristoteles dan para filsuf Yunani Kuno lainnya telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab dan justru berkembang dengan baik di kalangan para pemikir
Muslim. Pada abad ke-13, terutama karena penerbitan terjemahan tulisan Aristoteles
yang dilakukan oleh Averroes, pemikiran Aristoteles mulai diperkenalkan kembali ke
seluruh universitas-universitas di Barat. Masa-masa ini banyak juga dikenal sebagai
Renaissance.
Sintesis Pemikiran di Abad Pertengahan
Refleksi filsafat di abad pertengahan mengalami perkembangan yang sangat
gemilang, terutama karena keberadaan Thomas Aquinas (1225-1274), Duns Scotus
(1266-1308), dan William dari Ockham (1285-1349). Filsafat alam yang dirumuskan
oleh Aristoteles diajarkan di seluruh Eropa. Hal ini merupakan persiapan untuk
perkembangan selanjutnya di dalam dunia filsafat maupun ilmu pengetahuan.
Seperti sudah dijelaskan, filsafat natural yang dirumuskan Aristoteles
memberikan pengaruh besar bagi cara para pemikir abad pertengahan melihat diri
dan dunia mereka. Semua benda fisik dianggap sebagai kesatuan dari empat unsur,
yakni tanah, air, udara, dan api. Setiap elemen memiliki sikap alamiahnya sendiri,
sehingga gerak dan perubahan menjadi mungkin. Misalnya, tanah yang memiliki
sikap alamiah untuk bergerak (merosot) ke bawah, air untuk mengalir ke tempat
yang lebih rendah, dan api untuk bergerak ke atas. Semua sikap alamiah ini
menjelaskan terjadinya gerak dan perubahan di dalam dunia.
Surga yang berada di atas bulan bersifat sempurna dan abadi. Tidak ada
perubahan dan ketidakpastian di dalam surga tersebut. Anggapan semacam ini
menjadi problematis ketika para ilmuwan berupaya mengamati gerak planet dan
bintang-bintang. Karena menurut otoritas pada waktu itu, apa yang mereka amati
bersifat tetap dan sempurna. Jika mereka memiliki pendapat yang berlawanan, para
ilmuwan tersebut akan menghadapi ancaman dan tuntutan hukum dari Gereja.
Bahkan, tidak hanya tentang gerak planet dan bintang, kedokteran dan biologi pun
juga menghadapi hambatan di dalam melakukan penelitian mereka. Para dokter
pada waktu itu berpendapat bahwa jantung merupakan alat pemompa darah,
sehingga darah tersebut dapat tersebar ke seluruh tubuh manusia. Pandangan
semacam ini mendapatkan tantangan dari pandangan para religius yang berpendapat
bahwa hal semacam itu tidaklah patut dikatakan tentang manusia, yang merupakan
11

Ibid, hal. 7.

113

mahluk tertinggi di dalam konstelasi ciptaan Tuhan dan yang merupakan citra dari
Tuhan itu sendiri.
Mungkin, salah satu penyebab semua hambatan ini adalah bahwa para
pemikir abad pertengahan memprioritaskan logika yang bersifat deduktif di dalam
analisis mereka Artinya, mereka memulai analisis dan refleksi mereka dengan
prinsip-prinsip dan teori-teori, dan kemudian pengalaman akan mengikuti prinsipprinsip tersebut. Seperti yang sudah dicontohkan sebelumnya, para ilmuwan yakin
bahwa surga itu bersifat sempurna, tetap, dan abadi maka penelitian mereka pada
gerak planet dan bintang yang diasumsikan sebagai surga, juga didasarkan pada
keyakinan itu. Metode ini berlawanan sama sekali dengan metode induktif yang
banyak digunakan oleh ilmu pengetahuan modern. Dalam hal ini, bukti-bukti yang
berasal dari pengalamanlah yang menjadi kerangka untuk merumuskan sebuah teori.
Sintesis pemikiran paling jelas terlihat di dalam karya-karya Thomas Aquinas,
seorang teolog Katolik. Ia mengajukan semacam sintesis antara ajaran-ajaran dasar
di dalam Kristianitas dengan pemikiran Aristoteles. Pada masa-masa itu, sintesis
tersebut sangatlah luar biasa karena ia menggabungkan filsafat terbaik yang ada pada
waktu itu dengan ajaran Kristiani dalam suatu rumusan filosofis yang sangat
sistematis, logis, dan komprehensif. Salah satu tesis kunci di dalam sintesis tersebut
adalah konsep sebab pertama (causa prima), bahwa segala sesuatu di alam ini
berawal pada satu entitas, yakni Tuhan dan berakhir pada entitas tersebut.
Pada abad pertengahan, orang melihat bintang-bintang dan planet dalam
kerangka makna yang jelas karena dalam pandangan mereka, bumi adalah pusat dari
alam semesta dan manusia adalah mahluk yang paling mendapatkan perhatian
utama dari Tuhan. Alam semesta bersifat rasional karena diciptakan dan ditentukan
oleh penggerak yang tidak digerakkan sehingga umat manusia mengalami hidupnya
sebagai bermakna, bebas dari nihilisme dan keputusasaan. Dunia, dengan demikian,
adalah produk yang istimewa dan bukan hanya hasil dari kebetulan belaka.
Pengetahuan akan dunia yang memiliki awal dan tujuan yang jelas semacam itu
membuat hidup manusia menjadi bermakna. Hal ini adalah suatu pernyataan yang
akan sangat sulit dikritik dan menjadi simbol dari pemikiran abad pertengahan.
Walaupun tampak bermakna dan bertujuan jelas, kehidupan masyarakat di
abad pertengahan diselimuti oleh takhayul-takhayul dan kepercayaan-kepercayaan
yang bersifat irasional. Argumentasi para penjaga tradisi pun berhadapan dengan
para pemikir yang mau menerobos tradisi tersebut. Yang terakhir inilah yang
menjadi para ilmuwan di era modern kemudian. Pertempuran intelektual terjadi
dalam kerangka upaya yang gigih untuk menghancurkan dominasi paradigma
kosmologis dan filsafat Aristoteles yang pada waktu dianggap memiliki kebenaran
yang mutlak.
Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan pada abad ke 17 dan 18
merupakan suatu pemberontakan terhadap paradigma filosofis yang bersifat
114

otoritatif dan dominan yang didasarkan pada pemikiran Aristoteles. Kebutuhan akan
suatu metode yang prinsipiil dan penafsiran atas bukti-buktilah yang mendorong
berkembangnya ilmu pengetahuan. Metode ini yang membedakan ilmu pengetahuan
dengan pandangan yang berdasarkan pada otoritas kekuasaan dan logika yang
bersifat deduktif.
Sebelumnya, Aristoteles memang selalu menekankan pentingnya bukti-bukti
yang bisa dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, kesimpulan yang ditariknya sendiri
seringkali tidak berdasarkan bukti-bukti dan justru sebaliknya, bukti-bukti yang
menyesuaikan dengan kesimpulan tersebut. Oleh sebab itu, Kopernikus (1473-1543)
yang berpendapat bahwa mataharilah yang merupakan pusat dari tata surya, dan
bukan bumi, berupaya melindungi dirinya dari ancaman kekuasaan dengan
mengatakan bahwa teorinya merupakan hipotesis teoritis, dan bukan gambaran dari
apa yang sesungguhnya terjadi. Hal yang sama terjadi pada Galileo (1564-1642) yang
membandingkan antara pandangan Ptolemeus di satu sisi, dan pandangan
Kopernicus di sisi lain. Pada akhirnya, Galileo mendapatkan ancaman hukuman dari
penguasa gereja pada waktu itu karena ia dianggap menyerang pandangan Ptolemeus
yang banyak diafirmasi oleh Kitab Suci.
Walaupun begitu, abad pertengahan sesunguhnya sama sekali tidak
mengalami kekurangan orang-orang yang bersedia melakukan terobosan untuk
mengeksplorasi lebih jauh kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam ilmu
pengetahuan. Salah satu orang semacam itu adalah Roger Bacon (1220-1292). Ia
merumuskan seluruh karyanya dengan metode observasi empiris dan bersikap kritis
terhadap kecenderungan pada waktu itu yang menerima sesuatu hanya berdasarkan
pemaksaan dari kekuasaan. Lepas dari semua itu, ia merumuskan prinsip-prinsip
dasar bagi pesawat terbang. Ia bahkan merumuskan prinsip-prinsip dasar dari kaca
pembesar dan kaca mata.12 Leonardo da Vinci (1452-1519) adalah seorang arsitek
yang sangat berbakat sekaligus seorang pelukis yang luar biasa. Ia bahkan
mengamati benda-benda alam dengan sedemikian cermat, dan berupaya
menemukan hukum-hukum mekanis yang niscaya di balik benda-benda tersebut.
Dan seperti Bacon, ia terpesona dengan ide bahwa manusia bisa terbang. Oleh karena
itu, ia juga banyak melakukan penelitian tentang pesawat, helikopter, dan tentang
parasut.
Secara umum, pemikiran abad pertengahan, tentunya dengan mendapatkan
pengaruh besar dari Aristoteles, ditujukan untuk melihat esensi dan potensi dari
realitas. Dengan mengetahui esensi dari realitas, kita dapat menemukan tujuan final
(telos) dari realitas tersebut. Tujuan final tersebut berarti merealisasikan potensi
yang ada di dalamnya menjadi aktus. Dunia tidak dilihat sebagai kumpulan acak dari
atom-atom, tetapi sebagai lingkungan, segala sesuatu, dengan esensinya masing12

Ibid, hal. 10.

115

masing, dapat mencari tujuan akhir dan pemenuhannya masing-masing. Tujuan


utama dari seorang bayi adalah menjadi dewasa. Dengan paradigma semacam ini,
para pemikir yang menganalisis benda-benda alam bukanlah menggunakan
paradigma analisis fisikal, melainkan untuk menemukan esensi dan tujuan utama
dari benda-benda alam tersebut. Sekilas, analisis semacam tersebut tampak memiliki
sifat religius. Akan tetapi, faktanya, gaya berpikir semacam itu merupakan
konsekuensi logis dari pemikiran Aristoteles tentang tujuan akhir dan sebab pertama.

2.3 Ilmu Pengetahuan Modern Lahir


Dengan munculnya Renaissance dan Gerakan Reformasi di dalam Gereja,
muncullah penerimaan umum terhadap kapasitas rasio manusia dan kemampuannya
untuk bersikap kritis terhadap ide-ide otoriter yang sudah ada sebelumnya.
Skeptisisme pun menyebar menjadi cara berpikir yang dominan. Abad 17 dipenuhi
dengan konflik politik di semua level di dalam masyarakat, seperti kita lihat pada
Perang saudara di Inggris, dan masa-masa setelahnya. Munculnya ilmu pengetahuan
modern haruslah dilihat dalam konteks perlawanan terhadap paradigma yang sudah
mapan sebelumnya serta perjuangan untuk mendapatkan kebebasan individu
melawan otoritas tradisional baik politik maupun religius.
Francis Bacon (1561-1626) menjadi perumus pertama dari apa yang nantinya
menjadi norma umum di dalam metode ilmiah, yakni bahwa semua bentuk
pengetahuan harus didasarkan pada bukti-bukti dan eksperimen. Dengan metode ini,
dia menolak pendekatan Aristoteles yang menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki
sebab pertama dan tujuan final. Alih-alih memandang alam dengan paradigma yang
sudah bersifat apriori sebelumnya, ia mulai dengan melakukan observasi empiris
mendetil atas hal-hal yang bersifat partikular. Selanjutnya, merumuskan prinsipprinsip umum dari pengamatan tersebut. Bacon terkenal akan rumusannya tentang
idol-idol, yang menghalangi kita mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya. Idol
tersebut mencangkup empat hal. Pertama, keinginan untuk menerima bukti-bukti
yang mengafirmasi apa yang sudah kita percayai sebelumnya. Kedua, distorsi atas
pengamatan yang muncul dari cara berpikir kita yang sudah biasa dan sulit untuk
menerima sesuatu yang lain dari kebiasaan tersebut. Ketiga, hambatan yang datang
dari penggunaan bahasa yang tidak tepat. Dan keempat, penerimaan suatu
pengetahuan hanya karena pemaksaan dari suatu otoritas kelompok tertentu.
Ia juga berpendapat bahwa dalam proses pengumpulan data, seorang ilmuwan
tidak boleh hanya mencari data-data yang sesuai dengan keinginannya, melainkan
harus mempertimbangkan data-data yang juga bertentangan dengan keinginannya.
Dengan argumentasi ini, ia telah merumuskan argumentasi yang nantinya
dipertajam oleh filsuf abad ke-20 yang bernama Karl Popper. Yang terakhir ini akan
menjadikan proses falsifikasi sebagai salah satu kunci kemajuan di dalam ilmu

116

pengetahuan.
Anda tidak bisa mengklaim bahwa suatu teori berpijak pada data, sementara data
yang Anda pilih adalah hanya yang sesuai dengan yang Anda terima dan yakini
sebelumnya! Ujian terpenting bagi suatu teori adalah ketika ada bukti yang
bertentangan dengan teori tersebut. Dengan begitu, Anda akan tahu bahwa mungkin
ada proses yang salah ketika Anda sedang mengumpulkan data atau teori yang ada
perlu disempurnakan.
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Bacon melihat adanya prinsip
kausalitas di dalam seluruh realitas. Dengan kata lain, segala sesuatu yang terjadi
pasti memiliki sebab dan kondisi-kondisi yang memungkinkannya, seperti yang
dirumuskan Aristoteles dengan penyebab efisiennya.
Dari sudut pandang Aristoteles, esensi dari biji jambu adalah potensinya yang
kemudian menjadi aktus, yakni menjadi pohon jambu. Biji jambu memiliki tujuan
final untuk menjadi pohon jambu. Pertumbuhan dalam arti ini berarti
kemampuannya untuk mengaktualkan apa yang tadinya hanya menjadi potensi.
Dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern, biji jambu hanya dapat menjadi
pohon jambu hanya jika pohon tersebut hidup di dalam lingkungan yang tepat dan
biji tersebut memiliki kode genetis yang memungkinkannya tumbuh menjadi pohon
jambu. Aristoteles mungkin akan berpendapat jika Anda ingin mengerti tentang
sesuatu, lihatlah hakekat dan tujuan final dari sesuatu itu. Sementara, ilmuwan
modern akan berpendapat jika Anda ingin mengerti tentang sesuatu, lihatlah dari
mana sesuatu itu berasal dan bagaimana mekanisme perkembangan dari sesuatu itu.
Kemampuan untuk melihat sebab dan rencana dari sesuatu itu
memungkinkan terjadinya kemajuan pesat di dalam ilmu pengetahuan terutama
dengan mengajukan analisis dari arti meramalkan perubahan yang mekanis dan
bukan dalam bahasa-bahasa yang membingungkan, seperti dari potensi menuju
aktus. Selain itu, paradigma semacam ini memisahkan ilmu pengetahuan dari
pandangan pribadi ataupun yang bersifat religius tentang dunia. Bacon dan para
pemikir lainnya, termasuk Newton, menjadi nabi-nabi di dalam dunia ilmu
pengetahuan.13 Hal ini juga berarti bahwa ilmu pengetahuan akan memiliki
kebebasan untuk mengamati dan menganalisis dunia dengan cara-cara yang metodis,
rasional, serta bersifat impersonal. Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan
berjarak semacam ini ilmu pengetahuan kehilangan refleksi-refleksi yang bersifat
personal dan religius. Oleh karena itu, untuk menunjukkan keabsahan analisisnya,
13

Ibid, hal. 12.

117

ilmu pengetahuan perlu untuk memaparkan keuntungan-keuntungan dari cara


berpikir yang berjarak semacam itu.
Perdebatan tentang hak manusia untuk mengkloning dirinya sendiri mengandung
tuduhan berat bahwa ilmu pengetahuan dapat melakukan hal-hal yang justru
bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ilmu pengetahuan pun dianggap
buta terhadap nilai dan terpaku pada eksperimentasi belaka. Orang-orang yang tidak
setuju dengan hak tersebut akan bertanya, apa sebenarnya tujuan mendasar dari
semua eksprimen ini? Mereka mengharapkan ilmu pengetahuan mampu
menunjukkan signifikansi hal ini bagi kebaikan umat manusia secara keseluruhan.
Sementara, orang-orang yang mendukung akan menjawab bahwa regenerasi sel ini
akan memungkinan proses penyembuhan manusia dari penyakit-penyakit yang
sebelumnya tidak bisa disembuhkan.
Coba Anda perhatikan perbedaan di dalam dua pertanyaan ini, yakni apakah
eksperimen itu layak dilakukan dengan menimbang harkat dan martabat manusia?
Dan, apa guna dari eksperimen ini? Yang pertama adalah pertanyaan tentang makna
yang lebih bersifat personal. Pertanyaan kedua lebih merupakan pertanyaan teknis.
Yang pertama merupakan pertanyaan yang kurang lebih bersifat Aristotelian.
Sementara, yang kedua adalah persis penolakan terhadap paradigma Aristotelian.
Para ilmuwan modern pertama yakin bahwa semua kemajuan di dalam ilmu
pengetahuan pada akhirnya akan memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia.
Masa-masa ini adalah masa-masa optimistik. Ilmu pengetahuan akan membawa
manusia ke masa depan yang lebih baik yang bebas dari mitos dan takhayul-takhayul.

Kopernikus dan Galileo


Kopernikus (1473-1543) adalah seorang pastur asal Polandia. Ia memiliki
suatu pernyataan yang bahkan sampai seabad setelah kematiannya masih
mengundang kontroversi. Di dalam bukunya yang berjudul De Revolutionibus
Orbium, ia berpendapat bahwa matahari dan bukan bumi yang merupakan pusat tata
surya, dan bumi berputar satu kali setahun mengeliling matahari. Tentu saja, pada
waktu itu, pandangan semacam ini sangat bertentangan dengan paradigma yang
banyak diterima, yakni kosmologi dari Ptolemeus. Ketika pertama kali diterbitkan,
bagian pendahuluan dari buku itu mengatakan bahwa penelitian ini hanyalah salah
satu cara alternatif untuk menghitung gerak bintang-bintang, dan bukan
menggambarkan keadaan faktual dari alam semesta. Akan tetapi, karya tersebut
menggunakan metode pendekatan yang berpijak pada bukti-bukti yang bisa
dipertanggungjawabkan, dan akhirnya dianggap mampu meruntuhkan pandangan
118

lama yang telah banyak diyakini pada waktu itu.


Apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh Kopernikus adalah penjelasan yang
lebih baik tentang pergerakan planet-planet dan bumi termasuk di dalamnya.
Walaupun begitu, akan ada banyak masalah yang timbul jika dikatakan bahwa bumi
bersama planet-planet lainnya mengelilingi matahari dengan putaran yang
melingkar. Pada waktu itu, belum ada pertimbangan bahwa putaran tersebut
berbentuk elips, dan bukan melingkar. Yang lebih menarik lagi jika dikatakan bahwa
bumi sungguh berputar mengelilingi matahari, kita yang tinggal di bumi pasti
merasakan putaran tersebut. Akan tetapi, kita hampir tidak merasakan apa-apa.
Kopernikus menjawab pertanyaan tersebut dengan argumen yang masih sangat
dipengaruhi filsafat Aristoteles, yakni bahwa tanah dan bumi memiliki simpati yang
besar terhadap orbit putaran tersebut sehingga putaran bumi menjadi tidak terasa.
Di kemudian hari, Newton menjelaskan hal tersebut dengan teori gravitasi dan
hukum gerak yang dirumuskannya.
Yang menjadi penting di sini tidak hanya perlawanan rasio dan kebebasan
terhadap otoritas yang cenderung menekan dan memaksa, tetapi juga problem
epistemologis yang besar, ketika kita menafsirkan data-data yang kita amati. Banyak
ahli yang berpendapat bahwa rumusan Kopernikus tersebut merupakan hasil dari
perhitungan matematis yang sederhana dan tidak mencerminkan realitas sebagai
mana adanya. Bukanlah hanya tekanan kekuasaan dan penilaian yang bersifat apriori
terhadap rumusannyalah yang membuat teori Kopernikus sulit diterima, tetapi ada
problem epistemologis yang besar. Bisakah suatu teori tentang pergerakan planet,
matahari, dan bintang-bintang sungguh dipastikan analisisnya jika kita tidak
menggunakan teleskop untuk melihatnya dan hanya mengandalkan mata telanjang
biasa serta perhitungan matematis untuk menganalisisnya? Dengan kata lain,
mungkinkah Kopernikus menyimpulkan suatu rumusan teoritis yang berbeda dari
yang dirumuskan Aristoteles dan Ptolemeus jika ia menggunakan data dan metode
yang sama?
Kopernikus merumuskan teorinya dengan mengamati bukti-bukti yang sama yang
sebelumnya telah diamati oleh Ptolemeus dan berpikir tentang cara lain yang
digunakan untuk memandang data yang sama. Disinilah letak arti penting dari
filsafat ilmu pengetahuan, yakni untuk mengakui dan mengajukan pertimbangan
bahwa ada penafsiran yang berbeda dari bukti-bukti yang sama. Penafsiran tersebut
mungkin akan berkembang menjadi dua teori yang berbeda. Teori yang lebih
menjelaskan dan lebih sederhanalah yang akan menjadi pilihan utama. Pemikiran
Kopernikus, dengan demikian, menjadi titik lompatan yang sangat penting yang
nantinya akan mengubah banyak sekali cara berpikir manusia.
Brahe (1546-1601) berpendapat bahwa planet-planet yang telah diketahui saat
itu (Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus) memang bergerak mengelilingi
119

matahari, tetapi matahari tersebut, bersama planet-planet lainnya, bergerak


mengelilingi bumi. Yang menjadi masalah bukanlah isi teori tersebut, melainkan
metode yang digunakan untuk sampai pada teori itu. Brahe dan Kopernikus sampai
pada teori yang berbeda, namun menggunakan pendekatan yang sama, yakni dengan
observasi mata telanjang dan perhitungan matematis. Memang, teknologi penelitian
di bidang astronomi pada waktu itu masihlah sangat sederhana sehingga tidak
memungkinkan melakukan pengamatan yang mendetil, seperti menggunakan
teleskop misalnya. Galileo berpendapat bahwa kita tidak bisa memilih mana yang
lebih sahih dari antara dua teori yang menggunakan metode yang sama tersebut.
Walaupun, ia sendiri nantinya akan sependapat dengan teori Kopernikus.
Kepler (1571-1630) berpendapat bahwa pada akhirnya pendapat umum akan
membuktikan keabsahan analisis Kopernikus dan membuktikan kebenaran teori
tersebut. Di samping itu, ia berpendapat bahwa pasang dan turunnya air laut
dipengaruhi secara signifikan oleh bulan. Akan tetapi, ia mengetahui hal tersebut
hanya berdasarkan intuisi dan belum menemukan bukti-bukti nyata untuk
mendukung pernyataan itu. Ia menyimpulkan bahwa ada tarik-menarik antara bumi
dan bulan yang mengakibatkan pasang dan surutnya air laut. Pemikir sejamannya,
Galileo tidak sependapat dengan pernyataan itu dan berpendapat bahwa lebih jujur
jika kita mengakui saja bahwa kita tidak tahu. Nantinya, ia beranggapan bahwa
pasang dan surutnya air laut terjadi karena pergerakan yang dilakukan oleh bumi.
Memang, pandangannya terkesan lebih rasional, tetapi tidak tepat.
Sementara itu, Kepler kembali membuat rumusan yang menunjukkan
ketidaksetujuannya terhadap paradigma Aristotelian. Ketika mengamati gerakan
Planet Mars di dalam orbitnya, ia melihat ada perbedaan yang sangat mendasar
antara apa yang dihitungnya secara matematis di satu sisi, dan apa yang diamatinya
secara langsung. Ia kemudian menyimpulkan bahwa orbit gerak planet tersebut
berbentuk elips, dan bukan melingkar. Lagi pula, matahari merupakan pusat dari
gerak yang berbentuk elips tersebut. Rumusan ini bertentangan sama sekali dengan
pandangan Aristoteles yang melihat bahwa semua benda-benda langit bergerak
secara melingkar dengan bumi sebagai pusatnya. Galileolah yang nantinya akan
menggunakan alat-alat yang memadai guna mengamati dan menganalisis gerak
planet tersebut.
Kunci perkembangan di dalam semua penelitian tentang gerak planet ini
adalah penemuan teleskop yang merupakan pengembangan lebih jauh dari lensalensa yang sudah ada pada waktu itu. Kesimpulan yang didapat dari penelitian
dengan menggunakan teleskop ini memberikan dampak yang sangat besar bagi
paradigma kosmologis pada waktu itu. Dengan menggunakan teleskop, Galileo
sampai pada kesimpulan bahwa planet tidaklah sama dengan bintang. Planet tidak
memiliki cahaya sendiri, seperti bintang, melainkan hanyalah sebuah bola yang
memantulkan cahaya dari bintang yang ada di dekatnya. Ia juga menyimpulkan
bahwa gerak planet Venus tidaklah seperti yang dituliskan oleh Ptolemeus, yakni

120

bergerak bersama matahari. Tanpa pengamatan yang detil dengan menggunakan


teleskop, sebelumnya kita tidak dapat membedakan antara penafsiran yang salah
dengan penafsiran yang benar. Satu-satu masalah di sini adalah walaupun ia telah
membuktikan bahwa pengamatan Ptolemeus salah, tetapi ia tidak dapat
membuktikan bahwa analisis Kopernikus benar. Memang, pandangan Kopernikus
menjelaskan pergerakan planet-planet tersebut dengan cara yang lebih sederhana,
tetapi sederhana bukanlah satu-satunya kriteria validitas suatu teori.
Pada 1616, Vatikan menolak semua penelitian tersebut. Mereka berpegang
teguh pada apa yang tertulis di Kitab Suci, yakni mataharilah yang bergerak
mengelilingi bumi. Kopernikus berhasil lepas dari hukuman karena ia mengklaim
bahwa penelitiannya hanyalah suatu hipotesis dan tidak mencerminkan realitas.
Galileo tidak setuju baik dengan sikap Kopernikus maupun dengan sikap
konservatisme Vatikan, terutama karena ia beranggapan bahwa pengetahuan yang
sepenuhnya benar tentang hal itu tidaklah bisa diperoleh. Pada 1632, ia menerbitkan
buku berjudul Dialogue of the Two Chief World Systems. Di dalam buku itu, ia
membandingkan pandangan Kopernikus dan pandangan Ptolemeus serta sampai
pada kesimpulan bahwa pendapat Kopernikus benar. Konsekuensi dari diterbitkan
karya ini adalah bahwa Kopernikus sungguh-sungguh menggambarkan apa yang ada
di dalam realitas dan tidak hanya sebuah hipotesis belaka. Karya ini menandakan
pemberontakan Galileo terhadap otoritas agama yang berkuasa pada waktu itu.
Masalah semakin diperrumit karena Galileo menulis bukunya dengan
menggunakan model dialog antara dua pandangan dan kemudian berperan menjadi
hakim yang menentukan pandangan mana yang benar. Dengan buku itu pula, ia
menggambarkan apa yang menjadi problem fundamental di dalam epistemologi pada
waktu itu, yakni berbagai pendekatan atas suatu fenomena dengan beragam bukti
dan pertentangan dengan otoritas. Ia juga berpendapat bahwa pergerakan bumi tidak
dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada di dalamnya. Ia menggunakan contoh
tentang sebuah kapal yang besar. Orang yang berada di dalam kabin tertutup di suatu
kapal yang sangat besar tidak akan merasakan bahwa kapal itu bergerak. Akan tetapi,
orang yang berada di luar kapal bisa melihat dengan jelas bahwa kapal itu bergerak.
Dengan demikian, jika kita tinggal di bumi, kita tidak pernah akan bisa bisa
merasakan bahwa bumi bergerak.
Tentu saja, dialog antara dua pandangan di dalam buku itu berakhir di dalam
ketidakseimbangan karena pandangan Kopernikus yang akhirnya menang. Dengan
demikian, bumilah yang mengelilingi matahari dan bukan sebaliknya. Pandangan
semacam ini langsung membawa Galileo dalam konflik dengan otoritas yang
berkuasa pada waktu itu. Galileo diadili di dalam pengadilan Gereja dan dipaksa
untuk menarik kembali semua tulisannya serta mengaku bersalah. Ia menggunakan
rasio dan pengamatan terhadap bukti-bukti nyata untuk menantang penafsiran
harafiah atas Kitab Suci serta otoritas gereja pada waktu itu. Memang menarik
melihat momen-momen penting dalam sejarah ilmu pengetahuan ini. Otoritas

121

ditantang oleh bukti-bukti ilmiah dan kemudian otoritas tersebut menanggapi


dengan sangat otoriter. Akan tetapi, perdebatan yang terjadi pada masa itu jauh dari
kejelasan. Banyak hal di dalam ilmu pengetahuan sendiri belum terbukti sepenuhnya
secara ilmiah dan banyak pula yang masih merupakan pengetahuan intuitif.
Komunitas ilmiah dan agama pun terbelah-belah di kalangan internal mereka sendiri
tentang masalah ini. Bahkan, pada awalnya banyak kaum klerus di dalam gereja,
termasuk Paus pada waktu itu, yakni Urbanus VII mendukung penelitian Galileo.
Dengan demikian, silang pendapat di kalangan internal gereja sendiri pun sangat
besar dan jauh sekali dari kesan pendapat tunggal.14
Sebenarnya, dua tujuan utama dari penelitian Galileo ini adalah untuk
mendapatkan penjelasan yang bersifat rasional dan simplisitas penjelasan. Contoh
yang paling jelas adalah penjelasannya tentang gerak. Ia merumuskan secara teoritis
alasan mengapa suatu proyektil akan melepaskan benda dengan jarak yang paling
maksimal jika ia melemparnya dalam sudut 45 derajat. Hal ini diketahui dari
pengalaman sehari-hari dan tentunya dapat diulang di dalam ekperimen. Tujuan dari
eksperimen semacam itu adalah untuk mendapatkan penjelasan rasional tentang
bagaimana sesuatu itu bekerja. Hal ini nantinya akan berkembang di dalam teori
Newton yang melihat bahwa gerak dari suatu obyek bisa dipahami dan bahkan
diprediksi. Tujuan lainnya adalah mendapatkan penjelasan yang lebih sederhana
dengan mempertimbangkan dua pandangan sebelumnya, yakni pandangan
Ptolemeus dan pandangan Kopernikus. Di dalam kosmologi Ptolemeus, tidak hanya
matahari, semua planet bergerak mengelilingi bumi sekali dalam sehari. Akan jauh
lebih mudah jika gerak tersebut terjadi dengan bumi yang berputar dan bukan
matahari.
Jika ada momen-momen di dalam sejarah manusia ketika suatu karya dapat
merubah paradigma manusia secara mendasar, karya-karya Galileo adalah salah
satunya. Pada 1683, ia menerbitkan buku yang berjudul Two New Sciences. Di dalam
buku itu, ia membuat pernyataan yang sangat mengagumkan. Sebab dari dari
gerak, demikian tulisnya, dari benda yang jatuh bukanlah bagian dari penelitian.15
Pernyataan ini memiliki implikasi yang sangat penting. Menurut Aristoteles, kita
harus mencari sebab utama dari keberadaan suatu benda dengan menanyakan
mengapa benda itu ada. Sementara, Galileo berpendapat bahwa yang harus
dilakukan adalah memeriksa bagaimana sesuatu itu bisa terjadi dan bukan mengapa.
Penjelasan metafisis dan religius tentang sebab dari sesuatu pun disingkirkan dari
penelitian ilmiah. Galileo mendasarkan penelitiannya pada eksperimen-eksperimen.
Pada awal karirnya, ia menjatuhkan bola-bola dengan berat yang berbeda dari
menara miring di Pisa untuk menunjukkan bahwa setiap benda, berapapun beratnya,
jatuh ke tanah selalu dengan kecepatan yang sama. Faktanya, eksperimen tersebut
tidak berjalan sesuai dengan keinginannya karena tekanan angin juga mempengaruhi
14
15

Ibid, hal. 18.


Seperti dikutip oleh Thompson, 2001, hal. 19.

122

kecepatan jatuhnya benda, bola-bola dengan berat yang berbeda jatuh tidak dalam
waktu bersamaan. Akan tetapi, pernyataan ini langsung mengkritik pernyataan
Aristoteles yang melihat bahwa setiap benda jatuh ke tanah sesuai dengan berat
benda tersebut dan bukan karena faktor angin.
Pandangan Dunia Newtonian
Di dalam bukunya yang sangat terkenal, Philosophiae Naturalis Principia
Mathematica, Sir Isaac Newton (1642-1727) mau menganalisis dunia dan realitas
dengan menggunakan prinsip-prinsip matematis. Dengan konsep ruang dan waktu
yang tetap yang mempengaruhi gerak benda-benda dan merumuskan konsep-konsep
seperti massa, kekuatan, kecepatan, dan percepatan, ia menyediakan kerangka yang
komprehensif bagi perkembangan fisika pada kemudian hari. Pandangan Newton
adalah paradigma yang dominan sampai ditantang oleh Einstein pada abad ke-20.
Walaupun rumusan fisikanya tidak lagi memadai untuk menjelaskan tentang alam
semesta, tetapi hukum gerak yang dirumuskannya masih menjadi panduan praktis
bagi perhitungan-perhitungan matematis dan menjadi prinsip dasar dari berbagai
penemuan di bidang teknologi yang membentuk peradaban manusia seperti sekarang
ini. Menurut Aristoteles, alam semesta dan esensinya lebih ditentukan oleh telos atau
tujuan dari penciptaan alam semesta itu. Dengan kata lain, yang menentukan esensi
adalah masa depan dari realitas. Sementara, menurut Newton, yang menentukan
esensi dari alam semesta adalah masa lalunya, yakni proses perkembangan alam
semesta tersebut.
Akan tetapi, konstribusi terbesar Newton tidak hanya terletak pada hukum
gerak yang dirumuskannya, melainkan tentang kosmologi mengenai alam semesta
sebagai tempat yang rasional dan dapat dimengerti dengan pola-pola matematis.
Dari sudut pandang ilmuwan dan filsuf abad ke-21, kosmologi yang dirumuskan
Newton memang terlihat kasar, kecil, dan sangat mekanistik. Akan tetapi, kosmologi
semacam itu menjadi dasar epistemologis yang terbukti sangat berguna bagi
perkembangan ilmu pengetahuan teoritis maupun teknologi pada kemudian hari
selama lebih dari 200 tahun. Dengan lahirnya paradigma Newtonian ini, filsafat pun
berganti fungsi dari merefleksikan hakekat dari realitas secara spekulatif dan
metafisik menjadi penguji dari prinsip-prinsip ilmiah yang baru ditemukan dengan
mengacu pada metode yang dipakai. Immanuel Kantlah yang merumuskan sebuah
tesis bahwa hukum-hukum gerak dan kausalitas yang pada paradigma Newton
dianggap sebagai hukum obyektif bagi dunia yang juga obyektif ternyata tidak tepat.
Hukum gerak dan kausalitas merupakan kualitas subyek yang sudah inheren di
dalam rasionya, serta membantu dia memahami pengalaman-pengalamannya.
Pada bagian ini, kita telah melihat bagaimana lahirnya ilmu pengetahuan modern
menghancurkan paradigma Aristotelian yang dominan dan bagaimana para ilmuwan
abad ke-16 sampai 18 berbeda pendapat dengan otoritas Gereja yang berkuasa pada
123

waktu itu. Pertempuran antara kaum progresif dan konservatif ini sebenarnya hanya
separuh benar. Faktanya, pemikiran Aristoteles dan para filsuf Yunani Kuno lainnya
tetaplah dipelajari secara sistematis jauh setelah masa-masa yang kita sebut sebagai
lahirnya ilmu pengetahuan modern. Salah satu refleksi paling kunci yang masih
dapat ditarik pada pemikiran Aristoteles adalah penyempitan empat penyebab
menjadi dua penyebab, yakni penyebab material dan penyebab efisien. Hal ini dapat
ditemukan hampir di seluruh karya-karya Descartes dan Francis Bacon. Dampak dari
reduksi semacam ini adalah cara pandang terhadap dunia yang memiliki karakter
seperti mesin, yakni mekanistik, dan terdiri dari obyek-obyek fisik yang
menyebabkan keberadaan obyek-obyek lainnya. Penyebab forma, yakni yang
memberikan bentuk dan koherensi bagi entitas yang kompleks dan penyebab final,
yakni tujuan dan arah dari suatu entitias, tidak lagi digunakan sebagai kriteria
analisis. Dengan kata lain, di dalam perkembangan ilmu pengetahuan dari Yunani
Kuno menuju ke abad pertengahan dan sampai ke abad modern, kita melihat adanya
penyempitan paradigma di dalam melihat obyek dan hakekat dari obyek tersebut.
Paradigma yang ada menjadi sangat mekanistik. Pemfokusan pada penyebab efisien
tidak dapat dicegah oleh pertimbangan-pertimbangan lainnya. Hal ini mendorong
kemajuan di dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam hal memprediksi terjadinya
kejadian-kejadian pada masa depan dalam konteks obyek fisik. Dua penyebab
lainnya yang dirumuskan Aristoteles kini menjadi bagian dari refleksi metafisika,
yakni salah satu cabang filsafat yang berbeda dari filsafat ilmu pengetahuan.
Di samping itu, kita tidak boleh melupakan sumbangan yang sangat besar dari
tokoh-tokoh lainnya di dalam sejarah ilmu pengetahuan. Boyle, misalnya, yang pada
akhir abad ke-17 merumuskan suatu karya yang sangat berpengaruh di bidang kimia,
menunjukkan bagaimana cara mengkombinasi elemen-elemen menjadi senyawa.
Setelahnya, ada begitu banyak perkembangan di dalam teori-teori ilmiah, terutama
dengan didirikannya The Royal Society di Inggris dan Acadmiae des Sciences di
Perancis pada abad ke-17. Perkembangan alat-alat eksperimen juga mendukung
analisis yang detil terhadap dunia, seperti teleskop misalnya yang ditemukan pada
awal-awal abad ke-17 serta digunakan olehnya untuk menganalisis berbagai data
yang terkait dengan problem kosmologis yang kontroversial pada waktu itu.
Mikroskop juga berkembang pada akhir abad tersebut. Penemuan Robert Hooke,
Micrographia, membuat kagum banyak orang karena berhasil menunjukkan hal-hal
yang sangat kecil, yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Pada 1783,
Montgolfier bersaudara terbang pertama kali dengan balon gas, dan pada akhir abad
itu, Count Volta memproduksi baterai listrik.
Pandangan dunia Newtonian menandakan terjadinya perubahan besar di dalam cara
para filsuf memandang dunia mereka. Thomas Hobbes (1588-1679) memiliki
pendapat yang bersifat materialis tentang dunia dan realitas. Ia berpendapat bahwa
segala sesuatu di dunia ini haruslah memiliki semacam bentuk fisik. Bahkan, pikiran
124

dipandangnya sebagai mesin dan tak lebih dari sekedar pergerakan dari materi yang
ada di dalam otak. Pendek kata, segala sesuatu adalah materi yang mengalami
pergerakan. Di samping itu, ada juga perdebatan tentang hakekat dan keabsahan dari
persepsi kita terhadap benda-benda. Dalam konteks ini, Locke membedakan antara
ide simpleks dan ide kompleks di dalam proses manusia mengetahui. Sementara itu,
Descartes mempertanyakan segala sesuatu yang ada di dalam realitas untuk mencari
kepastian. Walaupun bukan bagian di dalam refleksi filsafat ilmu pengetahuan,
perdebatan filosofis tentang hakekat dari realitas dan keabsahan persepsi inderawi
manusia sangat berperan penting di dalam perkembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya.
2.4 Perkembangan pada Abad ke-19
Perubahan yang terjadi di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad
ke-19 sangatlah mengagumkan. Dekade-dekade awal abad itu dipenuhi
perkembangan pesat di dalam penggunaan tenaga uap, seperti di dalam kereta api,
pabrik-pabrik, serta kapal laut bertenaga uap. Pada 1830, bentuk energi lain telah
ditemukan dan penemuan ini memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu
pengetahuan, yakni energi listrik. Penemuan dinamo dan motor mempermudah
transportasi. Telegram elektrik memungkinkan komunikasi lintas negara. Kedua hal
tersebut mulai aktif beroperasi sejak 1866. Kemudian, dengan penemuan telepon
oleh Bell pada 1876 dan radio oleh Marconi pada 1895, dunia mengalami revolusi di
dalam bidang komunikasi.
Dengan teknologi telepon, telegram, pelayanan pos, rel kereta uap, pabrikpabrik, gedung-gedung yang dibangun dengan menggunakan besi, serta kendaraan
bermotor pada 1885; wajah dunia telah sungguh-sungguh berubah. Pada akhir abad
ke-19, lama waktu hidup dan kesehatan dapat ditingkatkan dengan meminum obat
aspirin ataupun mengecek penyakit dengan sinar x. Kematian juga bisa datang lebih
cepat dengan ditemukannya senjata mesin dan kursi listrik. Dari sudut pandang yang
lebih umum, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menjanjikan
kemajuan peradaban manusia dan kontrol penuh manusia atas alam.
Selanjutnya, salah satu perubahan terbesar di dalam peradaban manusia di
abad ke-19 adalah dirumuskannya teori evolusi. Di pihak lain, ada juga penemuan
yang sama pentingnya, yakni penemuan ilmu statistik. Sekarang ini, penelitian sosial
dengan menggunakan statistik adalah sesuatu yang biasa. Ilmu-ilmu sosial modern,
seperti psikologi, sosiologi, dan ilmu politik, tidak akan dapat dimengerti tanpa
pengambilan data-data yang kemudian dirumuskan dalam statistik. Baru di abad ke19 lah para ilmuwan menggunakan metode ini untuk pendekatan ilmiah mereka.
Di dalam ilmu statistik yang dirumuskan oleh seorang sosiolog, Durkheim
(1858-1917), ada pengandaian bahwa perilaku manusia dapat dihitung, dan
kemudian dapat diperkirakan. Ia sampai pada kesimpulan bahwa ada hukum sosial
yang bersifat obyektif di dalam masyarakat yang dapat diketahui melalui statistik.
125

Tentu saja, ia tidak bermaksud menyamakan hukum obyektif di dalam dunia sosial
tesebut sama dengan hukum di dalam ilmu-ilmu alam. Hukum obyektif itu tidak
pernah dapat menggambarkan apa sesungguhnya menjadi kehendak dan keinginan
individu-individu yang ada di dalam masyarakat. Akan tetapi, di level yang lebih
sosial yang lebih melibatkan banyak orang, perilaku sosial dapat dihitung dan
diperkirakan. Seperti akan kita lihat kemudian, semua hal ini akan mempengaruhi
cara para ilmuwan dan cara manusia pada umumnya untuk mendefinisikan
kebebasan. Jika ada yang disebut sebagai hukum sosial yang dapat diketahui melalui
statistik, apakah orang-orang yang membuat statistik sungguh-sungguh tidak
terpengaruh oleh hukum-hukum tersebut, sehingga mereka bisa disebut bebas? Atau,
jangan-jangan, mereka tidak sadar bahwa mereka sendiri tidaklah bebas?
Di bidang politik, Karl Marx (1818-1883) menyumbangkan suatu analisis
melalui teori konflik kelasnya dan mengklaim berhasil menemukan hukum-hukum
baja sejarah pergerakan kelas. Ia melihat bahwa konflik kelas yang ada di masyarakat
akan berakhir dengan terciptanya masyarakat sosial tanpa kelas. Seperti juga akan
kita lihat kemudian, beberapa filsuf abad ke-20, antara lain, Popper berpendapat
bahwa
Marxisme
merupakan
ilmu
pengetahuan
yang
tidak
bisa
dipertanggungjawabkan karena tidak memberikan ruang untuk falsifikasi yang dapat
membuktikan keabsahan teori tersebut. Akan tetapi, Marx tidak hanya mau
memahami masyarakat dengan pendekatan ilmiah, tetapi juga mau mengubahnya.
Dengan demikian, kita sudah lihat bagaimana ilmu pengetahuan tidak lagi
digunakan hanya untuk menganalisis alam, tetapi juga untuk memahami manusia
dan dunia sosialnya dan bahwa perilaku manusia terbuka untuk dipahami secara
obyektif melalui analisis saintifik. Salah satu problem filosofis yang muncul di sini
adalah kebebasan. Jika saya merasa bahwa diri saya adalah seorang yang bebas,
bagaimana seorang ilmuwan dapat tiba-tiba meramalkan apa yang akan saya lakukan
pada kemudian hari melalui analisis-analisisnya? Di samping itu, ada satu isu yang
sangat mengguncang pemahaman manusia pada masa-masa itu, yakni tentang apa
arti keberadaan kita sebagai manusia. Isu ini diangkat oleh teori evolusi.
Tantangan dari Teori Evolusi
Teori evolusi yang pertama kali dirumuskan oleh Charles Darwin (1809-1882)
setidaknya dapat dibagi menjadi dua, yakni penafsiran dan pemeriksaan bukti-bukti
fosil yang ada dan teori tentang bagaimana suatu spesies bisa berkembang. William
Smith (1769-1839) mempelajari lapisan batuan dan fosil yang terkandung di
dalamnya. Ia mendapatkan kesimpulan bahwa semakin dalam suatu lapisan batuan
maka semakin fosil yang ditemukan menunjukkan spesies-spesies yang berbeda dari
yang ada sekarang. Oleh karena itu, spesies-spesies tersebut tentunya telah
menempuh beberapa tahap penciptaan sehingga bisa ada beragam mahluk hidup
seperti sekarang.
Bukti-bukti yang sama juga telah membawa Charles Lyall pada pandangan

126

yang berbeda. Di dalam bukunya yang berjudul Principles of Geology, ia berpendapat


bahwa yang terjadi adalah proses perubahan yang bertahap namun pasti dan bukan
penciptaan yang bertahap. Apa yang belum ia mengerti adalah mekanisme yang
mendorong terjadinya perubahan dari satu spesies menjadi spesies yang lain. Ada
beberapa ilmuwan lainnya yang memiliki kesimpulan serupa dengan teori Darwin.
Kakek dari Darwin, yakni Erasmus Darwin (1731-1802) berpendapat bahwa semua
mahluk hidup berevolusi dari satu jenis mahluk hidup. Ia juga melihat bahwa
manusia merupakan puncak dari proses evolusi, tetapi tidak terpisah dari proses
tersebut. Bukunya yang lain, Zoonomia (1794) adalah sebuah buku medis, tetapi di
dalamnya telah termuat ide-ide tentang evolusi. Dalam banyak hal, pemikirannya
telah membuka gerbang bagi teori yang lebih matang yang dirumuskan cucunya.16
Salah satu tokoh yang banyak berpengaruh bagi pengembangan teori evolusi
adalah Jean Bapiste de Lamark (1744-1829). Ia yakin bahwa kita dapat
menggolongkan berbagai spesies menurut kompleksitasnya dan bahwa setiap spesies
selalu berkembang menuju spesies yang makin kompleks. Proses perkembangan
menuju spesies yang makin kompleks ini terjadi melalui penurunan karakter baru
dari induk kepada anaknya. Dengan kata lain, seseorang yang telah berhasil
mengembangkan suatu kualitas ataupun karakter baru akan menurunkan karakter
baru tersebut kepada anaknya. Dengan pola seperti itulah proses evolusi terus
berlangsung. Teori ini menjadi sangat kontroversial pada abad ke-19 dan nantinya
akan digunakan oleh Darwin untuk menjelaskan proses seleksi alamiah.
Ilmuwan lain yang memberikan sumbangan besar terhadap teori evolusi
adalah Thomas Malthus (1766-1834). Ia melihat bahwa di dalam situasi krisis
makanan, populasi penduduk juga berkembang menyesuaikan dengan jumlah
makanan yang ada. Akan ada semacam kompetisi di antara penduduk untuk
memperebutkan makanan. Oleh karena itu, hanya penduduk terkuatlah, atau yang
mempunyai akses ke makanan, yang dapat bertahan. Kesimpulan ini ditulisnya
dalam buku Essays on the Principle of Population (1798), dan menyediakan
argumentasi tentang mekanisme proses evolusi yang nantinya diadopsi oleh Darwin.
Mungkin, puncak perkembangan teori evolusi adalah di dalam rumusan
Charles Darwin. Buku yang berjudul The Origins of Species (1859) sangatlah
kontroversial karena buku itu merumuskan untuk pertama kalinya bagaimana suatu
spesies dapat berkembang dari spesies lainnya dengan menjalani proses seleksi
ilmiah (alamiah). Latar belakang tentang bagaimana ia sampai pada teori itu
sangatlah terkenal. Ia melakukan penelitian di kepulauan Galapagos. Dan setelah
menyaksikan keberagaman spesies yang ada di sana, ia menyimpulkan bahwa spesies
yang ada sekarang merupakan perkembangan dari proses spesies yang ada
sebelumnya. Ia melihat adanya kemiripan antara spesies yang ada sekarang dengan
fosil-fosil yang ia temukan di pulau tersebut. Kemudian, ia tinggal selama 20 tahun di
16

Lihat, Ibid, hal. 25.

127

pulau itu untuk merumuskan teori tentang bagaimana hal ini bisa terjadi.
Di dalam teori seleksi alamiah, ia berpendapat seperti di bawah ini.
Pertama, beberapa jenis di dalam satu spesies memiliki kualitas-kualitas yang dapat
membantu mereka untuk bertahan lebih baik daripada yang lainnya.
Kedua, spesies-spesies yang mampu bertahan akan berkembang biak dan
mewariskan kualitas mereka ke generasi berikutnya.
Ketiga, dengan begitu, semakin banyak mahluk hidup dari spesies tersebut yang
memiliki kualitas untuk bertahan.
Keempat, kualitas dan karakter dari spesies tersebut berkembang terus untuk
memungkinkannya bertahan hidup.
Empat Bab pertama dari The Origins of Species menunjukkan proses
terbentuknya teori tersebut. Ia mulai dengan menyelidiki proses perkembangbiakkan
binatang-binatang. Kemudian, ia mengkaitkan analisisnya dengan teori Malthus
dengan mengeksplorasi proses mahluk hidup mempertahankan keberadaan mereka.
Dari sini, ia kemudian mampu merumuskan teori tentang seleksi alamiah. Darwin
menggabungkan analisisnya dengan teori-teori yang sudah berkembang sebelumnya.
Bahkan, satu-satunya yang cukup membedakan teori Darwin dengan teori-teori
evolusi yang sudah ada sebelumnya adalah kejelasan dan kelugasannya dalam
mengajukan argumentasi. Argumentasinya sangat meyakinkan, terutama tentang
proses terjadinya evolusi, tidak lagi dibutuhkan seorang Pencipta Agung untuk
melaksanakan prosesnya. Teorinya juga menempatkan manusia di dalam satu level
dengan spesies lainnya karena manusia juga telah melewati proses seleksi alamiah
yang sama.
Ilmu pengetahuan di bidang genetika telah menunjukkan kepada kita bahwa
penggabungan kode genetik yang acak dapat juga memberi keuntungan bagi spesies
yang bersangkutan. Akan tetapi, pada waktu itu teori evolusi adalah sebuah
bangunan teori yang elegan, sederhana, dan sangat mekanistik. Di dalam teori itu,
tujuan final, seperti yang dirumuskan Aristoteles tidaklah mendapatkan tempat. Apa
yang disebut sebagai tujuan final adalah kebetulan kumulatif belaka. Jelaslah bahwa
pada masa itu, apa yang dirumuskan Darwin sangat mengguncang dunia ilmu
pengetahuan.
Di buku-buku berikutnya, Darwin mencoba untuk menunjukkan implikasi
teorinya bagi manusia secara keseluruhan. Akan tetapi, dari perspektif sejarah ilmu
pengetahuan, buku Origins of Species-lah yang menjadi tonggak dan karya yang
terpenting.
2.5 Teori Relativitas
Setelah melepaskan diri dari paradigma Aristotelian dan filsafat abad
pertengahan, ilmu pengetahuan terutama pada paruh kedua abad ke-19, telah
128

semata-mata mendasarkan analisisnya pada bukti-bukti dan rasionalitas. Filsuf


Jerman yang bernama Haeckel, dalam bukunya yang berjudul The Riddle of the
Universe (1899) berpendapat bahwa di alam ini tinggal beberapa hal yang dapat
ditemukan oleh manusia karena hampir semuanya telah ditemukan. Fisika
Newtonian dan teori evolusi Darwin telah menjadi kerangka yang digunakan untuk
menjawab hampir semua pertanyaan ilmiah pada waktu itu karena hanya pertanyaan
ilmiah yang layak dan dianggap memadai untuk diajukan. Yang lain tidak.
Akan tetapi, semua kecenderungan itu hilang pada awal abad ke-20. Sekali
lagi, otoritas yang mapan mendapatkan tantangan. Akan tetapi kali ini, otoritas
paradigma Newtonianlah yang kali ini mendapatkan tantangan. Filsafat ilmu
pengetahuan mulai menyadari bahwa ada cara-cara lain yang dapat memahami
fenomena yang ada dalam realitas, walaupun bersifat kontradiktif dengan penjelasan
yang sudah mapan sebelumnya. Persepsi umum di dalam dunia ilmu pengetahuan
pun berubah dari apa yang tadinya dianggap sebagai kemenangan rasio serta bukti
empiris pada abad ke-18 menjadi penerimaan akan pemikiran-pemikiran yang
tampak terlepas jauh dari logika dan rasionalitas. Pada abad ke-20, dunia seolah-olah
jauh lebih kompleks melampaui apa yang dipikirkan seabad sebelumnya.
Tidak mungkinlah kita menguraikan seluruh perkembangan besar yang terjadi di
dalam dunia ilmu pengetahuan selama abad ke-20, dan hal tersebut juga tidak
diperlukan untuk memahami refleksi filsafat ilmu pengetahuan. Yang harus
dimengerti di sini adalah tema-tema mendasar yang membedakan perkembangan
ilmu pengetahuan di abad ke-20 dengan paradigma Newtonian yang sudah mapan
sebelumnya, serta implikasi perubahan paradigma tersebut bagi pemahaman
manusia akan ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan.
Teori Relativitas
Dua teori relativitas yang dirumuskan Albert Einstein (1879-1955) pada awal
abad ke-20 menunjukkan keterbatasan-keterbatasan dari fisika Newtonian. Pada
1905, ia merumuskan teori relativitas khusus. Teori tersebut dapat diringkas dalam
persamaan E=mc2. Persamaan ini menghubungkan massa dengan energi. E adalah
energi, m adalah massa, dan c adalah kecepatan cahaya. Sementara itu, teori
relativitas umum yang dirumuskan pada 1916 berpendapat bahwa ruang, waktu,
massa, dan energi saling terkait satu sama lain. Ruang maupun waktu sangatlah
dipengaruhi oleh gravitasi. Ruang semakin sempit, sementara waktu akan berjalan
lebih cepat ketika gravitasi meningkat. Akan tetapi, gravitasi berjalan paralel dengan
massa. Semakin besar massa, semakin kuat gravitasi menarik. Dan menurut teori
relativitas khusus, massa selalu sudah terkait dengan energi.
Implikasi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap perspektif yang
bersifat defintif dan absolut. Di dalam mengamati suatu fenomena, posisi dan
pergerakan dari sang pengamat jugalah harus diperhitungkan. Newton berpendapat
129

bahwa bumi terletak pada posisi yang tetap dan statis. Akan tetapi, teori Einstein
telah menunjukkan bahwa tidak ada yang disebut sebagai titik statis karena segala
sesuatu yang tadinya dianggap statis ternyata relatif. Segala sesuatu di alam ini
bersifat relatif. Teori Newton masih dapat digunakan tetapi hanya untuk bidangbidang yang terbatas.
Mekanika Kantum dan Implikasinya
Perdebatan tentang mekanika kuantum antara Einstein dan Bohr pada dekade
1930-an melahirkan pertanyaan mendasar tentang apa yang dapat diketahui dan
kemudian dirumuskan oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan itu adalah salah satu
pertanyaan kritis di dalam filsafat ilmu pengetahuan. Dengan begitu, ketertarikan
terhadap filsafat ilmu pengetahuan pun berkembang. Mekanika
kuantum
berkembang melalui pengamatan terhadap fenomena sub-atomis. Oleh karena itu,
penelitian ilmiah tentang hal ini tidak dapat dilakukan sebelum abad ke-20. Ide
tentang dunia yang tersusun dari atom-atom yang dipisahkan oleh ruang kosong
bukanlah suatu ide baru. Leukipos dan Demokritos telah merumuskan ide itu 5 abad
sebelum Masehi. Akan tetapi, sampai ditemukannya elektron pada 1897, atom
dianggap sebagai suatu benda materi yang solid, dan tidak dapat dibagi-bagi lagi. Di
kemudian hari, atom dianggap sebagai nukleus yang terdiri dari proton serta
neutron, di mana elektron mengelilinginya, seperti planet-planet di tata surya kita
mengelilingi matahari. Setelah menerima analisis tersebut, teori di dalam ilmu
pengetahuan kemudian mulai mengembangkan pemahaman tentang sub atom, yakni
karakter serta kualitas, dan relasi antara sub atom yang satu dengan sub atom yang
lainnya. Dengan demikian, materi dianggap sebagai partikel-partikel sub atom yang
diikat bersama oleh semacam kekuatan nuklir (nuclear forces).
Kata mekanika kuantum diambil dari karya Max Planck yang menemukan bahwa
radiasi (cahaya maupun energi) berasal dari kuanta-kuanta yang kecil namun dapat
diukur, dan bukan dari gelombang energi yang terbentuk terus menerus.
Ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang tidak bisa langsung diamati
dengan menggunakan panca indera kita, sulit bagi kita untuk memutuskan apakah
konsep yang kita rumuskan berdasarkan pengamatan tersebut sungguh-sungguh
memadai atau tidak. Kita tidak dapat menunjuk benda itu secara langsung, dan
kemudian membuat perbandingan. Dengan demikian, ketika berusaha meneliti
partikel-partikel sub atomik, semua bentuk konsep akan mengalami keterbatasan
dalam perumusannya.
Masalah besar muncul karena partikel-partikel yang menjadi obyek
pengamatan seringkali berubah tergantung dengan bagaimana cara mereka diamati.
Dunia tidak lagi seperti yang dipikirkan oleh Newton, yakni dunia yang mekanis dan
dapat diramalkan. Teori kuantum berpendapat bahwa kita tidak bisa memprediksi
130

gerakan ataupun relasi partikel-partikel atom ataupun sub atom yang kita amati.
Paling-paling, kita hanya dapat memprediksinya sampai tahap probabilitas.
Pada 1927, Heisenberg membuktikan bahwa semakin akurat kita dapat
mengetahui posisi dari suatu partikel maka semakin sulit pula kita menentukan
kecepatannya. Dan sebaliknya, semakin akurat kita mengetahui kecepatan suatu
partikel maka semakin sulit kita menentukan posisi partikel tersebut. Kita dapat
mengetahui dengan tepat salah satu diantaranya, tetapi tidak pernah dapat
mengetahui secara akurat keduanya. Pertanyaan filosofisnya, apakah prinsip
ketidakpastian dan relativitas ini sungguh-sungguh merupakan gambaran dari
realitas yang kita teliti atau ini justru menandakan keterbatasan dari kemampuan
kita untuk mengamati dan menghitung partikel-partikel tersebut?
Pertanyaan ini membuka sebuah perdebatan keras di dalam dunia filsafat ilmu
pengetahuan, terutama tentang cara bagaimana menafsirkan teori kuantum secara
tepat. Secara partikular, Einstein dan Bohr memiliki pendapat yang berseberangan
tentang hal ini. Bohr berpendapat bahwa teori kuantum sungguh-sungguh
menggambarkan realitas yang tidak pernah bisa diketahui secara pasti. Sementara,
Einstein berpendapat bahwa realitas tidaklah mungkin sesuatu yang acak. Baginya,
realitas memiliki keteraturan yang jelas, hanya kemampuan kitalah yang terbatas
untuk memahami keteraturan tersebut.17
Isu yang diperdebatkan di sini sangatlah penting dan mendasar. Di dalam mekanika
tradisional, kita memang tidak dapat memprediksi perilaku individual secara persis.
Akan tetapi, kita setidaknya dapat mengetahui dan meramalkan perilaku-perilaku
kolektif, seperti pada waktu tertentu, penduduk bersama-sama menuju kotak pemilu
untuk memberikan suara. Pada waktu yang sama, mekanika tradisional yakin bahwa
setiap individu selalu sudah dipengaruhi oleh suatu trend kolektif, walaupun kita
tidak dapat mengukur seberapa jauh pengaruh tersebut secara akurat. Mekanika
kuantum menentang pernyataan terakhir ini. Di dalam kerangka teori ini, segala
sesuatu adalah masalah probabilitas dan kita tidak pernah bisa sungguh-sungguh
tahu bahkan di dalam teori, apa yang menjadi karakter atau perilaku partikel di
dalam ilmu-ilmu alam, ataupun individu di dalam masyarakat.

Genetika
Sangat sulit untuk menggambarkan besarnya pengaruh dari penemuan
struktur-struktur DNA yang dibuat oleh Francis Crick dan James Watson pada 1953.
Penemuan itu telah menyediakan cara-cara yang luar biasa untuk mengeksplorasi,
menghubungkan, dan bahkan memanipulasi organisme hidup. Penemuan tersebut
menggambarkan struktur-struktur yang membawa semacam instruksi-instruksi yang
17

Lihat, Ibid, hal. 32 dan 84.

131

pada akhirnya membentuk semua mahluk hidup. Informasi yang terkandung di


dalam gen ini menentukan karakter dari setiap organisme hidup. Penemuan ini juga
telah membuat revolusi di dalam ilmu biologi, sama seperti teori relativitas dan
mekanika kuantum telah membuat revolusi di dalam dunia fisika.
Penemuan DNA di dalam ilmu genetika ini berimplikasi sangat besar di dalam
biologi. Potensi penggunaan dan manipulasi DNA ini tentunya mengundang
pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan pertimbangan etis lebih jauh. Seperti
kita lihat sebelumnya, teori seleksi alamiah yang dikembangkan Darwin
mendasarkan diri pada ide bahwa selalu ada perbedaan kecil antara suatu spesies
yang satu dengan spesies yang lainnya, dan perbedaan itulah yang membuat salah
satu spesies pada akhirnya dapat bertahan hidup, sementara yang lain tidak. Akan
tetapi, Darwin tidak mengetahui mekanisme yang membuat perbedaan ini menjadi
mungkin. Sekarang ini, kita tahu bahwa beberapa unsur di dalam gen kita tidak
selalu mengikuti apa yang menjadi unsur gen di induk kita. Gen itu mereproduksi
dirinya sendiri untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, teori genetika telah
melengkapi teori Darwin dengan suatu penjelasan yang sangat mengagumkan, yakni
menunjukkan bagaimana variasi antar spesies itu mungkin, sehingga mendorong
terjadinya proses seleksi alamiah.
Ilmu genetika juga menyatakan pada kita bahwa ada kesamaan di antara
berbagai mahluk hidup. Kita menemukan adanya gen-gen yang memiliki fungsi yang
sama di spesies yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa mahluk hidup
tersebut memiliki nenek moyang yang sama.
Teori genetik ini telah berevolusi dari suatu teori yang tidak memiliki bukti-bukti
nyata menjadi suatu teori yang mampu menggambarkan fakta-fakta yang sangat
penting bagi ilmu pengetahuan. Setiap mahluk hidup memiliki akar genetik yang
sama. Hal ini menunjukkan adanya kesalingterkaitan antara mahluk hidup yang satu
dengan mahluk hidup lainnya.
Beberapa Implikasi
Pemahaman tentang dasar-dasar teori genetika memberikan kita kemampuan
untuk memberikan semacam refleksi etis atas praktek-praktek internal teori genetika
itu sendiri. Fakta bahwa suatu hal dapat dilakukan tidak menjamin hal tersebut boleh
ataupun harus dilakukan.
Pada Januari 2001, pemerintah Inggris memperbolehkan penggunaan kloning
terhadap embrio demi pengembangan di bidang penelitian medis. Mereka
berpendapat bahwa kloning dapat membantu penelitian tentang batang sel yang
mungkin dapat membuat penemuan di bidang penggantian sel pada penyakitpenyakit yang tidak bisa disembuhkan. Dengan kata lain, sel-sel yang rusak akibat

132

suatu penyakit dapat digantikan dengan sel-sel baru yang lebih sehat. Sementara itu,
pihak lain berpendapat sebaliknya, yakni kloning atas sel akan bermuara pada
kloning atas manusia. Kloning atas manusia berarti membawa kemungkinan bahwa
seseorang dapat membuat kehidupan sendiri. Ia menentukan seluruh kualitas dari
kehidupan itu, seperti intelegensinya ataupun penampilannya. Hal ini jauh
mengundang lebih banyak masalah dan pertanyaan daripada jawaban yang
diberikan.
Problem filosofis yang terkandung di dalam pemaparan sebelumnya adalah
tentang sejauh mana ilmu pengetahuan murni harus dibatasi dengan menimbang
implikasi-implikasi dari ilmu pengetahuan itu. Hal ini tentunya selalu menjadi
masalah. Einstein bahkan sangat khawatir akan penerapan rumusan-rumusan yang
dibuatnya ke dalam penciptaan senjata nuklir. Di sisi lain, orang-orang seperti
Archimedes justru berharap bahwa ilmu pengetahuan murni dapat diterapkan ke
dalam kehidupan praktis dan pembuatan senjata adalah salah satunya.
Isu yang sangat mendasar di sini adalah bahwa ilmu pengetahuan selalu
bergerak di level yang impersonal. Oleh sebab itu, seringkali penemuan-penemuan di
dalam bidang ilmiah merusak makna dan perasaan istimewa yang dimiliki manusia
sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang tertinggi. Ketakutan ini cukup dapat dimengerti,
karena bagi orang-orang tertentu, ilmu pengetahuan dapat menggoyang keyakinan
moral, religius, dan penghayatan personalnya.
Sekarang ini, kita tidak mungkin menolak keuntungan dari penerapan ilmu
pengetahuan, seperti dalam bidang transportasi, komunikasi, ataupun kedokteran.
Lepas dari itu, masih mungkinkah kita bertanya, sejauh mana kita tetap harus
bersikap kritis terhadap peran ilmu pengetahuan yang mengklaim dirinya sebagai
penyelamat umat manusia? Pada titik inilah dibutuhkan semacam refleksi etis
tentang ilmu pengetahuan dan implikasinya bagi kehidupan manusia.
2.6 Revolusi Digital
Langkah pertama yang sangat signifikan untuk penciptaan komputer diambil
oleh Charles Babbage pada 1820. Ia hendak menciptakan sebuah alat mekanis yang
didasarkan pada prinsip-prinsip matematika. Upaya-upaya awalnya tidaklah terlalu
diperhatikan. Akan tetapi, ia terus berupaya mewujudkan idenya tersebut, yakni
dengan menggabungkan alat-alat mekanik yang ada dengan cara kerja matematika.
Yang terakhir ini menjadi cikal bakal dari komputer yang nantinya berperan sangat
penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Langkah yang sangat penting di dalam bidang ini diambil oleh Alan Turing
(1912-1954). Yang membedakan penemuannya dengan penemuan Babbage adalah
penggunaan teknologi digital yang sederhana serta kesadaran bahwa yang terpenting
adalah keberadaan tombol biner off/on, seperti yang digunakan pada relay telepon.
133

Komputer berkembang sangat pesat pada masa perang dunia kedua, terutama yang
digunakan untuk memecah kode-kode rahasia NAZI Jerman pada waktu itu.
Pada awal abad ke-21, perangkat komputer yang digunakan anak-anak untuk
bermain game jauh lebih canggih dan kuat dari yang digunakan oleh pihak sekutu
untuk membongkar kode-kode NAZI Jerman ataupun yang digunakan Amerika
untuk memprogram pesawat luar angkasa pada 1960-an. Di antara berbagai
perkembangan yang ada, penemuan internet adalah perkembangan yang paling
revolusioner. Di samping berbagai kritik mengenai fungsi kontrol yang mungkin
terjadi, penemuan internet tidak diragukan lagi mengubah kehidupan manusia,
terutama yang secara langsung terkait untuk mendapatkan informasi,
berkomunikasi, ataupun berpartisipasi dalam seluruh kegiatan di dalamnya yang
luasnya meliputi seluruh dunia.18 Sangatlah sulit untuk merumuskan semacam teori
tentang internet karena perubahan yang terjadi di dalamnya berjalan sangat cepat.
Walaupun begitu tidaklah diragukan lagi bahwa dampak sosial yang diakibatkan
teknologi ini sangatlah besar.
Penemuan dan perkembangan komputer merupakan tanda yang paling jelas
dari seluruh proses revolusi digital yang terjadi. Akan tetapi, problem
epistemologisnya terletak jauh lebih mendalam dan lebih besar daripada apa yang
tampak dari perkembangan yang ada. Pada abad ke-17 dan 18, walaupun matematika
dianggap berperan penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi kegunaan
utama matematika adalah sebagai alat logika. Kemudian, pada abad ke-19, statistik
yang merupakan perkembangan lebih jauh dari matematika mulai digunakan sebagai
alat analisis, dan bahkan sebagai data yang dianalisis. Paradigma semacam ini
memberikan semacam alternatif kepada para ilmuwan sosial tentang cara
menghubungkan relasi kausal yang terjadi di dalam masyarakat. Dengan demikian,
statistik menjadi alat analisis yang paling sering digunakan dan dipercaya.
Dengan kemampuan untuk menjabarkan dan bahkan memanipulasi informasi dan
data ke dalam bentuk-bentuk digital, teknologi digital kini tidak lagi digunakan untuk
mengkalkulasi data sebagai metode analisis, tetapi justru dianggap mampu
mendeskripsikan elemen-elemen terdasar yang ada di dalam realitas dalam bentuk
angka.
Revolusi digital ini mengubah hampir semua aspek di dalam kehidupan
manusia. Di dalam dunia fotografi misalnya, detil-detil gambar yang tadinya hanya
dapat ditangkap dengan lensa yang sensitif kini dapat direkam secara digital dengan
penggunaan kamera digital. Gambar yang dihasilkan merupakan rangkaian kodekode biner. Hal yang sama juga terjadi dengan suara yang ditransfer dalam bentuk
digital ke dalam rangkaian kode-kode biner tersebut. Pada akhirnya, tentu saja, gen
18

Lihat, Ibid, hal. 36.

134

manusia juga dapat dipetakan dengan menggunakan kode-kode biner tersebut, dan
kemudian dimanipulasi. Sebuah keping DVD dapat menghasilkan suara dan gambar
yang dibentuk oleh kode-kode biner, dan menghasilkan kualitas yang tidak kalah,
dan bahkan lebih baik, daripada yang sebenarnya. Pengaruh fundamental di sini
sangatlah mencengangkan, yakni realitas dipahami sebagai rangkaian informasiinformasi dalam bentuk kode-kode biner. Dengan demikian, segala sesuatu dapat
direduksikan dan kemudian direkonstruksi ke dalam dasar dari semuanya, yakni
rangkaian dari kode-kode biner.
Ringkasan singkat sejarah ilmu pengetahuan dimulai dengan pemikiran para filsuf
pra-sokratik, serta spekulasi pemikiran mereka tentang dasar terdalam yang
membentuk realitas. Thales mengamati realitas secara mendetil, dan sampai pada
kesimpulan bahwa air merupakan elemen terdasar dari segala sesuatu yang ada.
Dewasa ini, para ilmuwan melakukan hal yang sama, namun dengan menggunakan
metode ilmiah yang belum ada sewaktu Thales hidup dan sampai pada kesimpulan
bahwa segala sesuatu dapat diekspresikan dan direkonstuksikan dalam bentuk
informasi-informasi digital.

135

Bab 3
Metode Saintifik
Komitmen buta terhadap suatu teori
bukanlah sebuah keutamaan intelektual,
melainkan kejahatan intelektual
Imre Lakatos
1973
Pada Bab ini, kita akan melihat berbagai bentuk metode di dalam ilmu
pengetahuan yang berkembang dari abad ke-17 dan sampai sekarang masih
digunakan untuk membedakan antara ilmu pengetahuan yang asli di satu sisi dan
pseudosains atau ilmu pengetahuan palsu di sisi lain. Kita akan berfokus terutama
pada metode induksi (inductive method) dan bagaimana dampak penggunaan
metode tersebut pada dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. Tesis utama dari Bab
ini adalah bahwa semua pernyataan di dalam ilmu pengetahuan haruslah didukung
dengan data-data yang didapat dari pengamatan dan eksperimen.
Bab ini juga akan memaparkan perdebatan kontemporer di dalam filsafat ilmu
pengetahuan abad ke-20, yakni apakah suatu pernyataan ilmiah sungguh-sungguh
mendeskripsikan dunia obyektif, dunia fisik, dan bukan gambaran-gambaran yang
hanya muncul di dalam pikiran kita saja. Pertanyaan kunci di dalam Bab ini adalah,
apakah teori-teori ilmu pengetahuan dapat mencapai tahap kebenaran mutlak
dengan menyandarkan pada bukti-bukti yang mereka punya untuk mendukung
argumentasi? Lahirnya ilmu pengetahuan modern membuat semacam ideal tentang
bentuk pengetahuan tertentu. Akan tetapi, dalam proses selanjutnya, ideal tersebut
tetap di tataran normatif, dan tidak pernah sungguh-sungguh diwujudkan di dalam
praktek.19
3.1 Pengamatan dan Obyektivitas
Sikap berhati-hati sangat diperlukan di dalam menyatakan suatu klaim ilmu
pengetahuan. Setiap hal yang dikatakan haruslah didukung oleh argumentasi teoritis
yang memadai dan bukti-bukti eksperimental yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenaran serta ketepatannya. Di sini, saya akan mengutip pernyataan Professor Neil
Turok pada 1998 di dalam sebuah artikel di surat kabar Daily Telegraph, ketika ia
sedang melakukan penelitian tentang asal usul alam semesta bersama Professor
Stephen Hawking.
Pertama-tama, suatu penemuan (tentang asal usul alam semesta) adalah matematis
19

Ibid, hal. 38.

136

secara esensial, dan penemuan tersebut diformulasikan dengan bahasa teori


relativitas umum yang ditemukan oleh Albert Einstein untuk menggambarkan
gravitasi, sesuatu kekuatan yang membentuk struktur alam semesta. Sangatlah sulit
untuk menggambarkan hal semacam itu dengan bahasa sehari-hari tanpa mengalami
kesalahan di beberapa aspek. Asal usul alam semesta kita jelas bukanlah kejadian
sehari-hari.
Hal penting kedua yang ingin saya sampaikan adalah bahwa teori tentang asal usul
alam semesta sebelum terjadinya Big Bang belumlah didukung oleh bukti-bukti
eksperimental. Kita sering membicarakannya seolah-olah hal tersebut nyata karena
kita menganggapnya dengan sangat serius, tetapi kita tidak mempunyai wawasan
langsung pada kebenaran. Yang kita lakukan adalah merumuskan hipotesis yang
memenuhi standar keketatan fisika teoritis. Sampai teori kami didukung oleh
eksperimen yang detil dan pengamatan maka teori tersebut tetap spekulatif.20
Ada dua hal penting yang dapat disimpulkan dari kutipan diatas.
Pertama, tidaklah selalu mudah bagi seorang ilmuwan untuk mendeskripsikan
penelitiannya dalam bahasa. Beberapa hal, karena tingkat kerumitannya, hanyalah
masuk akal jika dikatakan dalam bentuk formulasi matematis. Ada waktunya, ketika
seorang ilmuwan mengklaim bahwa mereka sudah mengetahui sesuatu sebelum
mereka menggambarkannya dalam terms-term ilmiah.
Kedua, dan ini adalah tema utama diskusi kita pada Bab ini, yakni bahwa suatu klaim
ilmiah haruslah didukung oleh bukti-bukti. Bukti-bukti itu didapat dari fenomena
alam, terutama dalam ilmu astronomi, atau dari data partikular yang dapat diukur
dan diklasifikasi. Akan tetapi, seringkali bukti-bukti yang digunakan untuk
mendukung suatu teori diperoleh dari eksperimen yang dilakukan untuk mengukur
beberapa aspek partikular dari realitas saja yang ingin dianalisis oleh ilmuwan
tersebut.
Di dalam seluruh bab ini, kita akan banyak membicarakan tentang hakekat buktibukti yang mendukung suatu pernyatan ilmiah dan bagaimana bukti-bukti itu
didapat serta dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, kita harus tetap sadar bahwa di
dalam ilmu pengetahuan, apa yang disebut bukti seringkali tidaklah datang dari
pengamatan langsung, tetapi dari eksperimen laboratorium, suatu kondisi dapat
direkayasa sesuai dengan kepentingan uji coba. Ekperimen adalah suatu upaya
menciptakan situasi artifisial yang faktor-faktor yang tidak terkait dengan percobaan
yang dilakukan, sehingga seorang peneliti dapat terfokus untuk mengukur variabelvariabel yang kecil dan menyatu. Hasil dari eksperimen lebih tepat dan terukur,
sehingga dapat berguna untuk merumuskan sebuah teori. Akan tetapi, hasil
20

Daily Telegraph, 14 Maret 1998.

137

eksperimen tersebut tidak selalu dapat diamati di dalam dunia sehari-hari, di mana
segala sesuatu saling terkait, bercampur, berbagai variabel saling mempengaruhi satu
sama lain, dan menyebabkannya obyek penelitian menjadi tidak terfokus.
Tidak pernah ada satu pun eksperimen di dunia ini yang dapat menjelaskan suatu
fenomena dalam semua situasi. Jika ada eksperimen yang berpretensi seperti itu,
maka sang peneliti haruslah memeriksa fenomena seluas dan sekompleks alam
semesta itu sendiri. Dengan demikian, bukti-bukti suatu rumusan teori bersifat
sangat selektif, dan sangat mencerminkan asumsi dasar yang dipunyai sang peneliti.
Hal inilah yang menjadi sebab utama terjadinya perdebatan keras di dalam dunia
ilmu pengetahuan tentang status dari sebuah teori ilmu pengetahuan.
Salah satu argumen di dalam debat itu adalah, apakah ada suatu bentuk eksperimen
yang memiliki keakuratan pasti sehingga dapat menunjukkan teori mana yang
memadai dan teori mana yang tidak. Para ilmuwan awal, seperti Francis Bacon,
berpendapat bahwa hal itu mungkin. Akan tetapi, ilmuwan abad ke-20, seperti Pierre
Duhem, seorang fisikawan berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah mungkin karena
kita tidak akan pernah tahu bagaimana suatu teori diterapkan di tempat-tempat yang
berbeda di luar ruang eksperimen. Lepas daripada itu, teori relativitas yang
dirumuskan Einstein ternyata dapat mengklaim keakuratannya, dan menunjukkan
kelebihan-kelebihannya dibandingkan teori-teori yang lain.
Seperti sudah disinggung pada Bab sebelumnya, ketika Galileo berpendapat
bahwa teori Kopernikus tentang bumi yang mengelilingi matahari benar, teorinya
mendapatkan banyak tantangan dari para pemikir konservatif, bukan karena
kesimpulannya yang berbeda dengan mereka, tetapi karena metodenya berbeda.
Galileo mendasarkan teorinya pada kalkulasi dan pengamatan. Padahal, pada masa
itu, teori yang memadai haruslah bersifat deduktif, yakni dimulai dengan prinsipprinsip umum, dan bermuara pada penemuan bukti-bukti yang sesuai dengan
prinsip-prinsip tersebut.
Galileo berhadapan dengan suatu tradisi intelektual religius yang berpendapat
bahwa konsep Aristoteles tentang kesempurnaan dan tujuan final ditempatkan lebih
prioritas daripada pengamatan dan bukti-bukti empiris yang didapatkan dari
pengamatan. Galileo melakukan eksperimen untuk menunjukkan bahwa konsep
Aristoteles itu salah. Dengan kata lain, metode yang digunakan oleh mayoritas
pemikir pada masa itu adalah metode deduktif, bukti-bukti diturunkan dari suatu
prinsip umum yang dianggap berlaku universal. Sebaliknya, Galileo menggunakan
metode induktif, yakni merumuskan suatu teori dengan berdasarkan pengamatan,
eksperimen, dan kalkulasi data. Metode induktif ini nantinya akan menjadi salah satu
pilar utama perkembangan metode ilmiah di dalam ilmu pengetahuan.
Salah satu perbedaan yang cukup mendasar antara para pemikir konservatif
138

Aristotelian dengan Galileo adalah bahwa sementara Galileo berfokus untuk melihat
apa yang terjadi, para pemikir Aristotelian tersebut melihat mengapa dan tujuan
suatu fenomena itu terjadi. Pada Bab sebelumnya, kita sudah melihat bahwa Francis
Bacon juga menolak paradigma Aristotelian tersebut dan berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan haruslah didasarkan pada bukti-bukti nyata, dan bukan hanya prinsipprinsip umum. Tesis Bacon tentang idol-idol, prasangka, dan konformitas, serta
penekanannya pada penerimaan bukti-bukti nyata, walaupun bukti-bukti tersebut
tidak sesuai dengan harapan sang peneliti, menjadi tanda perubahan paradigma ke
arah metode saintifik, seperti kita pahami sekarang ini.
3.2 Pengalaman dan Pengetahuan
Metode saintifik ingin sedapat mungkin melihat apa yang sebenarnya terjadi,
dan bukan apa yang kita lihat berdasarkan cara-cara kita melihat. John Locke (16321704), seorang filsuf empiris dari Inggris berpendapat bahwa semua yang kita
ketahui didasarkan dari pengalaman. Menurutnya, ketika kita melihat suatu obyek,
kita menangkap beberapa kualitas dari obyek tersebut. Ia kemudian menggolongkan
kualitas tersebut ke dalam dua kategori. Yang pertama adalah kualitas primer, yakni
kualitas yang dimiliki obyek itu sendiri, termasuk ukurannya, beratnya, dan
massanya. Bagi Locke, kualitas primer ini akan tetap siapapun yang mengukurnya.
Yang kedua adalah kualitas sekunder, yakni kualitas dari suatu obyek yang sangat
tergantung pada cara peneliti melihat obyek tersebut sehingga dapat terus berubah
sesuai dengan kondisi. Misalnya, bau, warna, dan suara sangat tergantung dari
pekanya kemampuan indera kita. Jika kualitas penerangan berubah, kemungkinan
besar warna juga akan berubah. Dengan demikian, Ilmu pengetahuan lebih
memfokuskan analisisnya pada kualitas primer karena kualitas primer lebih terukur
dan lebih obyektif daripada kualitas sekunder.
Bayangkan bagaimana jadinya dunia, jika semua hal hanya diukur melulu
berdasarkan kualitas primer saja. Warna di dalam lukisan, suara dari musik, dan rasa
dari masakan akan menghilang, dan digantikan oleh gelombang-gelombang sensasi
yang muncul dan terukur. Matahari terbenam hanya akan dipandang sebagai
gelombang cahaya.
Akan tetapi tetap saja, ilmu pengetahuan berurusan dengan kualitas primer.
Pemahaman personal tentang dunia, penafsiran personal akan keindahan, sensasisensasi subyektif adalah bagian dari seni, dan bukan ilmu pengetahuan.
Analisis ilmu pengetahuan menghilangkan berbagai data yang tidak relevan dan
subyektif serta mencari kualitas-kualitas primer di dalam obyek yang tengah diteliti.
Menghilangkan pengaruh dari kualitas sekunder, dan kemudian berfokus pada
tujuan utama adalah bagian utama dari metode saintifik. Akan tetapi, proses untuk
139

sampai ke tahap itu tidaklah mudah. Dunia mekanis dari sudut pandang ilmu
pengetahuan bersifat abstrak dan kalkulatif. Dunia semacam itu sangat jauh berbeda
dari dunia estetika yang penuh dengan keindahan dan penghayatan personal.
Akan tetapi, semakin kita berupaya menjabarkan suatu kesimpulan dari teori
ataupun eksperimen kita, semakin terasa juga adanya jarak yang cukup besar antara
realitas yang kita lihat dan rumusan yang kita gunakan untuk menggambarkan
realitas tersebut. Walaupun peneliti sudah berupaya seakurat mungkin mengajukan
rumusan teoritis atas fenomena realitas yang ditelitinya, tetapi rumusan tersebut
tidak akan pernah dapat menangkap kebenaran yang ada di dalam realitas
seutuhnya. Pengalaman kita akan obyek eksperimen di dalam ilmu pengetahuan
selalu diselubungi ambiguitas karena begitu banyak faktor personal yang
mempengaruhi pengamatan dan eksperimen yang kita lakukan. Metode saintifik
dirumuskan dengan tujuan sedapat mungkin menghilangkan semua bias personal
tersebut dan mendapatkan pengetahuan berdasarkan bukti-bukti faktual yang ada.
Akan tetapi, kita dapat bertanya, apakah hal tersebut mungkin?
Bahkan, instrumen yang digunakan di dalam suatu eksperimen juga seringkali tidak
tepat, dan menimbulkan gangguan di dalam perumusan teori. Misalnya, dengan
menggunakan teleskop, Galileo menemukan data bahwa ada gunung di bulan. Hal ini
tentunya bertentangan dengan penafsiran tradisional, bahwa permukaan bulat
berbentuk bulat sempurna. Memang, penemuan Galileo itu melambangkan
kemenangan metode saintifik yang berdasarkan bukti-bukti atas prinsip-prinsip
spekulatif yang dianut pada masa itu. Akan tetapi, pada kemudian hari kemajuan
teknologi memungkinkan kita untuk menolak kesimpulan Galileo. Sederhana,
gunung itu ternyata tidak ada di bulan. Mungkin, gunung tersebut merupakan hasil
dari distorsi lensa di teleskop yang digunakannya.
Hal ini merupakan problem epistemologis yang sangat besar di dalam ilmu
pengetahuan karena metode dan peralatan yang digunakan di dalam suatu penelitian
berpengaruh besar terhadap kesimpulan teoritis yang ditarik dari penelitian itu.
Dengan begitu, untuk sungguh-sungguh mengetahui kebenaran suatu teori, kita
harus terlebih dahulu mempertimbangkan jenis alat dan metode yang digunakan.
Tidak ada yang benar-benar pasti, seperti apa yang kelihatan. Walaupun untuk masa
itu, penelitian Galileo sungguh-sungguh brilian, tetapi ia tetap tidak luput dari
problem epistemologis tentang status bukti dan instrumen penelitian ini.
Seperti akan kita lihat kemudian bahwa kita tidak dapat secara mutlak melihat
sesuatu dan kemudian merumuskan sesuatu lepas dari bias-bias yang kita miliki.
Tidaklah mungkin seorang peneliti dipisahkan begitu saja dari apa yang ia lihat, atau
dari bagaimana cara ia melihat obyek penelitiannya.
140

3.3 Problematika Induksi


Salah satu tanda dari perkembangan ilmu pengetahuan adalah pentingnya
bukti-bukti yang kuat dan dapat ditempatkan dalam kerangka teori umum. Cara
berpikir semacam ini, yang kita dapatkan dari para filsuf, seperti Francis Bacon dan
John Locke menjadi salah satu pilar utama perkembangan ilmu pengetahuan di
jaman Newton sampai abad ke-19. Refleksi tentang kepastian bukti-bukti yang
didapatkan dari penelitian juga ada di dalam pemikiran salah seorang filsuf
empirisme, yakni David Hume. Argumentasi utamanya, yang nantinya sangat
mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan adalah bahwa semua bentuk teori
hanya dapat sampai pada level probabilitas dan tidak pernah pernah sampai
kepastian mutlak. Proses perumusan teori yang hanya dapat sampai pada tahap
probabiltias ini adalah dari pernyataan yang bersifat partikular menuju pernyataan
umum yang universal tentang dunia. Pernyataan umum inilah yang nantinya dapat
disebut sebagai hukum-hukum alam. Proses semacam inilah yang nantinya
membedakan antara ilmu pengetahuan modern dengan pandangan dunia tradisional
yang ada sebelumnya.
Salah satu prinsip induksi, seperti dikatakan oleh Bertrand Russell, adalah
bahwa semakin sering dua obyek diamati secara bersama-sama maka semakin
kuatlah asumsi bahwa kedua obyek tersebut terkait secara kausal, yakni yang satu
menyebabkan yang lain, dan sebaliknya.21 Jika saya hanya melakukan satu
eksperimen saja, hasilnya mungkin tidak terlalu pasti. Akan tetapi, jika saya
melakukan 100 eksperimen dan setiap eksperimen selalu menunjukkan hasil yang
sama maka saya akan semakin yakin bahwa semua eksperimen yang saya lakukan
akan keluar dengan kesimpulan yang sama. Sekilas, hal ini memang tampak seperti
hal umum. Akan tetapi, eksperimen itu mengandaikan bahwa apa yang terjadi di
masa depan akan selalu dapat diprediksi dengan berbekal apa yang pernah terjadi di
masa lalu. Dengan kata lain, pengalaman masa lalu dapat menjadi bukti yang kuat
bagi sesuatu untuk terus berulang kembali di masa depan. Apakah selalu seperti itu?
3.4 Metode Induksi
Metode induksi adalah suatu pendekatan untuk memperoleh pengetahuan
dengan didasarkan pada imparsialitas pengumpulan data sehingga informasi yang
didapat dari data tersebut dapat dicek, dan kemudian dirumuskan kesimpulan
berdasarkan atasnya. Pengandaiannya, orang yang mengumpulkan data tersebut
memiliki pikiran terbuka, dan teori yang dirumuskan dapat diuji dengan data-data
yang lebih baru. Secara praktis, metode induksi menempuh setidaknya enam
langkah.
Pertama, bukti-bukti dikumpulkan dan faktor-faktor yang tidak relevan dengan
21

Lihat, Thompson, 2001, hal. 44.

141

penelitian segera disingkirkan.


Kedua, kesimpulan diambil dari bukti-bukti itu yang kemudian bermuara pada
terbentuknya hipotesis.
Ketiga, eksperimen dilakukan untuk menguji validitas hipotesis. Tujuannya adalah
untuk menemukan prediksi yang tepat di dalam eksperimen-eksperimen berikutnya.
keempat, jika diperlukan, hipotesis akan diubah untuk menampung berbagai data
yang muncul dari eksperimen yang lebih baru.
Kelima, setelah menempuh empat proses di atas, teori umum pun dirumuskan, yakni
teori yang terkait dengan hipotesis dan data-data eksperimental.
Keenam, teori umum tersebut akan sering digunakan untuk membuat semacam
prediksi.
Proses akhir di dalam metode induksi paling ideal diilustrasikan dengan prediksi
yang dibuat Einstein dalam teori relativitas umumnya. Ia berpendapat bahwa cahaya
akan membengkok di dalam ruang gravitasi yang kuat sehingga bintang akan tampak
merubah posisi relatif mereka, ketika cahaya yang menyinari bintang tersebut berada
dekat dengan matahari. Pada masa itu, apa yang ditulis Einstein ini merupakan suatu
prediksi yang amat berani dan kontroversial. Pernyataan tersebut hanya dapat diuji
dengan pengamatan langsung yang hanya dapat dilakukan, ketika gerhana matahari
sedang terjadi. Tim pengamat pun dikirim ke Afrika dan Amerika Selatan untuk
mengamati gerhana matahari yang terjadi pada 1919. Ternyata, prediksi Einstein
sangatlah tepat sehingga teori relativitas umum pun dianggap sah dan sahih sebagai
sebuah teori ilmu pengetahuan.
Pada akhirnya, semua teori ilmu pengetahuan, termasuk yang berbasis pada
metode induksi, hanya dapat menyimpulkan sampai tahap probabilitas. Selalu ada
kesempatan, muncul data-data baru yang menunjukkan bahwa teori lama tidak lagi
memadai. Suatu teori seringkali hanya operasional pada ruang lingkup yang terbatas,
sehingga di tempat lain, atau di situasi lain, teori tersebut tidaklah bekerja. Bahkan,
ada beberapa teori yang memiliki daya penjelas yang sangat kuat sehingga tampak
bersifat mutlak, teori di dalam ilmu pengetahuan yang menggunakan metode induksi
selalu dapat difalsifikasi, yakni dicari bukti-bukti baru yang mungkin dapat
membuktikan ketidakmutlakan teori tersebut. Bahkan, seperti dikatakan Karl
Popper, teori ilmiah tidak dapat disebut teori, jika teori tersebut tidak dapat
dibuktikan kesalahannya.
Dengan perkembangan yang begitu pesat di dalam ilmu pengetahuan modern,
metode eksperimental pun diharapkan mampu memberikan semacam hukumhukum alam. Konsep hukum di sini berbeda dengan arti hukum di dalam
penggunannya sehari-hari. Hukum alam tidaklah berarti hukum tersebut harus
dipatuhi, seperti hukum positif. Hukum alam tidak bisa memerintahkan apapun,
142

melainkan hanya menggambarkan apa yang terjadi di alam. Hukum gravitasi tidak
bisa memerintahkan kepada kita untuk mengambil posisi jatuh, ketika kita
tersandung. Akan tetapi, hukum tersebut hanya mendeskripsikan apa yang terjadi,
ketika saya tersandung, yakni saya jatuh.
Dengan demikian, jika ketika saya tersandung, saya justru mengapung, hal itu
bukanlah berarti saya tidak mematuhi hukum gravitasi, tetapi saya berada di suatu
lingkungan, hukum gravitasi tidaklah berlaku. Di dalam situasi semacam itu, hukum
gravitasi tidaklah dilanggar, hanya dianggap tidak memadai untuk menjelaskan
fenomena yang berlangsung.
3.5 Pendekatan Tradisional terhadap Bukti-Bukti Empiris
David Hume (1711-1776), seorang filsuf ilmu dari Inggris menunjukkan bahwa
hukum-hukum di dalam ilmu pengetahuan hanyalah merupakan ringkasan dari apa
yang telah dialami sejauh ini. Semakin banyak bukti yang mengkonfirmasi hukum
tersebut, semakin tinggilah tingkat probabilitasnya. Akan tetapi, tidak satupun buktibukti di dunia ini yang dapat menuntun klaim hukum tersebut menuju kepastian
mutlak. Seorang peneliti yang bijak haruslah memperhitungkan bukti-bukti baru
yang mungkin saja mendukung, atau justru menolak hukum yang telah ia pegang
sebelumnya. 22
Ia juga menunjukkan bahwa dalam proses mengumpulkan data, seorang
peneliti harus memperhitungkan kredibilitas dari kesaksian yang mereka terima dari
orang-orang yang diwawancarai, terutama dengan melihat apakah mereka punya
kepentingan langsung yang bersifat partikular terkait dengan jawaban yang mereka
berikan dalam kerangka penelitian. Seperti yang telah dilakukan oleh Francis Bacon
sebelumnya, Hume menetapkan semacam kriteria bagi keabsahan suatu data.
Tujuannya jelas, yakni menyingkirkan semua faktor subyektif atau keberpihakan,
sehingga pemahaman akan bukti-bukti yang bersifat obyektif sedikit banyak
dimungkinkan.
Di dalam bukunya Enquiry Concerning Human Understanding, Bab 4, ia
menegaskan berkali-kali bahwa tidak ada bukti-bukti yang melalui logika induksi
dapat mencapai kepastian yang bersifat absolut. Di dalam suatu teori ataupun
hukum, ada ruang-ruang yang dapat digunakan untuk menunjukkan kelemahan
suatu teori atau hukum. Pernyataan ini tentunya mengundang banyak pertanyaan
baru di dalam ilmu pengetahuan, terutama karena pernyataan ini bertentangan
dengan pondasi dasar dari metode eksperimental. Pada masa David Hume hidup,
pernyataan ini sangat kontroversial karena menyerang langsung optimisme para
ilmuwan yang begitu yakin bahwa metode eksperimental telah berhasil
menggantikan refleksi filosofis spekulatif yang pernah dirumuskan oleh Aristoteles.
22

Lihat, Ibid, hal. 44

143

Pernyataan ini pulalah yang membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya. Ia


menerima pendapat Hume, tetapi tidak bersedia melepaskan asumsi kosmologi
Newtonian yang sangat meyakini kepastian ruang dan waktu. Hal ini membuat Kant
berpendapat bahwa struktur-struktur yang kita lihat di alam, seperti waktu, ruang,
dan kausalitas adalah karena pikiran kita memberikan kerangka bagi pengalaman
sehingga menciptakan pengetahuan.
Hume berpendapat bahwa proses manusia mengamati dunianya selalu melibatkan
kemampuan rasio manusia sehingga pengamatan itu bersifat terbatas. Dengan
demikian, pengetahuan kita akan dunia, tidak akan pernah mutlak. Cara kita
mengamati dan melihat dunia ini juga bukanlah satu-satunya, melainkan salah satu
saja. Bagi Kant pada kemudian hari, manusia hanya mampu mengetahui benda
sebagai penampakan dan bukan benda pada dirinya sendiri.
Hal ini masih terus menjadi perdebatan di dalam dunia ilmu pengetahuan. Contoh
yang kurang tepat atas pemikiran Kant misalnya, bahwa kita tidak dapat mengetahui
elektron pada dirinya sendiri, tetapi hanya elektron sebagaimana tampak bagi kita
melalui berbagai medium. Suatu benda dapat kita mengerti sejauh benda itu ada bagi
kita, tetapi pengertian semacam itu pun tidak pernah definitif.
Pada awal abad ke-20, muncul sebuah aliran baru di dalam filsafat yang
disebut sebagai positivisme logis. Para pemikir yang ada di dalam aliran itu
berpendapat bahwa bahasa dan makna haruslah dimengerti dalam kerangka metode
saintifik, yakni menggunakan bukti-bukti empiris sebagai kriteria bagi validitas.
Dengan kata lain, makna haruslah dapat diverifikasi, seperti bukti-bukti lainnya pada
ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, kriteria validitas suatu pernyataan ilmiah
bukanlah koherensi matematis dengan prinsip-prinsip logis (apriori), tetapi
tergantung pada bukti-bukti empiris (aposteriori). Bertrand Russell, di dalam
bukunya yang berjudul Problems of Philosophy (1952), memberikan argumentasi
yang menarik tentang metode induksi ini. Setelah menjelaskan asumsi dasar metode
saintifik, yakni bahwa sesuatu yang terus berulang terjadi pada masa lalu akan bisa
dipastikan akan terus terjadi pada masa depan, ia memberi contoh tentang seekor
ayam yang rutin diberi makan setiap pagi, dan tampaknya hal yang sama akan terjadi
pada masa depan. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah dapat dipastikan, karena
pemilik ayam tersebut akan memotong ayam itu.
3.6 Pemikiran Goodman
Professor Nelson Goodman, seorang pengajar di Universitas Harvard, pada
1954 menulis buku yang berjudul Fact, Fiction, and Forecast. Buku itu, dan berbagai
data yang ada di dalamnya, akan menjadi acuan bagi banyak buku filsafat ilmu di
kemudian hari. Di dalam buku itu, ia memiliki pandangan yang sama dengan Hume,
144

bahwa tidak ada relasi langsung yang bersifat niscaya antara fakta partikular dengan
prediksi. Memang, pengalaman dengan pola sama yang berulang membawa kita
menciptakan semacam kebiasaan di pikiran kita, yakni karena kita melihat pola
tersebut mengkaitkan dua benda yang berbeda, sehingga tampak yang satu akan
mengakibatkan yang lain. Dengan begitu, segala sesuatu pun diprediksi dengan
menggunakan asumsi bahwa pola yang sama pasti akan berulang, sehingga
menciptakan kebiasaan. Pengamatan akan fakta partikular akan bermuara pada
penciptaan semacam aturan di dalam pikiran yang dapat digunakan untuk
memprediksi apa yang akan terjadi pada masa depan. Poin penting di sini adalah
bahwa masa lalu tidak memiliki pengaruh logis yang bersifat niscaya terhadap masa
depan. Dengan kata lain, fakta bahwa sesuatu terjadi pada masa lalu belum pasti hal
tersebut akan berulang pada masa depan. Dan sebaliknya, fakta bahwa suatu hal
tidak terjadi pada masa lalu sama sekali tidak menjamin bahwa hal itu tidak akan
terjadi pada masa depan.
Dari hal ini, kita bisa menarik suatu kesimpulan bahwa ada semacam
lingkaran epistemologis di dalam proses induksi, yakni bahwa aturan-aturan umum
selalu ditentukan oleh gejala partikular, dan prediksi atas gejala partikular pun
ditentukan oleh aturan-aturan kausalitas yang bersifat umum. Ada semacam
interaksi timbal balik antara aturan umum dengan gejala partikular. Oleh sebab itu,
jika suatu teori dikatakan berhasil menjelaskan sesuatu, teori itu berhasil, tetapi
tidak ada kepastian bahwa teori tersebut akan terus berhasil. Satu-satunya argumen
yang cukup kuat adalah bahwa aturan selalu terkait dengan kesimpulan dan bahkan
aturan dapat memperkuat kesimpulan dari suatu teori. Pertanyaan pentingnya,
menurut Goodman, bukanlah prediksi mana yang benar secara mutlak, melainkan
apakah perbedaan mendasar antara prediksi yang sah, dan prediksi yang tidak sah?
Jawabannya adalah kredibilitas aturan yang digunakan di dalam perumusan
kesimpulan yang nantinya digunakan sebagai alat prediksi. Semakin kredibel aturan
tersebut, semakin kuatlah daya prediksi suatu teori.
Di samping itu, ia juga berpendapat bahwa jika kita menggunakan suatu
contoh partikular untuk mendukung suatu hipotesis, hipotesis tersebut haruslah
mengambil bentuk yang umum. Apakah hipotesis itu benar atau salah, itu masalah
lain. Misalnya, saya melihat bahwa sepotong tembaga mengandung listrik. Maka,
saya bisa membuat hipotesis bahwa semua tembaga mengandung listrik. Hal ini
dimungkinkan, walaupun kebenarannya harus diuji terlebih dahulu. Akan tetapi, jika
saya melihat di suatu ruangan, ada seorang anak bungsu dari sebuah keluarga, lalu
saya menyimpulkan bahwa setiap orang yang ada di ruangan tersebut adalah anak
bungsu, hipotesis saya tidaklah bisa dibenarkan karena bentuknya terlalu spesifik.
Menjadi anak bungsu tidak pernah, dan tidak akan pernah, menjadi status universal
umat manusia.
Contoh pertama adalah hipotesis dalam bentuk hukum. Sementara, contoh
kedua adalah hipotesis aksidental. Hipotesis semacam ini terbatas dalam ruang dan

145

waktu yang sangat spesifik, sehingga tidak pernah dapat digeneralisasi. Dengan
begitu, problemnya bukanlah lagi tentang bagaimana suatu hukum yang berasal dari
gejala partikular dapat dipertanggungjawabkan, tetapi bagaimana suatu hipotesis
yang berasal dari gejala partikular dapat dikatakan memadai, dan yang tidak. Dengan
kata lain, gejala partikular manakah yang dapat digeneralisasikan sehingga valid
untuk dijadikan dasar bagi suatu teori? Jawabannya adalah hipotesis dalam bentuk
hukum, dan bukan hipotesis dalam bentuk aksidental. Ini adalah salah satu problem
epistemologis besar di dalam filsafat ilmu kontemporer.
Jika Anda ingin membuat hipotesis dari gejala partikular menuju hukum umum,
Anda harus sungguh-sungguh memperhatikan premis-premis yang menjadi pilar
kesimpulan Anda. Beberapa aspek dari suatu benda, seperti warna dari batu jamrud,
bersifat umum, sehingga dapat menjadi basis yang rasional bagi hipotesis universal,
seperti bahwa semua batu jamrud di dunia ini berwarna hijau. Akan tetapi, ada juga
aspek-aspek dari suatu benda yang bersifat aksidental, seperti ada orang yang
merupakan anak bungsu dari suatu keluarga, sehingga tidak pernah dapat
digeneralisasikan. Jadi, semua orang anak bungsu adalah suatu hipotesis yang tidak
memadai.
Marilah kita lihat contoh terakhir, setiap planet dengan air di dalamnya selalu
memiliki kehidupan. Pertama-tama, dalam kasus bumi, hal ini bisa dibenarkan. Akan
tetapi, apakah air adalah satu-satunya kriteria bagi planet untuk dapat mempunyai
kehidupan? Bukankah jarak dari matahari, struktur geologis dan cuaca juga
menentukan? Problem epistemologis di sini adalah bahwa ilmu pengetahuan selalu
berupaya mencari prinsip-prinsip umum yang diabstraksikan dari gejala partikular
yang diamati. Akan tetapi, ilmuwan tidak pernah dapat mengamati segalanya. Ia
hanya dapat mengamati sejauh kemampuannya, sehingga hipotesis ataupun teori
yang dirumuskannya tidak akan pernah dapat dipastikan sepenuhnya. Selalu ada
ruang-ruang kosong di dalam suatu teori yang membuat teori tersebut harus terus
dipertimbangkan validitasnya.
3.7 Alam Semesta yang Matematis
Pengamatan terhadap alam adalah satu hal dan menjelaskan alam adalah hal
lain. Salah satu komponen kunci dari penjelasan yang diberikan oleh para ilmuwan
tentang alam di abad ke-18 adalah matematika. Bahkan Galileo berpikir bahwa
seluruh alam semesta ini diciptakan dengan bahasa matematika. Tentu saja, gagasan
ini bukanlah hal baru. Phytagoras (570-497 BC) telah mengatakan bawa segala
sesuatu dapat dijelaskan dengan menggunakan matematika. Newton bahkan yang
menulis buku yang berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica, yakni
suatu upaya untuk memahami cara kerja alam yang didasarkan pada prinsip

146

matematika.
Pada abad ke 17 dan 18, perkembangan sains sangat didasarkan pada
perkembangan di dalam matematika. Filsuf besar pada jaman itu, Descartes,
berusaha menemukan suatu dasar bagi pengetahuan yang tidak bisa diragukan lagi,
dan ia sendiri seorang matematikawan, ilmuwan, sekaligus seorang filsuf. Akan
tetapi, tidak semua ilmuwan memberikan porsi penting pada matematika. Beberapa
di antaranya, termasuk Francis Bacon, berpendapat walaupun matematika adalah
instrumen yang berguna di dalam ilmu pengetahuan, tetapi bukti-bukti
eksperimental jauh lebih penting sebagai titik tolak dari pengetahuan. Hal ini
tentunya bertentangan dengan para matematikawan yang cenderung untuk
menggeneralisasikan proposisi-proposisi yang ada.
Lepas dari pada itu, kita perlu untuk mengetahui hakekat dari matematika dan
proses abstraksi yang ada di dalamnya. Di dalam proses penelitian mereka, orangorang seperti Galileo, Descartes, Huygens, dan Newton merumuskan sebuah formula
matematis. Dengan kata lain, mereka hendak merumuskan pola matematis untuk
menjelaskan fenomena-fenomena alam. Pengandaian dasar banyak ilmuwan dan
filsuf pada masa itu adalah bahwa rumusan-rumusan matematis memiliki
keterkaitan langsung dengan hakekat alam semesta, sehingga yang pertama selalu
dapat dijelaskan dengan yang kedua. Akan tetapi, ada pengandaian yang lebih dasar
lagi dari ini, yakni bahwa alam semesta ini adalah tatanan yang teratur dan dapat
diprediksi. Hal ini dianggap sebagai kemenangan rasio dan metode eksperimental
para ilmuwan atas mitos dan dogma religius yang mendominasi pada masa
sebelumnya. Rasio, dalam bentuknya yang paling murni, yang dapat dilihat di dalam
logika dan matematika, dianggap sebagai hukum alam yang memadai dan
komprehensif. Dengan keakuratan yang bersifat murni matematis, hukum alam
tersebut akan menentukan gerak seluruh fenomena yang ada di dalam alam semesta.
Konsekuensinya, apa yang dirumuskan di dalam ilmu pengetahuan bukanlah
apa yang dialami langsung oleh seorang ilmuwan, seperti sensasi, keindahan,
ataupun suara dari fenomena yang ditelitinya, tetapi formula abstrak, di mana
fenomena tersebut dapat dimengerti dan diprediksi kemudian. Fenomena obyek,
dengan demikian, direduksi atau dipersempit menjadi komponen-komponen
matematis. Memang, pada akhir abad ke-17, ilmu pengetahuan memiliki
pengandaian dasar bahwa hakekat alam semesta bersifat tetap, netral, tidak
berwarna, dapat diprediksi, dianalisis, dan diukur dengan prinsip matematis. Locke,
seperti sudah disinggung sebelumnya, sangat menekankan kualitas primer dari suatu
obyek daripada kualitas sekundernya. Kualitas primer itulah yang menjadi obyek
analisis sains. Sementara, kualitas sekunder lebih berkaitan dengan seni dan agama.
Salah contoh sifat abstrak dari matematika dapat langsung dilihat di dalam
konsep angka. Ketika kita melihat ada tiga gelas di depan kita, kita menyebut bahwa
gelas itu ada tiga. Akan tetapi, tidak ada satupun dari ketiga gelas tersebut yang
menyatakan bahwa mereka memiliki kualitas internal tiga. Dengan kata lain, tiga

147

adalah konsep abstrak yang digunakan untuk memberikan keterangan pada


pengalaman-pengalaman partikular. Hal yang sama terjadi, ketika kita menerima
uang. Jumlah angka yang diwakilkan uang itulah yang penting, dan bukan jenis
kertas ataupun warna dari kertas uang itu. Dengan demikian, hukum-hukum alam
bukanlah sebuah deskripsi atas apa yang ada, melainkan sebuah abstraksi dari
realitas.
Nah, salah satu kesalahan fatal di dalam ilmu pengetahuan abad ke-17 adalah
bahwa semua rumusan matematis yang abstrak dan mekanis tersebut disamakan
begitu saja dengan realitas. Dengan begitu, hukum-hukum matematis yang
ditemukan dianggap bersifat obyektif, sehingga ketika berhasil dirumuskan, maka
hukum tersebut tidak akan berubah untuk selama-lamanya dan tidak ada hukum lain
yang harus ditemukan. Pada abad ke-20, terutama dengan hadirnya beragam teori
yang seringkali saling berlawanan, obyektifitas yang dulu dipegang mutlak telah
dipertanyakan ulang. Ilmuwan sampai pada kesimpulan bahwa suatu teori tentang
hukum alam pun ternyata bersifat terbatas.
Ketika Anda menyamakan begitu saja abstraksi matematis dari realitas dengan
realitas itu sendiri, Anda telah menyempitkan dunia ini ke dalam prinsip-prinsip
matematis yang ditentukan murni secara mekanis.
3.8 Tentang Eksperimen
Sampai bagian ini, kita telah mengetahui bahwa bukti-bukti untuk
mendukung suatu teori di dalam ilmu pengetahuan didapatkan dari eksperimen dan
pengamatan. Secara khusus, ketika suatu teori telah dirumuskan, pencarian datadata baru untuk mengkonfirmasikan ataupun menolak teori tersebut harus terus
dilakukan. Dalam hal ini, ada dua poin yang perlu diperhatikan di dalam eksperimen
pengujian suatu teori atau hipotesa. Yang pertama adalah proses isolasi variabelvariabel yang tidak relevan di dalam eksperimen.
Di dalam eksperimen, ilmuwan menciptakan sebuah situasi yang sepenuhnya
terkontrol, sehingga pengaruh eksternal yang tidak relevan bisa disingkirkan.
Semakin sulit dan rumit suatu penelitian, semakin ketat pula proses kontrol untuk
menyingkirkan faktor-faktor yang tidak relevan. Situasi yang terkontrol tersebut
memungkinkan sang ilmuwan untuk mengukur variabel-variabel yang relevan,
sekaligus menyingkirkan yang lainnya. Proses pengukuran tersebut akan
menghasilkan semacam hipotesis yang dirumuskan dalam bentuk formula
matematis, sehingga sebuah pernyataan umum menjadi dimungkinkan.
Untuk lebih memperjelas, ada baiknya saya memberikan sebuah contoh
tentang proses eksperimen pengujian suatu obat baru. Misalnya, ada seorang yang
sakit parah yang kemudian diberikan obat baru tersebut dan ada sekelompok orang
yang tidak sakit terlalu parah, serta diberikan perawatan yang normal. Kondisi ini
sama sekali tidak memadai untuk dilakukannya eksperimen karena hampir tidak ada
148

faktor yang sama di antara para pasien, kecuali bahwa mereka adalah pasien. Untuk
membuat sebuah eksperimen yang memadai, sang ilmuwan haruslah memastikan
bahwa situasi dan kondisi pasien untuk obat tersebut adalah sama, yakni sama dalam
hal penyakit, umur, jenis kelamin. Satu pasien diberikan obat baru. Sementara,
pasien lain diberikan obat yang lama. Lalu, ilmuwan bisa melihat, obat mana yang
paling memadai untuk menyembuhkan penyakit yang ada.
Hal kedua yang perlu diperhatikan di dalam proses eksperimen adalah
kemampuan eksperimen tersebut untuk mengulang kembali proses percobaan
dengan hasil yang sama. Jika suatu eksperimen hanya berhasil satu kali, mungkin
saja, eksperimen tersebut bisa berhasil, karena kebetulan. Eksperimen semacam itu
jelas-jelas tidak memadai untuk dijadikan dasar bagi suatu ilmu pengetahuan. Salah
satu kriteria utama bagi suatu eksperimen yang memadai adalah bahwa orang lain, di
samping sang ilmuwan, bisa mengulang eksperimen tersebut, sehingga hipotesis atas
fenomena yang diteliti bisa dikonfirmasi, atau justru ditolak. Ketika suatu hipotesis
ataupun teori telah dipublikasikan, ilmuwan pada bidang yang sama di seluruh
dunia dapat mengulang eksperimen yang menjadi dasar teori tersebut untuk melihat
apakah mereka mendapatkan hasil yang sama atau tidak, atau untuk melihat apakah
eksperimen yang dilakukan cukup memadai. Jika hasil yang sama tidak dapat
diperoleh, teori tersebut patut, dan harus, dicurigai.
Dengan demikian, kredibilitas suatu eksperimen menempati peran yang sangat
penting di dalam seluruh aktivitas ilmu pengetahuan. Eksperimen tersebut termasuk
juga perencanaan dan pengaturan, penciptaan kondisi yang tepat dan menemukan
alat-alat yang tepat, serta memeriksa apakah variabel-variabel yang tidak relevan
telah disingkirkan. Proses ini menempati peran yang sangat penting di dalam seluruh
proses perkembangan ilmu pengetahuan modern.
3.9 Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang sehat selalu membutuhkan kadar skeptisisme
tertentu, yakni suatu keterbukaan untuk memeriksa kembali pandangan-pandangan
yang telah ada dalam kerangka penemuan bukti-bukti baru, serta untuk merumuskan
teori baru atas dasar fakta-fakta eksternal yang dapat diamati. Seperti sudah kita
lihat sebelumnya, perjuangan untuk memperoleh obyektifitas, kesetiaan pada metode
saintifik, dan kemampuan untuk mengesampingkan ide-ide pribadi demi rasio dan
bukti-bukti nyatalah yang menjadi karakter dari pemikiran Bacon dan para filsuf
sejamannya. Memang, ada perdebatan tentang tingkat obyektifitas dan kepastian
dari suatu teori. Akan tetapi, beberapa filsuf dan ilmuwan, Newton salah satunya,
bersedia untuk menerima kepastian praktis, dan sadar bahwa kepastian absolut
tidak akan pernah didapatkan.
Pada abad ke-20, ada debat yang sangat keras tentang penentuan kriteria
apakah suatu pernyataan atau teori layak disebut ilmiah atau tidak. Harus diakui
149

dengan rendah hati, tidak ada teori di dalam ilmu pengetahuan yang bisa berlaku
untuk selama-lamanya. Teori selalu dapat difalsifikasi, seperti yang dikatakan
Popper, dengan bukti-bukti baru yang berlawanan dengan bukti-bukti lama. Teori
juga dapat berubah, seperti dikatakan oleh Thomas Kuhn, karena adanya perubahan
paradigma umum, di mana teori tersebut ada. Dengan kata lain, teori, seperti yang
dikatakan oleh Imre Lakatos adalah sebuah program penelitian yang terus
berlangsung dan tidak akan pernah selesai.
Dengan argumentasi ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa teori yang
memadai adalah teori yang selalu terbukti berhasil selama-lamanya dan teori yang
tidak memadai adalah teori yang tidak bisa terbukti selama-lamanya. Teori yang
pernah dibuktikan salah dapat dibuktikan sebaliknya pada kemudian hari. Teori yang
dulunya banyak dipegang oleh banyak ilmuwan juga dapat sama sekali ditolak pada
kemudian hari. Akan tetapi, ada dua hal yang kiranya cukup jelas membedakan
antara suatu teori ilmu pengetahuan dengan klaim opini biasa, yakni hakekat dari
kesimpulan yang dibuat dan metode yang digunakan untuk sampai pada kesimpulan
itu.23
Salah satu ciri yang menandai opini kosong adalah penggunaan analogi yang
menyiratkan adanya relasi sebab akibat tetapi tanpa bukti spesifik atas analogi itu.
Ada dua contoh yang banyak digunakan tentang hal ini. Banyak orang
menganalogikan planet Mars sebagai lambang perang dan pertumpahan darah. Hal
ini terjadi karena planet tersebut jika dilihat dari bumi, berwarna merah. Yang tidak
jelas disini adalah bagaimana warna suatu planet memiliki keterkaitan dengan
kecenderungan perang di antara manusia. Contoh lain yang cukup jelas adalah
bagaimana tanduk badak yang ditumbuk dianggap mampu menyembuhkan
impotensi pada pria!
Contoh paling tepat bagi opini yang tidak ilmiah adalah astrologi. Astronomi kontras
dengan astrologi dianggap sebagai ilmu pengetahuan karena kesimpulankesimpulannya didasarkan pada pengamatan dan observasi yang berkelanjutan.
Sementara itu, astrologi bukanlah ilmu pengetahuan, karena semua kesimpulannya
didasarkan pada mitos-mitos. Tidak ada alasan jelas, mengapa orang yang lahir di
bulan Juli dianggap berbintang leo. Dan, tidak ada alasan jelas mengapa rasi bintang
gemini tidak dilihat dengan bentuk lain selain bentuk orang kembar. Dengan
demikian, tidak ada satupun dasar yang cukup kokoh untuk mengatakan bahwa
astrologi merupakan ilmu pengetahuan.
Salah satu bentuk opini tanpa dasar lainnya adalah terapi kristal. Banyak orang
berpendapat bahwa dengan meletakkan kristal di bawah bantal pada waktu tidur di
malam hari, kita akan merasakan ketenangan, baik pada saat tidur, maupun
23

Lihat, ibid, hal. 56.

150

keesokkan harinya. Hal semacam itu tidak pernah dapat dibuktikan secara
eksperimental, karena kemungkinan bahwa orang bisa tidur bangun secara tenang
walaupun tanpa kristal juga tetap besar. Dan sebaliknya, kemungkinan orang tetap
merasa gelisah, karena ada masalah misalnya, walaupun ia tidur dengan kristal di
bawah bantalnya juga tetap besar. Oleh sebab itu, terapi kristal tidak pernah dapat
disebut sebagai ilmu pengetahuan.
Lepas daripada itu, perdebatan tentang apakah suatu teori disebut ilmiah atau
tidak ilmiah tidaklah selalu jelas dan lugas. Contoh yang paling jelas adalah
Marxisme. Jelas, teori Marxisme didasarkan pada logika dan pengamatan terhadap
bagaimana masyarakat mengalami proses perubahan dan pengaturan masyarakat.
Dalam arti ini, dan juga dalam kerangka metode induksi, Marxisme dapat dianggap
sebagai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, seorang yang sangat meyakini teori
Marxisme dapat menggunakan teori tersebut untuk menafsirkan berbagai gejala yang
ada di masyarakat, sehingga apapun yang terjadi, orang tersebut dapat
merasionalisasikannya dengan teori Marxisme. Hal yang sama juga dapat diterapkan
pada orang-orang yang sangat menyakini kebenaran teori Freud di dalam psikologi.
Hal ini tentunya menimbulkan masalah tersendiri. Kita akan melihat lebih
jauh di Bab berikutnya, bahwa suatu teori dianggap memadai, jika teori tersebut bisa
difalsifikasi, atau ditemukan bukti-bukti nyata yang bertentangan dengan teori
tersebut. Jika suatu teori tidak dapat difalsifikasi, atau tidak dapat ditemukan buktibukti nyata yang bertentangan dengan teori tersebut, teori itu dianggap sebagai
dogma, dan tidak berguna. Hal ini terjadi, karena suatu teori menjadi berguna, ketika
teori tersebut mampu menjelaskan suatu fenomena, dan kemudian memberikan
prediksi tentang kemungkinan yang terjadi pada masa depan. Jika suatu teori tidak
memberikan kemungkinan, melainkan kebenaran absolut, teori tersebut menjadi
tidak berguna, dan menjadi dogma. Hal inilah yang menjadi argumentasi utama Karl
Popper dalam kritiknya terhadap teori sosial Marxisme dan teori psikologi Freudian.
Jadi, teori yang tidak dapat ditolak justru bukan merupakan teori sama sekali.
Pada Bab berikutnya, kita akan membicarakan Thomas Kuhn, terutama pandangan
tentang paradigma di dalam ilmu pengetahuan. Baginya, ketika suatu teori tidak lagi
mampu memberikan penjelasan ataupun jawaban atau gejala-gejala kontemporer,
maka teori tersebut harus diganti dengan teori lain yang lebih memadai ataupun
memberikan jawaban atau gejala-gejala tersebut. Dengan demikian, ilmu
pengetahuan, baginya, tidak pernah stabil, melainkan selalu ditandai dengan
revolusi-revolusi paradigma. Sejarah ilmu pengetahuan menjadi sejarah perubahan
revolusioner. Jika pandangan seseorang tidak dapat diubah seturut perkembangan
terbaru, pandangannya tidak akan pernah disebut sebagai ilmiah.
Semua hal ini janganlah ditafsirkan secara peyoratif, sehingga tampaknya ilmu
151

pengetahuan merupakan satu-satunya paradigma yang sah. Ada banyak dimensi di


dalam hidup, seperti agama, seni, yang dapat dipegang sebagai filosofi hidup,
walaupun tidak didasarkan pada bukti-bukti nyata. Kita harus menganggap hal-hal
tersebut sebagai tidak ilmiah, dan tidak akan pernah bisa dinilai ataupun dikritisi
dari sudut pandangan ilmu pengetahuan melulu.

152

Bab
4
Hukum dan Teori di dalam
Ilmu Pengetahuan
Pada Bab sebelumnya, kita sudah sedikit banyak melihat tentang metode
induksi yang menjadi dasar dari seluruh perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Kita juga sudah melihat bahwa metode tersebut mengundang berbagai problem
epistemologis yang besar, seperti yang ditunjukkan oleh Hume dan Goodman. Proses
perumusan suatu teori ataupun hukum di dalam ilmu pengetahuan pun sama sekali
bukan proses yang sederhana dan jelas. Pada paruh kedua abad ke-20, ada
perdebatan yang sangat besar tentang bagaimana ilmu pengetahuan berkembang,
bagaimana suatu teori atau hukum yang baru menggantikan teori dan hukum yang
lama, dan bagaimana seseorang bisa menilai bahwa suatu teori lebih memadai
daripada yang lain. Yang juga penting, apa di sini yang dimaksud dengan lebih
memadai?
Di dalam Bab ini, kita akan berfokus pada masalah-masalah tersebut, yakni
bagaimana suatu teori akhirnya digantikan oleh teori yang lain dan bagaimana proses
perkembangan di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Memang, kita akan banyak
menggunakan pemikiran Popper dan Kuhn di dalam Bab ini, tetapi kita juga akan
menyinggung sedikit pemikiran Feyerabend dan Lakatos. Sebelum kita memasuki
perdebatan yang lebih detil tentang hal ini di dalam filsafat ilmu pengetahuan, kita
harus menyimak berbagai pandangan yang ada tentang hukum-hukum di dalam ilmu
pengetahuan, karena ini merupakan latar belakang dari filsafat ilmu kontemporer.
4.1 Latar Belakang
Sampai akhir abad ke-20, paradigma umum yang ada di dalam ilmu
pengetahuan didominasi oleh kosmologi Newtonian, yakni paradigma yang bersifat
mekanistik dan materialistik. Dunia pun dipandang sebagai sesuatu yang terlepas
sepenuhnya dari orang yang melihatnya, serta memiliki hukum-hukum dan interaksi
yang tetap di seluruh bagian-bagiannya. Ilmu pengetahuan dianggap mampu
menyingkirkan semua bentuk spekulasi metafisika dan akhirnya dapat menjadi
pengetahuan yang sistematis dan menyeluruh tentang dunia fisik.
Di dalam paradigma Newtonian, dunia dianggap memiliki gerak yang tetap
sehingga manusia bisa memperhitungkan setiap gerak tersebut secara langsung.
Tidak ada unsur apriori dan asumsi-asumsi di dalam metode eksperimental. Semua
pengandaian-pengandaian pun dikesampingkan. Ilmuwan dianggap mampu melihat
alam secara obyektif, dan kemudian merumuskan sebuah teori yang obyektif

153

berdasarkan pengamatan itu. Pada abad ke-19, Ludwig Buchner, seorang filsuf
Jerman, dapat mengklaim tanpa ragu bahwa tidak ada energi tanpa materi, dan
tidak ada materi tanpa energi. Ernst Haeckel juga berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan telah berhasil membuka hampir segala sesuatu yang dapat diketahui
tentang dunia, dan berhasil menyingkirkan takhayul-takhayul yang sebelumnya telah
mendominasi dunia.
Akan tetapi, pada awal abad ke-20, pemikiran lain juga mulai mendominasi.
Perkembangan gaya berpikir baru ini dipengaruhi oleh Immanuel Kant yang, pada
abad ke-18, pernah menyatakan bahwa ada pembedaan yang bersifat mutlak antara
benda-benda pada dirinya sendiri (numena), dan benda-benda sebagaimana kita
dapat mengetahuinya (fenomena). Semua hal yang dapat dicerap melalui
pengalaman inderawi disebut fenomena, karena fenomena berada di dalam ruang
dan waktu. Keberadaan numena haruslah diandaikan sebagai asumsi logis bagi
fenomena, sehingga fenomena bisa diketahui. Akan tetapi, numena tidaklah pernah
dapat kita ketahui. Pengaruh pemikiran Kant sangatlah besar, terutama pada
Helholtz dan Ernst Cassirer yang berpendapat bahwa ilmu pengetahuan ternyata
selalu menganalisis struktur-struktur simbolik dari benda sebagaimana tampak bagi
kita, yakni struktur simbolik dari fenomena. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan
berupaya memahami dunia sebagaimana tampak bagi kita, dan bukan dunia pada
dirinya sendiri.
Ernst Mach, seorang filsuf Jerman lainnya, menulis buku berjudul The
Analysis of Sensations pada 1886. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
merepresentasikan isi dari kesadaran sebagaimana kesadaran tersebut diciptakan
dari sensasi-sensasi. Tidak ada struktur-strukur yang sudah ada sebelumnya. Segala
sesuatu pun dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan tentang
sensasi-sensasi. Akan tetapi, ia justru menerima proposisi-proposisi matematis dan
logika. Jadi, menurutnya, teori di dalam ilmu pengetahuan adalah deskripsi atas
fenomena sensasi-sensasi, baik dalam bentuk pernyataan ataupun proposisi
matematis.
4.2 Para pemikir Positivisme Logis
Kalimat terakhir pada paragraf sebelumnya membawa kita pada refleksi para
pemikir positivisme logis, Schlick dan Carnap menjadi orang-orang utamanya. Pada
umumnya, mereka adalah seorang ilmuwan sekaligus matematikawan. Akan tetapi,
mereka juga banyak dipengaruhi tulisan-tulisan Wittgenstein awal dan juga dari
pemikiran Bertrand Russell. Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa tugas
terpenting dari filsafat adalah untuk merumuskan semacam kriteria penentuan
untuk membedakan antara pernyataan yang memadai dan pernyataan tidak
memadai. Intinya, mereka ingin merumuskan semacam aturan-aturan
korespondensi, di mana observasi langsung untuk menguji suatu pernyataan dapat
langsung dilakukan. Di samping itu, mereka juga ingin menjernihkan konsep-konsep

154

abstrak yang digunakan di dalam fisika, seperti konsep massa dan konsep energi,
sehingga dapat sungguh diamati secara inderawi.
Salah satu kriteria yang dirumuskan oleh mereka adalah verifikasi, yakni suatu
pernyataan yang memadai adalah pernyataan yang dapat diverifikasi secara empiris.
Jika kau berkata bahwa warna sepatu itu merah, ketika orang lain melihat sepatu itu,
mereka juga akan menemukan bahwa sepatu itu berwarna merah. Jika suatu
pernyataan tidak dapat diverifikasi, pernyataan itu tidaklah memadai, dan tidak
berguna. Jelaslah bahwa para pemikir positivisme logis memusatkan refleksi mereka
pada problematika bahasa. Akan tetapi, bagi ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu
alam, pemikiran mereka dapat menjadi pembenaran bagi dominasi ilmu-ilmu alam
di dalam ilmu pengetahuan pada awal abad ke-20. Intinya, proses induksi, di mana
pernyataan umum dirumuskan setelah dikonfirmasi oleh bukti-bukti eksperimental,
adalah metode yang benar dan satu-satunya metode yang pantas digunakan di dalam
ilmu pengetahuan.
Akan tetapi, ada problem epistemologis yang sangat mendasar di dalam inti
pemikiran positivisme logis tersebut. Apa yang akan dilakukan, dengan berbekal
paradigma positivisme logis tentunya, ketika dua teori yang berbeda menjelaskan
satu fenonema yang sama secara berbeda? Di samping itu, pernyataan bahwa suatu
teori haruslah dapat diverifikasi tidaklah dapat diverifikasi. Artinya, teori yang
dikembangkan oleh para pemikir positivisme logis ini dapat dikenai kritiknya sendiri.
Maka, teori ini juga problematis secara internal.
Pada akhir abad ke-19, setidaknya ada dua kecenderungan besar di dalam filsafat
ilmu pengetahuan.
Pertama, dunia dianggap bergerak secara mekanis, dan ilmu pengetahuan
merumuskan suatu teori tentang bagaimana dunia yang mekanis itu bekerja.
Kedua, semua bentuk pengetahuan didapatkan dari pencerapan inderawi, dan tugas
ilmu pengetahuan adalah mensistematisasi apa yang ditangkap oleh indera tersebut.
Kita tidak pernah dapat mengetahui benda-benda yang tidak dapat dialami secara
inderawi. Para pemikir positivisme logis berpendapat bahwa pernyataan yang
memadai adalah pernyataan yang dapat langsung diverifikasi. Maka, semua hal
sangat bergantung pada pengalaman inderawi. Semua unsur teoritis haruslah
berkorespondensi dengan realitas di luar yang dapat diamati.
Akan tetapi, walaupun ide-ide yang dipaparkan di atas dominan di dalam
perdebatan filsafat ilmu pengetahuan, tetapi realitas aktual praktek ilmu
pengetahuan sendiri, terutama di dalam teori relativitas dan fisika kuantum, ternyata
tidak sepenuhnya sesuai dengan ide-ide ini. Bahkan, refleksi filsafat ilmu
pengetahuan tentang teori-teori saintifik dan perkembangannya merupakan suatu
reaksi kritis terhadap pandangan ini. Karl Popper, dengan teorinya, juga bersikap
kritis terhadap tesis-tesis dasar positivisme logis, serta menunjukkan pentingnya
155

perannya proses falsifikasi di dalam perumusan dan perubahan suatu teori. Yang
lebih signifikan lagi, ada beberapa pendapat, seperti yang dirumuskan oleh Thomas
Kuhn, yang melihat bahwa teori-teori ilmu pengetahuan selalu sudah berada di
dalam sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam
ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi, jika seluruh pandangan dunia yang ada
ternyata sudah tidak lagi memadai, dan digantikan oleh yang lain.
4.3 Falsifikasi
Karl Popper (1902-1994) adalah seorang filsuf dari Wina yang sempat
mengajar di New Zealand, dan kemudian di London pada 1945, di mana ia menjadi
Professor dalam bidang logika dan metode santifik di London School of Economics.
Ia banyak menulis tentang filsafat politik maupun filsafat ilmu. Teorinya tentang
falsifikasi, yang walaupun ditujukan dalam bidang analisis filsafat ilmu, memiliki
implikasi yang sangat luas. Pada dekade 1920-an, pada pemikir positivisme logis,
seperti sudah disinggung sebelumnya, berpendapat bahwa suatu pernyataan hanya
bermakna, jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi dengan data inderawi. Dengan
kata lain, jika suatu pernyataan tidak dapat dibuktikan secara inderawi, pernyataan
itu tidaklah bermakna. Akan tetapi, mereka juga memberikan pengecualian bagi
pernyataan matematis ataupun pernyataan logika, di mana makna dari suatu
pernyataan sudah terkandung di dalam definisi dari pernyataan yang digunakan. Kita
tidak perlu menunjukan bukti empiris untuk menganggap 2+2=4 adalah pernyataan
yang bermakna.
Popper, pada bukunya yang berjudul The Logic of Scientific Discovery (1934),
berpendapat bahwa kita tidak dapat membuktikan bahwa suatu teori ilmu
pengetahuan itu benar hanya dengan menambahkan bukti-bukti empiris yang baru.
Sebaliknya, jika suatu bukti telah berhasil menunjukkan kesalahan suatu teori, hal itu
sudahlah cukup untuk menunjukkan bahwa teori tersebut tidak tepat. Kemudian, ia
menunjukkan bahwa suatu teori ilmiah tidak dapat selalu cocok dengan bukti-bukti
yang ada. Bahkan, jika suatu teori mau dianggap sebagai teori ilmiah, teori tersebut
justru haruslah dapat difalsifikasi. Tentu saja, di dalam prakteknya, suatu teori tidak
otomatis dicap tidak memadai, hanya karena ada satu bukti yang berlawanan dengan
teori tersebut. Mungkin saja, bukti-bukti yang diajukan untuk memfalsifikasi suatu
teori itulah yang justru tidak tepat.
Kritik Popper sebenarnya ditujukan pada pernyataan-pernyataan yang mengklaim
dirinya ilmiah, tetapi sebenarnya tidak. Misalnya, ia mengkritik pengandaianpengandaian teori sosial Marxisme dan Psikologi Freudian, karena keduanya
memiliki kebiasaan untuk menafsirkan segala sesuatu melulu dari perspektif
teorinya, dan kemudian mencari konfirmasi atas tafsiran tersebut juga dari teori yang
sudah diyakini sebelumnya. Popper kemudian berpendapat bahwa jika kedua teori
tersebut tidak bisa difalsifikasi, maka sebenarnya keduanya bukanlah merupakan
156

teori ilmiah.
Padahal, salah satu tugas terpenting dari seorang ilmuwan adalah bekerja
keras untuk menemukan bukti-bukti baru yang berlawanan dengan teori yang telah
ia yakini, sehingga teori yang ada bisa diuji validitasnya. Dengan itulah kemajuan di
dalam ilmu pengetahuan terjadi, yakni dari penemuan bukti-bukti baru yang
menunjukkan keterbatasan teori-teori ilmiah yang sudah ada sebelumnya.
Salah satu tesis kunci di dalam pemikiran Popper adalah bahwa hukumhukum di dalam teori ilmiah selalu melampaui data-data eksperimental yang bersifat
inderawi. Metode induksi di dalam ilmu pengetahuan berupaya menunjukkan bahwa
dari data-data inderawi yang diperoleh, ilmuwan dapat sampai pada hukum-hukum
yang bersifat pasti, dan tidak sekedar probabilitas. Popper mengkritik pendapat ini.
Baginya, semua sensasi inderawi yang datang pada seseorang selalu sudah
melibatkan penafsiran orang tersebut, sehingga kemungkinan adanya perbedaan
penafsiran juga sudah selalu terbuka. Variasi penafsiran tersebut sangat tergantung
dari pengandaian-pengandaian ilmuwan yang sedang melakukan penelitian. Dengan
demikian, argumentasi yang didapatkan dari metode induksi tentunya tidak akan
pernah dapat mencapai kepastian absolut.
Yang esensial, menurutnya, adalah penemuan bukti-bukti baru yang mampu
memfalsifikasikan suatu pernyataan. Jika suatu pernyataan yang diklaim ilmiah tidak
dapat difalsifikasi, isi dari pernyataan tersebut pastinya tidak memadai. Dengan
demikian, ia berpendapat bahwa suatu teori ilmu pengetahuan yang memadai adalah
teori yang bersifat konsisten, koheren, serta selalu dapat difalsifikasi. Tidak ada teori
ilmiah yang selalu dapat cocok secara logis dengan bukti-bukti yang ada. Dengan kata
lain, teori yang tidak dapat ditolak bukanlah teori ilmu pengetahuan.
Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa pemikiran Popper mau mengkritik
dua pandangan filosofis lainnya, yakni pemikiran Locke yang melihat bahwa pikiran
manusia adalah tabula rasa sampai pikiran tersebut mendapatkan pengetahuan dari
pengalaman, dan pandangan Wittgenstein yang melihat bahwa bahasa menyediakan
gambaran-gambaran yang memadai tentang dunia luar. Popper berpendapat bahwa
pikiran manusia memiliki peran aktif di dalam membentuk pengetahuan, dan tidak
hanya berperan pasif menerima data melalui pengalaman inderawi. Dalam dunia
ilmu pengetahuan, hal ini berarti bahwa kemajuan selalu datang, ketika seorang
ilmuwan membuat rumusan hipotesis yang hendak melampaui apa-apa yang dapat
diketahui melalui pengalaman. Kemajuan tidak datang dari penambahan informasi
baru untuk mengkonfirmasi teori baru yang sudah ada, melainkan secara spekulatif
berupaya menjelajah ke informasi-informasi baru yang belum diketahui sebelumnya,
sehingga teori yang ada dapat dimodifikasi sesuai dengan informasi-informasi baru
tersebut.
Seluruh teori yang dikembangkan Popper ini dirumuskan dengan
pengandaian bahwa pikiran manusia memiliki karakter tetap untuk selalu berupaya
157

menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyibukkan dirinya, karena hal itulah


yang menjadi ciri mendasar dari pikiran manusia. Konsekuensinya, tujuan utama
dari ilmu pengetahuan adalah menghasilkan pernyataan-pernyataan yang memiliki
informasi tinggi dan tidak bersifat mutlak, tetapi memiliki tingkat kebenaran tertentu
yang masih terus dapat diperbarui.
Dengan demikian, filsafat ilmu pengetahuan yang dirumuskan Popper dapat
dirumuskan menjadi empat langkah.
Pertama, ilmuwan harus mengerti masalah apa yang hendak ditelitinya.
Kedua, ia harus punya semacam hipotesis, yakni suatu pernyataan baru yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan apa yang menjadi masalahnya berdasarkan standar
penelitian yang memadai.
Ketiga, sang ilmuwan harus mendeduksikan proposisi-proposisi mendasar dari teori
yang sudah dirumuskannya.
Keempat, ia dapat menjadikan teorinya sebagai bagian dari pertempuran teoritis
dengan teori-teori lainnya menyangkut masalah yang sama.
Di dalam filsafat ilmu pengetahuan Popper, tidak ada teori di dalam ilmu
pengetahuan yang bersifat mutlak, melainkan hanya bersifat probabel, yakni
memiliki kemungkinan penerapan yang tinggi. Selalu ada kemungkinan, bahwa pada
suatu hari akan ditemukan bukti-bukti bahwa suatu teori itu tidak tepat.
Realitas, menurutnya, selalu sudah memiliki kemungkinan untuk
diteorisasikan. Segala sesuatu adalah masalah bagaimana menggunakan dan
merumuskan suatu teori baru. Hal ini searah dengan kecenderungan dasar dari
pemikiran manusia, yakni menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari
pikirannya.
Bagi Popper, teori yang ideal adalah teori yang memberikan informasi yang banyak
tentang realitas, tetapi teori yang diajukan tidaklah bersifat mutlak, melainkan
bersifat probabel. Teori tersebut, pada akhirnya, selalu harus dapat ditolak, tetapi
bukan berarti teori tersebut tidak berguna, karena teori tersebut memungkinkan
banyak hal untuk diterangkan lebih jauh, walaupun tidak semua hal.
Secara umum, ilmu pengetahuan selalu bekerja berdasarkan eksperimeneksperimen. Teori selalu dipaparkan bersamaan dengan informasi yang mendetil
tentang proses eksperimen dan metode yang digunakan, sehingga teori tersebut
dapat dirumuskan. Tugas bagi mereka yang hendak menguji teori tersebut adalah
mengulang eksperimen yang telah dilakukan, dan melihat apakah mereka berhasil
mencapai hasil yang sama atau tidak. Dan, beberapa waktu setelah teori tersebut
dipublikasikan, teori tersebut akan digunakan untuk memprediksi apa yang akan

158

terjadi pada masa depan. Beberapa bukti yang ditemukan akan memverifikasi apa
yang sudah dirumuskan di dalam teori tersebut. Beberapa lainnya tidak. Nah, ketika
ditemukan bukti baru yang tidak cocok dengan teori tersebut, teori itu telah
terfalsifikasi. Inilah yang merupakan inti dari seluruh pemikiran Popper. Akan tetapi,
halnya tidak sesederhana itu. Baginya, dan juga bagi Lakatos, suatu teori yang telah
terfalsifikasi hanya dapat dianggap tidak lagi memadai jika sudah ada teori baru yang
lebih memadai dan siap menggantikan teori yang sudah ada sebelumnya.
Dengan kata lain, jika ada suatu teori yang dapat menjelaskan apa yang telah
dapat dijelaskan teori sebelumnya dan bahkan mampu menjelaskan lebih jauh ke
ruang-ruang di mana teori sebelumnya tidak dapat menjelaskan, teori baru inilah
yang digunakan. Daya eksplanasi yang paling memadai adalah kriteria utama dalam
hal ini. Jika suatu eksperimen berhasil memfalsifikasi suatu teori, ada dua
kemungkinan di sini, yakni bahwa ada sesuatu yang salah di dalam eksperimen
tersebut, atau ada faktor-faktor yang tidak dipertimbangkan di dalam perumusan
teori sebelumnya. Hampir tidak mungkin, jika kita membuang suatu teori, karena
teori tersebut berhasil difalsifikasi untuk pertama kalinya. Ketika suatu teori baru
telah terumuskan, diperlukan perbandingan dengan teori yang sudah ada
sebelumnya. Teori yang mampu menjelaskan lebih banyak adalah teori yang layak
diterima.
Pandangan yang bersifat simplistik tentang proses falsifikasi adalah bahwa suatu
teori langsung dianggap tidak memadai karena dapat langsung difalsifikasi.
Pandangan yang cukup memadai tentang proses falsifikasi adalah bahwa suatu teori
dianggap tidak memadai karena ada beberapa bukti baru yang bisa memfalsifikasi
teori tersebut dan sudah ada teori alternatif yang menggantikannya.
Pada prakteknya, ilmuwan biasanya dapat belajar banyak dari kegagalan suatu teori,
karena pada waktu itulah teori baru yang lebih komprehensif dapat dirumuskan.
4.4 Paradigma Ilmu Pengetahuan
Thomas Kuhn (1922-1996) ingin memahami tentang proses kemajuan di
dalam ilmu pengetahuan dengan berpijak pada teori falsifikasi Popper. Oleh karena
itu, ia mau merumuskan suatu teori baru yang didasarkan pada penelitian historis
tentang bagaimana ilmu pengetahuan mengalami perubahan dan perkembangan di
dalam sejarahnya. Ia pun sampai pada kesimpulan, bahwa ilmu pengetahuan tidak
secara otomatis menyingkirkan suatu teori ketika ada bukti-bukti yang berlawanan
dengan teori tersebut, melainkan perubahan tersebut terjadi melalui proses yang
bersifat gradual dan kumulatif.24
24

Pendapat ini diambil dari pemikiran Popper.

159

Ia pun juga melihat bahwa setiap ilmuwan pada suatu jaman sudah selalu
melakukan penelitian dengan menggunakan pengandaian-pengandaian dasar yang
mereka punyai, atau sedang dominan pada suatu masa. Ketika suatu bentuk teori
telah dianggap mapan di dalam komunitas ilmiah maka hampir semua ilmuwan yang
ada di dalam komunitas tersebut menggunakan teori yang mapan itu di dalam
penelitian mereka. Teori yang mapan dan dominan tersebut disebut Kuhn sebagai
paradigma. Ia pun membedakan antara ilmu pengetahuan di dalam situasi normal,
dan ilmu pengetahuan di dalam situasi krisis, di mana semua paradigma yang ada
mengalami perubahan, atau mengalami apa yang disebut Kuhn sebagai Revolusi
Saintifik (scientific revolution).
Di dalam situasi normal, dunia ilmu pengetahuan didominasi oleh suatu
paradigma tertentu. Akan tetapi, dominasi oleh satu paradigma tersebut tidak akan
berlangsung lama, karena pasti ada suatu problem internal di dalam paradigma itu.
Problem internal tersebut akan meningkat secara bertahap sampai terjadinya krisis
di dalam paradigma dominan itu. Hal ini akan terus berlangsung sampai ada
paradigma baru yang dapat menyelesaikan problem-problem yang mengakibatkan
krisis pada paradigma sebelumnya. Nah, ketika suatu paradigma baru telah diterima
menjadi teori yang mapan dan dominan, maka dunia ilmu pengetahuan akan
berubah ke arah normal kembali.25 Proses perubahan dari paradigma yang mapan di
dalam situasi normal sampai kemudian tersingkirkan akibat krisis di dalam ilmu
pengetahuan dituliskan Kuhn pada bukunya yang berjudul The Structure of Scientific
Revolutions.26
Ada banyak contoh dalam sejarah ilmu pengetahuan tentang bagaimana suatu
paradigma yang mapan pada akhirnya mengalami krisis, dan kemudian digantikan
oleh paradigma yang baru. Salah satu yang paling jelas adalah bagaimana paradigma
Kopernikus yang melihat matahari sebagai pusat tata surya menggantikan paradigma
Aristoteles dan Ptolemy yang melihat bumi sebagai pusat tata surya. Ada juga
perubahan paradigma lainnya, seperti ketika teori relativitas Einstein menggantikan
paradigma Newtonian. Memang, sampai akhir abad ke-19, paradigma Newtonian
telah menjadi paradigma dominan di dunia ilmu pengetahuan sampai digantikan
oleh paradigma yang sama sekali berbeda, seperti yang dirumuskan Einstein.
Pergantian paradigma semacam itu terjadi, ketika komunitas ilmiah merasa
perlu memeriksa kembali pengandaian-pengandaian yang sudah mereka terima
selama ini. Pada akhir abad ke-19, hampir tidak ada satu ilmuwan pun yang mengira,
bahwa dunia ilmu pengetahuan akan sama sekali berubah pada awal abad ke-20.
Memang, paradigma Newtonian, sampai abad ke-19, sangatlah masuk akal, dan
dianggap sangat memadai. Tentu saja, hal itu masih dianggap benar sampai Einstein
25

Lihat, ibid, hal. 69.

160

merumuskan teori relativitasnya.


Semua hal ini telah dipaparkan oleh Kuhn di dalam bukunya. Akan tetapi, ada
satu aspek yang sangat kontroversial di dalam pemikirannya, yakni ia mengklaim
bahwa tidak ada satu bukti independen yang dapat menjadi penentu validitas di
antara dua paradigma yang berbeda. Suatu bukti selalu sudah ditafsirkan dalam
kerangka paradigma tertentu, sehingga tidak ada satu titik tolak universal yang dapat
menentukan mana di antara dua paradigma yang lebih valid.
Kita tidak pernah dapat melakukan penelitian yang bersifat independen dari
paradigma, apapun paradigma tersebut. Suatu penelitian ilmiah selalu berlangsung
pada parameter yang sudah mapan, yakni dengan menggunakan teori yang sudah
dominan. Ketika suatu revolusi paradigma terjadi, suatu paradigma bisa muncul, dan
perdebatan di dalam komunitas ilmiah pun terjadi, terutama tentang kerangka yang
digunakan untuk menafsirkan bukti-bukti di dalam penelitian ilmiah.
Kuhn juga mengatakan bahwa setiap ilmuwan haruslah mempunyai komitmen
pada teori yang menjadi kerangka penelitiannya. Memang, di dalam metode induksi,
dan seperti yang telah diutarakan oleh Hume, suatu bukti baru yang ditemukan dapat
mengubah seluruh kerangka teori yang telah dianggap memadai sebelumnya. Akan
tetapi, di dalam prakteknya, hal tersebut tidak sesederhana itu. Seorang ilmuwan
selalu melakukan penelitian di dalam kerangka suatu paradigma tertentu, dan
paradigma itulah yang menjadi kerangka di dalam penelitian akan bukti-bukti, dan
argumentasi atas bukti-bukti itu. Seluruh cara berpikir sang ilmuwan pun selalu
sudah dipengaruhi oleh paradigma tertentu, serta membutuhkan argumentasi yang
sangat kuat dan signifikan untuk mengubah paradigma tersebut.
Menurut Kuhn, suatu paradigma tidak selalu terbuka pada proses falsifikasi
secara langsung. Dan karena suatu paradigma mempengaruhi proses penafsiran atas
suatu bukti, maka bukti-bukti yang ada seringkali menyesuaikan diri dengan
paradigma itu. Dibutuhkan suatu lompatan yang penuh keberanian, jika seorang
ilmuwan hendak mengganti paradigma yang telah dipakai sebelumnya. Dengan
argumen ini, para penafsir Kuhn seringkali menganggapnya sebagai seorang relativis,
karena suatu paradigma hanya dapat dikritisi kembali oleh suatu komunitas ilmiah
tertentu dan pada waktu tertentu, tetapi tidak pernah dapat dibandingkan dengan
paradigma lainnya yang mungkin berasal dari tempat yang berbeda. Dengan kata
lain, baginya, setiap paradigma memiliki bahasa-nya masing-masing. Dan seringkali,
konsep-konsep dasar yang digunakan oleh dua paradigma yang berbeda tidak dapat
dibandingkan begitu saja.
Paradigma selalu mempengaruhi semua cara berpikir manusia, tidak hanya di dalam
26

Lihat, Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago, University of Chicago Press, 1996.

161

ilmu pengetahuan, tetapi juga di dalam dunia sosial, agama, dan kebudayaan.
Sangatlah sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri dari paradigma yang ia pegang,
dan merumuskan sesuatu yang sama sekali berbeda. Seorang artis, misalnya, yang
dididik dalam gaya klasik, akan merasa nyaman menggunakan paradigma klasik
tersebut, ketika ia melakukan kerja-kerja artistiknya. Nah, hanya imajinasi dan
kreativitaslah yang membuat seseorang mampu melampaui paradigma yang telah ia
pegang sebelumnya.
Mungkin, jika kita mau menyimpulkan apa yang Kuhn maksud dengan ilmu
pengetahuan dan proses perkembangannya, maka dapat dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan merupakan proses rutin pengumpulan data serta informasi, proses
perluasan pengetahuan manusia yang ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran
baru, di mana semua informasi yang telah didapat diperiksa kembali, dan diletakkan
dalam suatu perspektif yang baru. Yang terakhir ini disebut sebagai perubahan
paradigma. Di antara pergantian dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain,
ada suatu masa panjang yang disebut sebagai situasi normal.
Problem yang menarik disini adalah, bagaimana Kuhn dapat mengatakan bahwa
perubahan paradigma sudah terjadi, jika seorang ilmuwan selalu berada dalam suatu
paradigma tertentu? Jika, seperti yang telah dirumuskannya, kita tidak dapat keluar
dari paradigma di dalam ilmu pengetahuan, bagaimana mungkin, kita dapat
mengatakan bahwa sebuah perubahan paradigma telah terjadi, atau bahwa suatu
paradigma lebih memadai daripada paradigma lainnya?
Memang, Feyerabend, di dalam bukunya yang berjudul Against Method: Outline of
an Anarchistic Theory of Knowledge,27 berpendapat bahwa kemajuan di dalam ilmu
pengetahuan adalah sesuatu yang fiktif dan tidak mungkin terjadi. Kita tidak dapat
menemukan satu paradigma pun yang benar secara obyektif, tetapi hanya berbagai
cara untuk memandang berbagai problematik yang sama. Dengan demikian,
menurutnya, sebab mengapa seorang ilmuwan memilih teori yang satu daripada teori
lainnya adalah sebab yang bersifat subyektif, dan seringkali estetis. Setiap orang
secara bebas berhak memilih teori mana yang cocok baginya, dan komunitas ilmiah
tidak dapat memaksakan kriteria absolut untuk menentukan yang mana yang benar,
dan yang mana yang tidak.
Akan tetapi, jika sains memiliki cara kerja yang sama dengan seni, lalu apakah yang
membedakan ilmu pengetahuan dengan seni?
Seperti sudah disinggung oleh Popper sebelumnya, proses perkembangan dan
27

Lihat Paul Feyerabend, Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge, Verso, 1975.

162

perubahan di dalam paradigma ilmu pengetahuan berjalan lambat dan sangat


bertahap. Dengan perkembangan di dalam pemikiran Kuhn, kita dapat melihat hal
yang sebaliknya, yakni kemajuan di dalam ilmu pengetahuan adalah sebuah proses
yang tak menentu dan tak teratur dengan perubahan tiba-tiba. Dengan melihat
sejarah ilmu pengetahuan, seperti yang ada pada Bab 2, tampaknya pandangannya
lebih tepat, karena perubahan tiba-tiba dapat saja terjadi di dalam ilmu pengetahuan,
dan bukan hanya sekedar perubahan yang bertahap.
Di samping itu, jika kita setuju dengan pendapat Popper tentang proses
falsifikasi, mungkin tidak akan banyak ditemukan adanya perkembangan dan
kemajuan di dalam ilmu pengetahuan. Suatu eksperimen ilmiah tidak pernah
sepenuhnya benar, tetapi juga tidak pernah sepenuhnya ambigu, sehingga harus
digantikan saat itu juga. Bagi seorang penganut teori Popper yang fanatik, suatu
data yang berlawanan dengan teori yang ada dapat secara otomatis menyingkirkan
teori yang ada tersebut. Di dalam prakteknya, hal tersebut tidak terjadi. Jika
ditemukan suatu data yang berlawanan dengan teori yang ada, ilmuwan biasanya
akan mencari penjelasan terlebih dahulu tentang hal tersebut, seperti melihat
kemungkinan bahwa eksperimen yang dilakukannya mungkin tidak tepat. Dengan
kata lain, data yang berlawanan tidak segera menimbulkan kepanikan di dalam ilmu
pengetahuan, melainkan sebagai pendorong untuk proses pengumpulan data lebih
jauh. Suatu paradigma di dalam ilmu pengetahuan dapat berubah, jika data-data
yang ditemukan lebih jauh sudah sangat berlainan dengan paradigma tersebut.
Akan tetapi, ada beberapa perubahan di dalam ilmu pengetahuan yang tidak
selalu seperti yang dikatakan Kuhn dengan konsep revolusi saintifiknya. Salah satu
penjelasan tentang hal ini dirumuskan oleh Imre Lakatos di dalam bukunya yang
berjudul Falsification and The Methodology of Scientific Research Programmes.28
Di dalam buku itu, ia berpendapat bahwa di dalam prakteknya, ilmu pengetahuan
mengalami perkembangan melalui program-program penelitian (research
programmes) yang dilakukan, terutama penelitian-penelitian yang bersifat
menyelesaikan masalah (problem solving). Perubahan tersebut tidaklah muncul
akibat ditemukannya bukti-bukti baru yang berlawanan, seperti yang dikatakan oleh
Popper dengan teori falsifikasinya, dan juga bukanlah akibat adanya revolusi
paradigma di dalam ilmu pengetahuan, seperti yang dikatakan oleh Kuhn.
Perubahan, menurut Lakatos, terjadi di dalam ilmu pengetahuan melalui
dilakukannya program-program penelitian yang digunakan untuk menemukan faktafakta yang baru. Di dalam penelitian semacam itu, kita harus membedakan antara
teori dasar yang harus ada sebagai fondasi dari suatu eksperimen, dan teori
tambahan yang dapat diubah tanpa mengganggu koherensi eksperimen yang sedang
dilakukan. Dengan demikian, perubahan sebenarnya dapat dilakukan di level teori
tambahan tersebut.
28

Lihat, Imre Lakatos, Falsification and The Methodology of Scientific Research Programmes, CUP, 1978.

163

Pada titik ini, Lakatos mengkritik Popper, karena ia tidak menghargai proses
kontinuitas dari suatu teori di dalam penelitian ilmiah, terutama dengan teori
falsifikasinya yang seringkali bertentangan dengan praktek ilmu pengetahuan di
lapangan, di mana ilmuwan sungguh-sungguh terlibat langsung dengan penelitian.
Lakatos juga mengkritik Kuhn, tetapi pada hemat saya tidak terlalu tepat, karena ia
melihat perubahan paradigma di dalam ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang
irasional tanpa terlalu menekankan secara argumentatif sebab-sebab pokok, sehingga
suatu paradigma digantikan oleh paradigma lainnya.29
Bagi Popper, suatu teori terus harus diuji dan difalsifikasi. Bagi Kuhn, paradigma di
dalam ilmu pengetahuan tidak berubah melulu berdasarkan alasan-alasan yang
rasional, tetapi juga dari momen-momen yang penuh inspirasi. Dengan begitu,
perubahan di dalam ilmu pengetahuan juga sudah seringkali mendadak. Sementara,
bagi Lakatos, kemajuan terjadi akibat perkembangan di dalam program-program
penelitian, di mana teori tambahan dapat diubah, dan secara bertahap
mempengaruhi fondasi dasar teori tersebut.
4.5 Status Teori-teori Ilmu Pengetahuan
Jika suatu teori ingin diakui sebagai ilmiah, teori itu haruslah cocok
(compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya. Dan jika suatu
teori memiliki kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori lainnya, salah satu di
antara kedua teori tersebut salah.
Pada abad ke-19, para ilmuwan percaya bahwa matahari menghasilkan sinar yang
begitu terang dengan menghancurkan bagian-bagiannya secara bersamaan. Dengan
kata lain, matahari, secara perlahan tapi pasti, mengecil, karena panas dan cahaya
yang diberikannya mengharuskannya menjadi mengecil. Oleh karena itu, para
ilmuwan pun membuat perhitungan tentang usia matahari, dan berapa lama lagi
matahari akan mampu bertahan. Pada akhir abad ke-19, Lord Kelvin, berdasarkan
perhitungan yang dibuat oleh Helmholtz, sampai pada kesimpulan bahwa matahari
dan bumi itu sendiri telah berusia sekitar 24 juta tahun. Pengukuran semacam ini
sekarang banyak dikenal sebagai pengukuran Kelvin-Helmholtz.
Akan tetapi, masalahnya adalah, jika Darwin, dengan teori evolusinya, benar, usia
bumi pasti jauh lebih tua. Kedua teori, baik yang dirumuskan Kelvin dan Darwin,
telah dirumuskan melalui perhitungan yang cermat. Tetapi, salah satu diantaranya
pasti salah. Jika Darwin benar tentang usia yang dibutuhkan mahluk hidup untuk
berevolusi, pasti ada cara lain bagi matahari untuk menghasilkan energi yang begitu
besar untuk waktu yang begitu lama.
29

Lihat, Thompson, 2001, hal. 74.

164

Dengan teori relativitas yang dirumuskan Einstein, dilema di dalam ilmu


pengetahuan tersebut pun terselesaikan, karena teori tersebut memberikan
penjelasan alternatif tentang sumber energi yang memungkinkan matahari
menghasilkan energi begitu besar dalam waktu begitu lama. Tentu saja, energi yang
dimiliki matahari tidaklah abadi. Akan tetapi, teori relativitas memberikan
penjelasan yang memadai tentang bagaimana matahari mampu memberikan energi
yang mencukupi untuk berlangsungnya proses evolusi selama berjuta tahun di bumi.
Pada hakekatnya, suatu teori dirumuskan untuk menjelaskan fenomena yang
tampak tidak masuk akal. Jika ada suatu kejadian yang tidak dapat diterangkan
secara memadai dengan teori yang sudah ada, kita pun akan terdorong untuk
mencari penjelasan alternatif untuk menjelaskan kejadian yang belum dapat
diterangkan tersebut. Dengan demikian, kemajuan di dalam ilmu pengetahuan
terjadi melalui proses-proses dasar untuk menyelesaikan masalah tertentu (problem
solving). Jika hukum ataupun teori yang ada tidak mampu menjelaskan ragam
fenomena yang terjadi secara memadai, masalah pun muncul. Hal ini juga akan
bermuara pada pandangan yang bersifat instrumentalis terhadap ilmu pengetahuan,
yakni suatu teori dinilai berdasarkan apa yang dapat dilakukannya.
Salah satu hal penting yang harus diingat adalah bahwa dalam proses penelitian
fenomena secara ilmiah, yang ada bukanlah benar atau salah, melainkan memadai
atau tidak memadai. Hal ini terjadi, karena setiap penelitian dan eksperimen selalu
menggunakan model-model artifisial, dan jarang sekali menggunakan bahan-bahan
langsung dari realitas. Misalnya, seorang ilmuwan hendak meneliti pergerakan
planet di dalam tata surya. Ia tidak mungkin langsung melihat keseluruhan tata
surya, tetapi ia memerlukan model tata surya untuk penelitiannya. Model semacam
itu diperlukan untuk meneliti hal-hal yang tidak bisa langsung dilihat atau diterima
oleh indera.
Di dalam prakteknya, suatu teori hampir tidak pernah langsung memberikan
jawaban yang tegas dan lugas tentang suatu problematika ilmu pengetahuan. Selalu
ada masa, di mana berbagai teori yang ada dibandingkan, dan kemudian diputuskan
mana yang paling memadai. Suatu teori baru biasanya masih mengacu pada teori
yang sudah ada sebelumnya. Hal ini sangatlah wajar, walaupun pada akhirnya, teori
baru tersebut akan berkembang melampaui teori-teori yang tadinya
mempengaruhinya.
Biasanya, Kopernikus dipandang sebagai orang yang melakukan revolusi di dalam
astronomi, terutama tentang pandangan bahwa bumilah yang merupakan pusat tata

165

surya. Akan tetapi, pada prakteknya, ia masih sangat dipengaruhi oleh kosmologi
yang dikembangkan Aristoteles. Kopernikus, seperti juga Aristoteles, berpikir bahwa
gerak-gerak planet berbentuk lingkaran sempurna. Pada kemudian hari, terutama
setelah Galileo, teori Kopernikus ini dikembangkan lebih jauh dari kosmologi klasik
Yunani Kuno itu.
Di dalam praktek ilmu pengetahuan, ada waktu-waktu tertentu, suatu teori
baru dirumuskan, tetapi tidak memberi dampak apapun, karena ada beberapa hal
teoritis lainnya yang harus terlebih dahulu diselesaikan sebelum signifikansi teori
baru tersebut bisa terasa.
Teori kuantum pertama kali dikemukakan oleh Max Planck pada 1900. Akan tetapi,
signifikansi teori tersebut baru dapat sungguh dirasakan setelah Einstein dan Bohr
mempublikasikan penelitian-penelitian mereka. Memang, Teori Planck tampak aneh
diterapkan pada fisika sebelum Einstein.
Penerimaan suatu teori di dalam komunitas ilmiah tidaklah berarti bahwa
teori tersebut memiliki kebenaran mutlak. Setiap teori selalu sudah dipengaruhi oleh
pengandaian-pengandaian dan metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Akan
tetapi, ada kriteria yang cukup universal, yang dapat digunakan untuk menentukan
apakah suatu teori tersebut itu lebih valid dari teori lainnya. Kemampuan suatu teori
untuk memprediksi apa yang akan terjadi jelas merupakan kriteria esensial bagi
validitas teori tersebut. Semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan,
semakin besar pula teori tersebut akan diterima di dalam komunitas ilmiah.
Akan tetapi, jika kedua teori tersebut memiliki daya prediksi yang sama-sama
memadai, pilihan pun dijatuhkan pada teori yang lebih bersifat sederhana dan
elegan. Dengan kata lain, jika ada dua teori yang sedang dibandingkan, yang satu
terdengar sangat rumit dan yang lain lebih sederhana, teori yang lebih sederhanalah
yang lebih dipilih, tentu dengan catatan bahwa kedua teori tersebut memiliki daya
prediksi yang sama-sama memadai. Teori yang lebih sederhana ini hanya akan
diganti, jika ternyata ada kasus-kasus tertentu yang signifikan, yang tidak lagi dapat
dijelaskan secara memadai. Di dalam bukunya yang berjudul The Essential Tension
(1977), Kuhn merumuskan lima karakter dari teori ilmiah yang memadai, yakni
keakuratan, konsistensi, cangkupan analisis, kesederhanaan, dan daya prediksi. Ia
juga menyadari bahwa mungkin terjadi konflik di antara kriteria-kriteria ini,
misalnya, teori yang akurat belum tentu sederhana, dan teori yang sederhana belum
tentu kuat daya prediksinya.
Memang, banyak pemikir lainnya yang mengkritik Kuhn sebagai seorang filsuf
yang irasional. Kuhn sendiri hendak membantah kritik semacam ini. Oleh karena itu,
ia pun berpendapat bahwa alasan mengapa seorang ilmuwan memilih satu teori
selain teori lainnya adalah karena penekanan satu kualitas dibandingkan kualitas
166

lainnya. Artinya, ada ilmuwan yang memilih kualitas prediksi yang kuat. Tetapi, ada
juga ilmuwan yang memilih akurasi di dalam penjelasan atas fenomena. Baru setelah
itulah komunitas ilmiah bisa sepakat tentang teori mana yang lebih memadai dari
yang lainnya, yakni dengan melibatkan pertimbangan lima faktor yang sudah
dijabarkan sebelumnya.
4.6 Pendekatan Duhem-Quine
Sejauh ini, kita sudah melihat berbagai argumen untuk menentukan apakah
suatu teori itu memadai atau tidak dengan berbasiskan argumentasi individual, baik
itu dengan argumentasi paradigma (paradigm) ataupun dengan program penelitian
(research programme). Akan tetapi, ada beberapa pemikir yang tidak setuju dengan
pendekatan semacam ini. Mereka pun menggunakan pendekatan Duhem-Quine,
yang diambil dari Pierre Duhem, seorang fisikawan, dan W.V. Quine, seorang filsuf
ilmu pengetahuan.
Pada 1890, Duhem berpendapat bahwa untuk membuktikan bahwa suatu teori
itu tidak memadai, kita harus melakukan kritik dengan berbasiskan teori lain yang
kita anggap lebih memadai. Jika teori yang kita gunakan tidak memadai, kritik yang
kita lakukan terhadap teori lain pun tidaklah memadai. Di samping itu, ia juga
berpendapat bahwa suatu teori tidaklah dapat dipisahkan dalam relasi dengan teoriteori lainnya. Suatu teori baru bermakna, jika ditempatkan dalam kaitan dan
perbandingan dengan teori-teori lainnya.
Quine, dalam artikelnya yang berjudul The Two Dogmas of Empiricism, yang
ditulis pada 1951, berpendapat serupa. Ia berpendapat bahwa pemikiran manusia itu
dapat dianggap sebagai sebuah jaringan yang saling terhubung, sehingga perubahan
yang terjadi pada satu teori akan juga berpengaruh terhadap teori-teori lainnya.
Mereka berdua merumuskan sebuah konsepsi ilmu pengetahuan yang bersifat
holistik. Cara berpikir semacam ini nantinya juga akan mempengaruhi Kuhn dengan
konsep situasi normal di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep Lakatos tentang teori
yang saling terhubung di dalam program-program penelitian.30
Suatu teori baru dapat muncul, jika seorang ilmuwan hendak memahami bukti-bukti
yang tidak terjelaskan oleh teori sebelumnya, atau ketika ia hendak memahami
beberapa hasil dari eksperimen yang belum terjelaskan. Pada titik ini, dua
pertanyaan ini layak diajukan, bagaimana teori baru yang dirumuskan tersebut
terkait dengan semua hal yang dianggap sebagai benar selama ini? Dan, teori lain
macam apakah yang harus dirumuskan untuk mengakomodasi teori baru ini?
Dengan kata lain, pendekatan Duhem-Quine menekankan bahwa kita tidak dapat
membuat perubahan di dalam ilmu pengetahuan tanpa mempengaruhi dunia ilmu
pengetahuan tersebut sebagai keseluruhan. Suatu teori haruslah terhubung dan
30

Lihat, ibid, hal. 78.

167

bekerja sama dengan teori lainnya. Jika tidak, teori-teori tersebut menjadi tidak
bermakna.

168

Bab
5
Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial
Argumen utama untuk membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial dapat dirumuskan dalam tiga pernyataan berikut.
Pertama, manusia berbeda dengan bola bilyar. Memang, pada abad 17 sampai
19, paradigma yang mendominasi di dunia ilmu pengetahuan adalah paradigma
Newtonian. Oleh karena itu, baik penelitian ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial
selalu menggunakan paradigma Newtonian tersebut. Konsekuensinya, penelitian atas
manusia pun sangat diwarnai positivisme, atau disebut juga naturalisme. Artinya,
metode ilmu-ilmu alam diterapkan untuk menganalisis realitas sosial. Para pemikir
ataupun ilmuwan yang menolak aliran ini seringkali disebut juga para ilmuwan anti
naturalisme.31 Para pemikir anti-naturalisme berpendapat bahwa kehidupan
manusia tidak bisa dipelajari secara memadai dengan menggunakan metode yang
biasa digunakan di dalam fisika ataupun ilmu-ilmu alam lainnya.
Argumen kedua adalah bahwa tidak ada yang disebut sebagai kesatuan
metode di dalam ilmu pengetahuan yang dapat digunakan secara universal, baik
untuk ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial. Tidak ada metode, konsep, ataupun
hukum-hukum yang universal yang ada di dalam fisika ataupun ilmu-ilmu alam
lainnya yang dapat digunakan untuk menganalisis manusia, baik itu sebagai individu
ataupun sebagai masyarakat. Untuk menganalisis dunia kehidupan manusia, kita
harus menggunakan metode yang bersifat manusiawi, misalnya menggunakan
metode historis, metode interpretatif, dan tidak menggunakan metode
eksperimental, seperti yang digunakan di fisika.
Argumen ketiga adalah bahwa manusia merupakan mahluk yang memiliki
kehendak bebas, serta nilai-nilai tertentu yang membuat hidupnya menjadi
bermakna. Kedua hal inilah yang membedakan manusia dengan benda-benda fisik
biasa. Dengan demikian, kita menolak esensi yang membuat manusia itu menjadi
manusia, jika kita menerima dan menerapkan metode naturalisme. Akan tetapi,
sampai sekarang, ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan masih didominasi
oleh paradigma naturalisme. Kepercayaan bahwa ada metode yang bersifat universal,
bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai dan bebas kepentingan, dan bahwa ilmu-ilmu
sosial pada akhirnya akan mempunyai hukum-hukum yang cukup obyektif, seperti di
dalam fisika dan biologi, masihlah menjadi ciri dari ilmu pengetahuan di abad ke-20
dan 21. Mentalitas naturalistik semacam ini semakin diperkuat oleh keberhasilan
31

Lihat, E.D Klemke, Robert Hollinger, Day Wss Rudge (ed), Introductory Reading in the Philosophy of
Science, 1998, hal. 105.

169

ilmu-ilmu alam dalam proses memperbaiki kualitas hidup manusia, sehingga baik
secara politis, ekonomi, maupun budaya, ilmu-ilmu alam dinilai lebih prestisius
daripada ilmu-ilmu sosial.
Para ilmuwan sosial pun terobsesi oleh pertanyaan, apakah yang mereka
praktekkan itu layak disebut sebagai ilmu pengetahuan?, di mana arti ilmu
pengetahuan masihlah disempitkan melulu pada paradigma Newtonian yang bersifat
mekanistik. Psikologi dan ilmu politik juga didominasi oleh paradigma behaviorisme
dan materialisme. Ilmu ekonomi juga masih didominasi oleh teori pilihan rasional
(rational choice theory), di mana manusia selalu dianggap sebagai mahluk yang
membuat pilihan yang paling rasional di antara pilihan-pilihan yang ada. Sosiologi
pun masih didominasi oleh pendekatan positivistik yang mendewakan statistik, dan
menolak pendekatan kualitatif.
Banyak ilmuwan sosial masih dipengaruhi oleh pandangan dunia Newtonian
yang bersifat mekanistik, dan dengan itu berharap dapat memperoleh penghormatan
di bidang akademis, karena dianggap mempraktekkan ilmu pengetahuan. Para
antropolog juga masih berupaya untuk keluar dari determinisme positivisme di
dalam pendekatan mereka. Mereka sering dituduh terlalu bersifat Eropasentrik, dan
menolak sama sekali relativisme serta pluralitas kebudayaan manusia. Bahkan,
selama satu abad lebih, para ilmuwan sosial belum bisa memutuskan apakah bidang
yang mereka kaji itu adalah ilmu-ilmu sosial atau ilmu-ilmu kemanusiaan.
Pendekatan-pendekatan antinaturalisme dipinggirkan, dan dianggap terlalu
bersifat subyektif belaka. Kini, hanya para filsuf dan sejarahwanlah yang
menganggap metode antinaturalistik tersebut sah untuk menganalisis manusia.
Beberapa dekade belakangan ini, upaya untuk mereduksikan ilmu-ilmu sosial ke
dalam ilmu-ilmu genetis dan neurobiologi menjadi mode tersendiri di kalangan
komunitas ilmiah. Akan tetapi, ilmu-ilmu sosial yang menggunakan pendekatan
naturalistik melulu, seperti pada ekonomi, psikologi, dan sosiologi, ternyata tidak
mampu menjelaskan kompleksitas kehidupan manusia secara memadai. Hal ini pun
semakin disadari banyak pihak, sehingga dikembangkanlah metode-metode
hermeneutika di dalam ilmu-ilmu sosial yang menggunakan empati serta
pemahaman sebagai kunci analisisnya. Memang, tidak seperti ilmu-ilmu alam, ilmuilmu sosial tidaklah mempunyai metode yang bersifat universal yang dapat
diterapkan untuk siapapun, kapanpun, dan dimanapun.
Pada sebagian besar abad ke-20, ilmu-ilmu yang berparadigma antinaturalis
tidaklah terlalu populer, bahkan dianggap sebagai kurang ilmiah.32 Salah satu
argumen yang paling tajam dirumuskan oleh Peter Winch dalam bukunya yang
berjudul Idea of Social Science and Its Relation to Philosophy. Buku tersebut
diterbitkan pada 1958, tepat setahun sebelumnya karya legendaris Thomas Kuhn di
bidang filsafat ilmu pengetahuan, The Structure of Scientific Revolutions, diterbitkan
32

Lihat, ibid, hal. 106.

170

untuk pertama kalinya. Di dalam buku itu, Winch menggunakan konsep languange
games dari Wittgenstein untuk menekankan bahwa ilmu-ilmu sosial tidak akan
pernah berhasil dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam. Manusia, yang
menjadi obyek kajian ilmu-ilmu sosial, adalah mahluk yang memiliki makna dalam
setiap tindakannya, dan makna tersebut diperolehnya dari tradisi, budaya, ataupun
norma-norma di mana dia hidup.
Oleh karena itu, pengandaian universalistik di dalam ilmu-ilmu alam sama
sekali tidak relevan untuk memahami tindakan manusia yang bermakna tersebut.
Paling-paling, metode pendekatan ilmu-ilmu alam dapat menjadi alat pembantu
untuk memahami realitas sosial, tetapi tetap tidak akan pernah bisa menggantikan
pendekatan hermeneutika yang bersifat kualitatif dengan menggunakan empati dan
pemahaman sebagai instrumen analisis. Karena Winch sangat dipengaruhi oleh
Wittgenstein, banyak pernyataannya tidak terlalu berpengaruh di dalam ilmu
pengetahuan, melainkan lebih banyak didiskusikan pada level filsafat, terutama
untuk memberikan tanggapan kritis terhadap naturalisme di dalam ilmu-ilmu sosial.
Di samping itu, ada satu pertanyaan besar yang ada di dalam buku Thomas
Kuhn yang kiranya dapat mempertajam apa yang ingin disampaikan oleh Winch,
apakah tidak ada kemiripan sama sekali antara metode yang digunakan di dalam
ilmu-ilmu alam dengan metode yang digunakan di dalam ilmu-ilmu sosial? Berbagai
pendekatan kontemporer, seperti sosiologi ilmu pengetahuan, cultural studies, teoriteori feminis, dan teori-teori di dalam teknologi juga berurusan dengan pertanyaan
ini. Kuhn, walaupun secara tidak langsung, juga membahas tentang hal ini di dalam
The Scientific Revolutions.
Lepas dari itu, dewasa ini, banyak ahli yang berpendapat bahwa ada
perbedaan yang tajam antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Kriteria
perbandingan, seperti yang telah dibuat pada awal bab ini, juga telah menjadi
problematis. Akan tetapi, perubahan paradigma, seperti yang terjadi akibat
pemikiran postmodernisme, feminisme, multikulturalisme, telah membawa
perubahan mendasar di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu-ilmu alam pun
tidak lagi dipandang bebas nilai, melainkan sudah terkait dengan suatu kepentingan
tertentu. Berbagai refleksi tentang kaitan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan
telah membangkitkan kecurigaan bahwa ilmu pengetahuan ternyata sangat bersifat
Eropasentrik dan bias gender. Akibatnya, ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan pun
mulai dipikirkan ulang. Perubahan paradigma mendasar ini membawa harapan bagi
kemajuan ilmu-ilmu sosial yang tidak melulu dilihat dalam kerangka naturalisme
ilmu-ilmu alam.
Yang pasti, secara umum, tradisi yang dominan di dalam ilmu-ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial masihlah bersifat naturalistik. Walaupun begitu, berbagai bentuk
penelitian kualitatif, teknik wawancara di dalam penelitian, dan pendekatan
etnografis kini mulai dikombinasikan dengan pendekatan kuantitatif yang bersifat
naturalistik. Di sini, pengaruh sosiolog Emile Durkheim (1858-1917) yang melihat

171

bahwa metode ilmu-ilmu alam dapat diterapkan pada ilmu-ilmu sosial memperoleh
tempat. Banyak pemikir lainnya, seperti yang dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Kuhn
dan para pemikir postmodernisme, yang mau melebur berbagai penggolongan,
terutama batas-batas antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam. Memang,
perdebatan akan terus berlangsung, bahkan semakin meningkat intensitasnya. Akan
tetapi, dewasa ini ilmu pengetahuan tidak lagi melulu disamakan dengan fisika
newtonian, sehingga perdebatan klasik tentang ilmuwan dan non ilmuwan tidak lagi
berlaku sebenarnya.
Tentang hal ini, filsafat ilmu pengetahuan, dengan berbagai argumentasinya,
masihlah terus berkembang, terutama dengan terus menerus memberikan tanggapan
kritis terhadap paradigma universalistik Newtonian. Perdebatan semacam ini
sebenarnya dapat dilihat sebagai perdebatan yang positif, karena kita dapat sungguhsungguh melihat dan memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara berbagai
displin ilmu pengetahuan tersebut, sehingga kita dapat semakin memahami cara kita
di dalam memahami dunia secara sistematik tanpa harus sibuk mempertahankan
status ilmiah kita, ataupun tekanan hirarki di dalam komunitas ilmiah.
Secara spesifik dapatlah dikatakan, bahwa perdebatan kontemporer di dalam
ilmu pengetahuan lebih berkisar tentang peran hukum-hukum, teori, dan
pengamatan, serta kriteria penerimaan suatu teori di dalam ilmu-ilmu alam ataupun
ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, perdebatan tersebut tidak lagi terjadi di dalam
kerangka dominasi paradigma positivisme, melainkan post-positivisme. Dengan pola
yang sama, konsep naturalisme yang sebelumnya sering digunakan untuk
menentukan keilmiahan suatu teori, kini tidaklah lagi digunakan dengan peran
otoritatif semacam itu. Dengan kata lain, iklim di dalam dunia ilmu pengetahuan kini
lebih terbuka untuk pandangan-pandangan yang berbeda dengan paradigma
naturalisme. Pemikiran bahwa ilmu-ilmu sosial haruslah bersifat obyektif dengan
mengacu pada kriteria-kriteria fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya juga telah
ditinggalkan, atau dirumuskan ulang.
Charles Taylor, di dalam tulisannya yang berjudul Sciences of Man,33
berpendapat bahwa realitas sosial manusia memiliki ciri-cirinya sendiri yang unik,
yang tentunya harus didekati dengan metode yang juga spesifik. Bahkan, praktek
penelitian dan pengamatan terhadap realitas sosial itupun tidak dapat dilakukan
lepas dari realitas sosial yang ada. Oleh karena itu, paradigma naturalisme, baginya,
tidaklah dapat menjadi kriteria bagi penilaian obyektifitas suatu teori di dalam ilmuilmu sosial. Pendapat Popper tentang hal ini juga mirip. Ia, di dalam bukunya yang
berjudul The Poverty of Historicism, berpendapat bahwa ada perbedaan yang
mendasar antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, sehingga metode universal
yang dapat digunakan untuk keduanya tidaklah mungkin dirumuskan. Lepas dari
dua argumen itu, pada sub bab berikutnya, saya hendak menganalisis sebab-sebab
33

Lihat, ibid, hal. 108.

172

mengapa hampir sepanjang abad ke-20, ilmu pengetahuan sosial dianggap bersifat
inferior, terutama jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam.
5.1 Beberapa Kriteria Perbandingan
Ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial seringkali diperbandingkan. Akan tetapi,
kriteria perbandingan yang digunakan jarang sekali bersifat sistematik. Memang, jika
kita ingin membandingkannya secara sistematik, seringkali perbandingan tersebut
terkesan tumpang tindih. Walaupun begitu, perbandingan yang sistematik tetaplah
dapat membantu kita untuk melihat perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial juga secara sistematik, dan apa yang membuat ilmu-ilmu sosial tampak lebih
inferior, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Setidaknya, ada tujuh kriteria
perbandingan.34
1. Kemungkinan Pengamatan
2. Obyektifitas Pengamatan dan Penjelasan
3. Hipotesis
4. Ketepatan Penemuan-Penemuan
5. Keterukuran fenomena yang Diamati
6. Kemampuan Prediksi
7. Keberjarakan dari Pengalaman Sehari-hari
Kita akan melihat perbandingan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dengan
menggunakan kriteria ini.
5.2. Kemungkinan Pengamatan
Pengandaian dasarnya adalah bahwa tidak ada ilmu pengetahuan, kecuali
fenomena yang diamati dapat berulang. Di dalam alam, kita dapat dengan mudah
menemukan fenomena-fenomena yang bersifat tetap dan berulang. Akan tetapi,
bagaimana dengan realitas sosial? Bukankah kondisi masyarakat selalu berubah?
Bukankah setiap masyarakat itu bersifat unik? Bukankah peristiwa-peristiwa yang
terjadi selalu berbeda dengan apa yang dulu terjadi? Atau, dapatkah kita berkata
bahwa sejarah mengulang dirinya sendiri? Bukankah apa yang para ilmuwan sosial
lakukan adalah generalisasi dari peristiwa-peristiwa sosial yang pada hakekatnya
bersifat partikular?
Perbandingan dengan berdasarkan kriteria ini memiliki argumentasi yang
sangat kuat. Beberapa filsuf bahkan sangat kagum pada status tetap yang dimiliki
fenomena di dalam ilmu-ilmu alam, serta tampak agak sinis dengan begitu
dinamisnya realitas sosial manusia yang menjadi obyek di dalam ilmu-ilmu sosial.
34

Tulisan ini mengacu pada Fritz Machlup, Are the Social Sciences Really Inferior?, dalam , E.D Klemke,
Robert Hollinger, Day Wss Rudge (ed), Introductory Reading di dalam Philosophy of Science, 1998, hal. 135153.

173

Argumen berdasarkan dinamisnya fenomena pengamatan ini pun menjadi salah satu
kriteria terpenting untuk membedakan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, serta
status obyektifitasnya. Heinrich Rickert, seorang filsuf ilmu pengetahuan asal
Jerman, membedakan antara ilmu-ilmu alam yang punya karakter
menggeneralisasikan, dan ilmu-ilmu sosial yang bersifat mengindividualisasikan, ia
secara eksplisit memahaminya sebagai sejarah.35 Kemudian, ia juga berpendapat
bahwa ketika kita memasukkan alam sebagai tetap dan general, kita menggunakan
ilmu-ilmu alam. Dan, ketika kita memaksudkan alam sebagai fenomena kultural
yang bersifat unik, kita menggunakan paradigma ilmu-ilmu sosial, terutama sejarah.
Baginya, geologi dan geografi dapatlah digolongkan sebagai ilmu sejarah, dan
ekonomi dapatlah digolongkan sebagai fisika, yakni bagian dari ilmu-ilmu alam.
Argumentasi Rickert tersebut tidaklah memuaskan dan juga tidak menerangi
masalah bahwa fenomena yang diteliti di dalam ilmu-ilmu alam lebih bersifat tetap
dan stabil daripada fenomena yang diteliti di dalam ilmu-ilmu sosial. Fakta-fakta
yang diteliti di dalam ilmu-ilmu alam memang jauh lebih stabil dan kuantitasnya
juga bisa sangat kecil. Sementara ilmu-ilmu sosial, seperti sejarah misalnya haruslah
mempertimbangkan begitu banyak faktor yang mempengaruhi obyek penelitian
mereka. Kesulitan tersebut ditambah dengan begitu mudahnya fenomena yang
dianalisis berubah dalam hitungan detik. Argumentasi seperti ini memanglah masuk
akal. Walaupun begitu, argumentasi ini tidak membuktikan apapun, kecuali bahwa
ilmu-ilmu sosial menuntut metode yang spesifik, dan tingkat kesulitan yang lebih
tinggi.
Robert Oppenheimer, seorang fisikawan, pernah mengajukan suatu hipotesis
yang mencengangkan, yakni hakekat alam semesta adalah sebuah fenomena yang
universal, maka kita dapat memperoleh pengetahuan yang bersifat universal dan
umum dari alam semesta itu. Akan tetapi, banyak pula ahli ekonomi yang
berpendapat bahwa setiap tahapan masyarakat dalam bidang ekonomi adalah suatu
tahapan yang bersifat unik, sehingga tolok ukur universal untuk mengevaluasi setiap
tahapan ekonomi di dalam masyarakat tidaklah mungkin dirumuskan. Lepas dari itu,
pada hemat saya, fenomena di dalam ilmu-ilmu alam tidak setetap seperti yang
dibayangkan banyak ilmuwan. Dan, fenomena di dalam ilmu-ilmu sosial tidaklah
sedinamis seperti yang di bayangkan para ilmuwan sosial. Karena, jika memang
fenomena sosial sangatlah beragam, maka konsep tindakan sosial dan konsep
masyarakat tidak akan pernah dapat diterapkan. Dalam proses menganalisis suatu
fenomena, kita menciptakan semacam model abstrak untuk mempermudah
penelitian dan analisis yang kita lakukan, baik itu pada ilmu-ilmu alam maupun pada
ilmu-ilmu sosial. Model abstrak ini bersifat artifisial dan reduktif, karena kita tidak
mungkin menganalisis suatu fenomena yang terlalu kompleks tanpa direduksi
terlebih dahulu.
35

Heinrich Rickert, Die Grenzen der naturwissenchaftlichen Begnfisbildung, seperti dikutip oleh Machlup,
1998, hal. 136.

174

Dengan demikian, tidak ada perbedaan signifikan sebenarnya, karena setiap


teori selalu mengandaikan adanya reduksi ataupun homogenisasi dari fenomena
yang kompleks. Hal ini berlaku untuk ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial.
Pendek kata, perbedaan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam tetap ada, tetapi
hanya soal tingkat perubahan yang terjadi pada fenomena yang dianalisis. Proses
homogenisasi dan reduksi sebenarnya sah untuk dilakukan, selama itu tidak
dilakukan demi kontrol kekuasaan tertentu yang disengaja, atau digunakan untuk
penyelewengan kepentingan. Dalam hal ini, kita mengenal adanya semacam dunia
ketiga, yakni dunia yang berada di antara dunia teori yang bersifat abstrak, dan
dunia realitas yang bersifat kompleks. Dunia ketiga ini terletak pada eksperimen
laboratorium. Eksperimen mengandung lebih banyak kompleksitas daripada dunia
teori, tetapi sekaligus lebih sederhana daripada dunia realitas yang sesungguhnya.
Akan tetapi, eksperimen tidak pernah dapat sungguh-sungguh dijadikan fondasi yang
kuat bagi pembuktian suatu teori, karena dunia eksperimen tidak pernah dapat
disamakan begitu saja dengan dunia alamiah yang tidak bersifat artifisial.
5.3. Obyektifitas Pengamatan dan Penjelasan
Pengandaian dasar di balik perbandingan berdasarkan obyektifitas
pengamatan dan penjelasan adalah bahwa ilmu pengetahuan haruslah obyektif dan
bebas nilai, tetapi ilmu-ilmu sosial selalu secara inheren berurusan dengan nilainilai, sehingga kurang memiliki obyektifitas sebagai ilmu pengetahuan.36
Pernyataan seperti tentunya sangatlah problematis. Salah satu problem yang juga
penting adalah tentang keyakinan subyektif yang selalu mewarnai analisis-analisis
sosial.
Mungkin, salah satu cara untuk menjernihkan masalah adalah menyadari
pentingnya penggunaan kata nilai, dan bagaimana kata ini berkaitan dengan ilmuilmu sosial, terutama ekonomi. Machlup membedakan empat penggunaan kata nilai
di dalam tulisannya. Pertama, penilaian seorang ilmuwan dapatlah terpengaruh oleh
kepentingan pribadinya, sehingga penilaian saintifiknya juga terpengaruh. Kedua,
beberapa hal yang bersifat normatif seringkali berkaitan dengan fenomena yang
tengah dianalisis. Bias normatif juga dapat membuat suatu penilaian terhadap
fenomena menjadi bias. Ketiga, seorang ilmuwan biasanya memilih bidang
penelitian yang tidak bertentangan dengan keyakinan pribadinya. Ia tidak akan
melakukan suatu penelitian yang bertentangan dengan apa yang diyakininya secara
pribadi. Keempat, seorang ilmuwan sosial haruslah menjelaskan pengamatannya
terhadap tingkah laku manusia, di mana tingkah laku tersebut dapat ditafsirkan
hanya dengan mengacu pada motif dari manusia tersebut yang tentunya selalu
diwarnai nilai-nilai tertentu.
Dengan argumen ini seringkali para ilmuwan mencap bahwa ilmu-ilmu sosial
36

Machlup, 1998, hal. 138.

175

mudah sekali jatuh ke dalam godaan kepentingan pribadi tersebut, dan memiliki
bias-bias yang tidak bisa dihilangkan dalam penelitiannya. Moric Cohen menyebut
hal ini sebagai ..kesulitan yang bersifat subyektif untuk menjaga keberjarakan ilmiah
di dalam ilmu-ilmu tentang persoalan manusia.37 Hal ini memang tidak dapat
diragukan lagi. Akan tetapi, kita juga tidak boleh melupakan kesulitan serupa di
dalam ilmu-ilmu alam. Ingatlah bagaimana para ahli biologi berdebat keras tentang
penemuan mereka, karena perbedaan kepercayaan religius, dan bagaimana para
fisikawan berdebat tentang kedudukan bumi serta matahari di alam semesta, juga
karena kepercayaan religius mereka. Pada 1936, para ilmuwan Jerman menolak
apapun penemuan yang dirumuskan oleh orang-orang Yahudi, karena dianggap
berseberangan dengan kepentingan nasional. Pada 1951, seorang biolog asal Russia
dilarang merumuskan teorinya, karena dianggap terlalu banyak mengandung nilainilai liberal. Perdebatan kontemporer tentang kloning juga rupanya menganut pola
yang sama, yakni ilmu pengetahuan yang terkait erat dengan kepentingan politik.
Di samping kepentingan politis yang mewarnai penemuan di dalam ilmu
pengetahuan, ada juga beberapa kecurangan yang sangat jelas di dalam sejarah ilmu
pengetahuan itu sendiri. Contoh paling jelas adalah argumentasi para antropolog
yang membenarkan keberadaan Manusia Piltdown, dan juga para ahli ekonomi yang
seringkali berbohong dengan menggunakan statistik. Bukanlah kebetulan, jika
seorang analis ekonomi yang berpihak pada buruh menggunakan data-data dari
tahun tertentu, dan seorang analisis ekonomi yang berpihak pada pemilik modal
menggunakan data-data dari tahun lainnya. Keduanya selalu menggunakan datadata yang menunjang tujuan dan kepentingan mereka. Analis ekonom buruh lebih
akan berpikir untuk keuntungan buruh. Sebaliknya, analis ekonomi para pemilik
modal lebih akan berpikir untuk keuntungan pemilik modal. Tentu saja, hal ini sama
sekali tidak membuktikan superioritas ataupun inferioritas ilmu-ilmu alam. Hal yang
sama juga dapat terjadi pada para ahli yang memberi kesaksian di pengadilan, seperti
psikiater, psikolog, ahli kimia, dan sebagainya, demi kepentingan seorang klien
tertentu. Dalam hal ini, seorang ilmuwan mengambil peran sebagai analis kejadian
partikular tertentu yang telah terjadi. Lepas dari itu, jika ada keuntungan dalam hal
ini, maka dapat juga dikatakan bahwa seorang ekonom lebih memiliki banyak
kesempatan untuk menggunakan statistik-statistik yang bias daripada seorang
ilmuwan alam. Akan tetapi, mungkin saja seorang ilmuwan alam menggunakan datadata yang tidak valid, ketika mereka disuap.
Seringkali, pengandaian normatif seorang ilmuwan mempengaruhi lugas
tidaknya pengungkapan hasil penelitian yang ia lakukan. Misalnya, seorang ilmuwan
memiliki pandangan normatif yang sangat kuat terhadap isu-isu ilmiah, seperti
absorsi, bom hidrogen, senjata biologis, kloning, sehingga kerja-kerja ilmiahnya,
terutama yang menyangkut bidang-bidang ini, banyak dipengaruhi oleh pengandaian
37

Moric Cohen, Reason and Nature, hal, 348, seperti dikutip Machlup, 1998.

176

normatif tersebut. Memang, seorang ilmuwan mungkin saja memiliki pandangan


yang sangat normatif tentang isu-isu tertentu, seperti hak kekayaan intelektual, pasar
bebas, tunjangan pensiun, pendidikan, dan sebagainya, sehingga mungkin saja
pandangan tersebut tercermin di dalam penelitian ilmiah mereka. Pengandaian
normatif ini tidaklah melulu berarti hasil penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan
tersebut bias. Bahkan, hal ini dapat terjadi baik pada ilmuwan sosial maupun
ilmuwan alam. Penelitian dan hasil dari penelitian tersebut seringkali terkait dengan
suatu pengandaian nilai tertentu. Akan tetapi, hal tersebut juga tidaklah melulu
berarti bahwa penemuan yang muncul menjadi terdistorsi.
Seorang ilmuwan juga seringkali hanya melakukan penelitian pada bidangbidang yang dipilihnya dengan alasan-alasan yang bersifat subyektif. Hal ini tidaklah
dapat dielakkan, dan satu-satunya pertanyaan disini adalah, nilai macam apa yang
mempengaruhinya? Akan tetapi, alasan-alasan yang mempengaruhi seorang peneliti
juga seringkali bersifat eksternal. Jika suatu penelitian didanai oleh suatu yayasan
ataupun pemerintah, maka sang ilmuwan menggendong nilai-nilai yang dianut oleh
yayasan ataupun pemerintah yang mendanainya. Jika suatu penelitian tidak didanai
oleh yayasan ataupun pemerintah tertentu, maka sang ilmuwan akan melakukan
penelitian sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai nilai sosial, yakni bidangbidang yang menurut pengamatannya sendiri dapat memberikan sumbangan yang
bermakna terhadap masyarakat. Masyarakat membutuhkan penelitian-penelitian
khusus untuk menyembuhkan penyakit kanker, untuk mencegah demam berdarah
secara efektif, untuk menyingkirkan narkoba dari masyarakat, untuk mencegah
kecelakaan lalu lintas, dan sebagainya. Semua hal ini menunjukkan bahwa setiap
ilmuwan, baik itu ilmuwan sosial maupun ilmuwan alam, selalu juga sudah
dipengaruhi nilai tertentu. Lepas dari itu, seorang ilmuwan biasanya juga
melakukan penelitian murni berdasarkan dorongan intelektual dan motivasi
ketertarikannya belaka. Hal ini pun tentunya mengandung suatu nilai tertentu.
Seorang pelajar yang tidak memiliki banyak kreatifitas dan data untuk melakukan
penelitian, tetapi hanya melakukan penelitian yang ia mampu saja juga sudah selalu
menggendong nilai tertentu di dalam penelitiannya. Yang terakhir ini memang
mungkin saja terjadi, tetapi sangat jarang, karena kebanyakan ilmuwan, alam
maupun sosial, memiliki cukup data dan kreatifitas untuk mengeksplorasi
penelitiannya.
Pada titik ini, kita sampai pada kriteria perbandingan tentang nilai yang paling
tajam, yakni tetang acuan nilai yang selalu sudah dimiliki oleh obyek analisis di
dalam ilmu pengetahuan. Realitas sosial, seperti masyarakat misalnya, yang menjadi
obyek kajian ilmu-ilmu sosial, selalu dijelaskan dalam kerangka nilai-nilai tertentu
yang memotivasi masyarakat tersebut untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain,
suatu tindakan sosial di dalam suatu masyarakat tertentu hanya dapat dimengerti
motivasinya dengan memahami nilai-nilai macam apakah yang ada di dalam
masyarakat tersebut. Hal inilah yang dengan tepat membedakan antara ilmu-ilmu

177

alam dan ilmu-ilmu sosial. Untuk menjelaskan gerak molekul-molekul, gerak atomatom, gerak benda-benda alam, dan sebagainya, seorang ilmuwan alam tidak akan
bertanya mengapa molekul bergerak? Mengapa Venus tidak memilih orbit lainnya
selain yang ia tempati sekarang ini? Atau, mengapa suatu sel memutuskan untuk
membelah diri? Sementara itu, ilmuwan sosial meneliti dengan terlebih dahulu
menjelaskan bagaimana proses sirkulasi uang, sehingga daya beli masyarakat bisa
meningkat, atau mengapa dewan pimpinan suatu perusahaan sampai pada
keputusan bahwa perusahaan mereka perlu untuk di merger dengan perusahaan
lainnya, atau mengapa mereka memilih suatu tempat sebagai lokasi pabrik dan
bukan tempat lainnya, dan sebagainya. Memang, contoh yang saya berikan semuanya
dari bidang ekonomi. Akan tetapi, pola yang sama juga dapat dilihat pada sosiologi,
antropologi budaya, ilmu politik, dan sebagainya. Semua hal ini menunjukkan bahwa
penelitian ilmiah di dalam ilmu-ilmu sosial selalu bertanya tentang motivasi yang
melandasi suatu tindakan sosial tertentu, dan motivasi itulah yang pertama-tama
menjadi fenomena yang ingin dianalisis.
Sebuah contoh mungkin dapat semakin memperjelas tentang perbedaan
signifikan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sebuah batu tidak akan
berkata kepada kita, Saya adalah binatang. Batu juga tidak akan berkata, Saya
pindah kesini, karena saya tidak suka dengan keadaan di atas sana. Disini,
pemandangannya bagus, terutama pada bagian yang menghadap ke lembah. Tidak
ada pengaruh motivasi pada batu. Akan tetapi, manusia memiliki motivasi semacam
itu, dan realitas sosial justru harus dijelaskan berdasarkan motivasi mendasar yang
menjadi fondasi dari tindakan manusia tersebut. Dengan demikian, penelitian sosial
haruslah mengungkapkan nilai-nilai yang memotivir suatu tindakan dari realitas
sosial yang ditelitinya. Tentu saja, perbandingan ini tidaklah berurusan secara
langsung dengan status obyektifitas ilmiah dari ilmuwan yang menganalisis realitas
sosial tersebut. Dengan begitu, kriteria ini tidaklah memadai untuk menempatkan
ilmu-ilmu sosial dalam posisi yang lebih inferior daripada ilmu-ilmu alam.38
5.4. Hukum dan Hipotesis
Banyak ahli mengatakan bahwa hipotesis di dalam ilmu-ilmu sosial sangatlah
sulit untuk diverifikasi, dan sebaliknya, kriteria paling mendasar dari ilmu-ilmu alam
adalah bahwa hipotesisnya harus langsung mampu diverifikasi. Pada titik ini, kita
harus membedakan antara apa yang disebut oleh para filsuf Inggris sebagai
hipotesis pada level atas, dan generalisasi pada level bawah. Suatu hipotesis
pada level atas tidak pernah bisa diverifikasi, baik secara langsung ataupun tidak
langsung, karena hipotesis semacam itu terbentuk dari berbagai macam hipotesis
yang menyusun suatu sistem gagasan tertentu. Hipotesis semacam ini hanya dapat
diuji sebagai suatu sistem keseluruhan dengan premis dasar tertentu yang harus
38

Bdk, H. Kelsen, Allgemeine Staatslehre, hal. 129, seperti dikutip Machlup, 1998.

178

diterima sebelumnya. Baru setelah itulah hipotesis ini dapat dikomparasikan dengan
data-data empiris yang diperoleh melalui pengamatan.39 Hal ini berlaku bagi ilmuilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial. Misalnya, kita tidak perlu untuk menguji secara
langsung beberapa hipotesis mendasar di dalam fisika, seperti hukum kekekalan
energi, hukum gerak lurus, dan hukum gerak. Kita juga tidak perlu secara langsung
membuktikan salah satu postulat fundamental di dalam ekonomi, yakni hukum
tentang maksimalisasi kegunaan dan keuntungan.
Sementara itu, hipotesis generalisasi pada level bawah di dalam ilmu-ilmu
alam juga tidak selalu dapat diverifikasi. Contoh paling jelas adalah teori tentang
evolusi dan teori tentang penciptaan alam semesta yang ada pada biologi dan
kosmologi. Dengan kata lain, pada ilmu-ilmu alam, terutama pada fenomenafenomena yang tidak lagi dapat diulang dan dikontrol dalam eksperimen, para
ilmuwan haruslah merumuskan sebuah hipotesis yang tidak dapat diuji
keabsahannya untuk jangka waktu yang lama, bahkan selama-lamanya. Pada ilmuilmu sosial, sebaliknya, generalisasi pada level bawah tentang berbagai peristiwa
sosial selalu dapat diuji. Akan tetapi, ada beberapa hipotesis yang saling berbeda
tidaklah dapat diuji secara langsung di dalam eksperimen, walaupun keduanya
mengacu pada fakta-fakta empiris langsung. Tidak mungkinnya dilakukan sebuah
eksperimen yang spesifik merupakan salah satu halangan terbesar di dalam ilmuilmu sosial. Kelemahan ini bukanlah kelemahan yang ada di dalam diri ilmuwan
sosial, melainkan sudah ada di dalam hakekat realitas sosial itu sendiri.
5.5 Ketepatan Penemuan-Penemuan
Orang-orang yang berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial tidaklah setepat ilmuilmu alam seringkali adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang
memadai tentang hakekat ilmu-ilmu tersebut, ataupun tidak memahami betul arti
dari kata ketepatan. Beberapa diantaranya memaknai ketepatan sebagai ketepatan
pengukuran. Hal ini akan saya diskusikan dalam bagian yang berbeda. Sementara,
beberapa orang lainnya mengartikan ketepatan sebagai keakuratan di dalam
memprediksi kejadian-kejadian di masa depan. Hal ini tentunya sangat berbeda. Ada
juga yang memahami ketepatan sebagai kemampuan suatu analisis untuk
dibahasakan secara matematis. Pada hemat saya, pengertian ketepatan paling
memadai adalah sebagai kemungkinan untuk merumuskan suatu teori yang
mengandung konsep-konsep abstrak, serta variabel-variabel yang mendukungnya
dan saling berhubungan, di mana semua proposisi yang berkaitan dengan peristiwaperistiwa partikular dapat dideduksikan. Pemahaman semacam ini tidak akan
ditemukan di dalam semua jenis ilmu-ilmu alam, seperti biologi misalnya, dan
ekonomi, yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, justru mempunyainya. Pada
titik ini, saya berpendapat bahwa kita tidak mungkin merumuskan suatu bentuk
39
Lihat, F. Machlup, The Problem of Verification in Economics, Southern Economics Journal, XXII, 1955,
hal. 1-21.

179

metode ataupun teori universal di dalam ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, kualitas
ketepatan, jika dimengerti dalam definisi yang saya rumuskan, tidak hanya dimiliki
oleh ilmu-ilmu alam, tetapi juga ilmu-ilmu sosial.
5.6 Keterukuran fenomena yang diamati
Jika keberadaan data-data numerik merupakan kriteria yang paling memadai
bagi suatu penelitian ilmiah, maka ekonomi dapat dipastikan merupakan ilmu
pengetahuan yang menduduki ranking teratas. Ekonomi adalah satu-satunya bidang
ilmu yang memiliki data tentang realitas sosial dalam bentuk numerik.40 Pada bidang
ilmu lainnya, sang ilmuwan haruslah melakukan perhitungan terlebih dahulu
sebelum memperoleh data numerik. Seorang fisikawan harus merumuskan sebuah
instrumen yang dapat membaca data dalam bentuk numerik. Memang, di dalam ilmu
pengetahuan, data pertama-tama diperoleh dari realitas yang kompleks yang
kemudian direduksi dengan menggunakan instrumen-instrumen tertentu, seperti
skala, termometer, ataupun speedometer, barulah data tersebut tersaji dalam bentuk
numerik. Akan tetapi, seorang ilmuwan dapat langsung mulai dengan data numerik
tanpa melalui proses-proses tersebut, karena apa yang ia analisis pertama-tama
adalah soal keuangan. Harus juga diakui, bahwa data yang bersifat masif tentang
keuangan nasional suatu negara pertama-tama dimiliki oleh pemerintah, sehingga
perolehan data pun sangat tergantung dari kebijakan pemerintah tentang data
tersebut. Dengan demikian, ada relasi yang berkebalikan antara informasi mengenai
ekonomi nasional di satu sisi, dan kebebasan individual di hadapan institusi
pemerintahan di sisi lain.
Akan tetapi, data numerik dalam bentuk angka bukanlah satu-satunya hal
yang dibutuhkan. Supaya berguna, data dalam bentuk angka tersebut haruslah
diberikan kerangkan teoritis yang komprehensif, sehingga dapat menjelaskan suatu
fenomena. Di samping itu, data-data mentah di dalam ekonomi haruslah juga
dianalisis terlebih dahulu, sehingga dapat secara memadai dikombinasikan dengan
kerangka teori yang sudah ada sebelumnya. Keakuratan data dan analisis yang
diperoleh di dalam ekonomi memang tidak setinggi di dalam ilmu fisika, terutama
fisika teoritis. Walaupun begitu, fisika bukanlah satu-satunya ilmu alam, sama
seperti ekonomi bukanlah satu-satunya ilmu-ilmu sosial. Ada beberapa bidang ilmu,
baik di dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, di mana data-data
kuantitatif dalam bentuk numerik tidak pernah dapat dirumuskan. Jika salah satu
pepatah klasik di dalam ilmu pengetahuan yang diucapkan oleh Lord Kelvin, yakni
Ilmu pengetahuan merupakan pengukuran, dianggap serius, maka ilmu
pengetahuan justru mengabaikan salah satu aspek terpentingnya. Jika pepatah itu
dianggap serius, maka fakta-fakta keras yang ada di dalam alam dan fakta-fakta
lunak yang ada di dalam realitas sosial direduksikan hanya ke dalam angka-angka
40

Lihat, Machlup, 1998, hal. 143.

180

demi kepentingan pengukuran saja. Fakta-fakta keras dianggap sebagai fenomena


yang dapat secara pasti dipegang dan diukur. Sementara, fakta-fakta lunak tidak.
Akan tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu. Kedua fenomena, baik fenomena di
dalam alam maupun di dalam realitas sosial, selalu diterima manusia melalui
inderanya. Jika pada ilmu-ilmu alam, indera digunakan untuk memahami data, maka
di dalam ilmu-ilmu sosial, indera digunakan untuk memahami pengalaman internal
dan motivasi komponen-komponen pembentuk masyarakat.
5.7 Kemampuan Prediksi
Sebelum kita melihat apakah ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial
mampu meramalkan kejadian di masa depan, ada beberapa distingsi penting yang
harus dibuat terlebih dahulu. Kita harus membedakan antara prediksi yang bersifat
kondisional dan prediksi yang tidak bersifat kondisional. Bahkan, kondisi yang
bersifat kondisional pun harus dibedakan lebih jauh, yakni antara kondisi-kondisi
yang dapat dikontrol, dan kondisi-kondisi yang tidak dapat dikontrol. Di samping itu,
ada pula distingsi tentang data-data numerik, yakni data-data numerik yang akan
berubah (1), akan bertambah (2), akan bertambah secara maksimal (3), akan
bertambah dengan jumlah terbatas (4), dan akan bertambah dengan jumlah tak
terbatas (5). Prediksi juga hanya berlaku pada waktu-waktu yang telah ditetapkan di
dalam prediksi, dan tidak di luarnya. Suatu prediksi tanpa acuan waktu yang jelas
sama sekali tidak berguna.
Beberapa orang percaya bahwa ilmu-ilmu alam dapat melampaui ilmu-ilmu
sosial dalam semua kategori tersebut, baik prediksi yang kondisional ataupun tidak,
tentang jumlah pertambahan dan perubahan, ataupun tentang keakuratan waktu dan
tempat prediksi. Akan tetapi, pendapat tersebut hanya benar sebagian, yakni hanya
bagi ilmu-ilmu alam yang secara tepat dapat diukur dan diprediksi di dalam
laboratorium, dan pada ilmu-ilmu sosial yang mampu mengamati realitas sosial,
tetapi tidak mampu memprediksi apa yang terjadi di dalamnya. Tentu saja,
perbandingan ini tidaklah adil dan tidak masuk akal. Eksperimen laboratorium yang
bersifat artifisial, di mana semua variabel dapat dikontrol, sangatlah berbeda dengan
realitas sehari-hari yang kompleks. Jika perbandingan ingin dibuat, maka haruslah
dibuat antara prediksi yang berkaitan dengan realitas yang kompleks, dan dilakukan
secara alamiah juga.
Bahkan, di dalam realitas alamiah yang kompleks, kita harus membedakan
antara prediksi atas kejadian yang telah direncanakan sebelumnya, dan prediksi, di
mana ilmuwan tidak berperan apapun. Misalnya, jika saya menulis surat, menuliskan
alamat yang ingin saya tuju, menempelkan perangko di atasnya, dan membawanya
ke kantor pos untuk dikirimkan, maka saya dapat memprediksi bahwa tiga atau
empat hari kemudian, surat tersebut akan sampai ke alamat yang saya inginkan.
Prediksi semacam ini terbukti memiliki tingkat kebenaran yang tinggi, dan anda
tidaklah perlu menjadi seorang ilmuwan sosial untuk memprediksi hal tersebut.

181

Sama halnya dengan bahwa anda tidak perlu menjadi seorang ilmuwan alam untuk
memprediksi nyalanya lampu di kamar, jika anda menekan saklarnya.
Memang, lebih banyak prediksi yang meleset daripada yang akurat di dalam
realitas yang tidak diatur atau dimanipulasi terlebih dahulu. Para meteorolog
mengalami kesulitan cukup besar, ketika mereka hendak meramalkan keadaan cuaca
untuk dua atau tiga hari ke depan. Ada terlalu banyak variabel yang terlibat, dan
beberapa diantaranya sangat sulit untuk dianalisis. Hal yang sama juga terjadi di
dalam bidang ekonomi, di mana seorang ekonom akan mengalami kesulitan, ketika
ia diminta untuk meramalkan bagaimana peluang lapangan kerja, peningkatan
pendapatan, ataupun ekspor barang dua atau tiga tahun mendatang. Jika prediksi
yang dibuat tidak tepat, seorang analis ekonomi akan lebih mudah mengelak dengan
argumen bahwa banyak faktor baru yang membuat prediksinya menjadi tidak tepat,
seperti pengaruh kebijakan pemerintah, ataupun faktor alam. Di sisi lain, suatu
prediksi juga akhirnya dapat memenuhi dirinya sendiri, misalnya ketika dirumuskan,
suatu prediksi mempengaruhi sebagian besar masyarakat, sehingga, sadar atau tidak,
mereka melaksanakan prediksi tersebut, dan prediksi itupun akhirnya terbukti.
Memang, ada banyak pihak yang berpendapat bahwa seorang ahli haruslah
bertanggungjawab penuh terhadap prediksi yang dibuatnya. Lepas dari itu, prediksi
juga bisa berfungsi sebaliknya, ketika dirumuskan secara negatif. Misalnya, para ahli
pengaturan lalu lintas selalu merumuskan prediksi berapa jumlah kecelakaan yang
biasanya muncul selama musim liburan. Pada saat yang sama, mereka berharap
bahwa pengemudi berhati-hati. Dengan demikian, prediksi yang dirumuskan untuk
memberikan ketakutan yang agak berlebihan kepada masyarakat sebenarnya punya
dampak positif juga.
Yah, baik untuk ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial, kita haruslah
bersikap kritis terhadap semua prediksi yang para ilmuwan rumuskan. Dalam arti
tertentu, mungkin lebih baik kita mengakui bahwa prediksi atau ramalan bukanlah
spesialisasi seorang ilmuwan. Dan bukanlah kebodohan dari seorang ilmuwanlah
yang membuat prediksinya menjadi tidak tepat, melainkan karena ia kurang
memiliki informasi yang memadai. Dalam hal ini, kita bisa melihat perbedaan antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial secara cukup jelas. Para ahli di dalam ilmu-ilmu
alam biasanya tidak akan melakukan hal-hal yang pada hemat mereka tidak dapat
mereka lakukan, dan tidak ada orang yang memaksakan hal tersebut. Mereka bahkan
tidak memprediksi tentang epidemi apa yang akan terjadi di masa depan, atau
bencana alam apa yang akan terjadi di masa depan. Sementara itu, untuk alasan yang
sebenarnya kurang jelas, ilmuwan sosial diharapkan mampu memprediksi apa yang
akan terjadi di masa depan, dan mereka merasa gagal, jika mereka gagal memenuhi
harapan tersebut.
5.8. Keberjarakan dari Pengalaman Sehari-hari
Biasanya, ilmu pengetahuan dipahami sebagai bentuk pengetahuan yang

182

hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang mempunyai pikiran yang kuat. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan memiliki kesan eksklusif. Orang biasa tidak akan
mampu mengerti sebuah tulisan professional di dalam jurnal fisika, kimia, ataupun
biofisika. Bahkan, kata-kata teknis yang ada di dalam artikel tersebut pun seringkali
tidak bisa dibaca dan dilafalkan dengan benar. Pendek kata, orang biasa tidak
mungkin menjadi seorang ilmuwan, terutama ilmuwan alam, jika ia tidak menjalani
proses-proses tertentu sebelumnya. Di sisi lain, orang biasa mungkin saja membaca
artikel-artikel tentang ekonomi, sosiologi, antropologi, dan psikologi. Walaupun
beberapa kata teknis digunakan dalam artikel-artikel tersebut, tetapi orang masih
mampu meraba apa arti konsep tersebut dalam konteks tulisan yang dibuat.
Pengetahuan umum tentang dunia sosial memang kurang lebih dapat diraih, jika
orang rutin membaca koran ataupun mendengarkan berita maupun diskusi di
televisi. Konsekuensinya memang bisa negatif, hasil karya ilmuwan sosial seringkali
dianggap tidak ilmiah, karena dianggap terlalu mudah.
Fakta bahwa ilmuwan sosial kurang menggunakan konsep-konsep teknis yang
rumit dibandingkan ilmuwan alam mungkin berkaitan langsung dengan sikap dan
karakter orang biasa pada umumnya. Konsep-konsep teknis yang digunakan oleh
ilmuwan sosial memang memiliki makna ganda, yakni dalam arti sehari-hari, atau
dalam arti teknis. Akan tetapi, ketika pembaca diberitahukan tentang arti teknis dari
konsep yang digunakan, mereka bisa kagum, atau justru bingung, karena kata
tersebut dimaknai secara berbeda. Di sisi lain, para ilmuwan alam banyak
membicarakan tentang nukleus, galaksi, kromosom, fosil, atau segala sesuatu yang
mungkin orang biasa akan terheran-heran, karena ternyata ada yang memperdulikan
hal-hal tersebut. Sementara, ilmuwan sosial lebih banyak berbicara tentang manusia
dan dunia sosialnya. Seringkali, mereka justru banyak berbicara tentang diri mereka
sendiri, dan bagaimana cara mereka melihat dunia. Ilmuwan sosial tidak pernah
mengidentifikasikan diri mereka sebagai positron, neutron, ataupun digit-digit
komputer. Seperti disebutkan sebelumnya, konsekuensinya bisa negatif. Fakta bahwa
ilmuwan sosial menganalisis manusia dalam interaksinya dengan manusia lainnya
menandakan bahwa ia tidak mampu melampaui paradigma yang mempengaruhinya
sendiri. Hal inilah yang seringkali dicurigai, yakni bahwa ilmuwan sosial hanya
menyatakan apa yang diyakininya sendiri dan tidak mampu obyektif.
5.9 Kesimpulan
Kini, kita dapat menyimpulkan proses perbandingan antara ilmu-ilmu alam
dan ilmu-ilmu sosial berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Perbandingan pertama, menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki variabel yang
lebih variatif dan tingkat kepastian yang lebih rendah daripada ilmu-ilmu alam.
Perbandingan kedua, menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial haruslah menemukan
motivasi yang melandasi suatu tindakan sosial. Ini adalah sesuatu yang tidak dimiliki
oleh ilmu-ilmu alam. Walaupun begitu, hal ini tidaklah membuat ilmu-ilmu sosial

183

bersifat lebih inferior daripada ilmu-ilmu alam.


Perbandingan ketiga, menyatakan bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki variabel-variabel
yang tidak mungkin dipastikan dalam suatu eksperimen. Hal ini membuat ilmu-ilmu
sosial lebih sulit diverifikasi daripada ilmu-ilmu alam.
Perbandingan keempat, menyatakan bahwa fisika dan ekonomi memiliki ketepatan
yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam ataupun ilmu-ilmu sosial
lainnya.
Perbandingan kelima, menyatakan bahwa fisika memiliki tingkat perhitungan obyek
yang lebih tinggi daripada ilmu-ilmu lainnya. Sementara, ilmu-ilmu alam ataupun
ilmu-ilmu sosial lainnya masih lebih bersifat relatif, jika dibandingkan dengan fisika.
Perbandingan keenam, menyatakan bahwa ada perbedaan esensial antara ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, perbedaan tersebut tetap tidak menunjukkan
mana yang lebih superior, ataupun mana yang lebih inferior.
Perbandingan ketujuh, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu sosial lebih dekat dengan
pengalaman sehari-hari orang daripada ilmu-ilmu alam. Memang sekilas, hal ini
adalah positif. Akan tetapi, kemudahan ilmu-ilmu sosial membuatnya dianggap tidak
cukup ilmiah, terutama jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam.
Marilah kita ambil beberapa contoh. Jika saya mengetahui bahwa obat B lebih
bersifat inferior dari obat A dalam proses penyembuhan suatu penyakit, saya tidak
akan membeli obat B untuk menyembuhkan penyakit yang saya derita. Jika saya
mengetahui bahwa mekanik A lebih bersifat inferior daripada mekanik B, saya tidak
akan menggunakan mekanik A, ketika mobil saya rusak dan perlu diperbaiki. Jika
saya mengetahui bahwa buku A lebih inferior daripada buku B, saya tidak akan
membaca buku A. Di dalam semua contoh ini, pernyataan bahwa suatu hal bersifat
inferior daripada hal lainnya memiliki karakter pragmatis. Nah, jika dikatakan bahwa
ilmu-ilmu sosial bersifat inferior dari ilmu-ilmu alam, kita dapat mengambil
beberapa kesimpulan:
1. Kita tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial.
2. Kita tidak perlu menghabiskan uang untuk melakukan penelitian-penelitian di
dalam ilmu-ilmu sosial.
3. Kita tidak memperbolehkan orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual
yang lebih untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial.
4. Kita tidak boleh menghormati pada ahli di dalam ilmu-ilmu sosial.
5. Kita harus melakukan sesuatu untuk mengembangkan lebih jauh ilmu-ilmu sosial
yang ada, serta berupaya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya.
Yang terakhir ini dapat ditempatkan secara memadai, jika kita sungguh-sungguh
sadar bahwa tujuan dari riset-riset sosial bukanlah kalkulasi matematis, seperti yang
diterapkan di dalam ilmu-ilmu alam, melainkan pemahaman lebih mendalam
tentang dunia kehidupan dari suatu realitas sosial tertentu. Pemahaman semacam ini
184

ingin mengetahui pandangan dunia suatu masyarakat tertentu, sehingga kita dapat
memahami berbagai fenomena tindakan sosial yang terjadi di dalam masyarakat
tersebut. Tentu saja, pendekatan positivisme khas ilmu-ilmu alam dapat membantu
untuk mencapai proses tersebut. Akan tetapi, pretensi mencapai obyektivitas dengan
menggunakan metode ilmu-ilmu alam tersebut tampak tidak pada tempatnya, karena
ilmu-ilmu sosial tidaklah berfokus pada kalkulasi obyektivitas, melainkan
pemahaman akan makna dari realitas sosial yang akan diteliti. Pemahaman akan
makna tersebut tidaklah dapat dicapai dengan menggunakan metode ilmu-ilmu
alam, melainkan dengan menggunakan paradigma hermeneutika komunikatif, yang
menempatkan realitas sosial sebagai subyek yang setara dengan peneliti. Empati
menjadi sangat perlu di dalam proses ini. Dengan kata lain, peneliti sosial tidak bisa
terus menerus mengambil perspektif pengamat, tetapi juga harus mengambil
perspektif partisipan guna memahami teks sosial yang ditelitinya. Pemahaman akan
makna di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial tidak dihasilkan melalui kalkulasi subyek
peneliti terhadap obyek realitas sosial, melainkan melalui proses komunikasi yang
bertujuan untuk mencapai kesalingpemahaman di antara keduanya. Atas dasar inilah
maka positivisme di dalam ilmu-ilmu sosial tidak akan pernah mencapai
obyektivitas. Kesimpulannya, metode pendekatan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
sosial sebenarnya dapat saling melengkapi tanpa salah satu mendominasi yang
lainnya, karena keduanya memiliki satu tujuan yang sama, yakni memahami
manusia dan dunianya.

185

Bab
6
Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai (values)
6.1 Permasalahannya
Problematika tentang penilaian moral di dalam konteks ilmu pengetahuan
serta berbagai perdebatan etis di dalamnya adalah salah satu problem yang paling
ramai didiskusikan di kalangan filsuf ilmu pengetahuan dan ilmuwan itu sendiri.
Diskusi-diskusi kontemporer tentang keterkaitan antara politik dan teknologi,
tentang rekayasa genetik, kontrol perilaku, keamanan penggunaan tenaga nuklir
sebagai pembangkit tenaga, eksperimen dengan menggunakan manusia, penipuan
dan manipulasi di dalam penelitian, etika di dalam bidang medis, serta kontroversi
seputar legitimasi penggunaan tes IQ sebagai tolok ukur adalah contoh-contohnya.
Persoalan dasarnya sebenarnya sudah lama terbuka, yakni pada kontroversi antara
Galileo dan Gereja Katolik Roma tentang tata surya, atau kontroversi antara teori
evolusi Darwin dan para pengkritiknya.41
Lepas dari semua kontroversi itu, ada beberapa isu fundamental yang kiranya pusat
perdebatan dan refleksi filsafat ilmu pengetahuan.
Pertama, dapatkah, atau haruskah, ilmu pengetahuan itu bersifat netral dan bebas
nilai? Apa yang dimaksud dengan bebas nilai ataupun netral dalam konteks tersebut?
Nilai macam apakah yang dimaksud di sini? Misalnya, tidak semua nilai adalah nilai
moral, sehingga ilmu pengetahuan sampai batas tertentu dapatlah bebas dari nilai
moral, tetapi tidak bebas dari nilai dalam arti nilai lainnya. Seperti akan kita lihat,
pertanyaan yang menjadi pergulatan adalah apakah ilmu pengetahuan dapat
sungguh-sungguh netral dari nilai-nilai moral.
Kedua, jika ilmu pengetahuan memang bebas nilai, baik dalam arti nilai moral
ataupun arti yang lebih luas lainnya, apa implikasinya bagi konsepsi kita tentang
pengetahuan, nilai-nilai, dan ilmu pengetahuan lainnya, serta bagi pandangan kita
tentang alam dan tujuan dari ilmu penegetahuan, serta implikasi etis dari teknologi
dan ilmu pengetahuan itu sendiri? Dan sebaliknya, jika ilmu pengetahuan tidak
bebas nilai, apa impliasinya bagi kehidupan kita?
Ketiga, konsepsi macam apakah yang paling memadai untuk menjelaskan relasi
antara pengetahuan, nilai-nilai, baik moral ataupun nilai lainnya, dan ilmu
pengetahuan? Pada titik ini, kita harus menengok kembali berbagai konsep dasar
yang direfleksikan di dalam filsafat ilmu pengetahuan, seperti obyektifitas,
41

Lihat, Robert Hollinger, Introduction: Science and Values, Introductory Reading di dalam Philosophy of
Science, New York, Prometheus Books, 1998, hal. 481.

186

rasionalitas, subyektifitas, ilmu pengetahuan terapan dan ilmu pengetahuan murni,


dan sebagainya. Salah satu pertanyaan mendasarnya adalah, dapatkah kita menerima
suatu bentuk ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan nilai,
baik itu nilai moral ataupun bukan nilai moral?
Banyak jawaban yang diajukan oleh para filsuf ilmu pengetahuan tentang hal
ini. Seringkali pula, jawaban-jawaban tentang apa arti ilmu pengetahuan, nilai, dan
kaitan antara keduanya, saling berkonflik dan mengkritik satu sama lain. Untuk
memberikan sedikit kontribusi di dalam perdebatan tersebut, saya akan memulai
dengan sebuah pertanyaan, mengapa kita perlu mempermasalahkan relasi antara
ilmu pengetahuan dan nilai? Sekilas, pertanyaan ini memang tampak bersifat
retorikal. Akan tetapi, secara lugas, pertanyaan ini langsung mengena pada inti
perdebatan, yakni tentang relasi antara ilmu pengetahuan (dan pengetahuan secara
umum) dan nilai-nilai yang bentuknya dapat ditemukan di dalam sains modern dan
filsafat.
6.2 Mengapa Kita Harus Membicarakan tentang Problematika Relasi
antara Ilmu Pengetahuan dan Nilai-Nilai?
Problem ini muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern
dan filsafat, terutama pada masa-masa revolusi saintifik pada abad ke-17. Untuk
sungguh memahami akar-akar penyebab dan bagaimana hal ini bisa terjadi, ada
baiknya kita sejenak melihat berbagai bentuk pemikiran di dalam filsafat Yunani
Kuno, yang membentuk peradaban Barat seperti sekarang ini, terutama tentang
problematika relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Setelah itu, kita dapat
melanjutkan untuk melihat perkembangan problem tersebut pasca revolusi saintifik
yang dimulai setelah abad ke-17.
Bagi para filsuf Yunani Kuno, tidak ada pembedaan antara ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai, antara ilmu pengetahuan dan filsafat, antara yang subyektif dan
obyektif, dan antara refleksi yang faktual dan normatif tentang dunia yang di
dalamnya sudah terkandung tatanan tertentu, keindahan, telos, dan bahkan
kebaikan.42 Bagi mereka, apa yang alami adalah apa yang baik. Pandangan dunia
Yunani kuno tentang dunia dapat dilihat paling jelas di dalam tulisan Plato yang
berjudul The Republic, terutama buku iv-vii. Bagi Plato, apa yang disebut realitas
obyektif sebenarnya dapat disamakan dengan yang baik itu sendiri. Dengan kata
lain, realitas tersusun secara teratur, memiliki pola yang jelas, dan utuh sebagai
keseluruhan, sama seperti yang baik itu sendiri. Untuk memahami pengalaman yang
kita miliki atas realitas yang teratur itu, kita harus memiliki pengetahuan tentang
hukum-hukum serta struktur-struktur yang mengatur segala-galanya, dan yang
kemudian menata, mengatur, menyatukan, dan memberikan tujuan yang bermakna
42

Lihat, ibid, hal. 483.

187

bagi keseluruhan realitas. Menurut Plato, pengetahuan itu disebutnya sebagai


dialektika , yakni sesuatu yang lebih luas daripada sekedar pengetahuan saintifik,
seperti yang banyak kita pahami sekarang ini. Ia juga berpendapat bahwa ilmu-ilmu
empiris hanyalah memberikan kita sedikit pengetahuan tentang realitas. Lebih
spesifik lagi, ilmu-ilmu empiris hanya mampu menerangkan bagian kecil dari
pengalaman, dan juga sebagian kecil dari realitas, yakni realitas yang dapat diketahui
dengan panca indera saja, seperti batu, pohon, dan sebagainya. Pengetahuan empiris
semacam itu haruslah ditambahkan dengan pengetahuan tentang prinsip-prinsip
dasar dari realitas yang menata segala-galanya. Nah, menurut Plato, konsep yang
paling mendasar adalah sekaligus juga merupakan konsep yang paling abstrak, yakni
konsep yang tidak bisa didapatkan dari pengalaman sehari-hari. Disadari atau tidak,
ilmu pengetahuan teoritis modern, seperti fisika kuantum, teori atom, genetika,
kimia, justru mengidealkan konsepsi Plato ini. Pengetahuan manusia tidak akan
mampu sampai pada tahap yang paling murni dan obyektif sampai seluruh realitas
dapat ditangkap dan dijelaskan di dalam sebuah kesatuan yang menyeluruh dengan
telos dan kerangka yang jelas. Nah, ilmu pengetahuan saintifik tidak dapat
memberikan kita pengetahuan yang menyeluruh semacam itu, karena masih
berpusat pada penelitian-penelitian empiris dan belum merefleksikan hukum-hukum
abstrak yang menggerakkan realitas.
Salah satu ciri dari ilmu pengetahuan dan filsafat modern adalah penolakan terhadap
konsepsi Plato tentang pengetahuan yang menyeluruh dan universal ini, serta
penolakan konsep bahwa segala sesuatu di dalam realitas ini terarah pada yang baik.
6.3 Hakekat dan Genesis Permasalahan
Perdebatan tentang status bebas nilai di dalam ilmu pengetahuan sebenarnya
muncul sejalan dengan berkembangnya pandangan Newtonian tentang realitas yang
bersifat mekanistik, dan revolusi metodologi dan epistemologi di dalam filsafat
dengan Descartes sebagai pelopornya. Menurut Descartes, kita harus membedakan
secara tegas apa yang subyektif dan apa yang obyektif, supaya kita dapat sampai pada
pengetahuan tentang dunia yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
menggunakan metode yang juga dapat dipertanggungjawabkan. Pada masa itu,
paradigma kosmologis yang dominan adalah paradigma Newtonian, di mana dunia
dipandang sebagai suatu mesin yang diatur oleh hukum-hukum alam yang bersifat
mekanis, bahwa alam juga dapat diformulasikan sepenuhnya dengan bahasa
matematika. Dari paradigma semacam ini, para ilmuwan berniat merumuskan suatu
metodologi yang rasional yang hanya mempertimbangkan aspek-aspek yang mekanis
dan matematis ini. John Locke juga pernah berpendapat bahwa obyek kajian ilmu
pengetahuan yang sahih adalah apa yang disebutnya sebagai kualitas primer. Segala
sesuatu yang dikategorikannya sebagai kualitas sekunder, seperti warna, nilai-nilai,
penafsiran, tujuan, dan teori, tidak mendapatkan tempat di dalam kegiatan ilmu
pengetahuan. Kualitas sekunder semacam itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang
188

obyektif. Kecuali kualitas sekunder tersebut dapat direduksi ke dalam term-term


obyektif, kualitas itu tidak pernah dapat menjadi obyek penyelidikan ilmu
pengetahuan.
Dalam konteks ini, konsep obyektifitas bisa berarti dua hal.
Yang pertama adalah obyektifitas sebagai kualitas primer di dalam substansi obyek.
Yang kedua adalah obyektifitas sebagai suatu proses untuk sampai pada pengetahuan
obyektif dengan menggunakan metodologi yang pada dirinya sendiri telah
menyingkirkan segala sesuatu yang bersifat subyektif, yakni metodologi yang bebas
dari bias-bias subyektif.
6.4 Kritik terhadap Paradigma Obyektifisme
Pertama-tama, ada baiknya saya mengutip salah satu pernyataan
kontroversial yang dirumuskan Woody Allen di dalam bukunya yang berjudul Love
and Death, apa yang obyektif adalah subyektif, dan apa yang subyektif adalah
obyektif.43 Pada hemat saya, tesis terakhir, bahwa yang subyektif adalah obyektif,
memiliki tingkat kebenaran tertentu. Misalnya, pernyataan bahwa saya ini sakit sama
obyektifnya dengan fakta bahwa berat badan saya adalah 70 kg.
Kedua, pertimbangan kritis terhadap konsep obyektifitas juga dapat
ditemukan di dalam argumen bahwa apa yang disebut pengetahuan obyektif itu tidak
lain dan tidak bukan adalah sebuah rekonstruksi rasional atas apa yang subyektif.
Rekonstruksi rasional itu juga melibatkan pengalaman kolektif para individu
subyektif, yakni pengalaman yang melibatkan. Nah, epistemologi filsafat modern
kurang lebih berakar pada argumen ini.
Ketiga, seperti yang dikatakan oleh M. Polanyi, jika yang kita, sebagai
manusia inginkan hanyalah kebenaran-kebenaran obyektif, kita hanya akan
mendedikasikan seluruh daya yang kita miliki untuk menyelidiki benda-benda
angkasa yang ada di dalam alam semesta, dan sama sekali tidak akan menyibukkan
diri dengan seni, agama, sastra, ataupun kebudayaan. Realitasnya, kita tidak hanya
mencari kebenaran-kebenaran obyektif, tetapi juga kebenaran-kebenaran lainnya
yang menarik perhatian kita, yang memiliki makna dan berguna bagi kita. Dengan
kata lain, semua bentuk pengetahuan, obyektifitas, dan kebenaran selalu berakar
pada nilai-nilai dan tujuan manusia.
Keempat, tidak hanya pengetahuan, metode di dalam ilmu pengetahuan pun
selalu didasarkan pada nilai-nilai, dan beberapa aspek di antara nilai-nilai tersebut
adalah nilai-nilai ideal moral. Nilai tidak pernah bisa lepas di dalam pencarian
pengetahuan, dan dapat pula dikatakan, bahwa penilaian antara klaim pengetahuan
yang memadai dan tidak, antara metode yang tepat dan tidak tepat, juga sebagian
merupakan suatu penilaian normatif. Ide tentang konsep ilmu pengetahuan yang
43

Lihat, ibid, hal. 484.

189

cukup diri, demikian tulis Bukharin, salah seorang filsuf ilmu pengetahuan yang
cukup banyak diacu pendapatnya, adalah sesuatu yang naif; ide tersebut
menggabungkan secara tidak tepat nafsu-nafsu subyektif dari seorang ilmuwan
professional dengan peran obyektif sosial dari aktivitas ilmiah sebagai aktifitas
yang memiliki arti penting yang signifikan..44
6.5 Implikasi Obyektifisme
Lepas dari berbagai kritik yang telah saya rumuskan di atas, pembedaan tegas
antara apa yang subyektif dan apa yang obyektif dalam kaitannya dengan metode
ilmu pengetahuan dan substansi ilmu pengetahuan tersebut tetaplah mendominasi
paradigma ilmu pengetahuan dan filsafat modern mulai dari Galileo, Descartes, dan
bahkan sampai sekarang. Ide tentang kebebasan nilai di dalam ilmu pengetahuan,
tentang penggunaan analisis untung rugi untuk sampai pada keputusan final di
dalam politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi, tentang penggunaan
pengetahuan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik, seperti kontrol perilaku
misalnya, merupakan ide-ide yang tumbuh dari paradigma yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh tersebut. Begitu juga dengan pandangan bahwa metode saintifik
haruslah metode yang rasional untuk menyelesaikan masalah-masalah, sementara
kriteria penilaian di bidang lain, moral misalnya, hanya digunakan untuk membantu
membuat keputusan-keputusan pada situasi yang tidak pasti. Hampir semua pemikir
positivis mengadopsi konsepsi-konsepsi ini sebagai pengandaian dasar mereka, yakni
bahwa nilai-nilai, sejauh dalam konteks ilmu pengetahuan, hanya bersifat subyektif
secara esensial, sekaligus irasional.
Akan tetapi, pada hemat saya, pandangan semacam ini tidaklah memadai,
terutama untuk menyoroti secara bermakna dan tepat relasi antara ilmu
pengetahuan di satu sisi, dan nilai-nilai di sisi lain. Saya sendiri berpikir bahwa tidak
ada orang yang tidak setuju dengan pembedaan antara ilmu pengetahuan palsu dan
ilmu pengetahuan otentik dengan kriteria yang bisa diterima secara rasional.45 Tentu
saja, kriteria yang digunakan untuk menganalisis ilmu pengetahuan haruslah
dibedakan dengan kriteria yang digunakan untuk menganalisis suatu pernyataan
moral ataupun tindakan moral tertentu.
6.6 Sekitar Obyektivisme
Obyektivisme, selain di dalam ilmu pengetahuan, juga memberikan pengaruh
di dalam refleksi filsafat moral, yakni dalam bentuk upaya untuk merumuskan etika
dalam bahasa-bahasa saintifik, atau merumuskan kriteria penilaian moral dengan
rigorisitas yang sama seperti pada ilmu pengetahuan. Upaya yang terakhir ini
biasanya bermuara pada nihilisme ataupun relativisme etis yang ekstrem, yakni
bahwa kita hanya dapat menjelaskan perilaku etis dalam term-term saintifik yang
44
45

Ibid, hal. 485.


Lihat bab 1 buku ini.

190

bersifat obyektif. Di luar itu, kriteria penilaian dianggap tidak sah. Dari sudut
pandang ini, konsep otonomi individu sebagai prasyarat bagi tindakan etis tidak lagi
berlaku. Etika yang menggunakan fondasi saintifik sebagai bangunan argumen akan
bermuara pada apa yang disebut Hollinger sebagai etika positif (positive ethics).
Dengan kata lain, obyektivisme di dalam etika akan bermuara menjadi etika positif.
Etika positif memiliki pengandaian dasar bahwa nilai-nilai moral dapatlah bersifat
netral. Hal ini paling jelas dapat ditemukan di dalam ilmu politik dan ekonomi yang
masih kental dipengaruhi obyektifisme.46
Di samping itu, etika positif ini sangatlah dipengaruhi oleh suatu pandangan
yang hendak mendamaikan ilmu pengetahuan obyektif di satu sisi, dan moralitas
subyektif di sisi lain. Caranya adalah dengan membuat sebuah batas teoritis tegas di
dalam ilmu pengetahuan untuk memberikan tempat bagi kebebasan dan kapasitas
moral manusia. Dari sudut pandang ini, ilmu pengetahuan dan moralitas tidaklah
dapat saling berkonflik satu sama lain, melainkan saling mengandaikan tanpa saling
bertumbuk satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan moralitas mengatur dua dunia
yang berbeda. Yang pertama melihat manusia sebagai obyek. Sementara, yang kedua
melihat manusia sebagai aktor yang memiliki kualitas kreatif. Akan tetapi, pada
hemat saya, harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi dari pandangan ini adalah
bahwa ilmu pengetahuan, baik secara deskriptif ataupun normatif, haruslah bebas
nilai, dan bahwa penilaian moral hanyalah bersifat subyektif dan irasional.
Yang juga berkaitan dengan pandangan ini adalah bahwa justifikasi rasional di
dalam ilmu pengetahuan secara esensial bersifat deduktif. Artinya, prinsip-prinsip
yang paling dasar dari suatu sistem moral, dari suatu teori saintifik, ataupun dari
sistem formal pengetahuan, seperti pada geometri, atau dari data-data kasar yang
dapat diobservasi, selalu berada di luar dan melampaui perdebatan-perdebatan
rasional (rational dispute) tentangnya. Semua bentuk klaim ilmiah di dalam bidangbidang itu haruslah diterima sebagai sesuatu yang sudah terbukti pada dirinya
sendiri (self evident), baru kemudian dicari pembuktian dan justifikasinya di dalam
sistem. Apa yang paling dasariah ataupun yang paling mendasar dari semua bentuk
klaim ilmiah tersebut haruslah diterima sebagai sesuatu yang tidak lagi dibantah dan
diperdebatkan (taken for granted). Nah, relativisme adalah pandangan yang
menyatakan bahwa fondasi dasariah dari setiap klaim-klaim pengetahuan di dalam
dunia kehidupan manusia saling berbeda satu sama lain, dan tidak bisa ditarik suatu
kriteria ataupun kesimpulan universal atasnya. Ketika seorang ilmuwan berhadapan
langsung dengan fondasi dasariah dari klaim-klaim ini, tidak ada yang bisa ia
lakukan, kecuali menerima atau menolaknya. Jika ilmuwan tersebut menerima
klaim-klaim dasariah ilmiah tersebut, ia harus dapat menunjukkan bahwa klaim
yang disetujuinya memiliki dasar-dasar yang rasional. Akan tetapi, jika ilmuwan
tersebut menolak suatu klaim, ia bebas untuk mengadopsi klaim pondasional
46

Lihat, ibid, hal. 486.

191

dasariah lainnya. Pada waktu yang sama, demikian tulis Hollinger, upaya
menemukan prinsip-prinsip rasional, atau membuat keputusan rasional di dalam
suatu sistem hanyalah menjadi masalah menemukan cara yang terbaik untuk
memaksimalkan prinsip terdalam atau tujuan terjauh yang telah dipostulatkan oleh
sistem itu.47
Seluruh pandangan ini merupakan bagian dari pandangan yang menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan merupakan suatu sistem yang bebas nilai, di mana setiap penilaian
adalah suatu penilaian obyektif yang dibedakan dari penilaian moralitas yang
dianggap subyektif. Dari sudut pandang ini, setiap penilaian moral adalah sesuatu
yang relatif dan tidak rasional yang sangat tergantung dari kebudayaan dan cara
pandang suatu masyarakat tertentu. Ini adalah salah satu contoh pandangan tentang
obyektifitas yang sangat kental pada awal-awal filsafat modern dan perkembangan
sains modern. Di dalam pandangan ini, moralitas adalah suatu reaksi subyektif
terhadap fakta-fakta obyektif yang tidak dapat disamakan dengan pandangan dunia
obyektif saintifik tentang dunia.
Pada hemat saya, di balik semua argumen ini, ada satu pengandaian yang
sebenarnya sangat problematis, yakni bahwa moralitas yang sudah ada dan berakar
pada suatu tempat tertentu tidak dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu
dan kesadaran orang-orang yang tinggal di dalamnya. Moralitas adalah sesuatu yang
melulu subyektif dan irasional, serta tidak dapat didasarkan pada argumentasi
rasional yang memadai.
Kedua, setiap penilaian haruslah didasarkan pada perhitungan saintifik
untung rugi yang obyektif (objective cost-benefit view) demi mencapai hasil yang
maksimal. Kemudian, pandangan yang berpendapat bahwa kriteria untung rugi
adalah satu-satunya yang memadai untuk mencapai hasil yang maksimal juga telah
memberikan pembenaran bagi pandangan yang menyatakan netralitas ilmu
pengetahuan. Tujuan suatu penilaian, baik penilaian moral ataupun tidak, selalu
sedapat mungkin ditentukan secara saintifik. Akan tetapi, tujuan suatu penilaian juga
telah dipengaruhi oleh klaim-klaim dasariah dari suatu sistem masyarakat tertentu.
Pada titik ini, saya berani berpendapat bahwa obyektivisme pada dirinya sendiri
tidaklah bebas nilai.48
6.7 Perkembangan Terakhir
Dewasa ini, berbagai perkembangan telah memberikan warna baru bagi
pemahaman orang akan ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan rasionalitas di dalam
sains. Berbagai perkembangan ini tidak lepas dari karya-karya para pemikir
feminisme, postmodernisme, dan para filsuf ilmu pengetahuan yang menelusuri
47

Ibid, hal. 487.

192

konteks sosial maupun filosofis dari ilmu pengetahuan modern. Analisis


kontemporer ini biasanya semakin berupaya melepaskan diri pemahaman obyektifis
tentang kaitan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Akan tetapi, karya-karya para
pemikir kontemporer ini memiliki dampak yang lebih luas lagi. Mereka seolah-olah
memberikan pemahaman baru tentang berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan
relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, serta memberikan argumen-argumen
yang memadai tentang proses pembentukan ilmu pengetahuan dan justifikasi atas
ilmu pengetahuan tersebut. Tentu saja, mereka pun mendapatkan tanggapan dari
berbagai penjuru, terutama dari kalangan ilmuwan dan filsuf ilmu pengetahuan yang
menganut pandangan yang lebih konservatif. Apa yang disebut sebagai perang sains
(science wars) pun tidak terelakkan lagi. Para pemikir kontemporer di dalam ilmu
pengetahuan pun seringkali dianggap sebagai kelompok anti sains (antiscience) oleh
para pemikir yang ortodoks dan konservatif, terutama dengan tuduhan bahwa
mereka mengaburkan batas-batas antara ilmu pengetahuan dan yang bukan ilmu
pengetahuan, serta merayakan irasionalitas dan klaim-klaim pengetahuan lokal di
dalam suku ataupun gender tertentu, baik di level masyarakat, maupun di dalam
hakekat ilmu pengetahuan modern itu sendiri. Para pemikir kontemporer ini juga
mempunyai argumentasi yang, pada hemat saya, cukup memadai. Mereka
menekankan pentingnya analisis lebih mendalam tentang konteks dari dirumuskan
suatu klaim ilmiah di dalam ilmu pengetahuan itu sendiri. Tentu saja, hal ini akan
memberikan dampak positif terhadap kesadaran dan pemahaman orang akan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dan setiap hal yang positif selalu layak untuk
diperjuangkan.
Saya tidak akan menjabarkan secara mendetil isu-isu tentang relasi antara
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai di sini. Akan jauh lebih membantu, jika saya
memberikan semacam ringkasan tentang argumen-argumen utama dari para pemikir
feminis, postmodernis, dan para sosiolog ilmu pengetahuan dengan penekanan pada
kontroversi seputar relasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.
Yang pertama adalah para pemikir feminisme. Banyak pemikir feminis, terutama
para para ahli yang menekuni salah satu bentuk ilmu tertentu, telah mengklaim
bahwa pengandaian-pengandaian dasar, metode, dan kerangka kerja di dalam ilmu
pengetahuan, seperti pada kedokteran, biologi, dan psikologi, bias gender. Misalnya,
ketika dokter pria memberikan keterangan-keterangan tentang premenstrual
syndrom, tetapi ia sendiri tidak pernah secara khusus menyelidiki wanita, atau
melihat wanita melulu dengan sudut pandang bias dari pria, atau ketika seorang
psikolog pria menggeneralisasikan penelitiannya tentang tahap-tahap perkembangan
moral manusia setelah melakukan penelitian dengan hanya menggunakan data-data
yang berasal dari pria. Apakah ada sesuatu yang salah di dalam ilmu pengetahuan,
sehingga kerangka kerjanya, pengandaian-pengandaian dasarnya, dan metode yang
48

Lihat, ibid.

193

digunakan menghasilkan kesimpulan penelitian yang bias seperti itu? Pertanyaannya


kemudian menjadi jelas, apakah ada cara dan proses mengetahui yang khusus wanita
yang telah diabaikan oleh ilmu pengetahuan modern? Di dalam beberapa argumen,
ilmu pengetahuan barat dituduh bias gender, terutama dengan kecenderungannya
untuk mendominasi, mengontrol, dan menggunakan alam demi kepentingan
manusia. Karakter ini juga menandai karakter kebudayaan barat pada umumnya
yang sangat bersifat dominan dan eksploitatif terhadap budaya-budaya lainnya. Di
dalam filsafat ilmu pengetahuan, isu-isu semacam ini sudah banyak menjadi bahan
refleksi dan perdebatan yang serius di kalangan para ahli. Di dalam berbagai
karyanya, Giere, salah seorang pemikir feminis, secara tajam menyoroti bias gender
ini di dalam konteks kesahihan metode ilmu pengetahuan.49
Yang kedua adalah sosiologi ilmu pengetahuan, yakni sebuah displin yang
berkembang pada abad ke sembilan belas sejalan dengan perkembangan positivisme.
Salah satu filsuf ilmu pengetahuan yang banyak berefleksi di dalam bidang ini adalah
Thomas Kuhn. Di dalam perkembangannya, sosiologi ilmu pengetahuan, bersama
dengan psikologi ilmu pengetahuan, berkembang menjadi banyak cabang, dan
merefleksikan banyak sekali isu-isu yang ada di dalam ilmu pengetahuan. Salah satu
tema perdebatan adalah, apakah realisme di dalam ilmu pengetahuan, yang
berpendapat bahwa alam memiliki status ontologisnya sendiri yang terlepas dari
manusia, dapat dipertahankan, jika ilmu pengetahuan melulu dipandang sebagai
praktek sosial? Apakah perbedaan mendasar antara ilmu pengetahuan dengan
mistik? Apakah manusia yang menciptakan dunia dalam persepsinya, dan dunia
tersebut kemudian menjadi obyek analisis para ilmuwan? Bagaimana nilai-nilai, baik
sosial maupun personal, yang mungkin sekali tidak selalu rasional, termasuk di
dalamnya adalah keinginan untuk mendapatkan ketenaran dan kekuasaan,
mempengaruhi aktivitas seorang ilmuwan di dalam laboratorium, dan bagaimana
nilai-nilai ini mempengaruhi cara ilmuwan menceritakan kembali apa yang ia teliti,
dan menteorikan hasil penelitiannya tersebut? Jika ilmu pengetahuan adalah sebuah
praktek sosial, sama seperti tindakan-tindakan lainnya, di mana aspek-aspek
subyektif manusia berperan serta, lalu apa yang membuat ilmu pengetahuan begitu
istimewa, terutama jika dibandingkan dengan permainan misalnya? Apa ada kriteria
penilaian rasional yang cukup memadai bagi ilmu pengetahuan? Apakah konsep
memadai, rasional, gagal, dan irasional adalah suatu konsep obyektif, atau hanya
subyektif yang seringkali bersifat psikologistis? Apakah ada bentuk obyektifisme
lainnya, di mana apa yang baik dan apa yang tidak baik melulu ditentukan oleh
standar-standar sosial masyarakat tertentu? Sekarang ini telah muncul suatu
lembaga studi yang disebut sebagai Science and Technology Studies.50 Lembaga ini
mau menyelidiki dan merefleksikan pertanyaan-pertanyaan yang saya jabarkan
diatas.
49
50

Lihat, ibid, hal. 488.


Lihat, ibid, hal. 489.

194

Yang ketiga, adalah para pemikir postmodernisme. Postmodernisme bukan


hanya berkembang di dalam filsafat, melainkan lebih merupakan sebuah fenomena
umum yang dapat dilihat dampaknya di seluruh aspek masyarakat. Walaupun begitu,
para ahli sendiri masih berdebat tentang apa tepatnya yang dimaksud dengan istilah
itu sendiri, ataupun, jika ada, inti argumennya. Nah, dalam kerangka filsafat ilmu
pengetahuan, postmodernisme mempertanyakan validitas konsep kebenaran,
pengetahuan, realitas, obyektifitas, rasionalitas, dan kemajuan yang menjadi dasar
yang tidak lagi dipertanyakan di dalam peradaban barat dewasa, yang menjadi
tempat kelahiran ilmu pengetahuan modern, sekarang ini. Pelbagai distingsi, seperti
antara fakta dan fiksi, antara pengetahuan dan kekuasaan, antara penafsiran dan
realitas, telah ditantang sedemikian rupa, baik secara epistemologis, etis, maupun
politis. Beberapa pemikir postmodernisme bahkan berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan adalah suatu bentuk konstruksi sosial yang tidak ada bedanya dengan
cerita-cerita, novel, ataupun dongeng. Hal ini banyak dikenal sebagai peleburan
berbagi genre (blurring of the genres) di dalam masyarakat. Misalnya, mereka
menganggap bahwa fisika dan sejarah hanya dua tipe yang berbeda dari teks ataupun
bentuk tulisan tertentu. Hanyalah waktu yang bisa menunjukkan kesimpulan dari
perdebatan yang terjadi, dan konsekuensinya bagi kehidupan manusia.
Di samping itu, para pemikir postmodernisme juga mempertanyakan kembali
konsep realitas, kebenaran, makna, dan bahkan konsep dunia. Konsep-konsep
semacam ini, menurut mereka, masihlah problematis. Konsep-konsep ini merupakan
suatu bentuk konstruksi sosial yang dibentuk oleh para penguasa, seperti orang kulit
putih, orang-orang Eropa, yang kemudian digeneralisasikan, sehingga dianggap
berlaku untuk semua orang. Para penguasa juga menggunakan konsep-konsep
tersebut untuk menghancurkan semua ide yang dianggap bertentangan dengan
konsep mereka tentang realitas obyektif dan kebenaran. Jika kedua konsep dasar ini
ditantang secara teoritis, seluruh kemungkinan yang muncul akibat perkembangan
ilmu pengetahuan juga ditantang, baik secara etis maupun secara epistemologis.
Argumentasi lainnya menyoroti relasi antara ilmu pengetahuan dengan
kecenderungan dominasi kaum pria serta Eropasentrisme. Konsekuensinya jelas,
bahwa ilmu pengetahuan hanyalah suatu cerita di antara begitu banyak cerita
lainnya, dan tidak bisa ditentukan mana cerita yang lebih baik atau lebih benar. Jika
ada pihak-pihak yang hendak memberikan privelese tertentu terhadap ilmu
pengetahuan dengan rasionalitas serta argumentasinya, itu sebenarnya hanya demi
mencapai tujuan-tujuan politik tertentu. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
tidaklah lagi bebas nilai, terutama karena penerapannya selalu diukur dengan sejauh
mana ilmu pengetahuan tersebut mampu mencapai kekuasaan ataupun kekayaan
tertentu. Ilmu pengetahuan juga telah menjadi komoditi ekonomi, di mana tolok
ukur satu-satunya adalah keuntungan yang seringkali lepas dari kemanusiaan yang
seharusnya menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan itu. Secara umum inilah
argumentasi utama para pemikir postmodernisme di dalam memandang relasi

195

antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai di luarnya.


Memang, para pemikir postmodernisme memiliki argumen-argumen yang lebih
radikal, jika dibandingkan dengan para pemikir anti realisme, maupun para pemikir
relativis. Salah satu sebabnya adalah, karena para pemikir postmodernisme tersebut
banyak mendapatkan inspirasi dari pemikiran Nietzsche, terutama dari
pandangannya yang menyatakan bahwa seluruh alam semesta ini adalah kekacauan
yang tidak bermakna.51 Alam semesta adalah entitas yang tidak teratur dan tidak
bermakna. Manusialah yang memberikan makna dan tujuan kepada alam semesta
dengan tujuan survivalnya, keselamatan dan pengembangan budayanya, atau
apapun. Lebih dari itu, para pemikir postmodernisme bahkan lebih skeptis daripada
Nietzsche sendiri, terutama karena mereka berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
modern didasarkan pada rasisme, eropasentrisme, bias gender, dan dominasi kaum
pria. Privelese yang diberikan oleh masyarakat modern terhadap ilmu pengetahuan,
sehingga statusnya dianggap lebih tinggi daripada mitos ataupun yang lainnya, juga
sebenarnya bentuk dominasi dari kelas penguasa saja untuk mempertahankan
kekuasaan mereka. Dalam arti khusus, para pemikir postmodernisme juga
meradikalkan argumentasi relativisme dan anti realisme di dalam filsafat ilmu
modern yang bisa kita temukan jejak-jejaknya di dalam tulisan-tulisan Kuhn,
Feyerabend, maupun kaum feminis radikal. Lepas dari itu, pada hemat saya,
argumentasi para pemikir postmodernisme ini sangatlah ekstrem dan memiliki
potensi merusak yang luar biasa besar, terutama dalam konteks ilmu pengetahuan
modern yang sekarang ini telah banyak mengubah hidup manusia. Apakah refleksi
mereka masih layak dipelajari dan diperdalam adalah suatu pertanyaan yang masih
harus dipikirkan lebih jauh jawabannya.

51

Lihat, ibid, hal. 490.

196

Bab
7
Filsafat Ilmu-Ilmu Sosial
Sampai Bab ini, kita sudah bersama-sama melihat bahwa perbedaan antara
ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu terapan, dan ilmu-ilmu murni ternyata
tidaklah sejelas yang kita kira sebelumnya. Banyak ahli filsafat ilmu, seperti Kuhn,
Mayr, dan Ben-David, yang berpendapat serupa, yakni bahwa perbedaan antara
berbagai jenis ilmu pengetahuan tersebut tidaklah seakurat seperti apa yang kita
asumsikan sebelumnya.52 Akan tetapi, fakta bahwa perbedaan diantara pelbagai ilmu
itu tipis tidak berarti tidak diperlukan lagi suatu pembedaan. Argumen saya di dalam
Bab ini adalah bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki kapasitas teoritis yang memadai dan
tujuan yang sama seperti layaknya ilmu-ilmu alam, yakni untuk memahami dunia.
Dalam konteks ini, ilmu-ilmu sosial haruslah dibagi menjadi dua, yakni antara
penelitian sosial (social research) yang bertujuan untuk mendapatkan data-data
yang akurat berkaitan dengan masyarakat di satu sisi, dan ilmu-ilmu sosial terapan
(applied social sciences) yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah
praktis dalam konteks hidup bermasyarakat.
Ilmu sosial sebagai penelitian sosial (social research) muncul di dalam proses
berkembanganya negara-negara demokrasi modern (modern states). Dewasa ini
tidak bisa lagi diragukan, bahwa setiap pemerintah di dunia ini membutuhkan
informasi-informasi yang disediakan oleh para ilmuwan sosial mulai dari data-data
demografis sampai data jumlah pengangguran di dalam suatu negara, data tentang
keseimbangan perdagangan, tingkat inflasi, tingkat kejahatan, tingkat kesehatan, dan
tingkat kesejahteraan masyarakat. Beberapa dari informasi yang disediakan oleh
para ilmuwan sosial ini dapat diandalkan. Sementara, beberapa informasi lainnya
tidak dapat diandalkan. Dalam hal ini, tidak bisa juga diragukan bahwa yang mutlak
dibutuhkan adalah informasi-informasi yang memadai, yakni suatu penelitian sosial
dengan hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, walaupun
berkaitan dengan pengumpulan data, dan pengumpulan data kerap kali berkaitan
dengan statistik, ilmu-ilmu sosial tidak pernah dapat dan boleh direduksikan sematamata hanya sebagai penelitian sosial.
Saya sendiri berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial tidak pernah boleh
diidentikan dengan penyelidikan dengan menggunakan statistik (statistical enquiry).
Akan tetapi, banyak juga ilmuwan sosial yang berpendapat bahwa metodologi di
dalam penelitian sosial diidentikkan melulu dengan metodologi yang digunakan di
dalam ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan. Yang terakhir ini memang banyak
52

Lihat, Peter T. Manicas, History & Philosophy of Social Sciences, New York:Basil Blackwell, 1987, hal. 266.

197

dikenal sebagai para ilmuwan sosial kuantitatif yang seringkali dibedakan dengan
para ilmuwan sosial kualitatif. Pembedaan semacam ini menciptakan kebingungan
yang sangat besar di dalam ranah ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Pada bagian akhir Bab
ini, saya akan mencoba memberikan argumentasi mengenai hal ini. Secara
keseluruhan, Bab ini sebenanya mau merumuskan suatu konsepsi ilmu-ilmu sosial
yang bersifat realis (realist social science) sebagai alternatif dari paradigma yang
mendominasi di dalam ilmu-ilmu sosial. Sebelum masuk ke dalam inti argumentasi,
saya akan menjabarkan terlebih dahulu latar belakang perdebatan yang menarik
perhatian saya dalam konteks filsafat ilmu-ilmu sosial.
7.1 Perdebatan Kontemporer
Di dalam filsafat ilmu-ilmu sosial, perdebatan kontemporer terjadi berkaitan
dengan perbedaan pendapat antara para ilmuwan sosial subyektifis dan para
ilmuwan sosial obyektifis, terutama tentang relasi antara pelaku (agency) dan
struktur (structure) di dalam masyarakat. Para ilmuwan subyektifis sangatlah
dipengaruhi oleh filsafat idealisme yang melihat manusia sebagai mahluk yang
memiliki kebebasan esensial di dalam dirinya untuk membentuk dunia. Sementara,
para ilmuwan sosial obyektifis seolah-olah memutlakkan pengaruh struktur
masyarakat terhadap individu, sehingga manusia tampak tidak lagi memiliki
kebebasan di dalam dirinya. Memang, ada perbedaan yang cukup signifikan di antara
dua tipe ilmuwan sosial tersebut. Dalam konteks filsafat, tipe ilmuwan sosial
subyektifis tampak lebih berkaitan dengan aliran-aliran filsafat yang berpengaruh,
seperti fenomenologi yang dirumuskan Schutz, teori kritis dan hermeneutika yang
dirumuskan oleh Habermas, Gadamer, Ricoeur, dan Charles Taylor.53
Titik tolak pandangan subyektifis ini adalah kritik terhadap paradigma
positivisme di dalam ilmu-ilmu sosial. Salah satu argumentasi utamanya adalah
bahwa realitas sosial selalu terdiri dari pelaku-pelaku, dan untuk memahami realitas
sosial tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami makna dan motivasi dari
pelaku-pelaku yang membentuknya. Artinya, setiap orang di dalam masyarakat
memiliki tindakan yang bermakna (meaningful action) di dalam perilaku sehari-hari
mereka. Di sisi lain, para ilmuwan obyektifis mereduksikan tindakan yang bermakna
tersebut melulu pada perilaku mekanis (mechanical behaviour), sehingga realitas
sosial pun dipandang tidak lagi berbeda dengan realitas yang hendak diselidiki di
dalam ilmu-ilmu alam. Singkat kata, bagi para ilmuwan obyektifis, realitas sosial
identik dengan realitas natural yang diteliti di dalam ilmu-ilmu alam. Pada titik ini,
menurut saya, ada kesalahan epistemologis di dalam paradigma para ilmuwan
obyektifis, yakni bahwa mereka tidak pernah bertanya, bagaimana realitas sosial
terbentuk, dipertahankan, dan mengalami perubahan. Yang lebih parah lagi,
paradigma obyektifis di dalam ilmu-ilmu sosial yang menekankan pengamat yang
53

Lihat, ibid, hal. 267.

198

tidak berpihak sebenarnya tidaklah mungkin terjadi. Individu pun dipandang sebagai
individu yang tidak memiliki kebebasan dan terasing dari struktur yang
membentuknya. Dalam hal ini, tesis Talcott Parsons kiranya dapat memberi sedikit
gambaran. Baginya, masyarakat dan kebudayaan adalah suatu entitas yang otonom
yang membentuk orang-orang yang ada di dalamnya, dan bukan sebaliknya.54
Nah, dalam kosa kata teori-teori Marxis, paradigma ilmu sosial yang bersifat
obyektifis tampak tidak peka terhadap adanya dominasi dan penindasan dari
kesadaran palsu, atau ideologi yang menyelubungi ketidakberesan di dalam suatu
struktur. Menurut saya, ilmu-ilmu sosial tidak boleh pasif dan berhenti pada
deskripsi atas apa yang terjadi di dalam realitas sosial, tetapi juga menyelidiki apakah
individu-individu yang ada di dalam masyarakat memiliki pemahaman menyeluruh
tentang dunia mereka. Dan jika tidak, ilmuwan sosial juga harus bertanya, mengapa
terjadi distorsi di dalam kesadaran mereka? Tentu saja, gaya berpikir yang saya
ajukan ini sangat dekat dengan paradigma teori kritis Frankfurt. Akan tetapi, teori
kritis Frankfurt, terutama sejak Habermas, telah mengalami pembalikan
epistemologis, atau apa yang disebut sebagai pembalikan idealis (idealist turn).
Mereka menjadi lebih berfokus pada etika diskursus dalam konteks hermeneutika,
sambil tetap memberikan tempat pada kemungkinan kritik atas kesadaran palsu.
Teori kritis menjadi lebih kritis terhadap semua bentuk posisi epistemologis yang
mengklaim kebebasan nilai di dalam penelitiannya, dan tetap berupaya mewujudkan
cita-cita emansipasinya, walaupun dengan jalan yang lebih liberal. Saya sendiri
berpendapat bahwa teori kritis membutuhkan paradigma ilmu-ilmu sosial realis
untuk melengkapi amunisi epistemologis mereka.
Di samping perbedaan pendapat antara paradigma ilmu sosial subyektifis dan
obyektifis, para ilmuwan sosial juga berbeda pendapat tentang relasi antara pelaku
dan struktur di dalam masyarakat. Perdebatan ini erat terkait dengan para pemikir
strukturalisme Perancis. Saya berpendapat bahwa strukturalisme sendiri lahir
sebagai sebuah tanggapan terhadap paradigma ilmu-ilmu sosial yang cenderung
voluntaristik, yakni mempostulatkan dan memutlakkan kebebasan manusia, dan
individualis, seperti yang dirumuskan oleh Hobbes dan Max Weber.55 Di samping itu,
strukturalisme juga lahir sebagai tanggapan kritis terhadap paradigma Hegelian di
dalam filsafat sejarah dan filsafat sosial, terutama pemikiran Hegel yang telah
ditafsirkan oleh Marx dalam bentuk materialisme historis. Akan tetapi, problem di
dalam strukturalisme adalah bahwa individu sebagai pelaku justru dideterminasi
sepenuhnya oleh struktur yang otonom yang bersifat independen sepenuhnya dari
individu tersebut. Salah satu bentuk strukturalisme yang paling menantang adalah
apa yang dirumuskan oleh Levi Strauss. Tujuan dari ilmu-ilmu kemanusiaan,
demikian tulisnya, adalah bukan untuk membentuk individu, melainkan untuk

54
55

Lihat, ibid, hal. 268.


Bdk, ibid, hal. 269.

199

memecahkannya.56 Sementara itu, menurut Louis Althusser, sejarah adalah suatu


bentuk sejarah tanpa subyek. Baginya, perubahan sosial adalah suatu proses yang
bertahap dan tidak berhubungan, serta tidak mengikutsertakan peran aktif manusia.
Struktur adalah suatu entitas yang otonom, independen, dan terdiri dari berbagai
macam sistem serta kontradiksi. Ia pun memberikan contoh kontradiksi puncak di
dalam struktur tanpa peran aktif manusia di dalam revolusi Bolshevik 1917 di Russia.
Pada hemat saya, sejauh pandangan para strukturalis ini ditempatkan sebagai
penyeimbang terhadap pandangan yang terlalu optimis akan kapasitas kepelakuan
manusia, pandangan ini dapatlah diafirmasi. Akan tetapi, jika pandangan semacam
ini ditempatkan sebagai suatu paradigma epistemologis di dalam memandang relasi
antara manusia dengan komunitasnya, pandangan ini tidaklah memadai. Alasannya
telah dijabarkan sebelumnya.
Aliran yang berkembang setelah strukturalisme adalah poststrukturalisme.
Walaupun dipengaruhi oleh strukturalisme, para pemikir postrukturalis
mengumandangkan bubarnya struktur. Konsekuensinya, tolok ukur menjadi relatif,
nihilisme epistemologis, yakni di mana kebenaran hanyalah dipandang sebagai suatu
ilusi. Kebenaran dianggap sebagai bagian dari metafisika kehadiran yang dominan di
dalam filsafat barat, dan justru menjadi kritik utama bagi para pemikir
postrukturalisme. Hasilnya adalah suatu refleksi atas dunia yang bersifat subyektif,
tetapi tanpa subyek.57 Para pemikir poststrukturalis, terutama Derrida dan Foucault,
juga memberikan beberapa inspirasi teoritis bagi ilmu-ilmu sosial. Mereka berdua
mengkritik konsepsi subyek Pencerahan yang universal, otonom, dan rasional.
Foucault juga melihat adanya relasi antara setiap bentuk klaim pengetahuan dengan
kekuasaan. Saya sendiri tidak mau masuk ke penjabaran mendetil mengenai hal ini.
Oleh karena itu, pada bagian berikutnya, saya akan mulai masuk ke dalam
problematika terbesar di dalam filsafat ilmu-ilmu sosial, yakni tentang obyek dari
teori di dalam ilmu-ilmu sosial. Lugasnya, saya akan menjabarkan apa yang disebut
sebagai ontologi masyarakat.
7.2 Ontologi dari Masyarakat
Memang jauh lebih mudah jika dikatakan bahwa teori-teori ilmu pengetahuan,
baik itu ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, berhadapan dengan fenomena
yang sama konkretnya di dalam dunia, dan kemudian merumuskan hukum-hukum
abstrak dari fenomena-fenomena yang partikular tersebut. Di dalam buku ini, saya
sendiri telah berargumentasi bahwa ada perbedaan yang bersifat ontologis antara
obyek ilmu-ilmu alam dan obyek ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, struktur sosial,
yang menjadi obyek refleksi ilmu-ilmu sosial, tidak perlu harus sama dengan obyek di
dalam ilmu-ilmu alam. Paradigma ilmu pengetahuan mekanistik yang melulu
melihat obyek analisisnya sebagai benda hanyalah dapat digunakan di dalam ilmu56
57

Levi-Strauss, The Savage Mind, Chicago: University of Chicago Press, 1966, hal. 247.
Lihat, Anderson, In the Tracts of Historical Materialism, London:NLB, 1983, hal. 54.

200

ilmu alam, dan tidak pada ilmu-ilmu sosial.


Struktur sosial tentu tidak sama dengan sel-sel di dalam biologi ataupun
vektor-vektor kecepatan di dalam fisika. Akan tetapi tentang bagaimana konsep
struktur sosial ini harus dirumuskan masihlah menjadi perdebatan. Misalnya, ketika
kita berbicara tentang struktur sosial yang rasis dari suatu masyarakat, kita akan
menunjukkan berbagai akibat konkret dari struktur sosial yang rasis tersebut, seperti
berkurangnya kesempatan kerja bagi kelompok masyarakat tertentu, ataupun
berkurangnya akses hukum bagi kelompok tertentu di dalam masyarakat. Apakah
pernyataan ini masih layak untuk diperdebatkan? Saya rasa tidak. Akan tetapi, di sisi
lain, konsep struktur sosial seringkali digunakan secara metaforis, dalam arti tidak
langsung menunjuk pada apa yang dimaksudkan oleh ilmuwan sosial tersebut.
Misalnya, banyak ahli yang menyebut bahwa struktur sosial masyarakat Indonesia
sudah hancur, akibat korupsi dan penyelewengan lainnya. Akan tetapi, masyarakat
Indonesia toh tetap ada, kendati strukturnya sudah hancur? Nah, cara berbicara
seperti ini lebih bersifat metaforis daripada langsung mengacu pada apa yang
dimaksud. Lepas dari itu, di dalam analisis-analisis sosial, pada hemat saya, kita
dapat tetap menggunakan konsep struktur sosial tanpa perlu khawatir apakah yang
dimaksud sungguh-sungguh ada sebagai struktur, atau hanya sekedar alat bantuk
analisis, atau dalam arti metaforis. Konsep ini juga membantu kita untuk
membedakan antara obyek analisis di dalam ilmu-ilmu sosial, yakni struktur sosial,
dan obyek analisis di dalam ilmu-ilmu alam, yakni realitas natural.58
Pengandaian dasarnya adalah bahwa individu itu ada. Akan tetapi, keberadaan
struktur sosial tidaklah sama dengan keberadaan individu tersebut. Dalam bahasa
filsafatnya, status ontologis dari individu tidaklah sama dengan status ontologis dari
struktur sosial. Walaupun begitu, tanpa keberadaan struktur sosial, keberadaan
individu menjadi tidak bermakna, karena semua bentuk predikat yang menempel di
diri individu, mulai dari yang bersifat material sampai identitasnya yang bersifat
unik, hanya dapat dimengerti dalam konteks sosialitas dari individu tersebut. Secara
natural, kita dapat mengatakan bahwa orang itu memiliki warna kulit tertentu sama
seperti ketika kita mengatakan bahwa batu tersebut berwarna tertentu. Akan tetapi,
ketika kita mengatakan bahwa seseorang berasal dari suku tertentu, atau ketika ia
mengadakan transaksi keuangan di bank tertentu, sebenarnya kita sudah
mengandaikan adanya tatanan sosial, yakni suku tertentu, ataupun suatu sistem
tatanan perbankan tertentu. Tatanan sosial dalam bentuk sistem perbankan dan suku
inilah yang disebut sebagai struktur sosial.59
Jika metode individualisme di dalam ilmu-ilmu sosial, demikian tulis
Manicas, berpendapat bahwa fakta tentang masyarakat dan tindakan
manusia hanya dapat dijelaskan melalui individu, dan fakta tentang
58

Lihat, Manicas, 1987, hal. 271.

201

individu hanya dapat dimengerti dengan mengandaikan konteks sosial


dan tidak bisa tidak, maka metode individualisme di dalam ilmu-ilmu
sosial pastilah tidak tepat.60
Bagi Popper, metode individualisme di dalam ilmu-ilmu sosial memiliki
kecenderungan anti metafisika.61 Para pengkritik metode ini adalah para filsuf yang
banyak dikenal sebagai para metafisikus. Mereka adalah Rousseau, Herder, Hegel,
Marx, dan Durkheim. Dalam bentuknya yang modern, para pemikir penganut
metode individualisme disebut juga para pemikir empirisme logis. Motivasi dasar
para pemikir ini adalah melenyapkan semua bentuk konsep yang bersifat metafisis,
yakni konsep-konsep yang status ontologisnya diperoleh dari spekulasi. Dengan
demikian, seperti kekuatan magnet di dalam ilmu-ilmu alam hendak diterjemahkan
menjadi efek-efek konkret di dalam kehidupan praktis, begitu juga masyarakat
sebagai kontruksi logis di dalam ilmu-ilmu sosial hendak diterjemahkan menjadi
kondisi-kondisi sosial obyektif dan perilaku-perilaku sosial yang bersifat konkret.
Dewasa ini, walaupun metode individualisme telah dianggap tidak lagi memadai
sebagai metode penelitian, tetapi kritik atasnya juga masih belum sampai pada
standar konseptual yang memadai.62
7.3 Konsep Struktur Sosial
Dalam konteks ini, problemnya sebenarnya sederhana. Ilmu-ilmu sosial
membutuhkan suatu obyek penelitian, dan obyek penelitiannya adalah struktur
sosial. Akan tetapi, keberadaan struktur sosial tidaklah sama dengan keberadaan
medan magnet di dalam ilmu-ilmu alam. Alasan untuk hal ini, demikian tulis
Manicas, adalah: bahwa masyarakat perwujudan dari praktek-praktek sosial, dan
produk dari interaksi individu-individu yang ada di dalamnya.63 Artinya, struktur
sosial tidaklah ada lepas dari praktek-praktek individu yang membentuknya. Struktur
sosial tidaklah kasat mata. Yang dapat terlihat dari struktur sosial adalah aktivitasaktivitas sosial yang ada di dalamnya. Struktur, demikian tulis Giddens dalam salah
satu bukunya, masuk secara simultan ke dalam proses pembentukan pelaku dan di
dalam praktek-praktek sosial, dan ada di dalam momen pembentukan oleh pelakupelaku yang dibentuknya.64 Dengan kata lain, struktur sosial adalah medium
sekaligus produk atau hasil dari praktek-praktek sosial. Praktek-praktek sosial hanya
dapat terjadi dan bermakna, karena berada di dalam struktur sosial. Sementara,
struktur sosial hanya ada, karena ada akumulasi dari praktek-praktek sosial yang
terjadi di antara pelaku.
59

Lihat, Roy Bhaskar, The Possibility of Naturalism, Brighton: Harvester and Atlantic Highlands, 1979, hal. 34.
Manicas, 1987, hal. 271.
61
Lihat, Karl Popper, Conjectures and Refutations, London: Routledge, 1963.
62
Lihat, Manicas, 1987, hal. 272.
63
Ibid.
64
Anthony Giddens, Central Problems in Social Theory, London: Macmillan, 1979, hal. 5.
60

202

Struktur sosial adalah medium yang diperlukan untuk membuat suatu


tindakan seseorang menjadi sungguh-sungguh bermakna. Struktur sosial pula yang
membuat suatu tindakan menjadi berfungsi secara konkret atau tidak. Misalnya,
seseorang telah menguasai suatu bahasa tertentu. Oleh karena itu, ia bisa berbicara.
Yang jelas, supaya dapat dimengerti, seseorang haruslah menyesuaikan diri dengan
aturan-aturan yang ada di dalam bahasa. Dalam konteks ini, seseorang haruslah
memiliki perangkat dan kemampuan yang memadai dalam hal berbahasa. Akan
tetapi, kemampuan berbahasa tadi hanya mungkin, karena ada sistem bahasa yang
juga diketahui oleh orang lain dan orang yang satu terkait dengan orang yang lain
dalam konteks sistem bahasa tersebut. Sistem bahasa di dalam suatu komunitas ini
dalam arti tertentu dapat juga disebut sebagai struktur sosial.
Struktur sosial dapat disebut sebagai produk dalam arti proses komunikasi
antar orang yang memiliki kemampuan berbahasa juga menciptakan ulang bahasa,
orang-orang yang melakukan transaksi ekonomi memproduksi ulang sistem
ekonomi, dan orang-orang yang ikut mencoblos sewaktu pemilu juga memproduksi
ulang sistem politik yang ada. Jika tidak ada lagi orang yang menggunakan bahasa
Indonesia di dalam proses komunikasi mereka, bahasa Indonesia akan menjadi
bahasa yang mati. Hal yang sama berlaku untuk setiap bentuk struktur sosial
lainnya. Semua struktur sosial akan mati, jika para individu yang berada di dalam
struktur tersebut tidak lagi melakukan aktivitas sosial. Akan tetapi, di sisi lain,
aktivitas atau praktek sosial yang terjadi di antara individu justru baru bermakna,
jika ada struktur sosial yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, struktur tidak
pernah bersifat sepenuhnya independen dari praktek sosial, dan sebaliknya. Dengan
demikian, walaupun status ontologis dari struktur sosial tidaklah sama dengan
obyek-obyek natural di dalam ilmu-ilmu alam, struktur sosial tetaplah valid sebagai
obyek analisis di dalam ilmu-ilmu sosial.
Struktur sosial tidaklah berada independen sepenuhnya dari praktek-praktek
sosial. Oleh karena itu, melalui praktek sosial, struktur sosial tidak hanya diproduksi
ulang, tetapi juga diubah. Karena bahasa dalam arti tertentu dapat dikatakan sebagai
bahasa yang hidup, struktur semantik maupun kosa kata di dalam bahasa itu
teruslah berubah. Jika hanya ada sebagian kecil orang yang berpartisipasi di dalam
pemilu, politik demokratis hanya akan sekedar menjadi ritual yang tidak memiliki
makna pada dirinya sendiri. Jika begitu pada akhirnya, jantung pemerintahan
demokratis pun akan hilang dan mati dengan sendirinya. Memang, karena
masyarakat terdiri dari individu-individu yang melakukan praktek sosial, para
ilmuwan sosial yang menjadikan masyarakat sebagai obyek analisisnya seringkali
jatuh ke dalam metode individualisme di dalam penelitian mereka, di mana
masyarakat tampak lenyap, dan yang ada hanyalah individu. Tentu saja, di dalam
realitas, masyarakat tidaklah lenyap, karena setiap individu yang ada di dalam
masyarakat juga selalu tersituasikan di dalam suatu masyarakat tertentu. Individu
bukanlah sekedar realitas natural, melainkan suatu realitas dengan masa lalu dan

203

masa depan yang khas manusia, yakni suatu realitas natural dan sosial yang telah
dimanusiawikan. Tanah-tanah pertanian, jalan-jalan kota, bangunan-bangunan
tempat tinggal, buku-buku filsafat, alat-alat musik, semuanya merupakan bagian dari
realitas historis tertentu. Jika kita mau peka dan jeli melihat semua artifak sosial ini,
maka kita tidak akan pernah jatuh ke dalam metode individualisme di dalam ilmuilmu sosial, di mana hanya individulah yang diandaikan ada, sedangkan masyarakat
tampak lenyap.
Di samping itu, karena individu justru baru menjadi individu di dalam
masyarakat, seringkali kita menganggap bahwa masyarakat haruslah lebih dari
sekedar praktek-praktek sosial yang terorganisir yang membentuk struktur sosial.
Memang, bagi beberapa orang, struktur sosial, termasuk juga sistem bahasa, ada
mendahului orang tersebut. Artinya, bahasa ada bahkan sebelum orang itu
dilahirkan. Akan tetapi, hal ini tidaklah berlaku untuk semua orang. Ketika dikatakan
bahwa seseorang mempelajari bahasa dari masyarakatnya, hal ini berarti ia
mempelajari bahasa tersebut dari orang-orang yang telah terlebih dahulu menguasai
bahasa tertentu yang tentunya juga mempelajari dari orang-orang sebelumnya. Hal
ini bisa dirunut jauh kembali ke masyarakat pra sejarah.
Dengan demikian, bahasa tidaklah hadir begitu saja dan kemudian
membentuk individu, melainkan juga sesuatu yang mutlak diperlukan di dalam
aktivitas sosial manusia. Dalam arti ini, bahasa adalah suatu aktivitas sosial, di mana
formulasi abstrak simbolik ditanamkan pada hal-hal konkret untuk menjelaskan halhal konkret tersebut. Ketika kita berkata bahwa bahasa dimiliki oleh seseorang, maka
kita mengulangi kesalahan yang sama. Yang harus ditekankan adalah bahwa bahasa,
dan setiap struktur sosial yang ada di dalam masyarakat, selalu berubah dan
direproduksi ulang oleh para pelaku yang menggunakan bahasa tersebut. Pemilihan
umum, tindakan merawat anak dengan pola-polanya yang tetap, dan sebagainya ada
dan berkembang, karena ada orang-orang yang bertindak sebagai pelaku dan
melakukannya secara rutin.
Jika kita berbicara tentang struktur sosial, kita juga berbicara tentangnya
dalam arti heuristik, yakni bahwa aktivitas sosialah yang membentuk struktur
tersebut, dan struktur tersebut yang memberi makna bagi aktivitas sosial kita. Hal
inilah yang menjadi perbedaan yang paling mendasar antara ilmu-ilmu sosial dan
ilmu-ilmu alam. Di dalam dunia ilmu pengetahuan, kegiatan merumuskan teori
adalah suatu kegiatan yang tidak akan pernah selesai. Akan tetapi, di dalam ilmuilmu sosial, suatu teori terus harus direvisi bukan hanya dalam arti ada teori baru
yang menggantikan teori yang lama, tetapi bahwa realitas sosial itu terus berubah.
Aturan-aturan, demikian tulis Barnes, di dalam sistem bahasa ataupun di dalam
aktivitas sosial, adalah suatu abstraksi normatif yang diturunkan dari
ketidakseragaman yang terus meningkat, yang tidak bisa dirumuskan sebagai suatu

204

sistem tertutup.65
Jelas, ilmu sosial selalu bersifat historis dan tidak bisa tidak. Dalam arti ini,
kata historis tidaklah melulu berarti masa lalu, tetapi sebagai masa lalu yang
tersedimentasi dan berubah sebagai yang sekarang.66 Marx dan Engels pernah
menulis di dalam German Ideology, sejarah tidak lain adalah kumpulan dari
generasi yang saling terpisah, setiap generasi tersebut mengeksploitasi materimateri, modal, dan sumber-sumber produksi yang telah diberikan oleh generasi
sebelumnya.67 Dalam arti ini, yang menjadi warisan dari generasi sebelumnya bukan
hanya hal-hal materi, tetapi juga pengetahuan dan struktur sosial itu sendiri. Seluruh
warisan ini terus mempengaruhi generasi berikutnya. Misalnya, hukum tentang
peperangan di Filipina selalu juga mengandaikan adanya pertimbangan terhadap
masa lalu Filipina di bawah kekuasaan kolonial. Dengan demikian, hakekat dari
kekinian sesuatu ditentukan oleh masa lalu dari sesuatu itu, dan pemahaman tentang
kondisi sekarang membutuhkan pemahaman tentang genesis, atau tentang awal.
Karena struktur sosial terwujud di dalam praktek-praktek sosial yang
dilakukan oleh individu, struktur sosial tidaklah terlepas dari individu-individu yang
membentuk dan mengubah struktur sosial tersebut. Hal ini terjadi, karena setiap
individu memiliki kepercayaan, kepentingan, tujuan, dan praktikalitas sebagai bagian
dari masyarakat. Dan dengan melakukan semua itu, mereka telah mempertahankan
sekaligus mengubah struktur sosial yang ada. Jelas, individu adalah agensi utama
yang membuat masyarakat seperti apa adanya. Individu bukanlah melulu bentukan
budaya, seperti yang dikatakan Parsons, ataupun bentukan struktur, seperti yang
ditulis oleh Althusser, atau bahwa struktur itu bergerak di belakang punggung
setiap orang tanpa mereka pernah menyadarinya.
Ada dua alasan mengapa argumen di atas berbeda dengan individualisme
metodis.
Pertama, dikotomi antara masyarakat dan individu itu tidaklah tepat, karena
masyarakat selalu ada bagi individu, dan sebaliknya.68
Kedua, memang, seperti yang pernah ditulis Giddens, setiap orang memiliki
kesadaran praktis (practical consciousness), di mana mereka melakukan segala
sesuatu secara rutin, mekanis, dan sepenuhnya tidak disadari. Kesadaran praktis
itulah yang membentuk struktur sosial. Dengan adanya kesadaran praktis tersebut,
hal-hal yang tidak menjadi tujuan sadar individu bisa tercipta. Misalnya, sebuah
reaktor nuklir membutuhkan ahli fisika nuklir. Ada beberapa ahli fisika nuklir yang
kemudian bekerja di situ. Nah, intensi dasar dari ahli fisika nuklir tersebut adalah
untuk mencari nafkah dan menghidupi keluarganya. Akan tetapi, dengan bekerja di
sebuah reaktro nuklir, mungkin saja ahli nuklir tersebut berpartisipasi secara

65

Barnes, 1982.
Manicas, 1987, hal. 274.
67
Seperti dikutip Manicas, ibid.
68
Lihat, George Herbert Mead, Mind, Self, and Society, 1922, bab 14, seperti dikutip Manicas, ibid, hal. 275.
66

205

langsung pada terjadinya perang nuklir! Pekerjaannya, yang telah menjadi bagian
dari kesadaran praktisnya, memiliki tujuan lain dari yang dimaksudkan
sebelumnya.69
Seringkali, struktur yang diciptakan manusia justru berbalik menjajah
manusia itu sendiri. Dalam arti ini, manusia dijajah secara sukarela oleh struktur
yang diciptakannya. Akan tetapi, berbeda dengan individualisme metodis, struktur
sosial dipahami sebagai sesuatu yang mempengaruhi manusia, sekaligus
memberikan kebebasan terhadapnya. Apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan
seseorang tentu ditentukan oleh struktur sosial di mana ia tinggal. SBY, presiden
Republik Indonesia, dan gelandangan di pinggir jalan sama-sama tidak akan dapat
menghancurkan dunia. Akan tetapi, SBY dapat melakukan banyak hal yang tidak bisa
dilakukan oleh seorang gelandangan. SBY dapat merumuskan keputusan presiden
yang mempunyai ikatan hukum. SBY juga dapat memberikan grasi pada narapidana
tertentu pada waktu-waktu tertentu. Kedua hal tersebut tidak akan pernah dapat
dilakukan oleh seorang gelandangan. Jika gelandangan tersebut mau berusaha,
mungkin ia tidak lagi menjadi gelandangan lagi, dan mungkin bisa jadi presiden!
Jika kita mengakui bahwa struktur sosial tidaklah otonom dari para individu yang
membentuknya, dan para individu bertindak bebas untuk membentuk struktur sosial
tersebut, kita akan terjebak pada pandangan volutarisme, di mana masyarakat
melulu hasil ciptaan dari manusia-manusia rasional. Akan tetapi, masalahnya bukan
itu. Penciptaan struktur sosial oleh individu itu tidak pernah berada di dalam
kekosongan. Individu, ketika menciptakan struktur sosial, sebenarnya sudah selalu
mengandaikan struktur sosial lainnya.
Kedua, jika setiap individu bertindak rasional, maka struktur yang terbentuk dari
tindakan individu yang rasional tersebut pasti jugalah rasional. Artinya, struktur
tersebut tertata dan mempunyai suatu telos atau tujuan yang jelas. Perubahan di
dalam maupun di luar struktur juga sudah selalu dapat dikatakan sebagai rasional
dan memiliki arah yang jelas. Akan tetapi, secara historis, struktur sosial selalu sudah
tertanam di dalam historisitas manusia dan aktivitasnya yang seringkali acak serta
tidak bertujuan. Struktur sosial tampak sebagai sesuatu yang alamiah, dan tidak ada
alasan untuk menyebutnya sebagai rasional, atau memiliki tujuan yang jelas di masa
datang.
Akan tetapi, perubahan di dalam tindakan sosial juga berarti perubahan di
dalam struktur sosial. Artinya, ilmu-ilmu sosial telah mengandung potensi untuk
membebaskan di dalamnya. Bagi Marx, pada hakekatnya, ilmu-ilmu sosial bersifat
revolusioner. Ia juga menekankan bahwa ilmu-ilmu sosial juga bisa berfungsi sebagai
kritik ideologi, atau kritik terhadap kesadaran palsu (false consciousness).
69

Bdk, Manicas, ibid.

206

Menurutnya, struktur masyarakat kapitalis pada akhirnya akan membuat para


pekerja sadar bahwa mereka telah mengalami penindasan. Dari situ, para pekerja
kemudian terdorong untuk secara kolektif mengorganisir diri untuk menata kembali
masyarakat. Memang, di dalam sejarah, perubahan semacam itu tidaklah pernah
terjadi seperti yang diramalkan oleh Marx. Tetap saja tidak dapat dipungkiri, bahwa
teori yang dirumuskannya memberikan inspirasi untuk melawan teori-teori sosial
lainnya yang lebih membela status quo. Seperti yang ditulis Veblen, daripada
menganggu prakonsepsi-prakonsepsi yang telah mapan di mana institusi sosial
meletakkan dasarnya, ilmu-ilmu sosial justru menawarkan penafsiran yang lunak,
maaf, dan pemulihan yang kesemuanya itu sama sekali tidak berdaya bagi status
quo.70 Sebenarnya, semuanya ini adalah tanda kegagalan ilmu-ilmu sosial untuk
memahami bahwa realitas sosial bukanlah sesuatu yang alamiah, tetapi merupakan
produk dari aktivitas sosial manusia yang bisa berubah. Aktivitas yang hanya bisa
dirubah oleh manusia itu sendiri.
Jika manusia adalah para pelaku yang memproduksi struktur sosial, tentunya
manusia juga mampu menata kembali masyarakat ke arah kemanusiaan, kebebasan,
dan keadilan yang lebih besar. Untuk melakukan ini, tentu saja, setiap orang
haruslah menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan ini. Mereka harus
mengakui terlebih dahulu bahwa tata masyarakat yang ada sekarang masih dapat
dikembangkan. Mereka juga harus tahu bagaimana cara menata untuk
mengembangkan masyarakat tersebut. Memang, kesadaran palsu bisa menjadi
halangan untuk menciptakan perubahan. Akan tetapi, manusia tidak pernah
seluruhnya tertipu oleh kesadaran palsu semacam itu, karena manusia bukanlah
melulu produk dari struktur sosial. Perubahan juga tidak bisa datang, jika yang
sungguh berjuang hanyalah beberapa, atau bahkan satu individu saja. Untuk
melakukan perubahan, praktek-praktek sosial haruslah dibuah. Artinya, setiap orang
yang terlibat di dalam praktek sosial haruslah secara bersama-sama merubah
tindakan mereka.71 Memang, ada berbagai sebab, mengapa perubahan sosial tidak
juga terjadi, dan di sini bukanlah tempat yang tepat untuk membahas masalah itu.
Kesimpulannya, seperti yang juga ditulis oleh Roy Bhaskar, semua argumen
ini dapat ditempatkan sebagai kritik terhadap reifikasi ideologi, voluntarisme,
determinisme sosial, metode individualisme, strukturalisme, dan fungsionalisme.
Karena,
Masyarakat bukanlah bentukan dari kekosongan oleh individu yang aktif
(voluntarisme), dan bukan sesuatu berdiri terlepas dari individu (reifikasi). Dan
tindakan individual tidak secara total menentukan masyarakat (individualisme) atau
sepenuhnya ditentukan oleh masyarakat (determinisme sosial). Tujuan-tujuan yang
tidak diinginkan, kondisi-kondisi yang tidak diakui (unacknowledged conditions)
70

Ibid, hal. 276.

207

serta kemampuan intuitif .. membatasi pemahaman individu tentang dunia sosial,


sementara motivasi yang tidak disadari (unconscious motivation) membatasi
pemahaman tentang dirinya sendiri..72
7.4 Memahami Masyarakat
Tujuan dasar dari ilmu-ilmu sosial adalah memahami masyarakat dan prosesproses sosial yang berlangsung di dalamnya. Kata memahami di sini dapat diartikan
bermacam-macam mulai dari memahami dengan menggunakan empati, ataupun
menggunakan intuisi subyektif. Setiap tindakan manusia selalu bermakna, dan
pemahaman akan masyarakat melibatkan pemahaman akan makna yang mendorong
seorang individu tersebut untuk bertindak. Seperti yang pernah ditulis oleh Weber,
proses memahami masyarakat selalu merupakan proses pemahaman kausal (causal
undertanding), yakni pemahaman tentang bagaimana proses-proses sosial di dalam
masyarakat itu terjadi. Pemahaman tentang masyarakat juga melibatkan proses
hermeneutik, yakni proses menafsirkan. Jika proses ini tidak dilakukan, kita tidak
akan dapat memperoleh pemahaman yang memadai tentang masyarakat. Akan
tetapi, pemahaman akan masyarakat juga melibatkan apa yang disebut Marx sebagai
pengetahuan tentang bagaimana praktek-praktek sosial yang terjadi ditempatkan di
dalam struktur, relasi antara struktur dan tindakan, dan bagaimana praktek-praktek
tersebut diarahkan pada perubahan.
Weber membedakan antara ilmu pengetahuan konkret (concrete sciences) dan
ilmu pengetahuan abstrak (abstract sciences). Fisika adalah ilmu pengetahuan
abstrak, dan ilmu-ilmu sosial adalah ilmu pengetahuan konkret. Ilmu pengetahuan
abstrak adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menteoritisasikan struktur sosial.
Sementara, ilmu pengetahuan konkret adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
menjelaskan peristiwa-peristiwa konkret dalam kompleksitasnya. Dari sini, kita bisa
membuat pembedaan antara proses pemahaman struktur (understanding structure)
dan penjelasan peristiwa (explaining events). Proses pemahaman struktur
melibatkan pemahaman mengenai proposisi-proposisi logis yang membentuk
struktur. Sementara, proses penjelasan peristiwa selalu melibatkan refleksi atas
mekanisme pembentukan struktur. Kedua bentuk ilmu ini berupaya menjelaskan
suatu fenomena partikular dari realitas, dan keduanya dapat berkontribusi di dalam
pembentukan pengetahuan atas dunia.
Tentu saja, kita dapat mengatakan bahwa teori-teori sosial juga bisa bertujuan
untuk menteoritisasikan realitas sosial. Akan tetapi, penjelasan atas peristiwaperistiwa sosial, seperti pemilihan kepala daerah di Jakarta, pemilihan ketua partai
politik, dan sebagainya, selalu melibatkan pengetahuan tentang mekanisme sosial
yang membentuk struktur yang ada. Para filsuf ilmu-ilmu sosial, seperti Herder,
Marx, Weber, dan Montesquieu, juga banyak menulis tentang hal ini. Kita
71

Lihat, Manicas, 1982.

208

merumuskan sebuah teori sosial, karena kita ingin mengerti apa yang terjadi di
dalam masyarakat. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa konkret yang terjadi di dalam
masyarakat membutuhkan penjelasan yang multidimensional. Kita harus
mempunyai pengetahuan yang memadai tentang struktur sosial dan kecenderungankecenderungan apa yang diakibatkannya. Kita juga perlu tahu bagaimana struktur
yang satu saling terkait dengan struktur yang lain, dan apa dampaknya. Kita juga
perlu mengkaitkan realitas sosial yang ada dengan kondisi geografis, atau peristiwa
alam yang pernah terjadi di daerah itu. Untuk menjelaskan realitas sosial yang ada
tersebut, kita perlu mengkaitkan semua hal diatas dengan sikap orang-orang yang
tinggal di dalam masyarakat itu terhadap berbagai peristiwa yang ada. Misalnya,
Revolusi Bolshevik yang terjadi di Russia haruslah dijelaskan dalam konteks
kaitannya dengan Kekaisaran Russia pada waktu itu, serta relasi antar negara pada
saat perang dunia pertama. Kita juga harus mengerti, bagaimana musim dingin yang
sangat panjang mempengaruhi apa yang terjadi.
Lain halnya, jika ada pipa air bocor di suatu daerah. Peristiwa semacam itu
adalah suatu peristiwa yang unik, lepas dari kemungkinan adanya faktor-faktor
politik yang ada di baliknya. Penjelasan atas peristiwa yang terjadi pun relatif lebih
mudah dilakukan. Alasannya jelas. Faktor peran serta tindakan aktif manusia, yang
jelas diperhitungkan di dalam ilmu-ilmu sosial, berpengaruh sangat besar di dalam
membuat seluruh refleksi ilmu-ilmu sosial menjadi sangat lentur, dan sulit untuk
dipastikan akurasi analisisnya. Akan tetapi, hal ini sama sekali bukan alasan untuk
tidak melakukan analisis sosial. Sampai batas tertentu, akurasi matematis di dalam
ilmu-ilmu sosial seperti layaknya ilmu-ilmu alam dapatlah diterima.
Di dalam penelitian sosial, kita berharap untuk menemukan semacam hukumhukum sosial (social laws). Artinya kita berharap untuk menemukan
kecenderungan-kecenderungan umum di dalam praktek-praktek sosial yang terjadi.
Tentu saja kecenderungan-kecenderungan ini tidaklah bersifat mutlak dan universal.
Walaupun setiap masyarakat pada tingkat tertentu selalu melakukan proses
produksi, distribusi, dan konsumsi dengan menggunakan mekanisme pasar, tidak
semua masyarakat akan berkembang menjadi masyarakat kapitalis. Akan tetapi kita
dapat mengatakan bahwa di antara dua masyarakat kapitalis, selalu ada mekanisme
sosial kapitalis yang terlibat di dalam reproduksi maupun perubahan di dalam
masyarakat itu. Lepas dari itu kita tidak dapat meramalkan apapun yang bersifat
absolut dari gejala-gejala yang sama. Peristiwa-peristiwa sosial adalah peristiwaperistiwa partikular yang bersifat kontingen, dan selalu tertanam di dalam realitas
sosial yang sudah selalu bersifat historis dan partikular. Hal ini membuat suatu
prediksi ilmiah tidak bersifat niscaya.
Jelaslah masyarakat kapitalis bukanlah suatu masyarakat yang niscaya akan
terjadi di dalam sejarah. Sebaliknya tidak ada kepastian juga bahwa masyarakat
72

Bhaskar, 1982, hal. 286.

209

kapitalis akan hancur karena logika internalnya sendiri. Memang kapitalisme


memiliki hukum-hukum sosialnya sendiri. Dari hukum-hukum tersebut kita dapat
mengatakan bahwa satu peristiwa kurang lebih akan terjadi, dan peristiwa lain
kurang lebih tidak akan terjadi. Kondisi-kondisi partikular tertentu membuat
beberapa kencenderungan dan perubahan menjadi terjadi. Hal ini tidak hanya terjadi
di dalam ilmu-ilmu sosial, tetapi juga di dalam ilmu-ilmu alam walaupun dengan
tingkat yang relatif lebih kecil.
Giddens pernah menulis bahwa ilmu-ilmu sosial tidak pernah dapat
dilepaskan dari sejarah. Pembedaan antara ilmu-ilmu sosial dan sejarah hanyalah
terjadi di level abstrak. Setelah analisis dan refleksi lebih jauh, pembedaan itu pun
tidak lagi bisa dipertahankan. Pada saat yang sama para peneliti di dalam ilmu-ilmu
sosial juga memiliki minat dan kemampuan yang berbeda-beda. Beberapa peneliti
akan menggunakan metode etnografi untuk memahami bagaimana individu di dalam
masyarakat memahami dunia sosial mereka. Pendekatan ini banyak dipraktekkan
oleh Geertz dan Garfinkel. Beberapa peneliti lainnya akan menggunakan pendekatan
sejarah sosiologis (sociological history), seperti yang biasa digunakan oleh Weber,
Bloch, dan Braudel. Dan beberapa peneliti lainnya akan menggunakan narasi historis
(historical narrative) seperti yang digunakan oleh Hobsbawm dan LeFebvre.73
7.5 Ragam Ilmu-Ilmu Sosial
Ilmu-ilmu sosial di Amerika pada paruh abad ke-20 telah memisahkan sejarah
dari ranah ilmu-ilmu sosial. Ini adalah suatu pemisahan yang tragis. Ilmu-ilmu sosial
pun menjadi miskin analisisnya. Memang problemnya berbeda dengan problem yang
dialami di dalam ilmu-ilmu alam. Jika ilmu-ilmu alam dapat merumuskan suatu
teori yang mendeskripsikan realitas fisik, misalnya kadar kimiawi suatu molekul, hal
yang sama tidak bisa berlaku begitu saja di dalam ilmu-ilmu sosial. Hal ini terjadi
karena individu, yang menjadi salah satu obyek sentral analisis ilmu-ilmu sosial,
tidak bisa diisolasikan melulu pada satu peristiwa saja. Setiap individu punya latar
belakangnya tersendiri seperti kemampuannya, kepercayaannya, dan sebagainya.
Kesemua latar belakang tersebut juga seringkali tumpang tindih satu sama lain.
Masyarakat pun tersusun atas semua individu yang memiliki beragam latar belakang,
dan kemudian melakukan praktek sosial bersama membentuk suatu struktur sosial
yang juga memiliki karakter ontologis yang berbeda dengan individu-individu yang
membentuknya. Oleh sebab itu, kita tidak akan pernah bisa memahami masyarakat,
jika kita memecahnya ke dalam individu-individu yang membentuk masyarakat itu.
Memang, masyarakat dapat saja dipandang sebagai suatu totalitas yang disusun oleh
interkoneksi beragam sistem praktek sosial. Akan tetapi masyarakat bukanlah suatu
organisme tertentu, ataupun suatu sistem fisik tertentu yang bersifat kompleks. Pada
level tertentu metafor masyarakat sebagai organisme ataupun sebagai suatu sistem
73

Lihat, ibid, hal. 280.

210

fisik tertentu yang bersifat kompleks memang berguna, tetapi tidak selamanya. Di
dalam masyarakat setiap orang melakukan beragam praktek sosial, dan keterkaitan
di antara beragam praktek tersebut bersifat niscaya. Ada orang yang melakukan
praktek sosial sebagai ibu rumah tangga, bersekolah, berdoa bersama, dan bekerja.
Beragam orang melakukan praktek tersebut, tetapi seringkali orang yang melakukan
praktek-praktek tersebut adalah orang yang sama juga.
Setiap praktek sosial tersebut dapat disebut sebagai praktek politik, praktek
ekonomi, praktek budaya, dan sebagainya. Akan tetapi kesemua itu adalah suatu
bentuk distingsi teoritis dalam konteks kepentingan untuk merumuskan sebuah
teori. Distingsi teoritis tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki
konsistensi yang cukup tinggi dengan fakta yang dijelaskan. Harus juga disadari
bahwa setiap upaya untuk menteoritisasikan suatu struktur ataupun praktek sosial
tertentu sering juga dipandang sebagai suatu alat analisis untuk mempermudah
saja. Yang penting adalah adanya kesadaran bahwa struktur sosial yang ada sekarang
ini bukanlah sesuatu yang sudah terberi begitu saja (givenness of social reality).
Bahkan di dalam ilmu-ilmu alam, realitas natural yang ada bukanlah suatu realitas
yang terberi begitu saja dan terlepas dari konstruksi pikiran manusia. Penelitian, baik
di dalam ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam, tidaklah pernah dapat dikatakan
sebagai penelitian yang bebas nilai untuk sampai pada kebenaran.
Setiap peneliti memiliki minat tersendiri. Minat tersebut selalu didukung oleh
kemampuan tertentu untuk mencapai kesimpulan penelitian yang bisa
dipertanggungjawabkan. Kedua hal ini, yakni minat dan kemampuan peneliti,
membuat si peneliti tersebut tidak bisa tidak hanya menangkap satu aspek partikular
dari realitas. Hal ini tidak bisa dihindari. Akan tetapi, bukan berarti lalu
penelitiannya menjadi tidak berguna. Ide bahwa setiap peneliti dengan minat dan
kemampuannya masing-masing mampu mencapai tingkat kebenaran tertentu
tentang realitas masihlah dapat diterima. Dengan tujuan untuk merumuskan suatu
teori, setiap instrumen penelitian sangatlah tergantung boleh mengacu pada minat
dan kemampuan peneliti. Dalam arti ini teori selalu bersifat lokal dan regional,
misalnya teori tentang sistem pendidikan di Bantul, teori tentang sistem politik di
daerah Padang, dan sebagainya.
Akan tetapi ada bahaya di sini. Yang pertama adalah bahaya kecenderungan
peneliti untuk menguniversalisasikan penelitian mereka dan berasumsi bahwa
kesimpulan penelitian tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan praktek-praktek
sosial lainnya di seluruh dunia.74 Analisis di dalam sistem pendidikan tidak dapat
begitu saja disamakan dengan kesimpulan analisis di dalam sistem politik. Setiap
sistem selalu tertanam dalam historisitas dan partikularitas tertentu, sehingga tidak
akan pernah dapat digeneralisasikan begitu saja. Jika peneliti mulai
menggeneralisasikan hasil penelitiannya, yang terjadi adalah reduksi analisis akibat
74

Lihat, Manicas, 1985, hal. 282.

211

pemutlakkan satu faktor yang digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor lainnya.75


Beberapa pemikir di dalam sejarah filsafat, seperti Marx dan Weber, yakin
bahwa masyarakat dapat dipandang sebagai suatu totalitas. Artinya masyarakat
terdiri dari praktek-praktek sosial yang dapat ditelusuri mekanisme fundamental
yang mendasarinya. Mekanisme itu, menurut mereka, berlaku universal. Marx
menyebutnya sebagai materialisme historis (historical materialism) dan peran
modus produksi (mode of production) yang sangat menentukan di dalam dinamika
masyarakat. Akan tetapi, kedua konsep ini tidaklah bisa menjadi suatu teori sejarah
tersendiri. Artinya teori ini bukanlah suatu teori yang menjelaskan dinamika
masyarakat secara historis dan niscaya, melainkan penjelasan yang bersifat sosiologis
tentang masyarakat. Nah, sebagai suatu teori tentang masyarakat sebenarnya
Marxisme juga problematis, terutama tentang distingsi antara basis dan
suprastruktur. Memang ada beragam perdebatan tentang konsep ini dan bukan pada
tempatnya, jika kita mau membahasnya lebih jauh.76
7.6 Teori dan Penjelasan
Suatu teori, demikian tulis Kerlinger, adalah suatu kumpulan variabel yang saling
berhubungan, definisi-definisi, proposisi-proposisi yang memberikan pandangan
yang sistematis tentang fenomena dengan memspesifikasikan relasi-relasi yang ada
di antara beragam variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang ada.77
Pada hemat saya, definisi yang dirumuskan oleh Kerlinger di atas adalah definisi
yang paling baik tentang apa itu teori. Di dalam praktek seorang peneliti akan
melihat suatu pola di dalam fenomena yang tengah ditelitinya. Lalu ia merumuskan
sebuah hipotesis tentang pola-pola tersebut. Kemudian peneliti itu menyelidiki
secara kuantitatif tentang variabel-variabel terkait dan berupaya menemukan relasi
yang tepat dan akurat. Dari situlah peneliti merumuskan sebuah teori yang berguna
untuk menafsirkan suatu gejala.
Misalnya ada dua variabel, yakni intelegensi dan pencapaian akademis. Sekilas
kita akan menebak bahwa relasi di antara dua variabel tersebut adalah positif dan
sangat tinggi. Akan tetapi apakah benar seperti itu? Mari kita pertimbangkan
pernyataan berikut.
Jika seseorang meraih angka tinggi di dalam tes intelegensi,
kemungkinan besar ia akan berhasil di dalam bidang akademik. Coba lihat contoh
lain. Jika saya menuang garam ke dalam air, garam itu akan larut. Secara formal,
kedua argumen ini identik. Di dalam contoh kedua, tentang garam, kita sudah
mengandaikan bahwa garam itu dapat larut di dalam air. Artinya, garam memiliki
kekuatan kausalitas, jika ia ditempatkan di dalam air, yakni garam itu akan larut.
75

Lihat, Giddens, 1986, hal. 161-170.


Lihat, Giddens, 1985, hal. 135.
77
Kerlinger, 1979, hal. 64.
76

212

Dalam hal ini, kita memiliki pengetahuan teoritis untuk menjelaskan mengapa
garam, ketika berada di dalam air, akan larut.
Lalu, dapatkah hal yang sama dikatakan tentang contoh pertama, yakni
tentang anak yang lulus ujian intelegensi? Sekilas, seperti yang sudah dikatakan
sebelumnya, kita bisa menebak ada suatu relasi yang bersifat probabel antara
pencapaian akademik dan tingkat intelegensi. Tentu saja, relasi tersebut bukanlah
seperti relasi antara harga telor di pasar dan harga saham di Bursa Efek Jakarta.
Akan tetapi, apakah relasi tersebut memiliki konsep kausalitas yang sama, seperti
bahwa garam tersebut, apapun keadaannya, akan segera hanyut di dalam air?
Pada contoh sebelumnya, garam yang larut mengacu pada kekuatan kausal
(causal power) yang dimiliki oleh garam. Contoh yang pertama, yakni tentang anak
dengan intelegensi tinggi, juga memiliki kekuatan kausal, seperti garam yang akan
larut di dalam air, yakni bahwa ada mekanisme sosial yang sangat tergantung dari
praktek-praktek sosial yang distrukturkan, seperti sistem ujian intelegensi, kriteria
yang dipilih untuk memberikan nilai kepada siswa, dan sebagainya. Sama seperti
ketika teori kimia memberikan kita pemahaman akan pola bahwa gula akan larut ke
dalam air, begitu pula kita membutuhkan sebuah teori tentang sekolah, strukturstruktur praktek sosialnya, dan relasi antara semua struktur yang ada.78
Para fisikawan dan biolog kemungkinan besar pernah memperoleh mata
kuliah filsafat ilmu. Seperti sudah kita ketahui, filsafat ilmu berupaya mengangkat
aspek-aspek yang tak sadar di dalam kegiatan penelitian, sehingga dapat menjadi
aspek yang disadari sepenuhnya. Aspek-aspek yang tak sadar itu adalah asumsiasumsi yang dimiliki peneliti, ketika ia melakukan kegiatan penelitiannya. Tanpa
asumsi-asumsi dasar semacam itu, suatu penelitian ilmiah tidak akan pernah dapat
dilaksanakan. Bahkan, para ilmuwan alam yang mengaku dapat mencapai
obyektifitas murni dan netralitas, juga selalu sudah memiliki asumsi-asumsi yang
tertanam di dalam masyarakat dan mempengaruhinya. Semua hal ini tidaklah dapat
dihindari.
Pertanyaan juga muncul, lalu apakah yang menjadi tujuan dari ilmu
pengetahuan? Salah satu jawaban adalah bahwa ilmu pengetahuan bertujuan untuk
memahami berbagai fenomena yang ada di dalam realitas. Seorang ilmuwan,
demikian tulis Kerlinger, ingin memahami beragam hal.79 Di sini, Kerlinger
berbicara tentang ilmu pengetahuan teoritis, yakni suatu konsep klasik tentang
pengetahuan yang genesisnya bisa ditelusuri kembali ke jaman Yunani Kuno. Di
samping itu, ilmu pengetahuan juga memiliki tujuan untuk membuat semacam
mekanisme kontrol sekaligus membuat prediksi. Sebenarnya, di dalam kata
pemahaman, konsep prediksi dan kontrol sudah terkandung di dalamnya. Artinya,
ketiga konsep tersebut, yakni pemahaman, kontrol, dan prediksi sudah saling terkait
secara inheren.
78
79

Lihat, Manicas, 1987, hal. 287,


Kerlinger, 1979, hal. 3.

213

Pemahaman atas berbagai mekanisme yang berada di belakang fenomenafenomena di dalam realitas memungkinkan kita menciptakan teknologi-teknologi.
Misalnya, pemahaman akan struktur kimiawi tumbuhan memungkinkan kita
menciptakan pupuk yang mampu menyuburkan tanaman. Dan, pemahaman kita
akan struktur-struktur molekul atomik memungkinkan kita membuat senjata nuklir
dengan daya destruktif yang sangat besar. Dalam arti ini, kita membuat hukumhukum alam tunduk di bawah keinginan kita. Dengan demikian, pemahaman terkait
langsung dengan kontrol, yakni kontrol dalam arti kemampuan kita untuk membuat
proses-proses alamiah menjadi berguna untuk kepentingan kita.
Memang, dalam realitas, kita dapat memprediksi berbagai kejadian alam
tanpa bisa memahaminya secara sungguh-sungguh. Kita juga seringkali mampu
memahami suatu kejadian alam secara sungguh-sungguh tanpa pernah pernah bisa
memprediksinya. Kita dapat memprediksi, karena peristiwa itu sudah terjadi secara
rutin. Akan tetapi, dalam kedua kasus ini, apakah kita mengerti pola yang berulang di
dalam realitas yang kita amati? Apa yang menyebabkannya? Apakah kita mengerti
mengapa prediksi kita tentang fenomena tersebut tepat? Tentunya, kita dapat
memprediksi terjadinya hujan dengan melihat awan mendung. Dalam hal ini, kita
tidak memerlukan pengetahuan mengenai suhu udara, tingkat kelembapan, tingkat
kondensasi dari awan, dan sebagainya. Hal yang kurang lebih serupa adalah fakta
bahwa manusia telah mengetahui cara membuat api jauh sebelum ditemukannya
prinsip pembakaran.
Di sisi lain, kita bisa sangat mengerti tentang prinsip pembakaran, tetapi
menjadi sama sekali tidak berdaya menghadapi bencana kebakaran. Hal ini
seringkali terjadi. Kita pun sudah tidak kaget lagi. Segala sesuatu yang terjadi di
dunia biasanya merupakan hasil dari beragam sebab akibat yang kompleks, sehingga
seringkali pola-pola yang berulang tidak dapat dipastikan secara akurat hasilnya.
Dengan kata lain, struktur realitas bersifat kontingen, bahkan kontingen secara
radikal. Hal ini tampak jelas sekali di dalam realitas. Akan tetapi, jika menyimak apa
yang ditulis Kerlinger, ilmu pengetahuan secara eksklusif berkaitan dengan
pengetahuan dan pemahaman.. sehingga seorang ilmuwan dapat mengatakan: jika
kita melakukan ini, maka yang terjadi adalah ini..80, maka pemahaman murni akan
mengalami perubahan mendadak menjadi kontrol yang bersifat intrumental
terhadap alam.
Jika teori tidak lebih dari kumpulan-kumpulan variabel, dan variabel-variabel itu
haruslah dapat diamati, diukur, dan dimanipulasi, pemahaman sebenarnya sudah
mengandung prediksi dan kontrol di dalamnya.81 Memang, di dalam ilmu
pengetahuan murni, teori tidak secara langsung bertujuan untuk memberikan
mekanisme kontrol pada dirinya sendiri, melainkan lebih berfokus untuk
80

Kerlinger, 1979, hal. 17.

214

memberikan pemahaman dan pengertian. Akan tetapi, di dalam perkembangannya,


pengetahuan teoritis tersebut telah berubah menjadi pengetahuan teknokratis, di
mana semua tujuan ilmu pengetahuan difokuskan pada kontrol dan prediksi atas
alam dan hukum-hukumnya. Perkembangan ini paling pesat dialami pada abad ke20.
Hal yang sama kurang lebih terjadi pada ilmu-ilmu sosial dewasa ini. Jika kita
ingin mengetahui berbagai analisis sosial tentang pendidikan, ada baiknya kita
membaca tulisan orang-orang seperti Paul Goodman, Kozolm dan Silberman.
Tulisan-tulisan mereka tidaklah analitis dan matematis, seperti menghubungkan
berbagai variabel yang ada dan menarik konsekuensi dari keterhubungan itu. Akan
tetapi, mereka mencoba menjelaskan pola yang ada di balik beragam sistem
pendidikan yang ada. Dengan melakukan ini, mereka telah memberikan pengetahuan
tentang mekanisme-mekanisme sosial yang berada di balik sistem pendidikan tanpa
harus terjebak pada analisis matematis yang seringkali jauh berbeda dengan
realitas.82

81
82

Lihat, ibid, hal. 62.


Lihat, Manicas, 1987, hal. 290.

215

Bab
8
Filsafat Ilmu-Ilmu Sosial II
Masyarakat: Fakta atau Hipotesa?
Ada banyak problem penting yang direfleksikan di dalam filsafat, dan salah
satunya adalah problematika tatanan. Problem tersebut tepat membedah sebuah
pertanyaan, senada seperti yang saya tulis di paragraf sebelumnya, yang terkesan
sangat aneh, yakni mengapa ada kolektifitas manusia? Atau, jika dibahasakan
dengan cara lain, yang lebih politis, mengapa masyarakat itu ada? Bagaimana
masyarakat itu terbentuk, dan apakah bentukan masyarakat tersebut sebuah fakta
atau hipotesa? Di telinga orang yang biasa menjalani hidup kesehariannya secara
familiar, pertanyaan tersebut kedengaran bodoh, dan mengada-ada. Akan tetapi, di
telinga seorang teoritikus ilmu-ilmu sosial, pertanyaan tersebut mengundang
berbagai hipotesa jawaban, yang menyalakan semacam discursive consciousness di
dalam kepalanya. Discursive consciousness ini seakan memaksa sang teoritikus
untuk menunda semua pemikiran lainnya, dan memfokuskan diri untuk melihat
fenomena tersebut. Jawaban yang diberikan pun beragam. Ada yang berpendapat
bahwa masyarakat itu tak lebih dari sebuah hipotesa, yang sesungguhnya ada di
kepala individu dalam bentuk struktur, atau skema mental, dimana segala tindakan
manusia dapat dipahami dengan mengacu kepada skema mental itu. Ada pendapat
lain yang ingin, katakanlah, menyelamatkan ontologi sosial dengan menekankan
bahwa masyarakat pada khususnya, dan kolektifitas manusia pada umumnya,
memiliki semacam status ontologi tertentu, yang tidak dapat direduksikan begitu saja
kepada kepala individu.
Mari saya ambil sebuah contoh tentang bagaimana problematik tatanan ini
dibedah oleh dua pemikir yang berbeda. Anthony Giddens berpendapat bahwa yang
namanya struktur, yakni skema mental yang membentuk tatanan dan
memungkinkan tindakan sosial seseorang dapat dimengerti, dibentuk melalui
pemadatan, rutinisasi, dan konkretisasi tindakan sosial agensi secara bersama dan
cukup lama, sehingga memadat menjadi suatu struktur, dimana segala bentuk
tindakan agensi hanya dapat dimengerti daripadanya. Contohnya adalah sistem
bahasa. Di dalam berbahasa, seorang agensi selalu sudah menggunakan kosa kata
dan gramatikal bahasa tertentu di mana dia hidup. Artinya, tindakan berbahasa
agensi tersebut hanya dapat dimengerti, jika sistem bahasa sudah diandaikan ada.
Kata-kata orang tersebut, gaya kalimatnya, tidak akan dapat dimengerti, jika tidak
ada sistem bahasa. Akan tetapi, sistem bahasa tersebut juga diciptakan melalui

216

proses yang lama dan rutin dari para agensi, yang berkomunikasi satu sama lain
dengan menggunakan bahasa. Maka, sistem bahasa, alih-alih dipandang memiliki
status ketetapan ontologis tertentu, justru lebih dipandang berada di dalam kepala
agensi, karena sewaktu-waktu kosa kata dan gramatikal bahasa tersebut dapat
berubah tergantung kepada penggunaan bahasa tersebut oleh agensi. Teori ini dapat
menjelaskan bagaimana terciptanya bahasa-bahasa slank, yang notabene
berkembang baru-baru ini di dalam sistem bahasa yang kita gunakan. Dengan
demikian, bagi Giddens, struktur tersebut lebih merupakan hasil dari tindakan agensi
di dalam ruang dan waktu tertentu, maka terletak di dalam kepala pelaku.
Kita akan menemukan tesis yang berbeda pada Roy Bhaskar. Bagi dia,
kolektifitas manusia memiliki status ontologinya sendiri yang tetap, dan tidak melulu
terpengaruh oleh agensi. Di samping itu, ia juga berpendapat bahwa agensi juga
memiliki ontologi tersendiri, yang tidak juga melulu dapat dilekatkan kepada
kolektifitas, atau struktur. Ontologi struktur dan agensi ini saling berkaitan satu
sama lain. Artinya, yang satu hanya dapat dipahami, jika ada yang lain. Individu
sudah selalu menemukan dirinya dalam konteks kolektifitas tertentu. Begitu pula,
kolektifitas juga sudah selalu mengandaikan adanya individu-individu yang
berinteraksi di dalamnya. Agensi berbahasa hanya dapat dipahami, jika sistem
bahasa telah terlebih dahulu ada. Begitu juga sebaliknya, bahasa tidak ada dari
kekosongan, melainkan keterulangan dan rutinisasi praktek agensi, yang
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi satu sama lain. Individu sudah selalu ada
dan berkembang di dalam suatu struktur masyarakat tertentu. Begitu pula
masyarakat tidak akan pernah dapat dipahami, jika tidak ada keterulangan praktek
kolektivitas individu, yang berdinamika di dalam masyarakat tersebut. Ontologi
Bhaskar di sini dapatlah dipahami sebagai ontologi yang bersifat relasional.
Pertanyaan yang kiranya tetap menggantung di kepala kita adalah, apakah
masyarakat itu fakta, atau hipotesa? Jika mengikuti main stream yang pertama,
yakni Giddens, masyarakat itu adalah sebuah hipotesa, yang ada di dalam kepala
individu. Sementara itu, main stream yang kedua akan mengatakan bahwa
masyarakat memiliki dimensi ontologisnya sendiri, yang memungkinkan ia berdiri
sebagai sebuah fakta yang cukup padat. Lalu, apakah ada pemikiran yang dapat
mendamaikan dua main stream tersebut?
Pada kesempatan ini, saya akan berupaya untuk menjawab pertanyaan
tersebut dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu tentang habitus, karena,
menurut saya, tesis Boudieu tentang habitus sedikit banyak merupakan tesis yang
paling memadai untuk memberikan sintesa terhadap problematika tatanan. Saya
juga akan berangkat dari suatu kegelisahan yang terjadi, ketika banyak orang salah
menafsirkan Bourdieu. Begini, tesis Bourdieu tentang habitus banyak disalahpahami
sebagai salah satu tesis yang menekankan pentingnya struktur, daripada peran
agensi, sehingga agensi tampak tidak memiliki kebebasan, ataupun daya kreatif
tertentu. Pada paper ini, selain mau menjawab pertanyaan, apakah masyarakat itu

217

fakta atau hipotesa, saya juga ingin meninterpretasi ulang penafsiran atas tesis
Bourdieu tentang habitus dengan menunjukkan bahwa tesisnya membuka peluang
bagi proses kreativitas dan kebebasan individu. Pada Bourdieu, kebebasan dan
kreativitas tidaklah dipahami secara filosofis, yakni sebagai kebebasan yang dapat
murni mengambil jarak, lalu kemudian menciptakan refleksi dan terobosan baru dari
pengambilan jarak tersebut, melainkan lebih secara realistis. Dalam arti, kebebasan
dan kreativitas manusia dalam memilih hanyalah mungkin, jika apa yang dipilihnya
sudah terkandung di dalam habitus lingkungan sosialnya, yang tidaklah tunggal, dan
bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul bagaikan wahyu dari Tuhan. Argumen ini
akan saya kembangkan di seluruh tulisan ini.
Untuk menjawab dua pertanyaan itu secara sistematis, tulisan ini akan dibagi
menjadi empat bagian.
Pertama akan dibahas tentang latar belakang dari ciri khas pemikiran Bordieu.
Bagian kedua akan membahas sejauh mana Bordieu mampu mengatasi dikotomi
antara agensi dan struktur, individu dan masyarakat.
Bagian ketiga akan mencoba untuk memberikan tanggapan kritis terhadap tesis
Bordieu tersebut. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan, sekaligus sebuah
kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang membingkai seluruh tulisan ini, apakah
masyarakat itu fakta, atau hipotesa?
8.1 Latar Belakang dan Ciri Khas Pemikiran Bordieu
Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog Perancis dengan latar belakang
pendidikan dan pemikiran filsafat yang sangat kuat. Ia lahir di Denguin, Pyrenia
Atlantik, Perancis, di sebuah keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pegawai
pos. Ketika muda, Bordieu berhasil memulai pendidikan dengan belajar di lyce di
Pau, kemudian lycee Louis-le-Gand (Paris), menuju fakultas sastra di Paris, dan
akhirnya di Ecole Normale Superieure pada 1951. Pada 1955, ia mendapat agregasi
filsafat, dan kemudian diangkat menjadi pengajar di lycee Moulins. Ia kemudian
menikah, dan dikaruniai tiga anak laki-laki pada 1962. Ia berpindah-pindah, dan
mengajar di fakultas Sastra di Alger 1958-1960, di Lille 1961-1964, dan sejak 1964 di
Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS). Di sana, ia menjabat
sekaligus direktur studi, dan direktur pusat kajian sosiologi Eropa, serta majalah
Actes de la Reserche en Sciences Sociales (ARSS), yang didirikannya sejak 1975. Ia
diangkat sebagai pakar sosiologi di College de France pada 1981. Pada 1993, pusat
penelitiannya menerima medali emas dari CNRS (Pusat Riset Ilmiah Nasional).
Pierre Bordieu meninggal pada 23 Januari 2002.
Sebagai seorang intelektual, ia sangat aktif terlibat di dalam gerakan-gerakan
sosial dan politik. Ia memberontak terhadap mekanisme-mekanisme dominasi sosial,
serta membela kelompok-kelopok yang terpinggir dan tertindas. Salah satu bentuk
keterlibatannya adalah ia memimpin sebuah komisi, yang merefleksikan tentang isi
pengajaran di sekolah seturut dengan permintaan presiden Francois Miterrand. Ia

218

mendukung aksi yang dipelopori mahasiswa dan siswa SMU, yang menentang
adanya kebijakan seleksi masuk universitas. Pada tahun 1995, ketika terjadi
pemogokan umum, ia juga ikut mengambil bagian untuk mendukung para pemogok.
Bahkan, ia menandatangani petisi pada Maret 1996 untuk melakukan
pembangkangan sipil melawan hukum pasqua, yang memperkeras legislasi imigrasi.
Masih ada sederetan riwayat keterlibatan Bordieu lainnya.83
Secara umum, Bordieu ingin melontarkan kritik terhadap dampak-dampak
negatif pemerintahan sosialis di Perancis, dan menggiringnya untuk kembali
menyimak pemikiran-pemikiran kiri. Ia bahkan menggalang sebuah gerakan untuk
menantang para pakar, wartawan, dan cendekiawan lainnya, yang telah menjadi kaki
tangan dari neo-liberalisme. Oleh karena itu, ia mendirikan penerbitan Liber, dan
dokumentasi Raison dagir, yang berisi tulisan-tulisan pendek yang kritis, seperti
dalam terbitan contre-feux, yang mati-matian menentang invasi neo-liberalisme. Di
Millau, pada Juni 2000, ia berpartisipasi dalam pembentukan jaringan Forces
critiques et progressistes (kekuatan-kekuatan kritis dan progresif) untuk berjuang
menentang globalisasi ekonomi.84 Saya sendiri adalah korban dan moralisme bebas
nilai, tulis Bordieu, seakan-akan yang ilmiah tidak memiliki implikasi politik. Lalu
saya menahan diri untuk tidak terbawa pada konsekuensi penelitian saya, dan
ternyata keliru. Melalui pengalaman dan tekanan urgensi politik, saya didorong
untuk ikut campur tangan dalam ranah politik. Seakan-akan orang bisa berbicara
tentang ranah sosial tanpa terlibat di dalam politik.85
Lalu, apa yang sesungguhnya menjadi ciri khas pemikiran Bordieu? Anda
mungkin sudah mencium arahnya, yakni bahwa setiap bentuk pemikiran, refleksi,
dan teks haruslah merealisasikan rumusannya menjadi suatu tindakan nyata.
Perjalanan intelektual Bordieu diwarnai dengan perubahan arah dari filsafat menuju
sosiologi. Perubahan ini justru sangat dipengaruhi oleh keprihatinan mendasar
Bordieu pada lingkup sosial dan hasratnya yang berkobar-kobar untuk mendorong
perubahan. Pengalaman masa kecilnya hidup di dalam kelompok sosial yang
didominasi membuatnya mampu untuk melihat elemen-elemen kehidupan sosial
yang tidak dilihat oleh intelektual lainnya. Di samping itu, ia juga menolak jika
dikatakan bahwa refleksi filosofis-sosiologisnya merupakan proyeksi kebencian kelas
yang diakibatkan oleh masa lalunya. Diskursus yang terjadi di kalangan akademis
ilmu-ilmu sosial Perancis membuatnya sampai pada pendapat bahwa teks haruslah
tidak steril, teks harus bermetamorfosis menjadi tindakan. Sosiologinya mencoba
untuk juga memberikan kontribusi di dalam problematika tatanan dengan berupaya
menjembatani dikotomi antara individu dan masyarakat, pelaku dan struktur. Begini,
di satu sisi, tesis Bordieu mendasarkan praktek individu dan kolektif pada konsep
83
Lihat Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut
Bordieu, Basis, Nomor. 11-12, November-Desember 2003, hal. 6.
84
Lihat Sciences Humanes, numero special, 2002, hal. 9.
85
Bernard Lahire, Le Travai sociologique de Pierre Bordieu. Dettes et Critiques, Paris, a Decouverte, 2001, hal.
15, seperti dikutip oleh Haryatmoko, op.cit.

219

habitus, bagian ini akan dijelaskan di Bab berikutnya, yang juga dibangun dalam
konteks sejarah individual dan kolektif. Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa ilmuilmu sosial juga harus menerapkan prinsip-prinsip ilmiah di dalam pendekatan
maupun refleksinya.
Radikalisme Bourdieu dalam merefleksikan ranah sosial, yang juga
didampingi dengan ketajaman serta keketatan analisa berpikir, tampak dalam
kutipan berikut, tidak dapat disangkal bahwa perubahan yang tengah terjadi untuk
sampai ke sosiologi bukannya tidak ada hubungannya dengan arah jalur kehidupan
sosial saya... di Perancis, kenyataan bahwa saya berasal dari sebuah propinsi
terpencil, terutama karena terletak di Selatan Loire, menciptakan sebuah kesan yang
tidak terlalu berbeda dengan situasi kolonial. Hubungan eksterioritas antara
subyektif dan obyektif sangatlah khusus dengan institusi pusat masyarakat Perancis
khususnya dunia intelektual. Ada semacam suasana rasisme sosial yang tidak dapat
membuat suatu kejernihan berpikir: dengan selalu diingatkan rasa keterasingannya
memungkinkan melihat halaman-halaman orang lain yang tidak dapat melihat atau
merasakannya.... Halaman ini untuk mengatakan bahwa benar saya merupakan
alumnus Ecole Normale Superieure yang mengkhianatinya..86
8.2 Konsep Habitus
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran Bourdieu membuka
semacam lembaran baru di dalam sosiologi. Lembaran baru ini akan semakin
tampak, jika kita membandingkan pemikiran sosialnya dengan beberapa bentuk
pemikiran sosial lainnya di Perancis. Patrick Bonnewitz membuat semacam
pembagian aliran pemikiran sosial yang berkembang di Perancis. Pembagian tersebut
tentunya sangat membantu kita untuk melihat seberapa jauh Bourdieu mengajukan
sesuatu yang baru.87 Di samping pemikirannya, ada satu tesis sosiologi yang tengah
berkembang, yakni individualisme-metodologi, yang dirumuskan oleh Raymond
Bourdon. Di dalam bukunya yang berjudul La logique du social pada 1979, menurut
Bourdon, fenomena sosial apapun selalu merupakan hasil dari tindakan-tindakan
individual. Maka dari itu, logika tindakan haruslah dicari pada sisi rasionalitas
tindakan para pelakunya. Pendekatan seperti ini tidak terlalu berbeda dengan
pendekatan ekonomi klasik. Bourdieu, dengan konsep habitusnya, tidak akan
menerima pemisahan ketat semacam ini, yakni antara pelaku sosial dari strukturstruktur yang melingkupi pelaku tersebut.
Model kedua yang juga menjadi latar dari pemikiran Bourdieu adalah
aksionalisme Alan Touraine. Pendekatan ini memfokuskan dirinya pada gerakangerakan sosial, serta dampak gerakan sosial tersebut di dalam perubahan sosial. Di
dalam bukunya yang berjudul Le retour de lacteur pada 1984, Touraine berpendapat
bahwa gerakan-gerakan sosial merupakan obyek yang khas, sekaligus masalah yang
86
87

Bourdieu dan Wacquant, 1992, hal. 5, seperti dikutip Haryatmoko, op.cit, hal. 8.
Lihat Patrice Bonnewitz, Premieres lecons sur la sociologie de Pierre Bourdieu, Paris, PUF, 1998, hal. 9.

220

sentral dalam analisis sosiologi. Dalam konteks ini, ia membedakan antara konsep
gerakan sosial, perjuangan kelas, dan perilaku kolektif. Ada baiknya kita sedikit
menyimak pendapat Touraine ini.
Pembedaan Touraine ini didasarkan atas pemahaman bahwa ada tiga konflik
sosial. Perilaku kolektif adaah tindakan-tindakan konfliktual, yang dipahami sebagi
upaya untuk mengadaptasi ataupun merekonstruksi berbagai unsur yang patologis
di dalam sistem sosial, seperti nilai, norma, relasi kekuasaan yang tidak seimbang,
ataupun masyarakat sendiri. Sementara itu, perjuangan kelas tindakan sosial yang
berfungsi sebagai mekanisme perubahan sebuah keputusan politis, yakni sebagai
agen dari perubahan, atau sebagai kekuatan politik baru. Sedangkan, gerakan sosial
terjadi, jika tindakan konfliktual tersebut diarahkan untuk mengubah hubungan
dominasi sosial, yang terletak dalam sumber daya budaya, seperti produksi,
pengetahuan, dan norma-norma etika.88 Model sosiologi yang dikembangkan
Touraine ini masih cenderung menekankan pelaku sosial sebagai penentu. Hal ini
tentunya akan berbeda dengan pendekatan Bourdieu, yang juga melihat bahwa
posisi-posisi, perilaku, gaya hidup, dan bahkan selera pelaku juga selalu terkait
dengan ruang dan waktu masyarakat tertentu, yang memang secara konkret
ditempati oleh pelaku tersebut.
Model sosiologi lainnya adalah pendekatan strategis dari Michael Crozier. Ia
menekankan analisis terhadap hubungan-hubungan kekuasaan serta relasi antara
organisasi. Kekuasaan para pelaku sosial, yang diperolehnya dari rasionalitas yang
sangat terbatas, terletak pada kebebasan mereka. Akan tetapi kebebasan tersebut
bukanlah satu pihak, melainkan juga sangat tergantung secara dialektis dengan
strategi yang diterapkan lawannya, yang juga mempunyai kebebasan. Oleh karena
itu, keberhasilan strategi pelaku sangat ditentukan oleh strategi yang dilakukan oleh
pelaku yang lain, yakni lawannya. Pemikiran Crozier akhirnya berkembang. Dia tidak
lagi menekankan dialektika antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain, atau
lawannya. Di dalam buku yang ditulisnya bersama dengan Erhard Friedberg dengan
judul Lacteur et le systeme pada 1977, ia mencoba menjelaskan dialektika antara
pelaku dan sistem secara lebih memadai, yakni struktur-struktur sosial hanya bisa
diciptakan, dikembangkan, dipertahankan, dan diubah oleh para pelaku sosial.
Sebaliknya, walaupun pelaku sosial memiliki kebebasan, tetapi ia juga masih
dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Mirip dengan pendekatan Giddens,
dimensi dualitas perilaku dan struktur masih sangat kuat disini.
Pada pemikiran Bourdieu, ada upaya untuk menyatukan kedua unsur
tersebut. Oleh karena itu, pendekatannya juga dikenal sebagai strukturalismegenetis, yakni analisis atas struktur-struktur obyektif, yang tidak dapat dipisahkan
dari analisis atas struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis, yang
sebagiannya merupakan produk dari struktur-struktur sosial, serta analisis atas asal
88

Lihat Alain Touraine, Le retour de lacteur, Paris, Fayard, 1984, hal. 142.

221

usul struktur sosial itu sendiri. Secara gamblang dapatlah terlihat bahwa Bourdieu
berupaya membuka cakrawala baru dalam menganalisis masyarakat.
Untuk dapat mengerti secara menyeluruh tentang konsep habitus, kita juga
harus sudah mengandaikan bentuk epistemologi sejarah yang dapat mengungkapkan
relevansi praktis suatu bentuk diskursus.89 Konsep habitus ini memberikan suatu
bentuk koherensi antara masyarakat dan pelaku. Ia, konsep habitus, menjadi
perantara antara individu dan kolektifitas. Konsep habitus memungkinkan kita untuk
mengerti bagaimana pelaku turut membentuk struktur sosial, namun logika
tindakannya tetap berpijak di dalam struktur sosial yang telah ada. Gaya hidup,
demikian Bourdieu, dipahami sebagai keseluruhan selera, kepercayaan dan praktek
sistematis yang menjadi ciri suatu kelas, ...di dalamnya terdapat opini politik,
keyakinan filosofis, keyakinan moral, selera estetis, dan juga makanan, pakaian,
budaya..90 Itulah yang dimaksud Boudieu sebagai habitus.
Lalu, bagaimana habitus ini bisa terbentuk, dan kemudian diwariskan?
Menurut Bourdieu, habitus di dalam suatu kelas tertentu terbentuk melalui proses
sosialisasi. Artinya, reproduksi tatanan sosial terjadi dengan bertitik tolak dari
konsep habitus ini. Setiap sistem disposisi individu demikian Bourdieu, adalah
variabel struktural sistem disposisi yang lain, dimana terungkap kekhasan posisinya
di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya pribadi, praktik-praktik kehidupan
ataupun hasil karya, tidak lain kecuali suatu jarak terhadap gaya khas suatu jaman
atau suatu kelas, sehingga gaya itu mengacu kepada gaya umum, tidak hanya melalui
keseragaman, tetapi juga melalui perbedaan yang menghasilkan pembawaan
tertentu.91
Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian, yang dikaitkan
dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Hasil dari suatu bentuk habitus adalah
sistem-sistem disposisi yang relatif permanen, dan dapat diwariskan. Habitus juga
menghasilkan struktur-struktur yang dibentuk, sekaligus juga membentuk pelaku,
yakni yang menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek sosial. Hasil
suatu habitus, tulis Bourdieu, adalah sistems-sistem disposisi yang tahan waktu
dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang dimaksudkan juga
berfungsi sebagai struktur yang membentuk; artinya menjadi prinsip penggerak dan
pengatur praktek-praktek hidup dan representasi-representasi, yang dapat
disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa mengandaikan pengarahan tujuan secara
sadar dan penguasaan secara sengaja upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya,
secara obyektif diatur dan teratur tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan
aturan-aturan dan secara kolektif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari
pengaturan seorang dirigen.92

89

Lihat Bourdieu, Le sens pratique, Paris, Minuit,1980, hal. 91.


Lihat Pierre Bourdieu, Raisons pratiques. Sur la thorie de laction, Paris, Seuil, 1994, hal. 23.
91
Bourdieu, 1980, hal. 101.
92
Ibid, hal. 88-89.
90

222

Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis, tidak


selalu disadari, dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang
kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial tertentu.93
Dalam proses pembentukan keterampilan tersebut, struktur-struktur yang dibentuk
berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Begini contohnya, seorang
pianis baru dapat mulai membuat sebuah komposisi secara kreatif dan orisinil,
setelah ia cukup lama melatih diri, dan kemudian menguasai aturan-aturan dalam
komposisi dan harmoni tersebut. Nah, hanya setelah ia mulai membatinkan tandatanda dan pembatasan musikalah (struktur-struktur yang sudah dibentuk), sang
pianis tersebut dapat menyusun sebuah komposisi, mencipta, dan berimprovisasi
melampaui komposisi yang sudah ada (struktur-struktur yang membentuk).
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks penguasaan bahasa, penulisan,
ataupun pemikiran. Seorang seniman, sastrawan, penulis, ataupun pemikir mampu
menciptakan karya-karya jenius mereka, karena tidak lagi menyadari tanda-tanda
ataupun gaya, yang sudah dipadatkan dan terintegrasi di dalam dirinya. Dengan
begitu, kebebasan kreatif yang sering diagung-agungkan oleh para jenius,
sesungguhnya, merupakan hasil dari pembatasan struktur-struktur. Dengan
demikian, habitus juga berfungsi sebagai sumber penggerak tindakan, pemikiran,
ataupun representasi.
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai
realitas, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang membentuk dan
menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini sama sekali tidak
bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada habitusnya. Pembentukan
dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai sebuah lingkaran, yang tidak
diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus sangat memperhitungkan hasil dari
keteraturan perilaku manusia, di sisi lain, perkembangan dan lahirnya habitus
menyandarkan dirinya pada improvisasi struktur aturan yang ada, jadi bukan pada
kepatuhan pada struktur maupun aturan yang sudah ada. Dengan demikian, di
dalam habitus, ada dua gerak timbal balik, yakni pertama adalah struktur obyektif
yang dibatinkan, kedua adalah gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi,
yang menyingkapkan hasil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi
dapat lebih jelas dipahami. Habitus di sini mengandaikan seluruh proses
pembatinan, di mana dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri
dalam hubungan-hubungan sosial, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat di mana
dia hidup.
Nilai dan norma yang ada di masyarakat akan membentuk habitus yang
berupa etos. Artinya, habitus berupa etos tersebut akan membentuk individu dengan
prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktekkan, juga dengan bentuk moral yang
diinternalisasikan dan tidak disadari, namun membentuk perilaku sehari-hari.
93

Bourdieu, 1994, hal. 16-17.

223

Begini, ambil contoh tentang sifat yang terdapat di dalam diri seseorang, seperti
rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, berani, dan murah hati, yang merupakan habitus
berupa etos, dan terbentuk dari proses ketimbalbalikan antara diri dengan komunitas
di mana individu itu hidup. Ada bentuk habitus lain, yakni habitus badaniah. Habitus
badaniah berhubungan dengan sikap ataupun posisi khas tubuh, disposisi badan,
yang kesemuanya itu dipelajari dan diinternalisasikan oleh seorang individu ke
dalam dirinya melalui proses seumur hidupnya, seperti kebiasaan berjalan tegak,
mudah bergaul, mata yang selalu memandang ke bawah, dan sebagainya.
Dimensi pertama habitus tersebut terdiri dari dialektika hubungan antara
yang subyektif, pada individu, dengan yang obyektif, pada struktur komunalitas. Di
samping itu, dimensi pertama habitus ini juga terdiri dari dimensi prakseologis, yang
merupakan orientasi sosial, dan dimensi afeksi, seperti cita-cita, selera, dan
sebagainya. Dua dimensi ini menggambarkan adanya semacam disposisi seseorang
atau suatu kelas sosial, yang turut serta menentukan arah orientasi sosial, citacita, selera, cara berpikir, etos, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan disposisi itu
adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan, dan
berpikir, yang diinternalisasikan oleh seorang individu sebagai akibat dari interaksi
dengan masyarakatnya. Selain itu, disposisi juga berfungsi sebagai prinsip tak sadar
dari semua tindakan, persepsi, dan refleksi. Dengan demikian, disposisi yang sudah
ada sebelumnya akan juga turut menentukan bentuk-bentuk terciptanya disposisidisposisi yang baru.
Dalam konteks problematika tatanan, habitus dapatlah dipandang sebagai
struktur internal yang selalu berada dalam pembentukan terus menerus. Jadi, segala
bentuk praktek sosial yang dilakukan manusia tidak sepenuhnya ditentukan, karena
pelaku bisa memilih, tetapi juga tidak sepenuhnya bebas, karena segala pilihan yang
tersedia ditentukan oleh habitus. Nah, manusia, dengan tidak lagi perlu untuk
mencari makna ataupun menyadari makna dari tindakannya, memiliki habitus, yang
mampu menggerakan, mengorientasikan, serta membuatnya bertindak sesuai
dengan posisi yang ditempatinya dalam lingkup sosial, yang juga sesuai dengan
logika ruang dan situasi sosial yang melingkupinya. Akan tetapi, harus juga disadari
bahwa disposisi yang dimiliki manusia bukanlah sesuatu yang terberi, atau
terbentuk, begitu saja serta mudah diubah sesuai dengan situasi dan kebutuhan,
melainkan juga memiliki suatu unsur inertia yang mewarnainya. Mari kita lihat apa
yang telah ditulis oleh Bourdieu. Hal ini (habitus-RAW) tampak dari pilihan
terhadap tempat, peristiwa, maupun orang yang dikunjungi, habitus cenderung
melindungi diri terhadap krisis dan dari yang mempertanyakan secara kritis dengan
menjamin diri dalam lingkungan yang sedapat mungkin sudah disesuaikan, artinya
dunia yang cukup stabil yang akan semakin memperteguh disposisi-disposisinya.94
Konsep tentang habitus ini dirumuskan dengan tujuan untuk mengatasi
94

Bourdieu,1980, hal. 102.

224

dualisme kebebasan dan determinisme manusia. Di satu sisi, konsep ini tidaklah
terlepas dari suatu bentuk determinisme yang seolah-olah mengurung tindakantindakan manusia dalam tonggak-tonggak pembatas. Di sisi lain, konsep habitus ini
juga membuka peluang bagi konsep individu otonom yang bebas dan rasional. Begini
penjelasannya, setiap orang selalu sudah dikondisikan oleh lingkungannya. Semua
tindakannya diarahkan oleh rutinitas tindakannya. Akan tetapi, kebiasaan kita dalam
bekerja dapatlah dibayangkan sama seperti sebuah program yang memiliki
kemampuan kreatif dan strategis, dan eksis di dalam suatu lingkungan sosial
tertentu. Bourdieu sendiri menyatakan, sebagai skema pendorong yang diperoleh,
habitus memungkinkan kreatifitas pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan yang
tercetak dalam pembatasan yang melekat pada kondisi khas produksinya. Sebagai
kemampuan pendorong yang tak terbatas namun juga dibatasi, habitus mencoba
untuk mengatasi determinisme dari kebebasan, pengkondisian dan kreatifitas,
kesadaran dan ketaksadaran, atau individu dan masyarakat.95
Rumusan tersebut terkesan sangat rumit. Akan tetapi, walaupun dengan
resiko reduksi yang cukup besar, kita bisa menjaring esensi rumusan tersebut, yakni
habitus sebagai gugus kebiasaan yang melingkupi keseharian individu di dalam
rutinitasnya. Habitus adalah gugus kebiasaan. Akar katanya adalah bahasa Latin,
yang berarti kebiasaan, pembawaan, atau penampilan diri. Kesemuanya mau
menunjuk kepada kecenderungan atau pembawaan diri yang telah menjadi insting
perilaku dan telah mendarah daging, yakni semacam pemadatan dari cara kita
merasa, memandang, mendekati, bertindak, ataupun berinteraksi dalam kondisi
suatu masyarakat sehari-hari. Dalam arti ini, habitus dapat digunakan secara netral,
baik untuk gugus kebiasaan terpuji maupun tercela.96 Nah, sebagai pemadatan dari
kebiasaan kita dalam merasa, memandang, bertindak, dan berinteraksi, habitus
memiliki sifat spontan serta tidak disadari perilakunya, sehingga kurang juga
disadari apakah kebiasaan itu baik atau tidak. Orang demikian Herry Priyono,
tidak sadar akan habitusnya, sebagaimana orang tidak sadar akan bau mulutnya.97
8.3 Tanggapan Kritis Atas Pemikiran Bourdieu
Marilah kita sedikit mengambil jarak terhadap apa yang telah dirumuskan
oleh Bourdieu. Di dalam keseluruhan pemikiran Bourdieu, konsep habitus
sesungguhnya mau menjelaskan mengapa individu di dalam masyarakat bertindak
sesuai dengan skema yang sudah ada sebelumnya, serta cenderung untuk
mereproduksi relasi-relasi sosial, yang ditandai dengan adanya dominasi kelompok
tertentu terhadap kelompok yang lain. Dalam hal ini, sistem disposisi yang telah
berlangsung lama dan dapat diwariskan pada setiap individu merupakan faktor yang
menentukan serta melanggengkan secara tidak disadari. Menurut Bourdieu, ada
95

Ibid, hal. 92.


Lihat Herry Priyono, Habitus Baru, Kompas 2 Januari 2006.
97
Ibidem.
96

225

habitus individual, sekaligus ada habitus kelas. Yang menjadi tanggapan kritis utama
dalam
tesis
ini
adalah
bahwa
kesatuan
disposisi-disposisi,
proses
keberlangsungannya selama hidup, serta pengaruhnya terhadap kehidupan seharihari, yang tidak selalu tunggal, searah, dan sama. Kita harus lebih jeli melihat
gugus kebiasaan yang tengah berlangsung di dalam ruang publik masyarakat kita.
Dengan kata lain, sesungguhnya ada berbagai sumber, di mana orang bisa dibentuk,
mempelajari, serta ikut membentuk habitus yang ada, seperi keluarga, sekolah, kerja,
dan media. Pola sosialisasi di dalam keluarga misalnya, proses interaksi dan
sosialisasi di dalam keluarga bukanlah proses sosialisasi yang homogen, tetapi
mosaik, di mana ayah bisa saja tidak bisa membaca, ibu adalah dosen universitas,
anak perempuan adalah murid SD, dan anak-anak lainnya yang juga mungkin
berhasil, atau mungkin tidak, dalam proses belajarnya. Yang mau dikatakan di sini
adalah bahwa yang mempengaruhi seseorang berasal dari relasi-relasi yang beragam,
yang mosaik, sehingga menjanjikan masa depan yang juga sangat beragam. Dengan
demikian, orang, dalam sebuah keluarga, dapat melewati proses sosialisasi yang
begitu beragam, walaupun posisi awal keluarga dalam hirarki sosial sama pada
awalnya.98 Proses sosialisasi yang mosaik tersebut menciptakan habitus yang juga
mosaistis, yang terpecah, berbeda-beda, sehingga hampir tidak dapat dikelompokan
dalam satu konsep, yakni habitus kelas tertentu, ataupun habitus individual tertentu.
Selain itu, konsep habitus yang dirumuskan dan dielaborasi secara brilian oleh
Bourdieu juga tampak jatuh pada satu sisi, yang mewarnai perdebatan filosofis abadi
dalam konteks problematika tatanan.99 Sisi itu adalah mereka-mereka yang terlalu
menitikberatkan pada struktur. Begini, pandangan Bourdieu tentang perilaku sosial
terlalu menitikberatkan pada determinisme budaya kelas asalnya, status sosialnya,
dan posisinya di dalam strata sosial. Kesan determinis ini semakin terlihat, ketika ia
menyatakan bahwa habitus berfungsi seperti program yang memungkinkan adanya
ruang bagi kreativitas. Akan tetapi, pembelaan bahwa individu ataupun pelaku
memiliki kreativitas belumlah mencukupi untuk menujukkan kemandirian subyek.
Subyek di sini, meskipun merupakan hasil dari pengkondisian di dalam masyarakat,
dianggap tetap dapat berperan sebagai sumber bagi perubahan sosial, serta
kebebasan politik. Hal ini tentunya sebuah konsistensi internal di dalam pemikiran
Bourdieu. Pelaku sosial yang sudah terbawa arus otomatisme tindakan tidak akan
dapat mengembangkan kemampuan refleksi yang sama, yang dimiliki oleh pengamat
dari luar. Dengan kata lain, momen pengambilan jarak dan refleksi untuk
mengevaluasi praktek-praktek sosial mutlak diperlukan, sehingga kemungkinankemungkinan baru dapat dikembangkan. Momen pengambilan jarak inilah yang agak
lemah di dalam pemikiran Bourdieu.

98

Lihat, Haryatmoko, 2003, hal. 22.


Ini menjadi kritik yang kerap kali dilontarkan terhadap Bourdieu, terutama di ruang kelas pasca sarjana STF
Driyarkara oleh B. Herry Priyono.
99

226

8.4 Kesimpulan dan Penutup


Marilah kita mengkerucutkan seluruh tulisan ini untuk menjawab pertanyaan
yang saya bentangkan di bagian awal, yakni apakah ada sesuatu yang dinamakan
dengan sosial? Apakah sungguh-sungguh ada sesuatu yang disebut sebagai kami?
Apakah Indonesia dan Etnis Melayu, yang menandakan adanya kolektifitas ini,
sungguh-sungguh ada sebagai fakta, atau hanyalah sebuah hipotesa? Dengan
menimba dari pemikiran Bourdieu, lepas dari kritik yang sudah saya jelaskan di Bab
sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa kekamian, sosial, Indonesia, Etnis Melayu,
masyarakat, atau dalam terminologi yang lebih abstrak, kolektifitas, itu memiliki
unsur inertia yang cukup keras, sehingga tidak dapat melulu direduksi ke dalam
kepala pelaku, seperti pendapat Anthony Giddens. Unsur inertia itu tampak dari
kemampuan dimensi kolektifitas manusia untuk mendeterminasi kepelakuan dari
individu di dalam komunitas. Akan tetapi, unsur inertia tersebut bukanlah unsur
yang mati, atau stagnan, melainkan merestrukturasi dirinya dalam bentuk perubahan
habitus, penciptaan habitus baru, yang terjadi akibat proses interaksi antara pelaku
yang kontinu, dan memiliki ruang untuk mengembangkan kreativitasnya. Artinya,
agensi dapat melakukan perubahan dan proses kreativitasnya dalam konteks habitus
yang sudah ada di masyarakat. Ia dapat memilih, tetapi pilihan itu bukanlah tak
terbatas seolah-olah ia lepas dari ruang dan waktu konteks sosialnya, melainkan
terbatas pada konteks habitus yang sudah ada di dalam masyarakat, tempat di mana
ia lahir dan berkembang. Saya ambil contoh seorang komponis musik, yang berniat
menggubah sebuah komposisi musik baru. Kebaruan komposisi tersebut hanya
mungkin, jika sang komponis sudah terlebih dahulu menguasai aturan dasar
permainan piano pada umumnya, dan tidak bisa tidak. Kebaruan dan kreativitas
datang, ketika sang komponis mencoba menggabungkan berbagai jenis gaya bermain
piano yang sudah ia ketahui, di sini habitus yang bermacam-macam adalah gaya
bermain piano yang bermacam-macam, dan kemudian merekomposisikannya secara
padat. Itulah kebaruan dan kreativitas, yakni sebagai kompilasi padat berbagai
habitus yang sudah ada sebelumnya, dan bukan habitus baru, yang seolah-olah jatuh
dari langit.
Tesis ini, menurut saya, tampak cukup seimbang, terutama untuk ikut
berpartisipasi di dalam debat tentang problematika tatanan. Akan tetapi, seperti saya
sudah katakan diatas bahwa problematika tatanan ini merupakan salah satu problem
abadi sepanjang sejarah pemikiran filsafat, maka seperti halnya segala sesuatu yang
abadi tidak akan pernah selesai, tentunya selama masih ada manusia di dunia ini,
maka tesis ini masih terbuka untuk perdebatan lebih jauh. Berkenaan dengan ini,
saya kira tepat kalau saya mengutip tulisan Thomas Aquinas dalam De Caelo et
mundo I, 22, Tujuan belajar filsafat bukanlah untuk mengetahui apa yang dulu
pernah dipikirkan manusia tentang banyak hal, melainkan bagaiman kebenaran
perkara-perkara itu digeluti, dan kalau boleh saya tambahkan, serta diberi
pertanggungjawaban secara rasional dan argumentatif. Dengan penuh kerendahan

227

hati, saya ingin menempatkan jawaban saya hanya sebagai satu tesis untuk mencoba
menjawab problematika tatanan ini.

228

Bab
9
Ilmu Pengetahuan dan Umat Manusia
Sejauh ini, kita sudah melihat bagaimana manusia berupaya memahami dunia
tempat mereka tinggal. Dalam proses memahami tersebut, setidaknya ada dua proses
yang terjadi, yakni proses menjelaskan apa yang ada di luar sana, yakni di dalam
dunia, dan proses bagaimana kita dapat mengetahuinya. Upaya ini bisa dirunut
secara sistematis di dalam sejarah filsafat mulai dari dualisme jiwa dan badan yang
dirumuskan Descartes, konsep Kant bahwa pikiran manusia memiliki kategorikategori yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi pengetahuan, maupun
konsep Aristoteles tentang sebab final, atau yang disebutnya sebagai causa final.
Dalam arti ini, ilmu pengetahuan selalu mengandaikan epistemologi, yakni teori
tentang pengetahuan, sekaligus filsafat pikiran (philosophy of mind). Sejak jaman
Galen (129-210AD), yang berupaya menggabungkan pendekatan medis dengan
pendekatan filosofis, tubuh dan pikiran manusia telah menjadi obyek dari penelitian
ilmiah. Di dalam Bab ini, saya akan menjabarkan beberapa isu yang muncul, ketika
umat manusia mulai menggunakan ilmu pengetahuan untuk memahami dirinya
sendiri.
Sampai abad ke-19, diskusi-diskusi tentang hakekat dari tubuh fisik manusia,
serta relasinya dengan pikiran banyak terjadi. Diskusi-diskusi ini juga banyak
menyinggung tentang perilaku manusia, terutama dalam kontek etika dan filsafat
politik. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19, ranah penelitian ilmiah telah meluas,
termasuk di dalamnya adalah psikologi, sosiologi, dan teori evolusi yang
mempertanyakan hakekat alamiah dari manusia, serta relasi manusia dengan spesies
lainnya.100 Bersamaan dengan itu, peran ilmu pengetahuan pun semakin
berkembang di dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, manusia semakin
ditentukan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi informasi dan
komunikasi, misalnya, telah mengubah cara manusia melakukan komunikasi.
Relasi antara ilmu pengetahuan dan umat manusia melibatkan dua proses yang
saling terkait. Kedua proses ini bukanlah proses yang hanya berjalan satu arah,
melainkan dua arah dan saling timbal balik.
Pengetahuan ilmiah dibentuk dengan adanya pikiran manusia, dan pengetahuan
tersebut pun terbentuk sejalan dengan cara pikiran manusia bekerja. Sebaliknya,
untuk memahami pikiran manusia secara ilmiah, pikiran manusia harus
100

Lihat, Thompson, 2001, hal. 138.

229

menyesuaikan diri dengan kriteria-kriteria saintifik kognitif. Hal semacam ini


tentunya menciptakan banyak problem, seperti terjadi analisis yang bersifat reduktif
terhadap manusia, di mana manusia hanya dipandang sebagai tubuh dengan gejalagejala fisiknya. Misalnya, orang jatuh cinta berarti ada urat saraf tertentu di otak
yang mengalami rangsangan, dan sebagainya. Jika kita memahami bagaimana satu
fungsi di dalam tubuh manusia bekerja, hal ini tidak berarti kita memahami
bagaimana manusia seutuhnya.
Ilmu pengetahuan memahami suatu fenomena, yakni kehidupan manusia, yang
telah dibentuk dan dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan sosial
memang meneliti suatu struktur sosial tertentu. Akan tetapi, kegiatan penelitian
tersebut juga mempengaruhi obyek yang diteliti. Ada relasi timbal balik antara
peneliti dengan yang diteliti.
Pola semacam ini juga dapat ditemukan di alam kegiatanan penelitian fisika partikel,
di mana penelitian itu sendiri mempengaruhi apa yang nantinya ditemukan di dalam
penelitian.
Walaupun menulis ratusan tahun sebelum ilmu kedokteran modern
berkembang, Galen cukup berhasil memeriksa bagian-bagian tubuh manusia, dan
melihat apa kontribusi per bagian tersebut bagi fungsi tubuh manusia secara
keseluruhan. Memang, dalam beberapa kesempatan, dia salah. Misalnya, ia mengira
bahwa fungsi hati adalah menyalurkan panas, dan fungsi paru-paru adalah menyerap
udara untuk mencegah tubuh manusia mengalami panas berlebihan. Akan tetapi,
Galen memberikan kontribusi besar di dalam proses memahami manusia, yakni
bahwa manusia harus dipahami sebagai suatu keseluruhan, dan bahwa bagianbagian yang spesifik pun harus ditempatkan dalam kontribusinya bagi keseluruhan
manusia itu sendiri
Pada 1628, William Harvey menulis buku yang berjudul De Motu Cordis. Di
dalamnya, ia mengkritik pendapat Galen dengan menyatakan bahwa jantung
merupakan sebuah pompa, dan bahwa darah diproses terlebih dahulu di dalam paruparu sebelum dipompa ke seluruh tubuh. Dari sini, kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa setiap organ di dalam tubuh manusia selalu mendapatkan darah yang telah
diproses di dalam paru-paru, dan juga dengan demikian, tubuh manusia adalah suatu
sistem tersendiri yang bagian-bagiannya saling terhubung satu sama lain.
Ada kesamaan argumen di dalam pemikiran Galen maupun di dalam
pemikiran Harvey, yakni bahwa setiap bagian dari tubuh hanya dapat dimengerti
dalam konteksnya fungsinya bagi keseluruhan tubuh itu. Akan tetapi, perbedaan
pemahaman mereka cukup mendasar. Galen mengamati dan mencoba memahami
tujuan dari keberadaan setiap organ di dalam tubuh. Hal ini cukup bisa dipahami,
karena Galen dipengaruhi Aristoteles yang mengatakan bahwa segala sesuatu,
230

termasuk yang partikular, memiliki tujuan finalnya sendiri-sendiri. Apa yang tidak
diselidiki oleh Galen lebih jauh adalah mekanisme yang memungkinkan organ-organ
tersebut berfungsi. Dalam konteks dunia ilmu pengetahuan abad ke-17 dan 18, di
mana para ilmuwan terfokus pada pertanyaan tentang sebab daripada tentang
tujuan, Harvey berpendapat bahwa tubuh manusia dapat diperiksa layaknya mesin
yang memiliki mekanisme-mekanisme tertentu. Dan seperti alam semesta yang
dipandang sebagai suatu mesin raksasa, tubuh manusia pun dipandang juga sebagai
mesin. Pada masa yang kurang lebih sama, Descartes merumuskan suatu bentuk
filsafat yang berupaya memisahkan pikiran dari tubuh fisik. Tubuh fisik inilah yang
dapat dianalisis secara mekanis, seperti mesin, karena tubuh ini dituntun oleh
hukum-hukum universal yang bersifat mekanis.101
9.2 Pendekatan Reduksionistik dan Pendekatan Holistik
Analisis yang bersifat reduksionistik adalah analisis yang menyempitkan
entitas yang kompleks ke dalam analisis atas bagian-bagiannya. Dari sudut pandang
ini, saya tidak lebih dari kumpulan sel-sel yang dijumlahkan dan disatukan. Memang,
pandangan ini pas sekali digunakan, jika kita beranggapan bahwa tubuh pada
hakekatnya adalah mesin. Sel-sel hidup yang menjadi obyek kajian biologi dapat
direduksikan menjadi komponen-komponen kimia yang dapat direduksikan kembali
menjadi atom-atom, seperti pada fisika partikel. Dengan demikian, dari sudut
pandang ini, tubuh manusia adalah sesuatu yang kompleks yang dapat dianalisis
dengan menggunakan hukum-hukum fisika yang bersifat universal.
Sementara itu, pendekatan holistik memeriksa bagaimana entitas yang
kompleks beroperasi sebagai keseluruhan. Pendekatan holistik memandang sesuatu
sebagai sebuah organisme yang menyeluruh dan kompleks. Dari sudut pandang ini,
manusia adalah mahluk yang memiliki kehidupan personal, dan inilah yang
membedakan manusia dari sel-sel yang membentuknya.
Tidak ada satupun analisis negatif tentang radiasi sinar matahari yang dapat
membuat orang tidak lagi suka berlibur ke pantai. Memang, sinar matahari dapat
merusak kulit. Akan tetapi, kehidupan personal bergerak di level yang berbeda,
karena ada sesuatu di pantai bagi kehidupan personal Anda disamping kulit yang
rusak.
Jelas, pendekatan reduksionistik dan pendekatan holistik memandang
manusia dengan cara yang berbeda. Hal ini juga berarti bahwa analisis fisik bukanlah
merupakan satu-satunya cara yang cukup ilmiah untuk memahami manusia.
Manusia memiliki aspek genetis berupa sel-sel dan DNA, tetapi manusia juga terlibat
dalam lingkup politik, sosial, dan global yang memerlukan pemahaman sendiri. Dan
101

Lihat, ibid, hal. 139.

231

pemahaman itu tidak dapat diperoleh dari analisis fisik yang bersifat mekanis atas
tubuh manusia semata.
9.3 Evolusi dan Asal Usul Manusia
Dalam proses memahami asal usul manusia, karya Darwin yang berjudul The
Origins of Species tidaklah boleh dilewatkan. Pemahaman umum tentang evolusi
menempatkan manusia dalam perspektif yang lebih global, yakni membuka fakta
bahwa manusia terdiri dari kode-kode genetis yang ternyata juga dimiliki oleh semua
bentuk kehidupan lainnya. Sejak abad ke-19 sampai sekarang, teori evolusi telah
banyak mengalami perkembangan. Beragam penemuan telah dilakukan. Beragam
analisis baru juga telah diajukan, terutama tentang proses evolusi manusia yang
terjadi selama berjuta-juta tahun.
Bumi terbentuk kira-kira 5 milyar tahun yang lalu. Tumbuh-tumbuhan
primitif dan daratan kering mulai terbentuk kira-kira 410 juta tahun yang lalu. Jadi,
pada awal bumi ini terbentuk di dalamnya hanya ada air, dan belum ada kehidupan.
Dapat juga dikatakan bahwa sebagian besar usia bumi ini dihabiskan tanpa ada
kehidupan di dalamnya. Evolusi yang paling besar terjadi pada kerusakan besar 250
juta tahun yang lalu yang menghancurkan 90 persen spesies pada waktu itu. Di
samping itu, kerusakan besar yang memusnahkan dinosaurus, dan 50 persen spesies
lainnya, sekitar 250 juta tahun yang lalu juga memberikan dampak besar bagi proses
evolusi. Mamalia sendiri baru muncul sekitar 50 juta tahun yang lalu, dan kera
pertama ada sekitar 35 juta tahun yang lalu.
Sekitar 4 juta tahun yang lalu muncul suatu spesies di Afrika yang merupakan
percabangan dari kera. Spesies itulah yang nantinya berkembang menjadi Homo
Sapiens, atau manusia sekarang ini. Australopithecus yang ditemukan pertama kali
di Ethiopia hidup sekitar 4 juta tahun yang lalu. Sekitar satu juta tahun yang lalu,
Homo Erectus hidup di Afrika, Asia, dan Eropa. Mereka sudah mengggunakan
berbagai macam peralatan dan telah menemukan penggunaan api. Manusia
Neanderthal hidup sekitar 300.000 tahun yang lalu. Sekitar 75.000 tahun yang lalu,
mereka telah menciptakan tempat penguburan beserta ritus-ritusnya. Cabang
lainnya dari kera yang juga berkembang bersama homo sapiens diperkirakan punah
32.000 tahun yang lalu. Apa yang belum diketahui sekarang ini adalah, apakah homo
erectus akhirnya tinggal di Eropa dan berevolusi menjadi homo Neanderthal, atau
proses tersebut terjadi di tempat lain?
Homo sapiens sendiri hidup di Afrika Timur dan Afrika Selatan sekitar
100.000 tahun yang lalu. Bentuk tubuh maupun volume otaknya sudah sama seperti
volume otak manusia sekarang. Diasumsikan, bahwa homo sapiens pindah dari
Afrika untuk mengkolonisasi tempat-tempat lainnya.
Di Australia, ada sebuah bangunan batuan yang tersusun sedemikian rupa, sehingga
tampak sebagai sebuah karya seni. Usia bangunan tersebut diperkirakan sekitar
232

75.000 tahun. Padahal, Australia baru dihuni sekitar 50.000 tahun yang lalu. Disana
juga ditemukan suatu peralatan yang terbuat dari batu yang diperkirakan berusia
176.000 tahun. Jika semua ini benar, maka fakta-fakta ini menggagalklan semua
teori tentang migrasi di Australia. Homo sapiens diyakini telah membuat perjalanan
tersendiri, sehingga mereka bisa menghuni Australia. Akan tetapi, pernyataan
terakhir ini mengandaikan bahwa homo sapiens sudah menemukan teknologi untuk
berlayar sekitar 30 mil menyeberangi lautan. Dan, ini juga mengandaikan bahwa
mereka telah dapat berkomunikasi satu sama lain, dan memiliki cara untuk
mengorganisasikan kehidupan sosial.
Paparan ini menyatakan bahwa terdapat problem fundamental di dalam penelitian
ilmiah tentang asal usul manusia, yakni bahwa suatu bukti fisik yang kecil seringkali
dijadikan suatu fondasi bagi teori besar tentang perkembangan dan proses migrasi
manusia purba. Dengan kata lain, satu batu kecil bisa jadi titik awal bagi suatu teori
masif tentang asal usul manusia.
Secara umum, ada berbagai perdebatan tentang apakah manusia modern
sekarang ini berkembang di Afrika, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, atau
berkembang dari manusia Neanderthal di Eropa. Dalam hal ini, kita berhadapan
dengan suatu periode waktu yang sangat panjang, dan yang tidak bisa begitu saja
dipastikan. Para peneliti juga pernah menemukan lukisan gua di Perancis Selatan
yang diperkirakan sudah ada sejak 30.000 tahun sebelum Masehi. Pada 10.000
sebelum Masehi, kita bisa menemukan komunitas peradaban di Timur Tengah.
Sisanya bisa kita baca di buku-buku sejarah.
Coba perhatikan metode yang digunakan di dalam proses penelitian asal usul
manusia ini. Ada problem epistemologis mendasar di dalamnya, yakni terlalu
sedikitnya bukti-bukti fisik yang tersedia sebagai dasar dari suatu teori. Dalam
konteks kasus Australia yang sedikit sudah disinggung sebelumnya, satu bukti yang
saling berkonflik dengan bukti lainnya dapat mengancam koherensi seluruh teori
tentang perkembangan manusia dan migrasi manusia purba. Menurut teori
falsifikasi yang sederhana, proses falsifikasi yang terjadi langsung dapat membuat
suatu teori menjadi tidak lagi bermakna. Sedangkan, menurut Kuhn, suatu
paradigma yang sudah mapan tidak bisa langsung menjadi tidak bermakna, hanya
karena ada satu bukti yang bertentangan dengan paradigma tersebut. Dengan kata
lain, bukti baru yang berlawanan tersebut haruslah ditunda terlebih dahulu sampai
ditemukan bukti-bukti lainnya.
Problem yang kedua berkaitan dengan interpretasi kita apa yang disebut
manusia dan kemanusiaan. Seringkali, kita menggunakan pengertian kita sendiri
tentang apa itu manusia dan kemanusiaan untuk memahami masa lalu manusia.
Akibatnya, pandangan kita terhadap fakta asal usul manusia menjadi terdistorsi oleh
asumsi-asumsi kita sendiri. Ketika suatu fosil ditemukan, kita harus menganalisis
233

beberapa hal tertentu, seperti ukuran dan bentuk tengkorak, sehingga kita bisa
mengetahui volume otak yang dimilikinya. Analisis forensik lalu memungkinkan kita
mengetahui bentuk tubuh, tinggi badan, dan sebagainya. Perbandingan berbagai
macam fosil memungkinkan menemukan pola perkembangan manusia purba,
terutama jika dilihat dari peningkatan volume otaknya.
Analisis semacam itu juga memungkinkan kita mendeskripsikan kehidupan
manusia purba. Yang berbahaya adalah, dari data-data ini, kita kemudian
menyimpulkan superioritas fosil yang satu atas fosil yang lain, dan membenarkan
adanya dominasi pada era sekarang. Misalnya, dapat saja dikatakan bahwa struktur
tubuh dan volume otak manusia Neanderthal jauh lebih sederhana, jika
dibandingkan dengan homo sapiens. Oleh karena itu, wajarlah jika homo sapiens
akhirnya mengalahkan mereka dan kemudian menguasai daratan Eropa. Argumen
semacam ini sangat terdistortif oleh motivasi-motivasi yang membenarkan dominasi.
Dewasa ini, para peneliti sudah berhasil mengklarisifikasi bahwa pole kehidupan
manusia Neanderthal jauh lebih rumit dariapada yang dikira sebelumnya. Maka,
tidak ada alasan yang kuat untuk membenarkan argumen yang bersifat dominatif
tersebut.102
Sejak awal dirumuskan, teori tentang seleksi alamiah memang memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap proses manusia memahami dirinya. Bahkan,
sejak awal teori tersebut dipublikasikan, perdebatan-perdebatan keras sudah terjadi.
Darwin sendiri mengeksplorasi lebih jauh teorinya tersebut, terutama mengingat
implikasi sangat besar yang diakibatkannya. Di dalam bukunya yang berjudul The
Descent of Man (1871) dan The Expression of the Emotions (1872), ia berpendapat
bahwa proses perkembangan mental dan perkembang perilaku sosial berjalan paralel
dengan proses perkembangan tubuh fisik. Argumen ini banyak dikenal sebagai
Darwinisme sosial. Pendekatan semacam ini digunakan oleh Herbert Spencer (18201903). Teori Spencer banyak diinspirasikan oleh argumen Lamark yang berpendapat
bahwa karakter seseorang bisa diturunkan secara genetis kepada anak-anaknya.
Teori ini tentunya mendapatkan dukungan dari teori seleksi alamiah Darwin.
Menurut Spencer, proses manusia bertahan hidup di dalam alam adalah
proses yang alamiah. Di Amerika, ia menjadi seorang pemikir yang dianggap
mendukung sistem kompetisi bebas di dalam masyarakat kapitalis, yakni bahwa
kegagalan ataupun keberhasilan seseorang adalah bagian dari proses perjuangan
untuk bertahan hidup, dan berevolusi. Dalam bahasa sosio-ekonomi, orang tidak
perlu takut dan merasa bersalah untuk memperoleh kesuksesan dengan
mengorbankan orang lain, karena ini adalah suatu pola yang alamiah. Jika kita
bertindak sebaliknya, kita menentang kemajuan. Di Inggris, Spencer menolak
hukum bagi orang miskin (Poor Laws), karena memberikan kesempatan lebih bagi
orang-orang yang sebenarnya tidak mampu dan dengan demikian telah mengganggu
102

Lihat, ibid, hal. 143.

234

sistem kompetisi yang bebas di dalam masyarakat.


Salah satu tanggapan kritis atas pandangan ini adalah bahwa kita tidak bisa
mengatakan apa yang seharusnya dari apa yang faktanya terjadi. Tentu saja,
argumen ini lebih berada di level filsafat moral daripada filsafat ilmu. David Hume
dan G.E Moore pernah berpendapat bahwa secara logis, kita tidak bisa merumuskan
suatu imperatif, seharusnya, dari apa yang faktual, yakni suatu deskripsi. Di dalam
etika, hal ini disebut sebagai kesalahan naturalistik.
Sosiobiologi adalah sebuah displin ilmu yang berusaha mengkaitkan dinamika sosial
dan proses survival genetis. Dengan kata lain, realitas sosial dipandang sebagai
bentuk dari pertarungan genetika demi survival yang berada di level sosial.
Di satu sisi, ada konflik antara tuntutan sosial (untuk menjadi orang yang baik) dan
tuntutan biologis (untuk menjadi orang yang egois dalam konteks survival di dalam
kompetisi bebas). Hal ini dialami pada level moralitas, di mana dorongan-dorongan
alamiah manusia yang bersifat egoistis harus ditunda terlebih dahulu.
Di sisi lain, jika argumentasi sosiobiologi tepat, apa yang disebut sebagai normanorma sosial yang lebih tinggi tentunya adalah dorongan-dorongan untuk bertahan
hidup yang bersifat mendasar, dan bukan moralitas.
Titik ini adalah salah satu bagian paling menarik di dalam refleksi filsafat ilmu, di
mana moralitas dan ilmu pengetahuan saling berinteraksi. Dalam konteks ini,
moralitas haruslah dilepaskan dari dorongan-dorongan alamiah biologis manusia,
dan para biolog berpendapat bahwa moralitas hanyalah merupakan fenomena sosial
yang merefleksikan kebutuhan biologis.
Kecenderungan untuk melakukan kesalahan naturalistik, yakni menarik
kesimpulan normatif dari apa yang bersifat faktual deskriptif, seringkali terjadi di
dalam argumentasi teori evolusi sebagai keseluruhan. Professor Steve Jones, di
dalam bukunya yang berjudul Almost Like A Whale, memaparkan beberapa kasuskasus kontroversial seputar teori evolusi. Baginya, kehidupan adalah kumpulan dari
kesalahan yang berhasil. Akumulasi-akumulasi mutasi genetis terjadi, dan menyebar
di antara spesies. Secara bertahap, evolusi memungkinkan terciptanya spesies baru,
dan sampailah pada terciptanya manusia.
Seluruh proses terciptanya manusia sebenarnya berasal dari kesalahankesalahan DNA di dalam proses kimiawi yang dilakukannya. Nah, jika manusia
berawal dari suatu kesalahan genetis, sebenarnya manusia tidak lebih bernilai dari
mahluk hidup lainnya. Jika manusia adalah suatu kumpulan kesalahan yang berhasil,
tidak ada alasan memberikan manusia suatu kedudukan istimewa tertentu. Akan
tetapi, hal ini bukanlah suatu kesimpulan logis yang bisa dirumuskan begitu saja,
235

karena ini adalah kesimpulan normatif yang ditarik dari fakta-fakta deskriptif.
Ketika manusia berupaya memahami dirinya sendiri, proses yang dilakukan
adalah dengan menggunakan beragam perspektif yang melibatkan partisipasi
subyektif dan partisipasi aktif mereka di dalam dinamika dunia. Isu-isu mendasar,
seperti apa yang harus saya lakukan, kebebasan dalam memilih, adalah isu-isu yang
terus direfleksikan di dalam proses pemahaman diri tersebut. Dalam proses
memahami diri ini, ada dua bahaya yang harus terus diupayakan untuk dihindari.
Pertama, kita seringkali jatuh ke dalam kesalahan naturalistik dengan
menjadikan informasi yang bersifat faktual sebagai landasan bagi imperatif moral
ataupun imperatif sosial. Memang, hal ini tidaklah logis, tetapi bisa dipahami.
Kedua, dengan menjadikan fakta-fakta fisik empiris sebagai acuan utama, kita
seringkali mengabaikan penghayatan personal, sehingga penghayatan tersebut
dianggap sebagai tidak relevan. Yang harus disadari adalah, bahwa penghayatan
personal adalah suatu fenomena yang juga dapat dan harus dianalisis, walaupun
bukan menjadi obyek utama penyelidikan ilmiah.
9.5 Teori Sosial dan Teori Psikologi
Pada Bab 7 buku The Origins of Species, Darwin mencoba menganalisis polapola perilaku instingtif dari mahluk hidup. Ia kemudian berpendapat bahwa aktivitas
sosial, berdasarkan pengamatannya di dalam alam, dapat dianalisis dengan
menggunakan teori seleksi alamiahnya. Baginya, setiap orang memiliki insting
alamiah untuk bertindak dengan menunda kepentingan-kepentingan pribadi demi
pencapaian kepentingan kelompok. Hal ini dapat juga ditemukan di dalam koloni
semut, di mana setiap anggotanya bersedia mati demi kepentingan koloninya.
Jelas, menurut Darwin, aktivitas sosial manusia dapat dianalisis sama seperti
kita menganalisis koloni semut. Masyarakat ditata dengan kesadaran bahwa
seringkali, kepentingan individu harus dikorbankan demi kepentingan bersama.
Atau, setidaknya, kepentingan pribadi mereka bisa diletakkan sebagai nomor dua
setelah kepentingan kelompok. Di sinilah letak pentingnya moralitas.
Moralitas muncul dari konstruksi sosial. Kita sering melihat bagaimana orang
bisa secara intuitif merasa bersalah, karena ia tidak berhasil memenuhi tuntutan
lingkungan sosialnya. Dalam konteks ini, moralitas memungkinkan individu
menunda dorongan-dorongan personalnya, dan memberikan prioritas pada
kepentingan bersama, atau kepentingan komunitas. Dengan demikian, teori seleksi
alamiah sebenarnya bisa digunakan untuk menganalisis dimensi personal maupun
sosial manusia.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa perilaku manusia telah ditentukan secara
genetis, dan merefleksikan dorongan paling mendasar dari setiap mahluk hidup,
yakni survival dan berkembang biak. Argumen ini mempengaruhi perkembangan dua
ilmu yang secara langsung mau menganalisis manusia, yakni psikologi dan sosiologi.
Seperti sudah kita lihat sebelumnya, pada abad ke-19, para ilmuwan sosial mulai

236

meneliti perilaku manusia dalam konteks penelitian ilmiah, sehingga dapat


ditemukan pola-pola tetap yang berulang. Hasilnya, penelitian tentang perilaku
manusia telah menjadi suatu displin ilmiah tersendiri dengan metode induktif yang
merupakan syarat utama pendekatan ilmiah.
Perkembangan pun semakin pesat dengan munculnya ilmu-ilmu baru, seperti
ilmu politik, sosiologi, dan psikologi yang meneliti aspek-aspek dari manusia yang
sebelumnya diabaikan oleh ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan alam.
Tentu saja, filsafat langsung terkait dengan semua displin baru ini, karena banyak
sekali isu-isu filsafat yang direfleksikan di dalamnya. Untuk menyesuaikan dengan
tema besar buku ini, maka saya akan membatasi diri pada teori sosial Marx dan teori
psikologi Freud, terutama untuk melihat sejauh mana kedua teori tersebut dapat
disebut sebagai teori ilmiah.
Karl Marx (1818-1883) melakukan penelitian historis yang mendalam tentang
hal-hal yang menyebabkan perubahan politik maupun sosial. Ia pun berpendapat
bahwa eksistensi umat manusia sangatlah tergantung pada ketersediaan makanan
dan barang-barang materi, serta bahwa fungsi masyarakat adalah mengatur produksi
dan distribusi barang-barang material ini. Kemudian, ia pun membayangkan
masyarakat sebagai jaringan-jaringan relasi yang didasarkan pada proses pemenuhan
kebutuhan. Ia juga melihat bahwa masyarakat ditentukan oleh basis-basis ekonomi
dan hubungan-hubungan produksi.
Nah, seperti yang sudah kita lihat pada Bab 3 buku ini, seorang peneliti
mengumpulkan bukti-bukti terlebih dahulu. Dari bukti-bukti yang ada tersebut, ia
merumuskan sebuah hipotesis untuk menjelaskan bukti-bukti itu. Dari hipotesis, si
peneliti mulai mengecek data-data yang ada, menganalisisnya, mengkonfirmasinya,
dan mulai melakukan prediksi. Lalu, ia pun mulai memberikan argumen apakah
hipotesisnya tepat atau tidak.
Nah, Marx memiliki begitu banyak bukti yang menunjukkan terjadinya
perubahan sosial. Yang ia perlukan adalah suatu rumusan teori yang cukup memadai
untuk memberikan penjelasan terhadap bukti-bukti tersebut. Konsep sentral Marx
adalah dialektika, yakni suatu konsep yang diambilnya dari filsafat Hegel. Proses
dialektika ini melibatkan adanya suatu aksi (tesis) yang menghasilkan reaksi
(antitesis), dan keduanya digabung serta diangkat ke taraf yang lebih tinggi (sintesis).
Marx menggunakan teori ini untuk menjelaskan jaringan-jaringan relasi yang ada
pada dimensi materialitas dan produksi masyarakat. Hasilnya adalah suatu konsep
yang disebut sebagai materialisme dialektis, yakni konsep yang melihat perubahan
sosial dalam kerangka pertentangan antara kelas-kelas sosial ekonomi di dalam
masyarakat.
Jika dirumuskan demikian, Marx jelas-jelas menggunakan metode ilmiah di
dalam perumusan konsep materialisme dialektis. Ia memiliki bukti-bukti empiris,
dan memberikan kerangka teoritis terhadap bukti-bukti tersebut. Nah, menurut
Popper, alasan mengapa Marxisme tidak pernah bisa disebut sebaga ilmu

237

pengetahuan, adalah karena Marxisme menolak bukti-bukti yang bertentangan


dengan teori tersebut. Menurut Popper, syarat suatu teori bisa disebut ilmiah adalah
jika teori tersebut dapat difalsifikasi, yakni bahwa dapat ditemukan bukti-bukti yang
bertentangan dengan teori itu. Nah, jika semua bukti dapat dijelaskan dengan
kerangka teori Marxisme, maka tidak ada bukti yang berlawanan dengan Marxisme.
Oleh karena itu, Marxisme tidak bisa difalsifikasi. Dan karena tidak bisa difalsifikasi,
maka Marxisme bukanlah suatu teori ilmiah.
Dengan demikian, jika materialisme dialektis adalah suatu teori ilmiah
tentang perubahan sosial, teori tersebut haruslah bisa difalsifikasi oleh prediksi yang
dibuatnya sendiri. Artinya, prediksi teori tersebut harus bisa dibuktikan sebagai
salah. Pada abad ke-20, kita sudah bangkit dan jatuhnya ideologi Marxisme. Yang
terakhir ini terjadi, karena prediksi Marxisme tentang jatuhnya kapitalisme tidaklah
terbukti. Dan, karena perubahan sosial dan politik tidak terjadi karena pertentangan
kelas, seperti yang diklaim oleh Marxisme.103
Teori yang bisa teliti selanjutnya adalah teori psikologi yang dirumuskan oleh
Freud. Freud pernah mengecap pendidikan kedokteran. Setelah itu, ia bekerja di
rumah sakit sebagai dokter. Memang, dari awal, ia sangat tertarik pada neuropatologi. Kemudian, ia mulai membuka praktek pribadi. Di dalam klinik pribadinya
itu, ia banyak menganalisis proses saraf, terutama histeria.
Ia pun merumuskan teorinya sendiri, yakni psikoanalisis. Sebenarnya, teori itu
ditujukan untuk meneliti lebih jauh akar-akar yang menyebabkan orang mengalami
histeria. Dengan menggunakan analisis mimpi-mimpi, seorang analisis bisa
membantu pasiennya mengeluarkan perasaan-perasaan yang tadinya terpendam di
dalam alam ketidaksadaran. Alam ketidaksadaran inilah yang, menurut Freud, yang
menjadi penyebab perilaku abnormal pada pasien.
Pertanyaan filsafat ilmu untuk teori ini adalah, apakah teori psikoanalisis
Freud merupakan suatu bentuk ilmu pengetahuan, atau suatu hipotesis saja? Salah
satu kelemahan teori psikoanalisis adalah bahwa banyak bukti-bukti penelitiannya,
yakni cerita-cerita dan ungkapan-ungkapan pasien misalnya, tidak bisa diuji secara
intersubyektif. Perasaan dan sensasi-sensasi yang dirasakan oleh pasien tidak bisa
diamati secara langsung, terutama karena perasaan tersebut bukanlah bagian dari
dunia material.
Jika seseorang menceritakan pengalaman masa kecilnya, tidak ada cara yang
paling efektif bagi seorang analis untuk mengecek kebenaran pengalaman itu.
Mungkin saja, pengalaman itu benar, tetapi juga bisa sebaliknya, pengalaman itu bisa
salah. Memang, di dalam proses pendampingan pasien, fakta empiris yang akurat
tidaklah terlalu penting. Yang penting adalah memori atau persepsi orang atas masa
lalu yang pernah dialaminya. Jadi, walaupun fakta empirisnya tidak tepat, tetapi
yang menjadi pertimbangan seorang analis adalah bagaimana persepsi pasien
103

Lihat, ibid, hal. 149.

238

terhadap apa yang terjadi pada masa lalu tersebut.


Di dalam ilmu-ilmu alam yang bersifat empiris, bukti-bukti eksperimental
yang bisa diuji secara intersubyektif adalah sesuatu yang mutlak. Nah, di dalam
psikoanalisis, bukti-bukti eksperimental semacam itu tidaklah mungkin diperoleh.
Refleksi spekulatif adalah metode yang banyak digunakan oleh para filsuf maupun
oleh para psikolog. Akan tetapi, refleksi semacam itu bukanlah kebenaran yang
bersifat obyektif. Dan, biasanya ada beberapa konsep dasar yang diandaikan oleh
para filsuf dan psikolog di dalam refleksi mereka.
Dengan demikian, status bukti-bukti yang digunakan di dalam teori Freud
berbeda dengan status bukti yang digunakan di dalam teori Marx. Bagi Marx, buktibukti atas teorinya sudah bisa ditelusuri di dalam sejarah, jadi bersifat historis.
Walaupun tetap ada kemungkinan, bahwa bukti-bukti itu tidaklah tepat. Bagi Freud,
bukti-bukti yang digunakan di dalam teorinya bersifat unik dan tidak bisa diuji
secara intersubyektif, sehingga tidak mungkin bisa difalsifikasi. Ilmu pengetahuan,
pada hakekatnya, membutuhkan data-data yang substansial dan bisa diulang kembali
(repeatable). Sementara, hal tersebut tidak ditemukan di dalam psikoanalisis.
Memang, di dalam bagian ini, saya hanya membahas Marxisme dan teori
psikoanalisis Freud dengan sangat sederhana, terutama menimbang begitu
banyaknya literatur primer maupun sekunder tentang teori-teori tersebut. Dari sudut
filsafat ilmu memang tidak banyak yang bisa dibahas dari dua teori tersebut. Kedua
teori tersebut lebih berada di ranah filsafat politik dan filsafat pikiran (philosophy of
mind).
Sejalan dengan perkembangan peradaban lahirlah suatu cabang filsafat yang
nantinya berkembang menjadi ilmu pengetahuan, seperti kita pahami sekarang ini.
Misalnya, pada abad ke-17, kita melihat munculnya filsafat natural (natural
philosohy). Filsafat natural ini menggunakan metode yang khusus yang kemudian
menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan modern. Hal yang kurang lebih sama terjadi di
dalam filsafat pikiran. Dalam konteks ini, para filsuf selalu berdebat tentang
bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu, dan apakah pengetahuan itu muncul dari
pengalaman inderawi atau dari ide-ide bawaan. Secara umum, refleksi mereka
difokuskan pada apa yang kita ketahui, dan bagaimana kita bisa memberikan
landasan yang rasional terhadap pengetahuan itu.
Pada dekade 1920-an sampai 1960-an, para filsuf dan ilmuwan yakin bahwa
pikiran manusia tidaklah bisa dijelaskan dengan menggunakan term-term empiris.
Konsekuensinya, mereka tidak bisa meneliti dan merefleksikan pikiran manusia.
Pandangan ini sebenarnya dipengaruhi pemikiran positivisme logis. Aliran ini
berpendapat bahwa bukti-bukti empiris dan pendekatan induktif saintifik adalah
satu-satunya cara yang memungkinkan untuk mencapai pengetahuan.
Banyak pemikir behavioris yang berpendapat bahwa sensasi-sensasi mental
239

sebenarnya hanyalah merupakan tampak luar dari yang sebenarnya merupakan


gejala yang bersifat fisik. Mereka juga berpendapat bahwa jika sensasi-sensasi mental
tidak ada di dalam dunia fisik, satu-satunya cara menganalisisnya adalah dengan
menerjemahkannya ke dalam konsep-konsep yang bisa diverifikasi secara fisik.
Dengan kata lain, jika orang merasa bahagia, itu haruslah ditunjukkan dengan
senyuman. Sementara, jika orang sedih, sensasi itu haruslah diterjemahkan menjadi
menangis.
Pada akhir 1960-an, pandangan semacam ini pun berubah, terutama dengan
munculnya beragam pendekatan baru di dalam menganalisis pikiran, seperti yang
dikembangkan oleh filsafat, psikologi, dan linguistik. Analisis terhadap pikiran kini
pun dilakukan dengan pendekatan empiris saintifik dengan menggunakan
ekpserimen dan pengamatan, serta tidak lagi melulu menggunakan refleksi
spekulatif.
Tentu saja, pendekatan semacam ini menggunakan pendekatan interdispliner
yang menggunakan beragam sudut pandang ilmu-ilmu yang ada. Psikologi dan
farmakologi menunjukkan bagaimana kesehatan mental seseorang itu bisa diperbaiki
dengan menggunakan terapi dan obat-obatan. Jelaslah, pikiran manusia adalah
sesuatu yang bisa dianalisis dan diketahui. Di sisi lain, linguistik berupaya
menggunakan metode ilmiah untuk menyelidiki hakekat dari proses komunikasi
manusia. Disinilah lahir yang disebut sebagai ilmu pengetahuan kognitif (cognitive
science). Ilmu pengetahuan kognitif adalah pendekatan interdispliner yang bertujuan
untuk menyelidiki pikiran manusia. Sekarang ini, ilmu itu tidak lagi terbatas pada
proses meneliti kemampuan pikiran manusia, tetapi sudah sampai pada fungsifungsi otak.
Metode penelitian ilmiah dewasa ini telah diterapkan pada bidang-bidang
yang sebelumnya tidak terbuka untuk ilmu pengetahuan. Dengan kata lain,
pendekatan-pendekatan baru telah dikembangkan untuk menganalisis masalahmasalah yang tadinya tidak bisa, atau tidak boleh, untuk dianalisis, terutama dalam
konteks relasi antara pikiran dan tubuh, serta pengetahuan kita tentang pikiran kita
sendiri.

240

Epilog
Bersikap Kritis terhadap Ilmu Pengetahuan
Banyak orang begitu saja berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah
sesuatu yang baik dan berguna untuk umat manusia. Tentu saja, pendapat itu
memiliki alasan dan argumen yang cukup kuat. Ilmu pengetahuan telah memberikan
kita listrik, air minum yang bersih dan sehat, penisilin, alat kontrasepsi, perjalanan
melalui udara, dan banyak hal lainnya. Semuanya itu memberikan kontribusi yang
sangat besar bagi kemanusiaan. Akan tetapi, lepas dari sumbangannya yang begitu
besar terhadap kehidupan umat manusia, ilmu pengetahuan tetaplah harus
dipertimbangkan secara kritis, baik secara etis maupun secara epistemologis.
Beberapa orang berpendapat bahwa masyarakat terlalu memberikan perhatian
terhadap ilmu pengetahuan, sehingga bidang-bidang lainnya, seperti seni, sastra,
pendidikan, jadi terabaikan. Beberapa orang lainnya juga berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan telah memberikan kemudahan pada manusia yang seharusnya tidak
perlu. Artinya, kita akan hidup jauh lebih baik dan manusiawi tanpa adanya ilmu
pengetahuan. Argumen terakhir ini mungkin relevan, jika ditempatkan pada
persoalan tentang penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk menciptakan
senjata pemusnah massal. Seperti sudah disinggung sebelumnya, para pemikir
feminis juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya sudah bias
gender dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Dari kalangan kaum
beragama, banyak orang sendiri merasa bahwa ilmu pengetahuan, dengan
pengungkapan fakta dan analisis yang dilakukannya, dapat membahayakan iman
mereka. Banyak antropolog juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern yang
berkembang di Eropa memiliki arogansi kultural, sehingga ilmuwan barat seringkali
memandang rendah kebudayaan-kebudayaan lainnya di luar kebudayaan barat.
Tentu saja, semua argumen ini memenuhi daftar kritik yang bisa diajukan terhadap
ilmu pengetahuan. Akan tetapi, supaya lebih fokus, pada Bab ini, saya akan
memusatkan diri pada tiga argumen tentang pertimbangan kritis yang bersifat
filosofis terhadap ilmu pengetahuan, yakni tentang saintisme, relasi antara iman dan
ilmu pengetahuan, dan permasalahan yang paling menjadi perdebatan di dalam
filsafat ilmu, yaitu relasi antara ilmu dan nilai-nilai.
11.1 Tentang Saintisme
Kata sains dan saintifik, atau ilmiah, telah memperoleh cap yang, pada hemat
saya, agak ganjil. Jika seseorang berkata bahwa sikap Anda tidak ilmiah, maka
kemungkinan besar, ia sedang mengkritik sikap Anda. Sikap saintifik dianggap
sebagai sikap yang masuk akal, rasional, dan orang yang bersikap seperti itu layak
mendapatkan pujian. Sementara itu, sikap tidak ilmiah, atau tidak saintifik adalah
sikap yang bodoh, irasional, dan sama sekali tidak layak mendapatkan pujian.
241

Memang sulit bagi kita untuk merumuskan sebab-sebab mengapa konsep ilmiah atau
saintifik tersebut mendapatkan pengertian semacam itu. Akan tetapi, mungkin saja,
ini berkaitan dengan status ilmu pengetahuan yang begitu tinggi di dalam
masyarakat modern. Harus diakui, masyarakat modern memandang ilmuwan
sebagai orang-orang yang pendapatnya banyak diacu tentang berbagai hal yang
terjadi, dan seringkali pendapat-pendapat tersebut tidak lagi dipertimbangkan dan
dipertanyakan secara kritis. Tentu saja, sekarang ini, hampir semua orang menyadari
bahwa bahkan ilmuwan pun dapat salah. Salah satu contoh yang paling jelas tentang
hal ini adalah ketika para ilmuwan Inggris menyatakan bahwa penyakit sapi gila
sama sekali tidak berbahaya bagi manusia. Suatu pernyataan yang secara tragis
terbukti salah nantinya. Akan tetapi, hal ini tampaknya tidak banyak mengubah
pandangan masyarakat itu sendiri terhadap ilmu pengetahuan, yakni bahwa ilmu
pengetahuan menempati kedudukan yang istimewa di dalam opini publik. Di
masyarakat Barat, ilmuwan tampak menggantikan posisi yang dulunya dipegang oleh
para pemimpin agama. Para ilmuwan dianggap memiliki kemampuan dan
pengetahuan khusus yang tidak dimliki oleh orang-orang biasa pada umumnya.104
Secara umum, saintisme adalah suatu istilah yang digunakan oleh para filsuf
untuk menggambarkan apa yang mereka lihat sebagai pemujaan ilmu pengetahuan,
yakni suatu sikap yang ironisnya banyak ditemukan di kalangan intelektual. Para
pemikir pengkritik saintisme berpendapat bahwa ilmu pengetahuan bukanlah satusatunya jenis kegiatan intelektual manusia yang dapat diandalkan. Ilmu pengetahuan
juga tidak seharusnya mendapatkan status yang istimewa, karena dianggap sebagai
satu-satunya jalan yang dapat ditempuh manusia untuk sampai pada pengetahuan.
Para pemikir pengkritik saintisme seringkali menekankan bahwa mereka sama sekali
tidak bermaksud bersikap anti total terhadap ilmu pengetahuan. Apa yang mereka
kritik adalah status istimewa yang diberikan kepada ilmu pengetahuan, terutama
ilmu-ilmu alam, di dalam masyarakat modern. Mereka juga hendak mengkritik
pandangan yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat diterapkan pada semua
bidang kehidupan, untuk siapapun, kapanpun, dan di manapun. Jadi, pada hemat
saya, tujuan pada pengkritik saintisme ini bukanlah untuk menolak ilmu
pengetahuan sama sekali, tetapi untuk menempatkan ilmu pengetahuan pada tempat
yang semestinya, yakni untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan adalah salah
satu cara untuk memahami dunia di samping beragam cara lainnya, sekaligus untuk
membebaskan bidang-bidang kehidupan lain, seperti seni, sastra, ataupun agama,
dari tirani paradigma saintifik yang terlalu dominan.
Secara epistemologis, saintisme merupakan paham yang tidak jelas. Walaupun
begitu, aktivitas yang mirip dengan pemujaan ilmu pengetahuan adalah suatu gejala
faktual yang terjadi di kalangan intelektual. Mungkin saja, hal pemujaan ini bukanlah

104

Lihat, Samir Okasha, Philosophy of Science, Oxford, Oxford University Press, 2002, hal.
121.
242

melulu hal yang buruk, karena mungkin ilmu pengetahuan, dengan segala
keberhasilannya membantu meningkatkan kualitas hidup manusia, layak untuk
dipuja. Salah satu bidang yang seringkali dituduh sebagai medium utama pemujaan
terhadap ilmu pengetahuan ini adalah filsafat Anglo-Amerika, di mana filsafat ilmu
hanya merupakan salah satu cabangnya saja. Secara spesifik dan historis, lepas dari
relasinya yang sangat dekat dengan matematika dan ilmu pengetahuan, filsafat
seringkali dikaitkan dengan ilmu-ilmu kemanusiaan. Hal ini tentu saja memiliki
alasannya sendiri, terutama karena filsafat bertanya secara mendasar tentang
hakekat dari pengetahuan dan rasionalitas dari manusia yang refleksinya tidak bisa
dilakukan dengan menggunakan metode-metode saintifik. Tidak ada satupun cabang
ilmu pengetahuan yang mampu memberikan jawaban tentang bagaimana seharusnya
kita hidup, apa yang dimaksud dengan pengetahuan, atau apa yang membuat
manusia menjadi bahagian di dalam hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah
pertanyaan-pertanyaan filosofis yang tidak bisa dijawab oleh ilmu pengetahuan.
Walaupun secara akal sehat tampak bahwa pertanyaan-pertanyaan filosofis
mendasar semacam itu tidak akan pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan,
tetapi beberapa pemikir masih berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah satusatunya jalan yang legitim untuk mencapai kebenaran. Pertanyaan-pertanyaan yang
tidak bisa dijawab dengan metode ilmiah berarti pertanyaan itu tidak layak untuk
dijawab. Pandangan semacam ini seringkali dikaitkan dengan pemikiran Willard van
Orman Quine, salah satu filsuf Amerika terpenting pada abad ke-20. Dasar dari
pandangan ini adalah paham yang banyak disebut sebagai naturalisme, yakni suatu
pandangan yang menekankan bahwa manusia adalah bagian dari keseluruhan yang
disebut sebagai dunia natural (natural world), dan bukan sesuatu yang lepas dari
dunia, seperti yang banyak diyakini oleh para filsuf sebelumnya. Dan karena ilmu
pengetahuan mempelajari dunia natural secara keseluruhan, pastilah ilmu
pengetahuan dapat menyibakkan kebenaran yang paling utuh dan penuh tentang
hakekat manusia, dan tidak lagi menyisakan tempat bagi filsafat.105 Salah satu
argumen yang tampaknya mendukung pandangan ini adalah bahwa ilmu
pengetahuan sudah tidak lagi diragukan kontribusinya yang luar biasa besar
terhadap kehidupan manusia. Sementara, filsafat masihlah sibuk dengan pertanyaanpertanyaan yang sama dari abad ke abad. Dari sudut pandang ini, tidak ada yang
disebut sebagai pengetahuan filosofis, karena semua bentuk pengetahuan haruslah
merupakan pengetahuan ilmiah. Jika filsafat masih mau diberikan tempat,
kontribusi yang dapat diberikan filsafat adalah suatu upaya untuk mengklarifikasi
konsep-konsep ilmiah, sehingga ilmuwan bisa lebih akurat dan tepat melakukan
penelitian mereka.
Tentu saja, banyak filsuf menolak argumentasi ini, dan ini merupakan salah
satu sumber kritik yang paling tajam terhadap saintisme. Mereka berpendapat bahwa
105

Lihat, ibid, hal. 123.

243

filsafat mampu menyibakkan kebenaran-kebenaran yang tidak pernah akan dapat


disentuh oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang filosofis
tidak akan pernah dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, ilmu
pengetahuan bukanlah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Salah satu argumen
lain yang mendukung pernyataan ini adalah bahwa filsafat haruslah berupaya untuk
bersikap konsisten dengan ilmu pengetahuan. Artinya, filsafat tidaklah boleh
menganggap bahwa klaim-klaimnya lebih memadai dari klaim-klaim ilmu
pengetahuan, sehingga ada kemungkinan juga bahwa ilmu pengetahuan memperoleh
pengakuan yang lebih daripada filsafat itu sendiri. Nah, apa yang mereka sungguhsungguh tolak adalah paham imperialisme saintifik (scientific imperialism), yakni
bahwa ilmu pengetahuan dapat menjawab semua pertanyaan penting dan mendasar
tentang manusia, dan peran serta kedudukannya di keseluruhan kosmos ini. Para
pendukung argumen yang terakhir ini juga seringkali disebut sebagai kaum naturalis.
Mereka berpendapat bahwa manusia hanyalah salah satu bentuk spesies biologis,
dan bahwa tubuh kita seluruhnya dibentuk oleh partikel-partikel fisik, seperti segala
sesuatu lainnya di seluruh alam semesta ini.
Isu yang kurang lebih sama juga dapat dilihat dalam konteks relasi antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sama seperti ketika para filsuf mengkritik
pemujaan ilmu pengetahuan di dalam filsafat, begitu juga para ilmuwan sosial
terkadang mengkritik pendekatan para ilmuwan sosial yang juga melakukan
pemujaan ilmu-ilmu alam di dalam pendekatan mereka. Memang, secara realistis,
kita harus mengakui bahwa ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia, biologi, berada
pada level yang lebih maju daripada ilmu-ilmu sosial, seperti ekonomi, sosiologi,
ataupun antropologi. Di dalam proses perkembangannya, banyak orang bertanyatanya, mengapa hal ini bisa terjadi? Tentu saja, jawabannya bukanlah bahwa
ilmuwan alam memiliki kepintaran yang lebih tinggi daripada para ilmuwan sosial.
Salah satu jawaban yang, pada hemat saya, mungkin adalah bahwa metode
pendekatan di dalam ilmu-ilmu alam memiliki koherensi dan akurasi yang lebih
tinggi daripada ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, metode di dalam ilmu-ilmu alam
lebih superior daripada metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Jika hal ini tepat, apa
yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuwan sosial adalah menggunakan metode
pendekatan ilmu-ilmu alam yang dianggap lebih baik. Untuk beberapa saat, para
ilmuwan sosial telah melakukan hal ini. Hasilnya adalah banyaknya penggunaan
rumusan matematis dan metode statistik di dalam ilmu-ilmu sosial. Di dalam
sejarahnya, fisika mengalami perkembangan yang sangat pesat, ketika Galileo
memutuskan untuk menerapkan metode matematis untuk mendeskripsikan gerak
benda-benda. Keberhasilan ini mempengaruhi para ilmuwan sosial untuk
menggunakan metode yang sama untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial. Tentu
saja, argumen ini punya pengandaian dasar yang problematis, bahwa obyek
penelitian di dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial memiliki kualitas yang sama
yang dapat begitu saja dimatematiskan.

244

Menanggapi hal semacam itu, banyak ilmuwan sosial yang menolak anggapan bahwa
mereka harus mengagungkan dan menjadikan metode ilmu-ilmu alam sebagai
contoh bagi cara kerja mereka, seperti para filsuf juga menolak konsep bahwa mereka
harus mengagungkan ilmu pengetahuan di dalam refleksi mereka. Mereka
berpendapat bahwa metode di dalam ilmu-ilmu alam tidak cocok untuk mempelajari
fenomena sosial. Mengapa metode yang sangat berguna untuk diterapkan di dalam
astronomi harus juga berguna di dalam analisis masyarakat? Para ilmuwan sosial
yang menganut pandangan ini menolak status tinggi dan privelese yang dimiliki oleh
ilmu-ilmu alam. Mereka berpendapat bahwa tidak ada alasan yang cukup masuk akal
untuk menggunakan metode ilmu-ilmu alam di dalam analisis realitas sosial. Para
ilmuwan sosial ini, demikian tulis Okasha di dalam bukunya tentang filsafat ilmu
pengetahuan, seringkali berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial lebih muda daripada
ilmu-ilmu alam, dan bahwa kompleksitas realitas sosial membuat sebuah sains sosial
menjadi sangat sulit untuk dilakukan.106
Kedua isu yang menjadi perdebatan ini, yakni saintisme dan relasi antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, bukanlah isu yang mudah untuk dipahami dan
dicarikan solusinya begitu saja. Salah satu sebabnya adalah sulitnya mendefinisikan
secara tepat apa yang disebut sebagai metode ilmu pengetahuan, terutama metode
ilmu-ilmu alam, konsep yang menjadi salah satu inti perdebatan. Jika kita ingin tahu
apakah metode ilmu pengetahuan sungguh dapat diterapkan di dalam semua bidang
analisis, atau apakah metode tersebut sungguh dapat menjawab semua pertanyaan
yang diajukan, kita harus tahu dengan tepat apa yang dimaksud dengan metode itu
sebenarnya. Akan tetapi, seperti apa yang telah kita lihat pada bab-bab sebelumnya
di dalam buku ini, pertanyaan ini sangat lugas dan tajam diajukan, tetapi jawaban
atasnya sangat sulit untuk diberikan. Tentu saja, secara umum, kita bisa
mendeskripsikan beberapa hal mengenai metode penelitian ilmiah, seperti induksi,
pengujian eksperimen, observasi, proses perumusan teori, dan sebagainya. Akan
tetapi, deskripsi ini tidaklah mampu memberikan definisi yang tepat dan akurat
tentang metode ilmiah. Jangan-jangan, demikian tulis Okasha, kita tidak akan bisa
mendefenisikan metode ilmiah secara memadai.107 Ilmu pengetahuan berubah
hampir sepanjang waktu, sehingga sangat sulit bagi kita untuk merumuskan
pengandaian-pengandaian dasar yang bersifat tetap, tak berubah, yang dapat
digunakan oleh semua bentuk ilmu pengetahuan tanpa kecuali. Pengandaian
semacam ini banyak ditemukan di dalam saintisme, yakni paham yang berpendapat
bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran.

106
107

Ibid, hal. 124.


Ibid, hal. 125.

245

Pada titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa saintisme ternyata didasarkan pada
pengandaian-pengandaian yang pada hakekatnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
11.2 Ilmu Pengetahuan dan Agama
Tegangan antara ilmu pengetahuan di satu sisi dan agama di sisi lain sudah
berusia sangat tua, dan tercatat secara lengkap di dalam sejarah. Salah satu yang
paling terkenal adalah perseteruan Galileo dengan beberapa teolog di dalam Gereja
Katolik Roma. Pada 1633, Inkuisisi memaksa Galileo menarik kembali setiap
tulisannya tentang pandangan Kopernikus. Inkuisisi juga menghukum Galileo untuk
tinggal dalam tahanan rumah seumur hidupnya di Florence. Pada waktu itu, Gereja
Katolik menolak teori Kopernikus, karena dianggap tidak sesuai dengan isi Kitab
Suci. Ketegangan antara agama dan ilmu pengetahuan yang terakhir dapat dilihat di
dalam perdebatan antara para pemikir Darwinis dan para pendukung Kreasionis di
Amerika Serikat. Yang terakhir ini akan menjadi fokus saya pada sub bab ini.
Sebenarnya, tidak ada yang baru di dalam argumen para kreasionis untuk
menentang teori evolusi Darwin, dan para pendukungnya. Ketika buku Origins of
Species dipublikasikan pertama kali pada 1859, banyak pemikir dan pendukung
Gereja Katolik di Inggris pada waktu itu langsung melakukan kritik terhadap buku
tersebut. Alasannya jelas dan cukup sederhana, yakni teori Darwin mengatakan
bahwa setiap spesies, termasuk manusia, memiliki nenek moyang yang berevolusi
dalam jangka waktu yang sangat lama. Pernyataan ini jelas-jelas bertentangan
dengan kitab Kejadian yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam
waktu enam hari. Dengan demikian, pilihannya tampak jelas, Anda bisa menganut
pandangan Darwin, atau Anda menganut pandangan Kitab Suci, tetapi tidak bisa
keduanya. Lepas dari pada itu, banyak pemikir yang menganut Darwinisme
menemukan cara untuk mendamaikan iman Kristiani mereka dengan teori evolusi
yang juga mereka anut. Salah satu caranya adalah dengan tidak memikirkan
ketegangan dan perbedaan antara iman Kristiani dan teori Darwin terlalu banyak.
Cara lain adalah dengan berpikir bahwa Kitab Suci tidak pernah boleh ditafsirkan
secara harafiah, melainkan harus diartikan secara simbolik metaforis. Jika
diperhatikan lebih jelas, banyak unsur di dalam teori Darwin yang cukup bisa
disandingkan dengan konsep eksistensi Tuhan, dan dengan banyak ajaran lainnya di
dalam Kristianitas. Hanya penafsiran harafiah terhadap teks-teks Kitab Sucilah yang
langsung bertentangan dengan teori Darwinisme. Dengan demikian, versi yang lebih
liberal dan moderat dari Kristianitas sebenarnya dapat berjalan searah dengan
Darwinisme.
Walaupun begitu, di Amerika Serikat, terutama di negara-negara bagian Selatan,
banyak kaum Protestan evangelis yang tidak bersedia menerima argumentasi-

246

argumentasi yang berasal dari penelitian ilmiah, terutama tentang proses penciptaan
dan evolusi manusia. Mereka meyakini bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci
adalah benar secara harafiah, dan teori evolusi yang dirumuskan Darwin salah total.
Argumen ini banyak juga dikenal sebagai argumentasi kreasionisme (creationism).
Di Amerika Serikat, 40 persen dari penduduk yang sudah dewasa menyetujui
pandangan ini. Prosentase yang jauh lebih tinggi, jika dibandingkan dengan Inggris
ataupun Eropa. Kreasionisme pun menjadi kekuatan politik yang dominan, terutama
dalam soal pengaturan pendidikan biologi di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Yang
terakhir ini menimbulkan kecemasan di kalangan para ilmuwan. Pada pengadilan
monyet (monkey trial) yang terkenal di Amerika Serikat yang berlangsung dekade
1920-an, seorang guru sekolah asal Tennessee dituntut, karena ia mengajarkan teori
evolusi kepada murid-muridnya. Tindakan ini dianggap telah melanggar hukum
negara bagian. Memang, hukum ini nantinya akan diubah oleh Mahkamah Agung
pada 1967. Dan karena kontroversi yang ditimbulkan oleh pengadilan itu, teori
evolusi tidak lagi diajarkan sebagai kurikulum wajib di sekolah menengah atas di
Amerika Serikat untuk beberapa dekade. Generasi orang dewasa di Amerika Serikat
dewasa ini tumbuh tanpa pernah tahu sedikit pun mengenai Charles Darwin,
ataupun teori evolusi yang dirumuskannya.108
Situasi mulai berubah pada dekade 1960-an, terutama setelah munculnya
wacana tentang ilmu pengetahuan kreasionis (creation science) di tengah
perdebatan antara para ilmuwan Darwinis dan para penganut kreasionisme. Para
penganut kreasionisme ingin agar setiap siswa sekolah menengah atas mempelajari
proses penciptaan manusia dalam alam semesta, seperti yang tertulis di dalam kitab
suci, terutama pada bagian Kitab Kejadian. Akan tetapi, konstitusi Amerika melarang
pengajaran agama di sekolah-sekolah umum. Nah, sains kreasionisme tepat
dirumuskan untuk menanggapi pelarangan ini. Para perumus sains kreasionisme
berpendapat bahwa versi kitab suci tentang proses penciptaan manusia dan alam
semesta menyediakan penjelasan ilmiah yang lebih memadai daripada teori evolusi
yang dirumuskan Darwin. Dengan begitu, pengajaran proses penciptaan versi kitab
suci tidak melanggar konstitusi Amerika, karena apa yang diajarkan itu adalah ilmu
pengetahuan, dan bukan agama. Tuntutan dari berbagai pihak untuk mengajarkan
sains kreasionisme di kelas-kelas biologi sekolah menengah ke atas pun terjadi, dan
semua tuntutan itu mendapatkan tanggapan yang positif. Pada 1981, negara bagian
Arkansas mengeluarkan sebuah undang-undang untuk menegaskan bahwa seluruh
pengajar biologi harus memberikan waktu yang seimbang dalam mengajarkan teori
evolusi dan sains kreasionisme. Negara-negara bagian lainnya pun turut serta
mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini seringkali dipandang sebagai jalan
keluar yang cukup adil. Yah, jika kita dihadapkan pada dua rumusan yang berbeda
108

Lihat, ibid, hal. 126.

247

dan saling berkonflik satu sama lain, solusi apa yang lebih baik selain bahwa kita
memberikan porsi yang seimbang untuk keduanya? Survei opini pun dilakukan, dan
ternyata sebagian besar warga negara Amerika yang sudah dewasa menyetujui
kebijakan itu. Mereka ingin sains kreasionisme diajarkan berbarengan dengan teori
evolusi di sekolah-sekolah publik.
Walaupun begitu, hampir semua ahli biologi berpendapat bahwa sains kreasionisme
adalah rumusan yang palsu, yakni suatu cara yang tidak tepat dan tidak jujur yang
bertujuan untuk menyebarkan suatu bentuk ajaran agama melalui selubung sloganslogan ilmiah. Hal ini, menurut mereka, tentunya membawa dampak negatif yang
sangat besar bagi dunia pendidikan Amerika Serikat. Untuk melawan argumentasi
semacam ini, para pemikir pendukung sains kreasionisme berupaya sedapat
mungkin untuk mengkritik argumentasi-argumentasi Darwinisme. Mereka
berpendapat bahwa bukti-bukti yang digunakan untuk merumuskan Darwinisme
sangat tidak kuat, sehingga Darwinisme tidak pernah dapat dianggap sebagai fakta,
melainkan hanya sebagai teori. Bahkan, di antara para pendukung Darwinisme
sendiri telah terjadi perpecahan, sehingga kesepakatan mendasar tentang apa yang
menjadi inti dari Darwinisme pun masih berada di dalam bayang-bayang. Oleh
karena itu, para pemikir sains kreasionisme menyimpulkan bahwa Darwinisme
hanya sebuah teori, dan para pelajar juga harus diperkenalkan dengan teori
alternatif lainnya, seperti yang dirumuskan di dalam sains kreasionisme, bahwa
Tuhan menciptakan bumi dalam enam hari, dan pada hari ketujuh, Tuhan
beristirahat.
Pada satu sisi, menurut saya, para pemikir sains kreasionisme tepat, ketika
mereka berargumen bahwa Darwinisme merupakan sebuah teori, dan bukan sebuah
fakta keras. Seperti yang sudah dijabarkan pada seluruh buku ini, kita tidak akan
pernah dapat membuktikan seratus persen apakah suatu teori ilmiah itu benar
sepenuhnya, terutama karena sebagian besar teori ilmiah menggunakan data-data
yang didapatkan dari eksperimen laboratorium, dan bukan dari realitas yang
memang kompleks, dan sangat sulit dianalisis. Akan tetapi, pada hemat saya, soal
mendasarnya bukan pada teori evolusi itu sendiri. Dengan pola yang kurang lebih
sama, kita juga dapat berkata bahwa pernyataan yang mengatakan tentang pola
revolusi bumi ketika mengelilingi matahari adalah sebuah teori, dan bukan fakta
keras yang bisa diuji seratus persen kebenarannya, atau bahwa air dibuat dari
senyawa H20, atau bahwa benda-benda yang tidak memiliki bidang akan jatuh ke
bawah, sehingga siswa perlu untuk mempelajari teori-teori lain selain yang sudah
dipaparkan ini. Akan tetapi, para pemikir sains kreasionisme tidak menggunakan
argumen ini. Sebenarnya, mereka tidak bersikap skeptis dengan ilmu pengetahuan
sebagai keseluruhan, melainkan hanya spesifik kepada teori evolusi. Oleh karena itu,
jika mereka hendak mempertahankan posisi argumentasi mereka secara rasional,
248

maka mereka tidak bisa begitu saja berargumentasi bahwa data-data yang ada tidak
bisa menjamin kebenaran dari teori evolusi yang dirumuskan Darwin. Hal yang sama
kurang lebih juga berlaku untuk setiap teori ilmiah lainnya.
Memang, para pemikir sains kreasionisme memfokuskan argumen mereka
melulu pada teori evolusi. Salah satu argumen yang seringkali mereka gunakan
adalah bahwa fosil-fosil yang digunakan sebagai bukti bagi teori evolusi sangatlah
ambigu, terutama fosil-fosil yang berkaitan dengan Homo Sapiens. Harus diakui, ada
kebenaran di dalam argumen ini. Para pemikir teori evolusi sendiri sudah lama
berdebat tentang soal fosil ini. Salah satu bukti kebingungan adalah tentang
sedikitnya fosil-fosil transisi, yakni fosil-fosil perantara antara spesies sebelumnya,
dan spesies yang berkembang setelahnya. Begini, jika suatu spesies berkembang dari
spesies sebelumnya, seperti yang dikatakan Darwin, tentunya kita akan banyak sekali
menemukan fosil-fosil transisi. Nah, para pemikir sains kreasionisme menyerang
kelemahan ini untuk membuktikan bahwa semua teori Darwin tidaklah tepat. Akan
tetapi, pada hemat saya, argumentasi yang dilontarkan oleh para pemikir sains
kreasionis tersebut tidaklah memadai. Fosil-fosil yang ada tersebut bukanlah satusatunya bukti utama di dalam teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin. Hal ini
tentunya akan tampak jelas, jika para pemikir sains kreasionis tersebut mau lebih
cermat dan sabar membaca The Originis of Species tulisan Darwin. Darwin
merumuskan teorinya juga dengan berbekal ilmu-ilmu lainnya, seperti embriologi,
biogeografi, dan genetika. Misalnya, teori evolusi juga mempertimbangkan fakta
bahwa 98% DNA manusia memiliki kesamaan mendasar dengan DNA simpanse.
Fakta ini, dan berbagai data lainnya, tampak masuk akal dan cukup kuat untuk
memberikan bobot kebenaran tertentu bagi teori evolusi. Tentu saja, para pemikir
sains kreasionisme memiliki argumen juga terhadap hal ini. Mereka berpendapat
bahwa Tuhan telah memutuskan untuk memberikan kesamaan mendasar terhadap
manusia dan simpanse secara genetis demi alasan-alasan spesifik yang hanya
diketahui oleh Tuhan sendiri. Alasan yang sebenarnya juga tidak pernah dapat
dibuktikan dengan data-data. Padahal, mereka, para pemikir sains kreasionisme,
menuduh teori evolusi sebagai teori yang tidak memiliki basis data yang memadai.
Perdebatan antara para pemikir sains kreasionisme dan para pemikir Darwinisme
memberikan poin yang sangat penting berkaitan dengan pendidikan ilmu
pengetahuan di sekolah-sekolah, terutama sekolah publik. Pertanyaannya cukup
mendasar sebenarnya, bagaimana pendidikan ilmu pengetahuan saintifik bisa
disandingkan dengan pengajaran iman dan agama di dalam sebuah sistem
pendidikan yang berpretensi sekular, netral, dan rasional? Perdebatan ini
mengangkat isu tersebut ke atas, sehingga mendapatkan perhatian dan porsi refleksi
yang cukup banyak dari berbagai pihak di Amerika Serikat.
11.3 Permasalahan Abadi di dalam Ilmu Pengetahuan: tentang Bebas
249

Nilai.
Hampir semua orang, pada hemat saya, akan setuju, jika dikatakan bahwa
pengetahuan ilmiah telah seringkali digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak
pernah bisa dibenarkan secara etis, seperti penciptaan senjata nuklir, senjata kimia,
ataupun senjata biologi. Akan tetapi, deretan kasus semacam ini sama sekali bukan
sebuah tanda bahwa ilmu pengetahuan pada dirinya sendiri memiliki sifat yang tidak
bisa dibenarkan secara etis. Dengan kata lain, bukan ilmu pengetahuan pada
dirinyalah yang tidak etis, melainkan penggunaan dari ilmu pengetahuan itulah yang
tidak etis. Di dalam sejarah filsafat ilmu, banyak filsuf ilmu yang berpendapat bahwa
kita tidak mungkin menilai apakah suatu pengetahuan saintifik itu etis atau tidak
pada dirinya sendiri,109 terutama karena ilmu pengetahuan pertama-tama
berhubungan dengan fakta, dan fakta pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai etis.
Yang bisa dinilai etis atau tidak adalah apa yang kita, manusia, akan lakukan dengan
fakta-fakta tersebut, apakah sikap kita dalam menggunakan ataupun berhadapan
dengan fakta tersebut bermoral, atau tidak. Nah, menurut pandangan ini, ilmu
pengetahuan pada dasarnya adalah suatu aktivitas yang bebas nilai, yakni suatu
aktivitas untuk mengungkapkan fakta-fakta netral tentang dunia. Apa yang akan
dilakukan oleh masyarakat dengan fakta-fakta tersebut adalah suatu urusan lain yang
tidak ada hubungannya dengan sang ilmuwan.
Di dalam perjalanannya, pandangan ini pun mendapatkan banyak kritik.
Tidak semua filsuf ilmu pengetahuan menerima pandangan bahwa ilmu pengetahuan
bersifat netral dalam kaitannya dengan nilai, atau tentang pembedaan yang tegas dan
jelas antara fakta (fact) dan nilai (value). Beberapa diantara mereka berpendapat
bahwa ideal bebas nilai di dalam sains tidak akan pernah dapat dicapai di dalam
realitas. Setiap bentuk penyelidikan saintifik selalu sudah mengandung penilaian
nilai tertentu (laden with value judgments). Thomas Kuhn pernah menulis bahwa
setiap bentuk observasi di dalam sains selalu sudah mengandung teori (theory
laden). Salah satu argumen yang digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas
nilai di dalam sains adalah bahwa setiap ilmuwan, apapun bidang ilmu yang
digelutinya, selalu sudah memilih tema apa yang akan ditelitinya sesuai dengan
penghayatan nilai dan minat yang ia punyai. Dalam arti yang sempit, penghayatan
nilai dan minat yang sang ilmuwan punyai tersebut adalah suatu bentuk nilai
tertentu yang tidak bisa begitu saja diabaikan.110 Di samping itu, ada argumen lain
yang seringkali digunakan untuk mengkritik pengandaian bebas nilai di dalam sains
ini, yakni bahwa setiap data yang dianalisis, di dalam bidang ilmu manapun, selalu
juga dapat ditafsirkan secara berbeda-beda dengan kerangka pemahaman yang juga
berbeda. Dengan kata lain, suatu data yang sama juga selalu sudah dapat ditafsirkan
dan kemudian dimengerti dengan cara yang berbeda-beda. Proses yang dijalani oleh
seorang ilmuwan, mulai dari pengumpulan data sampai perumusan suatu teori, tidak
109
110

Lihat, ibid, hal. 129.


Uraian dalam sub bab ini dapat juga dibandingkan dengan bab 6 buku ini.

250

pernah sungguh-sungguh lepas dari nilai-nilai personal yang diyakini oleh ilmuwan
tersebut. Beberapa filsuf mengambil argumen ini untuk menunjukkan bahwa nilai
tidaklah dapat dihindarkan di dalam perumusan ataupun pilihan atas suatu teori.
Konsekuensinya, pada hakekatnya, setiap bentuk ilmu pengetahuan tidaklah
mungkin bebas nilai. Argumen ketiga adalah bahwa setiap pengetahuan ilmiah tidak
pernah bisa dilepaskan dari penerapan praktis sebagai hasil dari penelitian saintifik
yang dilakukan.Dari sudut pandang ini, adalah naif, jika kita memandang ilmuwan
sebagai orang yang tidak memiliki kepentingan sama sekali, bahwa ia melakukan
suatu penelitian ilmiah melulu demi penelitian ilmiah itu sendiri tanpa pernah
memikirkan penerapan praktis dari hasil penelitian ilmiah tersebut. Fakta bahwa
sekarang ini banyak penelitian ilmiah yang didanai oleh perusahaan-perusahaan
swasta, yang tentunya memiliki kepentingan komersial, memberikan data yang kuat
bagi argumen ini.
Walaupun cukup memadai, tiga argumen yang telah dipaparkan diatas
masihlah bersifat abstrak. Artinya, argumen tersebut masihlah mengajukan kritik
terhadap pengandaian bebas nilai di dalam ilmu pengetahuan di level prinsipprinsip, dan belum menyentuh kasus-kasus konkret yang terjadi di dalam dunia ilmu
pengetahuan. Marilah kita ambil satu contoh kasus. Pada dekade 1970-80-an muncul
sebuah displin ilmiah baru yang disebut sebagai sosiobiologi, yakni sebuah displin
ilmu yang mau menerapkan prinsip-prinsip Darwinisme untuk mempelajari perilaku
manusia dalam konteks sosialnya. Kesan pertama, displin ini tampak sangat masuk
akal, terutama karena dari perspektif Darwinisme, manusia hanyalah salah satu dari
sekian banyak spesies di dalam dunia binatang. Para ahli biologi pun juga
berpendapat bahwa teori Darwin dapat menjelaskan banyak tentang perilaku
binatang. Contohnya, ada penjelasan yang sangat memadai dari perspektif
Darwinisme untuk menjelaskan mengapa tikus akan segera lari, ketika melihat
kucing. Di masa lalu, tikus yang tidak segera melarikan diri ketika melihat kucing
seringkali akan berkurang drastis populasinya dari yang berlaku sebaliknya, karena
mereka dimakan oleh kucing. Ada satu pengandaian dasar di sini, bahwa perilaku
binatang dapat diturunkan secara genetis dari induk kepada anaknya, dan setelah
beberapa generasi, perilaku tersebut menjadi perilaku umum di dalam spesies itu.
Hal ini menjelaskan, mengapa tikus sekarang ini sangat takut kepada kucing.
Argumen semacam ini banyak juga dikenal sebagai argumentasi adapsionis
(adaptionist) yang memperoleh amunisi teoritisnya dari Darwinisme.
Nah, para ahli sosiobiologi ini yakni bahwa banyak perilaku manusia dapat
dijelaskan lebih jauh dengan menggunakan penjelasan adapsionis semacam ini.
Salah satu contoh yang sering digunakan adalah tentang pelarangan incest, atau
pernikahan di antara anggota keluarga yang sama. Hampir di semua masyarakat,
pernikahan di antara anggota keluarga telah dianggap tabu, dan bahkan diberikan
sanksi legal. Fakta semacam ini tampak cukup mengejutkan, terutama mengingat
bahwa seksualitas dipahami secara cukup beragam di masyarakat yang berbeda-beda

251

kebudayaannya. Mengapa incest dilarang? Para sosiobiolog memberikan penjelasan


semacam ini. Anak-anak yang lahir dari perkawinan incest seringkali memiliki cacat
tubuh yang signifikan, sehingga pada masa lalu, orang-orang yang mempraktekkan
incest akan lebih cepat meninggal, jika dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
mempraktekkan incest. Ada satu pengandaian dasar di sini, bahwa perilaku
menghindar dari pernikahan sejenis memiliki akar genetis, sehingga dapat
diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Setelah beberapa generasi, perilaku
menghindar dari incest akan menjadi perilaku yang umum di seluruh populasi. Hal
ini menjelaskan, mengapa incest sangat jarang, dan mungkin tidak dapat ditemukan,
di dalam masyarakat manusia sekarang ini.111
Penjelasan tersebut memang agak kontroversial. Banyak orang yang merasa
berkeberatan dengan argumentasi semacam ini, terutama karena para sosiobiolog ini
berpendapat bahwa manusia adalah mahluk yang seluruhnya terprogram secara
genetis, ketika mereka mematuhi pelarangan incest. Salah satu argumentasi kritik
terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia mematuhi larangan incest, karena
incest itu salah, baik secara moral, maupun secara kesehatan, dan bukan karena
secara genetis, manusia tidak lagi melakukannya, seperti yang dijelaskan oleh para
ahli sosiobiologi. Para sosiobiolog ini juga menggunakan penjelasan-penjelasan yang
diambil dari argumentasi adapsionis di atas untuk menjelaskan hal-hal lainnya,
seperti xenophobia, sikap agresif, dan pemerkosaan. Di dalam menjelaskan hal-hal
ini, argumentasi mereka tetap sama, bahwa karakter yang terbentuk pada orang tua
akan diturunkan secara genetis kepada anaknya, dan setelah beberapa saat, karakter
tersebut akan menjadi karakter umum. Tentu saja, tidak semua manusia bersifat
agresif atau memiliki xenophobia. Tetapi bukan berarti argumentasi yang
dikembangkan oleh para sosiobiolog ini sepenuhnya salah. Mereka berpendapat
bahwa faktor genetis memainkan peranan di dalam penentuan karakter seseorang,
dan bahwa karakter yang telah dimiliki oleh orang tua akan diturunkan anaknya
melalui ajaran-ajaran dan nasihat, sekaligus juga melalui genetika. Jadi, faktor
genetis memberikan peranan, tetapi bukan melulu faktor genetis yang menentukan.
Mereka sama sekali tidak mau mengatakan perilaku manusia sepenuhnya ditentukan
oleh faktor genetis.
Di dalam dunia ilmu pengetahuan sendiri, argumentasi para sosiobiolog ini banyak
dikritik dari berbagai pihak. Beberapa diantara kritik tersebut bersifat murni ilmiah.
Salah satu argumen kritik tersebut antara adalah bahwa argumen yang diajukan oleh
para sosiobiolog ini sangat sulit untuk dibuktikan di dalam realitas, sehingga jauh
lebih baik ditempatkan sebagai sebuah dugaan (conjecture), dan bukan sebagai
sebuah kebenaran. Akan tetapi, di antara para pengkritik argumentasi sosiobiologi
ini, ada beberapa yang mengkritik secara tajam dan fundamental. Para pengkritik ini
111

Lihat, ibid, hal. 131.

252

melihat sosiobiologi sebagai selubung dari suatu ideologi diskriminatif tertentu, dan
sama sekali tidak ilmiah. Sosiobiologi adalah sebuah pembenaran bagi tindakan
negatif, terutama tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pria. Dengan berpendapat
bahwa setiap tindakan negatif, seperti menjadi pelaku pemerkosaan misalnya,
memiliki aspek genetis, maka secara implisit, para sosiobiolog ini mau mengatakan
bahwa tindak pemerkosaan tersebut adalah sesuatu yang alamiah, dan bahwa sang
pemerkosa tidak bertanggungjawab atas tindakan tersebut, karena ia semata-mata
hanya mengikuti dorongan genetisnya saja. Bagaimana kita bisa menghukum
seorang pemerkosa, jika gennyalah yang bersalah, dan bukan kehendak bebas dari si
pemerkosa tersebut? Sanksi tidak bisa diberikan pada orang yang tidak sepenuhnya
bebas, ketika ia melakukan sebuah pelanggaran. Dengan demikian, para pengkritik
sosiobiologi ini berpendapat bahwa ilmu tersebut sudah selalu mengandung nilainilai diskriminatif. Tidak diragukan lagi, kritik semacam ini banyak dilontarkan oleh
para pemikir feminis dan ilmuwan-ilmuwan sosial.
Salah satu tanggapan dari kritik semacam ini adalah bahwa kita harus
membedakan antara fakta (fact) di satu sisi, dan nilai (value) di sisi lain. Marilah kita
jadikan kasus pemerkosaan di atas sebagai sebuah contoh. Pertanyaan dasarnya
begini, apakah ada gen tertentu yang dimiliki pria, sehingga mereka memiliki
kecenderungan untuk memperkosa perempuan, dan bukan sebaliknya, yakni
perempuan yang memperkosa pria? Pertanyaan itu berkaitan dengan fakta murni,
walaupun sangat sulit untuk dijawab secara ilmiah. Akan tetapi, fakta adalah satu
soal, dan nilai adalah soal lainnya. Bahkan, jika setelah dilakukan penelitian yang
akurat, ternyata gen semacam itu ada, hal itu tidak berarti tindak pemerkosaan dapat
ditolerir, dan tidak akan membuat seorang pemerkosa menjadi tidak
bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukannya. Tidak ada orang yang akan
berpikir bahwa gen tersebut akan mendikte pria untuk memperkosa perempuan.
Kemungkinan besar, gen tersebut memang mendorong pria untuk memperkosa.
Akan tetapi, pertimbangan-pertimbangan pribadi yang dibentuk melalui ajaranajaran moral sebelumnya akan membuat pria tersebut mampu melampaui dorongan
genetis-biologis tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk kasus-kasus lainnya.
Bahkan jika penjelasan yang dibuat oleh para sosiobiolog ini tepat, hal ini tidak
secara otomatis mempengaruhi secara total pertimbangan-pertimbangan yang lebih
luas dari perilaku manusia, seperti pertimbangan etis, ataupun pertimbangan politis.
Dengan kata lain, suatu prinsip etika tidak pernah bisa diturunkan begitu saja dari
penelitian ilmiah di dalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan secara ideologis dari para pemikir sosiobiologi ini. Dan seperti semua
ilmu pengetahuan, sosiobiologi hanya bermaksud sedapat mungkin mendeskripsikan
fakta-fakta yang ada di dalam dunia. Memang, seringkali fakta-fakta yang kita
temukan sangat mengejutkan, tetapi kita harus belajar untuk hidup dengan faktafakta yang mengejutkan itu.
253

Jika tanggapan semacam ini bisa dibenarkan, berarti kita harus secara tajam
membedakan antara kritik saintifik terhadap sosiobiologi di satu sisi, dan kritik
ideologi terhadap ilmu tersebut di sisi lain. Sekilas, pemisahan tersebut tampak
masuk akal. Akan tetapi, ada satu hal yang kiranya belum diangkat di sini, yakni
bahwa para pendukung ilmu ini biasanya adalah orang-orang yang berasal dari
sayap kanan. Sementara, para pengkritiknya adalah orang-orang yang berasal dari
sayap kiri.112 Apakah memang begitu? Apakah ada keterkaitan antara kepentingan
politik dengan sikap terhadap sosiobiologi? Ini adalah pertanyaan yang sangat sulit
untuk dijawab. Memang, beberapa sosiobiolog memiliki agenda politik yang
tersembunyi, dan para pengkritik teori ini juga memiliki agenda yang juga
tersembunyi. Hal ini membuktikan, walaupun masih dalam bentuk hipotesis, bahwa
antara yang ilmiah di satu sisi dan yang ideologis di sisi lain ternyata tidak begitu
mudah untuk dibedakan begitu saja. Dengan demikian, pertanyaan tentang apakah
sosiobiologi ini bebas nilai atau tidak juga tidak begitu mudah untuk dijawab begitu
saja.
Kesimpulannya, ilmu pengetahuan, sebagai salah satu tiang penyangga
peradaban modern dan terkait erat dengan begitu banyak kepentingan di dalam
masyarakat, tidak bisa tidak haruslah mendapatkan pertimbangan kritis dari
berbagai pihak. Pertimbangan kritis ini adalah sesuatu yang sangat baik, karena
penerimaan begitu saja terhadap apapun yang dikatakan oleh para ilmuwan
bukanlah suatu sikap yang layak. Pada abad ke-21 ini, dunia yang kita hidupi akan
semakin memberikan ruang yang semakin besar bagi ilmu pengetahuan, terutama
bagi penerapan praktis dari teknologi yang ditemukan dari abad-abad sebelumnya.
Refleksi filosofis tentang ilmu pengetahuan mungkin tidak akan bisa memberikan
jawaban final terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar yang, pernah, dan akan
muncul. Akan tetapi, filsafat ilmu pengetahuan dapat membantu untuk menajamkan
isu-isu mendasar, dan mendorong terciptanya dialog yang rasional dan seimbang
tentang isu-isu mendasar tersebut. Semoga

112

Lihat, ibid, hal. 133.

254

Daftar Pustaka
Mel Thompson, 2002. Philosophy of Science, Coventry, Hodder & Stoughton
Educational.
Brody (ed). 1998. Reading in the Philosophy of Science, Englewood, Prentice-Hall,
1970.
Daily Telegraph, 14 Maret 1998.
Thomas Kuhn. 1996. The Structure of Scientific Revolutions, Chicago, University of
Chicago Press.
Paul Feyerabend.1975. Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of
Knowledge.
Imre Lakatos.1978. Falsification and The Methodology of Scientific Research
Programmes, CUP.
E.D Klemke, Robert Hollinger, Day Wss Rudge (ed).1998. Introductory Reading in
the Philosophy of Science. Fritz Machlup, Are the Social Sciences Really Inferior?,
dalam , E.D Klemke, Robert Hollinger, Day Wss Rudge (ed), Introductory Reading
di dalam Philosophy of Science.
Heinrich Rickert.1998. Die Grenzen der naturwissenchaftlichen Begnfisbildung,
seperti dikutip oleh Machlup1 Moric Cohen, Reason and Nature, hal, 348, seperti
dikutip Machlup.
H. Kelsen.1998. Allgemeine Staatslehre, hal. 129, seperti dikutip Machlup.
F. Machlup.1955. The Problem of Verification in Economics, Southern Economics
Journal, XXII.
Robert Hollinger. 1998. Introduction: Science and Values, Introductory Reading di
dalam Philosophy of Science, New York, Prometheus Books.
Peter T. Manicas.1987. History & Philosophy of Social Sciences, New York:Basil
Blackwell.
Levi-Strauss.1966. The Savage Mind, Chicago: University of Chicago Press
Anderson,.1983. In the Tracts of Historical Materialism, London:NLB.
Roy Bhaskar.1979. The Possibility of Naturalism, Brighton: Harvester and Atlantic
Highlands.
Karl Popper.1963. Conjectures and Refutations, London: Routledge.
Anthony Gidden.1979. Central Problems in Social Theory, London: Macmillan.
Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Landasan Teoritis Gerakan
Sosial Menurut Bordieu, Basis, Nomor. 11-12, November-Desember 2003
Bernard Lahire, Le Travai sociologique de Pierre Bordieu. Dettes et Critiques, Paris,
a Decouverte, 2001
Patrice Bonnewitz, Premieres lecons sur la sociologie de Pierre Bourdieu, Paris, PUF,
1998
Alain Touraine, Le retour de lacteur, Paris, Fayard, 1984
Bourdieu, Le sens pratique, Paris, Minuit,1980
Pierre Bourdieu, Raisons pratiques. Sur la thorie de laction, Paris, Seuil, 1994

255

Herry Priyono, Habitus Baru, Kompas 2 Januari 2006.


Samir Okasha, Philosophy of Science, Oxford, Oxford University Press, 2002

Reza Antonius Alexander Wattimena


Dilahirkan di .... pada tanggal .... bulan tahun ....
Setelah menyelesaikan studi S-1 di STF Driyarkara, Jakarta, ia melanjutkan studi S-2
di sekolah yang sama, dan seraya bergiat di sebuah LSM di Jakarta. Kini ia mengajar
di Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik di Universitas Atma Jaya Jakarta, sambil
menyelesaikan tesisnya dengan tema "Kritik atas Kritik Immanuel Kant terhadap
Metafisika".

256

Reza Antonius Alexander Wattimena. Setelah menyelesaikan studi S-1 di STF


Driyarkara, ia melanjutkan studi S-2 di sekolah yang sama, dan di sela-sela waktu
bergiat di sebuah LSM di Jakarta. Kini ia mengajar di Fakultas Psikologi dan Fakultas
Teknik di Universitas Atma Jaya Jakarta, sambil menyelesaikan tesisnya dengan
tema Kritik atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika.

257

258

Anda mungkin juga menyukai