Anda di halaman 1dari 21

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah


Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah

umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatar belakang politik,


yang

kemudian

aliran

tersebut

berevolusi

dan

memicu

kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam


mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya
aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat
Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti
umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis
dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan
umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya
konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran
yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah
teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mutazilah.
Banyak

yang

mengidentikkan

Mutazilah

dengan aliran

sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum


telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang
menganggap Mutazilah sebagai main icon kebangkitan umat
Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat
Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk
kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta
lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang
tergolong kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman
tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji

kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian


mendalam di setiap sisinya. Karena itu penulis mencoba
menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mutazilah
dalam makalah ini tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum
Mutazilah itu?

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Asal Usul Mutazilah


Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak)

pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di


masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan
khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota
Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.
Kemunculan

mu`tazilah

ini

bermula

dari

lontaran

ketidaksetujuan dari Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri


yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan
kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih
dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke
jannah

sebagai

rahmat

Allah

atasnya,

Washil

Bin

Atha`

menyangkal pendapat tersebut.1 Sebaliknya dia mengatakan


bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi
mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di
neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu

1 Rosihon Anwar, ,Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), 77-78.

posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan neraka (almanzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh Amr bin
Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah
keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bidah, yaitu
mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.2
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mutazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga
kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang
banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat
itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil
dari Al Quran dan As Sunnah).3
Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka
berbunyi: Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Quran, As
Sunnah dan Ijmadan akal-lah sebagai kata pemutus dalam
segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut
persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus
dibuang atau ditakwil.4
Secara etimologis, kata Mutazilah berarti golongan yang
mengasingkan atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah
Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian antara Ali bin
Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu
terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan
2 Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 46-48.
3 Ibid, 29.
4 Abu al-Hasan al-Khayyath, Al-Intishar Firraddi alal MutazilatilQadariyyah Al-Asyrar, 1/65.

terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat


Ali, namun mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang
memiliki sikap semacam ini adalah: Sad bin Abi Waqqasy,
Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang-orang itu disebut
kelompok Mutazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan
dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan
Muawiyah.5
Apabila kata Mutazilah dikaitkan dalam konteks aliran-aliran
teologi, maka Mutazilah adalah suatu nama golongan dalam
Islam yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih
mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan
yang

dibawa

kaum

Khawarij

dan

Murjiah

yang

dalam

pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini


sering disebut kaum rasionalis Islam.6
Sebenarnya

nama

Mutazilah

bukanlah

produk

dari

orang-orang Mutazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan


oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al-Basri mendengar
kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis,
lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para
sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah
orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari
pendapat umat.7 Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut
Mu`tazilah.

5 Al-Fakhuri, Hanna, dkk, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, (Beirut: tnp.,


1957), 141.
6 Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), 56.
7 Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), (PT Bulan Bintang,
Jakarta, 1996), 39-40.

B.

Ajararan-Ajaran Dasar Mutazilah


Ajaran-ajaran dasar golonga Mutazilah berasal Washil Ibn

Atha, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang


disebut Al-ushul al-Khamsah, atau Lima ajaran dasar. Abu alHasan al-Khayyath dalam bukunya al-intishar menyatakan: tak seorang pun
mengaku sebagai penganut Mutazilah sebelum ia mengakui al-ushul al-khomsah
(lima pokok ajaran) sebagai dasar pemikiran pahamnya, yaitu : al-Tauhid,
al-Adl, al-Wad wa al-Waid, al-Manzilah baina al-Manzilatain, alAmr bi al-Maruf wa al-Nahi an al-Munkar.8
1. al-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya
tauhid ini bukan milik golongan Mutazilah saja. Tetapi mereka
menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan
Ahl al-Tauhid.
Mutazilah berpendapat bahwa Allah SWT itu Qadim dan
yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan
Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas
disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja bagi mereka
cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan
inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan
logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mutazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti
al-Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-Adl, al-Murid
dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma al-husna,
karena al-Quran mengakui hal tersebut.

8 Ahmad Muthohar, Teologi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2008), cet. 1, 18.

Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua


kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan,
disebut Shifah Dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan
dengan

tindakan

dikategorikan

Allah

Shifah

dan

Filiyah.

berkaitan
Hanya

dengan

saja

makhluk,

Mutazilah

tidak

mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan


terhadap Dzat Allah (zaidah ala al-dzat) atau berada di luar Dzat
(wara al-dzat) sebagaimana pandangan Asyairah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu
sendiri (ain al-dzat) . Karena jika sifat itu zaidah ala al-dzat,
berarti

dia

berada

diluar

Dzat,

dan

akan

menyebabkan

banyaknya jumlah yang Qadim (taaddud al-qudama),9 yaitu:


Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah,
Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan
Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah.
Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:

,

Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan
Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan
Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan
dengan Kehendak-Nya.
b. Mengatakan al-Quran makhluk.

9 Abd. Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, (Maktab Wahbab,


Kairo,1965), 196.

Mutazilah

mengatakan

bahwa

Kalam

tidak

mungkin

disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat


Kalam menurut Mutazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan
bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib .
Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia
hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud
kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang
Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat

yang

mereka

simpulkan

inilah

yang

menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah


sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim,
sehingga pada gilirannya al-Quran sebagai Kalamullah adalah
sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah
makhluk.
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika
mereka mencoba menjawab bagaimana Allah menciptakan
Kalam itu?. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka
berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa ayat 164:

[: ]
dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung
Mutazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan
bahwa Allah SWT menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang
kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu Musa as.
mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan
kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan
disampaikan-Nya

kepada

Musa,

lalu

Musa

as.

mendengar

Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.


Jadi

Mutazilah

mengatakan

al-Quran

makhluk

adalah

sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah


salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya,

tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara
yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata
telanjang.
Mutazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan
Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, membawa
pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih,
menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut
mereka, ruyah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syua')
antara yang melihat dengan yang dilihat, dan mereka
memberikan satu syarat agar ruyah itu bisa terjadi yaitu binyah
(tempat/media), dan ruyah tersebut mesti berhubungan dengan
benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian,
oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi
pada Allah SWT.
Dengan

pendapat

yang

demikian,

mereka

melakukan

takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan


terjadinya ruyah tersebut, seperti ayat:


Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseriseri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS. alQiyamah: 22-23)
Mereka mengatakan bahwa kata ( )di sana tidak berarti
melihat ( )malainkan menunggu ( )dan kata ()
bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (
)yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: Wajahwajah itu menanti nikmat dari Tuhannya.10
Mereka juga mentakwil ayat:
10 Ibid, 227.


Allah cahaya langit dan bumi (QS. Al-Nur: 35)
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah
cahaya yang bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya
kepada langit dan bumi. Sedangkan terhadap hadits yang
menyatakan orang mukmin di surga bisa melihat Allah bahkan
kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan
purnama,

hadits

ini

tidak

diterima

oleh

Mutazilah

dan

mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.


d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini

sejalan

dengan

penjelasan

mereka

tentang

kesempurnaan Allah SWT, yaitu: Bukan yang memiliki batasan


(dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang
dan tidak dibatasi oleh tempat. Karena dengan menetapkan
atau

membatasi

jihat

bagi-Nya

berarti

menetapkan

atau

membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).


Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan katakata di dalam al-Quran yang menunjukkan tempat Allah SWT,
seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa
(semayam) dengan berkuasa penuh (istila) dan lain sebagainya.
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya
persamaan Tuhan dengan manusia.
Demikian

juga

halnya

dengan

semua

ayat

yang

mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti


anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan
Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan
dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.

10

Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas


pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat
di dalam Al Quran. Mereka berpegang pada ayat:

[:]..... ......
Artinya: ...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia.... (QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme,
Mutazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat secara lahir
menggambarkan

kejisiman

Tuhan,

yaitu

dengan

cara

memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga


hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS. Shad:75) di
artikan kekuasaan dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al
Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata wajah (QS. Ar Rahman:27)
diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS. Thaha: 5)
diartikan kekuasaan.11
2. Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-Tauhid Mutazilah ingin mensucikan diri
tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-Adl
kaum

Mutazilah

ingin

mensucikan

perbuatan-perbuatan

makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak


dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat
dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka
menyebut diri mereka dengan ahl al-Tauhid wa al-Adl.12
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang
mengatakan bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak
11 Ibid.
12 Sirrajudin Abbas, Itiqod Ahlus Sunnah Wal Jamaah,(Jakarta: CV.
Pustaka Tarbiyah, 2006), 191-193.

11

mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini


maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan
demikian

Tuhan

mempunyai

kewajiban-kewajiban

seperti

memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk


menyampaikan

wahyu

kepada

manusia,

untuk

membantu

manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan


diciptakannya manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan
tersebut berhasil, maka harus diutus Rasul.13
3. al-Wad wa al-Waid (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang
al-Adl Golongan Mutazilah yakni

bahwa janji tuhan akan

memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik,


dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat
jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan
ancaman Tuhan. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga
bagi yang berbuat baik (al-Muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang durhaka (al-Ashi) pasti terjadi, begitu
pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang
bertaubat nasuha pasti benar adanya.14
4. al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mutazilah, karena
merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi
sehingga lahir golongan Mutazilah. Yaitu persoalan orang yang
berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut

13 Mahmud Mazruah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, (Dar Al Mannar, Kairo,


1991), 130-131.

14 M.Muhaimin, Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran, (Yogyakarta:Pustaka


Pelajar,1999),cet.1, 75.

12

tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi
diantara dua posisi.15
Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut
menjadi kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murjiah
berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di
neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan
golongan Mutazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak
mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka,
tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat ini
merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat
Murjiah.
5. al-Amr bi al-Maruf wa al-Nahi an al-Munkar (Perintah untuk
berbuat baik dan larangan berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan
Mutazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam.
Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut
menurut

Mutazilah,

bila

perlu

harus

diwujudkan

atau

dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan


lain cukup dengan penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar maruf nahi munkar sebenarnya
sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena
hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang
berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa
Mutazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak,
sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mutazilah tidak
cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan
harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
15 Abd.Muin Thahir Taib, Ilmu Kalam, (Jakarta : Penerbit Widjaya.
1986), 103.

13

Bagi Mutazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua


orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan,
tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang
telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan

paham

mutazilah

dengan

yang

lainnya

mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatana pelaksanaannya.


Menurut Mutazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.16
C. Tokoh- Tokoh Mutazilah
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Mutazilah. Ada tiga ajaran pokok yang
dicetuskannya, yaitu paham al-Manzilah baina al-Manzilatain,
paham Qadariyah (yang diambilnya dari Mabad dan Gailan, dua
tokoh aliran Qadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran
Mutazilah, yaitu al-Manzilah baina al-Manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil
bin Atha, mendirikan sekolah Mutazilah pertama di kota Bashrah.
Lewat sekolah ini, pemikiran Mutazilah dikaji dan dikembangkan.
Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam
aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah AlMakmun

(Dinasti

Abbasiyah).

Mutazilah

sempat

menjadi

madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin


mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
16 Harun Nasution, Op. Cit.

14

tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam


Islam ini.
Abu

Huzail

al-Allaf

adalah

seorang

filosof

Islam.

Ia

mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya


untuk menyusun ajaran-ajaran Mutazilah yang bercorak filsafat.
Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian Nafy alSifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan
pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya,
bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan
Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang
Qadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti
sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu
Qadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan
akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang
baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan
yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu
pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya
Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan.
Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salh wa alaslah.
3. Al-Jubbai.
Al-Jubbai adalah guru Abu Hasan al-Asyari, pendiri aliran
Asyariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam
Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan
tidak

mempunyai

sifat;

kalau

dikatakan

Tuhan

berkuasa,

berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak,


dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.

15

Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua


kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia
melalui akalnya (wajibah aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melalui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi
(wajibah syariah).
4. al-Nazzam
Pendapat al-Nazzam yang terpenting adalah mengenai
keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa
untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari
gurunya,

al-Allaf.

Kalau

Al-Allaf

mengatakan

bahwa

Tuhan

mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka al-Nazzam


menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa perbuatan zalim hanya dikerjakan oleh
orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh
dari keadaan yang demikian.17
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat alQuran.

Menurutnya,

mukjizat

al-quran

terletak

pada

kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah


(retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah
SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari hurufhuruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang
bersifat baru dan tidak Qadim.18
5. al- Jahiz
al-Jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar
dijumpai paham naturalisme atau kepercayaan akan hukum alam
yang oleh kaum mutazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain
17 Fathul Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam, (Kudus: STAIN Kudus, 2009), 116120.
18 Harun Nasution, Op. Cit.

16

menjelaskan

bahwa

perbuatan-perbuatan

manusia

tidaklah

sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada


pengaruh hukum alam.

6. Muammar bin Abbad


Muammar bin Abbad adalah pendiri mutazilah aliran
Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam.
Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan
bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun
al-Arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda)
itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu
dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh
lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan
hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mutamir
Ajaran

Bisyr

al-Mutamir

yang

penting

menyangkut

pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya


tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat
kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar
kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar,
akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas
dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin mutazilah yang
sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan
orang lain. Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang
yang

mempercayai

keqadiman

al-Quran.

Ia

juga

menolak

17

pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata


kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga
dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan
yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga
dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki
surga dan neraka.
D. Kemunduran Golongan Mutazilah.
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mutazilah
mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami
kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan
mereka sendiri, mereka hendak membela / memperjuangkan
kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orangorang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka. Puncak
tindakan mereka ialah ketika al-Makmun menjadi khalifah dimana
mereka dapat memaksakan pendapat dan keyakinan mereka
kepada golongan-golongan lain dengan menggunakan kekuasaan
al-Makmun,19 yang mengakibatkan timbulnya peristiwa Quran
yang memecah kaum muslimin menjadi dua blok, yaitu blok
yang menuju kekuatan akal-fikiran dan menundukkan agama
kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh
kepada bunyi nash-nash Quran dan hadits semata-mata dan
menganggap tiap-tiap yang baru sebagai bidah dan kafir.
Akan tetapi persengketan tersebut dapat di batasi dengan
tindakan

al-Mutawakil,

mengembalikan

lawan

kekuasaan

golongan

golongan

Mutazilah

yang

untuk

mempercayai

19 Richard C. Martin, dkk. Post Mutazilah, Genealogi Konflik


Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta, IRCISOD, 2002),
329-330.

18

keazalian

al-Quran.

Sejak

saat

itu

golongan

Mutazilah

mengalami tekanan berat. Kitab-kitab mereka dibakar dan


kekuatannya dicerai-beraikan sehingga kemudian tidak lagi aliran
Mutazilah sebagai golongan, terutama sesudah al-Asyary dapat
mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran.20

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara harfiah Mutazilah adalah berasal dari Itazala yang
berarti berpisah. Aliran Mutaziliyah (memisahkan diri) muncul di
Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan
Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan
al-Bashri

karena

perbedaan

pendapat.

Wasil

bin

Atha

berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan


kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin

berdosa

besar

aliran

Mutazilah

yang

menolak

pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mutazilah


orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula
mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah almanzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
20 Ahmad Hanafi, Op. Cit, 56-57.

19

Mutazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat


dan mengikuti cara pandang Washil bin Atha dan Amru bin
Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang
akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin Atha
dan Amru bin Ubaid.
Mutazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang
bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu)
sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan
sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode
filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada
sikap ekstrim dalam menggunakan logika. Sikap nyaris
ekstrim ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide
teologis mereka, dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan
fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang
diistilahkan Mihnah.
Mutazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum
pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij
dan Murjiah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu
kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia
meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di
sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang
diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi
lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang
kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang
hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
Penghargaan

yang

tinggi

terhadap

akal

dan

logika

menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan


Mutazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan
dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul alKhamsah: Tauhid (Keesaan), Al-Adl (Keadilan), Al-Wadu wa al-

20

Waid (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu


Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Maruf wa al-Nahyu
an

al-Munkar

(Menegakkan

yang

Makruf

dan

Melarang

Kemunkaran).
Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mutazilah
mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami
kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan
mereka sendiri, mereka hendak membela / memperjuangkan
kebebasan berfikir akan tetapi mereka sendiri memusuhi orangorang yang tidak mengikuti pendapat-pendapat mereka.

DAFTAR PUSTAKA

21

.al-Khayyath, Abu al-Hasan, Al-Intishar Firraddi alal MutazilatilQadariyyah Al-Asyrar, 1/65.


Abbas, Sirrajudin, Itiqod Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Jakarta: CV.
Pustaka Tarbiyah, 2006.
Abd Al-Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab
Wahbab, Kairo,1965.
al-Fakhuri, Hanna, dkk, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah, Beirut:
tnp., 1957.
al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Anwar, Rosihon, ,Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam), PT Bulan Bintang,
Jakarta, 1996.
Martin, Richard C., dkk. Post Mutazilah, Genealogi Konflik
Rasionalisme

dan

Tradisionalisme

Islam,

Yogyakarta,

IRCISOD, 2002.
Mazruah, Mahmud, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Dar Al Mannar,
Kairo, 1991.
Mufid, Fathul, Ilmu Tauhid/Kalam, Kudus: STAIN Kudus, 2009.
Muhaimin,

M,

Ilmu

Kalam,

Sejarah

dan

Aliran-aliran,

Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1999.
Muthohar, Ahmad, Teologi Islam, Yogyakarta: Teras, 2008.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa
Perbandingan,

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,

1986.
Taib, Abd Muin Thahir, Ilmu Kalam, Jakarta : Penerbit Widjaya.
1986.

Anda mungkin juga menyukai