Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Masalah kesehatan merupakan salah satu masalah yang tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan pedesaan. Masih banyak desa-desa terutama desa
tertinggal yang jauh dari perilaku hidup sehat. Sementara itu, kesehatan
merupakan salah satu variabel pengukuran dari Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), dan mayoritas masyarakat Indonesia tinggal di Pedesaan sehingga
menjadi hal yang wajar apabila IPM Indonesia masih bernilai sangat rendah.
Kesehatan merupakan aspek penting dan menjadi salah satu kebutuhan yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu hak yang seharusnya
didapatkan oleh semua masyarakat termasuk masyarakat desa.
Keterbatasan financial menjadi hambatan masyarakat desa dalam mengakses
sarana kesehatan. Selain itu umumnya program ataupun teknologi kesehatan dari
pihak luar kadang kala tidak sesuai dengan keadaan masyarakat desa serta sulit
diterapkan oleh masyarakat desa. Oleh karena itu perlu adanya Teknologi Tepat
Guna (TTG) kesehatan yang dapat membantu masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatannya.
Teknologi tepat guna adalah

teknologi

yang

didesain

dengan

mempertimbangkan aspek lingkungan, etik budaya, sosial, dan ekonomi bagi


komunitas. Ciri-ciri teknologi adalah mudah diterapkan , mudah dimodifikasi,
untuk kegiatan skala kecil , padat karya, sesuai dengan perkembangan budaya
masyarakat, bersumber dari nilai tradisional, adaptif terhadap perubahan
lingkungan.
Adanya Teknologi Tepat Guna Kesehatan diharapkan dapat menjembatani
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan hidup sehat. Maka, perlu kiranya
melihat kondisi penerapan Teknologi Tepat Guna, khususnya bidang kesehatan
yang berkembang di masyarakat dan melihat sejauh mana teknologi tersebut
berhasil mewujudkan kondisi masyarakat yang sehat.
1.2 Rumusan masalah
1. Apakah Sindrom Down dan bagaimana ciri- cirinya ?
1

2. Apakah yang dimaksud dengan diagnosis prenatal ?


3. Bagaimana penerapan diagnosis prenatal ?
4. Apa yang dimaksud dengan Skrinning Bakteriuria Asimtomatik ?
5. Bagaimana penerapan Skrinning Bakteriuria Asimtomatik ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Sindrom Down dan ciri- cirinya
2. Untuk mengetahui diagnosis prenatal
3. Untuk mengetahui penerapan diagnosis prenatal
4. Untuk mengetahui Skrinning Bakteriuria Asimtomatik
5. Untuk mengetahui penerapan Skrinning Bakteriuria Asimtomatik

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syndrome Down
2.1.1

Pengertian Syndrome Down


Sindrom down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan
kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom
untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Sindrom Down bahasa
Inggris: Down syndrome merupakan kelainan genetik yang terjadi pada
kromosom 21 yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang
cukup khas.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik
dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon
Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative
pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid
maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada tahun 1970-an para ahli
dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak
tersebut dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah
Sindrom Down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.
Anak down syndrome pada umumnya mempunyai kekhasan yang bisa
dilihat secara fisik selain dengan pemeriksaan jumlah kromosomnya. Tandatanda fisik ini bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak
minimal sampai dengan terlihat dengan jelas.

2.1.2

Penyebab syndrome down


Anak dengan Sindrom Down mempunyai jumlah kromosom 21 yang
berlebih ( 3 kromosom ) di dalam tubuhnya yang kemudian disebut trisomi
21. Adanya kelebihan kromosom menyebabkan perubahan dalam proses
normal yang mengatur embriogenesis. Materi genetik yang berlebih tersebut
terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan
3

fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang


memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik ( kelainan
tulang ), SSP ( penglihatan, pendengaran ) dan kecerdasan yang terbatas.
Pada kebanyakan kasus karena kelebihan kromosom (47 kromosom,
normal 46, dan kadang-kadang kelebihan kromosom tersebut berada ditempat
yang tidak normal). Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kelainan
kromosom, antara lain:

Genetik

Karena

menurut

hasil

penelitian

epidemiologi

mengatakan

adanya

peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan


syndrom down.

Radiasi

Ada sebagian besar penelitian bahwa sekitar 30 % ibu yang melahirkan anak
dengan syndrom down pernah mengalami radiasi di daerah sebelum terjadi
konsepsi.

Infeksi Dan Kelainan Kehamilan

Autoimun dan Kelainan Endokrin Pada ibu

Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid.

Umur Ibu

Apabila umur ibu diatas 35 tahun diperkirakan terdapat perubahan hormonal


yang dapat menyebabkan non dijunction pada kromosom. Perubahan
endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar
hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiolsistemik, perubahan
konsentrasi reseptor hormon dan peningkatan kadar LH dan FSH secara tibatiba sebelum dan selama menopause. Selain itu kelainan kehamilan juga
berpengaruh.

Umur Ayah
4

Selain itu ada faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nukleolus,
bahan kimia dan frekuensi koitus. Ada factor lain yang mempengaruhi yaitu:
Ibu hamil setelah lewat umur (lebih dari 40 th) kemungkinan
melahirkan bayi dengan Down syndrome.
Infeksi virus atau keadaan yang mempengaruhi sistem daya
tahan tubuh selama ibu hamil.
44 % syndrom down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14 % hidup sampai 68
tahun. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini
yang mengakibatkan 80% kematian. Meningkatnya resiko terkena leukimia
pada syndrom down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer
yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun.
Anak syndrom down akan mengalami beberapa hal berikut :
Gangguan tiroid
Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis

2.1.3

serosa
Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan

kornea
Usia 30 tahun menderita demensia (hilang ingatan, penurunan

kecerdasan danperubahan kepribadian)


Gejala dan Ciri-ciri
Sindroma Down memiliki banyak ciri khas pada tubuh yang dapat
dengan mudah mengenalinya. Selain itu, Sindroma Down juga menyebabkan
berbagai gangguan fungsi organ yang dibawa sejak lahir. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut :
Pertumbuhan: tumbuh pendek dan obesitas terjadi selama masa remaja
Sistem saraf pusat: retardasi mental sedang sampai berat, dengan IQ 20-85
(rata-rata 50). Hipotonia meningkat sejalan dengan umur. Gangguan
artikulasi. Sleep apnea terjadi ketika aliran udara inspirasi dari saluran
napas atas ke paru mengalami hambatan selama 10 detik atau lebih. Hal itu
sering mengakibatkan hipoksemia atau hiperkarbia.

Tingkah laku: spontanitas alami, sikap yang hangat, menyenangkan, lemah


lembut, sabar, dan toleransi. Hanya sedikit pasien yang mengalami
kecemasan dan keras kepala.
Gangguan kejang: spasme infantil sering terjadi pada masa bayi, sedangkan
kejang tonik-klonik sering pada pasien yang lebih tua.
Penuaan dini: berkurangnya tonus kulit, kerontokan atau pemutihan rambut
lebih

awal,

hipogonadisme,

katarak,

kehilangan

pendengaran,

hipotiroidisme yang berkaitan dengan umur, kejang, keganasan, penyakit


vaskular degeneratif, hilangnya kemampuan adaptasi, dan meningkatnya
demensia tipe Alzheimer.
Tulang tengkorak: brachycephaly, microcephaly, kening melandai, oksiput
datar, fontanela besar dengan penutupan yang lambat, patent metopic
suture, tidak adanya sinus frontalis dan sfenoidalis, dan hipolplasia sinus
maksilaris.
Mata: fisura palpebra yang condong ke depan, lipatan epikantus bialteral,
brushfield spots (iris yang berbintik), gangguan refrakter (50%), strabismus
(44%), nistagmus (20%), blepharitis (31%), konjungtivitis, kongenital
katarak (3%), pseudopapiledema, kekeruhan lensa yang didapat (30-60%),
dan keratokonus pada orang dewasa.
Hidung: tulang hidung hipoplastik dan jembatan hidung yang datar.
Mulut dan gigi: mulut terbuka dengan penonjolan lidah, lidah yang
bercelah, pernapasan mulut dengan pengeluaran air liur, bibir bawah yang
merekah, angular cheilitis, anodonsia parsial (50%), agenesis gigi,
malformasi gigi, erupsi gigi yang terlambat, mikroodonsia (35-50%) pada
pertumbuhan gigi primer dan sekunder, hipoplastik dan hipokalsifikasi
gigi, dan maloklusi.
Telinga: telinga kecil dengan lipatan heliks yang berlebihan. Otitis media
kronis dan hilang pendengaran sering terjadi.
6

Leher: atlantoaksial tidak stabil (14%) dapat menyebabkan kelemahan


ligamen transversal yang menyangga proses odontoid dekat dengan atlas
yang melengkung. Kelemahan itu dapat menyebabkan proses odontoid
berpindah ke belakang, mengakibatkan kompresi medula spinalis.
Penyakit jantung bawaan: penyakit jantung bawaan sering terjadi (4050%); hal itu biasanya diobservasi pada pasien dengan Sindroma Down
yang berada di rumah sakit (62%) dan penyebab kematian yang sering
terjadi pada kasus ini pada 2 tahun pertama kehidupan. Penyakit jantung
bawaan yang sering terjadi adalah endocardial cushion defect (43%),
ventricular septal defect (32%), secundum atrial septal defect (10%),
tetralogy of Fallot (6%), dan isolated patent ductus arteriosus (4%). Sekitar
30% pasien mengalami cacat jantung yang berat. Lesi yang paling sering
adalah patent ductus arteriosus (16%) dan pulmonic stenosis (9%). Sekitar
70% dari semua endocardial cushion defects berhubungan dengan
Sindroma Down.
Abdomen: rektum diastasis dan hernia umbilikalis dapat terjadi.
Sistem saluran cerna (12%): atresia atau stenosis duodenum. Penyakit
Hirschprung (<1%), fistula trakeoesofagus, divertikulum Meckel, anus
imperforata, dan omfalokel juga dapat terjadi.
Saluran urin dan kelamin: malformasi ginjal, hipospadia, mikropenis, dan
kriptorkoidisme.
Skeletal: tangan pendek dan lebar, klinodaktil pada jari ke lima dengan
lipatan fleksi tunggal (20%), sendi jari hiperekstensi, meningkatnya jarak
antara dua jari kaki pertama dan dislokasi panggul yang didapat.
Sistem endokrin: tiroiditis Hashimoto yang menyebabkan hipotiroidisme
adalah gangguan tiroid yang paling sering didapat pada pasien Sindroma
Down. Diabetes dan menurunnya kesuburan juga dapat terjadi.

Sistem hematologi: anak dengan Sindroma Down memiliki risiko untuk


mengalami leukemia, termasuk leukemia limfoblastik akut dan leukemia
mieloid. Risiko relatif leukemia akut pada umur 5 tahun 56 kali lebih besar
daripada anak tanpa Sindroma Down. Transient Myeloproliferative
Disease (TMD) adalah abnormalitas hematologi yang sering mengenai bayi
Sindroma Down yang baru lahir. TMD dikarakteristikkan dengan
proliferasi mieoblas yang berlebihan di darah dan sumsum tulang.
Diperkirakan 10% bayi dengan Sindroma Down mengalami TMD.
Imunodefisiensi: pasien Sindroma Down memiliki risiko 12 kali untuk
terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia, karena kerusakan imunitas
seluler.
Kulit: xerosis, lesi hiperkeratotik terlokalisasi, serpiginosa elastosis,
alopesia areata, vitiligo, dan infeksi kulit berulang.
2.1.4

Pencegahan dan penanganan syndrome down

Pencegahan dapat berupa :


1. Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai
akan sangat membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.
2. Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan gene targeting atau yang
dikenal juga sebagai homologous recombination sebuah gen dapat
dinonaktifkan.
3. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom
melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal
kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan
sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan
hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko
melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa
dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan
jumlah kromosom. Jumlah kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3.
Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai
8

saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya
DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan
analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian
janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis
(pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa
pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:

2.1.5

Pemeriksaan fisik penderita

Pemeriksaan kromosom

Ultrasonografi (USG)

Ekokardiogram (ECG)

Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)

Penanganan

1. Penanganan Secara Medis


a) Pendengarannya : sekitar 70-80 % anak syndrom down terdapat gangguan
b)
c)
d)
e)

pendengaran dilakukan tes pendengaran oleh THT sejak dini.


Penyakit jantung bawaan
Penglihatan : perlu evaluasi sejak dini.
Nutrisi : akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi / prasekolah.
Kelainan tulang : dislokasi patela, subluksasio pangkal paha /
ketidakstabilan atlantoaksial. Bila keadaan terakhir ini sampai menimbulkan
medula spinalis atau bila anak memegang kepalanya dalam posisi seperti
tortikolit, maka perlu pemeriksaan radiologis untuk memeriksa spina
servikalis dan diperlukan konsultasi neurolugis.

2. Pendidikan
a) Intervensi Dini
Program ini dapat dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberi
lingkunga yang memeadai bagi anak dengan syndrom down, bertujuan untuk
latihan motorik kasar dan halus serta petunjuk agar anak mampu berbahasa.

Selain itu agar ankak mampu mandiri sperti berpakaian, makan, belajar,
BAB/BAK, mandi,yang akan memberi anak kesempatan.
b) Taman Bermain
Misal dengan peningkatan ketrampilan motorik kasar dan halus melalui
bermain dengan temannya, karena anak dapat melakukan interaksi sosial
dengan temannya.
c) Pendidikan Khusus (SLB-C)
Anak akan mendapat perasaan tentang identitas personal, harga diri dan
kesenangan. Selain itu mengasah perkembangan fisik, akademis dan dan
kemampuan sosial, bekerja dengan baik dan menjali hubungan baik.
3. Penyuluhan Pada Orang Tua
1) Berikan nutrisi yang memadai
a) Lihat kemampuan anak untuk menelan
b) Beri informasi pada orang tua cara yang tepat / benar dalam memberi
makanan yang baik
c) Berikan nutrisi yang baik pada anak dengan gizi yang baik
2) Anjurkan orang tua untuk memeriksakan pendengaran dan penglihatan
secara rutin
3) Gali pengertian orang tua mengenai syndrom down
a) Beri penjelasan pada orang tua tentang keadaan anaknya
b) Beri informasi pada orang tua tentang perawatan anak dengan
syndrom down
4) Motivasi orang tua agar :
a) Memberi kesempatan anak untuk bermain dengan teman sebaya agar
anak mudah bersosialisasi
b) Memberi keleluasaan / kebebasan pada anak unutk berekspresi
5) Berikan motivasi pada orang tua agar memberi lingkunga yang memadai
pada anak:

10

a) Dorong partisipasi orang tua dalam memberi latihan motorik kasar dan
halus serta pentunjuk agar anak mampu berbahasa
b) Beri motivasi pada orang tua dalam memberi latihan pada anak dalam
aktivitas sehari-hari.
2.2 DIAGNOSIS PRENATAL
Diagnostik Prenatal (DP) adalah upaya untuk mendeteksi atau
mendiagnosis kelainan janin secara lebih jauh dan mendalam di saat ibu masih
mengandung. Umumnya, DP disarankan bagi ibu dengan janin yang dicurigai
mengalami suatu gangguan. Diagnosis prenatal dapat mendiagnosa lebih dini
kelainan bawaan dan kelainan genetik di dalam rahim. Resiko memiliki anak
dengan beberapa kelainan bawaan, yang bersifat variasi anatara 3-5% jika dilihat
secara genetik dan atau lingkungan. Prosedur diagnosis prenatal harus betulbetul diterapkan kepada keluarga yang memiliki resiko kelainan bawaan dan
atau genetic.
Pemeriksaan Diagnostik Prenatal (DP) disarankan juga kepada ibu hamil
dengan risiko tinggi, seperti :
1. Kehamilan dengan umur lebih dari 35 tahun.
2. Pernah melahirkan bayi dengan kelainan bawaan.
3. Keluarga memiliki latar belakang cacat bawaan.
4. Kehamilan pada ibu yang memilki penyakit menahun, seperti diabetes.
5. Memiliki riwayat terpapar agen teratogen berupa obat-obatan, bahan kimia,
dan sinar rontgen.
Pendiagnosaan

awal

pada rahim

dapat

membuktikan

pentingnya manajemen kehamilan, pemeriksaan medis sebelum melahirkan


dan pascakelahiran, dan pengobatannya. Hal ini juga penting untuk membuat
keputusan

untuk melanjutkan

atau

menghentikan kehamilan. Konseling

genetik merupakan bagian dari prosedur modern prenatal diagnostik yang


merupakan dasar pencegahan kelainan bawaan dan kelainan genetik. Proses
11

konseling dan diagnosis prenatal bertujuan untuk memberikan informasi yang


bertujuan untuk membantu orang tua dalam:
1. Mengetahui dan memahami indikasi prenatal diagnosis.
2. Memahami

aspek-aspek

medis

untuk

menentukkan

diagnose kelainan genetika atau kelainan bawaan (berdasarkan karakteristik


kelainan ciri-ciri kekacauan, riwayat keluarga)
3. Membuat informed choices yang memadai dan diterima sesuai skema
diagnostic (dengan menggambarkan

metode dan prosedur diagnostik,

keuntungan, keterbatasan dan risiko)


Keputusan mengenai prenatal diagnosis harus dibuat semata-mata oleh
wanita atau

pasangan

yang

bersangkutan

(prinsip dari

informasi

persetujuan). Konselor genetik hanya berfungsi sebagai badan penasehat


(non-directional

konseling)

pasien

dan

memungkinkan

dia

untuk

mempertimbangkan dan menilai keuntungan dan kerugian diagnosis prenatal.


Walaupun, diagnosis ganetik dan klinik telah diterima (interpretasi dari hasil
tes diagnostic) dan konsekuensi terhadap pendiagnosaan sindrom dan kelainan
pada janin(keputusan meneruskan atau menghentikan kehamilan)poin penting
dalam konseling proses.

2.2.1 SEJARAH
Sindroma Down (SD) mengambil nama Langdon Down yang pada
tahun 1866 mencatat adanya wajah khas pada sekelompok pasien berupa
adanya perubahan elastisitas kulit sehingga tampak kebesaran untuk ukuran
badannya, muka yang datar dengan hidung yang kecil. Baru pada tahun 1911
saat dilakukan pengamatan tumbuh kembang anak ditemukan adanya cacat
perkembangan intelektual pada anak anak dengan fenotipe serupa. Ciri ciri
anak dengan SD pada umumnya pendek, dengan profil muka yang datar,
kelainan bentuk telinga, kepala yang bulat dan kecil dengan dahi yang tinggi
12

rata dan dengan lidah serta bibir yang kering. Gambaran yang khas adalah
ditemukannya lipatan kulit, lipatan epicanthus pada sudut mata bagian dalam
dan kelainan pada telapak tangan dan jari kaki
Baru pada tahun 1959 diketemukan adanya kelainan trisomi pada
kromosom 21 meskipun sebagian kecil (4-6%) berupa translokasi termasuk
kromosom 21. SD dikenal sebagai kelainan genetik yang paling sering terjadi
dan paling mengkhawatirkan bagi wanita hamil. Kenyataannya adalah bahwa
SD mewakili seperempat dari kelainan kromosom dan kelainan kromosom
merupakan 15% dari seluruh kelainan bawaan. Insidennya adalah 1 dari 700
kehamilan. IQ-nya sangat rendah, antara 20-80 dan sering dalam
perkembangannya disertai kelainan lain berupa anomali jantung, atresia
saluran cerna dan meningkatnya morbiditas untuk mendapatkan leukemia,
disfungsi tiroid, tuna pendengaran dan rentan terhadap infeksi. Angka
kemungkinan hidup dalam 10 tahun pada SD adalah 80% dan sebagian besar
karena ada penyerta penyakit jantung.
Sebelum tahun 1960 belum ada pemeriksaan prenatal untuk
mendeteksi kelainan genetik prenatal. Bila pasangan suami istri mengetahui
adanya

risiko

mendapatkan

SD

dari

riwayat

keluarga

dapat

mempertimbangkan aborsi atau menghadapi risikonya. Sudah diketahui sejak


tahun 1933 bahwa ada hubungan SD dengan umur ibu. Sekarang ini karena
kemajuan

ekonomi

dan

peningkatan

pendidikan

wanita

maka

ada

kecenderungan bahwa wanita menikah dan hamil pada umur yang lebih tua.
Di negara yang ada liberalisasi abortus maka pemeriksaan SD menjadi
standar.
2.2.2 Teknik Diagnosis Prenatal
Metode diagnosis pralahir dapat dibagi menjadi non-invasif dan teknik
invasif.
a. Pengujian prenatal non-invasif (NIPT)

13

Selama kehamilan, beberapa informasi genetik bayi (DNA) melintasi


ke dalam aliran darah ibu. Pengujian prenatal non-invasif (NIPT) analisis
DNA ini untuk memeriksa apakah bayi memiliki kesempatan lebih tinggi
mengalami gangguan kromosom tertentu. Sampel darah diambil dari ibu
(bukan dari bayi) biasanya setelah minggu kesepuluh kehamilan. Karena
NIPT hanya melibatkan pengambilan darah dari ibu, kehamilan tidak berisiko
keguguran atau komplikasi lain. Hasil tes tersedia dalam satu atau dua
minggu. NIPT adalah tes skrining yang berarti bahwa amniosentesis atau CVS
dapat ditawarkan untuk mengkonfirmasi hasil.
NIPT adalah jenis skrining yang termasuk baru untuk menganalisis
DNA bebas sel di dalam darah ibu untuk mendeteksi apakah janin memiliki
kelainan kromosom. Pada tahun 1997, para peneliti pertama kali melaporkan
temuan sejumlah kecil dari DNA bebas sel janin yang berada di peredaran
darah ibu pada usia awal usia kehamilan empat minggu 1. Perkembangan
yang cepat dari teknologi sequencing berikutnya (next generation sequencing
technology) mampu untuk mendeteksi adanya aneuploidy pada janin secara
non-invasif serta keakuratan yang tinggi dengan cara menganalisis DNA
bebas sel dalam darah ibu.
Meskipun kemungkinan memiliki bayi dengan Sindroma Down (atau
kelainan kromosom lainnya) semakin meningkat seiring bertambahnya usia,
memiliki janin dengan kelainan kromosom juga dapat terjadi pada ibu dengan
berbagai usia. Angka kejadian kelainan kromosom, tidak termasuk kelainan
aneuploidi kromosom seks, dapat terjadi pada 1 dari 160 kelahiran.
Pemeriksaan darah yang sederhana ini dapat membantu mengurangi
kecemasan calon ibu, calon ayah dan seluruh keluarga. Sampai saat ini,
pemeriksaan ini telah secara signifikan mengurangi jumlah pemeriksaan
diagnostik invasif, seperti Amniosentesis dan Chorionic Villus Sampling,
yang beresiko menyebabkan keguguran sekitar 1 dari 100 kehamilan.

14

Studi baru tersebut melibatkan sekitar seribu wanita Inggris. Mereka


menjalani tes DNA sel bebas pada 10 minggu kehamilan. Mereka juga
menjalani USG dan analisis hormon pada umur kehamilan 12 minggu yang
merupakan metode standar untuk mendeteksi kelainan janin. Para peneliti
membandingkan tes baru tersebut dengan metode standar dengan melihat
seberapa baik masing-masing metode mendeteksi kasus aneuploidi pada janin.
Kondisi aneuploidi, termasuk juga down sindrom adalah kelainan jumlah
kromosom pada sel tubuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tes dengan
metode baru yaitu tes DNA bebas sel maupun metode standar dapat
mendeteksi semua kasus down sindrom, sindrom Edwards (trisomi 18) dan
sindrom Patau (trisomi 13). Namun tes DNA sel bebas ini memiliki tingkat
kepalsuan yang lebih rendah dibandingkan dengan metode skrining standar.

15

b. Prosedur invasif
Prosedur invasif melibatkan pemeriksaan langsung sel atau jaringan janin.
Klasikal Cytogenetic, molekul dan metode biokimia (dilakukan pada sel yang
dikulturkan dan tidak) adalah yang paling dan sering digunakan dalam invasif
prenatal diagnosis. Ketika mempertimbangkan metode invasif semua indikasi
dan kriteria perlu dievaluasi dengan hati-hati risiko pada kehamilannya.
Teknik invasif meliputi:
1. Amniosentesis (analisa cairan ketuban sel)
2. Chorionic villus sampling (analisis sel trofoblas)
3. Cordocentesis (Sampling darah perkutan umbilical)
1. Amniocentesis
Amniocentesis adalah tes untuk mengetahui kelainan genetik pada
bayi dengan memeriksa cairan ketuban atau cairan amnion. Di dalam
cairan amnion terdapat sel fetal (kebanyakan kulit janin) yang dapat
dilakukan

analisis

kromosom,

analisis

biokimia

dan

biologi.

16

Ultrasonografi digunakan untuk memastikan posisi kandungan, plasenta,


dan janin serta jumlah cairan amnion yang mencukupi.
a)

Manfaat pemeriksaan amniocentesis antara lain :


1) Mengetahui kelainan bawaan (Syndrome down,dll)
2) Mengetahui jenis kelamin bayi.
3) Mengetahui tingkat kematangan paru janin.
4) Mengetahui ada tidaknya infeksi cairan amnion.

b) Tahapan Pemeriksaan Amniocintesis


1) Ibu berbaring telentang
2) Perut ibu dibersihkan
3) Dokter menggunakan ultrasonografi untuk melihat bayi, dan untuk
mencari area yang aman dalam air ketuban.
4) Kemudian jarum dimasukkan ke dalam uterus untuk mengambil
cairan amnion.
5) Dokter mengambil sejumlah kecil cairan kemudian mengeluarkan
jarum. Jarum berada di dalam selama kurang dari 1 menit
6) Sebuah layar diletakkan di sebelah perut ibu selama 15-30 menit
untuk memantau detak jantung bayi .
7) Hasil pemeriksaan bisa didapatkan dalam waktu sekitar 2 minggu
c) Syarat Dilakukan Amniocintesis
1.
Usia kehamilan > 35 tahun.
2.
Riwayat sebelumnya Trisomy.
3.
Orang tua kelainan kromosom.
4.
Dijumpai kelainan pada pemeriksaan USG
Dari hasil pemeriksaan amniosintesis dapat diketahui
1. Kelainan kromosom : Down syndrome, Turner syndrome, Edward's syndrome
dll
2. Kelainan genetik lain : Cystic fibrosis AR, Sickle cell disease AD, Tay-Sachs
disease AR, Thalasemia AD
d) Risiko Amniocentesis
Keguguran/abortus : Diperkirakan sebesar 1%; pengulangan
amniosentesis akan meningkatkan risiko ini (5--10%), seperti

17

halnya bila amniosen-tesis dikerjakan oleh orang yang tidak

trampil.
Risiko ibu : Pada umumnya minimal; bila dikerjakan dengan

prinsip aseptik, risiko infeksi akan terhindarkan.


Amniosentesis dilakukan antara minggu 15 dan 20 kehamilan;
melakukan tes ini sebelumnya dapat menyebabkan cedera janin
"amniosentesis dini" istilah kadang-kadang digunakan untuk

menggambarkan penggunaan proses antara minggu 11 dan 13.


Komplikasi amniosentesis termasuk persalinan prematur dan
kelahiran, gangguan pernapasan, deformitas postural, trauma
janin dan alloimmunisation dari ibu (rhesus penyakit). Studi dari
tahun 1970 awalnya diperkirakan risiko amniosentesis terkait

keguguran sekitar 1 dari 200 (0,5%).


Studi terbaru kurun waktu 2000-2006 diperkirakan hilangnya
kehamilan prosedur terkait di 0,6-0,86%. [8] Sebuah studi yang
lebih baru (2006) telah mengindikasikan hal ini sebenarnya bisa
jauh lebih rendah, mungkin serendah 1 dalam 1.600 (0,06%).
Berbeda dengan studi sebelumnya, jumlah dalam penelitian ini
hanya mencerminkan kerugian yang dihasilkan dari komplikasi
amniocentesis dan tidak termasuk kasus-kasus ketika orang tua
memutuskan untuk aborsi setelah hasil tes Berbeda dengan
amniosentesis, risiko keguguran dari chorionic villus sampling
(CVS) diyakini sekitar 1 dari 100, meskipun CVS bisa dilakukan
hingga empat minggu sebelumnya, dan mungkin lebih baik jika

kemungkinan cacat genetik dianggap lebih tinggi.


Penelitian terbaru telah menemukan bahwa cairan ketuban dapat
menjadi

sumber

yang

kaya

multipoten

mesenchymal,

hematopoietik, sel induk saraf, epitel, dan endote.


Sebuah potensi manfaat menggunakan sel induk ketuban lebih
yang diperoleh dari embrio adalah bahwa mereka sisi-langkah
18

kekhawatiran etis di kalangan aktivis pro-kehidupan dengan


mendapatkan

garis

pluripotent

sel

terdiferensiasi

tanpa

membahayakan janin atau perusakan embrio. Sel-sel induk juga


akan, jika digunakan untuk mengobati individu yang sama
mereka berasal, melangkahi masalah donor / penerima yang
sejauh ini telah terhalang semua upaya untuk menggunakan

donor stem sel dalam terapi.


Katup jantung buatan, trakea bekerja, serta otot, lemak, tulang,
jantung, saraf dan sel-sel hati semuanya telah direkayasa melalui
penggunaan sel induk ketuban. Jaringan yang diperoleh dari jalur
sel amnion menunjukkan menjanjikan untuk pasien yang
menderita penyakit bawaan / cacat dari jantung, hati, paru-paru,

ginjal, dan jaringan otak.


Kebocoran atau infeksi terhadap air ketuban
Jarum menyentuh bayi

e) Waktu dan tatalaksana:


Amniocentesis dini
1. Pemeriksaan dilakukan antara usia gestasi 11 sampai 14 minggu.
2. Cairan yang diambil lebih sedikit 1 mL per setiap minggu gestasi.
3. Risiko keguguran dan komplikasi lebih tinggi.
Amniocentesis trimester kedua
1. Untuk diagnostik genetik biasanya dilakukan pada usia gestasi 1520 minggu.
2. Tindakan dipandu dengan bantuan USG realtime
3. Jarum spinal no. 20 sampai 22 dimasukkan ke dalam kantong
amnion, sambil menghindari plasenta, tali pusat dan janin.
4. Cairan yang diambil sebanyak 20 mL
5. Jarum dikeluarkan dan diamati apakah ada perdarahan pada bekas
tusukan jarum
19

6. Risiko yg dapat terjadi : Trauma janin/maternal, Infeksi ,


Abortus/persalinan premature.
2. Chorionic Villus Sampling (CVS)
CVS biasanya dilakuan pada usia kehamilan 10-13 minggu. Villi
plasenta dapat diperoleh melalui akses transervikal, transabdominal atau
transvaginal ke plasenta. Pada kehamilan lanjut, ketika kelainan janin
disertai dengan oligohidramnion berat, pengambilan transabdominal lebih
disukai. Penyulit CVS sama dengan amniocentesis.
Risiko kehamilan adalah sekitar 2% (paling sering: keguguran,
-

infeksi, perdarahan, cacat ekstremitas).


Manfaat dari CVS adalah untuk mendeteksi atau mendiagnosis
secara dini dan memperkuat hasil invasif metode lain.
Masalah berikut dapat muncul dalam CVS:
Plasenta mosaicism (terbatas pada jaringan trofoblas bukan

pada jaringan janin).


Kontaminasi oleh jaringan ibu.
Membawa 1-2% resiko keguguran

Keuntungan:
Hasilnya tersedia pada usia gestasi lebih dini, sehingga mengurangi
kecemasan orang tua kalau hasilnya normal dan memungkinkan
metode terminasi kehamilan yang lebih dini dan lebih aman kalau
hasilnya abnormal

a) Indikasi CVS

Indikasi biopsi vili korionik = amniosentesis. Kecuali beberapa analisis


yang memerlukan cairan amnion dan bukannya sel atau jaringan.

Usia ibu 35 thn.

Riwayat melahirkan anak dengan kelainan kromosom.

Orang tua merupakan carrier kelainan kromosom, penyakit autosomal


resesif.

Ibu merupakan carrier penyakit yg berkaitan dgn sex ( sex linked).


20

Tes skrining positif thd kelainan kromosom

b) Kontra indikasi relatif


o Perdarahan pervaginam atau spotting.
o Uterus anteversi atau retroversi ekstrem dan habitus tubuh pasien yang
menghambat kemudahan akses ke uterus.
o Infeksi aktif/ PMS (Penyakit Menular Seksual)
c) Prosedur Pchorionic Villus Sampling (CVS)
Mengambil jaringan janin dari trofoblas untuk pemeriksaan diagnostik
pada trimester I. Dilakukan pada kehamilan 10-13 minggu. Berikut ini dua
cara yang digunakan :
1) Transcervikal
Menggunakan polietilen kateter melalui serviks dengan tuntunan USG,
menuju plasenta yang paling tebal. Jaringan trofoblas diaspirasi melalui
kateter ke dalam syringe. Ini merupakan metode yang paling umum.
2) Transabdominal
Jarum dimasukkan di sepanjang axis plasenta dengan tuntunan USG.
Aspirasi jaringan trofoblas. Prosedur ini mirip amniosintesis.
Prosedur CVS mengambil sampel yang lebih besar dan
memberikan hasil yang lebih cepat dari amniosentesis. Hasil dapat
diterima antara satu sampai tujuh hari.
2.3 Skrinning Bakteriuria Asimtomatik
2.3.1

Definisi
Bakteriuria asymptomatik adalah kondisi di mana jumlah bakteri lebih

besar daripada biasanya pada air kencing tetapi gejala tidak ada. Orang yang
mempunyai kondisi dengan infeksi saluran kencing benar-benar berisiko.
Seperti kehamilan, pencangkokan ginjal, menggunakan obat yang menekan
sistem kekebalan tubuh, atau mempunyai kondisi yang menekan sistem
kekebalan tubuh (misalnya, AIDS, kanker tertentu, atau mempunyai jumlah
sel darah putih yang rendah). Misalnya, infeksi kandung kemih dengan serius
21

bisa menyulitkan kehamilan dengan meningkatnya infeksi ginjal dan


menyebabkan pyelonephritis, menyebabkan keguguran. Juga, infeksi saluran
kencing secara permanen bisa merusak satu atau kedua ginjal setelah
pencangkokan ginjal. Infeksi saluran kencing bisa menyebabkan infeksi
peredaran darah yang fatal pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya
tertekan oleh obat atau penyakit. Kadang-kadang, sistem kekebalan tubuh
menjadi tertekan setelah kemoterapi kanker. Asymptomatic bacteriuria juga
kadang-kadang diobati pada orang yang mempunyai batu ginjal jenis tertentu
yang tidak bisa dihapuskan dan menyebabkan terulangnya infeksi saluran
kencing.
2.3.2

Penyebab
Bakteriuria Asimptotik terjadi pada sebagian kecil orang yang sehat.

Tetapi lebih sering terjadi pada wanita, dan belum ditemukan kenapa tidak ada
gejala pada penyakit ini.
2.3.3

Gejala
Tidak ada gejala yang timbul dihubungkan dengan infeksi ini, yang

dialami 11% dalam kehamilan. Ada peningkatan penderita bakteriuria tanpa


gejala pada wanita yang pernah menderita infeksi saluran kemih, diabetes dan
wanita dengan gejala sel sabit. Bakteriuria asimptomatik diasosiasikan dengan
phielonefritis, melahirkan dini dan BBLR.
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan kejadian bakteriuria ini
dengan peningkatan kejadian anemia dalam kehamilan, persalinan prematur,
gangguan pertumbuhan janin dan pre eklampsia. Oleh karena itu pada wanita
hamil dengan bakteriuria harus diobati dengan seksama sampai air kemih
bebas dari bakteri yang dibuktikan dengan pemeriksaan beberapa kali.
2.3.4

Diagnosa

Dengan sampel urin, dapat dideteksi adanya perkembangan bakteri yang


signifikan.
PERUBAHAN PADA SALURAN KEMIH SELAMA KEHAMILAN
22

Pada kehamilan normal terjadi perubahan-perubahan bermakna baik


pada struktur maupun fungsi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih adalah
salah satu perubahan anatomis paling signifikan yang timbulkan oleh
kehamilan. Perubahan tersebut menyebabkan dilatasi kaliks dan pelvis ginjal,
juga ureter (Faundes dkk., 1998) menggunkan ultrasonografi untuk mengukur
kaliks ginjal selama kehamilan dan mendapatkan dilatasi pada sekitar separuh
kasus, sisi kanan lebih sering dan lebih besar perubahannya. Sebagian wanita
memperhatikan dilatasi sebelum uterus mencapai tepi panggul pada usia
gestasi sekitar 14 minggu. Hal ini mengisyaratkan adanya pengaruh hormon
yang melemaskan lapisan-lapisan otot saluran kemih. Terjadi dilatasi lanjut
pada kehamilan 21 minggu akibat penekanan mekanis pada ureter, terutama di
sisi kanan. Sebagian besar kecuali 6 persen wanita dengan dilatasi saluran
kemih yang dipicu oleh kehamilan memperlihatkan pemulihan dalam 2 sampai
4 hari setelah pelahiran. Yang menarik, saluran kemih janin juga mengalami
dilatasi seperti pada ibunya (Graif dkk., 1992).
Konsekuensi penting dari dilatasi dan obstruksi adalah kemungkinan
timbulnya infeksi saluran kemih bagian atas. Faktor predisposisi lain untuk
infeksi adalah meningkatnya refluks vesikoureter. Perubahan-perubah normal
yang berkaitan dengan kehamilan ini juga dapat menyebabkan kesalahan
interpretasi pada berbagai pemeriksaan yang dilakukan untuk mengevaluasi
obstruksi yang dicurigai patologis.
Tanda-tanda peningkatan fungsi ginjal segera muncul setelah konsepsi.
Hal ini tampaknya terjadi karena vasodilatasi intrarenal yang diinduksi oleh
kehamilan. Aliran plasma ginjal dan filtrasi glomerulus efektif masing-masing
meningkat rata-rata 40 dan 65 persen. Perubahan-perubahan ini memiliki
relevansi klinis saat kita menginterpretasi hasil-hasil pemeriksaan ginjal,
sebagai contoh: konsentrasi kreatin dan urea serum sangat menurun. Perubahan
lain antara lain adalah perubahan yang berkaitan dengan pemeliharaan

23

homeostasis asam basa normal, osmoregulasi, serta retensi cairan dan


elektrolit.
PENILAIAN PENYAKIT GINJAL SELAMA KEHAMILAN
Selama kehamilan, interpretasi urinalisis pada dasarnya tidak berubah,
kecuali kadang-kadang dijumpai glukosuria. Walaupun normalnya meningkat,
ekskresi protein jarang mencapai kadar yang dapat dideteksi dengan metodemetode penapisan biasa (Higby dkk., 1994) melporkan ekskresi protein 24 jam
sebesar 115 mg dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95 persen pada
260 mg/hari. Tidak terdapat perbedaan bermakna bedasarkan trimester. Mereka
juga memperlihatkan bahwa ekskresi albumin minimal dan berkisar dari 5
sampai 30 mg/hari. Sebagian besar peneliti sependapat bahwa pada bahwa,
proteinuria harus di atas 300 sampai 500 mg/hari untuk dapat dianggap
abnormal. Apabila tidak dilakukan upaya-upaya untuk mencegah pencemaran,
biasanya terdapat campuran sekret vagina di dalam spesimen yang
dikumpulkan dari urin porsi tengah.
Apabila kreatin serum terus menerus di atas 0,9 mg/dl (75 mol/1), perlu
dicurigai penyakit ginjal intrinsik. Spesimen urin yang diambil secara cermat
dan dengan rentang waktu tertentu dapat digunakan untuk memperkirakan laju
filtrasi glomerulus bedasarkan klirens kreatin. Ultrasonografi menghasilkan
citra ukuran ginjal dan konsistensi relatifnya, serta elemen-elemen obstruksi.
Pielografi intravena sekuensial lengkap tidak dilakukan secara rutin, tetapi
situasi klinis tertentu mungkin mengindikasikan penyuntikan media kontras
dengan satu atau dua foto polos abdomen. Sistoskopi dilakukan sesuai indikasi
klinis yang biasa untuk tindakan ini. Walaupun (Packham dan Fairley., 1987)
melaporkan bahwa biopsi ginjal aman dan bermanfaat untuk mengarahkan
terapi pada 111 wanita hamil dengan penyakit ginjal, kami sependapat dengan
yang lain bahwa prosedur ini biasanya dapat ditunda sampai kehamilan selesai

24

(Lindheimer dkk., 2000). Apabila terapi dapat diubah sesuai hasil biopsi,
tindakan tersebut dapat dipertimbangkan.
Proteinuria ortostatik, kadang-kadang dijumpai protein dalam jumlah
abnormal di urin yang terbentuk saat wanita hamil aktif bergerak, tetapi tidak
apabila berbaring. Jelas tidak dijumpai tanda lain adanya penyakit ginjal.
Proteinuria postural atau ortostatik ini dapat dijumpai pada hampir 5 persen
orang dewasa normal. Wanita hamil dengan proteinuria ortostatik harus
menjalani pemeriksaan untuk mencari bakteriuria, sedimen urin abnormal,
penurunan laju filtrasi glomerulus, dan hipertensi. Tanpa adanya kelainankelainan ini, terutama apabila ekskresi proteinnya tidak konstan, proteinuria
ortostatik mungkin tidak bermakna.
Kehamilan setelah nefrektomi unilateral, karena kapasitas ekskresi dua
ginjal jauh di atas kebutuhan biasa, dan karena ginjal yang masih ada biasanya
mengalami hipertrofi yang disertai peningkatan kapasitas ekskresi, wanita
dengan satu ginjal normal biasanya tidak mengalami kesulitan dalam
kehamilan. Memang, kehamilan pada para wanita ini disertai dengan
peningkatan bermakna hemodinamika ginjal (Baylis dan Davison, 1991).
Sebelum menasehati seorang wanita dengan satu ginjal mengenai risiko
kehamilan, perlu dilakukan evaluasi fungsional yang menyeluruh terhadap
ginjal yang masih ada.
BAKTERIURIA DALAM KEHAMILAN
Infeksi dapat terjadi karena penyebaran kuman melalui pembuluh darah
atau saluran limfe, akan tetapi yang terbanyak atau tersering adalah kumankuman naik keatas melalui uretra, kedalam kandung kemih dan saluran kemih
yang lebih atas. Kuman yang tersering dan terbanyak sebagai penyebab adalah
E.coli, disamping kuman-kuman lain kemungkinan kuman-kuman lain seperti
Enterobacter aerogenes, klebsiera, pseudomonas, dll. Bakteriuria dibagi
menjadi dua jenis:
25

1. Bakteriuria asimptomatik (tanpa gejala)


Yaitu keadan dimana bakteri berkembang biak dalam saluran kencing,
namun tanpa gejala-gejala infeksi. Jumlah bakteri kurang dari 100.000 per
cc. Frekuensi bakteri tanpa gejala kira-kira 2-10%, dan dipengaruhi oleh
paritas, sosioekonomi wanita hamil tersebut.
Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan kejadian bakteriuria
ini dengan peningkatan kejadian anemia dalam kehamilan, persalinan
prematur, gangguan pertumbuhan janin dan preeklamsi. Oleh karena itu,
pada wanita hamil dengan bekteriuria harus diobati dengan saksama
sampai air kemih bebas dari bakteri yang dibuktikan dengan pemeriksaan
beberapa kali.
2. Bakteriuria simptomatik (dengan gejala)
Yaitu bakteri berkembang biak aktif dalam saluran kencing yang
disertai gejala-gejala infeksi: demam, sakit dan nyeri kencing. Jumlah
bakteri di atas 100.000 per cc.
2.3.5

PENGOBATAN

1. Para ahli menganjurkan untuk memberikan terapi antibiotika. Beberapa


kajian

terapi

antibiotika

untuk

bakteriuria

asimptomatik.

Nama obat Dosis Angka keberhasilan

Amoksilain + asam klavulanat 3500 mg/hari 92%

Amoksilin 4250 mg/hari 80%

Nitrofurantoin 450-100 mg/hari 72%

2. Terapi Antibiotika untuk pengobatan bakteriuria asimptomatik, biasanya


diberikan untuk jangka 5-7 hari secara oral. Sebagai kontrol hasil
pengobatan, dapat dilakukan pemeriksaan ulangan biakan bakteriologik
air kemih.

26

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Diagnostik Prenatal (DP) adalah upaya untuk mendeteksi atau mendiagnosis
kelainan janin secara lebih jauh dan mendalam di saat ibu masih mengandung.
Teknik diagnosis prenatal ada 2 yaitu metode non invasif (NIPT) dan metode
invasif seperti amniosintesis dan Chorionic Villus Sampling (CVS). NIPT dapat
mendeteksi trisomi 21 (sindrom Down), trisomi 18 (Edwards syndrome) dan
trisomi 13 (sindrom Patau). Metode tes yang digunakan adalah mencari jejak DNA
janin dalam darah ibu. NIPT aman dengan risiko yang rendah karena metode yang
digunakan tidak melukai ibu maupun janin, juga dapat digunakan untuk
mendeteksi kelainan kromosom lebih dini. Negara yang sudah menerapkan tes ini
antara lain US dan australia. Skrinning pemeriksaan bakteriuria asimptomatik
terhadap kehamilan preterm sudah diterapkan di Indonesia dan Bangladesh. Hal
ini dikarenakan prosedur yang digunakan lebih sederhana serta biaya yang
dikeluarkan untuk melakukan pemeriksaan tersebut juga tergolong terjangkau.
3.2 Saran
Kami selaku penyusun merasa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat
dijadikan bahan bacaan yang bermanfaat dan dapat digunakan dengan sebaikbaiknya.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Hartanto, Hanafi. 2010. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta :
2.
3.
4.
5.

Pustaka Sinar Harapan


http://wiyati.wordpress.com/2008/06/25/managemen-laktasi/
Kuliah Bidan. 2009. Manajemen Laktasi. Jakarta : Depkes RI
Rasman. 2009. Manajemen Laktasi yang Baik. Jakarta : Salemba
Mayo Clinic Complete Book of Pregnancy & Babys First Year. Johnson,
Robert V., M.D., et al, Ch. 11. Williams Obstetrics Twenty-Second Ed.
Cunningham, F. Gary, et al, Ch. 13.

6. http://www.g-excess.com/2012/05/12/infeksi-traktus-urinarius-bakteriuriaasimptomatik.html
7. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000520.htm
8. http://panduanlengkapuntukibuhamil.blogspot.co.id/2014/04/pemeriksaandiagnostik-prenatal-dp-pada.html

Soal latihan

28

1. Penyebab dari syndrome down adalah


b. Genetic, radiasi, umur ibu
c. Radasi, infeksi, anemia
d. Anemia, infeksi, umur ibu
e. Eklampsi, radiasi, infeksi
Bentuk kepala yang relatif kecil dengan bagian belakang yang tampak

mendatar (peyang)
Hidung kecil dan datar (pesek), hal ini mengakibatkan mereka sulit bernapas
Mulut yang kecil dengan lidah yang tebal dan pangkal mulut yang cenderung

dangkal yang mengakibatkan lidah sering menjulur keluar


Bentuk mata yang miring dan tidak punya lipatan di kelopak matanya
2. Diatas merupakan ciri-ciri dari..
a. Syndrome patau
b. Syndrome erdeward
c. Syndrom down
d. Aneuploidy
3. Dampak dari anak yang syndrom down adalah
a. Gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
b. Gangguan pencernaan dan pernapasan
c. Gangguan jantung dan pernapasan
d. Gangguan tiroid dan gangguan nafsu makan
4. Di atas merupakan syarat dari pemeriksaan
a. USG 4 dimensi
b. NIPT
c. CVS
d. Amniocintesis
5. Risiko dari pemeriksaan dari amniocintesis adalah
a. Anemia
b. Eklampsia
c. Abortus
d. CPD
6. Kelainan apa yang dapat diketahui dari pemeriksaan amniocintesis
a. Kelainan kromosom dan kelainan genetic
b. Kelainan organ dan kelainan jantung
c. Kelainan kromosom dan paru-paru
d. Kelainan kaki dan tangan
7. Pada kehamilan keberapa dilakukan tes diagnostik pada CVS ?
a. 10 minggu
b. 5 minggu
c. 25 minggu
d. 12 minggu
29

8. Yang merupakan salah satu dari gejala pemeriksaan CVS adalah, kecuali
a. Demam
b. Panas dinginS
c. Bocornya cairan ketuban
d. A dan B benar
e. Semua salah
9. Dalam

hubungannya

dengan

kehamilan,

bakteriuria

asimptomatik

menyebabkan . . .dalam medis.


a. Mikrosefalus
b. Kehamilan preterm
c. Kehamilan posterm
d. Pembesaran kelenjar tyroid
e. IUFD
10. Salah satu bentuk pencegahan bakteriuria asymptomatik melalui terapi obat
dapat dilakukan dengan cara . . .
a. Amoksilin 4200 mg/hari
b. Amoksilin 4250 mg/hari
c. Amoksilin 3250 mg/hari
d. Amoksilin 3200 mg/hari
e. Amoksilin 1300 mg/hari

30

Lampiran
Jurnal 1
Non Invasive Prenatal Test For Detect Fetal Aneuploidy (NIPT)
ABSTRACT
Importance

Understanding the relationship between aneuploidy detection on

noninvasive prenatal testing (NIPT) and occult maternal malignancies may explain
results that are discordant with the fetal karyotype and improve maternal clinical care.
Objective

To evaluate massively parallel sequencing data for patterns of copy-

number variations that might prospectively identify occult maternal malignancies.


Design, Setting, and Participants

Case series identified from 125426 samples

submitted between February 15, 2012, and September 30, 2014, from asymptomatic
pregnant women who underwent plasma cell-free DNA sequencing for clinical
prenatal aneuploidy screening. Analyses were conducted in a clinical laboratory that
performs DNA sequencing. Among the clinical samples, abnormal results were
detected in 3757 (3%); these were reported to the ordering physician with
recommendations for further evaluation.
INTRODUCTION
Exposures NIPT for fetal aneuploidy screening (chromosomes 13, 18, 21, X, and Y).
METHODS
Main Outcomes and Measures Detailed genome-wide bioinformatics analysis was
performed on available sequencing data from 8 of 10 women with known cancers.
Genome-wide copy-number changes in the original NIPT samples and in subsequent
serial samples from individual patients when available are reported. Copy-number

31

changes detected in NIPT sequencing data in the known cancer cases were compared
with the types of aneuploidies detected in the overall cohort.
RESULTS
Results From a cohort of 125426 NIPT results, 3757 (3%) were positive for 1 or
more aneuploidies involving chromosomes 13, 18, 21, X, or Y. From this set of 3757
samples, 10 cases of maternal cancer were identified. Detailed clinical and
sequencing data were obtained in 8. Maternal cancers most frequently occurred with
the rare NIPT finding of more than 1 aneuploidy detected (7 known cancers among
39 cases of multiple aneuploidies by NIPT, 18% [95% CI, 7.5%-33.5%]). All 8 cases
that underwent further bioinformatics analysis showed unique patterns of nonspecific
copy-number gains and losses across multiple chromosomes. In 1 case, blood was
sampled after completion of treatment for colorectal cancer and the abnormal pattern
was no longer evident.
Conclusions
Conclusions and Relevance In this preliminary study, a small number of cases of
occult malignancy were subsequently diagnosed among pregnant women whose
noninvasive prenatal testing results showed discordance with the fetal karyotype. The
clinical importance of these findings will require further research.
Noninvasive prenatal testing (NIPT) using massively parallel sequencing of cell-free
DNA (cfDNA) in maternal plasma has recently changed the clinical paradigm of
prenatal screening for the common fetal autosomal aneuploidies (abnormal numbers
of whole chromosomes).1,2 Using this technology, the sensitivities for the detection
of fetal trisomies 21 and 18 are, on average, 99% and 96%, respectively, with
specificities of 99% to 100%.3 Many professional societies have recommended that
NIPT can be offered to pregnant women at high risk for having a fetus with
autosomal aneuploidy, with follow-up diagnostic testing recommended to confirm a
positive test result.1,4- 6. Although NIPT performs well, it is an advanced screen, not
a diagnostic test. The reason for this distinction is that the cfDNA in the plasma of
32

pregnant women is a mixture of placental (used as a proxy for the fetus) and maternal
DNA. Follow-up studies have shown that some cfDNA results are discordant with the
direct fetal karyotype.7,8 Potential biological explanations for discordance include
confined

placental

mosaicism,9

co-twin

demise,10

maternal

chromosomal

mosaicism11 and DNA copy-number variants,12 maternal organ transplant from a


male donor,11 and maternal malignancy.13,14
The diagnosis of cancer during pregnancy is relatively uncommon, with an incidence
of about 1 in 1000 gestations.15 The most common malignancies observed in
pregnant women are breast and cervical cancers, Hodgkin and non-Hodgkin
lymphomas, malignant melanoma, leukemia, ovarian cancer, and colorectal cancer.15
The purpose of this study was to retrospectively examine DNA sequencing data in a
series of pregnant women with abnormal NIPT results involving aneuploidies of
chromosomes 13, 18, 21, X, or Y, who were diagnosed with cancer after prenatal
testing occurred. In addition, to better understand the frequency with which maternal
cancer might provide an explanation for abnormal NIPT results that are discordant
with the fetal karyotype, all abnormal test results in the clinical laboratory and
available clinical outcomes were reviewed.
METHODS
The current case series was identified from a population of 125426 pregnant women
undergoing plasma cfDNA sequencing in the Illumina clinical laboratory (Redwood
City, California) between February 15, 2012, and September 30, 2014. Patients were
included if their clinician voluntarily informed the laboratory at any time prior to
November 15, 2014, that maternal cancer had been diagnosed after NIPT. As part of a
standard laboratory follow-up process, the laboratory contacts the referring clinicians
to discuss all positive NIPT results and to recommend a diagnostic procedure to
obtain a confirmatory fetal karyotype. When NIPT results and the karyotype are
discordant, the medical director (S.B.) and the certified genetic counselors who work
with her review possible explanations for the discordant results with the referring
clinician. Maternal cancer had not been reported as a reason for NIPT discordance
33

until publication of a single case report in 2013,13 so maternal cancer was only
included in the differential diagnosis after that time.
Evolving knowledge and experience have resulted in changes in the bioinformatics
analytic algorithms used in the clinical laboratory during the time frame of this study.
The ability to analyze and visualize whole-genome sequencing results was not
technically possible until October 2013. After October 2013, if referring clinicians
requested the expanded bioinformatics results, these were communicated directly to
the physician. In all cases, the patients clinician was responsible for determining the
follow-up clinical management.
For each patient reported in detail in this article, in addition to the consent obtained
for the original, clinically indicated noninvasive prenatal test, a separate individual
written consent for medical records review, further genomic analysis, and possible
publication of findings was obtained after the abnormal NIPT results were reported to
the patients physician. The Tufts Medical Center institutional review board waived
review of this study. Information regarding the patients pregnancy, cancer diagnosis,
and medical history was obtained from her clinicians and medical records, by direct
discussion with the first author (D.W.B.), or both. In some of the cases, additional
blood samples (including postpartum) were obtained and analyzed. For these
samples, the clinical laboratory team performing the sequencing was blinded to the
fact that these women were no longer pregnant.
Using whole blood samples, the verifi Prenatal Test (Illumina) screens for the
presence of whole chromosome aneuploidy for chromosomes 13, 18, and 21. Testing
for sex chromosome aneuploidy by analyzing sequencing counts for chromosomes X
and Y is optional.11 The method uses massively parallel sequencing of cfDNA
isolated from maternal plasma.16- 20 To identify on which chromosome the
sequenced DNA fragment mapped, a software program known as bowtie21 was used
to align the short (25 base-pair) sequence reads to the 19th reference version of the
human genome sequence map (hg19). The data were filtered to remove nonunique
alignments and genomic regions associated with high variation. They were then
34

normalized based on the percentage of guanine (G) cytosine (C) representation in the
sequence of each chromosome and corrected to remove other assay and samplespecific biases.
Overrepresentation or underrepresentation of the target chromosomes (13, 18, 21, X,
and Y) was evaluated by constructing a ratio between the normalized coverage on
each chromosome of interest and the sum of normalized coverage on a respective set
of reference chromosomes.16 Typically, there were between 2 and 6 reference
chromosomes per target chromosome (eg, 13, 18, 21, X, and Y). Specific reference
chromosomes have changed with evolution of the clinical bioinformatics algorithms.
Upper and lower normal limits were then applied to the test results to generate an
aneuploidy classification status for chromosomes 13, 18, and 21 (aneuploidy
detected, aneuploidy suspected, or no aneuploidy detected)17,19 and for sex
chromosomes (sex chromosome aneuploidy detected or no sex chromosome
aneuploidy detected).11 If no sex chromosome aneuploidy was detected, a sex
chromosome result of XX or XY was provided.11
All whole blood samples received within 5 days of sampling with a complete test
requisition form authorized by an ordering physician were entered into the laboratory
management system. Maternal age, gestational age, and indication for testing (if
included) on the test requisition form were recorded. All test results with an
aneuploidy detected or suspected were telephoned to the ordering physician by a
certified genetic counselor employed by the clinical laboratory. If a diagnostic
procedure for fetal karyotyping was performed, clinicians were requested on 2
separate occasions to inform the laboratory whether the NIPT results were concordant
or discordant with the fetal karyotype. Whenever the laboratory was notified of
discordant results, pertinent history was obtained from the patients physicians and
genetic counselors, and possible biological mechanisms for abnormal results were
discussed as stated earlier in the Methods. An internal quality assurance process was
also followed to evaluate any potential technical explanations for the discordant
result.
35

When detailed bioinformatics analysis of the previously sequenced DNA sample was
performed, mapped sections of the human genome were analyzed using circular
binary segmentation,22 in order to identify copy-number variants (CNVs). Copynumber variants are genomic regions associated with significant deviation from the
expected 2 copies across a contiguous span of the human genome. For a diploid
genome, normalized coverage is expected to be 1.0. If there is a gain of a single copy,
the expected result is 1.5 (a 50% gain in amplitude). Similarly, for the loss of a single
copy, the expected result is 0.5 (a 50% loss in amplitude). Using this scale, a maternal
plasma sample from a woman carrying a fetus with trisomy 21 that contains 10%
circulating fetal DNA will have a 5% gain in coverage across the length of
chromosome 21 (0.10.50=0.05). In this study, identified CNVs were counted as
gains or losses if they exceeded either 10 megabase pairs (Mb) in length and 2.5% in
deviation from the expected diploid coverage, or 40 Mb in length and 1% in deviation
from the expected diploid coverage. These parameters were only used for visual
interpretation of the data and were not intended to identify cancer signatures.
To evaluate the frequency of reported maternal malignancies in relation to the overall
frequency of aneuploidy positive results, all clinical laboratory reports, as well as all
tests that were cancelled due to abnormal underlying chromosomal patterns generated
within the study time frame, were reviewed and the findings were grouped into 1 of 5
categories: single trisomy, single monosomy, single sex chromosome aneuploidy,
single sex chromosome aneuploidy plus single trisomy, or multiple aneuploidies.
Statistical analysis of the reported proportions was performed using Clopper-Pearson
exact binomial 2-sided confidence intervals at the 95% level (using R version 3.1.2).
RESULTS
Review of Clinical Cases
From a cohort of 125426 NIPT tests, 3757 (3.0%) were positive for 1 or more
aneuploidies involving chromosome 13, 18, 21, X, or Y. In 10 of these aneuploidydetected cases, the referring clinician voluntarily reported to the clinical laboratory
within weeks to months after the initial discussion regarding the clinical significance
36

of the positive NIPT results that the patient had been diagnosed with a malignancy.
The 10 cancer cases were clinically diverse and included 3 cases of B-cell lymphoma
and

case

each

of

T-cell

leukemia;

Hodgkin

lymphoma;

unspecified

adenocarcinoma; leiomyosarcoma; and neuroendocrine, colorectal, and anal


carcinomas. In 2 cases (leiomyosarcoma and unspecified adenocarcinoma), the
referring physicians reported that the women were critically ill, and they declined to
approach them for consent to participate in this study.
Table 1 shows demographic factors, NIPT results, fetal status, and cancer stage for
the remaining 8 cases, in which permission was granted for further analysis. At the
time of initial NIPT, the mean maternal age was 35 years (range, 23-39 years), and
the mean gestational age was 13.9 weeks (range, 10-20 weeks). Cancer was
subsequently diagnosed (during pregnancy or postpartum) in these women at a mean
of 16 weeks (range, 3-39 weeks) after the initial NIPT. The clinical presentations
ranged from early-stage to metastatic disease. In 3 patients (cases 4, 5, and 8), the
discordant NIPT results prompted a further medical workup that led to the diagnosis
of cancer. The 3 patients with B-cell lymphoma (cases 2, 6, and 7) presented with a
palpable mass. In 2 cases of maternal malignancy (cases 1 and 3), the patients
presented with advanced symptoms: pain due to bone metastases and colon
obstruction, respectively.
Table 1.

Clinical Details on the 8 Cases of Maternal Cancer That Underwent

Genome-wide Analysis
In 7 of the 8 cases, diagnostic fetal karyotyping was performed and showed a euploid
result (46,XY or 46,XX). Of 3 preterm deliveries, 1 was at 29 weeks due to maternal
preeclampsia, 1 at 35 weeks due to spontaneous labor, and 1 at 32 weeks to facilitate
maternal treatment (cases 5, 7, and 8, respectively, Table 1).
Bioinformatics Analysis
Detailed genome-wide analysis of the original sequencing data obtained from cfDNA
of the 8 study participants revealed CNVs that affected multiple chromosomes and
spanned between 4% and 44% (median, 29%) of the genome (Figure 1). Cases with
37

trisomies detected by NIPT could be explained by whole or large partial copy-number


gains on the test chromosomes or losses on any of the reference chromosomes.
Conversely, cases with monosomies detected could be explained by either losses on
the target chromosomes or gains on the reference chromosomes. For 2 cases (3 and
5), in which replicate testing of the same initial blood sample was performed, the
CNV detection results were highly consistent, resulting in identical NIPT calls and
91% to 99% identical gain or loss profiles across the entire genome (Figure 1, lines
3B and 3B and 5A and 5A).
Figure 1.
Whole-Genome View of Copy-Number Changes in 8 Cases of Maternal Cancer
Whole-genome view of copy-number gains and losses in plasma samples from
women with known cancer. Smoothed normalized coverage (in black) is plotted along
the genomic coordinates (x-axis), sorted by chromosome number and genomic
location within the chromosomes. The data for all samples are shown as normalized
coverage on the same scale, on the left side of the y-axis (0.9-1.1). The scale chosen
for this figure is less than 0.5-1.5 because of fractional representation of the tumor
DNA in the mixed sample. For some samples, the amplitude of the copy-number
variants exceeded the scale; the maximum deviation from expected diploid
representation is shown as a percentage on the right side of the y-axis. Copy-number
gains or losses relative to the diploid reference genome are shown as blue or red,
respectively. If a trisomy was reported, the relevant chromosome is shown by a light
blue bar. If a monosomy was reported, the relevant chromosome is shown by a light
red bar. Cases 3 and 5 include replicates of the same blood sample, identified by an
apostrophe (). Cases 1, 3, and 4 had longitudinal samples obtained (see text for
details).
Additional whole blood samples were collected from 3 of the participants at time
points subsequent to the initial NIPT: for case 1, 6 weeks after initial NIPT (but still
pregnant); for case 3, 5 months after delivery, immediately prior to surgical resection
of the colorectal tumor, and 14 months after delivery following completion of
38

radiation and chemotherapy; and for case 4, 8 months after delivery. Detected CNVs
were highly consistent prior to treatment in samples obtained up to 11 months apart.
Areas of CNV detection overlapped by 76%, 79%, and 93%, respectively, for cases 1,
3, and 4; the differences were mostly due to increased amplitude of signal with time
and additional detectable gains/losses in later samples (Figure 1).
Blood samples were obtained at 3 different clinically significant time points for case
3. The sequencing data for chromosome 13 (a test chromosome) and 8 (a reference
chromosome for chromosome 18) are shown in Figure 2. An increase in normalized
coverage for chromosome 13 is evident in the pretreatment samples, consistent with
the original NIPT result of trisomy 13 detected. Confined placental mosaicism was
ruled out using microarrays in another laboratory. The magnitude of the CNV in the
maternal blood above baseline increased over time (from 1%-3% deviation from the
expected diploid genome) in the postpartum presurgical resection sample (Figure 1
and Figure 2). Similarly, chromosome 8 (a reference chromosome for chromosome
18) displayed partial amplifications and losses in the original NIPT sample. In the
second sample, the chromosome 8 signal gained sufficient amplitude to affect the
calculations for chromosome 18, causing a monosomy 18detected test result. The
patients third sample, obtained after completion of all treatment, showed no
abnormal deviations from baseline.
Figure 2.
Longitudinal Evolution of Chromosomal Profiles for Maternal Cancer Case 3
Individual chromosome views of data shown in Figure 1. Chromosomal coverage
profiles in samples from case 3 taken at different intervals of time. The gray dots
show the normalized coverage, and the solid colored lines show smoothed profiles
(obtained from the median values across 31 genomic 100-kilobase bins). The upper
panel is from the sample taken during pregnancy at 13 weeks of gestation. The
middle panel is after delivery, immediately before surgical resection of an obstructing
colorectal tumor. The lower panel is after delivery, following completion of
chemotherapy and radiation. The x-axis shows the physical location of the increased
39

counts as mapped against an ideogram for chromosomes 13 or 8 (SNPchip package,


R version 3.1.2; resolution=1 megabase pair). Chromosome 8 is included because it
served as one of the reference chromosomes and contributed to the monosomy 18
classification in the postdelivery sample (see Table 1). The y-axis shows the
percentage of signal above or below baseline corresponding to a diploid genome (y=
1.0). As an example, in the middle-right panel (chromosome 8 after delivery), the data
at the highest peak (indicated by the arrow) show that there is approximately 12%
excess representation of this part of the genome compared with the reference. NIPT
indicates noninvasive prenatal testing.
Aneuploidy Patterns in Maternal Cancer
Follow-up of the 3757 abnormal NIPT results was incomplete. Seven of the 10 cases
of maternal cancer reported to the clinical laboratory had multiple aneuploidies (Table
2). Of the 39 cases of multiple aneuploidy, 7 cases (18% [95% CI, 7.5%-33.5%])
were in women with an occult cancer. Of the 39 cases of multiple aneuploidies
detected, 4 were concordant or partially concordant, meaning that at least 1 of the
aneuploidies detected by NIPT was confirmed by fetal diagnostic testing. Sixteen of
the remaining 35 NIPT results were confirmed to be discordant with results from
follow-up invasive diagnostic testing. In the other 19 cases, the outcome was
unknown because of fetal loss without karyotype information or a lack of clinical
information from the referring physician.
Table 2. Association of Maternal Cancers With Different Types of Aneuploidies
Detected at Noninvasive Prenatal Testing
Although the patient follow-up was incomplete, we estimate that the risk of maternal
cancer in the small subset of pregnant women with abnormal discordant NIPT results
due to multiple aneuploidies detected and a normal fetal karyotype is as follows. If all
19 cases of multiple aneuploidies in which follow-up information was unavailable
were concordant with the fetal karyotype, the risk of maternal cancer as an
explanation for the discordant results would be 7 of 16 cases (44%). If, however, all

40

of the 19 cases were discordant with the fetal karyotype (eg, the fetal karyotype is
normal), then the risk would be 7 of 35 cases (20%).
DISCUSSION
In this case series of 125426 NIPT results, 3757 were positive for 1 or more
aneuploidies involving chromosomes 13, 18, 21, X, or Y. Some of the abnormal NIPT
results were discordant with the diagnostic fetal karyotypes obtained by
amniocentesis or chorionic villus sampling. Here we have shown that occult maternal
malignancies may provide a biological explanation for some discordant NIPT results.
This is presumably due to the cfDNA that is released into maternal circulation from
apoptotic malignant cells. The types of cancers diagnosed were among those most
frequently reported in women of childbearing age,15 although there were more
hematologic malignancies than would be expected and no cases of malignant
melanoma or cervical cancer. The expected cancer rate in pregnant women is about
0.1%.15 This series of cancer cases, reported voluntarily, represents 0.008%
(10/125426) of the laboratory case volume, a cancer frequency that is 10-fold lower
than what might be expected. However, this patient series is inherently incomplete;
maternal cancers diagnosed after delivery might not routinely be reported to the NIPT
laboratory. Even cancers diagnosed during pregnancy would not necessarily trigger
notification of the laboratory, especially if no aneuploidies had been detected by
NIPT. The lower rate may also reflect that the chromosomal aneuploidies and the
amount of apoptotic tumor cfDNA released into the maternal circulation could be
below the detection limit at the time NIPT is performed. A recent study using
sequencing to analyze plasma cfDNA in patients with known cancers23 found
evidence of abnormal cfDNA patterns in more than 80% of metastatic solid tumor
cases and 50% of localized cancers. The rates of detection varied widely by tumor
type.
Genome-wide bioinformatics analysis for the 8 reported cases revealed extensive
copy-number changes involving several chromosomes and ranged from numerous
focal amplifications or deletions to multiple whole chromosomes. These types of
41

changes are more likely to be visible using a whole genome rather than a targeted
sequencing approach. In addition, the visualized changes were reproducible in
replicates obtained from the same blood sample, and the overall pattern of
chromosomal changes was stable in samples taken many months apart.
Autosomal monosomies, and especially multiple-aneuploidy test results, are rarely
identified in NIPT samples. For this reason, NIPT results demonstrating a single
autosomal monosomy or multiple aneuploidies may warrant a more detailed analysis
of the whole genome using an advanced bioinformatics review process to determine
if a pattern suggestive of malignancy is present.
To date, there have been 3 individual reports of pregnant women with abnormal NIPT
results and chromosomally normal fetuses in which the discordant results were
explained by the presence of maternal malignancies (metastatic small cell
neuroendocrine carcinoma of vaginal origin,13 lymphomas,14,24 and ovarian
carcinoma24) in which tumor DNA was presumably shed into the maternal
circulation and detected at the time of noninvasive prenatal testing. The data
presented here underscore the necessity of performing a diagnostic procedure to
determine the true fetal karyotype whenever NIPT results reveal chromosomal
abnormalities. Many genetic counselors and obstetricians are concerned that an NIPT
result of multiple aneuploidies or autosomal monosomy may be suggestive of
maternal cancer. When there is discordance between the fetal karyotype and NIPT
result, occult maternal malignancy, although very uncommon, may be an explanation
for the findings. Based on the results of the study, we estimate there is between a 20%
and 44% risk of maternal cancer if multiple aneuploidies are detected. However, until
further studies are done to assess the clinical implications of discordant NIPT and
fetal karyotype results, it is not clear what, if any, follow-up clinical evaluation is
appropriate.24
All 8 women in this case series were asymptomatic at the time of their NIPT test. In 3
cases, the NIPT results prompted the diagnosis of malignancy. Whether earlier
detection of disease would have made a difference in the course of their illnesses
42

cannot be determined. Cases 1 and 3 presented with advanced symptoms, and their
clinicians stated that for them, earlier diagnosis would have had a positive effect on
their care.
Limitations of this study include its small size and retrospective design, incomplete
clinical follow-up information, potential for bias of ascertainment in the way that the
cancer diagnoses were reported back to the clinical laboratory, and the evolving
nature of the technical parameters, especially in the bioinformatics analyses over 2.5
years.
CONCLUSIONS
In this preliminary study, a small number of occult malignancies were subsequently
diagnosed among pregnant women whose noninvasive prenatal testing results showed
discordance with the fetal karyotype. The clinical importance of these findings will
require further research to determine appropriate follow-up for the mother and her
infant.
ARTICLE INFORMATION
Corresponding Author: Diana W. Bianchi, MD, Mother Infant Research Institute,
Tufts Medical Center, 800 Washington St, Box 394, Boston, MA 02111
(dbianchi@tuftsmedicalcenter.org).
Published Online: July 13, 2015. doi:10.1001/jama.2015.7120.
Author Contributions: Dr Bianchi had full access to all of the data in the study and
takes responsibility for the integrity of the data and the accuracy of the data analysis.
Study concept and design: Bianchi, Chudova, Sehnert, Murray, Halks-Miller.
Acquisition, analysis, or interpretation of data: All authors.
Drafting of the manuscript: Bianchi, Chudova, Sehnert, Murray, Goldberg, HalksMiller.
Critical revision of the manuscript for important intellectual content: All authors.
Statistical analysis: Chudova, Sehnert, Bhatt.
Administrative, technical, or material support: Bianchi, Murray, Prosen, Garber,
Wilkins-Haug, Vora, Warsof, Goldberg, Ziainia, Halks-Miller.
43

Study supervision: Bianchi, Chudova, Sehnert, Bhatt, Halks-Miller.


Conflict of Interest Disclosures: All authors have completed and submitted the
ICMJE Form for Disclosure of Potential Conflicts of Interest. Dr Bianchi reported
being a member of the Reproductive and Genetic Health Expert Advisory Panel of
Illumina, for which she receives an honorarium, and having received sponsored
research funding from Illumina that is administered through Tufts Medical Center.
Drs Chudova, Sehnert, Bhatt, and Halks-Miller reported being full-time employees of
Illumina. Ms Murray reported having served on the speakers bureau for Myriad
Genetics. Dr Prosen reported being a member of the Illumina speakers bureau. Dr
Garber reported having received sponsored research funding from Myriad Genetics
and Novartis and serving as a consultant for Pfizer and Sequenom. Dr Wilkins-Haug
reported having received sponsored research support from Ariosa and Sequenom. No
other disclosures were reported.
Funding/Support: Funding for the study was provided by Illumina. Sponsored
research funding from Illumina that is administered through Tufts Medical Center
paid for the time that Dr Bianchi spent working with the full-time Illumina employees
to design the study, analyze the data, and prepare the manuscript.
Role of the Funder/Sponsor: Illumina reviewed and approved submission of the
manuscript for publication (as per their internal policies), but they did not make any
changes to the manuscript. Illumina had no role in the design and conduct of the
study; collection, management, analysis, and interpretation of the data; or preparation
of the manuscript.
Additional Contributions: We thank the case patients whose data are reported herein
for giving permission to publish their information. They were gracious and generous
with their time and follow-up information with the hope of helping others. We also
thank Shannon X. Jeddi, CGC, for her help in obtaining medical record information.
She received no financial compensation. We also thank Richard Rava, PhD, for his
scientific advice; he was not compensated for his contribution besides salary.

44

REFERENCES
1) American College of Obstetricians and Gynecologists Committee on
Genetics, Society for Maternal-Fetal Medicine. Committee opinion No. 640:
cell-free DNA screening for fetal aneuploidy [published online June 26,
2015]. Obstet Gynecol. doi:10.1097/AOG.0000000000001007.
PubMed
2) Warsof

SL, Larion

S, Abuhamad

AZ.

Overview of the impact of

noninvasive prenatal testing on diagnostic procedures [published online May


21, 2015]. Prenat Diagn. doi:10.1002/pd.4601.
PubMed
3) Gil MM, Quezada MS, Revello R, Akolekar R, Nicolaides KH. Analysis
of cell-free DNA in maternal blood in screening for fetal aneuploidies:
updated meta-analysis. Ultrasound Obstet Gynecol. 2015;45(3):249-266.
PubMed | Link to Article
4) Benn P, Borrell A, Cuckle H, et al. Prenatal detection of Down syndrome
using massively parallel sequencing (MPS): a rapid response statement from a
committee on behalf of the Board of the International Society for Prenatal
Diagnosis, 24 October 2011. Prenat Diagn. 2012;32(1):1-2.
PubMed | Link to Article
5) Devers PL, Cronister A, Ormond KE, Facio F, Brasington CK, Flodman P.
Noninvasive prenatal testing/noninvasive prenatal diagnosis: the position of
the National Society of Genetic Counselors. J Genet Couns. 2013;22(3):291295.
PubMed | Link to Article
6) Gregg AR, Gross SJ, Best RG, et al. ACMG statement on noninvasive
prenatal screening for fetal aneuploidy. Genet Med. 2013;15(5):395-398.
PubMed | Link to Article

45

7) Wang JC, Sahoo T, Schonberg S, et al. Discordant noninvasive prenatal


testing and cytogenetic results: a study of 109 consecutive cases. Genet Med.
2015;17(3):234-236.
PubMed | Link to Article
8) Bianchi DW, Wilkins-Haug L. Integration of noninvasive DNA testing for
aneuploidy into prenatal care: what has happened since the rubber met the
road? Clin Chem. 2014;60(1):78-87.
PubMed | Link to Article
9) Lau TK, Jiang FM, Stevenson RJ, et al. Secondary findings from noninvasive prenatal testing for common fetal aneuploidies by whole genome
sequencing as a clinical service. Prenat Diagn. 2013;33(6):602-608.
PubMed | Link to Article
10) Curnow KJ, Wilkins-Haug L, Ryan A, et al. Detection of triploid, molar,
and vanishing twin pregnancies by a single-nucleotide polymorphism-based
noninvasive prenatal test. Am J Obstet Gynecol. 2015;212(1):79.e1-79.e9.
PubMed | Link to Article
Jurnal 2
BAKTERIURIA

ASIMPTOMATIK

PADA

WANITA

HAMIL:

TEST

SKRINING YANG VALID DAN HEMAT BIAYA DI BANGLADESH

Di Bangladesh, sejumlah test skrining untuk bakteriuria asimptomatik pada


kehamilan dilakukan dalam praktik. Tujuan penelitian ini untuk menilai validitas dan
kehematan biaya dari tes skrining ini. Total sebanyak 600 ibu hamil yang tampak
sehat dimasukan ke dalam penelitian ini. Validitas test skrining ini dinilai dengan
kultur urine sabagai gold standar. Rasio kehematan biaya yang dikeluarkan antara
metode skrining test dengan metode paling rendah biaya (analisis mikroskopis urine)
dihitung. Hitung bakteri/lapangan pandang minyak
46

immersi pada pulasan perwarnaan Gram urine paling sensitif (91,7%) dan spesifik
(97,2%).
Biaya tambahan untuk setiap tambahan kasus positif hitung bakteri, esterase leukosit,
dan kombinasi esterase leukosit dan nitrit adalah US$ 3, US$ 25, US$ 23, secara
berurutan. Pewaranaan Gram mungkin manjadi pendekatan alternatif untuk
analisis

urine

rutin tradisional untuk skrining bakteriuria selama kehamilan pada

praktik klinik di Bangladesh, sebagaimana di negara yang sedang berkembang.

Pendahuluan
Bakteriuria

asimptomatik

pada

kehamilan

harus

selalu

diskrining

dan

diobati sebagaimana diperlukan. Ada berbagai metode cepat untuk skrining


bakteriuria asimptomatik. Pemeriksaan mikroskopik urine untuk pyuria biasanya
dilakukan sebagai skrining UTI simptomatik dan asimptomatik di Bangladesh.
Tetapi, pada kasus bakteriuria asimptomatik pada kehamilan, hasil pemeriksaan
mikroskopik meragukan. Perbedaan level leukosit/HPF telah diidentifikasi cocok
untuk populasi yang berbeda pada penelitian yang berbeda.
Pendekatan lain untuk skrining bakteriuria asimptomatik, yang umumnya digunakan
di banyak negara di dunia adalah test dipstick. Ada test esterase leukosit (LE), tes
nitrite (N), dan kombinasi keduanya (salat satu atau keduanya positif) test LE dan N.
Test disptik LE, yang mana
degradasi sel

mendeteksi

esterase yang dikeluarkan

dari

darah putih, yang merupakan test tidak langsung untuk bakteriuria.

Test ini sensitif (74-96%) tetapi sangat tidak spesifik (59-98%). Test dipstik untuk N
merupakan test untuk organisme yang mereduktase nitrat seperti bacilluria coliform
tetapi tidak untuk organisme yang tidak mereduktase nitrat seperti Enterococci,
beberapa Staphylococci, dan beberapa Pseudomonas aeruginosa. Test ini memiliki
variabel sensitivitas (35-85%) tetapi memiliki spesfikasi yang baik di atas 90 %. Test
LE dan N digunakan secara kombinasi (salah satu atau keduanya positif) memiliki
sensitivitas dan spesikasi sekitar 80%. Namun, beberapa penelitian menyatakan
47

bahwa test ini tidak cukup sensitif (sekitar 50%) untuk skrining rutin terhadap
bakteriuria asimptomatik antenatal, namun mereka menyarankan penggunaan disptik
urine (kombinasi LE dan N) untuk skrining bakteriuria asimptomatik pada wanita
hamil karena biayanya yang murah.
Sekarang ini, perwarnaan Gram dari urine segar yang tidak di-centrifuged untuk
pemeriksaan bakteriuria diidentifikasi sebagai metode yang cepat dan dapat dipercaya
dengan sensitivitas (80-93%) dan spesifisitas (83-98%) yang tinggi. Walaupun
pewarnaan Gram merupakan pendekatan yang menjanjikan, hampir semua penelitian
terbatas karena tingginya biaya dan ketidakmampuan mendapatkan teknologi tinggi
dan kemampuan personel. Pada konteks ini, penelitian ini bermaksud untuk menilai
validitas dan kehematan biaya terhadap test skrining cepat yang berbeda untuk
bakteriuria asimptomatik di antara ibu hamil yang melakukan pemeriksaan antenatal
rutin mereka di Rumah Sakit Rajshahi Medical College, Bangladesh
Bahan dan Metode
Penelitian deskriftif

dengan pendektan

cross-seccional ini

dilaksanakan

di

klinik antenatal Rumah Sakit Rajshahi Medical College (RMCH), Bangladesh,


dengan maksud mengevaluasi

validitas

dan

kehematan

biaya

test

skrining

cepat dalam memperkirakan bakteriuria asimptomatik pada kehamilan. Hasil kultur


> 105cfu/ml dari species tunggal pada urine pancaran tengah (midstream) tanpa
ada beberapa gejala infeksi saluran kemih didefinisikan sebagai asimptomatik
bakteriuria. Total sebanyak 600 ibu hamil yang tampak sehat (bebas dari gejala
bakteriuria) yang melakukan perawatan antenatal rutin mereka diikutsertakan
dalam penelitian ini. Ibu hamil yang mendapat antibiotik dalam 48 jam
dikeluarkan dari penelitian. Sebelum mengikutsertakan ibu, penelitian ini secara
singkat menjelaskan kepada mereka dan informed konsen tertulis dibuat.
Pengumpulan Sampel Urin

48

Setelah

pemeriksaan

antenatal

selesai,

setiap

ibu

yang

dipilih

diminta

untuk mengumpulkan urine mereka (sekitar 5 ml) dengan teknik mengambil urine
pancaran tengah, disediakan tabung test dengan mulut yang lebar dengan tindakan
aseptik sebelumnya. Sampel urine yang telah terkumpul dikirim ke bagian
mikrobiologi RMCH sesegera mungkin, tidak lebih dari 45 menit, untuk dianalisis.
Teknik Laboratorium
Specimen

urine

dianalisis

dengan

kultur

kuantitatif,

diikuti

dengan

pengitungan leukosit secara mikroskopik, test dipstik, dan pewarnaan Gram. Sampel
urine diputar pada x 3,000 g selama 30 menit untuk hitung leukosit/high power field
(HPF) di bawah mikroskop. Untuk test dipstik urine, stik test Combina 11-A (Human
GMBH Company, Germany) digunakan

dan

diinterpretasikan

berdasarkan

instruksi pabrik dan grafik standar warna. Perubahan warna pada area stik yang
specifik untuk menilai aktivitas esterase leukosit diinterpretasikan sebagai +ve, +
+ve, dan +++ve, dan adanya nitrit diinterpretasikan sebagai positif. Tidak adak
perubahan warna pada area stik yang spesifik untuk test berturut-turut
diinterpretasikan sebagai negatif. Perubahan warna dipstik dinilai 2 menit setelah
kontak dengan urine. Untuk pewarnaan Gram, 0,01 ml urine yang tidak diputar
digunakan untuk membuat pulasan.

Kaca kemudian diwarnai

dan dinilai

bakteri; bakteri dihitung setiap lapangan pandang minyak immersi (OIF) di bawah
mikroskop. Untuk kultur urine, urine dibiakan pada media agar MacConkeys dan
media makanan agar dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 24 jam. Pada sampel
tersebut yang menunjukkan pertumbuhan signifikan bakteri (jumlah koloni > 105/ml
urine), test identifikasi (metode test biokimia) dilakukan. Hasil test diinterpretasikan
tanpa mengatahui hasil test lain.
Analisa Biaya
Biaya per individu terhadap semua test skrining cepat (hitung leukosit per HPF,

49

dipstik, dan pewarnaan Gram) untuk bakteriuria asimptomatik dievaluasi pada


penelitian ini. Biaya dihitung berdasarkan biaya laboratorium yang sebenarnya
meliputi bahan kimia, bahan (stik dipstik, violet Jensen, minyak immersi, dan kaca
objek) dan biaya sumber daya manusia yang melaksankan test. Biaya sumber daya
manusia dihitung per biaya jam kerja. Kehematan biaya masing-masing test skrining
ditentukan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan pasien dari ibu-ibu yang
bakteriuria asimptomatik. Biaya yang dikeluarkan pada penelitian lain, menyatakan
bahwa pewarnaan Gram merupakan test yang dapat diandalkan dan terbaik untuk
skrining bakteriuria asimptomatik. Ini mempunyai sensitivitas80-95.2 dan spesifisitas
82-98.6%. Penlitian ini juga menyediakan bukti yang sama dengan
kedua-duanya
tentang
biayanya.

nilai

sensitivitas

level kewenangan
Bachman

et

dan

(arbitrary)

spesifisitas
jumlah

>80%.

Ada

perdebatan

bakteri/OIF

dan

keefektifan

al, menyarankan >2 jumlah bakteri/OIF dari urine yang

tidak diputar sebagai tingkat cut-off untuk mendeteksi bakteriuria asimptomatik di


antara populasi obstetri di USA, sedangkan Lavany et al dari India menyarankan
paling sedikit satu jumlah bakteri/OIF. Penelitian sekarang ini menyepakati dengan
Lavani et al.
Pewarnaan Gram merupakan metode skrining cepat paling hemat biaya
yang dinyatakan pada penelitian sekarang ini. Hitung leukosit secara perbandingan
lebih sedikit biaya dibandingkan dengan pewarnaan Gram (US$0.20 vs US$0.25)
tetapi hitung leukosit mejadi test skrining yang buruk. Sedangkan kombinasi, test
dipstik lebih mahal tujuh kali lipat dalam mengidentifikasi satu tambahan ibu
dengan

bakteriuria

asimptomatik dibandingkan

dengan

pewarnaan

Gram

(US$23 vs US$3) dalam perbandingan dengan


Metode Paling Murah, Hitung Leukosit.
Walaupun pewarnaan Gram merupakan pendekatan yang menjanjikan, Bachman et al
menolak ini metode skrining pada penelitian komunitas karena berkaitan dengan
50

tingginya biaya. Namun demikian, penelitian kita telah menyatakan bahwa di rumah
sakit tingkat tersier di Bangladesh, hal ini sangat hemat biaya. Hal ini berkitan dengan
biaya sumber daya manusia yang lebih murah di negara sedang berkembang seperti
Bangladesh. Rata-rata pendapatan per bulan saat ini dokter pemerintah di Bangladesh
(tingkat 7) sekitar BDT 25,000 (US$360), i.e BDT 174/jam (US$2.5/jam), termasuk
semua pendapatan, tetapi di USA minimal 30 kali lebih besar, contoh
US$16,250/bulan, i.e US$112/jam. Ada perbedaan esar biaya pelayanan kesehatan
antara negara maju dan negara sedang berkembang. Sebagai contoh, persatuan rumah
sakit India mensyaratkan standar internasional, dengan biaya sekitar seperdelapan
sampai seperlima dari USA atau UK. Pendekatan skrining dengan pewarnaan Gram
seharusnya juga sangat hemat biaya untuk negara sedang berkembang lain, seperti
India, Paskistan dan Nepal, karena berkaitan dengan biaya sunber daya manusia yang
lebih murah.
Penelitian kami memiliki sejumlah keterbatasan metodologi yang harus mejadi bahan
pertimbangan. Pertama, lactobacilli, flora normal vagina tidak bisa dibedakan dari
bakteri patogen di mikroskop pada pewarnaan Gram, yang mana mungkin
menurunkan spesifisitas test
terkontaminasi.

Kedua,

untuk

skrining
nitrit

perwarnaan

Gram

jika

urine

test, menghindari dahulu specimen urine

pagi sangat cocok. Test nitrite merupakan penilaian secara tidak langsung bakteri
yang meredusi nitrit, seperti Enterobacteriaceae, hampir tidak beragi dan coccus gram
negatif, persediaan urine yang mengandung makanan yang cukup nitrat dan menahan
berkemih lebih dari 4 jam, tetapi hal tersebut tidak mungkin untuk populasi penelitian
dan kesulitan yang sama juga dialami oleh pekerja sebelumnya. Akhirnya, penelitian
ini hanya berdasarkan 24 hasil kultur positif, yang mana jumlah yang sedikit untuk
kesimpulan yang spesifik.
Hasil penelitian ini mempunyai implikasi yang jelas bagaimanapun pada praktik

51

klinik. Penemuan penelitian menyatakan bahwa urinalisis untuk hitung leukosit


memiliki nilai yang kecil dalam mendeteksi bakteriuria asimptomatik selama
kehamilan

saat pemeriksaan

antenatal.

Pewarnaan

Gram

merupakan

pendekatan skrining cepat yang menjanjikan pada kedua-duanya kefektifan dan


biaya. Dengan demikian, pewarnaan gram mungkin menjadi pendekatan alternatif
terhadap urinalisis

rutin

yang

tradisional

untuk skrining bakteriuria

asimptomatik selama kehamilan di Bangladesh, sebagaimana di Negara sedang


berkembang lainnya.

52

Anda mungkin juga menyukai