ESP UTS Puji Prio Utomo
ESP UTS Puji Prio Utomo
PROGRAM PASCASARJANA
MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2015
Maraknya kabut asap yang terjadi di tahun 2015 ini menjadi topik sangat menarik
untuk dibahas, dimana peran pemerintah sangat diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan ini, berdasarkan naskah yang ditulis oleh Yunanto Wiji Utomo, dapat
dilihat bahwa permasalahan kebakaran hutan dari tahun ketahun jumlah titik kebakaran
meningkat sangat signifikan,
Tabel 1
terkena imbas dari kebakaran hutan tersebut, dengan demikian maka daerah yang
terkena dampak akan mengalami devisit pendapatan hal itu dikarenakan aktivitas pasar
yang lumpuh oleh asap, mengingat asap kebakaran hutan berakibat pada pencemaran
udara dan lain-lain yang dapat menibulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia,
antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lainlain. Sehingga sangat beresiko untuk melakukan aktivitas diluar ruangan.
1. Ekologis dan Kerusakan Lingkungan.
Kebakaran hutan yang terjadi saat ini dapat menimbulkan dampak langsung
terhadap ekologi dan lingkungan diantaranya adalah:
1. Hilangnya sejumlah spesies;
2. Erosi; (hujan dan angin).
3. Penurunan debit air;
4. Pemanasan global;
2. Kerugian
Setiap tahunnya, pemerintah disibukkan dengan PR untuk menanggulangi
kebakaran hutan, berbagai upaya dilakukan dengan menggelontorkan dana miliaran
rupiah, meski demikian persoalan kebakaran hutan tidak kunjung terselesaikan bahkan
tiap tahunnya semakin bertambah Dilihat dari naskah yang ditulis oleh Yunanto Wiji
Utomo, kerugian akibat kebakaran hutan tersebut diperkirakan mencapai Rp 2,6 triliun
ini hanya di daerah jambi dan belum termasuk daerah lain, kerugian itu mencakup
antara lain:
1. Dampak ekologis
2. Ekonomi
3. Kerusakan tidak ternilai dan
4. Biaya pemulihan lingkungan
Dan dikatakan bahwa nilai kerugian itu belum termasuk kerugian sektor ekonomi,
pariwisata, dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan.
Kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana asap di Riau mengundang
pemikiran beberapa pakar lingkungan dan kehutanan dari beberapa lembaga penelitian.
Intinya, penanganannya harus komprehensif dan mendalam, dan tak menyederhanakan
masalah. Persoalan kebakaran lahan yang menimbulkan kabut asap di Riau dan
beberapa daerah lainnya, adalah persoalan kompleks yang harus ditangani secara
multidimensional.
3.
para pengusaha konsesi hutan dengan cara menerapkan variasi harga borongan
pembukaan lahan yang ditawarkan kepada masyarakat.
d) Tidak adanya penegakan hukum yang tegas.
3. Kebakaran Hutan Yang Terus Berulang
Kebakaran hutan yang selalu berulang setiap tahunnya dikarenakan adanya
pembukaan lahan perkebunan baru oleh masyarakat atau perusahaan yang dilakukan
dengan cara pembakaran lahan, hal itu dikarenakan disamping menghemat biaya
pengerjaannya juga dapat mempercepat proses pembersihan hutan dan lahan, bukan
hanya itu, sanksi yang diberikanpun relatif sangat ringan sehingga tidak ada efek jera
bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan tersebut. Di dalam Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 10 tahun 2010 Tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran
dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan
dan/atau Lahan Pasal 4 ayat 1, Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran
lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami
jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Hal ini menjadi suatu
kebijakkan yang sangat kontrofesri, disamping pemerintah ingin tetap menghargai
kearifan lokal yang ada di lingkungan setempat disisi lain kebijakkan pemerintah
tersebut dapat menimbulkan dampak dari kebijakan itu sendiri, maksudnya adalah,
dikarenakan jika dalam satu desa terdiri dari seratus kepala keluarga dan diberikan izin
untuk melakukan pembakaran dengan masing-masing luas area maksimum dua hektar,
maka dapat dibayangkan bahwa duaratus hektar lahan yang terbakar sangat besar resiko
terjadinya polusi udara belum lagi jika lahan yang mereka bakar adalah lahan gambut,
maka itu adalah salah satu pemicu terjadinya kebakaran yang meluas saat ini. hal ini
menunjukkan bahwa pemerintah tidak tegas dalam menetapkan sebuah peraturan,
sehingga pada saat terjadinya kebakaran hutan yang melanda saat ini masing-masing
instansi saling melemparkan bola api kepada pihak lain dan cenderung melindungi
sektor atau petani/pengusaha/kelompok masyarakat binaannya. Yang pasti adalah bahwa
kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap musim kemarau dan terus berulang setiap
tahunnya. Disamping itu sanksi yang diberikan oleh pelaku relatf ringan dan pemerintah
cenderung melakukan pembiaran terhadap pembakaran tersebut dan hal inilah yang
menyebabkan kebakaran selalu berulang.
Untuk kasus kebakaran hutan, negara lain seperti malaysia juga pernah mengalami,
areal lahan gambut juga mengalami masalah kebakaran, namun saat ini dilakukan
pencegahan dengan pompanisasi air ke dalam gambut.
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, Kalsel, Purwanto Budi Santosa
menuturkan pengalamannya saat berkunjung ke Hutan Simpan (hutan konservasi) Raja
Musa, Selangor Malaysia pada Desember 2014 lalu.
"Di sana areal gambut juga mengalami masalah kebakaran, namun saat ini dilakukan
pencegahan dengan pompanisasi air ke dalam gambut," kata Purwanto kepada
detikcom, Senin (12/10/2015).
Pompanisasi menurutnya efektif dilakukan untuk mengalirkan air yang keluar dari
gambut dan mengembalikannya ke areal gambut dan membasahi gambut.
Menurutnya, hal ini dilakukan jika indikator tinggi muka air sudah turun sekitar 1 meter
maka segera dilakukan pompanisasi. Pipa yang digunakan berdiameter 22,5 cm.
"Pipa-pipa diarahkan pada lokasi-lokasi rawan terjadi kebakaran, sehingga kondisi
gambut selalu basah. Jika gambut basah, resiko kebakaran akan sangat kecil,"
sambungnya.
Pompanisasi air sambung Purwanto, yang dilakukan terus menerus akan meningkatkan
tinggi muka air sesuai dengan fungsi gambut untuk menyimpan air. Hanya beberapa
petugas saja untuk mengoperasionalkan dan mengawasi kegiatan ini.
-