Anda di halaman 1dari 11

Blok THT

Skenario 2
Sinus paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di
sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui
ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan
sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus
etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior
termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus
etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan
bermuara di meatus superior.
Rinoskopi anterior
Inspeksi bagian anterior dari cavum nasalis tanpa menggunakan bantuan speculum.
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu
mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus
media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik.
Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dan bagian posterior dari cavum nasalis dengan
menggunakan rinoskop atau nasofaringoskop.
Livid (biru lebam/kehitaman)
Deviasi septum nasi
Kelainan bentuk septum nasi akibat trauma dan pertumbuhan tulang rawan yang
tidak seimbang. Bentuk septum nasi yang normal adalah lurus dan berada di
tengah rongga hidung kecuali septum nasi orang dewasa yang tidak lurus
sempurna.
Spina septi
Discharge mukopurulen (sekret yang mengandung mucous dan purulen/nanah)
Post nasal drip
Akumulasi lendir di belakang hidung dan tenggorokan dan menyebabkan adanya
sensasi dari lendir yang menetes kebawah dari belakang hidung. Sensasi ini terjadi
karena sekresi mucus yang sangat berlebih pada otot-otot tenggorokan.
Skin prick test
Salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang banyak digunakan oleh para
klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit kulit.
Hubungan usia, jenis kelamin, dan bersin pagi hari dengan keluhan pasien?
Patofisiologi keluhan? (meler, lender kuning kehijauan, keluar lendir dari
tenggorokkan, keluar lendir saat menunduk, hidung terasa buntu, penciuman
berkurang, nyeri di pipi)
Interpretasi pemeriksaan fisik?
Pemeriksaan penunjang lain?
Tujuan dilakukan pemeriksaan radiologi dan skin prick test?
Diagnosis banding?
Tata laksana?
Penyebab keluar lender, patofisiologi keluhan

Rhinitis alergi yaitu kelainan pada hidung setelah mukosa hidung terpapar oleh
alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal
pada hidung dan hidung tersumbat.
a) Etiologi Rhinosinusitis
1 Resirkulasi mucus dan osteitis
Sekitar 10-30% orang dewasa ditemukan ostium asesorius sinus maksila
yang menyebabkan terjadinya resirkulasi mukus. Sejumlah mucus akan
memasuki lagi sinus maksilaris melalui ostium asesoris.
Analisis histologik dari tulang etmoidalis pasien sinusitis kronik menunjukkan
adanya osteitis. Hal ini terjadi sebagai akibat langsung infeksi atauo perasi
sinus disertai kurangnya preservasi mukosa. Temuan histologik meliputi
peningkatan akselerasi turn over tulang disertai pembentukan tulang baru,
fibrosis, dan keberadaan sel inflamasi.
2 Faktor mikroba
Organisme yang dominan pada rinosinusitis akut adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza dan (pada anak) Moraxella catarrhalis.
Sedangkan pada rinosinusitis kronik yang tersering ditambah dengan
Staphylococcus aureus, Staphylococcus koagulase negatif, dan kumanan
aerob. Infeksi kuman anaerob terjadi setelah serangan awal infeksi kuman
purulen.
3 Kelainan anatomi
Kelainan anatomi di beberapa atau seluruh struktur kompleks ostiomeatal
dapat menyebabkan obstruksi mekanis drainase sinus paranasal yang
berlangsung lama. Variasi anatomi yang sering dijumpai adalah septum
deviasi, sel aggernasi, prosesus unsinatus (menekuk ke arah lateral, double
middle turbinate, kontak dengan lamina papirasea atau konka), konka
bulosa, bula etmoidalis yang besar, sel Haller yang menyempitkan
infundibulum etmoidalis.
4 Kelambatan pemulihan fungsi mukosilier
Mukostasis, hipoksia, produk mikroba, dan inflamasi kronik dapat
menyebabkan penurunan fungsi mukosilier sinus paranasal. Faktor lain yaitu
perubahan sifat viskoelastik mukus, penurunan jumlah silia, dan tanda
ultrastruktur lain dari kerusakan epitel.
b) Gangguan Penghidung
Reseptor organ penghidung terdapat di region olfaktorius di hidung bagian
sepertiga atas. Serabut saraf olfaktorius berjalan melalui lubang-lubang pada
lamina kribosa os ethmoidalis menuju ke bulbus olfaktorius.
Partikel bau dapat mencapai reseptor penghidung bila menarik napas dengan
kuat atau partikel tersebut larut dalam lender permukaan mukosa olfaktorius.
Gangguan penghidung akan terjadi bila ada yang menghalangi atau ada
kelainan pada nervus olfaktorius, mulai dari reseptor sampai pusat olfaktorius.
Macam-macam gangguan penghidung, yaitu:
- Hiposmia (daya penghidung berkurang), dapat disebabkan oleh obstruksi
hidung seperti pada rhinitis alergi, hipertrofikonka.
- Anosmia (daya penghidung menghilang), dapat disebabkan oleh trauma di
daerah frontal atau oksipital.
- Parosmia (sensasi penghidung berubah), terutama disebabkan oleh trauma.
- Kakosmia (halusinasi bau), dapat timbul pada kelainan lobus temporalis.
Sistem Pertahanan Transport Mukosilier

Mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan dirinya. Efektivitas system


transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lender
dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seruminosa submukosa.
Bagian permukaan palut lender terdiri dari cairan mucus elastic yang mengandung
protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan bagian
bawahnya terdiri dari cairan serosa yang mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor
lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (Damayanti, 2007).
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mucus penting untuk pertahanan local yang
bersifat antimicrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari
jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan
IgG beraksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan
antigen bakteri (Retno, 2007).
Terdapat dua rute besar transport mukosilier. Rute pertama merupakan gabungan
sekresi sinus frontal, maksila, dan ethmoid anterior. Sekret ini biasanya bergabung
di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus
unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati
bagian anteroinferior orifisium tuba Eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas
epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah
dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan (Damayanti, 2007).
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus ethmoid posterior dan sphenoid
yang bertemu di resessus sphenoethmoid dan menuju nasofaring pada bagian
posterosuperior orifisium tuba Eustachius (Retno, 2007). Secret yang berasal dari
meatus superior dan septum akan bergabung dengan secret rute pertama, yaitu di
inferior dari tuba Eustachius. Secret pada septum akan berjalan vertical ke arah
bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
Eustachius.

Riwayat sakit gigi bagian atas


Pada skenario ini terdapat nyeri pada pipi kanan dan kiri pasien serta keluhan keluar
lender kental saat bersujud atau menunduk. Pada daerah pipi terdapat salah satu
sinus yaitu sinus maxillaris, dimana bila terdapat inflamasi pada daerah tersebut
maka manifestasi klinisnya dapat berupa nyeri pada pipi. Sinus maxillaries ini
memiliki batas-batas. Salah satunya batas inferior atau dasar. Dasar dari sinus

maxillaries adalah processus alveolaris, dimana processus alveoaris ini merupakan


tempat dari akar (radix) gigi. Radix gigi dengan sinus maxilla hanya dibatasi oleh
tulang yang tipis, bahkan dapat dikatakan tidak ada yang membatasi antar
keduanya. Sehingga apabila terjadi infeksi pada radix gigi atau daerah periodontal,
maka infeksi mudah menyebar secara langsung ke sinus maxilla melalui pembuluh
darah dan limfe. Hal ini merupakan penyebab tersering seseorang menderita
sinusitis kronis. Sinusitis yang merupakan hasil penyebaran infeksi gigi disebut
dengan sinus dentogen.
Rhinosinusitis Kronis
Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua
gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang
berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada
daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung buntu, ingus purulen, gangguan penghidu.
Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk
(Busquets et al, 2006).
Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012),
rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek ( sekret hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/
rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan
nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan
atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi
komputer berupa penebalan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus, yang
berlangsung lebih dari 12 minggu (Fokkens et al, 2012).
The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI)
mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung berlangsung selama
lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah /
tekanan, post nasal drip, dan hiposmia (Schlosser et al, 2009).
Patofisiologi Rinosinusitis Kronik
A. Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia
dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktorfaktor akan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukus dan menurunnya
ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik
(Pinheiro, 2001).
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses
radang di area kompleks osteomeatal (Gambar 4). Blokade daerah kompleks
osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior.
Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media
yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga
memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi
mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat
dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki
drainase dan aerasi sinus (Kennedy et al, 1995).
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya : obstruksi mekanik
seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda
asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang

mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes,


kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu,
udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan
kerusakan silia (Busquets et al, 2006 ; Fokkens et al, 2012).
B. Patofisiologi
Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke
sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan
oleh sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet
dan kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka
proses eliminasi bakteri pun terhambat (Lane, 2003).
Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi
ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance)
di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam
menjaga kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial
(immunoglobulin) dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap kuman yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan
(Soetjipto, 2010).
Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan
obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap
infeksi. Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis
(ABRS) banyak, secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia
dan lingkungan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri
(faktor manusia), yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista
fibrosis, abnormalitas anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau
turbinatum paradoksal), penyakit sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan
faktor lingkungan meliputi infeksi bakteri, virus, jamur, atau paparan primer
maupun sekunder asap tembakau, akut atau kronik bahan iritan atau bahan
kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk pembedahan, medikamentosa
ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini, para
individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi yang lebih tinggi
terjadinya rinosinusitis akut dan kronik.
Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran
pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang
memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi
tersebut akan menyebabkan pembengkakan mukosa hidung sehingga
mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus (Benninger, 2008). Apapun
penyebabnya, sekali saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi
pada kavum sinus dan sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara
keadaan hipoksia dan sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan
tumbuhnya bakteri patogen di dalam sinus (Lane, 2003). Peradangan juga
menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan gerakan silia lebih lambat
daripada normal.
Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigenantibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi,
termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas
vaskular, edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia.
Walaupun agen infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus,
mereka juga ditemukan sebagai infeksi sekunder pada individu yang
mengalami rinitis alergi (Benninger, 2008).

Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih


belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan
penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan (Shah, 2008).
Pada pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen,
organisme terbanyak adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus
aureus (20%). Beberapa studi lain menyebutkan prevalensi yang tinggi
ditemukan dengan infeksi enterobakter, bakteri anaerob, bakteri gramnegatif, dan jamur (Benninger, 2008).

Etiologi Rinosinusitis Kronik


Menurut Andrew P. Lane dan David W. Kennedy (2003), faktor-faktor yang
berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor
manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik / kelainan
kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun tubuh, kelainan
anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan
keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri,
dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun
pembedahan).
Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu virus, bakteri,
dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi
antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza,
respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara rinosinusitis
bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus
influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya disebabkan oleh
Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus aureus, Neisseria spp.,
basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas sp.
Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides spp., dan Fusobacteria
ditemukan pada kasus sinusitis maksilaris yang merupakan infeksi sekunder
terhadap penyakit gigi (Issing, 2010). Jenis jamur yang paling sering menyebabkan
infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida (Mangunkusumo,
2010).
Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara perlahan akan
menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung dan sinus
paranasal.
Kekerapan
Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis
kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dari tahun 19982004 (Azis et al, 2006).
Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr. Sardjito Yogyakarta
selama tahun 2000-2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5% - 4,6%
dari seluruh kunjungan poliklinik (Harowi, 2011).
Diagnosis Rinosinusitis Kronik
Berdasarkan data Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery (1997), gejala dan tanda rinosinusitis dibagi
menjadi kriteria mayor dan minor. Gejala mayor antara lain: obstruksi
hidung/sumbatan, adanya sekret hidung yang purulen, gangguan penghidu seperti

hiposmia/anosmia, dijumpai sekret purulen pada pemeriksaan hidung, nyeri wajah


seperti tertekan, kongesti wajah (penuh), dan demam (hanya pada rinosinusitis
akut). Sedangkan gejala minor antara lain: sakit kepala, demam (non-akut),
halitosis, lemah/letih, nyeri gigi, batuk, nyeri telinga/ seperti ditekan dan merasa
penuh di telinga. Untuk diagnosis rinosinusitis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1
gejala mayor dan 2 gejala minor (Benninger, 2008).
Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis, rinoskopi anterior,
pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan penunjang (Fokkens et al, 2012;
Busquets, 2006).
Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala
mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda
menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri
atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan
penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi
dan batuk (Busquets et al, 2006). Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang
paling umum dan paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul
merupakan akibat adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit
kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan
jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata,
saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala
yang disebabkan oleh mata.
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak.
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan
daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di
dalam kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu
atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal.
Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di
daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat
degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus,
indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang.
Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu
mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus
media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik. Tanda khas
ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan
frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid).
Meatus medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian
dekongestan. Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis.
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak
dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di meatus
media atau superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa,
konka media polipoid, konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal
drip dan septum deviasi (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006). Pada acute
bacterial rhinosinusitis (ABRS), naso-endoskopi bermanfaat untuk konfirmasi
diagnosis sekaligus mendapatkan sekret dari meatus media untuk dikultur (Shah,
2008). Untuk mengurangi kontaminasi dari hidung, kultur dari meatus media dapat
dilakukan melalui aspirasi sinus maksila yang merupakan gold standard untuk
diagnosis ABRS (Benninger, 2008).

Pemeriksaan foto polos sinus


Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada
evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos
hidung dan sinus paranasal posisi Waters. Pada foto ini hanya tampak jelas sinussinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak.
Air fluid level pada rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai (Busquets et al, 2006).
Pemeriksaan CT Scan
CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal,
dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di
kompleks osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan
evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan
pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan
memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan
dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi
pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas.
Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronis yang
gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki keterbatasan yaitu
sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran pernafasan bagian atas,
kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal
scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain adalah foto polos, yaitu
dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai
kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal (Mangunkusumo, 2010).
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui
meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang
sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI
hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah,
2008).
Klasifikasi. Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan sebagai sinusitis akut bila
gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, sinusitis subakut bila
gejala berlangsung 4 sampai 8 minggu sedangkan kronis berlangsung lebih dari 2
bulan.

Tetapi apabila dilihat dari gejala, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila
terdapat tanda-tanda radang akut. Dikatakan sinusitis subakut bila tanda akut
sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversible, misalnya
sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi
yang tepat ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan
ini tidak rutin dikerjakan. Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan
sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita

sudah lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor ditambah 2 kriteria minor.
Komplikasi Rinosinusitis Kronik
Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis
dengan eksaserbasi akut (Giannoni et al, 2006). Komplikasi rinosinusitis sudah
semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan
tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas
kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk
misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian. Komplikasi yang terjadi dapat
berupa:
1. Kelainan orbita
Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau
melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa
selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai
pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau
gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses
yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis
tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak
membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial,
perlu dilakukan tindakan bedah.
2. Kelainan intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus
kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan
dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi
dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi
dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering
menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya
dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien
perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini
merupakan indikasi untuk tindakan operasi.
3. Mukokel (kista)
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di
sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila, etmoid atau
sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang
kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ
disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan
pembengkakan di atas sinus yang terkena.
Penatalaksanaan
Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non
medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik,
kortikosteroid, anti jamur, anti bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik.
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi
septum, konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi
penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai
dengan kelainan yang ditemukan. Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah
pengobatan medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi
kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah. Bedah sinus endoskopik
fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi

pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif minimal yang lebih efektif dan
fungsional.
Medikamentosa
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan
terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang
berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten
terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin
generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang (Mangunkusumo, 2010). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam
72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.
Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika
diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets, 2006). Gold standard untuk kultur
sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien
tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi
minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting dalam memilih
jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda dengan
ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang
sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob (Shah, 2008).
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan,
seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin (Shah, 2008), steroid oral/ topikal,
pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi)
(Mangunkusumo, 2010). Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk terapi
pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation adalah
jenis terapi yang penting dalam mengobati rinosinusitis kronik. Bilasan hidung
tersebut akan mencegah akumulasi krusta-krusta di hidung dan membantu
lancarnya klirens mukosiliar. Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/L)
dipertimbangkan pemberiannya pada rinosinusitis kronik yang refrakter (Shah,
2008).
Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan
faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi (Shah, 2008).
Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat (Mangunkusumo, 2010).
Pembedahan
Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah
sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi Caldwell-Luc,
etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.
a. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini
untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis
kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai
kista atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi
sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2010).
b. Operasi Caldwell-Luc
Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus
maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi
klinis seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau
benda asing yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal (Lund,
2008).
c. Etmoidektomi Eksternal

Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi.


Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode
operasi ini. Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus
etmoid atau frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki
komplikasi orbita dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan
aman (Lane, 2003).
d. Trepinasi Sinus Frontal
Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit
dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan
dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003).
e. Irigasi Sinus
Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus
dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan
pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk
drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya
dilakukan pada meatus inferior hidung (Lund, 2008).
Kompleks Osteomeatal (KOM)
Kompleks osteomeatal (KOM) daerah yang rumit dan sempit pada sepertiga tengah
dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus
maksila, sinus etmoid anterior. Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan serambi
muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan penting dalam terjadinya
sinusitis. Pada potongan koronal sinus paranasal terlihat gambaran suatu rongga
antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari KOM terdiri dari infundibulum
etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus
frontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid anterior dengan astiumnya dan ostium
sinus maksila.
Sinus paranasal adalah bagian dari traktus respiratorius yang berhubungan
langsung dengan nasofaring. Sinus secara normal steril. Dengan adanya obstruksi,
flora normal nasofaringeal dapat dapat menyebabkan infeksi. Bila terjadi edema di
kompleks ostiomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan saling bertemu,
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendirnya berhadapan akan saling bertemu,
dan lender tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi di
dalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi mukosa
sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya
bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi
lender, sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Selanjutnya terjadi perubahan
jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.
Obstruksi mekanik, seperti deviasi septum, hipertrofi konka media, benda asing di
hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung merupakan factor predisposisi
terjadinya sinusitis. Selain itu rinitis kronis serta rinitis alergi juga menyebabkan
obtruksi ostium sinus serta menghasilkan lendir yang banyak, yang merupakan
media untuk tumbuhnya bakteri. Sebagai factor predisposisi lain ialah lingkungan
berpolusi, udara dingin serta kering, yang dapat mengakibatkan perubahan pada
mukosa serta kerusakan silia.

Anda mungkin juga menyukai