Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bisa Ular


Beberapa enzim yang terkandung dalam bisa ular antara lain1 :

Zinc metalloproteinase haemorrhagins:

perdarahan.
Procoagulant enzymes:Mengandungserine protease dan enzim prokoagulan yang

Merusak endotel vaskular, mengakibatkan

merupakan zat pengaktif faktor X, prothrombin dan faktor koagulan yang menstimulasi
pembekuan darah dengan membentuk benang fibrin pada aliran darah. Ironisnya proses
ini membuat darah menjadi sukar membeku karena hampir semua fibrin rusak dan
faktor-faktor pembekuan darah tersebuat akan berkurang dalam waktu sekitar 30 menit

setelah gigitan ular.


Phospholipase A2 (lecithinase):

Merusak mitokondria, Sel darah merah, leukosit,

platelet, saraf tepi, otot skeletal, endotel vaskular, dan membran-membran lain,
menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps, dan memicu pelepasan histamin dan

antikoagulan.
Hyaluronidase: meningkatkan penyebaran bisa ke seluruh jaringan.
Enzim proteolitik : meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga menybabkan edema,
munculnya bulla, lebam, dan nekrosis pada tempat gigitan.
Selain itu ada zat penyusun bisa ular yang bersifat neurotoksik post sinaps yaitu bungarotoxin and cobrotoxin, yang terdiri atas 60-62 atau 66-74 asam aminio dan
subunit fosfolipase A yang melepaskan asetilkolin pada saraf tepi di neuromuscular
junction dan mencegah pelepasan neurotransmiter.
Peningkatan

permeabilitas

vaskular

jika

berlangsung

terus

menerus

akan

mengakibatkan renjatan atau syok yang jika tidak tertangani dapat menyebabkan
kematian. Seringkali bisa ular bersifat neurotoksik yang menyebabkan kelumpuhan
(paralysis) dan terhentinya pernapasan, serta pengaruh kardiotoksik menyebabkan denyut
jantung berhenti juga berpengaruh kepada terjadinya miotoksik.2
Tabel 1 : Protein pada bisa ular dan kepentingan klinis 1

2.2 Epidemiologi
Kasus gigitan ular di Amerika Serikat dilaporkan setiap tahun sekitar 45.000 kasus,
namun yang disebabkan oleh ular berbisa hanya 8000 kasus.The American Association of
Poison ControlCenters melaporkan bahwa dari 6000 kasus gigitanular, 2000 diantaranya
merupakan gigitan ular berbisa.3 Kematian diperkirakan terjadi pada 5 sampai 15
kasusdan biasanya terjadi pada anak-anak, orang yang lanjutusia, dan pada kasus yang
tidak atau terlambat mendapatkan anti bisa ular.3
Belum terdapat cukup data tentang gigitan ular pada beberapa negara di Asia
Tenggara. Hal ini dikarenakan cukup banyak kasus gigitan ular mencari pertolongan
kesehatan pada pengobatan tradisional. Di Banglades terdapat lebih dari 700 kasus gigitan
ular dengan lebih dari 100 kasus yang berakhir dengan kematian. Di India terdapat sekitar
200.000 kasus gigitan ular dengan lebih dari 15.000 kematian. Di Thailand terdapat 30006000 kasus gigitan ular dengan 81-183 kematian. Sedangkan di Indonesia sendiri belum
terdapat angka yang pasti kasus gigitan ular namun telah dilaporkan kurang dari 20 kasus
yang meninggal karena gigitan ular.1
2.3 Patofisiologi
2.3.1 Gangguan pembekuan darah
Umumnya ular berbisa, bisanya mengandung serine protease, metaloproteinase yang
mengganggu hemostasis dengan aktivasi atau menghambat faktor koagulan atau platelet

dan merusak endotel vaskular. Enzim dalam bisa ular akan berikatan dengan reseptor
platelet menginduksi atau menghambat agregasi platelet. Enzim-enzim prokoagulan akan
mengaktifkan protrombin, faktor V,X,XIII dan pasminogen endogen. Kombinasi
konsumsi aktivitas antikoagulan, terganggunya jumlah dan fungsi platelet dan kerusakan
dinding endotel pembuluh darah berakibat perdarahan yang hebat pada pasien.Penyakit
pembekuan darah (koagulopati) ditandai defibrinasi yang berkaitan dengan jumlah
trombosit. Di samping itu dapat mengubah protrombin menjadi trombin dan mengurangi
faktor V,VII, protein C dan plasminogen.2,3
2.3.2

Neurotoksik
Bisa ular yang bersifat neurotoksik akan menghambat eksitasi neuromuskular

junction perifer dengan berbagai cara. Sehingga gejala yang paling sering muncul adalah
mengantuk, menunjukkan bahwa ada kemungkinan pengaruh sedasi sentral yang terkait
dengan molekul kecil non protein yang terdapat dalam bisa ular king cobra. Hampir
sebagian besar neurotoksin akan mengakibatkan pamanjangan efek dari asetilkolin,
sehingga muncul gejala paralisis seperti ptosis, ophtalmoplegia eksternal, midriasis, dan
depresi jalan napas dan total flacid paralysis seperti pada pasien dengan Myastenia
Gravis. Selain itu ada pola paralisis desendens yang sulit dijelaskan secara
patofisiologinya.2,3

Gambar 1.

Neuromuscular

Junction yang

menunjukkan

lokasi kerja

bisa ular

neurotoksin.

2.3.3

Hipotensi
Hipotensi yang terjadi pasca gigitan ular disebabkan karena banyak hal terkait bisa

ular itu sendiri. Ada beberapa faktor yang memepngaruhi permeabilitas pembuluh darah
sehingga terjadi ekstravasasi plasma ke jaringan interstisiel. Selain itu zat-zat dalam bisa
ular akan memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap otot jantung, otot

polos dan jaringan lain. Melalui bradykinin-potentiating peptide, efek hipotensif dari
bradikinin akan semakin meningkat dengan tidak aktifnya peptidyl peptidase yang
berfungsi menghancurkan bradikinin dan mengubah angiotensin I menjadi angiotensin
II.2,3
2.4 Penegakkan Diagnosis
2.4.1 Anamnesis
Anamnesis yang tepat tentang keadaan gigitan dan perjalanan gejala lokal dan
sistemik pada kasus gigitan ular sangat penting. Hal-hal yang perlu ditekankan adalah
lokasi gigitan, onset, tempat kejadian, riwayat dan mekanisme kejadian, jenis ular yang
menggigit (warna, ukuran, bentuk, ciri khas) dapat ditanyakan langsung kepada korban
gigitan, namun seringkali pasien tidak tahu. Selain itu perlu ditanyakangejala yang pasien
rasakan saat ini serta riwayat alergi, pengobatan (antikoagulan) dan penyakit terdahulu
(jantung, paru, ginjal).1,4
2.4.2
2.4.3

Manifestasi Klinis
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaaan tekanan darah (posisi duduk dan berdiri), denyut nadi. Pemeriksaan
juga termasuk pemeriksaan kulit dan mukosa untuk mencari petekiae, purpura,
ekimosis, kimosis dan pemeriksaan konjungtiva. Manifestasi perdarahan dapat
diperiksa dengan melihat sulkus ginggiva untuk melihat perdarahan spontan, adanya
epistakis dan perdarahan telinga. Nyeri tekan abdomen juga dapat sebagai indikasi
perdarahan gastrointestinal dan perdarahan retroperitonial. Nyeri pada punggung
bawah dapat dicurigai sebagai iskemia renal akut. Perdarahan intracranial dapat
diperiksa dengan adanya gejala neurologis lateralisasi, pupil asimetris, kejang,
penurunan kesadaran.1

2.4.4

Injeksi bisa ular


Pada kasus gigitan ular pastikan gejala yang timbul pada pasien benar
disebabkan oleh injeksi bisa ular atau gejala sistemik sebagai respon tubuh maupun
rasa cemas pasien. Pasien dengan rasa cemas dapat mengalami hiperventilasi yang
menyebabkan parastesia pada ekstrimitas, rasa kaku pada tangan dan kaki maupun
gejala pusing. Beberapa diantaranya dapat berkembang menjadi syok vasovagal dan
pingsan yang disertai perlambatan jantung. Adapula gejala yang menjadi agitasi dan
irrasional sehingga sering mengarahkan ke diagnosis yang salah. Ikatan yang
dilakukan pada pasien sebelumnya dapat menyebabkan nyeri, bengkak serta kongesti.
Pasien yang telah meminum obat herbal sebelumnya dapat pula menyebabkan rasa
mual.1
Rasa sakit langsung dari penetrasi mekanik kulit dengan taring ular, mungkin
ada peningkatan nyeri lokal (terbakar, meledak, berdenyut) di tempat gigitan,
pembengkakan lokal yang secara bertahap meluas proksimal sampai ekstremitas
digigit dan nyeri tekan, pembesaran dari kelenjar getah bening regional tempat gigitan
yang disertai. Namun, gigitan oleh kraits, ular laut dan kobra Filipina mungkin hampir

2.4.5

tanpa disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan.1


Keluhan dan gejala lokal
Gejala lokal pada bekas gigitan ular dapat berupa: Bekas gigitan taring, nyeri,
perdarahan, memar, limfangitis, pembesaran nodus limfe regional, inflamasi, bula,
infeksi lokal dan pembentukan abses serta nekrosis jaringan sekitar.1,5

Gambar 2. Manifestasi klinis pasien dengan gigitan


ular

2.4.6

Keluhan dan gejala sistemik


Keluhan dan gejala sistemik pada kasus gigitan ular dapat terjadi pada
beberapa sistem organ. Secara umum pasien dapat mengeluhkan mual, muntah, rasa
lemas, nyeri perut, lemah dan mengantuk. Sistem organ yang dapat ikut memberikan
gejala yaitu:1,5
1. Sistem kardiovaskular (Viperidae)
Gejala yang dapat dikeluhkan berupa pandangan kabur, pusing, rasa lemas hingga
tidak sadar, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema pulmonal dan edema
konjungtiva.
2. Perdarahan dan gangguan proses pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan dapat terjadi pada luka gigitan serta dapat terjadi perdarahan spontan
seperti pada gusi, mimisan, perdarahan dari telinga, hemoptisis, hematemesis,
perdarahan rektum, melena, hematuria, perdarahan vagina, perdarahan kulit dan
mukosa, serta perdarahan intrakranial.
3. Gangguan neurologis (Elapidae, Russells viper)
Gangguan neurologis berupa penurunan kesadaran, parastesia, abnormalitas
sensasi bau dan pengecapan, ptosis, optalmoplegi eksternal, paralisis otot wajah
dan otot lain yang diinervasi nervus kranialis, aphonia, sulit menelan, hingga
paralisis otot pernafasan. Pada pemeriksaan fisis kita dapat meminta
pasienmembuka mata untuk melihat ptosis, pemeriksaan pergerakan bola mata,
gejala trismus, dan paralisis otot wajah, lidah, dan leher. Kita juga perlu memberi
perhatian khusus pada pasien dengan kesulitan menelan sebagai tanda paralisis
bulbar.
4. Gangguan tulang dan otot (Ular laut, Russells viper)
Keluhan dapat berupa nyeri pada seluruh tubuh, kaku, nyeri tekan otot, trismus,
myoglobinuria, hiperkalemia, henti jantung dan gagal ginjal akut.
5. Gangguan ginjal (Viperidae, ular laut)
Nyeri pada punggung bawah, hematuria, hemoglobiuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, dan tanda serta gejala uremia (nafas kussmaull, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain.)
6. Gangguan sistem endokrin (Russells viper)
Gangguan sistem endokrin akut dapat berupa syok dan hipoglikomi. Pada fase
kronis dapat terjadi keluhan lemah, kehilangan rambut pertumbuhan seksual

sekunder, amenorea, atropi testis, hipotiroid, dan lain-lain.


2.5 Klasifikasi
Derajat gigitan ularmenurut ACS(American College of Surgeons, 2004):6
1. Derajat 0
- Bekas gigitan 2 taring

- Tidak ada gejala sistemik


- Pembengkakan dan nyeri minimal
2. Derajat I
- Bekas gigitan 2 taring
- Gigitanlangsungdiikutinyerisedang
- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 5-15 cm
- Tidak ada tanda-tanda sistemik
3. Derajat II
- Bekas gigitan 2 taring
- Gigitanlangsungdiikutinyeriberat
- Bengkak dan kemerahan dengan diameter 15-40 cm
- Ada tanda-tanda sistemik ringan(mual, muntah, demam, pembesaran kelenjar getah
bening)
- Dan/atauabnormalitashasil lab
4. Derajat III
- Bekas gigitan 2 taring
- Nyeri sangat hebat
- Bengkak dan kemerahan lebih dari 40 cm
- Petekie, bula, gejalasistemiksedang, pendarahan
- Abnormalitashasil lab
5. Derajat IV
- Nyerisangathebat
- Tandasistemikberat (koma, syok, pendarahan, DIC, paralisis)

2.6 Pemeriksaan Penunjang


2.6.1 20-minute whole blood clotting test (20WBCT)
Tes ini sangat berguna dan informatif dan mudah untuk dilakukan. Berikut langkahlangkahnya:
1. Tempatkan beberapa ml darah vena baru dalam bejana gelas kecil
2. Biarkan selama 20 menit pada suhu kamar
3. Miringkan bejana
4. Jika darah masih cair (tidak membeku), pasien memiliki hypofibrinogenaemia
( Incoagulable darah) sebagai akibat dari koagulopati konsumtif yang diinduksi racun.
Di wilayah Asia Tenggara, darah incoagulable adalah diagnostik dari gigitan ular berbisa.
Jika bejana yang digunakan untuk tidak terbuat dari kaca biasa, atau jika telah dibersihkan
dengan deterjen,bejana tersebut mungkin tidak merangsang pembekuan dari sampel darah
dengan cara biasa dan uji akan menjadi tidak valid. Jika ada keraguan, ulang test dengan
menggunakan kontrol dari orang yang sehat.
2.6.2 Penunjang lainnya

1. Konsentrasi

Hemoglobin

hematokritpeningkatan

sementara

menunjukkan

hemokonsentrasi yang dihasilkan dari peningkatan umum dalam permeabilitas


kapiler(Misalnya di gigitan ular berbisa Russell).Yang sering terjadi adalah penurunan
konsentrasi hemoglobin atau hematokrit yang mencerminkan kehilangan darah atau
hemolisis intravaskular.
2. Trombosit : ini mungkin akan menurun pada korban gigitan ular berbisa.
3. Sel darah putih: sebuah leukositosis neutrofil awal adalah bukti sistemik envenoming dari
spesies apapun.
4. Blood film: terfragmentasi sel darah merah ( "helm sel", schistocytes) terlihat saat
ada hemolisis mikroangiopati.
5. Plasma / serum mungkin merah muda atau kecoklatan jika ada gross haemoglobinaemia
atau myoglobinaemia.
6. Kelainan biokimia: aminotransferase dan enzim otot (creatine kinase, aldolase dll) akan
meningkat jika ada kerusakan lokal yang parah atau, terutama, jika ada kerusakan otot
umum Disfungsi hati ringan tercermin dari kenaikan kecil dalam enzim serum lainnya.
Bilirubin meningkat seiring dengan ekstravasasi besar darah. Kreatinin, urea atau bun
tingkat meningkat pada gagal ginjal. Hiperkalemia awal mungkin terjadi akibat
rhabdomyolysis. Bikarbonat akan rendah karena asidosis metabolik.
7. Analisa gas darah dan pH dapat menunjukkan bukti kegagalan pernapasan (neurotoksik
envenoming) dan asidemia (pernapasan atau asidosis metabolik).
8. Desaturasi: desaturasi oksigen dapat dinilai non-invasif di pasien dengan gagal napas atau
syok menggunakan oksimeter.
9. Pemeriksaan urin: urin harus diuji oleh dipstik untuk darah/ hemoglobin/ mioglobin.
dipsticks standar tidak membedakan darah, hemoglobin, dan mioglobin. Hemoglobin dan
mioglobin dapat dipisahkan dengan immunoassay tapi tidak ada tes yang mudah atau
dapat diandalkan. Mikroskop akan mengkonfirmasi apakah ada eritrosit dalam urin.
Adanya gips sel darah merah menunjukkan perdarahan glomerulus. Proteinuria merupakan
tanda awal dari peningkatan umum dalam permeabilitas kapiler.

2.7 Penatalaksanaan
2.7.1. Pada tingkat komunitas
1. Periksa riwayat gigitan ular dan mencari bukti yang jelas dari gigitan (Fang bekas tusukan,
pembengkakan pada bagian yang digigit dan lain-lain).

2. Imobilisasi pasien sejauh mungkin dengan meletakkan pasien pada posisi recovery
terutama imobilisasi ektrimitas yang terkena gigitan. meningkatkan penyerapan racun ke
dalam aliran darah dan limfatik). Pertimbangkan imobilisasi dengan penekanan untuk
beberapa gigitan elapid. Hindari gangguan apapun terhadap gigitan luka karena hal ini
dapat menimbulkan infeksi, meningkatkan penyerapan racun dan meningkatkan
perdarahan lokal
3. Transportasi pasien untuk perawatan medis dengan cepat, aman, dan pasif. Idealnya pasien
harus berbaring dalam posisi recovery, (pronasi pada di sisi kiri) dengan / jalan napas yang
dilindungi.
4. Tidak membuang-buang waktu dan melakukan pengobatan tradisional seperti
menggunakan torniquete dengan ketat, Membuat insisi lokal atau menusuk pada tempat
gigitan, menyedot bisa ular dengan mulut, memasang torniquet dengan ketat di sekitar
luka gigitan karena bisa mengakibatkan nyeri, bengkak dan menghambat aliran darah ke
ekstremitas perifer, memberi kompres panas, memberian ramuan herbal atau kompres es1,5
5. Jika ular yang menggigit telah tertangkap atau terbunuh bawalah dengan pasien, tetapi
pastikan keamanan dengan menghindari kontak langsung.
2.7.2. Di klinik pedesaan, apotik atau pos kesehatan
Pasien harus dibawa ke tempat di mana mereka dapat menerima perawatan medis
dengan cepat, tetapi sebagai aman dan nyaman mungkin. Adanya gerakan, terutama gerakan
ekstremitas yang digigit, harus dikurangi untuk menghindari peningkatan penyerapan racun
sistemik. Setiap kontraksi otot, akan meningkatkan penyebaran racun dari tempat gigitan.
Penilaian klinis yang cepat dan resusitasi cardiopulmonary yang meliputi pemberian oksigen
dan pembentukan akses intravena diberikan. Airway, breathing circulation harus diperiksa
segera. Penilaian tingkat kesadaran juga harus dinilai. Berikut ini adalah contoh situasi klinis
di mana korban gigitan ular memerlukan resusitasi mendesak:
1. Hipotensi berat dan shock akibat efek kardiovaskular langsung dari racun atau efek
sekunder seperti hipovolemia atau syok hemoragik
2. Gagal napas akibat envenoming neurotoksik progresif yang telah menyebabkan
kelumpuhan otot-otot pernapasan.
3. Kerusakan mendadak atau perkembangan pesat dari envenoming sistemik yang berat
setelah dilepaskannya tourniquet atau kompresi perban
4. Henti jantung dipicu oleh hiperkalemia akibat rhabdomyolysis setelah gigitan ular laut.

5. Hasil akhir dari envenoming berat seperti gagal ginjal dan septikemia serta nekrosis lokal.
Berikut hal yang dapat dilakukan pada klinik pedesaan, apotik, dan pos kesehatan.
1. Melakukan penilaian medis sederhana termasuk anamnesis dan pemeriksaan fisik, nyeri
tekan, pembengkakan lokal, pembesaran kelenjar getah bening lokal, perdarahan terusmenerus dari gigitan luka, tekanan darah, denyut nadi, pendarahan (gusi, hidung, muntah,
feses atau urine), tingkat kesadaran, kelopak mata terkulai (ptosis) dan tanda-tanda lain
dari kelumpuhan, 20 menit whole blood clotting test, pemeriksaan urine. Mengidentifikasi
ular (jika membawa).
2. Menilai kebutuhan dan kelayakan mengangkut pasien ke tingkat yang lebih tinggi dari
pelayanan kesehatan.
3. Berikan analgesia melalui mulut jika diperlukan: Parasetamol (asetaminofen) (Dewasa
dosis 1x 500 mg maksimal 4x dalam 24 jam, anak-anak 10-15 mg / kg / hari maksimum
100mg / kg / hari) atau kodein fosfat (Dewasa dosis 30-60 mg maksimum 240 mg dalam
24 jam, anak-anak berusia lebih dari 2 tahun, 0,5 mg / kg, maksimal 2 mg / kg / hari) dapat
diberikan setiap 4-6 jam melalui mulut seperti yang diperlukan (tidak aspirin atau nonsteroid anti-inflamasi yang dapat menyebabkan perdarahan).
4. Jika keterampilan yang diperlukan, peralatan, antivenom dan obat-obatan lainnya
tersedia, berikan cairan intravena untuk memperbaiki hipovolemik syok. Jika pasien
memenuhi kriteria untuk pengobatan antivenom, berikan antivenom. Keterampilan ini
meliputi kemampuan untuk mendiagnosa lokal dan sistemik envenoming, menyiapkan
infus intravena atau intravena injeksi, mengidentifikasi tanda-tanda awal dari anafilaksis
dan menyiapkandengan intramuskular adrenalin / epinefrin. Jika tidak ada antivenom
tersedia, mentransfer ke rumah sakit.
5. Jika pasien memiliki bukti kelumpuhan pernapasan, berikan oksigen dengan masker dan
transfer ke rumah sakit. Hal ini diasumsikan bahwa ventilasi selain oleh masker wajah
ketat yang terhubung ke anestesi (Ambu) bag tidak akan mungkin pada tingkat ini.
6. Mencegah penggunaan obat tidak efektif dan berpotensi berbahaya (Misalnya:
kortikosteroid, antihistamin, dan heparin).
2.7.3. Di rumah sakit kabupaten
1. Melakukan penilaian klinis dan laboratorium yang lebih rinci termasuk pengukuran
biokimia dan hematologi, EKG atau radiografi.

2. Jika tidak ada antivenom tersedia, mentransfer ke rumah sakit yang memiliki antivenom
atau mengobati konservatif; ini mungkin memerlukan transfusi darah atau plasma beku
segar
3. Menilai kembali analgesia dan, jika diperlukan, pertimbangkan kuat parenteral obat opioid
yang diperlukan semua dengan hati-hati (misal subkutan, intramuskular atau bahkan
petidin intravena, awal dosis dewasa 50-100 mg; anak 1-1,5 mg / kg; atau morfin, awal
dosis dewasa 5-10 mg; anak 0,03-0,05 mg / kg,).
4. Jika pasien memiliki bukti nekrosis lokal (gangren), berikan tetanus toksoid booster,
antibiotik dan mempertimbangkan debridement dari jaringan yang mati.
5. Jika pasien memiliki bukti bulbar atau kelumpuhan pernapasan, masukkan tube
endotrakeal atau laring mask airway. Jika ada bukti kegagalan pernafasan, membantu
ventilasi manual dengan anestesi (Ambu) tas atau ventilator mekanik.
6. Jika pasien memiliki bukti kegagalan ginjal akut, obati dengan dialisis peritoneal. Jika ini
tidak tersedia, transfer ke RSUD khusus.
7. Jika pasien pendarahan parah atau sudah anemia berat, pertimbangkan transfusi darah.
8. Melaksanakan rehabilitasi sederhana.
2.7.4. Rumah sakit rujukan (khusus)
1.
2.
3.
4.

Manajemen bedah lebih lanjut nekrosis lokal


Penyelidikan lebih lanjut termasuk kultur bakteri dan imaging (CT scan)
Jika pasien memiliki bukti peritoneal gagal ginjal akut atau hemodialisis atau hemofiltrasi.
Melaksanakan rehabilitasi oleh fisioterapis.

2.7.5 Imobilisasi dengan tekanan


Idealnya, sebuah perban elastis, dengan lebar sekitar 10 cm dan minimal 4,5 meter
panjang harus digunakan. Jika bahwa itu tidak tersedia, setiap material strip panjang dapat
digunakan. Perban terikat sekitara ekstrimitas yang gigit, mulai dari bagian distal sekitar jari
tangan atau kaki kearah proksimal, perban terikat erat seperti pada penanganan sprained
ankle tetapi tidak begitu erat hingga membuat nadi perifer (radial, tibialis posterior,dorsalis
pedis) tersumbat atau jari tidak dapat dengan mudah menyelinap di antara lapisannya.

Gambar 3. Imobilisasi dengan tekanan


Imobilisasi dengan tekanan direkomendasikan untuk gigitan ular elapid neurotoksik,
termasuk ular laut, tetapi tidak boleh digunakan untuk gigitan ular viper karena bahaya
meningkatkan efek lokal dari racun nekrotik. Idealnya, perban tidak dilepaskan sampai pasien
berada dalam perawatan medis di rumah sakit, fasilitas resusitasi yang tersedia dan
pengobatan antivenom.

2.7.5 Pemberian antivenom


Antivenom adalah satu-satunya obat antidot khusus untuk bisa ular. Antivenom adalah
imunoglobulin yang dimurnikan dari serum atau plasma kuda atau domba yang telah
diimunisasi dengan venoms dari satu atau lebih spesies ular. "Spesifik" antivenom, yaitu
antivenom telah speifik

terhadap racun ular yang mengdigigit pasien. Monovalen atau

antivenom monospecific menetralkan racun dari hanya satu spesies ular. Polivalen atau
polyspecific antivenom menetralkan racun dari beberapa spesies yang berbeda dari ular,
biasanya spesies yang paling penting, dari sudut pandang kedokteran, di wilayah geografis
tertentu. Misalnya, "polyvalent anti-bisa ular serum" di India merupakan serum kuda yang
menggunakan racun dari ular berbisa yang paling penting dalam India (cobra India, Naja
naja; Krait India, Bungarus caeruleus; viper Russell, Daboia russelii; gergaji skala viper,
Echis carinatus).
Pemberian antivenom dapat menimbulkan efek samping yang parah dan di sebagian
besar negara, antivenom mahal dan dalam persediaan terbatas. Karena itu, harus digunakan
hanya pada pasien yang akan dengan pengobatan antivenom dianggap melebihi risiko.
Indikasi pemberian antivenom bervariasi di berbagai negara, pengobatan antivenom
dianjurkan jika pasien dengan terbukti atau diduga terknea gigitan ular dengan disertai satu
atau lebih dari tanda-tanda berikut:
Sistemik
1.

Kelainan hemostasis: perdarahan sistemik spontan (klinis), koagulopati (20WBCT atau


laboratorium lainnya) atau trombositopenia (<100 x 109 / liter) (laboratorium)

2.

Tanda-tanda neurotoksik: ptosis, oftalmoplegia eksternal, ataukelumpuhan (klinis)

3.

Kelainan kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia jantung (klinis), abnormal ECG

4.

Gagal ginjal akut: oliguria / anuria (klinis), peningkatam kreatinin darah / urea
(laboratorium)

5.

Hemoglobin atau myoglobinuria : urin coklat gelap (klinis), dipstik urin, lainnya bukti
hemolisis intravaskular atau rhabdomyolysis umum (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,
laboratorium)

6.

Bukti pendukung laboratorium envenoming sistemik

Lokal
1.

Pembengkakan lokal yang melibatkan lebih dari setengah dari anggota badan digigit
(tanpa adanya suatu tourniquet). Pembengkakan setelah gigitan pada jari (kaki dan
terutama tangan)

2.

Meluasnya pembengkakan (misalnya di pergelangan tangan atau pergelangan kaki dalam


beberapa jam pada gigitan tangan atau kaki)

3.

Pembesaran kelenjar getah bening sekitar area gigitan


Di beberapa bagian dunia, antivenom diberikan kepada setiap pasien yang mengaku

telah digigit ular, terlepas dari gejala atau tanda-tanda envenoming. Terkadang masyarakat
setempat begitu takut gigitan ular yang mereka memaksa dokter untuk memberikan
antivenom. Namun pada kondisi ini seharusnya pemberian antivenom tidak dilakukan, karena
hal tersebut malah mengekspos pasien yang mungkin tidak memerlukan pengobatan dengan
risiko reaksi antivenom.
Antivenom harus diberikan segera setelah ditunjukkan. Hal ini mungkin dapat
membalikkan sistemik envenoming bahkan ketika ini telah berlangsung selama beberapa hari
atau, dalam kasus kelainan hemostatik, selama dua minggu atau lebih. Namun, ketika ada
tanda-tanda lokal envenoming, tanpa envenoming sistemik, antivenom akan efektif hanya
jika dapat diberikan dalam beberapa jam pertama setelah gigitan.
Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk pengobatan antivenom, tetapi pasien yang
memiliki riwayat alergi dengan serum kuda atau domba dan pasien yang memiliki riwayat
penyakit atopik (terutama yang parah asma) harus diberikan antivenom hanya jika mereka
memiliki tanda-tanda envenoming sistemik. Pada pasien yang berisiko tinggi alergi terhadap
pemberian antivenom, secara empiris diberikan epinefrin subkutan (Adrenalin), antihistamin
intravena (baik anti-H1, seperti prometazin dan anti H2, seperti cimetidine atau ranitidin)
dan kortikosteroid. Pada pasien asma, penggunaan profilaksis sebuah adrenergik 2 agonis
inhalasi seperti salbutamol dapat mencegah bronkospasme.

1) Pemilihan antivenom
Jika spesies ular yang menggigit diketahui, pengobatan yang ideal adalah dengan
monospesifik atau monovalen antivenom, karena dosis yang diberikan lebih rendah
dariantivenoms polyspecific/polivalen. Namun, antivenom polyspesifik/polivalen lebih
banyak digunakan karena kesulitan dalam mengidentifikasi spesies yang bertanggung jawab
untuk gigitan. antivenoms Antivenom polispesifik bisa sama efektifnya dengan yang
monospesifik, tetapi karena mengandung antibodi spesifik terhadap beberapa racun yang
berbeda, dosis yang lebih besar harus diberikan untuk dapat menetralisir racun tertentu.
2) Administrasi antivenom
Saat akan

memberikan antivenom, epinefrin (adrenalin) harus selalu disiapkan.

Antivenom harus diberikan melalui rute intravena bila memungkinkan. Freeze-dried


(lyophilised) antivenom dilarutkan, dengan 10 ml steril air untuk injeksi per ampul.
Dua metode administrasi yang direkomendasikan:
1. Intravena pelan (tidak lebih dari 2 ml/menit). Cara ini memberikan keuntungan karena jika
muncul reaksi alergi dapat segera dihentikan atau ditangani.
2. Infus intravena dengan pengenceran Antibisa ular dengan cairan isotonik 5-10 ml/kg dan
habis dalam waktu 1 jam. Cairan yang digunakan 250-500 ml saline isotonik atau 5%
dextrose dalam kasus pasien dewasa.
Administrasi lokal antivenom di tempat gigitan tidak direkomendasikan. Meskipun
rute ini mungkin tampak rasional, itu tidak boleh digunakan karena sangat menyakitkan,
dapat meningkatkan tekanan intracompartmental dan belum terbukti efektif.
Antivenoms apabila dilakukan injeksi intramuskular, diserap perlahan-lahan melalui
limfatik. Bioavailabilitas rendah, terutama setelah intragluteal injeksi. Kelemahan lainnya
adalah nyeri injeksi volume besar antivenom dan risiko pembentukan hematoma pada pasien
dengan kelainan hemostasis. Antivenom tidak boleh diberikan melalui rute intramuskular jika
bisa diberikan intravena. Namun terdapat beberapa situasi di mana administrasi intramuskular
dapat dipertimbangkan :
1.

Di sebuah tempat pertolongan pertama perifer, sebelum pasien dengan envenoming


yang jelas adalah dimasukkan ke dalam ambulans untuk perjalanan ke rumah sakit yang
dapat berlangsung beberapa jam;
Pada daerah terpencil yang sangat jauh dari perawatan medis;
Ketika akses intravena telah terbukti tidak mungkin.

2.
3.

Meskipun resiko reaksi antivenom kurang dengan intramuskular dari intravena


administrasi, epinefrin (adrenalin) harus tersedia. Pasien harus diobservasi selama setidaknya
satu jam setelah pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis dapat dideteksi
lebih awal. Dalam keadaan biasa, dosis antivenom harus dibagi pada beberapa bagian tubuh,
yaitu anterolateral atas kedua paha. Maksimal 5-10 ml harus diberikan pada setiap tempat
dengan injeksi intramuskular.
Pada anak-anak, sulit didapatkan massa otot yang cukup untuk menampung volume
besar seperti antivenom. Antivenom tidak boleh disuntikkan ke daerah gluteal (kuadran luar
atas dari pantat) karena penyerapannya sangat lambat dan ada resiko kerusakan saraf sciatic
saat injeksi diberikan oleh operator yang kurang berpengalaman.
Dosis antivenom yang diberikan pada anak anak adalah sama denga dosis antivenom
pada orang dewasa karena jumlah racun yang masuk dalam tubuh anak-anak dan orang
dewasa juga sama. Jika dosis yang cukup dari antivenom yang tepat telah diberikan, berikut
respon yang dapat dilihat.
1.

Gejala umum: pasien merasa lebih baik. Mual, sakit kepala dan nyeri mungkin hilang
dengan sangat cepat. Ini mungkin sebagian disebabkan olehefek plasebo.

2.

Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) biasanya berhenti dalam 15-

30

menit.
3.

Koagulabilitas darah biasanya membaik dalam 3-9 jam.

4.

Pada pasien syok, tekanan darah bisa meningkat dalam 30-60 menit pertama dan aritmia
seperti bradikardia sinus dapat teratasi.

5.

Neurotoksik envenoming dapat membaik 30 menit setelah pemberian antivenom, tetapi


biasanya memakan waktu beberapa jam.

6.

Hemolisis aktif dan rhabdomyolysis dapat berhenti dalam beberapa jam dan urin kembali
ke warna normal.
Pada pasien yang digigit ular berbisa, setelah respon awal terhadap antivenom

(penghentian pendarahan, pemulihan koagulabilitas darah), tanda-tanda envenoming sistemik


bisa kambuh dalam waktu 24-48 jam. Hal ini disebabkan karena absorpsi racun dari di tempat
gigitan, yang kembali terjadi akibat peningkatan suplai darah karena koreksi shock atau
hipovolemia dan redistribusi racun dari jaringan ke dalam ruang pembuluh darah, sebagai
hasil pengobatan antivenom.
3) Kriteria untuk mengulangi dosis awal antivenom
1.

Incoagulability darah persisten atau berulangnya incoagulabilitas darah setelah 6 jam

Jika darah tetap incoagulable enam jam setelah dosis awal antivenom, dosis yang sama
harus diulang. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa, jika dosis besar
antivenomdiberikan pada awalnya, waktu yang dibutuhkan untuk hati untuk memulihkan
tingkat coagulable fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-9 jam. Pada
pasien yang terus berdarah cepat, dosis antivenom harus diulang dalam waktu 1-2 jam.
2.

Memburuknya tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1-2 jam


Dalam kasus memburuknya tanda-tanda neurotoksisitas atau kardiovaskular, dosis awal
dari antivenom harus diulang setelah 1-2 jam, dan terapi suportif penuh harus
dipertimbangkan.
Pengobatan konservatif ketika tidak ada antivenom tersedia ini akan menjadi situasi di

banyak bagian wilayah, di mana pasokan antivenom habis atau di mana gigitan yang
diketahui telah ditimbulkan oleh spesies terhadap yang racun tidak ada antivenom khusus
yang tersedia (misalnya untuk gigitan oleh Malayan Krait (Weling), ular karang - genera
calliophis dan Maticora), ular laut, bakau / pantai pit viper T purpureomaculatus dan gunung
pit viper Ovophis monticola.
Langkah-langkah konservatif disarankan sesuai dengan klinis pada pasien, meliputi
envenoming neurotoksik, kelainan hemostatis, syok, gagal ginjal, urine berwarna coklat
gelap, atau envenoming luka berat.

4) Pengobatan lokal
Bagian tubuh yang mengalami luka gigitan diposisikan sedikit lebih tinggi, untuk
mendorong reabsorpsi cairan edema. Bula mungkin besar dan tegang tetapi mereka harus
disedot hanya jika mereka tampak akan pecah. Gangguan luka (Sayatan dibuat dengan tidak
steril silet / pisau dan lain-lain) menciptakan risiko infeksi bakteri sekunder dan
membenarkan penggunaan antibiotik spektrum luas (misalnya amoksisilinatau sefalosporin
ditambah dosis tunggal gentamisin ditambah metronidazol).

DAFTAR PUSTAKA
1. Warrell, David A.2010. Guidelines for themanagement ofsnake-bites. WHO Regional
Office for South-East Asia.
2. Warrel, David A. 2010. Snake Bite. Department of Clinical Medicine, University of
Oxford
3. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes. N Engl J Med, 2002; 34756
4. Snake Bite. Daley, Brian James. 2011
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview
5. WHO
6. American College of Surgeons, 2004

Anda mungkin juga menyukai