Anda di halaman 1dari 12

Perkembangan spiritual

Perkembangan Aspek Spiritual (Remaja, Dewasa muda, Dewasa pertengahan, Dewasa akhir
&
Lansia)
PENDAHULUAN
Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap
dimensi harus dipenuhi kebutuhannya. Seringkali permasalahan yang mucul pada klien ketika
mengalami suatu kondisi dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit fisik) mengakibatkan
terjadinya masalah psikososial dan spiritual. Ketika klien mengalami penyakit, kehilangan
dan stres, kekuatan spiritual dapat membantu individu tersebut menuju penyembuhan dan
terpenuhinya tujuan dengan atau melalui pemenuhan kebutuhan spiritual. Dengan kata lain
apabila satu dimensi terganggu, maka dimensi yang lain akan terganggu. Sebagai contoh
apabila seseorang sedang sakit gigi atau sakit kepala (dimensi fisik terganggu)maka akan
sangat mudah baginya untuk marah (dimensi emosional ikut terganggu). Untuk menghadapi
masalah distres spiritual perawat dapat memberikan intervensi yang ditujukan untuk
memenuhi beberapa hal yaitu: dengan membantu klien, memenuhi kewajiban agamanya,
meningkatkan perasaan penuh harap dan memberi sumber spiritual serta membina hubungan
personal dengan pencipta. Namun, dalam memberikan asuhan keperawatan tersebut
sebelumnya perawat harus mengkaji terlebih dahulu dan menyesuaikan asuhan keperawatan
sesuai
dengan
perkembangan
aspek
spiritual
dari
klien.
II.PEMBAHASAN
Dari semua cabang ilmu kesehatan, ilmu kesehatan jiwa yang paling dekat dengan agama,
bahkan menurut Dadang Hawari (1996) terdapat titik temu antara kesehatan jiwa dan agama.
Pada prakteknya, ilmu pengetahuan dan agama saling menunjang. Seperti yang dikatakan
oleh Albert Einstein, ilmu pengetahuan tanpa agama bagaikan orang buta, tetapi agama tanpa
ilmu pengatahuan bagaikan orang lumpuh. Merujuk pada pentingnya pengetahuan dan agama
tersebut untuk jiwa yang sehat banyak penelitian dilakukan diantaranya sebuah penelitian
yang mengatakan kelompok yang tidak terganggu jiwanya adalah yang mempunyai agama
yang
bagus
dan
sebaliknya.
Penelitian lain yang disebutkan dalam buku La Tahzan seseorang dinyatakan usianya tinggal
beberapa bulan, tetapi karena ia memilki koping yang baik berdasarkan pengalaman
agamanya, ia tetap bahagia menjalani hari-harinya dengan bernyanyi dan ceria, membuat
puisi-puisi yang indah. Ternyata orang tersebut mampu bertahan hingga bartahun-tahun.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Pressman, dkk (1990) menunjukkan bahwa wanita
lanjut usia yang menderita farktur tulang pinggul yang kuat religi dan pengalaman agamanya,
ternyata lebih kuat mental dan kurang mengeluh, depresi, dan lebih cepat berjalan daripada
yang tidak mempunyai komitmen agama.Dari hal-hal tersebut diatas dapat dikatakan dimensi
spiritual
menjadi
hal
penting
sebagai
terapi
kesehatan.
Spiritual itu sendiri merupakan komitmen tertinggi individu, prinsip yang paling
komprehensif tentang argumen yang sangat kuat terhadap pilihan yang dibuat dalam hidup
(farran et al 1989 dalam potter & perry, 2005). Sedangkan keyakinan spiritual adalah
keyakinan dalam hubungannya dengan yang maha kuasa & maha pencipta. Sebagai contoh
seseorang yang percaya pada Allah sebagai pencipta atau sebagai maha kuasa (hamid, 2008).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa spiritual merupakan suatu keyakinan
didalam diri yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan dan nilai luhur dari yang diyakini dan
dijadikan sebagai sumber kekuatan untuk menghadapi masalah dan ketenangan hidup.

Kesehatan spiritual merupakan keharmonisan antara individu dengan orang lain, alam dan
kehidupan tertinggi. Keharmonisan ini dicapai ketika seseorang menemukan keseimbangan
antara nilai, tujuan dan sistem keyakinan mereka dengan hubungan mereka didalam diri dan
dengan orang lain. Setiap individu mempunyai tiga kebutuhan yang harus dipenuhi untuk
mencapai
sehat
spiritual
yaitu:
Kebutuhan
akan
arti
dan
tujuan
hidup
Kebutuhan
untuk
mencintai
dan
berhubungan
Kebutuhan
untuk
mendapatkan
pengampunan
Spiritual dan kehidupan individu memiliki hubungan yang sangat kuat. Spiritual yang
tinggi akan meningkatkan pemahaman hidup individu tersebut. Pemahaman hidup individu
tersebut terlihat dari dua domain spiritual dalam individu yaitu: semangat hidup dan harapan
hidup. Pengakjian dan intervensi spiritual mampu meningkatkan semangat hidup dan harapan
hidup pasien, kedua hal ini menjadikan individu dapat mengatasi masalahnya dalam
memenuhi kebutuhan akan kesehatan, mencari bantuan kesehatan atau sikap patuh terhadap
anjuran
minum
obat
secara
teratur.
Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia
termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Perawat yang mempunyai tugas memenuhi
kebutuhan spiritual klien penting sekali mengetahui tahap perkembangan spiritual dari
manusia, agar tepat dalam memberikan asuhannya. Tahap perkembangan spiritual ini dimulai
dari lahir sampai meninggal. Didalam laporan tugas mandiri ini saya hanya akan membahas
mengenai perkembangan aspek spiritual pada remaja (12-18 tahun), dewasa muda, dewasa
pertengahan,
dewasa
akhir
dan
lanjut
usia.
a)
Remaja
(12-18
tahun)
Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan
pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang.
Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan
kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka
dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap
ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan
yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes
dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang
tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul
konflik
orang
tua
dan
remaja.
b)
Dewasa
muda
(18-25
tahun)
Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian
identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari
saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual
bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup
walaupun
mereka
tidak
memungkiri
bahwa
mereka
sudah
dewasa.
c)
Dewasa
pertengahan
(25-38
tahun)
Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar
mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral,
agama dan etik sebagai dasar dari sistem niali. Mereka sudah merencanakan kehidupan,
mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual.
d)
Dewasa
akhir
(38-65
tahun)
Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji
kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain
dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual

meningkat.
e)
Lanjut
usia
(65
tahun
sampai
kematian)
Pada tahap perkembangan ini, menurut Haber (1987) pada masa ini walaupun
membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik,
karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa
berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai
kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik
menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan
dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan
dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian
disebabkan
cemas
pada
proses
bukan
pada
kematian
itu
sendiri.
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena
setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan
pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka
percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau
pengalaman
spiritual
yang
berbeda.
III.
KESIMPULAN
Pada intinya keperawatan adalah komitmen tentang mengasihi (caring). Suatu elemen
perawatan kesehatan berkualitas adalah untuk menunjukkan kasih sayang pada klien sehingga
terbentuk hubungan saling percaya. Rasa saling percaya diperkuat ketika pemberi perawatan
menghargai dan mendukung kesejahteraan spiritual klien. Penerapan proses keperawatan dari
pespektif kebutuhan spiritual klien tidak sederhana. Hal ini sangat jauh dari sekedar
mengakaji ritual dan praktik keagamaan klien. Memahami spiritualitas klien dan kemudian
secara tepat mengidentifikasi tingkat dukungan dan sumber yang diperlukan, membutuhkan
persepektif baru yang lebih luas. Persepektif tersebut melibatkan seluruh dimensi kebutuhan
manusia yang terdiri dari: dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap
dimensi harus dipenuhi kebutuhannya. Dimensi spiritual menjadi sangat penting untuk
diperhatikan karena memiliki keterkaitan dan mampu mempengaruhi dimensi lainnya,
melalui dimensi spiritual akan terbentuk nilai dan keyakinan dan tujuan hidup sehingga
berpengaruh terhadap kemampuan dari dimensi lainnya. Oleh karena itu penting bagi perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan dimensi
spiritual, Untuk mendapatkan hasil asuhan keperawatan yang tepat maka perawat dapat
melihat klien berdasarkan perkembangan aspek spiritual mereka, Kemudian membuat
rencana tindak lanjut berdasarkan tahap perkembangan spiritualnya.
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Pada masa preschool yaitu dari usia 3 tahun sampai sekitar usia 5 atau 6 tahun banyak aspek-aspek
perkembangan penting yang mengalami perubahan. Menurut Sanders (1997) aspek perkembangan yang
mengalami perubahan adalah berkaitan dengan keterampilan bahasa, perkembanganmotorik baik keterampilan
motorik halus maupun keterampilan motorik kasar, kemudian perubahan pada jenis permainan yang lebih
kompleks yang melibatkan aturan, berbagi dengan orang lain dan bermain secara bergiliran. Sejalan dengan yang
dikatakan oleh Sanders, Morison (2009) juga mengatakan bahwa pada masa preschool anak mulai belajar
untuk menggunakan dan mengembangkan fungsi dari anggota badan. Masa ini merupakan waktu dimana ia
belajar apa saja yang dapat dilakukan secara individual dan bagaimana cara melakukannya. Keterampilan
motorik kasar yang dikembangkan pada masa ini adalah berjalan, berlari, melompat maupun memanjat.
Sedangkan keterampilan motorik halus yang dipelajarinya adalah menggambar, mewarnai, melukis,
menggunting dan menempel.
Berkaitan dengan perkembangan sosial dan emosionalnya, Morison (2009) mengatakan bahwa anak mulai
belajar mengelola emosi dirinya atau seringkali disebut sebagai self-regulation. Ia mulai belajar bagaimana
mengelola emosi dan perilakunya, menunda kesenangan, serta membangun hubungan yang positif dengan orang
lain. Di samping itu, perkembangan kognitifnya memasuki tahap pra-operasional, mereka belum layak untuk
berpikir secara operasional. Karakteristik tahap ini adalah mulai mengembangkan kemampuan untuk
menggunakan symbol, termasuk di dalamnya adalah bahasa. Pola berpikirnya masih terpusat pada dirinya
atauegocentric, serta berpusat pada satu ide ataupun pemikiran.
Salah satu perubahan yang cukup penting pada periode usia ini, menurut Sanders (1997) anak mulai menghabis
waktunya di sekolah dan harus belajar untuk mengatasi perpisahan dengan orang tua mereka. Beberapa anak
mengikuti kelompok bermain maupun playgroup dengan diantar oleh orang tua mereka. Di lain pihak, mereka
mulai mengembangkan kemandiriannya sebagai keterampilan dasar sehari-hari atau keterampilan dasar
merawat diri, seperti keterampilan dalam memakai dan membuka pakaian, belajar menjawab telepon,
mengembangkan keterampilan makan di meja makan, serta belajar untuk mengambil, menyimpan dan merawat
barang milik mereka sendiri
Sanders (1997) juga menjelaskan bahwa pada masa ini adalah waktu dimana anak membutuhkan kesiapan
untuk masuk ke sekolah. Anak-anak pra-sekolah menyukai buku dan mulai mengembangkan beberapa konsep
dasar tentang huruf cetak sebagai dasar pembelajaran yang penting untuk keterampilan membaca. Keterampilan
tersebut termasuk dalam mengeja kata dari kiri ke kanan, mengetahui letak di atas ataupun di bawah halaman,
serta ide atau makna dari kata. Beberapa anak pra-sekolah belajar membaca sebelum mereka masuk sekolah.
Selama masa ini, anak-anak juga mengembangkan pemahaman yang tepat mengenai jenis kelamin atau identitas
gender mereka, serta mulai melihat dirinya sebagai seorang anak laki-laki ataupun anak perempuan. Mereka juga
mulai menunjukkan perilaku tertentu yang sesuai dengan identitas kelamin mereka. Sanders (1997) juga
mengungkapkan bahwa ada beberapa masalah yang sering terjadi pada anak-anak usia pra sekolah yaitu perilaku
tidak patuh (disobedience) dan perilaku mengamuk (temper tantrums). Masalah yang lainnya adalah
mengatasi perilaku mereka ketika ada tamu dan ketika mereka menyela pembicaraan (interrupting). Selain itu,
masalah berkaitan dengan proses makan juga sering muncul seperti perilaku yang sulit makan, hambatan dalam
berlatih makan, serta mengembangkan interaksi antara orang tua dengan anak pada waktu makan. Di samping
itu, orang tua juga memiliki masalah yang terkait dengan mengajari anak dalam menerima telepon serta
bagaimana melatih anak untuk membereskan permainannya setelah digunakan oleh mereka. Masalah
perkembangan lain yang juga perlu diatasi adalah ketika meninggalkan anak bermain dengan teman-temannya
atau bersama saudaranya.
Pustaka :
Morrison, G.S. (2009). Early Childhood Education Today. Boston : Pearson Internasional Edition.

Sander, M.R (1997). Every Parent : A Positive Approach to Childrens Behaviour. Melbourne :

Contoh Makalah Perkembangan Moral


Pada Anak
BAB I
PENDAHULUAN
A.

B.

Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin mos (moris), yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan / nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan. Perilaku sikap moral berarti perilaku
yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial, yang dikembangakan oleh konsep moral.
Yang dimaksud dengan konsep moral ialah peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan
bagi anggota suatu budaya. Konsep moral inilah yang menentukan pola perilaku yang
diharapakan dari seluruh anggota kelompok.
Disamping perilaku moral ada juga perilaku tak bermoral yaitu perilaku yang tidak
sesuai dengan harapan sosial karena sikap tidak setuju dengan standar sosial yang berlaku
atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri, serta perilaku amoral atau nonmoral
yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial karena ketidak acuhan atau
pelanggaran terhadap standar kelompok sosial.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Anak
memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama orang tua. Dia belajar untuk
mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam
mengembangkan moral anak, peran orang tua sangat penting terutama ketika anak masih
kecil. Beberapa sikap orang tua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan
moral anak sebagai berikut :
1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
memperbolehkan tingkah laku tertentu kepada anak.
2. Sikap orang tua dalam keluarga
Secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau
sebaliknya dapat mempengaruhi perkembangan moral anak yaitu melalui proses peniruan
(imitasi). Sikap orang tua yang otoriter cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak.
Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orang tua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan,
musyawarah, dan konsisten.
3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk disini panutan dalam
mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim yang religious dengan
member bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak maka anak akan mengalami
perkembangan moral yang baik.
4. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma
Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong maka mereka harus menjauhkan
dirinya dari perilaku berbohong. Apabila orang tua mengajarkan kepada anak agar
berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama tetapi
orang tua sendiri menampilkan perilaku sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada
dirinya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.
C. Tahap-tahap Perkembangan Moral
Adapun tingkat dan tahap perkembangan moral yang dikenal diseluruh dunia yang di
kemukakan oleh kohlberg (1958) sebagai berikut:
Tingkat
1. Prakonvensional
1.
Pada tingkat ini aturan berisi
aturan
moral
yang
dibuat
berdasarkan otoritas. Anak tidak
melanggar aturan moral karana takut
ancaman atau hukuman dari otoritas.
Tingkat
pra-konvensional
dari
penalaran moral umumnya ada pada
anak-anak,
2. Konvensional
2.
Semua perbuiatan dianggap
baik oleh anak sesuai dengan
otoritas teman sebaya.

Tahap
Orientasi Terhadap Kepatukan dan
Hukuman
Pada tahap ini anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan ini
ditentukan oleh adanya kekuasaan yang
tidak bisa diganggu gugat. Anak harus
menurut, atau kalau tidak, akan
mendapat hukuman.

Orientasi hedonistic adalah suatu


perbuatan dinilai baik jika berfungsi
sebagai alat pemenuh kebutuhan dan
kepuasan diri

3. Orientasi anak yang baik, tindakan


dinilai baik jika menyenangkan bagi
orang lain
3. Pasca Konvensional
4.
Aturan dan institusi dari
masyarakat tidak dipandang sebagai
tujuan akhir tetapi diperlukan
sebagai subjek. Anak menaati aturan
karena takut hukuman kata hati. 5.

Orientas keteraturan dan perilaku baik


dengan
menunaikan
kewajiban,
menghormati otoritas dan memelihara
ketertiban social
Organisasi control social legalistic,
perbuatan dinilai baik jika sesuai
perundang undangan

6. Orientasi
kata
hati,
kebenaran
ditentukan dengan kata hati

D.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Faktor yang menyebabkan merosotnya moral


menurut Zakiyah Drajat (1971 : 13), faktor-faktor penyebab dari kemerosotan moral
dewasa ini sesungguhnya banyak sekali, antara lain yang terpenting adalah :
Kurang tertanamnya jiwa agama pada tiap-tiap orang dalam masyarakat
Keyakinan beragama yang didasarkan atas pengertian yang sungguh-sungguh dan sehat
tentang ajaran agama yang dianutnya kemudian diiringi dengan pelaksanaan ajaran-ajaran
tersebut merupakan benteng moral yang paling kokoh. Semakin jauh masyarakat dari agama,
semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana
karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran atas hak dan hukum.
Keadaan masyarakat yang kurang stabil, baik dari segi ekonomi,sosial, dan politik.
Ketidakstabilan suasana yang melingkupi seseorang menyebakan gelisah dan cemas
akibat tidak dapatnya mencapai rasa aman dan ketentraman dalam hidup. Dengan demikian
akan terjadi banyak penyimpangan moral.
Pendidikan moral tidak terlaksana menurut semestinya
Jika anak dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang tidak bermoral atau tidak
mengerti cara mendidik, ditambah pula dengan lingkungan masyarakat yang goncang
dan kurang mengindahkan moral, maka sudah tentu hasil yang akan terjadi tidak
menggembirakan dari segi moral.
Suasana rumah tangga yang kurang baik
Tidak rukunnya orang tua menyebabkan gelisah anak, mereka menjadi takut, cemas dan
tidak tahan berada ditengah-tengah orangtua yang tidak rukun. Maka anak-anak yang gelisah
dan cemas itu mudah terdorong kepada perbuatan-perbuatan yamg merupakan ungkapan dari
rasa hatinya, biasanya akan mengganggu ketentraman orang lain.
Diperkenalkannya secara populer obat-obat dan alat-alat anti hamil
Seperti kita ketahui bahwa usia muda adalah usia yang baru mengalami dorongan seksual
akibat pertumbuhan biologis yang dilaluinya, mereka belum mempunyai pengalaman dan jika
mereka juga belum mendapat didikan agama yang mendalam, mereka akan mudah dibujuk
oleh orang-orang yang tidak baik, yang hanya melampiaskan hawa nafsunya. Dengan
demikian, anak-anak muda akan menggunakan obat-obat dan alat-alat anti hamil untuk
memenuhi kemauan mereka sendiri yang mengikuti arus darah mudanya tanpa terkendali.
Banyaknya tulisan-tulisan, gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang tidak
mengindahkan dasar-dasar dan tuntunan moral
Suatu hal yang belakangan ini kurang mendapat perhatian kita ialah tulisan-tulisan,
gambar-gambar, siaran-siaran, kesenian-kesenian yang seolah-olah mendorong anak muda
untuk mengikuti arus mudanya. Segi-segi moral dan mental kurang mendapat perhatian,
hasil-hasil seni itu sekedar ungkapan dari keinginan dan kebutuhan yang sesungguhnya tidak
dapat dipenuhi begitu saja. Lalu digambarkan dengan sangat realistis, sehingga semua yang
tersimpan didalam hati anak-anak muda diungkap dan realisasinya terlihat dalam cerita,
lukisan atau permainan tersebut. Inipun mendorong anak muda ke jurang kemerosotan moral.
Kurang adanya bimbingan untuk mengisi waktu luang dngan cara yang baik, dan yang
membawa kepada pembinaan moral
Suatu faktor yang juga telah ikut memudahkan rusaknya moral anak-anak muda ialah
kurangnya bimbingan dalam mengisi waktu luang dengan baik dan sehat. Umur muda adalah
umur suka berkhayal, melamunkan hal yang jauh. Kalau mereka dibiarkan tanpa bimbingan
dalam mengisi waktunya maka akan banyak lamunan dan kelakuan yang kurang sehat timbul
dari mereka.

BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aspek perkembangan moral pada fase perkembangan anak-anak
1. Fase Prasekolah (usia taman kanak-kanak)
Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun. Anak mulai
memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai laki-laki atau perempuan, dapat mengatur diri
dalam buang air (toilet training), dan beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan
dirinya). Sedangkan untuk perkembangan moralnya adalah sebagai berikut :
Pada masa ini anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok
sosialnya (orang tua, saudara dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan
orang lain (orang tua, saudara dan teman sebaya) anak belajar memahami tentang kegiatan
atau perilaku mana yang baik ataupun buruk. Berdasarkan pemahaman itu, maka pada masa
ini anak harus dilatih dibiasakan mengenai bagaimana dia harus bertingkah laku (seperti
mencuci tangan sebelum makan).
Pada saat mengenalkan konsep baik-buruk atau menanamkan disiplin pada anak orang
tua atau guru hendaknya memberikan penjelasan tentang alasannya (seperti mengapa sebelum
makan harus cuci tangan). Penanaman disiplin disertai dengan alasan diharapkan akan
mengembangkan self control atau self discipline (kemampuan mengendalikan diri atau
mendisiplinkan diri berdasarkan kesadaran sendiri) pada anak. Apabila penanaman disiplin
ini tidak disertai penjelasan tentang alasannya atau bersifat doktriner biasanya akan
melahirkan sikap disiplin buta, apalagi jika disertai dengan perlakuan kasar.
Dalam rangka membimbing perkembangan moral anak pra sekolah ini, sebaiknya
orang tua atau guru-guru TK, melakukan upaya berikut :
a. Memberikan contoh atau teladan yang baik dalam berperilaku atau bertutur kata.
b. Menanamkan kedisiplinan kepada anak dalam berbagai aspek kehidupan seperti memelihara
kebersihan atau kesehatan, tata krama.
c. Mengembangkan wawasan tentang nilai-nilai moral kepada anak baik melalui pemberian
informasi atau melalui cerita, seperti tentang : riwayat orang-orang yang baik (para nabi dan
pahlawan).
2. Fase Anak Sekolah (Usia Sekolah Dasar)
Fase ini dimulai sejak anak-anak berusia 6-12 tahun atau sampai seksualnya matang.
Kematangan seksual ini sangat bervariasi baik antara jenis kelamin maupun antarbudaya
yang berbeda. Anak-anak sudah lebih menjadi mandiri. Pada masa inilah anak paling peka
dan siap untuk belajar dan dapat memahami pengetahuan serta selalu ingin bertanya.
Sedangkan untuk perkembangan moralnya adalah sebagai berikut :
Anak mulai mengenal konsep moral pertama kali dari lingkungan keluarga. Pada
mulanya mungkin anak tidak mengerti konsep moral ini, tetapi lambat laun anak akan

memahaminya. Usaha menanamkan moral sejak usia dini merupakan hal yang seharusnya
karena informasi yang diterima mengenai benar-salah atau baik-buruk akan menjadi pedoman
tingkah lakunya kemdian hari.
Pada usia sekolah dasar, anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari
orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak sudah memahami alasan yang
mendasari suatu peraturan. Di samping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk
perilaku dengan konsep benar-salah atau baik-buruk. Misalnya, dia menilai bahwa perbuatan
nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu yang salah atau buruk.
Sedangkan perbuatab jujur, adil dan sikap hormat kepada orang tua dan guru merupakan
sesuatu yang benar atau baik.

B.

Aspek perkembangan moral pada fase perkembangan remaja


Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting yang
diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi.
Remaja merupakan fase perkembangan individu sekitar 13-20 tahun. Perkembangan moral
remaj adalah sebagai berikut :
Melalui pengalaman atau berinteraksi sosial dengan orang tua, guru, teman sebaya atau
orang dewasa lainnya, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang jika dibandingkan dengan
usia anak. Mereka sudah lebih mengenal tentang nilai-nilai moral atau konsep-konseo
moralitas.
Pada masa ini muncul dorongan untuk melakukan perbuatan yang dapat dinilai baik
oleh orang lain. Remaja berperilaku bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya tetapi
psikologisnya (rasa puas dengan peneriamaan dan penilaian positif dari orang lain tentang
perbuatannya).
Dikaitkan dengan perkembangan moral dari Lawrence Kolhberg, menurut Kusdwirarti
Setiono (Fuad Nashori, Suara Pembaharuan,7 Maret 1997) pada umunya remaja berada
dalam tingkatan konvensional atau berada dalam tahap ketiga (berperilaku sesuai dengan
tuntutan dan harapan kelompok) dan keempat (loyalitas terhadap norma).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kusmara (Mahasiswa PPB FIP IKIP
Bandung) terhadap siswa kelas II SMA Negeri 22 Bandung, pada tahun 1995 ditemukan
bahwa tingkatan moral mereka itu bersifat menyebar yaitu pada tingkat pra-konvensional (14
%), konvensional (38 %), dan pasca-konvensional (48 %). Jumlah respondennya adalah
sebanyak 120 orang.
Dengan masih adanya siswa SMU (remaja) pada tingkat pra-konvensional atau
konvensional maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan
dekadensi moral atau pelecehan nilai-nilai seperti tawuran, tindak criminal, minum minuman
keras dan hubungan seks di luar nikah.
Keragaman tingkat moral remaja disebabkan oleh factor penentunya yang beragam juga.
Salah satu penentu atau yang mempengaruhi perkembangan moral remaja adalah orang tua.
Menurut Adam dan Gullotta (183 : 172-173) terdapat beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa orang tua mempengaruhi moral remaja, yaitu sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orang
tua.

2. Ibu-ibu remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar
moralnya daripada ibu-ibu yang nakal; dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor yang
lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
3. Terdapat dua factor yang dapat meningkatkan perkembangan moral remaja yaitu:
a. Orang tua yang mendorong anaknya untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka
mengenai isu.
b. Orang tua menerapkan didiplin terhadap anak dengan teknik berfikir induktif.
C. Contoh kasus perkembangan moral pada fase perkembangan anak
Perkembangan pada anak tidak sedik dipengaruhi oleh lingkungan disekitarnya. Di
usianya yang masih muda mereka sudah mulai mencontoh tingkah laku para orang dewasa
seperti cara berbicara para orang dewasa. Terkadang para orang dewasa mengatakan katakata yang tak pantas di katakan atau dapat dikatakan kata-kata kasar. Kata-kata kasar itu
ditiru oleh para anak kecil karena mereka tidak tau mana yang baik dan tidaknya untuk
diucapakan dan semua itu menggangu perkembangan moral pada fase anak-anak. Semakin
sering kata-kata itu didengar oleh anak kecil maka mereka akan berfikir bahwa kata-kata itu
biasa dan boleh diucapkan bahkan tidak sedikit yang terbawa sampai fase-fase selanjutnya.
Hal terjadi kerana kurangnya perhatian dari orang tua dan pengawasan pada pola
perkembangan anaknya. Selain itu adanya oknum-oknum yang secara tidak sadar mengajari
anak-anak untuk berkata-kata kasar. Dan banyak faktor lain yang mempengaruhi.
Para orang tua harus lebih mengawasi dan memperhatikan anaknya agara pola-pola
perkembangan yang tidak baik dapat dicegah dan ditanggulangi. Selain itu pendidik formal
juga dapat membantu memberikan pengarahan mana kata-kata yang pantas dan tidak untuk
diucapkan.
D. Contoh kasus perkembangan moral pada fase perkembangan remaja
Seiring dengan perkembangan zaman satu persatu mulai bermunnculan sosok-sosok
yang menjadi wabah dan idola para remaja salah satunya adalah demam korea. Para remaja
mulai mengagumia mereka mulai dari tata rias, cara berpakain, hingga kehidupan para idola
itu. Dengan mewabahnya demam korea para remaja mulai mengikuti apa yang menjadi
budaya di korea itu hingga apa pun yang dilakukan idolanya itu menjadi daya tarika utuk
ditiru bahkan menjadi transcenter. Demam korea ini dapat mengganggu perkembangan moral
pada fase remaja karena mereka bisa saja melupakan budaya yang ada di Indonesia dan
mnganut budaya-budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Tak sedikit remaja yang memakai pakaian yang bermodelkan korea style tanpa
perduli apakah pakaian itu pantas di gunakan, dan cocok dengan budaya di Indonesia. Hal ini
berawal dari banyaknya remaja yang kurang mengerti budaya di Indonesia dan juga
kurangnya bimbingan dari orang tua masing-masing.
Pengaruh-pegaruh budaya luar ini dapat di kurangi dengan adanya pengarahan dari
para orang tua menganai apa yang boleh digunakan dan tidak. Selain itu adanya penyaringan
budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia dan disesuaikan dengan budaya yang ada di
Indonesia.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari kasus yang sudah dijelaskan diatas, peran orang tua, guru dan lingkungan sangat
menunjang perkembangan moral anak. Selain itu kebiasaan yang diajarkan pada anak juga
berpengaruh dalam perkembangan moralnya. Jika anak biasa diajarkan baik maka mereka
akan sulit terpengaruh dengan lingkungan yang buruk bahkan walau mereka mempunyai sifat
bawaan yang buruk, mereka akan berusaha merubahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta : Kencana
Yusuf LN, Syamsu. 2011. Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta didik. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Darajat, Zakiah. 1971. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang
Sarwono, Sarlito W. 2012. Psikologi Remaja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai