Anda di halaman 1dari 33

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. Liana
Umur
: 25 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Pendidikan
: SMA
Agama
: Islam
Suku bangsa
: Jawa
Alamat
:
No RM
:
Kelas
: III
Tanggal masuk : 6--02-2016
B. ANAMNESIS
Keluhan utama

: Kehamilan dengan penyakit jantung

Anamnesis terpimpin

Pasien rujukan dari poli kandungan RSU Bahteramas dengan gravid 12


minggu dengan riwayat Mitral Stenosis berat. Pasien mengeluh sering
merasakan sesak napas selama hamil. Pasien mengeluh cepat dan sesak saat
berjalan maupun sekedar mengepel dirumah, sesak berkurang saat
beristirahat. Sesak pada malam hari disangkal oleh pasien, terbangun karena
sesak (-) berdebar-debar (-).. Keluhan ini dirasakan sejak kehamilannya
memasuki usia 1 bulan. Nyeri perut tembus belakang (-), pelepasan air-air
(-), lendir (-), darah (-).

Demam (-), batuk (-), pusing (+). Riwayat

kehamilan sekarang: pasien melakukan pemeriksaan antenatal di posyandu,


pasien

mengaku

melakukan

pemeriksaan

sekitar

kali

selama

kehamilannya. Suntik TT 1x. Pasien juga pernah melakukan pemeriksaan


USG ke dokter kandungan 1 kali. Riwayat kehamilan terdahulu : ini
merupakan kehamilan yang ke-2, pasien pernah merasakan keluhan seperti
ini pada kehamilan sebelumnya. Sekitar 2 tahun yang lalu saat usia
kehamilan 7 bulan pasien dirawat di ruang bersalin delima RSUB dengan
keluhan sesak sehingga didiagnosis mengalami penyakit katup jantung, dan
dilakukan SC. Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit jantung
sebelum kehamilan pertama terjadi. Riwayat penyakit yang sama dalam
keluarga: tidak ada. Riwayat demam dan infeksi kulit terdahulu disangkal
oleh pasien. Riwayat penyakit jantung sejak kecil disangkal oleh pasien.
Riwayat obstetri:
I.

Anak pertama lahir tahun 0000, jenis kelamin perempuan, lahir


secara SC saat usia kehamilan 7 bulan

Riwayat kontrasepsi : Pasien menggunakan kontrasepsi jenis kondom sejak


terdiagnosis sakit jantung

C. STATUS GENERALIS
Tanda vital
Tekanan darah

: 100/70 mmHg

Nadi

: 112x/menit

Pernapasan

: 26x/menit

: 36,5oC

Suhu
Status Generalis
Kepala

: konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-), sianosis (-)

Leher

: Massa tumor (-), pembesaran kelenjar (-)

Paru

:
Inspeksi

: Simetris kanan dan kiri

Palpasi

: Massa tumor (-), nyeri tekan (-)

Perkusi

: Sonor, kanan = kiri

Auskultasi

: Bunyi pernapasan vesikuler, Bunyi tambahan


Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Jantung

: Ictus cordis tidak tampak, Ictus cordis tidak teraba


bunyi jantung S1/S2 Reguler, Bunyi tambahan Murmur
sistolik di apex paru.

Abdomen

Inspeksi

: cembung (+)

Auskultasi

: peristaltic (+), kesan normal

Palpasi

: massa tumor (-) nyeri tekan (-)

Perkusi

: redup

Ekstremitas

: edema (-)

D. PEMERIKSAAN OBSTETRIK
Dilakukan tanggal 06-05-2016, pukul 12:00

Kimia darah

Nilai

GDS
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT

69 mg/dl
13 mg/dl
0,5 mg/dl
16 U/L
10 U/L
dinilai
Leopold 4
DJJ
TBJ
HIS

Pemeriksaan luar
Leopold I

Tepi

atas sympisis
Leopold 2

: Sulit

dinilai
Leopold 3

: Sulit

: Sulit dinilai
::: (-)

Parameter
WBC
RBC
HGB
PLT

Nilai
10.52x103
3.42x106
6.2 g/dl
263

Pemeriksaan dalam :
tidak dilakukan
x103

E. Pemeriksaan

Penunjang
1. Darah rutin (8-4-2016)

2. Kimia darah (8-4-2016)

3. Darah rutin (14-4-2016)


Parameter
WBC
RBC
HGB
PLT

Nilai
11.39x103
4.42x106
8,8 g/dl
228 x103

4. Pemeriksaan imun-serologi (8-4-2016)


HbsAg : negatif (-)
5. Ultrasonografi :
G4P3A0, gravid tunggal hidup, letak kepala, usia kehamilan 38-39
minggu, plasenta grade IV. Ketuban cukup.
6. Echocardiografi :
ASD uk 6,8 mm, Dilatasi LV, disfungsi sistolik
F. DIAGNOSIS
G4P3A0 gravid aterm + ASD + PPCM
G. RENCANA TERAPI
- Rencana SC
- Transfusi PRC 3 unit, 1 zak per hari
- Konsul jantung.
Terapi dari jantung :
1. Diuretic (furosemid) 1 ampul/12jam/iv
2. Betabloker (bisoprolol) 1 x 2,5 mg
3. Ramipril (ACE-I) 1 x 2,5 mg
H. Laporan Operasi
1. Pasien terbaring dengan anastesi spinal
2. Asepsis lapangan operasi
3. Insisi midline; perdarahan
4. Insisi SBR; lahirkan bayi AS 8/10
5. Injeksi oxytocin pada uterus; lahirkan plasenta
6. Bersihkan kavum uteri
7. Jahit uterus lapis demi lapis
8. Jahit abdomen lapis demi lapis
9. Operasi selesai

I. Follow UP
Follow Up
Tanggal
Selasa,
12-04-2016

Rabu,
13-04-2016

Kamis,
14-04-2016

Jumat,
15-04-2016

Sabtu,
16-04-2016

Minggu,
17-04-2016

Perjalanan Penyakit
S: Sesak (-), pusing (+)
O: TD 110/70mmHg N 80x/menit P
24x/menit S 36,5C
DJJ 136x/menit
S: Sesak (-), pusing (-)
O: TD 120/70mmHg N 84x/menit P
23x/menit S 36,5C
DJJ 148x/menit
S: Sesak (-), pusing(-)
O: TD 110/70mmHg N 86x/menit P
22x/menit S 36,5C
DJJ 128x/menit
S: O: TD 110/70mmHg N 86x/menit P
22x/menit S 36,5C, Hb 8,8g/dl
DJJ 140x/menit,
S: O: TD 100/60mmHg N 86x/menit P
22x/menit S 36,5C

S: O: TD 110/60mmHg N 86x/menit P
22x/menit S 36,5C

Terapi
Tranfusi PRC 1 bag
Konsul jantung
Tranfusi PRC 1 bag
Furosemid 1 amp/12j/IV
Bisoprolol 1x2,5mg
Ramipril 1x2,5mg
Cek darah rutin
Furosemid 1 amp/12j
Bisoprolol 1x2,5mg
Ramipril 1x2,5mg
Rencana SC
Furosemid 1 amp/12j
Bisoprolol 1x2,5mg
Ramipril 1x2,5mg
Operasi SC
Int post op:
- Awasi tanda vital
- Inj cefotaxime 1
gr/12j/IV
- Inj as. Tranexamat 1
amp/8j/IV
- Inj. Tramadol 1 amp /
8j/IV
- Drips metilergometrin 1
amp dlm 500cc RL, 28
tpm
- Inj cefotaxime 1
gr/12j/IV
- Inj as. Tranexamat 1
amp/8j/IV

Senin,
18-04-2016

S: O: TD 110/70mmHg N 86x/menit P
22x/menit S 36,5C

Selasa,
19-04-2016

S: O: TD 120/80mmHg N 86x/menit P
22x/menit S 36,5C

Inj. Tramadol 1 amp /


8j/IV

Aff infus dan kateter


Cefadroxil 2x1
Asam mefenamat 3x1
SF 1x1
GV
BPL

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Pendahuluan
Penyakit jantung merupakan penyebab kematian maternal ketiga dan
penyebab utama kematian dalam penyebab kematian maternal nonobstetrik.
Penyakit jantung terjadi pada 1 4 % dari kehamilan pada perempun-perempuan
yang tanpa gejala kelainan jantung sebelumnya. Beberapa penyakit jantung dan
pembuluh darah, sepeti emboli paru, aritmia, preeklamsia, dan kardiomiopati
peripartum terjadi sebagai komplikasi kehamilan pada perempuan yang sehat
sebelum hamil.1
Selama dua dekade terakhir terjadi kemajuan pesat yang luar biasa dalam
metode dignostik dan terapi penyakit jantung. Peningkataan keberhasilan oprasi
penyakit jantung bawaan mengijinkan pasien dengan kelainan jantung yang
kompleks untuk meneruskan kehidupan mencapai usia dewasa dan menginginkan
hidup normal dengan memiliki anak. Maka, terjadi peningkatan jumlah
perempuan dengan penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung didapat yang
mencapai usia reproduktif, dan banyak perempuan karier yang menunda
kehamilan sehingga kasus hipertensi dan ateroskleresis lebih banyak di jumpai

pada peremuan tersebut bila mereka hamil. Selain itu, perempuan dengan penyakit
jantung perlu dipilihkan metode kontasepsi yang tepat.1

II.

EPIDEMIOLOGI
Spektrum penyakit kardiovaskular pada kehamilan berubah dan
berbeda antar negara. Di negara barat, risiko penyakit kardiovaskular pada
kehamilan telah meningkat karena meningkatnya usia pada kehamilan pertama
dan peningkatan prevalensi risiko kardiovaskular faktor-diabetes, hipertensi,
dan obesitas. Juga pengobatan penyakit jantung bawaan telah meningkat, yang
mengakibatkan peningkatan jumlah wanita dengan penyakit jantung mencapai
usia subur. Di barat negara penyakit jantung ibu sekarang menjadi penyebab
utama kematian ibu selama kehamilan.2
Penyakit kardiovaskuler menyebabkan sekitar 1/3 kasus kematian,
menjadi penyebab utama kematian pada wanita di seluruh dunia. Di Amerika
Utara, sekitar 38,2 juta wanita (34%) hidup dengan penyakit kardiovaskuler.
Beberapa jenis penyakit kardiovaskuler yang dialami wanita sama dengan
pria, yakni penyakit jantung koroner untuk kasus terbanyak, penyakit jantung
katup, penyakit jantung reumatik, penyakit pembuluh darah, kelainan irama
jantung, penyakit jantung kongenital dan penyakit yang mengenai
miokardium. 3
Hipertensi adalah gangguan kardiovaskular yang paling sering
terjadi selama kehamilan, terjadi pada 6-8% dari seluruh kehamilan.
Di negara barat, penyakit jantung bawaan adalah penyakit kardiovaskular

yang paling sering terjadi selama kehamilan (75-82%), dengan lesi shunt
III.

mendominasi (20-65%).2
Perubahan Hemodinamik Selama Kehamilan
Kehamilan menyebabkan perubahan dalam sistem kardiovaskular untuk
memenuhi peningkatan metabolisme ibu dan janin.

Termasuk peningkatan

volume darah dan curah jantung (CO), dan penurunan resistensi vaskuler dan
tekanan darah (BP). 2
Pada wanita hamil akan terjadi probahan hemodinamik karena
peningkatan volume darah sebesar 30-50% yang dimulai sejak trimester pertama
dan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 32-34 minggu dan menetap sampai
aterm. Sebagian besar peningkatan volume darah ini menyebabkan meningkatnya
kapasitas rahim, mammae, ginjal, otot polos dan system vascular kulit dan tidak
memberi beban sirkulasi pada wanita hamil yang sehat. Peningkatan volume
plasma (30-50%) relatif lebih besar dibanding peningkatan sel darah (20-30%)
mengakibatkan terjadinya hemodilusi dan menurunya konsentrasi hemoglobin.
Peningkatan volume darah ini mempunyai 2 tujuan yaitu pertama mempermudah
pertukaran gas pernafasan, nutrien dan metabolit ibu dan janin dan kedua
mengurangi akibat kehilangan darah yang banyak saat kelahiran. 4
Peningkatan volume darah ini mengakibatkan cardiac output saat istirahat
akan meningkat sampai 40%. Peningkatan cardiac output yang terjadi mencapai
puncaknya pada usia kehamilan 20 minggu. Pada pertengahan sampai akhir
kehamilan cardiac output dipengaruhi oleh posisi tubuh. Sebagai akibat
pembesaran uterus yang mengurangi venous return dari ekstremitas bawah. Posisi

tubuh wanita hamil turut mempengaruhi cardiac output dimana bila dibandingkan
dalam posisi lateral kiri, pada saat posisi supinasi maka cardiac output akan
menurun 0,6 l/menit dan pada posisi tegak akan menurun sampai 1,2 l/menit.4
IV.

Penyakit Jantung Pada Kehamilan


Wanita dengan penyakit jantung yang mendasarinya mungkin tidak dapat

mengkompensasi perubahan-perubahan yang terjadi selama kehamilan, dan


disfungsi ventrikel menyebabkan gagal jantung kardiogenik. Beberapa wanita
dengan disfungsi jantung yang berat bisa mengalami gagal jantung sebelum
pertengahan kehamilan. Di sisi lain, gagal jantung dapat berkembang setelah 28
minggu ketika kehamilan iinduksi hypervolemia dan cardiac output mencapai
maksimum. Dalam kebanyakan, gagal jantung berkembang saat masa nifas.
Dalam 542 wanita dengan penyakit jantungdilaporkan oleh Etheridge dan
Pepperell (1977), delapan dari 10 ibu mengalami kematian selama masa nifas.5
Tidak ada tes klinis yang berlaku untuk secara akurat mengukur kapasitas
fungsional jantung. Klasifikasi klinis dari New York Heart Association (NYHA)
pertama kali diterbitkan pada 1928, dan direvisi untuk kedelapan kalinya pada
tahun 1979. Klasifikasi ini didasarkan pada kecacatan yang terjadi masa lalu dan
yang sekarang dan tak terpengaruh oleh tanda-tanda fisik.
a.
b.
c.
d.

Kelas I Keadaan tanpa gejala


Kelas II Gejala ringan hanya pada aktivitas berat
Kelas III Gejala dengan aktivitas ringan
Kelas IV Gejala pada saat istirahat

Tabel 1. Risiko pada ibu yang berhubungan dengan kehamilan. 6

10

V.

Diagnosis kardiovaskular pada kehamilan


Prosedur berikut ini relevan untuk diagnosis dan pengelolaan CVD
pada kehamilan.
a. Anamnesis dan gejala klinis
Beberapa gangguan dapat di identifikasi dengan anamnesis dan
riwayat keluarga, khususnya kardiomiopati, sindrom Marfan, penyakit
jantung bawaan, kematian mendadak saat remaja, dan katekolaminergik
takikardia ventrikel (VT) atau sindrom Brugada. Penting untuk bertanya
secara spesifik tentang kemungkinan kematian mendadak dalam keluarga.
Ketika dyspnea terjadi selama kehamilan atau ketika murmer patologis
baru terdengar, indikasi dilakukan echocardiography. Penting juga untuk

11

mengukur tekanan darah, mencari proteinuria, terutama dengan riwayat


atau keluarga hipertensi atau pre-eklampsia. Oksimetri harus dilakukan
pada pasien dengan penyakit jantung bawaan. 2
1. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG sangat aman dan dapat membantu
menjawab pertanyaan yang spesifik. Sebagian besar pasien hamil
memiliki

elektrokardiogram

yang

normal.

Kehamilan

dapat

menyebabkan interpretasi dari variasi gelombang ST-T lebih sulit dari


yang biasa, Depresi segmen ST inferior sering didapati pada wanita
hamil normal.4
2. Echocardiography
Karena echocardiography tidak melibatkan paparan radiasi,
mudah untuk dilakukan, dan dapat diulang sesering yang diperlukan,
sehingga menjadi alat yang penting selama kehamilan dan disukai dan
merupakan metode skrining untuk menilai fungsi jantung.2
3. Echocardiography transesofageal
Transduser

multiplane

telah

membuat

echocardiography

transesofageal dengan metode ekokardiografi sangat berguna dalam


penilaian orang dewasa dengan, misalnya, penyakit jantung bawaan
yang kompleks. echocardiography transesofageal, meskipun jarang
diperlukan, adalah relatif aman selama kehamilan.2
4. Exercise testing

12

Exercise testing ini berguna untuk menilai secara objektif


kapasitas fungsional, kronotropik dan respon BP, serta Latihan untuk
menginduksi aritmia. Hal ini telah menjadi bagian integral dari tindak
lanjut dari perkembangan pasien penyakit jantung bawaan seperti
pasien dengan penyakit jantung katup tanpa gejala. Harus dilakukan
pada pasien dengan penyakit jantung yang diketahui, sebaiknya
dilakukan sebelum kehamilan untuk membantu dalam penilaian
risiko.2
VI.

Kehamilan dengan Penyakit Jantung Bawaan


a. Anatomi dan fisiologi sirkulasi (Atrial Septal Defect/ ASD)
ASD merupakan penyakit jantung bawaan asianotik dengan lesi shunt
dari kiri ke kanan7. Gangguan hemodinamik yang terjadi pada ASD
disebabkan oleh pirau kiri ke kanan akibat adanya defek (lubang) pada dinding
atrium jantung. Akibatnya, darah dari atrium kiri yang seharusnya masuk ke
ventrikel kiri, akan masuk ke atrium kanan dan akhirnya ke ventrikel kanan.
Jika lubangnya cukup besar, dapat meningkatkan beban volume di jantung
bagian kanan.8

13

b. Gambar
Manifestasi
klinis
1. (A)
Aliran darah normal (B) aliran darah dengan patent foramen
ovale salah satu bentuk dari atrial septal defek.9
Atrial septal defect (ASD) adalah penyakit jantung bawaan yang
paling umum dan terlihat selama kehamilan dan umumnya asimtomatik. Dua
komplikasi yang signifikan terlihat dengan ASD adalah aritmia dan gagal
ventrikel.6
Hipervolemia dan peningkatan curah jantung berhubungan dengan
kehamilan memperkuat tekanan shunt kiri ke kanan melalui ASD, dan dengan
demikian beban yang signifikan dibebankan pada ventrikel kanan. Meskipun
beban tambahan ini ditoleransi dengan baik oleh kebanyakan pasien, gagal
jantung kongestif dan kematian telah dilaporkan dengan ASD

14

Dengan demikian, pusat manajemen peripartum pada menghindari


perubahan resistensi pembuluh darah yang meningkatkan derajat shunt. ASD
ditandai dengan aliran darah paru tinggi yang berhubungan dengan tekanan
arteri pulmonalis yang normal. Karena tekanan arteri pulmonalis rendah,
hipertensi pulmonal jarang terjadi. Sebagian besar pasien dengan ASD
mentolerir kehamilan, persalinan. Selama persalinan, penempatan pasien
dalam posisi berbaring lateral, menghindari cairan overload, pemberian
oksigen, dan menghilangkan rasa sakit dengan epidural anestesi, penggunaan
serta profilaksis terhadap bakteri endokarditis, adalah pertimbangan yang
paling penting.6
c. Terapi
Biasanya follow up dua kali selama kehamilan cukup. Untuk defek
tipe secundum, kateter penutupan dapat dilakukan selama kehamilan, tetapi
hanya diindikasikan bila kondisi ibu memburuk (dengan transesofageal atau
ekokardiografi intrakardial bimbingan). Penutupan ASD

yang kecil atau

persisten foramen ovale untuk pencegahan emboli paradoks tidak di


indikasikan. Istirahat yang cukup, pemberian heparin sebagai profilaksis harus
dipertimbangkan.

Pada wanita dengan ASD, preeklamsia dan kecil masa

kehamilan dapat terjadi lebih sering. Pada ASD yang sudah ditangani, tidak
VII.

ada risiko ekstra ditemui.2


Peripartum Kardiomiopati (PPCM)
Saat ini, PPCM adalah diagnosis eksklusi berdasarkan evaluasi jantung
kontemporer dari gagal jantung peripartum. Dalam sebagian besar aspek,

15

PPCM mirip dengan kardiomiopati dilatasi idiopatik yang ditemui pada orang
dewasa tidak hamil.10
National Heart Lung and Blood Institute and the Office of Rare
Diseases menyatakan PPCM jika
(1) gagal jantung timbul pada bulan terakhir kehamilan atau pada 5 bulan
post-partum,
(2) tidak ada penyebab pasti timbulnya gagal jantung
(3) tidak ada penyakit jantung yang ditemukan sebelum kehamilan
(4) disfungsi sistolik yang dapat dipastikan oleh echocardiography dengan
kriteria fraksi ejeksi10
The European Society of Cardiology mendefinisikan Peripartum
Cardiomyopathy (PPCM) sebagai suatu keadaan kardiomiopati idiopatik,
berhubungan dengan kehamilan yang bermanifestasi sebagai gagal jantung karena
disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan terakhir
kehamilan sampai 5 bulan masa postpartum pada wanita tanpa penyakit
kardiovaskuler lain. Diagnosis PPCM adalah suatu diagnosis eksklusi, dapat tidak
disertai dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya selalu <45%. 2,11
a. Epidemiologi
Insiden dari PPCM bervariasi dari 1: 300-1: 4000 kehamilan, berkaitan
dengan genetik dan / atau budaya. Faktor predisposisi multiparitas dan jumlah
persalinan, riwayat keluarga, etnis, merokok, diabetes, hipertensi, preeklampsia malnutrisi, usia ibu atau kehamilan remaja, dan berkepanjangan
penggunaan b-agonis. Etiologi PPCM masih belum pasti; infeksi, inflamasi,
dan proses autoimun mungkin memainkan peran.2
b. Faktor resiko
Secara garis besar, faktor risiko PPCM diidentifikasi berupa penyakit
yang menyebabkan gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi (tekanan darah

16

>140/90 mmHg setelah kehamilan minggu ke-20), diabetes melitus, dan


merokok. Sedangkan faktor risiko yang berhubungan dengan kehamilan antara
lain, umur saat hamil >32 tahun, multipara (>3 kali hamil), kehamilan
multifetal, preeclampsia, penggunaan obatobatan untuk membantu proses
melahirkan, dan malnutrisi terutama obesitas (BMI >30).2
c. Etiologi PPCM
Beberapa hipotesis telah diajukan namun tidak ada yang dapat menjadi
penjelasan utama bagi semua kasus PPCM. PPCM diketahui mempunyai
patogenesis yang melibatkan banyak faktor.12
1. Stres Oksidatif
Data baru menunjukkan keterlibatan stress oksidatif, prolactincleaving protease cathepsin D, dan prolaktin pada patofisiologi PPCM.
Stres oksidatif adalah suatu stimulus poten untuk mengaktivasi Cathepsin
D dan Matrix Metalloproteinase-2 (MMP-2), suatu enzim yang dapat
menggenerasi prolaktin 16 kDa. Belakangan ini ditemukan korelasi erat
antara N-terminal brain natriuretic peptide (NTproBNP), suatu marker
tingkat stres dinding ventrikel dan gagal jantung, prolaktin, dan marker
untuk stres oksidatif (LDL teroksidasi) dan inflamasi (interferon-gama).
2. Prolaktin, Prolaktin 16 Kda dan Katepsin D
Stres oksidatif sebagai trigger aktivasi cathepsin D dalam
kardiomiosit akan memotong prolactin menjadi angiostatic and proapoptotic subfragment. Pasien PPCM akut mempunyai kadar low density
lipoprotein (LDL) serum tinggi (suatu indikasi stres oksidatif tinggi) dan
juga peningkatan kadar serum katepsin D yang teraktivasi, prolaktin total
dan fragmen prolaktin 16kDa yang bersifat angiostatik.

17

Pada penelitian mencit, fragmen prolaktin 16 kDa mempunyai efek


merusak kardiovaskular yang dapat menjelaskan patofisiologi PPCM.
Fragmen tersebut menginhibisi proliferasi dan migrasi sel endotel,
menginduksi apoptosis dan merusak struktur kapiler yang telah terbentuk.
Bentuk prolaktin ini meningkatkan vasokonstriksi dan merusak fungsi
kardiomiosit. Kadar prolaktin 16kDa yang tinggi tanpa keadaan PPCM
telah terbukti merusak mikrovaskuler jantung, menurunkan fungsi jantung
dan meningkatkan dilatasi ventrikel. Efek prolaktin 16kDa berlawanan
dengan efek kardioprotektif prolaktin bentuk lengkap.
3. Miokarditis
Selain stres oksidatif, inflamasi jantung disebut juga miokarditis,
telah diketahui berhubungan dengan PPCM. Salah satu penelitian
hubungan miokarditis dengan PPCM mengemukakan bahwa dari 26
pasien, 8 pasien menunjukkan adanya viral genome pada biopsi
miokardium. Virus tersebut antara lain, parvovirus B19, human herpes
virus 6, Epstein-Barr virus, dan human cytomegalovirus. Penelitian itu
berdasarkan hipotesis bahwa perubahan sistem imun saat hamil dapat
mengeksaserbasi infeksi de novo atau mereaktivasi virus laten pada wanita
hamil, menyebabkan miokarditis yang berujung pada kardiomiopati.
Infeksi virus pada jantung merupakan salah satu etiologi yang
mungkin menyebabkan inflamasi peripartum. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa sejenis cardiotropic enterovirus bertanggung jawab
atas terjadinya PPCM.
4. Autoimun
Serum pasien PPCM ditemukan mempengaruhi maturisasi sel
dendrit in vitro, berbeda dibandingkan dengan serum wanita postpartum

18

sehat. Serum wanita PPCM mengandung titer autoantibodi tinggi


terhadap protein jaringan kardium yang tidak terdapat pada pasien
kardiomiopati idiopatik. Warraich dkk. Menyatakan bahwa tidak seperti
yang ditemukan pada DCM, yaitu up-regulation selektif G3 subclass
immunoglobulin (IgG3s), pada PPCM terdapat kenaikan kelas G dan
semua

subclass

immunoglobulin

terhadap

myosin

heavy

chain.

Autoantibodi berasal dari sel fetal (microchimerism) (yang dapat masuk


ke dalam sirkulasi maternal), dan beberapa protein (seperti aktin dan
miosin) yang dilepaskan oleh uterus selama proses melahirkan telah
terdeteksi pada pasien PPCM. Autoantibodi ini bereaksi dengan protein
miokardium maternal yang kemudian menyebabkan PPCM. Multiparitas
adalah faktor risiko PPCM, menyimpulkan adanya pajanan terhadap
antigen fetal atau paternal dapat menyebabkan respon inflamasi
miokardium abnormal.
5. Genetik
The European Society of Cardiology mengklasifi kasikan PPCM
sebagai suatu bentuk DCM nonfamilial dan nongenetik berhubungan
dengan kehamilan. Tetapi beberapa kasus PPCM telah terbukti
berhubungan dengan faktor genetik.
Beberapa literatur melaporkan wanita PPCM mempunyai ibu atau
saudara perempuan didiagnosis PPCM, ada pula yang melaporkan
hubungan antara first-degree relative berjenis kelamin perempuan. Ada
juga yang melaporkan bahwa perempuan yang mempunyai gen DCM
(dilated cardiomyopahty), dapat berujung pada PPCM setelah kehamilan

19

karena adanya stres hemodinamik. Selain itu, terdapat hubungan antara


wanita dengan keluarga laki-laki yang mempunyai DCM.
d. Manifestasi klinis
Kehamilan normal dihubungkan dengan perubahan fisiologis
sistem kardiovaskuler seperti peningkatan volume darah, peningkatan
kebutuhan metabolik, anemia ringan, perubahan resistensi vaskuler dengan
adanya dilatasi ringan ventrikel dan peningkatan curah jantung.
Karenanya, awal manifestasi klinis PPCM mudah terselubung.
Presentasi klinis PPCM kurang lebih sama dengan gagal jantung
sistolik sekunder terhadap kardiomiopati. Tanda dan gejala awal PPCM
biasanya menyerupai temuan normal fisiologis kehamilan, termasuk edem
pedis, dyspneu deff ort, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan
batuk persisten.
Tanda dan gejala tambahan pasien PPCM adalah: abdominal
discomfort sekunder terhadap kongesti hepar, pusing, nyeri sekitar jantung
dan epigastrium, palpitasi, pada stadium lanjut didapat hipotensi postural,
peningkatan tekanan vena jugularis, murmur regurgitasi yang tidak
ditemukan sebelumnya, serta gallop S3 dan S4.
Pada mayoritas pasien, 78% gejala didapati pada 4 bulan setelah
melahirkan, hanya 9% pasien menunjukkan gejala pada bulan terakhir
kehamilan.1 Tanda dan gejala paling sering dijumpai pada saat pasien
datang adalah dengan NYHA III atau IV. Kadang pasien datang dengan
aritmi ventrikel atau cardiac arrest
e. Diagnosa
Diagnosis PPCM membutuhkan tingkat ketelitian yang sangat
tinggi. Dilema terbesar adalah kurangnya kriteria klinis tertentu yang
menjadi perbedaan antara PPCM dengan gagal jantung dan penyebab

20

disfungsi sistolik lainnya. Oleh karena itu semua kemungkinan penyebab


lain dilatasi jantung dengan gagal jantung harus benar-benar disingkirkan
sebelum menerima diagnosis klinis PPCM.
Setelah
berbagai
etiologi
telah

disingkirkan,

harus

dipertimbangkan kriteria berikut: keadaan kardiomiopati idiopatik,


berhubungan dengan kehamilan, bermanifestasi sebagai gagal jantung
karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, biasanya terjadi selama 1 bulan
terakhir kehamilan sampai 5 bulan masa postpartum, adalah diagnosis
eksklusi, terjadi pada wanita tanpa penyakit kardiovaskular lain, tidak
harus disertai dilatasi ventrikel kiri, namun fraksi ejeksi biasanya selalu
<45%.12
Pemeriksaan laboratorik pada PPCM biasa nya tidak menunjukkan
abnormalitas kecuali telah terjadi komplikasi hipoksia lanjut. Pemeriksaan
dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial seperti
preeclampsia dan noncardiogenic pulmonary edema.
a. Rontgen Toraks
Diagnosis harus cepat ditegakkan. Dispnea akut, takikardia
atau hipoksia, harus disertai Ro thorax untuk mendeteksi edema
pulmoner,

mencari

etiologi

dan

menyingkirkan

pneumonia;

dilaksanakan dengan menggunakan pelindung abdomen.


b. Elektrokardiografi (EKG)
Pada dua penelitan melibatkan 97 pasien Afrika Selatan,
didapatkan 66% mempunyaihipertrofi ventrikel kiri dan 96%
mempunyai gelombang ST-T abnormal. Kadang terdapat aritmia
kordis kronis.1 Studi lain menemukan QRS kompleks memanjang

21

lebih dari 120 ms pada EKG pasien PPCM sebagai predictor


mortalitas.
c. Ekocardiografi
Ekocardiografi merupakan baku emas diagnosis PPCM. Tidak
semua pasien datang dengan dilatasi LV, tetapi LV end-diastolic
diameter >60 mm memprediksi kesembuhan minimal fungsi LV (sama
halnya dengan LVEF <30%). Kriteria diagnosis juga termasuk EF
<45% dan fractional shortening <30%.1 Pencitraan diperlukan untuk
mencari

trombus

yang

terbentuk

akibat

gangguan

LVEF.

Ekocardiografi dianjurkan diulang sebelum pasien pulang, pada 6


minggu, 6 bulan dan kemudian setiap tahun untuk menilai efikasi
terapi medis. Morfologi katup jantung biasanya dalam batas normal,
tetapi dilatasi ventrikel kiri bisa menyebabkan regurgitasi mitral
sekunder terhadap dilatasi anulus. Efusi perikardium minimal dapat
juga ditemukan pada awal dan pertengahan periode postpartum
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Lebih akurat untuk menilai volume ruang jantung dan fungsi
ventrikel dibandingkan ekokardiografi , juga lebih sensitif untuk
melihat trombus. Magnetic resonance imaging dapat mengukur
kontraksi miokard secara segmental dan dapat mengidentifi kasi
perubahan miokard secara detail. Magnetic resonance imaging
menggunakan gadolinium jauh lebih sensitif untuk menyingkirkan
diagnosis PPCM dari miokarditis lainnya, tetapi gadolinium harus
dihindari pada wanita hamil.
f. Terapi

22

Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan


terapi Congestive Heart Failure (CHF) karena disfungsi sistolik, dengan
pengecualian pemberian terapi pada ibu hamil harus dipikirkan efek
toksisitas pada janin. Tujuan akhir penatalaksanaan medis pasien PPCM
adalah memperbaiki oksigenasi dan menjaga cardiac output demi
meningkatkan prognosis ibu dan anak.
Penatalaksanaan awal PPCM adalah istirahat, pembatasan garam,
dan terapi diuretik. Oksigen dapat diberikan lewat face mask atau
continuous positive airway pressure (CPAP) dengan tekanan 5-7,5 cm
H2O untuk membantu meringankan cardiac output dan mendapatkan
saturasi oksigen arteri 95%. Pembatasan garam kurang dari 2 g/ hari
dapat mencegah retensi air, sedangkan loop-diuretic dengan dosis efektif
terkecil dapat menurunkan pulmonary congestion Restriksi cairan kurang
dari 2 L/hari mungkin tidak diperlukan pada kasus PPCM ringan sedang.
Terapi angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) adalah
terapi lini pertama pada wanita postpartum, tetapi kontraindikasi pada ibu
hamil karena efek teratogeniknya terutama pada trimester kedua dan
ketiga, adanya hubungan peningkatan angka abortus, fetopati karena
hipotensi fetus, oligohidramnion-anuria, dan renal tubular dysplasia.
ACE-I dapat dan harus digunakan pada pasien PPCM masa postpartum
dan aman untuk wanita menyusu. Selain ACE-I, angiotensin receptor
blocker (ARB) juga dikontraindikasikan pada saat kehamilan karena efek
toksisitasnya pada janin.
Hydralazine dan nitrat mengurangi afterload dan merupakan terapi
dasar untuk wanita hamil dengan PPCM. Nitrogliserin harus diberikan

23

secara parenteral untuk mengurangi afterload jika tekanan darah sistolik di


atas 110 mmHg. Pemberian dengan titrasi mulai dosis 10-20g/menit
sampai maksimum 200 g/menit. Nitroprusside dikontraindikasikan pada
wanita hamil karena adanya risiko penumpukan thiocyanate dan cyanide
pada fetus.
Dobutamin dan milrinon dapat digunakan untuk memberikan
support inotropic pada pasien dengan cardiac output rendah yang
mempunyai gejala kulit dingin dan lembap, vasokonstriksi sistemik yang
menyebabkan asidosis, gagal ginjal, disfungsi hati, dan gangguan
kesadaran.1,12

Dobutamin

memerlukan

-receptors

untuk

efek

inotropiknya, sedangkan milrinon tidak; hal ini penting dalam terapi


pasien yang juga mendapat -blocker. Milrinon mempunyai sifat
vasodilatasi sistemik dan pulmoner; pada wanita dengan tekanan sistolik
kurang dari 90 mmHg, dobutamin lebih menguntungkan dibanding
milrinon.12 Digoxin, digitalis dengan efek inotropik, aman untuk
kehamilan, dapat digunakan untuk memaksimalkan kontraksi dan kontrol
laju denyut jantung, tetapi kadar dalam serum harus dipantau, karena jika
berlebihan dapat menyebabkan prognosis buruk.
Calcium channel blockers (CCB), kecuali amlodipin, memberikan
efek inotropik negative dan harus dihindari. Amlodipin, suatu CCB
golongan dihidropiridin telah dibuktikan dapat meningkatkan angka
kehidupan pada non-ischemic cardiomyopathy. Pada studi prospective
randomized amlodipine survival evaluation (PRAISE), ditemukan adanya

24

penurunan kadar interleukin-6 yang merupakan proinfl ammatory


interleukin pada plasma.
Beta-blockers, seperti metoprolol, dapat menurunkan denyut
jantung, memperbaiki fungsi diastolik ventrikel kiri dan melindungi
terhadap aritmia. Beta-blockers digunakan sebagaiterapi lini kedua karena
penggunaan jangka panjang pada masa prenatal dapat menyebabkan berat
badan lahir rendah (BBLR) pada bayi, meskipun beta-blocker relatif aman
untuk wanita menyusui.11 -1 selective beta blocker lebih disukai
dibanding-2 receptor blockade, karena secara teori -2 dapat mempunyai
aksi anti-tocolytic
Diuretik harus digunakan secara terbatas pada kehamilan karena
dapat mengurangi peredaran darah plasenta. Diuretik terutama yang
digunakan adalah loop diuretic (furosemide) dan golongan thiazide
(hydrochlorothiazide/ HCT). Aldosteron antagonis, seperti spironolakton,
ditemukan memiliki efek anti-androgenik pada trimester pertama. Karena
efek eplerenon pada fetus manusia tidak dapat diprediksi, maka disarankan
untuk dihindari pemakaiannya pada saat kehamilan. Levosimendan
merupakan agen kardiotropik lain yang dapat memperbaiki cardiac output
dengan meningkatkan respons miofi lamen terhadap kalsium intraseluler,
dan peningkatan kadar kalsium intraseluler. Levosimendan telah terbukti
efektif

meningkatkan

cardiac

output

danmenurunkan

mortalitas.

Levosimendan digunakan per parenteral dengan laju 0,1-0,2 g/kg/menit


pada gagal jantung dengan atau tanpa loading dose 3-12 g/kg dalam 10
menit.

25

Antikoagulan disarankan untuk pasien PPCM, terutama bagi yang


mempunyai ejection fraction <35% dan mempunyai beberapa faktor
risiko, seperti dilatasi ventrikel berat, fibrilasi atrium, dan adanya trombus
muralpada echocardiography atau riwayat adanya trombus. Warfarin
sangat teratogenik pada awal kehamilan dan dapat menyebabkan fetal
warfarin syndrome, sedangkan pemakaian pada trimester kedua dan ketiga
menyebabkan fetal cerebral hemorrhage, microcephaly, buta, tuli, dan
gangguan pertumbuhan. Guideline American College of Cardiology and
the American Heart Association on the management of patients with heart
valve disease mengatakan bahwa jika diperlukan, warfarin mungkin aman
digunakan pada 6 minggu pertama kehamilan, akan tetapi terdapat risiko
embryopathy jika digunakan lebih dari itu. Namun, mengingat banyaknya
risiko yang menyertai pemakaiannya, warfarin sebaiknya digunakan pada
masa postpartum
Low-molecular-weight heparin (enoxaparin) lebih disukai pada
saat kehamilan karena tidak menembus plasenta dan mempunyai risiko
rendah untuk terjadinya osteoporosis dan trombositopenia, selain itu
bioavailabilitas lebih dapat diprediksi. The American Society of
Anesthesiology merekomendasikan bahwa wanita dengan dosis tinggi
LMWH tidak mendapatkan anestesi spinal dan epidural untuk 24 jam
setelah injeksi terakhir. LMWH tidak dapat secara pasti dibalikkan
efeknya dengan protamine. Fresh Frozen Plasma dapat digunakan untuk
menetralkan jika pembedahan diperlukan.

26

Selain itu, dapat pula digunakan low dose unfractionated heparin


(UFH). Pada PPCM dosisnya adalah 5.000 unit UFH subcutan dua atau
tiga kali sehari pada trimester pertama, 7.500 unit di trimester kedua, dan
10.000 unit dua kali sehari di trimester ketiga. Pada dasarnya, pasien
dengan PPCM disarankan untuk mendapatkan terapi antikoagulan sampai
fungsi ventrikel kiri menjadi normal menurut kriteria ekokardiografi .
g. Metode Melahirkan
Pasien PPCM selama kehamilan memerlukan perawatan bersama
spesialis jantung dengan spesialis obstetri ginekologi. Kecuali terdapat
penurunan kondisi maternal atau fetal, tidak diperlukan terminasi
kehamilan lebih awal. Persalinan darurat tanpa memikirkan umur gestasi,
hanya dipertimbangkan pada PPCM berat dan status hemodinamik tidak
stabil. Kemungkinan terbaik untuk ibu dan anak harus didiskusikan oleh
tim yang terdiri dari kardiolog, ahli kandungan, anestesiologis,
neonatologis, dan internis
Pada dasarnya, melahirkan spontan per vaginam lebih dianjurkan
untuk wanita PPCM dengan kondisi jantung terkontrol dan fetus sehat.
Sectio caesarea terencana dianjurkan untuk wanita dalam keadaan kritis
dan memerlukan terapi inotropik atau support mekanis. Pada kala II
melahirkan spontan dapat dibantu menggunakan forsep atau vakum untuk
mempersingkat waktu melahirkan dan mengurangi beba jantung
Komplikasi kardiovaskuler selama proses melahirkan diantaranya
supine hypotension, peningkatan cardiac output, dan kehilangan darah.
Cairan intravena beserta continuous urinary catheter harus terpasang
untuk mencegah overload cairan dan edema pulmoner. Fetus harus

27

dipantau dengan kardiotokografi . Posisi left lateral decubitus (LLD) lebih


dianjurkan untuk memastikan venous return yang memadai dari vena cava
inferior.
Kala III dalam fase melahirkan dapat dibantu dengan pemberian
oxytocin IM. Ergometrin merupakan kontraindikasi. Setelah melahirkan,
auto transfusi darah dari ekstremitas bawah dan uterus yang berkontraksi
dapat meningkatkan preload secara signifikan, dianjurkan pemberian
furosemide iv
h. Menyusui
Dengan dasar penemuan terbaru tentang efek fragmen prolaktin,
menyusui tidak dianjurkan pada pasien yang dicurigai menderita PPCM
atau didiagnosis pasti PPCM. Jika perlu, dapat diberikan ACE-inhibitors
(captopril, enalapril, dan quinapril).
i. Kehamilan Berikutnya
Karena sedikitnya data tentang PPCM, sulit melakukan konseling
individual, tetapi ada nya LVEF <25% pada saat terdiagnosis atau LVEF
tidak kembali normal setelah melahirkan, pasien dengan riwayat PPCM
disarankan untuk tidak hamil lagi. Semua pasien harus diberi informasi
bahwa kehamilan mempunyai efek negatif terhadap fungsi jantung, dan
dapat terjadi gagal jantung yang berujung pada kematian.
Wanita dengan riwayat PPCM harus disarankan menggunakan
metode kontrasepsi karena menghentikan kehamilan mungkin tidak dapat
mencegah PPCM. Intrauterine device/ IUD (copper dan progesterone
releasing IUD) adalah tipe yang paling efektif dan pada jangka panjang
tidak

meningkatkan

risiko

trombo-embolisme.

Kontrasepsi

yang

28

mengandung hormon kombinasi (estrogen dan progestin - bentuk sintetik


progesteron) harus dihindari. Estrogen dapat meningkatkanrisiko tromboembolisme dan harus dihindari, tetapi pemberian progesteron saja aman
dipakai. Metode barrier tidak disaran kan karena tingginya tingkat
kegagalan.

Pilihan

untuk sterilisasi

dapat

dipertimbangkan,seperti

vasektomi, tubal ligation, dan insersi tubal stent.


Jika ingin hamil lagi, dianjurkan menjalani tes echocardiography
yang

dapat

disertai

dobutamin

stress

test.

Dobutamine

stress

echocardiography dapat digunakan untuk menetapkan daya kontraksi


ventrikel kiri pasien yang telah sembuh dari PPCM. Wanita yang
sebelumnya mempunyai riwayat PPCM dan fungsi ventrikel kiri telah
dibuktikan kembali normal pada dobutamin stress echocardiography,
mempunyai kemungkinan 35% untuk kembali mengidap PPCM pada
kehamilan berikutnya.15 Jika hasil yang didapat adalah abnormal atau
tidak terdapat perbaikan, maka kehamilan berikut nya sangat tidak
disarankan.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Ny. R usia 34 tahun dirujuk dengan Kehamilan cukup bulan dengan
penyakit jantung, penyakit jantung yang dialami pasien berupa Atrial Septal
defect (ASD). Keluhan yang dirasakan pasien berupa sesak nafas apabila berjalan
walau dengan jarak yang dekat., keluhan ini dirasakan pasien sejak usia kehamilan
memasuki usia 7 bulan atau sekitar 28 minggu. Kehamilan ini bagi pasien
merupakan kehamilan ke-4, namun pada kehamilan sebelum-sebelumnya pasien

29

tidak pernah merasakan gejala atu keluhan seperti ini. Pasien menyangkal
memiliki penyakit jantung, atau riwayat keluarga dengan penyakit jantung.
Pada pasien ditemukan pemeriksaan tanda vital berupa Tekanan darah
110/70 mmHg, nadi : 86x/menit,

Pernapasan 24x/menit, Suhu 36,5. Pada

pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis dan pada pemeriksaan jantung


didapatkan bunyi jantung S1/S2 reguler, dan displaced apex.
Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb 6,2 g/dl. Kemudian pada pemeriksaaan
echocardiografi ditemukan kellainan berupa ASD uk 6,8 mm, Dilatasi LV,
disfungsi sistolik.
Dari gejala yang dikemukakan pasien saat anamnesis, pasien didiagnosa
sebagai Peripartum kardiomiopati (PPCM). PPCM adalah diagnosis eksklusi
berdasarkan evaluasi jantung kontemporer dari gagal jantung peripartum.
National Heart Lung and Blood Institute and the Office of Rare Diseases
menyatakan PPCM jika
a. gagal jantung timbul pada bulan terakhir kehamilan atau pada 5 bulan
post-partum,
b. tidak ada penyebab pasti timbulnya gagal jantung
c. tidak ada penyakit jantung yang ditemukan sebelum kehamilan
d. disfungsi sistolik yang dapat dipastikan oleh echocardiography dengan
kriteria fraksi ejeksi
Presentasi klinis PPCM kurang lebih sama dengan gagal jantung sistolik
sekunder terhadap kardiomiopati. Tanda dan gejala awal PPCM biasanya
menyerupai temuan normal fisiologis kehamilan, termasuk oedem pedis, dyspneu
deff ort, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk persisten. Pada

30

pasien diemukan gejala berupa dyspneu deff ort, yaitu pasien merasa kelelahan
dan sesak nafas apabila beraktivitas atau berjalan walau dengan jarak yang dekat
namun keluhan ini berkurang dengan istirahat.
Pada pasien ini memenuhi kriteria bahwa gagal jantung muncul pada bulan
terakhir kehamilannya yaitu saat usia kehamlan memasuki usia 7 bulan, tidak ada
penyebab pasti timbulnya gagal jantung, tidak ada penyakit jantung yang
ditemukan

sebelum kehamilan, dan

ditemukan disfungsi sistolik

pada

pemeriksaaan echocardiografi.
Pada pasien ini juga ditemukan penyakit jantung bawaan yaitu Atrial
Septal Defect (ASD). ASD merupakan penyakit jantung bawaan asianotik dengan
lesi shunt dari kiri ke kanan. Gangguan hemodinamik yang terjadi pada ASD
disebabkan oleh pirau kiri ke kanan akibat adanya defek (lubang) pada dinding
atrium jantung. Adanya ASD ini tentu akan memeperberat beban kerja jantung.
Namun pasien tidak mengetahui adanya penyakit jantung bawaan yang diderita
selama ini, pasien mengetahui menderita ASD saat melakukan pemeriksaan echo.
ASD yang dimilki penderita berukuran 6,8 mm. penyakit jantung bawaan juga
memiliki risiko pada wanita hamil, namun berdasarkan klasifikasiya bahwa
penyakit jantung bawaan ASD memiliki risiko komplikasi yang rndah yaitu < 1%,
sehingga kemilan dapat diteruskan apabila tidak terdapat komplikasi.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatka Hb 6,2 g/dl sehingga pasien
diberikan transfuse PRC 2 unit 1 hari 1 kantong untuk mengurangi beban kerja
jantung. Terapi dari jantung diberikan diuretic (furosemid) 1 ampul/12jam/iv.

31

Penatalaksanaan awal PPCM adalah istirahat, pembatasan garam, dan terapi


diuretic. Namun diuretik harus digunakan secara terbatas pada kehamilan karena
dapat mengurangi peredaran darah plasenta. Betabloker (bisoprolol) 2,5 mg 1x1,
menurunkan denyut jantung, memperbaiki fungsi diastolik ventrikel kiri dan
melindungi terhadap aritmia. Beta-blockers digunakan sebagai terapi lini kedua
karena penggunaan jangka panjang pada masa prenatal dapat menyebabkan berat
badan lahir rendah (BBLR) pada bayi.

BAB IV
KESIMPULAN

Penatalaksanaan medis PPCM secara garis besar sama dengan terapi


congestive heart failure (CHF) karena adanya disfungsi sistolik, dengan
pengecualian pada ibu hamil harus dipikirkan efek toksisitas pada janin. Tujuan
akhir penatalaksanaan medis pasien PPCM adalah memperbaiki oksigenasi dan
menjaga cardiac output demi meningkatkan prognosis ibu dan Anak. Terapi
PPCM pada kehamilan harus termasuk pemberian oksigen jika perlu, pembatasan
garam, dan pembatasan intake cairan. Harus dipikirkan pemberian antikoagulan
selama kehamilan untuk mengurangi risiko thrombosis

32

Wanita dengan PPCM yang akan melahirkan memerlukan kerjasama tim


spesialis yang mencakup spesialis jantung dan obstetric ginekologi. Kecuali
terdapat penurunan kondisi maternal atau fetal, tidak diperlukan terminasi
kehamilan lebih awal. Melahirkan spontan dapat dilakukan dengan bantuan
forceps atau vakum dan oxytocin untuk meringankan beban jantung. Menyusui
tidak dianjurkan pada pasien yang dicurigai menderita PPCM atau didiagnosis
pasti PPCM. Pasien dengan riwayat PPCM disarankan tidak hamil lagi jika LVEF
<25% pada saat terdiagnosis atau LVEF tidak kembali normal setelah melahirkan

33

Anda mungkin juga menyukai