68455
Indonesias
Intergovernmental
Transfer
Response
on
Future
Demographic
and
Urbanization
Shifts
11/11/2011
P ENGANTAR
Urbanisasi
dan
perubahan
demografi
telah
menjadi
isu
yang
cukup
sering
dikaitkan
dengan
desain
sistem
transfer
antarpemerintahan
(intergovernmental
transfer
system).
Beberapa
pengaruh
urbanisasi
dan
faktor-faktor
demografi
terhadap
transfer
antarpemerintahan,
maupun
sebaliknya,
telah
cukup
jelas
teridentifikasi.
Tetapi
dalam
kasus
Indonesia,
praktis
belum
ada
penelitian
yang
melihat
interaksi
antara
kedua
hal
ini.
Dokumen
ini
merupakan
pengembangan
dari
dokumen
Grand
Design
Desentralisasi
Fiskal,
dengan
menambahkan
analisis
mengenai
kaitan
isu
urbanisasi
dan
perubahan
demografi
terhadap
sistem
transfer
antarpemerintahan.
Pembahasan
difokuskan
kepada
Dana
Alokasi
Umum
(DAU),
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK),
dan
Dana
Bagi
Hasil
(DBH),
sebagai
tiga
dana
transfer
utama.
Bagian
Satu
dokumen
ini
membahas
proyeksi
demografi
dan
tren
urbanisasi
di
Indonesia,
termasuk
juga
teknik
pengelompokkan
yang
digunakan
untuk
membagi
daerah-daerah
(provinsi)
ke
dalam
beberapa
klaster
yang
masing-masing
memiliki
tren
demografi
serta
kapasitas
fiskal
yang
berbeda.
Bagian
Dua
menjabarkan
detil
analisis
dampak
yang
akan
dialami
dan
kebijakan
transfer
antarpemerintahan
yang
sebaiknya
diambil
untuk
dan
oleh
masing-masing
klaster
daerah.
R INGKASAN
E KSEKUTIF
Perubahan
yang
signifikan
di
sisi
demografi/urbanisasi
akan
dialami
oleh
Indonesia
di
masa
datang.
Sistem
transfer
antarpermerintahan
ikut
terpengaruh
karena
dinamikanya
juga
dipengaruhi
dinamika
penduduk
yang
menjadi
basis
pajak
maupun
penerima
layanan/barang
publik.
Fenomena
bonus
demografi
akan
dialami
tiap
daerah
pada
kurun
waktu
yang
berbeda.
Diperlukan
suatu
respon
kebijakan
agar
tiap
daerah
dapat
memanfaatkan
momentum
bonus
demografinya,
sekaligus
memaksimalkan
layanan/barang
publik
yang
sesuai
untuk
tiap
karakter
populasi
(misalnya,
populasi
produktif,
atau
populasi
menua).
Untuk
mempermudah
analisis,
33
daerah
provinsi
dibagi
ke
dalam
4
klaster,
yang
dibedakan
berdasarkan
karakter
demografi
dan
kapasitas
fiskal.
Dalam
analisa
ini,
karakter
demografi
dilihat
dari
pencapaian
window
of
opportunity
(WO)
oleh
setiap
daerah,
yaitu
titik
dalam
bonus
demografi
ketika
rasio
ketergantungan
populasi
paling
rendah.
Dampak
urbanisasi/demografi
serta
respon
kebijakan
desentralisasi
fiskal
untuk
setiap
klaster
dapat
diformulasikan
berdasarkan
respon
kebijakan
transfer
yang
secara
ringkas
dapat
disampaikan
sebagai
berikut:
Klaster
1:
sudah
mencapai
WO,
kapasitas
fiskal
tinggi
Untuk
dapat
memanfaatkan
kondisi
WO
secara
optimal,
maka
respon
kebijakan
adalah
meningkatkan
nilai
tambah
faktor
produksi
(pelatihan,
OSS
untuk
investasi)
melalui
alokasi
DAK
yang
lebih
tinggi
dari
DAU.
Klaster
2:
sudah
mencapai
WO,
kapasitas
fiskal
rendah
Selain
respon
DAK
yang
lebih
tinggi,
pihak
swasta
harus
diberikan
insentif
fiscal
maupun
non-
fiskal
untuk
meningkatkan
perannya
dalam
perekonomian
daerah.
Klaster
3:
belum
mencapai
WO,
kapasitas
fiskal
tinggi
Pengelolaan
keuangan
daerah
dengan
sasaran
terwujudnya
efisiensi
alokasi,
penajaman
prioritas,
dan
anggaran
berbasis
kinerja.
Klaster
4:
belum
mencapai
WO,
kapasitas
fiskal
rendah
Bantuan
investasi
untuk
Pemerintah
Daerah
serta
kebijakan
khusus
lainnya
untuk
tiap
daerah,
tergantung
dari
tantangan
yang
dihadapi
daerah
tersebut.
Kriteria
rinci
untuk
pembagian
klaster
dapat
dibaca
dalam
Bagian
Satu,
sedangkan
respon
kebijakan
untuk
tiap
dana
transfer
diperinci
pada
Bagian
Dua.
Selain
rekomendasi
yang
diberikan,
juga
diusulkan
agar
seluruh
dana
transfer
ad-hoc
yang
kini
ada,
dileburkan
ke
dalam
Dana
Alokasi
Khusus,
termasuk
Hibah.
Pengelompokan
yang
demikian
akan
konsisten
dengan
definisi
DAK
yang
dicantumkan
dalam
perundang-undangan,
serta
meminimalkan
intervensi
politik
dan
biaya
inefisiensi
yang
ditimbulkan
olehnya.
Proyeksi
Tren
Demografi
dan
Urbanisasi
Indonesia
Bagian
Satu
BAB
1
BONUS
DEMOGRAFI
T IN JA U A N
U M U M
Bonus
demografi,
atau
sering
juga
disebut
dengan
istilah
demographic
dividend
atau
demographic
gift,
dapat
diartikan
sebagai
keuntungan
ekonomis
yang
disebabkan
1
oleh
menurunnya
rasio
ketergantungan
sebagai
hasil
dari
proses
penurunan
fertilitas
jangka
panjang
(Adioetomo
2005,
p.23).
Beberapa
studi
lainnya
seperti
Bloom
et
al.
(2011,
p.1-2)
dan
Bloom
et
al.
(2003,
p.25),
memasukkan
pula
faktor
turunnya
tingkat
mortalitas,
di
samping
penurunan
fertilitas,
sebagai
penyebab
terjadinya
transisi
demografi
tersebut.
Dengan
bergesernya
distribusi
usia
penduduk
dari
penduduk
usia
non
produktif
ke
penduduk
usia
produktif
(atau
usia
kerja),
maka
investasi
yang
sebelumnya
ditujukan
untuk
memenuhi
kebutuhan
penduduk
termuda
dalam
populasi
dapat
dialihkan
untuk
pembangunan
ekonomi
dan
kesejahteraan
keluarga
(Ross
2004,
p.1).
Bonus
demografi
ini
sudah
dinikmati
oleh
negara-negara
di
Asia
Timur
seperti
China,
Jepang,
dan
Korea
selama
periode
1960-1990
(Bloom
et
al.
1999;
Bloom
dan
Finlay
2009),
yang
ditandai
dengan
tingginya
tingkat
pertumbuhan
pendapatan
per
kapita
di
negara-negara
tersebut.
Ketika
periodenya
diperpanjang
menjadi
1960-2005,
hasil
estimasi
tetap
menunjukkan
bahwa
dampak
transisi
demografi
masih
signifikan,
meskipun
dampaknya
di
Jepang
terlihat
mengalami
penurunan.
Di
lain
pihak,
pada
periode
yang
sama,
di
negara-negara
Asia
Tenggara
seperti
Filipina,
Thailand,
Singapura,
termasuk
Indonesia,
yang
mulai
mengalami
kenaikan
proporsi
penduduk
usia
kerja
sejak
tahun
1980-an,
kontribusi
transisi
demografi
tersebut
malah
lebih
besar
lagi.
Sekitar
40
persen
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
selama
periode
1960-2005
bersumber
dari
naiknya
populasi
dan
proporsi
penduduk
usia
kerja
(Bloom
dan
Finlay
2009).
Kesempatan
untuk
menikmati
bonus
demografi
masanya
terbatas.
Seperti
terlihat
pada
Grafik
1.1,
porsi
populasi
penduduk
usia
kerja
di
negara-negara
Eropa
dan
Amerika
Utara
sudah
mengalami
penurunan,
sementara
negara-negara
di
region
lainnya,
kecuali
Afrika,
tinggal
memiliki
kesempatan
sekitar
1-2
dekade
lagi.
Peluang
untuk
meraih
bonus
demografi
terbesar
terjadi
pada
periode
yang
dinamakan
window
of
opportunity,
yakni
menjelang
berakhirnya
periode
emas
transisi
demografi.
Pada
periode
ini,
angka
rasio
ketergantungan
berada
pada
titik
yang
terendah,
biasanya
di
bawah
50%
(Adioetomo
2005,
p.25).
Artinya,
jumlah
1
Rasio
ketergantungan
(atau
dependence
ratio)
adalah
perbandingan
antara
jumlah
populasi
non
usia
kerja
dengan
jumlah
populasi
usia
kerja.
Populasi
usia
kerja
berada
pada
rentang
usia
15-64
tahun,
sementara
populasi
non
usia
kerja
terbagi
dua,
yakni
populasi
anak-anak
(0-14
tahun)
dan
populasi
orang
tua
(usia
65
tahun
ke
atas).
penduduk
usia
kerja
saat
itu
lebih
dari
dua
kali
lipat
penduduk
non
usia
kerja
(atau
rasio
penduduk
usia
kerja
per
non
usia
kerja
adalah
lebih
dari
dua).
Grafik
1.1
Proyeksi
Porsi
Populasi
Penduduk
Usia
Kerja
Berdasarkan
Region
Negara
Persen
Tahun
Tahun
Tahun
T
Sumber:
World
aPopulation
Prospects
(United
Nations
2007)
dalam
Bloom
dan
h
Finlay(2009,
p.48)
u
Perlu
diingat
bahwa
bonus
demografi
bukanlah
sesuatu
yang
otomatis
akan
dapat
dinikmati
oleh
setiap
negara
yang
mengalami
transisi
demografi.
Bloom
et
al.
(2003,
p.39-42),
Ross
(2004,
p.3),
dan
Adioetomo
(2005,
p.34-35)
mengemukakan
bahwa
minimal
ada
tiga
saluran
utama
dari
pengaruh
transisi
demografi
ke
pertumbuhan
ekonomi,
yakni
melalui:
1) peningkatan
tenaga
kerja;
2) peningkatan
tingkat
tabungan
nasional;
dan
3) peningkatan
modal
manusia.
Secara
demografis,
peningkatan
tenaga
kerja
di
atas
bisa
berasal
dari
dua
sumber.
Sumber
pertama
dari
generasi
anak-anak
yang
lahir
di
saat
periode
kelahiran
tinggi
yang
kemudian
di
saat
transisi
demografi
memasuki
usia
produkitf
dan
masuk
angkatan
kerja.
Sumber
kedua
berasal
dari
para
wanita
terdidik
yang
dengan
lebih
sedikit
anak
lebih
banyak
memasuki
dunia
kerja
di
luar
rumah.
Migrasi
sebenarnya
bisa
pula
ikut
meningkatkan
(atau
mengurangi)
jumlah
tenaga
kerja,
namun
migrasi
ini
dapat
terjadi
terlepas
dari
ada
tidaknya
transisi
demografi.
Sementara
itu
peningkatan
tingkat
tabungan
masyarakat
diharapkan
dapat
terjadi
dengan
semakin
banyaknya
orang
dewasa
pada
usia
kerja
yang
mampu
menghasilkan
lebih
banyak
pendapatan.
Peningkatan
tabungan
lainnya
bisa
pula
diharapkan
dari
meningkatnya
kemampuan
menabung
tenaga
kerja-tenaga
kerja
ini
saat
mereka
mendekati
usia
40-an.
Pada
saat
itu,
dukungan
finansial
untuk
anak-anak
mereka
kemungkinan
sudah
mulai
berkurang.
Dengan
demikian,
terkait
dengan
ketiga
saluran
di
atas,
maka
tingkat
kapitalisasi
transisi
demografi
mungkin
akan
berbeda-beda
di
setiap
negara
tergantung
pada
beberapa
faktor
berikut
(Bloom
et
al.
2011,
p.14-15,
19-20;
Bloom
et
al.
2003,
p.74-
78):
1. Kualitas
institusi
pemerintahan.
Hal
ini
terkait
dengan
efisiensi
dan
efektivitas
dari
kemampuan
pemerintah
dalam
menjalankan
berbagai
kebijakan
untuk
merealisasikan
bonus
demografi.
2. Ketersediaan
lapangan
pekerjaan
produktif
yang
dapat
menyerap
peningkatan
angkatan
kerja.
Hal
ini
terkait
dengan
ketersediaan
lapangan
pekerjaan
yang
memberikan
nilai
tambah
tinggi
bagi
perekonomian,
sehingga
dapat
menyerap
angkatan
kerja
baru.
3. Manajemen
makroekonomi.
Inflasi
yang
tinggi
dan
stabilitas
makro
yang
buruk
bisa
menimbulkan
ketidakpastian
dalam
penilaian
arus
uang
di
masa
depan,
sehingga
hal
ini
dapat
menghalangi
dan
menghambat
upaya
peningkatan
tabungan
masyarakat
dan
investasi
pada
aset-aset
baru
yang
produktif.
Demikian
pula,
makroekonomi
yang
dikelola
dengan
rasio
utang
per
PDB
yang
tinggi
dapat
berpengaruh
negatif
pada
penurunan
kemampuan
pemerintah
untuk
menjalankan
program-programnya
secara
efektif.
4. Investasi
pada
perbaikan
akses
dan
kualitas
di
bidang
pendidikan
dan
kesehatan.
Kebijakan-kebijakan
ini
akan
terkait
dengan
efektivitas
dalam
pembentukan
modal
manusia
serta
keberhasilan
dalam
menyiapkan
tenaga
kerja
yang
tak
hanya
besar
secara
jumlah,
tetapi
juga
lebih
produktif.
5.
6.
Kebijakan
di
area
pasar
keuangan
untuk
menarik
lebih
banyak
tabungan
yang
tersalurkan
ke
investasi-investasi
yang
produktif.
Kebijakan
ini
bisa
meliputi
modernisasi
institusi
keuangan
hingga
lebih
kompetitif,
transparan,
efisien,
dan
terpercaya.
Keterbukaan
perekonomian.
Perdagangan
internasional
bisa
membuka
lebih
banyak
lapangan
pekerjaan
di
industri-industri
yang
berorientasi
ekspor.
Bonus
demografi
tidak
dapat
berulang
di
dalam
satu
siklus
demografi.
Saat
window
of
opportunity
berakhir,
perekonomian
secara
otomatis
mengikuti
siklus
demografi
berikutnya.
Dengan
angka
fertilitas
yang
sudah
berada
pada
tingkat
yang
rendah,
bahkan
di
beberapa
negara
Eropa
dan
di
Jepang
tingkatnya
sudah
di
bawah
replacement
rate,
dan
disertai
dengan
angka
harapan
hidup
yang
makin
tinggi,
populasi
kemudian
mengalami
periode
penuaan
(ageing
population).
Angka
ketergantungan
mulai
meningkat
kembali
sebagai
konsekuensi
dari
meningkatnya
jumlah
penduduk
tua
di
dalam
populasi,
sementara
di
lain
pihak
pergantian
penduduk
usia
kerja
dari
penduduk
yang
sebelumnya
berusia
muda
sudah
tidak
sebanding
(Bloom
et
al.
2011,
p.16-17).
Penuaan
populasi
yang
tidak
dapat
terhindarkan
tak
hanya
akan
meningkatkan
angka
ketergantungan,
tapi
juga
diprediksikan
akan
membawa
dampak
penurunan
kinerja
pada
perekonomian
(Bloom
dan
Finlay
2009,
p.61).
Tanpa
persiapan
yang
memadai,
kebutuhan
akan
jaminan
sosial
seperti
pensiun
dan
perlindungan
kesehatan
juga
akan
sulilt
terantisipasi.
Terlepas
dari
potensi
implikasi
negatif
dari
periode
penuaan
populasi,
bonus
demografi
kedua
sebenarnya
masih
mungkin
diraih
pada
periode
ini
melalui
pemberdayaan
kelompok
lanjut
usia
yang
berpendidikan,
sehat,
dan
produktif
(Nazara
2010,
p.7).
Lebih
lanjut
lagi,
Bloom
et
al.
(2011,
p.18-19)
mengemukakan
alasan
lain
dari
kemungkinan
munculnya
bonus
demografi
yang
kedua.
Pertama,
meningkatnya
usia
harapan
hidup
dapat
cenderung
mendorong
pekerja
melakukan
antisipasi
dengan
menaikkan
tabungan.
Peningkatan
tabungan
kemudian
dapat
meningkatkan
investasi
dan
membawa
dampak
yang
positif
untuk
pertumbuhan
ekonomi.
Kedua,
dengan
fakta
bahwa
di
kebanyakan
negara
berkembang
banyak
terdapat
pekerja
yang
underemployed
atau
bahkan
secara
efektif
bisa
dikatakan
menganggur,
maka
pekerja-pekerja
ini
diharapkan
dapat
menggantikan
tenaga-
tenaga
kerja
yang
pensiun.
Ketiga,
penurunan
populasi
anak-anak
di
periode
ageing
sudah
menjadi
keniscayaan.Dengan
kondisi
seperti
ini,
baik
pemerintah
maupun
keluarga
sebenar-nya
berkesempatan
untuk
dapat
berinvestasi
lebih
banyak
pada
kesehatan
dan
pendidikan
anak-anaknya.
Investasi
seperti
ini
dapat
menghasilkan
angkatan
kerja
yang
lebih
produktif.
Terakhir,
dunia
swasta
bisa
memainkan
peran
pula
dalam
mengantisipasi
periode
penuaan
populasi
dengan
membuat
perubahan-
perubahan
yang
mendorong
tenaga
kerja-tenaga
kerja
tua
untuk
tetap
berada
di
dalam
angkatan
kerja
dan
membatasi
terjadinya
penurunan
produktivitas
mereka.
K O N D IS I
D A N
P E R K E M B A N G A N
D E M O G R A F I
D I
I N D O N E S IA
Pasca
kemerdekaan
Indonesia
di
periode
1950-an,
tingkat
kelahiran
di
Indonesia
relatif
tinggi.
Penemuan
teknologi
kesehatan
seperti
obat-obat
antibiotik
yang
berhasil
dimanfaatkan,
di
lain
pihak,
berhasil
menurunkan
angka
kematian,
terutama
kematian
bayi.
Sebagai
akibatnya,
bayi
yang
lahir
pada
periode
ini
lebih
banyak
yang
tetap
hidup
dan
bertahan
hingga
usia
lanjut.
Selanjutnya
dengan
tingkat
fertilitias
yang
masih
tinggi,
angka
kelahiran
terus
mengalami
peningkatan.
Bayi
yang
lahir
di
saat
tingkat
kelahiran
sedang
tinggi
terus
hidup
dan
menyebabkan
penumpukan
jumlah
anak
di
bawah
15
tahun
pada
periode
tersebut
(Adioetomo
2005,
p.30).
Seperti
ditunjukkan
dalam
Grafik
1.3,
kenaikan
angka
kelahiran
di
satu
sisi,
dan
penurunan
angka
kematian
di
sisi
yang
lain,
menyebabkan
laju
pertumbuhan
penduduk
Indonesia
terus
mengalami
peningkatan.
Puncaknya
terjadi
pada
periode
1961-1971,
di
mana
rata-rata
laju
pertumbuhan
penduduk
mencapai
2,3
persen
per
tahun.
Pada
tahun
1971,
angka
fertilitas
sendiri
mencapai
5,6
per
ibu
melahirkan
(Adioetomo
2010).
Grafik
1.3.
Estimasi
dan
Proyeksi
Angka
Kelahiran,
Angka
Kematian,
dan
Laju
Pertumbuhan
Penduduk
Indonesia
per
Tahun
(1950-2050)
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Memasuki
era
tahun
1970
dan
1980-an,
telah
terjadi
peremajaan
angkatan
kerja
yang
berasal
dan
kohor
baby
boom
tahun
1950
dan
1960-an.
Jumlah
angkatan
kerja
secara
keseluruhan
juga
terus
mengalami
peningkatan,
sebagai
akibat
dari
masih
tingginya
tingkat
fertilitas
pada
periode
1971-1980
yang
dibarengi
dengan
terus
menurunnya
tingkat
kematian
bayi.
Angkatan
kerja
muda
maupun
yang
meningkat
ke
usia
yang
lebih
tua
berkontribusi
besar
pada
peningkatan
jumlah
angkatan
kerja
ini.
Kebijakan
pemerintah
dalam
bentuk
Program
Nasional
Keluarga
Berencana
dengan
menanamkan
manfaat
norma
keluarga
kecil
telah
berhasil
menekan
angka
fertilitas
(Adioetomo
2005,
p.31).
Dampaknya,
pada
tahun
1980,
proporsi
jumlah
penduduk
non
produktif
di
bawah
usia
15
tahun
turun
dari
44
persen
pada
tahun
1971
u
m
l
a
h
(
j
u
t
a
)
menjadi
sekitar
41
persen
jumlah
populasi
(lihat
Tabel
1.1).
Selanjutnya,
laju
pertumbuhan
penduduk
pada
periode
1980-1990
berhasil
ditekan,
dari
sekitar
dua
persen
pada
periode-periode
sebelumnya,
hingga
menjadi
1,4
persen.
Fenomena
penurunan
angka
fertilitas
dan
laju
pertumbuhan
ini
terus
berlanjut
hingga
kini.
Selama
periode
1971-2000,
pembangunan
sosial
ekonomi
dan
program
KB
telah
berhasil
menghindarkan
kelahiran
80
juta
penduduk,
sementara
dari
program
KB
saja
diestimasikan
telah
menghindarkan
kelahiran
40
juta
penduduk
(Adioetomo
2010).
Dengan
tren
fertilitas
dan
tingkat
kematian
bayi
yang
diasumsikan
akan
terus
menurun,
maka
telah
dihasilkan
berbagai
estimasi
dan
proyeksi
penduduk
Indonesia
hingga
tahun
2050
seperti
terlihat
pada
Grafik
1.4.
Jumlah
penduduk
total
walau
bagaimana
pun
akan
terus
bertambah
besar
karena
laju
pertumbuhan
penduduk
yang
senantiasa
positif.
Grafik
1.4.
Estimasi
dan
Proyeksi
Penduduk
Indonesia,
1950-2050
Sumber:
Adioetomo
(2010)
T
a
h
P E R U B A H A N
K O M P O S IS I
D E M O G R A F I
D AuN
S IK L U S
n
D E M O G R A F I D I I N D O N E S IA
Siklus
demografi
di
Indonesia
dimulai
saat
terjadi
periode
kelahiran
tinggi
yang
dibarengi
dengan
penurunan
angka
kematian
selama
periode
1950-an
hingga
1970-
an.
Seperti
telah
dikemukakan
sebelumnya,
kondisi
ini
telah
menyebabkan
penumpukan
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
sehingga
di
kedua
periode
tersebut
porsi
penduduk
muda
ini
lebih
dari
40
persen
total
populasi.
Namun
di
sisi
lain,
fenomena
tersebut
juga
melahirkan
kondisi
peremajaan
angkatan
kerja
di
tahun
1970-an.
Kedua
hal
ini
terlihat
jelas
dalam
piramida
penduduk
Indonesia
tahun
1961
dan
1971
(Grafik
1.5
dan
Grafik
1.6).
Grafik
1.6.Piramida
Penduduk
Indonesia
menurut
Umur
dan
Jenis
Kelamin,Sensus
Penduduk
1971
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Seiring
dengan
keberhasilkan
program
KB
dalam
menurunkan
tingkat
fertilitas,
transisi
demografi
di
Indonesia
sudah
dimulai
sejak
tahun
1980-an.
Jumlah
penduduk
usia
kerja
terus
mengalami
peningkatan
dibarengi
dengan
makin
menurunnya
porsi
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
di
dalam
populasi.
Usia
harapan
hidup
ikut
meningkat,
dari
rata-rata
46
tahun
di
tahun
1971
menjadi
52
dan
60
tahun
berturut-turut
di
tahun
1980
dan
1990,
mendorong
penggemukan
porsi
penduduk
usia
kerja
di
dalam
populasi.
Perubahan
komposisi
demografi
ini
makin
jelas
terlihat
pada
piramida
penduduk
tahun
2010
(Grafik
1.7).
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Secara
keseluruhan,
perkembangan
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun,
usia
kerja
(15-64
tahun),
dan
usia
tua
(65+
tahun)
ditunjukkan
pada
Grafik
1.8.
Peningkatan
jumlah
penduduk
usia
kerja
yang
pesat
sejak
tahun
1980-an
terus
diikuti
dengan
penurunan
jumlah
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun.
Jumlah
penduduk
usia
kerja
diproyeksi-kan
akan
mencapai
171
juta
orang
di
tahun
2015
dan
mencapai
puncaknya
pada
tahun
2040
sebanyak
195
juta
orang
sebelum
kemudian
turun
menjadi
191
juta
orang
di
tahun
2050
(lihat
Tabel
1.1).
Sementara
itu,
jumlah
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
diproyeksikan
akan
terus
menurun
meski
jumlahnya
masih
akan
berada
di
kisaran
50
juta
orang
di
tahun
2050.
Sementara
itu
dengan
terus
meningkatnya
angka
harapan
hidup,
di
masa
transisi
demografi,
jumlah
penduduk
di
atas
usia
65
tahun
bergerak
sejalan
dengan
perkembangan
penduduk
usia
kerja
meski
dengan
laju
pertumbuhan
yang
lebih
lambat.
Namun
laju
pertumbuhan
penduduk
di
atas
usia
65
tahun
ini
kemudian
diproyeksikan
akan
lebih
cepat
dari
laju
pertumbuhan
penduduk
usia
kerja
pada
tahun
2040,
sehingga
di
tahun
2050
jumlahnya
diperkirakan
mencapai
49,6
juta
orang
(lihat
Tabel
1.2).
Pertumbuhan
pesat
jumlah
penduduk
lanjut
usia
di
satu
sisi,
dan
perlambatan
jumlah
penduduk
usia
kerja
di
sisi
lain,
akan
menandai
berakhirnya
masa
transisi
demografi
di
Indonesia.
Periode
penuaan
(ageing)
populasi
di
Indonesia
diperkirakan
akan
terjadi
setelah
tahun
2050.
Jumlah
(juta)
Grafik
1.8.Tren
Jumlah
Penduduk
menurut
Usia
Sumber:
Adioetomo
(2010)
Tahun
Indonesia
memiliki
kesempatan
untuk
menikmati
bonus
demografi
selama
periode
transisi
demografi
yang
sebenarnya
sudah
terjadi
sejak
tahun
1980-an
yang
lalu.
Seperti
terlihat
pada
Grafik
1.9,
kenaikan
jumlah
penduduk
usia
kerja
di
periode
ini
cenderung
diikuti
dengan
rasio
ketergantungan
yang
terus
menurun.
Angka
ketergantungan
yang
tinggi
di
tahun
1971,
hingga
mencapai
87
orang
per
seratus
orang
penduduk
usia
kerja,
cenderung
terus
menurun
mengikuti
turunnya
porsi
penduduk
di
bawah
usia
15
tahun
di
dalam
populasi.
Di
tahun
2010,
rasio
ketergantungan
telah
menurun
hingga
di
bawah
50
persen.
Artinya,
jumlah
penduduk
usia
kerja
sudah
lebih
dari
dua
kali
lipat
penduduk
non
usia
kerja.
Dari
hasil
proyeksi
yang
ada,
rasio
ketergantungan
ini
masih
akan
terus
menurun.
Peluang
untuk
meraih
bonus
demografi
terbesar
pada
periode
window
of
opportunity
diperkirakan
bisa
dinikmati
Indonesia
di
antara
tahun
2020
dan
2030.
Pada
periode
tersebut,
rasio
ketergantungan
telah
berada
pada
tingkat
terendah.
Grafik
1.9.Rasio
Ketergantungan
Penduduk
Usia
0-14,
65+,
dan
Total
Sumber:
Adioetomo
(2005,
p.32)
Meskipun
pada
masa
transisi
demografi,
terlebih
lagi
di
saat
terbukanya
window
of
opportunity,
terbuka
kesempatan
besar
untuk
meraih
bonus
demografi,
namun
seperti
dikemukakan
sebelumnya,
bonus
demografi
ini
tidaklah
otomatis
terjadi
atau
dapat
secara
mudah
dikapitalisasi.
Hasil
estimasi
Bloom
dan
Finlay
(2009)
menyatakan
bahwa
Indonesia
telah
meraih
bonus
demografi
bersama
dengan
negara-negara
Asia
Tenggara
lainnya.
Sekitar
40
persen
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
selama
periode
1950-2005
bersumber
dari
naiknya
populasi
dan
proporsi
penduduk
usia
kerja
dalam
populasi.
Namun
hasil
tersebut
tentu
saja
belum
memperlihatkan
seberapa
optimal
perekonomian
Indonesia
dalam
memanfaatkan
bonus
demografi.
Adioetomo
(2005,
p.35-42)
memperlihatkan
bahwa
di
masa
transisi
demografi
ini,
pengangguran
terbuka
masih
terus
meningkat,
sementara
proporsi
pekerja
yang
bekerja
di
sektor
informal
belum
dapat
diturunkan.
Akibatnya,
pemupukan
tabungan
di
masyarakat
untuk
investasi
belum
bisa
diharapkan.
Untuk
rentang
waktu
sampai
dengan
tahun
2015,
diperkirakan
wajah
angkatan
kerja
Indonesia
masih
akan
diwarnai
oleh
banyaknya
proporsi
pekerja
yang
berpendidikan
rendah
tanpa
keterampilan.
Lalu
pada
akhirnya,
window
of
opportunity
juga
hanya
dapat
terjadi
jika
upaya
penurunan
fertilitas
terus
dilakukan.
Dengan
demikian,
masih
diperlukan
upaya
besar
untuk
bisa
mewujudkan
window
of
opportunity
dan
meraih
bonus
demografi
di
Indonesia.
Upaya
pemerintah
melalui
berbagai
kebijakan
dan
program
terkait
dibutuhkan,
tak
hanya
di
tingkat
pusat,
tetapi
juga
di
tingkat
pemerintah
daerah.
Tabel
1.1.
Indikator
Demografi
Indonesia
1950-2000
1950
1961
1971
1980
1990
2000
147,49
35,94
60,04
81,94
4,77
79,1
1971-80
1,98
5,33
1,97
39,9
16,7
1976-79
4,68
1976
109
179,38
46,09
66,69
106,80
6,75
67,8
1980-90
1,39
4,98
1,70
29,9
10,1
1986-89
3,33
1986
71
206,30
57,34
63,21
133,06
9,58
54,7
1990-2000
4,12
1,57
20,7
6,9
1996-99
2,34
1996
47
52,2
59,8
65,4
2005
2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
225,31
2,75
238,37
2,61
250,42
2,41
261,05
2,12
270,11
1,81
277,56
1,49
283,87
1,26
288,83
0,99
292,17
0,66
293,79
0,32
62,10
64,66
148,25
12,39
51,98
2000-
2005
1,26
4,52
1,99
20,7
7,3
2,33
1,07
41,6
66,8
65,70
64,12
160,18
14,06
48,81
2005-
2010
1,13
4,43
1,64
19,1
7,1
2,20
1,04
34,3
68,5
68,50
63,60
170,79
16,02
46,63
2010-
2015
0,99
4,32
1,73
17,7
7,1
2,10
0,98
29,2
69,9
70,11
62,13
180,38
18,53
44,72
2015-
2020
0,83
4,16
1,83
16,3
7,3
2,01
0,94
25,3
71,0
70,94
60,23
187,18
22,68
44,30
2020-
2025
0,68
3,98
1,99
15,0
7,5
1,94
0,91
21,9
72,0
70,38
58,01
192,63
26,92
44,09
2025-
2030
0,54
3,81
2,14
13,9
7,8
1,86
0,89
18,5
73,1
70,20
56,40
194,74
32,64
45,77
2030-
2035
0,45
3,74
2,30
13,3
8,2
1,85
0,88
15,9
74,2
69,10
55,16
195,25
38,41
47,93
2035-
2040
0,35
3,68
2,51
12,9
8,8
1,85
0,88
13,8
75,2
67,70
54,05
193,71
41,41
50,83
2040-
2045
0,23
3,58
2,73
12,3
9,4
0,85
0,89
12,1
76,1
66,30
52,58
191,55
49,66
53,37
2045-
2050
0,11
3,47
2,97
11,9
10,1
1,85
0,89
10,5
76,9
Sumber:
UN
World
Population
Prospects,
the
2002
Revision
dalam
Adioetomo
(2005,
p.66)
P O T R E T
D A E R A H
D I
I N D O N E S IA
D A L A M
M A S A
T R A N S IS I
D E M O G R A F I
Kesempatan
untuk
meraih
bonus
demografi
sebenarnya
sudah
terjadi
sejak
masa
transisi
demografi
dimulai,
yaitu
ketika
proporsi
penduduk
usia
kerja
di
dalam
populasi
penduduk
mulai
mengalami
peningkatan.
Akan
tetapi
bonus
demografi
terbesar
baru
bisa
diraih
saat
terbukanya
window
of
opportunity
(WO),
karena
di
saat
tersebut
tingginya
jumlah
penduduk
usia
kerja
dibarengi
dengan
tingkat
ketergantungan
penduduk
(atau
dependency
ratio,
DR)
yang
terendah,
yakni
biasanya
kurang
dari
setengah
jumlah
angkatan
kerja
yang
ada.
Terbukanya
window
of
opportunity
sendiri
hanya
berlangsung
sekitar
1-2
dekade
saja,
dan
begitu
masa
ini
mulai
tertutup,
kesempatan
untuk
mendapatkan
bonus
demografi
pun
semakin
berkurang.
Dengan
asumsi
konservatif
bahwa
window
of
opportunity
terbuka
kurang
lebih
selama
satu
dekade
di
masing-masing
daerah,
yakni
lima
tahun
sebelum
mencapai
dependency
ratio
terendah
dan
lima
tahun
sesudahnya,
maka
daerah-daerah
di
Indonesia
yang
mencapai
DR
terendah
pada
rentang
waktu
2010-2015
dapat
dikatagorikan
tengah
mengalami
masa
window
of
opportunity.
Sebaliknya,
daerah-
daerah
yang
baru
mencapai
DR
terendah
setelah
tahun
2015
dengan
demikian
dapat
dikatagorikan
sebagai
daerah
yang
menuju
WO.
Walaupun
secara
umum
Indonesia
diperkirakan
mengalami
WO
pada
periode
2020-
2030,
tetapi
sebagai
negara
yang
mempunyai
sebaran
penduduk
yang
tidak
merata,
terdapat
variasi
yang
cukup
besar
pada
skala
regional.
Tabel
1.3
memperlihatkan
bahwa
terdapat
16
provinsi
di
Indonesia
yang
tengah
mengalami
masa
window
of
opportunity
(DR
minimumnya
terjadi
pada
rentang
waktu
2010-2015),
dan
sisanya,
sebanyak
17
provinsi,
dalam
tahap
menuju
kondisi
WO
(DR
minimumnya
terjadi
setelah
tahun
2015).
Lima
daerah,
yakni
DKI
Jakarta,
DI
Yogyakarta,
Papua,
Jawa
Tengah,
dan
Jawa
Timur,
sudah
mencapai
DR
terendah
sejak
tahun
2010
dan
2011
ini.
Beberapa
daerah
lainnya,
di
lain
pihak,
malah
baru
mencapai
angka
DR
terendah
setelah
tahun
2020.
Angka
minimum
dependency
ratio
di
setiap
daerah
di
Indonesia
pun
berbeda-beda,
dari
yang
terendah
di
Provinsi
DKI
Jakarta
(36.8%)
dan
DI
Yogyakarta
(37,1%),
hingga
yang
masih
di
atas
50
persen
seperti
di
Provinsi
Maluku
Utara
(51,8%),
Maluku
(53,8%),
dan
Nusa
Tenggara
Timur
(56,8%).
Tabel
1.3.
Tingkat
Ketergantungan
Penduduk
(DR)
Minimum
dan
Tahun
Terjadinya
di
Daerah-daerah
di
Indonesia
Da er a h
Ta hun
denga n
DR
DR
ter enda h
mi ni mum
Penduduk
(2 0 1 0 )
DKI Jakarta
2010
36.8
9,223,000
DI Yogyakarta
2010
37.1
3,501,869
Papua
2010
47.6
2,097,482
Jawa Tengah
2011
46.7
32,864,563
Jawa Timur
2011
39.3
37,286,246
Papua Barat
2012
47.8
743,860
Sulawesi Utara
2012
41.5
2,228,856
Bangka Belitung
2013
45.3
1,138,129
Sulawesi Selatan
2013
49.3
7,908,519
Gorontalo
2014
46
983,952
Maluku
2014
53.8
1,339,503
Kepulauan Riau
2015
46.3
1,515,294
Maluku Utara
2015
51.8
974,990
2015
56.8
4,619,655
Sulawesi Tengah
2015
46.1
2,480,264
Sumatera Barat
2015
51.5
4,827,973
Kalimantan Tengah
2016
44.4
2,085,819
Kalimantan Timur
2016
42.1
3,164,798
Kalimantan Selatan
2018
43.9
3,496,125
Sulawesi Barat
2018
47.7
1,047,739
Bengkulu
2019
45
1,666,920
Lampung
2019
46.3
7,491,943
Sumatera Utara
2019
51
13,248,386
Bali
2020
38.3
3,551,009
Banten
2020
44.6
9,782,779
Jambi
2022
45.4
2,834,164
Jawa Barat
2023
45.4
41,501,564
Sumatera Selatan
2024
45.8
7,222,635
Kalimantan Barat
2024
49.1
4,319,142
Riau
2025
42.9
5,306,533
Aceh
2025
48.5
4,363,477
2025
48.8
4,434,012
Sulawesi Tenggara
2025
50.6
2,118,300
Sebagai
gambaran
awal
dari
pencapaian
masing-masing
daerah
dalam
upaya
meraih
bonus
demografi,
paparan
di
bawah
ini
menyajikan
indikator
angka
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM)
baik
untuk
kelompok
daerah
yang
tengah
mengalami
masa
WO
maupun
yang
tengah
menuju
masa
WO.
Angka
IPM
terdiri
dari
tiga
elemen,
yakni
angka
harapan
hidup,
angka
melek
huruf
dan
rerata
lama
sekolah,
dan
daya
beli.
Ketiga
elemen
dalam
IPM
ini
bisa
mewakili
tingkat
keberhasilan
daerah
dalam
mempersiapkan
modal
manusia
yang
menjadi
salah
satu
saluran
utama
dari
transisi
demografi
menuju
pertumbuhan
ekonomi.
Dari
proyeksi
angka
dependency
ratio
seluruh
daerah
di
Indonesia,
terdapat
16
daerah
yang
dapat
dikatagorikan
tengah
berada
di
masa
window
of
opportunity
(lihat
Tabel
1.4).
Dari
ke-16
daerah
tersebut,
terdapat
tujuh
daerah
yang
memiliki
angka
IPM
relatif
baik
atau
di
atas
angka
rata-rata
nasional,
yaitu
DKI
Jakarta,
Sulawesi
Utara,
DI
Yogyakarta,
Kepulauan
Riau,
Sumatera
Barat,
Kepulauan
Bangka
Belitung,
dan
Jawa
Tengah.
Provinsi
DKI
Jakarta
dan
Sulawesi
Utara
bahkan
memiliki
IPM
pertama
dan
kedua
tertinggi
secara
nasional,
meskipun
angka
daya
beli
di
kedua
daerah
tersebut
masih
berada
di
bawah
rata-rata
nasional.
Sementara
itu
Provinsi
DI
Yogyakarta,
meski
memiliki
IPM
tertinggi
keempat,
namun
masih
memiliki
masalah
dalam
tingkat
melek
huruf.
Masalah
serupa
dihadapi
oleh
Provinsi
Jawa
Tengah.
Meski
terdapat
enam
daerah
yang
masuk
ke
dalam
10
besar
daerah
dengan
IPM
tertinggi,
di
kelompok
yang
sama
terdapat
pula
lima
daerah
yang
masuk
peringkat
10
terbawah.
Bahkan
untuk
Provinsi
NTT
dan
Papua,
seluruh
elemen
IPM-nya
berada
di
bawah
rata-rata
nasional.
Potret
kurang
baik
lainnya
adalah,
angka
DR
terendah
untuk
Provinsi
NTT
adalah
yang
tertinggi
di
Indonesia,
yakni
sebesar
56,8
persen.
Angka
DR
minimum
yang
di
atas
50
persen
juga
dihadapi
oleh
empat
provinsi
di
kelompok
ini,
yaitu
Sumatera
Barat
(51,5%),
Maluku
Utara
(51,8%),
dan
Maluku
(53,8%).
Secara
keseluruhan,
dalam
kelompok
daerah
yang
tengah
berada
dalam
masa
WO
ini,
jumlah
daerah
yang
memiliki
angka
IPM
di
bawah
rata-rata
nasional
relatif
lebih
dominan,
yaitu
sebanyak
sembilan
daerah.
Dari
gambaran
di
atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
dari
sudut
pandang
kesiapan
daerah
dalam
memanfaatkan
WO
melalui
modal
manusia,
tidak
terdapat
potret
daerah
yang
seragam.
Oleh
karena
itu,
meski
sama-sama
tengah
mengalami
masa
WO,
fokus
kebijakan
di
masing-masing
daerah
akan
sangat
mungkin
berbeda.
Misalnya
untuk
daerah
dengan
IPM
rendah,
karena
pembangunan
modal
manusia
membutuhkan
waktu
yang
relatif
lama,
maka
upaya
memanfaatkan
bonus
demografi
bisa
lebih
difokuskan
ke
saluran
yang
lain,
seperti
penyediaan
lapangan
kerja
produktif
dan
formalisasi
sektor
ekonomi.
Tabel
1.4.
Kondisi
Indeks
Pembangunan
Manusia
2008
Daerah
yang
Tengah
Mengalami
Masa
WO
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM)
dan
Komponennya
Provinsi
Angka
Harapan
Hidup
Rata
Lama
Sekolah
Angka
Melek
Huruf
Daya Beli
IPM
Peringkat
DKI Jakarta
72,90
10,80
98,76
625,70
77,03
Sulawesi Utara
72,00
8,80
99,31
625,58
75,16
1
2
DI Yogyakarta
73,10
8,71
89,46
643,25
74,88
Kepulauan Riau
69,70
8,94
96,00
637,67
74,18
Sumatera Barat
69,00
8,26
96,66
631,52
72,96
68,60
7,37
95,57
636,07
72,19
10
Jawa Tengah
71,10
6,86
89,24
633,59
71,60
14
Jawa Timur
69,10
6,95
87,43
636,61
70,38
Maluku
67,00
8,60
98,12
605,02
70,38
18
Sulawesi Selatan
69,60
7,23
86,53
630,81
70,22
21
Sulawesi Tengah
66,10
7,81
95,68
622,35
70,09
22
Gorontalo
66,20
6,91
95,75
619,70
69,29
24
65,40
8,60
95,44
595,69
68,18
28
67,90
7,67
92,15
593,13
67,95
30
67,00
6,55
87,66
599,93
66,15
Papua
68,10
6,52
75,41
599,65
64,00
Indonesia
69,00
7,52
92,19
628,33
Maluku
Utara
Papua
Barat
18
31
33
71,17
Untuk
daerah
yang
dikatagorikan
tengah
menuju
masa
window
of
opportunity,
dari
17
daerah,
terdapat
tujuh
daerah
yang
memiliki
angka
IPM
relatif
baik
atau
di
atas
angka
rata-rata
nasional
(lihat
Tabel
1.5),
yaitu
Riau,
Kalimantan
Timur,
Kalimantan
Tengah,
Sumatera
Utara,
Bengkulu,
Sumatera
Selatan,
dan
Jambi.
Sepuluh
daerah
lain
sisanya,
memiliki
IPM
di
bawah
rata-rata
nasional.
Kecuali
empat
daerah
pertama
dengan
IPM
tertinggi,
seluruh
daerah
lainnya
dalam
kelompok
ini
memiliki
masalah
dalam
komponen
daya
beli.
Lebih
jauh
lagi,
mayoritas
daerah
di
kelompok
ini
memiliki
angka
harapan
hidup
yang
relatif
lebih
rendah.
Sementara
itu
lima
daerah
dengan
kelompok
IPM
terendah
di
kelompok
ini
memiliki
elemen
IPM
yang
hampir
seluruhnya
di
bawah
rata-rata
nasional.
Potret
di
atas
menunjukkan
bahwa
sebenarnya
hampir
tidak
terdapat
perbedaan
antara
pencapaian
pembangunan
modal
manusia
baik
di
daerah-daerah
yang
sudah
berada
dalam
kondisi
WO
maupun
yang
sedang
menuju
ke
sana.
Namun
ada
satu
keuntungan
yang
dimiliki
oleh
daerah
yang
masih
menuju
kondisi
WO,
yaitu
tersedianya
waktu
untuk
mempersiapkan
diri.
Bahkan
untuk
daerah
yang
memiliki
IPM
rendah,
kesempatan
untuk
mempersiapkan
lebih
banyak
modal
manusia
masih
cukup
terbuka
lebar.
Tabel
1.5.
Kondisi
Indeks
Pembangunan
Manusia
2008
Daerah
yang
Sedang
Menuju
WO
Indeks
Pembangunan
Manusia
dan
Komponennya
Angka
Harapan
Hidup
Rata
Lama
Sekolah
Angka
Melek
Huruf
Daya Beli
IPM
Riau
71,10
8,51
97,81
638,31
75,09
Kalimantan Timur
70,80
8,80
96,36
634,52
74,52
71,00
8,00
97,67
628,64
73,88
Sumatera Utara
69,20
8,60
97,08
629,97
73,29
Bengkulu
69,40
8,00
94,87
625,66
72,14
11
Sumatera Selatan
69,20
7,60
97,05
623,49
72,05
12
Jambi
68,80
7,63
96,05
628,25
71,99
13
Provinsi
Kalimantan Tengah
Peringkat
Jawa Barat
67,80
7,50
95,53
626,81
71,12
15
Bali
70,60
7,81
86,94
626,63
70,98
16
Aceh
68,50
8,50
96,20
605,56
70,76
17
Lampung
69,00
7,30
93,63
615,03
70,30
20
Banten
64,60
8,10
95,60
625,52
69,70
23
Sulawesi Tenggara
67,40
7,74
91,42
611,72
69,00
25
63,10
7,44
95,30
630,83
68,72
26
67,40
6,99
87,31
625,04
68,55
27
66,30
6,70
89,40
624,74
68,17
29
61,50
6,70
80,13
633,58
64,12
69,00
7,52
92,19
628,33
71,17
Kalimantan
Selatan
Sulawesi
Barat
Kalimantan
Barat
Nusa
Tenggara
Barat
Indonesia
32
BAB
2
URBANISASI
Konteks
urbanisasi
merupakan
aspek
yang
perlu
dipertimbangkan
dalam
desain
desentralisasi
fiskal,
mengingat
beberapa
studi
juga
menunjukkan
bahwa
perkembangan
urbanisasi
juga
disebabkan
oleh
penerapan
kebijakan
desentralisasi
(Sarosa,
2010;
Commola
&
de
Mello,
2010;
Lewis,
2010).
Urbanisasi
juga
dapat
dikaitkan
dengan
pertumbuhan
dan
struktur
penduduk,
yang
dalam
hal
ini
mengacu
pada
terbentuknya
bonus
demografi.
Urbanisasi
dan
struktur
penduduk
dari
adanya
bonus
demografi
merupakan
faktor-faktor
yang
dapat
berpengaruh
besar
dalam
perkembangan
dan
peningkatan
pembangunan
ekonomi
(Adioetomo
2005,
Lewis
2010).
D E F IN IS I
D A N
I N D IK A T O R
U R B A N IS A S I
Definisi
urbanisasi
erat
kaitannya
dengan
perkembangan
dan
pembentukan
kota
atau
wilayah
urban.
Indikator
untuk
mengukur
urbanisasi
relatif
beragamdengan
kemungkinan
perbedaan
konteks
antarnegaraterutama
dalam
kriteria
wilayah
urban.Indikator
ukuran
urbanisasi
di
Indonesia
adalah
(Firman,
2010):
1)
2)
3)
Menurut
Firman
(2010),
berdasarkan
manual
yang
digunakan
BPS
dalam
Sensus
tahun
1980,
1990,
2000,
dan
Survei
Penduduk
antar
Sensus
(SUPAS)
tahun
2005,
sebuah
wilayah
dinyatakan
sebagai
wilayah
urban
apabila
memenuhi
persyaratan
berikut:
1)
2)
3)
Memiliki
delapan
atau
lebih
jenis
fasilitas
yang
umumnya
ada
di
wilayah
urban,
seperti
sekolah,
rumah
sakit,
dan
pasar.
Indikator
untuk
mengukur
urbanisasi
relatif
beragam,
dan
untuk
konteks
Indonesia
tingkat
pemerintahan
juga
dijadikan
tolak
ukur,
mengingat
pemerintah
daerahnya
terdiri
dari
beberapa
lapis
(multi
layer).
Penetapan
wilayah
urban
atau
rural
di
Indonesia,
yang
mengacu
pada
ketersediaan
jenis
fasilitas
yang
umumnya
dimiliki
oleh
wilayah
urban,
dilakukan
berdasarkan
kriteria
BPS
untuk
mengidentifi-kasi
status
wilayah
tingkat
desa
atau
kelurahan.
Sementara
itu,
penetapan
kota
ataupun
K O N D IS I
D A N
P E R K E M B A N G A N
U R B A N IS A S I
D I
I N D O N E S IA
Salah
satu
indikator
yang
umum
digunakan
sebagai
indikator
tingkat
urbanisasi
adalah
persentase
penduduk
yang
tinggal
di
perkotaan.
Sesuai
studi
yang
dilakukan
oleh
Sarosa
(2010),
Grafik
2.1
menunjukkan
proyeksi
pertumbuhan
penduduk
Indonesia:
untuk
30
tahun
ke
depan,
diperkirakan
lebih
dari
70
persen
penduduk
Indonesia
akan
tinggal
di
wilayah
perkotaan.
Grafik
2.1.Tren
Penduduk
Urban
dan
Rural
di
Indonesia
Sumber:
Sarosa
(2010)
Studi
Sarosa
(2010)
tidak
menjelaskan
lebih
lanjut
acuan
dari
wilayah
urban
yang
digunakan,
apakah
mengacu
pada
penduduk
yang
tinggal
di
kota
vs
kabupaten,
atau
jumlah
penduduk
yang
tinggal
di
wilayah
urban
berdasarkan
kriteria
BPS.
Tabel
2.1
menunjukkan
pengelompokan
administratif
kabupaten
dan
kota,
jumlah
kabupaten
atau
kota
berdasarkan
kepadatan
penduduk,
dan
ketentuan
jumlah
penduduk
mengacu
pada
definisi
wilayah
urban
berdasarkan
kepadatan
penduduk
dan
jumlah
penduduk
di
suatu
wilayah
(Firman,
2010;
UNSTAT,
2010).
Dari
Tabel
2.1,
terlihat
bahwa
perkembangan
wilayah
urban
terjadi
baik
di
kota
ataupun
di
wilayah
kabupaten,
walaupun
dari
segi
kepadatan
penduduk,
sebagian
besar
wilayah
administratif
kota
relatif
memiliki
kepadatan
penduduk
yang
tinggi.
Selama
periode
lima
tahun
terakhir
juga
terjadi
peningkatan
jumlah
wilayah
urban
baik
dari
segi
administratif,
kepadatan
penduduk,
maupun
berdasarkan
klaster
jumlah
penduduk.
Tabel
2.1.Pembagian
Administratif,
Kepadatan
Penduduk,
dan
Jumlah
Penduduk:
Kabupaten
dan
Kota
Jumlah
Kabupaten/
Kota
2005
Administratif
2010
2
>1000/km
>250.000
penduduk
Administratif
>1000/km
>250.000
penduduk
Kabupaten
349
27
191
399
31
201
Kota
91
55
35
98
60
39
Sumber:
Diolah
dari
data
dasar
DAU
(Kemenkeu,
2011)
dan
BPS
(2011)
Berdasarkan
proyeksi
bahwa
mayoritas
penduduk
akan
menjadi
penduduk
perkotaan
dan
juga
proyeksi
perkembangan
wilayah
perkotaan,
kebijakan
pemerintah
tentunya
perlu
disesuaikan
dengan
perkembangan
sosial-ekonomi
dan
permasalahan
yang
kemungkinan
berbeda
dengan
konteks
struktur
penduduk
di
dekade
sebelumnya,
dimana
mayoritas
adalah
penduduk
pedesaan
dengan
karakteristik
rumah
tangga
yang
bekerja
di
sektor
pertanian.
P O L A
S O S IO -E K O N O M I
D A N
I N D IK A T O R
K E U A N G A N
P U B L IK
W IL A Y A H
U R B A N
D A N
N O N -U R B A N
Seperti
telah
ditunjukkan
sebelumnya,
perkembangan
tingkat
urbanisasi
di
Indonesia
meningkat
cukup
tinggi
(Lewis,
2011;
Sakora,
2010).
Secara
umum,
indikator
sosio-ekonomi
lebih
baik
di
wilayah
perkotaan
dibandingkan
dengan
wilayah
rural
(pedesaan).
Tabel
2.1
dan
Tabel
2.2
menunjukkan
perkembangan
indikator
yang
menggambarkan
karakteristik
kondisi
pendidikan,
kesehatan,
dan
kesejahteraan
secara
umum
untuk
wilayah
perkotaan
dan
pedesaan.
Di
sektor
kesehatan,
persentase
morbiditas
(penduduk
yang
sakit)
yang
mengganggu
aktivitas
secara
nasional
lebih
besar
di
pedesaan
dibandingkan
perkotaan
(lihat
Tabel
2.2).
Namun,
tingkat
morbiditas
ini
untuk
beberapa
provinsi
justru
lebih
tinggi
di
perkotaan
dibandingkan
dengan
di
pedesaan.
Karakteristik
jenis
penyakit
yg
ada
di
masyarakat
pun
berbeda
antara
daerah
perkotaan
dan
pedesaan.
Tabel
2.2.
Persentase
Morbiditas
yang
Mengganggu
Aktivitas
di
Perkotaan
dan
Pedesaan
Antarprovinsi
Provinsi
Perkotaan
Pedesaan
Perkotaan
Pedesaan
2000
2000
2006
2006
Aceh
14
16,5
Sumatra Utara
6,5
8,1
9,7
Sumatra Barat
9,4
14,5
7,2
12,5
Riau
7,8
11,3
8,1
10,5
Jambi
6,4
9,5
12,3
11,4
Sumatra Selatan
7,3
8,8
10,1
10
Bengkulu
10,5
11,6
9,5
15,1
Lampung
12,6
9,9
11
15,2
10,3
11,7
Bangka
Belitung
Kepulauan
Riau
11,5
17,1
Jakarta
11,9
12,4
Jawa Barat
9,7
10,4
11,4
13,5
Jawa Tengah
11,6
12,6
10,7
12,5
Yogyakarta
11,6
11,6
14,3
18,7
Jawa Timur
12,3
13,2
12,1
13,9
10,5
11,5
Bali
11,5
15,2
15,8
20
NTB
21,2
20,3
16,9
19,8
NTT
20
22
18,2
22,3
Kalimantan Barat
7,4
11,4
15,5
12
Kalimantan Tengah
5,1
6,7
15,4
11,1
Kalimantan Selatan
10,2
11,4
10,7
13,1
Kalimantan Timur
9,8
9,3
13,4
14,3
Sulawesi Utara
11,8
13,6
15,3
17,4
Sulawesi Tengah
18,4
18,4
12,4
21,1
Sulawesi Selatan
12,6
11,8
11,7
13,4
Sulawesi Tenggara
11,9
10,1
12,8
16,5
Gorontalo
23,5
23,1
Sulawesi Barat
12,5
17,4
Maluku
13,5
20,3
Maluku Utara
15,1
23,2
Papua Barat
19,9
8,3
Papua
6,9
9,7
14,2
16,4
Indonesia
10,7
11,9
11,6
13,9
Banten
Pemerintah
Swasta
Tradisional
2000
2006
2000
2006
2000
2006
Jawa
Perkotaan/Urban
35,9
54,1
61,8
41,7
2,3
1,8
Pedesaan/Rural
41,6
70,7
56
23,7
2,4
2,9
38,8
62,2
Sumatera
Perkotaan/Urban
35,2
Pedesaan/Rural
44,4
Sulawesi
Perkotaan/Urban
Pedesaan/Rural
Kalimantan
58,9
33
2,3
58,6
62
36
2,8
72,6
49,5
19
6,1
3,5
41,1
67,6
53,9
25
4,9
46,4
65,1
51,5
31
2,1
0,8
57,7
78,6
38,3
15
1,6
54,1
74,4
42,4
20
3,4
1,3
Perkotaan/Urban
39,4
58
57,7
38
2,9
1,3
Pedesaan/Rural
55,3
80,3
40,9
12,6
3,9
3,5
48,5
70,5
48,1
23,7
3,4
2,5
Pulau
Lainnya
Perkotaan/Urban
50,1
65,3
47,6
28,3
2,3
1,6
64,9
82,1
30,5
11,7
4,6
61,6
77,7
34,3
16,1
4,1
1,1
Indonesia
Perkotaan/Urban
Pedesaan/Rural
37,1
55,9
60,6
39,7
2,4
1,8
46,5
73,4
50,1
20,2
3,4
2,7
Pedesaan/Rural
2,3
Sumber:
MDG-IDN
(2004)
Sementara
itu,
Tabel
2.4
menunjukkan
korelasi
positif
antara
tingkat
kepadatan
penduduk
dengan
indikator
output
pendidikan
yaitu
angka
partisipasi
murni
(APM).
Dapat
disimpulkan
bahwa
di
perkotaan
sebagai
wilayah
dengan
kepadatan
penduduk
yang
relatif
tinggi,
persentase
penduduk
usia
sekolah
yang
bersekolah
cenderung
tinggi.
Tabel
2.4.
Persentase
Angka
Partisipasi
Murni
(APM)
di
Perkotaan
dan
Pedesaan
Korelasi
Kepadatan
Penduduk
dan
APM
Tahun
2010
(Data
Provinsi)
Angka
Partisipasi
Murni
(APM)
SD
Koefisien
Korelasi
0,057106
0,189041
0,121273
1.20
1.00
0.80
lainnya
tanah
0.60
keras
0.40
aspal
0.20
0.00
Kota
Kabupaten
Bali
DI
Yogyakarta
Kalimantan
Barat
DKI
Sulawesi
Tenggara
Kep.
Bangka
Riau
Maluku
Utara
Kep.
Riau
Kalimantan
Timur
Sulawesi
Selatan
Banten
Jambi
Sulawesi
Tengah
Sumatera
Utara
Maluku
Aceh
Sumatera
Selatan
Lampung
Kalimantan
Selatan
Sulawesi
Utara
Jawa
Tengah
Jawa
Timur
Sumatera
Barat
Sulawesi
Barat
Gorontalo
Bengkulu
Papua
Barat
Jawa
Barat
Kalimantan
Tengah
Papua
NTB
NTT
Aceh
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
Riau
Jambi
Sumatera
Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep.
Bangka
Belitung
Kep.
Riau
DKI
Jawa
Barat
Jawa
Tengah
DI
Yogyakarta
Jawa
Timur
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalimantan
Barat
Kalimantan
Tengah
Kalimantan
Selatan
Kalimantan
Timur
Sulawesi
Utara
Sulawesi
Tengah
Sulawesi
Selatan
Sulawesi
Tenggara
Gorontalo
Sulawesi
Barat
Maluku
Maluku
Utara
Papua
Papua
Barat
Grafik 2.4.Persentase Rumah Tangga dengan akses Air Minum Layak Tahun 2010
80
70
60
50
40
30
20
10
Perkota
an
100
90
80
Berbeda
halnya
dengan
pelayanan
dasar
air
minum,
akses
sanitasi
layak
lebih
rendah
di
pedesaan
dibandingkan
perkotaan.
Dari
Grafik
2.5,
persentase
rumah
tangga
dengan
akses
sanitasi
layak
relatif
lebih
tinggi
untuk
wilayah
perkotaan.
Pola
yang
sama
untuk
akses
listrik
ditunjukkan
dalam
Tabel
2.5.
Grafik 2.5. Persentase Rumah Tangga dengan akses Sanitasi Layak Tahun 2010
Pedesaan
Perkotaan
70
60
50
40
30
20
10
Tabel
2.5.
Persentase
Rumah
Tangga
dengan
akses
Listrik
Tahun
2009
dan
2010
2009
Perkotaan
Pedesaan
Aceh
98,87
Sumatera
Utara
Sumatera
Barat
2010
Perkotaan
Pedesaan
88,63
Pedesaan
&
Perkotaan
91,5
98,63
91,27
Pedesaan
&
Perkotaan
93,33
99,04
88,07
93,11
98,96
87,19
92,91
97,9
85,56
89,83
97,36
86,67
90,77
Riau
96,59
80,72
88,65
97,48
82,08
88,05
Jambi
93,36
82,37
85,85
96,49
84,29
87,93
Sumatera Selatan
98,58
81,78
88,04
97,97
83,82
88,69
Bengkulu
97,51
81,44
87,04
98,33
80,44
85,9
Lampung
97,44
85,01
88,24
97,39
89,34
91,29
97,63
90,62
93,99
97,5
88,01
92,77
Kep. Riau
97,85
87,91
93,18
95,98
92,78
95,45
DKI
99,57
99,57
99,58
Jawa Barat
99,46
97,69
98,72
99,5
98,13
Jawa Tengah
99,28
98,34
98,79
99,54
98,92
99,2
DI Yogyakarta
99,66
98,45
99,26
99,77
99,21
99,59
Jawa Timur
99,45
97,83
98,61
99,52
98,5
98,97
Banten
98,68
94,98
97,24
99,41
93,79
97,67
Bali
99,45
95,14
97,63
99,14
95,46
97,72
NTB
94,97
85,83
89,65
93,71
86,28
89,39
NTT
97,32
35,69
46,17
95,57
42,15
52,55
Kalimantan Barat
97,71
67,01
75,36
99,17
69,07
77,97
Kalimantan Tengah
96,45
67,71
77,49
96,66
73,88
81,54
Kalimantan Selatan
99,37
89,86
93,76
99,21
90,29
94,01
Kalimantan Timur
98,77
87,99
94,65
99,09
88,72
95,18
99,3
92,86
95,66
98,31
95,12
96,58
Sulawesi Tengah
97,28
73,4
78,41
96,11
75,39
80,44
Sulawesi Selatan
98,41
86,51
90,38
99,08
88,8
92,49
Sulawesi Tenggara
96,74
75,99
80,8
96,38
72,76
79,29
Gorontalo
96,99
72,45
80,2
93,87
68,62
77,33
Sulawesi Barat
97,35
75,01
82,27
92,3
69,06
74,25
Maluku
93,66
65,93
73,26
95,62
69,46
79,64
Maluku Utara
95,41
62,87
72,5
97,02
72,98
79,67
Papua
96,41
57,58
68,99
95,56
71,12
82,17
Papua Barat
93,99
28,22
42,78
92,67
25,65
42,71
98,9
88,5
93,55
98,96
89,39
94,15
Sulawesi Utara
Total
99,58
99,01
dan
pedesaan
tidak
terlalu
besar
sesuai
dengan
karakteristik
sebagian
besar
wilayah
Jawa
dan
Sumatera
yang
didominasi
oleh
wilayah
urban.
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Bali
Jawa Timur
Yogyakarta
Banten
Kota
Jawa Tengah
Jawa Barat
Lampung
DKI Jakarta
Bengkulu
Jambi
Sumatera Selatan
Riau
Kepulauan Riau
Sumatera Barat
Nanggroe Aceh
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Sumatera Utara
Desa
Perkotaan
Pedesaan
Aceh
62,41
82,08
76,59
Sumatera Utara
60,11
72,69
66,58
Sumatera Barat
57,61
75,32
68,53
Riau
54,81
74
66,56
Jambi
64,93
82,1
76,98
Sumatera Selatan
60,8
83,79
75,89
Bengkulu
63,5
84,45
78,05
Lampung
75,14
90,38
86,7
73,57
87,97
80,75
Kep. Riau
63,55
85,13
67,09
DKI
45,19
45,19
Jawa Barat
67,95
89,51
75,67
Jawa Tengah
80,83
93,55
87,88
DI Yogyakarta
65,05
94,79
74,5
Jawa Timur
78,88
94,12
87,05
Banten
64,34
90,11
72,33
Bali
60,15
89,03
71,28
NTB
77,99
89,1
84,46
NTT
62,53
88,86
83,74
Kalimantan Barat
72,08
89
84
Kalimantan Tengah
61,35
78,42
72,68
Kalimantan Selatan
60,75
83,1
73,78
Kalimantan Timur
55,82
77,21
63,88
Sulawesi Utara
62,7
83,06
73,75
Sulawesi Tengah
62,37
87,45
81,34
Sulawesi Selatan
67,66
90,65
82,4
Sulawesi Tenggara
65
88,94
82,32
Gorontalo
64,26
79,79
74,44
Sulawesi Barat
75,85
86,33
83,99
Maluku
60,16
83,75
74,57
Maluku Utara
68,15
87,72
82,27
Papua
51,24
73,92
63,67
Papua Barat
50,66
92,31
81,71
Total
67,61
88,28
78
U R B A N IS A S I
D A N
K E U A N G A N
D A E R A H
Pertumbuhan
urban
yang
cepat
menjadi
suatu
tantangan
tersendiri
bagi
pemerintah
karena
penyediaan
jasa
menjadi
lebih
kompleks
dengan
bertambahnya
populasi.Menurut
Tiebout
(1956),
individu
akan
mencari
kombinasi
pengeluaran
pemerintah
daerah
(yang
diwakili
oleh
barang
publik
lokal)
dan
pajak
yang
cocok
dengan
preferensinya.
Jadi,
dalam
konteks
urbanisasi,
daya
tarik
untuk
daerah
perkotaan
adalah
proses
alami
yang
juga
dapat
disumbangkan
dari
kebijakan
pemerintah
terkait
pengeluaran
dan
pajak.
Di
sisi
lain,
pada
sebagian
daerah
urbanisasi
tidak
terjadi
karena
kebijakan
pajak
maupun
pengeluaran
tertentu,
melainkan
terjadi
alami
karena
suatu
kecenderungan
(misalnya
peraturan
bahwa
daerah
tersebut
menjadi
ibukota
provinsi,
adanya
sumber
daya
alam,
maupun
keuntungan
lokasi).
Dalam
hal
ini,
daerah
perkotaan
atau
pun
proses
urbanisasi
sendiri
juga
dapat
menjadi
sangat
bermanfaat
bagi
pemerintah
daerah
terkait,
karena
akan
meningkatkan
potensi
pendapatan
pajak
dan
dapat
menurunkan
biaya
pelayanan
karena
terjadinya
perbaikan
skala
ekonomi.
Pemerintah
daerah
yang
akan
memaksimalkan
penda-
patan
akan
mendapat
manfaat
dari
kondisi
awal
dan
pengembangan
kegiatan
ekonomi
dari
urbanisasi.
Urbanisasi
yang
mengacu
kepada
pengembangan
wilayah
dapat
diartikan
bahwa
daerah
perkotaan
akan
ditandai
dengan
aglomerasi
aktivitas
ekonomi
dan
mungkin
pengelompokan
penduduk
pendapatan
yang
relatif
tinggi.
Dalam
hal
ini,
daerah
perkotaan
juga
akan
memiliki
pendapatan
pajak
yang
lebih
tinggi
apabila
kegiatan
ekonomi
dari
mereka
yang
menjadi
basis
pajak
meningkat.
Terhadap
pengeluaran,
keberadaan
skala
ekonomi
di
daerah
perkotaan
setidaknya
akan
terefleksikan
pada
biaya
yang
makin
rendah.
Pengeluaran
publik
untuk
pendidikan,
infrastruktur,
dan
kesehatan
penting
mengingat
dampak
manfaat
yang
diduga
dirancang
untuk
menjadi
pro-miskin.
Kota-kota
urban
ataupun
pemerintah
BAB
3
L A N D A S A N
K O N S E P T U A L
Desentralisasi
asimetris
terjadi
ketika
ada
daerah-darah
yang
berada
pada
tingkat
pemerintahan
yang
sama
namun
memiliki
tanggung
jawab
berbeda
karena
pertimbangan
politik,
kapasitas
fiskal,
atau
pun
pertimbangan
teknis.
Desentralisasi
asimetris
pada
tingkat
regional
dipraktikkan
di
beberapa
negara
seperti
Belgia,
Kanada,
India,
dan
Malaysia.
Desentralisasi
asimetris
pada
tingkat
lokal
lebih
menonjol
dalam
praktik
(de-facto),
meskipun
kebijakan
tersebut
mungkin
tidak
secara
khusus
dituangkan
dalam
hukum
(de-jure)
(Shah
&
Thompson,
2002).
Pengaturan
secara
asimetris
dapat
berguna
apabila
daerah-daerah
relatif
beragam
dalam
hal
populasi,
budaya,
dan
perkembangan
perekonomian.
Penugasan
penyediaan
pelayanan
publik
kepada
berbagai
pihak
berwenang
di
pusat
dan
daerah
memerlukan
pertimbangan
beberapa
faktor
termasuk
skala
dan
cakupan
ekonomi,
spillover
biaya
atau
manfaat,
kedekatan
terhadap
penerima
manfaat,
preferensi
konsumen,
dan
fleksibilitas
atau
diskresi
dalam
mengambil
keputusan
belanja
(Shah,
2004).
Dalam
hal
ini,
Indonesia
adalah
suatu
negara
yang
karakteristik
daerahnya
sangat
beragam,
sehingga
muncul
suatu
kebutuhan
untuk
memperlakukan
daerah-daerah
secara
berbeda.
Ini
sudah
diterapkan
dalam
konteksi
otonomi
khusus
untuk
Aceh
dan
Papua.
Namun
evaluasi
selama
sepuluh
tahun
pertama
pelaksanaan
desentralisasi
menunjukkan
bahwa
beberapa
kebijakan
yang
diterapkan
secara
seragam
terhadap
semua
daerah,
seperti
Dana
Alokasi
Umum
yang
formulanya
berlaku
umum
untuk
seluruh
daerah
di
Indonesia
(one
size
fits
all),
dipandang
tidak
dapat
mengakomodasi
besarnya
variasi
antardaerah
yang
ada.
Oleh
karena
itu,
pemikiran
untuk
menerapkan
kebijakan
desentralisasi
fiskal
yang
asimetris,
dalam
hal
ini
yang
berbasis
klaster,
kembali
menguat.
Terminologi
awal
'klaster'
(cluster
dalam
bahasa
Inggris)
berangkat
dari
pengertian
sempit
sebagai
konsentrasi
geografis
dari
perusahaan-perusahaan
yang
saling
berhubungan,
pemasok
khusus,
penyedia
layanan,
perusahaan-perusahaan
di
industri
terkait,
dan
lembaga-lembaga
terkait
(misalnya,
universitas,
lembaga
standar,
asosiasi
perdagangan)
dalam
bidang
tertentu
yang
bersaing
tetapi
juga
bekerja
sama
(Porter,
2000).
Akan
tetapi,
kini
secara
umum
klaster
berarti
kelompok
dari
beberapa
entitas
yang
memiliki
karakteristik
yang
seragam.
Analisis
klaster
mengacu
pada
berbagai
macam
teknik
yang
digunakan
untuk
mengelompokkan
beberapa
entitas
ke
dalam
sub-kelompok
yang
masing-masingnya
relatif
homogen,
berdasarkan
kesamaan
karakteristik
mereka
(Lorr,
1983).
Teknik
ini
membantu
mengurangi
kompleksitas
dan
meningkatkan
akurasi
prediksi
dari
suatu
pengamatan.
Selama
ini,
analisis
klaster
telah
digunakan
untuk
mengukur
kinerja
desentralisasi
di
beberapa
negara.
Dalam
mengelompokkan
ke
dalam
klaster,
ada
beberapa
kriteria
yang
harus
dipertimbangkan
untuk
memilih
dimensi
dan
karakteristik
penting
(variabel)
yang
nantinya
juga
berguna
untuk
analisis
klaster.
1.
Keterukuran:
dimensi
harus
dapat
diukur;
2.
Kelayakan:
variabel
yang
digunakan
untuk
menangkap
dimensi
harus
relevan;
3.
Kredibilitas:
variabel
harus
obyektif
dan
kredibel;
dan
4.
Ketersediaan:
ketersediaan
data
variabel
adalah
krusial.
Dalam
pengelompokan,
analisis
klaster
dapat
didasarkan
pada
angka
rata-rata
(mean)
maupun
median.
Akan
tetapi,
masalah
yang
lebih
sulit
adalah
ketika
menentukan
jumlah
klaster
yang
ideal.
Penentuan
jumlah
klaster
adalah
masalah
mendasar
yang
sulit
terpecahkan
karena
kurangnya
hipotesis
nol
yang
tepat
serta
sifat
kompleks
dari
distribusi
sampling
multivariat
(Everitt,
1979).
Aldenderfer
&
Balshfield
(1984)
menunjukkan
dua
pendekatan
dasar
untuk
menentukan
jumlah
klaster,
baik
berdasarkan
prosedur
heuristik
maupun
tes
formal.
Program
statistik
STATA
menyarankan
solusi
dari
Indeks
Pseudo-F
Calinski
&
Harabasz,
yang
menghitung
nilai
kebolehjadian
untuk
tiap
kemungkinan
pengelompokan.
Nilai
yang
lebih
besar
mengindikasikan
pengelompokan
yang
lebih
baik.
Meskipun
sudah
ada
beberapa
tes
yang
dapat
digunakan
untuk
menentukan
jumlah
klaster
yang
ideal,
tanpa
penggunaan
yang
hati-hati,
analisis
klaster
akan
menjadi
dugaan
subjektif
semata.
Lebih
lanjut,
pengelompokan
ke
dalam
klaster
juga
memiliki
beberapa
masalah
mendasar
sebagai
berikut
(Maskell
&
Kebir,
2009):
1)
ada
tidaknya
manfaat
ekonomi
dan
sosial
bagi
daerah
atau
masyarakat
dengan
pengelompokan
tersebut
(argumen
eksistensi);
2)
3)
K O N S T R U K S I
K L A S T E R
D A E R A H
Gambar
3.1
menunjukkan
berbagai
alternatif
klaster
yang
dapat
digunakan
dalam
desain
transfer,
namun
penggunaan
antara
suatu
klaster
dengan
klaster
lainnya,
atau
penggunaan
beberapa
klaster
perlu
mengacu
pada
prinsip
bahwa
keadilan
antardaerah
seyogyanya
tetap
terjadi.
Hal
yang
juga
perlu
diperhatikan
dalam
penggunaan
suatu
klaster
adalah
kaitannya
dengan
tujuan
dari
alokasi
transfer
itu
sendiri.
Untuk
daerah
dengan
kebutuhan
fiskal
yang
relatif
sama,
keadilan
dalam
alokasi
transfer
terkait
dengan
daerah
dengan
kapasitas
fiskal
berbeda
seharusnya
mendapat
alokasi
transfer
yang
berbeda.
Isu
dari
sistem
intergovernmental
transfer
di
Indonesia
adalah
bahwa
penggunaan
rata-rata
dari
nasional
sebagai
acuan
atau
representative
region
dari
konteks
keseluruhan
daerah
kemungkinan
justru
membuat
nilai
dari
kebutuhan
fiskal
hasil
formulasi
melenceng
jauh
dari
kebutuhan
fiskal
yang
sebenarnya
untuk
sebagian
besar
daerah.
Hal
ini
karena
variasi
dan
perbedaan
karakteristik
yang
cukup
besar
antar
sejumlah
daerah
dengan
daerah-
3
daerah
lainnya.
Penentuan
kebutuhan
fiskal
suatu
daerah
tidak
terlepas
dari
cakupan
dan
jenis
pelayanan
publik
yang
perlu
dilakukan
oleh
suatu
daerah
dan/atau
tingkat
pemerintahan
tertentu.
Seperti
juga
tersirat
di
Gambar
3.1,
kebutuhan
fiskal
suatu
daerah
ditentukan
oleh
karakteristik
daerah
dan
juga
institusi
pemerintahan
di
daerah
itu
sendiri.
Sebelum
menerapkan
konsep
equity
tersebut,
perlu
untuk
setidaknya
mengupayakan
formulasi
kebutuhan
fiskal
sesuai
dengan
representasi
karakteristik
daerah
dan
juga
institusi
pemerintahan
yang
ada.
Klaster
daerah
yang
realistik
adalah
mengacu
pada
karakteristik
daerah
atau
proxy
pengelompokan
sesuai
dengan
jenis
pemerintahan.
Ini
dimaksudkan
untuk
menentukan
kebutuhan
sumber
daya
untuk
mencapai
penyediaan
pelayanan
publik
yang
optimal.
Konsep
keadilan
yang
mengacu
pada
alokasi
transfer
untuk
daerah
yang
relatif
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
juga
mengindikasikan
bahwa
setiap
daerah
diharapkan
menyediakan
pelayanan
publik
yang
relatif
sama.
Asumsi
ini
kemungkinan
hanya
relevan
untuk
jenis-jenis
pelayanan
publik
minimum
yang
disediakan
oleh
semua
daerah.
Dalam
hal
ini,
klaster
daerah
hanya
untuk
mengklasifikasi
daerah
dengan
cakupan
pelayanan
publik
yang
minimum,
yang
berarti
bahwa
penentuan
pelayanan
publik
daerah
kemungkinan
besar
masih
sub-
optimal
(under
provision
of
local
public
goods).
Identifikasi
kondisi
sub-optimal
ini
akan
semakin
relevan
terutama
untuk
sejumlah
daerah
yang
memang
secara
natural
memerlukan
kualitas
pelayanan
publik
yang
lebih
tinggi
dan
kuantitas
yang
lebih
banyak
dari
daerah-daerah
lainnya.
Hal
ini
juga
menjadi
justifikasi
penggunaan
klaster
daerah
untuk
meminimalkan
inefisiensi
dari
proyeksi
kebutuhan
fiskal
yang
jauh
dibawah
optimal.
3
Formulasi
yang
sama
untuk
konteks
cakupan
dari
jenis
pelayanan
publik
yang
berbeda
antara
sejumlah
daerah
juga
akan
menyebabkan
perbandingan
gap
kapasitas
fiskal
dan
kebutuhan
fiskal
antar
daerah
menjadi
kurang
relevan.
1.
2.
3.
4.
5.
A L T E R N A T IF
K L A S T E R
D A E R A H
Tabel
3.1.
Identifikasi
Karakteristik
Daerah
A
BAB
4
DESAIN
DESENTRALISASI
FISKAL
BERDASARKAN
KLASTER
DAERAH
Seperti
dijelaskan
sebelumnya,
transisi
demografi
pada
saat
mencapai
WO
berpotensi
dimanfaatkan
untuk
mendapatkan
bonus
demografi.
Tantangannya
adalah
bagaimana
memanfaatkan
kondisi
WO
ini.
Tentu
saja,
kebijakan
nasional
merupakan
kunci
yang
penting
karena
beberapa
kebijakan
di
luar
kewenangan
daerah
atau
tidak
akan
efektif
jika
hanya
dilakukan
pada
tingkatan
daerah.
Dalam
kaitannya
dengan
kebijakan
transfer,
ada
beberapa
hal
yang
bisa
dilakukan
untuk
mendukung
kebijakan
nasional
dalam
rangka
memanfaatkan
kondisi
WO.
Namun,
hal
yang
tetap
mesti
diingat
adalah
perlunya
kecermatan
dalam
memaknai
window
of
opportunity
tersebut.
Jika
momentum
ini
tidak
dimanfaatkan
oleh
negara
atau
daerah
dengan
melakukan
kebijakan
yang
cocok,
sistematis,
dan
sungguh-
sungguh,
maka
situasi
tersebut
akan
berlalu
tanpa
manfaat
yang
jelas.
Bahkan
sebaliknya,
masalah-masalah
baru
bisa
muncul
bagi
perekonomian
negara
atau
daerah
tersebut.
Masalah
yang
paling
nyata
adalah
kemampuan
pemerintah
menyediakan
lapangan
pekerjaan
bagi
penduduk
usia
kerja.
Lapangan
pekerjaan
yang
bagaimana
yang
mampu
menampung
hampir
70
persen
penduduk
usia
kerja
pada
20202030?
Jika
lapangan
kerja
sudah
tersedia,
mampukah
sumber
daya
manusia
yang
melimpah
memasukinya
dan
bersaing
di
pasar
kerja
baik
domestik
maupun
internasional?
Oleh
karena
itu,
pemerintah
memiliki
tugas
yang
cukup
berat
untuk
merumuskan
kebijakan
yang
bisa
memanfaatkan
kondisi
window
of
opportunity.
Perbaikan
mutu
SDM,
melalui
pendidikan,
pelayanan
kesehatan
yang
memadai,
hingga
penguasaan
dan
pengembangan
teknologi
(appropriate
technology)
harus
terus
dilakukan
seiring
dengan
tuntutan
kebutuhan
dunia
kerja
yang
dinamis.
Selain
itu,
program
keterampilan
dan
pengembangan
inovasi
produk
juga
harus
dilakukan
seintensif
mungkin,
sehingga
pekerja
tidak
hanya
bergantung
kepada
ketersediaan
lapangan
pekerjaan,
tetapi
juga
mampu
menciptakan
lapangan
pekerjaan
serta
mampu
mendorong
pengembangan
usaha
melalui
kegiatan
ekonomi
kreatif.
Jika
hal
sebaliknya
yang
terjadi,
saat
terjadi
window
of
opportunity
dan
pemerintah
gagal
memanfaatkannya,
maka
bisa
saja
terjadi
ketidakstabilan
ekonomi
dan
sosial.
T A N T A N G A N
O P T IM A L IS A S I
D E S E N T R A L IS A S I
F IS K A L
Desentralisasi
fiskal
telah
dilaksanakan
dalam
kurun
waktu
hampir
11
tahun
dengan
jumlah
dana
yang
telah
ditransfer
ke
daerah
(DAU,
DAK,
DBH)
semakin
membesar.
Pada
beberapa
tahun
terakhir,
komposisi
dana
transfer
ini
mencapai
lebih
dari
30
persen
dari
total
APBN
dan
bahkan
jika
digabungkan
secara
keseluruhan
dana
yang
dibelanjakan
di
daerah
(termasuk
dan
Dekonsentrasi,
Tugas
Pembantuan,
Subsidi,
dan
sebagainya)
sudah
mencapai
kisaran
60
persen.
Seharusnya
dengan
jumlah
dana
yang
sangat
memihak
ke
daerah
ini
sudah
bisa
menghasilkan
daya
dorong
pertumbuhan
ekonomi
daerah
yang
tinggi.
Bahkan
semestinya
hal
ini
juga
mampu
memperbaiki
tingkat
ketimpangan
antardaerah
baik
pada
tingkat
provinsi,
kota
maupun
kabupaten.
Namun
angka
BPS
2011
menyatakan
bahwa
tingkat
ketimpangan
antardaerah
pada
tahun
2010
justru
semakin
melebar.
Memang
mesti
diakui
bahwa
perjalanan
desentralisasi
fiskal
Indonesia
selama
ini
sarat
dengan
berbagai
masalah
dan
masih
menghadapi
banyak
tantangan
yang
membutuhkan
penyesuaian
kebijakan
terus-menerus.
Beberapa
di
antara
tantangan
tersebut
adalah:
1.
2.
3.
4.
Tantangan-tantangan
tersebut
di
atas
akan
menjadi
semakin
sulit
diatasi
pada
saat
dihadapkan
dengan
kenyataan
bahwa
karakteristik
antardaerah
memiliki
variasi
sangat
tinggi,
terutama
jika
diperhatikan
berdasarkan
kapasitas
fiskal
dan
perkembangan
penduduk.
Terkait
dengan
window
of
opportunity
sebagaimana
diuraikan
sebelumnya,
terdapat
beberapa
daerah
yang
bahkan
sudah
mencapainya
pada
tahun
2010
sementara
yang
lain
bahkan
ada
yang
baru
akan
mencapainya
setelah
tahun
2020.
Dilihat
dari
kemampuan
fiskalnya,
terdapat
daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
lebih
dari
Rp
25
Triliun
(DKI
Jakarta),
sementara
daerah
lain
ada
yang
hanya
Rp
338
Milyar
(Sulawesi
Barat).
Kemungkinan
besar
kenyataan
inilah
yang
menjadi
salah
satu
faktor
penyebab
kurang
optimalnya
capaian
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
di
Indonesia.
Oleh
karena
itu,
untuk
mengoptimalkan
desentralisasi
fiskal
Indonesia
di
masa
depan
dihadapkan
dengan
karakteristik
daerah
yang
sangat
variatif,
maka
diperlukan
desain
kebijakan
yang
mampu
meminimalkan
perbedaan
antardaerah
K L A S T E R
D A E R A H
Dengan
seluruh
potensi
demografi
(keragaman)
dan
berbagai
tantangan
yang
masih
dihadapi
oleh
daerah,
maka
Indonesia
membutuhkan
desain
desentralisasi
fiskal
yang
dapat
mentransformasikan
percepatan
efektivitas
capaian
kebijakan
desentralisasi
fiskal,
khususnya
dana
transfer,
agar
menghasilkan
kesejahteraan
bagi
seluruh
masyarakat
(dengan
pemerataan
yang
jauh
lebih
baik).
Untuk
itu
dibutuhkan
perubahan
pola
fikir
dalam
disain
kebijakan
desentralisasi
fiskal
yang
didasari
dengan
semangat
regional
dan
keberagaman
wilayah
dalam
bingkai
NKRI.
Mengingat
keragaman
dari
angka
rasio
ketergantungan
yang
cukup
besar
antardaerah
di
Indonesia,
begitu
juga
kapasitas
fiskal
daerah,
maka
pengelompokkan
daerah
(provinsi)
dapat
didasarkan
atas
dua
hal
tersebut,
yaitu
rasio
ketergantungan
(DR)
dan
kapasitas
fiskal
daerah.
Pembagian
klaster
ini
akan
memudahkan
pengambil
kebijakan
untuk
memberikan
sentuhan
yang
tidak
berlaku
untuk
semua
daerah,
tetapi
berdasarkan
atas
karakteristik
daerahdaerah
dalam
klaster
tersebut.
Berdasarkan
data
yang
diolah
dari
BPS
dan
Kementerian
Keuangan,
maka
diperoleh
gambaran
klaster
sebagai
berikut:
Tabel
4.1.
Provinsi
di
Indonesia
berdasarkan
Kapasitas
Fiskal
dan
Window
of
Opportunity
Sedang
mengalami
window
of
opportunity
(tahun
dengan
DR
minimum)
Klaster
1:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi
dan
sudah
mencapai
window
of
opportunity
Klaster
2:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
dan
sudah
mencapai
window
of
opportunity
Klaster
3:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi
dan
sedang
menuju
window
of
opportunity
Klaster
4:
Daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
dan
sedang
menuju
window
of
opportunity
Selain
aspek
demografi
dan
kapasitas
fiskal,
konteks
urbanisasi
juga
penting
dipertimbangkan
dalam
kebijakan
transfer.
Seperti
yang
diuraikan
pada
Bab
2,
urbanisasi
adalah
sebuah
proses
yang
normal
terjadi,
ketika
banyak
orang
berpendapat
bahwa
daerah
urban
menawarkan
fasilitas
dan
kesempatan
yang
lebih
baik.
Pemerintah
tidak
akan
bisa
untuk
menghentikan
urbanisasi,
karena
tidak
ada
halangan
bagi
penduduk
untuk
berpindah
di
dalam
suatu
negara.
Sebaliknya,
pemerintah
seharusnya
memandang
bahwa
proses
urbanisasi
adalah
kesempatan
yang
mengandung
tantangan.
Urbanisasi
adalah
kesempatan
bagi
daerah
untuk
memajukan
perekonomiannya
karena
mendapatkan
tambahan
tenaga
kerja
dari
daerah
lain
yang
berpotensi
memiliki
keragaman
keahlian.
Di
sisi
lain,
urbanisasi
mengandung
tantangan
bagi
pemerintah
untuk
menyediakan
dan
mencukupkan
fasilitas
perkotaan
bagi
penduduk
yang
terus
bertambah.
Jika
pemda
dapat
mengelola
kesempatan
dan
tantangan
ini,
maka
akan
tercipta
dinamika
kemajuan
kota.
Pemerintah
pusat
dapat
merespons
dengan
kebijakan
untuk
membantu
distribusi
aktivitas
perekonomian
sehingga
tidak
hanya
berpusat
di
Jawa.Salah
satu
kebijakan
yang
sekarang
dipromosikan
adalah
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan
Pembangunan
Ekonomi
Indonesia
(MP3EI),
yang
diharapkan
dapat
mempercepat
pembangunan
infrastruktur
dan
menghubungkan
intra
Indone-sia.
Kombinasi
kebijakan
pusat
(redistribusi
aktivitas
ekonomi
ke
luar
Jawa)
dan
daerah
(yang
merespons
positif
urbanisasi)
akan
menciptakan
sentra-sentra
pertumbuhan
baru
baik
kota
maupun
zona
industri
di
Indonesia.
I D E N T IF IK A S I
K E B IJA K A N
F IS K A L
Y A N G
S E L A R A S
U N T U K
T IA P
K L A S T E R
D A E R A H
Potret
yang
tersaji
dalam
Tabel
4.1
di
atas
menunjukkan
bahwa
ada
perbedaan
yang
cukup
signifikan
antar
provinsidi
Indonesia.
Idealnya,
Indonesia
harus
memiliki
desain
kebijakan
fiskal
yang
sesuai
dengan
kondisi
masing-masing
daerah.
Tentu
saja
prediksi
di
atas
hanya
sekedar
memberi
gambaran
makro
kondisi
dan
kecenderungan
perkembangan
penduduk
Indonesia.
Jika
diamati
lebih
detail
ke
dalam
lingkup
provinsi,
maka
akan
tampak
adanya
variasi
waktu
dalam
mencapai
window
of
opportunity
tersebut.
Bahkan
terdapat
3
(tiga)
provinsi,
yaitu
DKI
Jakarta,
DI
Yogyakarta,
dan
Papua
yang
sudah
mencapai
kondisi
window
of
opportunity
pada
tahun
2010.
Sementara
sebagian
provinsi
di
Sumatera
dan
kawasan
timur
Indonesia
baru
akan
mencapainya
pada
tahun
2020
hingga
2025.
Variasi
waktu
mencapai
kondisi
window
of
opportunity
ini
sudah
barang
tentu
menuntut
pula
variasi
kebijakan
fiskal
yang
berbeda,
karena
masalah
dan
tantangan
pembangunan
di
antara
berbagai
provinsi
tersebut
juga
akan
berbeda
satu
dengan
lainnya.
Keberhasilan
kebijakan
fiskal
berdasarkan
klaster
sangat
ditentukan
oleh
beberapa
prinsip
yang
harus
diakomodasi
dalam
desain
kebijakan
ini,
yaitu
antara
lain,
pola
pikir
yang
berbasis
regional,
formula
DAU
yang
mempertimbangkan
rasio
ketergantungan
(windows
of
opportunity),
DAK
yang
diprioritaskan
untuk
pembangunan
infrastruktur,
dan
perbaikan
pelayanan
dasar
(pendidikan
dan
kesehatan),
perlindungan
sosial
bagi
kelompok
masyarakat
miskin,
serta
hasil
pengelolaan
SDA
yang
tidak
terbarukan
yang
mesti
mempertimbangkan
kepentingan
lintas
generasi.
Empat
kebijakan
fiskal
yang
selaras
dengan
masing-masing
klaster
daerah
tersebut
yaitu:
K L A S T E R
1:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
D A N
S U D A H
M E N C A P A I
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Daerah-daerah
pada
klaster
ini
memiliki
dua
kondisi
yang
relatif
potensial
untuk
memajukan
pembangunan
mereka,
yaitu
kondisi
kapasitas
fiskal
tinggi
dan
dalam
periode
windows
of
opportunity.
Satu-satunya
kekhawatiran
terhadap
daerah
pada
klaster
ini
adalah
ketidaktahuan
bahwa
mereka
sedang
berada
pada
momentum
windows
of
opportunity,
sehingga
momentum
tersebut
bisa
berlalu
begitu
saja,
tidak
termanfaatkan
atau
bahkan
dapat
memberi
masalah.
Masalah
akan
terjadi
jika
penduduk
usia
produktif
di
daerah
tersebut
tidak
dipersiapkan
kualitasnya
(keahlian
dan
kompetensinya),
serta
jumlahnya
tidak
sebanding
dengan
pekerjaan
yang
bisa
disediakan
perekonomian
daerah.
Akibatnya
penduduk
usia
produktif
tersebut
tidak
memperoleh
kesempatan
kerja
sehingga
dapat
menimbulkan
permasalahan
sosial.
Daerah
yang
termasuk
di
Klaster
1
ini
adalah
DKI
Jakarta,
Papua
Barat,
Kepulauan
Riau,
dan
Maluku
Utara.
Jika
kita
bandingkan
DKI
Jakarta
dan
Papua
Barat,
DKI
Jakarta
memiliki
tantangan
untuk
mengelola
urbanisasi,
berbeda
dengan
provinsi
Papua
Barat
yang
jumlah
penduduknya
masih
sedikit
dan
lahan
kosong
yang
masih
luas.
Struktur
perekonomian
kedua
daerah
ini
juga
berbeda;
Papua
Barat
didominasi
oleh
industri
berbasis
minyak
dan
gas
bumi,
sedangkan
DKI
Jakarta
bertumpu
pada
sektor
perdagangan
dan
jasa
keuangan
(BPS,
2009).
Kebijakan
fiskal
yang
umum
bagi
daerah
di
klaster
ini
sebaiknya
difokuskan
untuk
memanfaatkan
momentum
the
demographic
window
of
opportunity
dengan
meningkatkan
nilai
tambah
faktor
produksi
melalui
pelatihan,
penerapan
One
Stop
Services
untuk
peningkatan
investasi,
peningkatan
kualitas
dan
kuantitas
kegiatan
Usaha
Kecil
Menengah
dan
Koperasi,
dan
pengendalian
angka
kelahiran
(Keluarga
Berencana)
untuk
meningkatkan
kualitas
penduduk,
serta
pelayanan
kesehatan
untuk
menjaga
tingkat
produktivitas
yang
tinggi
bagi
tenaga
kerja
usia
produktif.
DKI
Jakarta
perlu
meningkatkan
pelayanan
publik
terutama
yang
berkaitan
langsung
dengan
aktivitas
ekonomi
dan
kesejahteraan
masyarakat.
Infrastruktur
transportasi,
listrik
dan
air
bersih,
keamanan,
pelayanan
kesehatan,
pendidikan
serta
keterampilan
adalah
fasilitas
vital
bagi
masyarakat
urban.
Berkaitan
dengan
kepadatan
penduduk
dan
banyaknya
tenaga
kerja,
perlu
diperhatikan
pengelolaan
lingkungan
termasuk
sanitasi,
kualitas
air
dan
udara,
sampah,
dan
peluang
peningkatan
sisi
permintaan.
Struktur
perekonomian
yang
berbasis
sektor
jasa
memerlukan
tenaga
kerja
berpendidikan
dan
berketerampilan
khusus.
Yang
penting
dilakukan
Pemda
adalah
menciptakan
lingkungan
usaha
yang
kondusif.
Kebijakan
ini
berbeda
dengan
Papua
Barat
yang
masih
bisa
menampung
penduduk
lebih
banyak
dan
mempunyai
potensi
ekonomi
yang
belum
dimanfaatkan.
Kekurangan
dari
aktivitas
ekonomi
yang
bertumpu
pada
sektor
migas
adalah
daya
serap
tenaga
kerja
yang
terbatas
dan
dibutuhkannya
tenaga
kerja
dengan
keahlian
yang
spesifik.
Papua
Barat
harus
menggali
sektor
lain
yang
bisa
menjadi
andalannya
untuk
meningkatkan
diversifikasi
perekonomian
daerah.
Dengan
demikian
daerah
pada
klaster
ini
selayaknya
memperoleh
alokasi
DAK
yang
relatif
besar
dibanding
DAU
yang
ditujukan
terutama
untuk
meningkatkan
kegiatan
ekonomi
dan
pengendalian
angka
kelahiran.
Hal
lain
yang
penting
bagi
daerah
pada
klaster
ini
adalah
meningkatkan
kualitas
belanja
daerah
melalui
efisiensi
alokasi
belanja,
penajaman
prioritas,
penerapan
secara
konsisten
anggaran
berbasis
kinerja
dan
reformasi
birokrasi.
Kondisi
ini
diyakini
akan
mampu
merangsang
sektor
swasta
untuk
terlibat
di
dalam
usahausaha
memanfaatkan
momentum
the
windows
opportunity.
K L A S T E R
2:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
R E N D A H
D A N
S U D A H
M E N C A P A I W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Secara
umum
daerah
pada
klaster
ini
memiliki
karakteristik
demografi
yang
sama
dengan
daerah
pada
klaster
1
walaupun
antara
daerah
memiiki
karakteristik
yang
bervariasi
dalam
hal
jumlah
dan
kepadatan
penduduk
serta
tingkat
urbanisasi.
Daerah
di
dalam
klaster
ini
memiliki
kapasitas
fiskal
rendah
sedangkan
mereka
sebenarnya
sedang
menikmati
periode
WO.
Sama
seperti
pada
Klaster
1,
daerah
yang
sudah
masuk
periode
WO
seharusnya
mampu
memanfaatkan
kondisi
ini
untuk
meningkatkan
perekonomiannya
dan
mengakumulasikan
tabungan.
Dengan
menghadapi
kendala
keterbatasan
fiskal
daerah,
maka
ada
dua
hal
yang
dapat
dilakukan.
Pertama
adalah
pemerintah
pusat
meningkatkan
DAK
yang
sesuai
dengan
tujuan
pemanfaatan
WO
dan
meraih
bonus
demografi.
Kedua,
pemerintah
daerah
memberi
insentif
pada
pihak
swasta
untuk
meningkatkan
peran
mereka
dalam
perekonomian
daerah.
Insentif
yang
diberikan
tidak
harus
berupa
insentif
fiskal,
tetapi
bisa
juga
berupa
insentif
non
fiskal
semisal
mendukung
iklim
usaha
yang
kondusif
(kemudahan
perizinan
usaha,
deregulasi,
memberi
ruang
yang
lebih
besar
bagi
swasta
untuk
berperan
(misal
melalui
subkontrak
pelayanan
publik,
PPP,
dan
sebagainya),
menyediakan
fasilitas
dasar,
dan
upaya
peningkatan
kualitas
tenaga
kerja.
Daerah
dengan
tingkat
urbanisasi
yang
cepat
harus
diberi
perhatian
khusus
oleh
Pemerintah
Pusat.
Jika
daerah
tersebut
berada
di
luar
Jawa,
maka
sebaiknya
proses
urbanisasi
ini
didukung
dan
dikelola
dengan
baik.
Laju
urbanisasi
jangan
sampai
terlalu
cepat,
karena
daerah
tersebut
pasti
akan
kesulitan
dalam
mengejar
penyediaan
layanan
publik
dan
ketersediaan
lapangan
kerja.
Untuk
mengurangi
konsentrasi
urbanisasi
maka
DAK
dapat
diberikan
pada
daerah
potensial
lainnya
yang
dapat
menarik
pendatang
dari
pedesaan
atau
daerah
sub-urban.
K L A S T E R
3:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
D A N
S E D A N G
M E N U J U
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Daerah
pada
klaster
ini
belum
mencapai
rasio
terendah
dari
angka
ketergantungan.
Dengan
kapasitas
fiskalnya
yang
tinggi,
maka
ini
adalah
klaster
yang
sangat
penting
untuk
diperhatikan.
Daerah-daerah
ini
mempunyai
kesempatan
untuk
mempersiap-
kan
diri
memasuki
periode
WO
dan
berpeluang
besar
untuk
meraih
bonus
demografi.
Kebijakan
fiskal
bagi
daerah
yang
ada
di
klaster
ini
fokus
pada
pengelolaan
keuangan,
dengan
sasaran
terwujudnya
efisiensi
alokasi,
penajaman
prioritas,
dan
anggaran
berbasis
kinerja.
Daerah
pada
klaster
ini,
seharusnya
sudah
mampu
mengalokasikan
belanjanya
lebih
efisien
dan
mengarahkan
belanjanya
pada
penyiapan
tenaga
kerja
dan
sektor
ekonomi
yang
tepat
agar
kelak
dapat
memanfaatkan
windows
opportunity.
Daerah
yang
mengalami
urbanisasi
mempunyai
peluang
untuk
meningkatkan
fasilitas
publik
yang
dimilikinya.
Karena
mempunyai
kapasitas
fiskal
yang
tinggi,
maka
ada
kesempatan
untuk
melakukan
investasi
infrastruktur
yang
signifikan.
Berbagai
skema
DAK
dapat
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan
investasi
infra-
struktur
yang
sesuai.
K L A S T E R
4:
D A E R A H
Y A N G
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
RENDAH
D A N
BELUM
M E N C A P A I W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
Daerah
pada
klaster
ini
merupakan
daerah
yang
tantangannya
paling
besar.
Dengan
kapasitas
fiskal
yang
rendah
sedangkan
mereka
akan
memasuki
periode
WO,
tantangan
utama
adalah
bagaimana
mempersiapkan
diri
dalam
keterbatasan
fiskal
ini
dan
meraih
bonus
demografi
pada
saat
WO.
Walaupun
demikian,
jika
kesadaran
bahwa
mereka
mempunyai
peluang
untuk
meraih
bonus
demografi
ini
tinggi
dan
bisa
dijadikan
motivasi
atau
basis
kebijakan
pemerintah
daerah
maka
momentum
ini
dapat
menjadi
pemicu
positif
dalam
pembangunan
daerah.
Sama
halnya
dengan
daerah
lain,
daerah
dalam
klaster
ini
yang
juga
mengalami
urbanisasi
mempunyai
tantangan
lebih.
Dengan
kondisi
keterbatasan
fiskal,
meningkatnya
jumlah
tenaga
kerja
dan
terkonsentrasinya
penduduk
di
perkotaan,
maka
Pemda
membutuhkan
bantuan
investasi
dan
kebijakan
yang
didesain
khusus
untuk
mengatasi
hal
ini.
Kuncinya
adalah
mengubah
tantangan
menjadi
peluang.
Sebelum
membahas
kaitan
klaster
dengan
kebijakan
transfer,
perlu
kiranya
melihat
pada
sistem
transfer
yang
berlaku
saat
ini.
APBN
mengklasifikasikan
Transfer
ke
Daerah
ke
dalam:
a)
Dana
Perimbangan
(DAU,
DAK,
dan
DBH),
dan
b)
Dana
Otonomi
Khusus
dan
Penyesuaian.
Dalam
proposal
mengenai
skema
Dana
Transfer,
tim
mengusulkan
bahwa
dana
transfer
lainnya
seperti
hibah,
dana
percepatan
infrastruktur,
dana
insentif
daerah
dan
sebagainya
dipindahkan
ke
dalam
DAK.
Hal
ini
memudahkan
dari
sisi
tertib
administrasi
dan
untuk
memenuhi
azas
transparansi
dan
akuntabilitas.
Untuk
mengakomodasi
fleksibilitas
dalam
berbagai
dana
transfer
lainnya
ini,
maka
skema
DAK
juga
perlu
diubah
sebagaimana
yang
dapat
dilihat
pada
Bab
DAK
dalam
laporan
ini.
Dalam
desain
kebijakan
transfer
berdasarkan
klaster,
hanya
DAK
(dalam
definisi
dan
konteks
yang
baru)
yang
bisa
mengakomodasi
karakteristik
demografi,
fiskal,
dan
urbanisasi.
DAU
merupakan
transfer
yang
bersifat
redistributif
sehingga
kurang
cocok
untuk
desain
spesifik.
Sedangkan
DBH
merupakan
variabel
endogen
dalam
konstruksi
klaster,
sehingga
mengubah
desain
atau
skema
DBH
dapat
mengakibat-
kan
perubahan
komposisi
daerah
di
dalam
klaster.
Di
dalam
Bab
selanjutnya
semua
jenis
dana
transfer
tetap
akan
dibahas
walaupun
tidak
semua
terkait
dengan
konteks
demografi
atau
urbanisasi.
Hal
ini
tetap
penting
karena
masing-masing
dana
transfer
ini
mempunyai
peran
tersendiri
yang
saling
melengkapi
dan
menunjang
pelaksanaan
desentralisasi
secara
komprehensif.
Respon
Kebijakan
Dana
Transfer
Bagian
Dua
BAB
5
DANA
ALOKASI
UMUM
P R IN S IP
D A S A R
P E N G A L O K A S IA N
DAU
DAU
didistribusikan
oleh
Pemerintah
Pusat
kepada
Pemerintah
daerah
dengan
sasaran
untuk
memeratakan
kemampuan
fiskal
antardaerah,
sebagaimana
tertulis
pada
pasal
1
ayat
18
UU
25/1999
dan
juga
pasal
1
ayat
21
UU
33/2004
sebagai
berikut:
DANA
ALOKASI
UMUM
ADALAH
DANA
YANG
BERASAL
DARI
APBN,
YANG
DIALOKASIKAN
DENGAN
TUJUAN
PEMERATAAN
KEMAMPUAN
KEUANGAN
ANTAR-
DAERAH
UNTUK
MEMBIAYAI
KEBUTUHAN
PENGELUARANNYA
DALAM
RANGKA
PELAKSANAAN
DESENTRALISASI
Dana
Alokasi
Umum
(DAU)
adalah
bagian
dari
dana
perimbangan
yang
ditransfer
oleh
Pemerintah
Pusat
ke
Pemerintah
Daerah
untuk
tujuan
mengurangi
ketimpangan
fiskal
horizontal
(horizontal
fiscal
imbalance).
Itu
berarti
DAU
juga
disebut
equalization
grant
yaitu
grant
(bantuan)
yang
ditujukan
untuk
memeratakan
kemampuan
keuangan
daerah.
Daerah
yang
miskin
(kemampuan
keuangan
yang
rendah)
akan
mendapat
DAU
yang
relatif
lebih
besar
dari
daerah
yang
kaya
(kemampuan
keuangan
yang
tinggi).
DAU
sebagai
salah
satu
sumber
penerimaan
daerah
di
era
otonomi,
keberadaannya
sangat
signifikan
bagi
sebagian
besar
daerah
khususnya
yang
kurang
potensial
dalam
SDA
dan
SDM.
Dengan
demikian,
bagi
daerah
tersebut
DAU
merupakan
salah
satu
sumber
penerimaan
yang
relatif
lebih
besar
dari
sejumlah
sumber-sumber
penerimaan
dalam
struktur
keuangan
daerahnya.
UU
No.
33
tahun
2004
menyatakan
bahwa
DAU
dialokasikan
dengan
tujuan
pemerataan
kemampuan
keuangan
antar-daerah
untuk
membiayai
kebutuhan
pengeluarannya
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi.
DAU
untuk
suatu
daerah
ditetapkan
berdasarkan
pada
potensi
ekonomi,
karakteristik
penduduk
(demografi)
dan
kebutuhan
belanja
daerah
masing-masing.
Dengan
demikian
pengelolaan
dana
transfer
khususnya
DAU
seharusnya
didisain
dengan
mempertimbangkan
aspek
inter-generational
maupun
intertemporal
termasuk
mempertimbangkan
dimensi
demografis
dalam
jangka
menengah
maupun
jangka
panjang
di
Indonesia.
Studi
tentang
demografi
oleh
Adioetomo
(2005)
memperlihatkan
siklus
demografi
dimana
dalam
jangka
menengah
maupun
jangka
panjang
terdapat
peluang
yang
sangat
potensial
untuk
memperoleh
pendapatan
dari
situasi
demografi
tersebut,
namun
setelah
itu
juga
menggambarkan
situasi
yang
kurang
mendukung
proses
pengembangan
pendapatan.
Berbagai
studi
dan
angka
sampai
saat
ini
menunjukkan
bahwa
Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
masih
relatif
rendah
khususnya
untuk
daerah
kabupaten,
sehingga
daerah
masih
F O R M U L A
DAU
DAU
yang
dimulai
pada
tahun
anggaran
2001
adalah
pengalaman
pertama
Indonesia
mengalokasikan
dana
dengan
formula
yang
menggunakan
pendekatan
mengurangi
celah
fiskal
(fiscal
gap).
Namun
formula
pertama
ini
belum
dapat
mengestimasi
kapasitas
fiskal
dengan
baik
karena
tidak
tersedianya
perkiraan
dana
bagi
hasil
yang
juga
mulai
ditransfer
ke
daerah
pada
tahun
2001.
Penerapan
formula
secara
murni
ini
jadi
menyakitkan
bagi
banyak
daerah
yang
mengalami
penurunan
dana
transfer
secara
drastis.
Oleh
karena
itu
formula
murni
dimodifikasi
dengan
penambahan
variabel
transisi,
yakni
Dana
Rutin
Daerah
(DRD)
dan
Dana
Pembangunan
Daerah
(DPD)
pada
tahun
2000.
Dengan
menggunakan
DPR
dan
DPD,
maka
tidak
terjadi
fluktuasi
tinggi
dari
transfer
yang
diterima
oleh
daerah.
Secara
umum
dapat
dikatakan
bahwa
80%
alokasi
DAU
2001
ditentukan
oleh
DRD
dan
DPD
yang
diterima
daerah
tahun
2000
dan
hanya
20%
alokasi
ditentukan
oleh
formula
celah
fiskal.
Formula
DAU
diperbaiki
pada
tahun
2002
karena
dianggap
terdapat
banyak
kelemahan
dalam
formula
tahun
2001.Perbaikan
dilakukan
terutama
terhadap
formula
kapasitas
fiskal.
Namun
formula
DAU
2002
tetap
memasukkan
variabel
transisi
yaitu
gaji
PNS
daerah
dan
sejumlah
lump
sum
yang
secara
keseluruhan
disebut
Alokasi
Minimum.
Secara
umum
terjadi
perbaikan
pada
formula
DAU
2002
dengan
meningkatnya
peranan
celah
fiskal
yang
diperhitungan,
dari
20%
menjadi
40%.
Namun
implementasinya
ternyata
tidak
mudah
secara
politis.
Formula
tersebut
ternyata
mengakibatkan
sejumlah
daerah
yang
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi
mengalami
penurunan
DAU
dan
bahkan
ada
yang
tidak
mendapat
DAU
sama
K E C U K U P A N
DAU
DAU
yang
berperan
sebagai
instrumen
untuk
mengatasi
ketimpangan
horizontal
(horizontal
imbalance)
antardaerah
telah
mengalami
peningkatan
yang
cukup
signifikan
dari
tahun
ke
tahun.
Hal
ini
tercermin
dari
meningkatnya
rasio
alokasi
DAU
terhadap
pendapatan
dalam
negeri
(PDN)
neto,
dari
25
persen
dalam
periode
tahun
2001
hingga
tahun
2003,
menjadi
25,5
persen
dalam
tahun
2004-2005,
dan
kemudian
menjadi
26,0
persen
pada
tahun
2006-2010.
Sejalan
dengan
peningkatan
rasio
DAU
terhadap
PDN
neto
tersebut,
maka
dalam
rentang
waktu
yang
sama,
realisasi
DAU
meningkat
dari
Rp
60,3
triliun
dalam
tahun
2001
menjadi
Rp
192,5
triliun
dalam
tahun
2010,
atau
naik
rata-rata
sebesar
13,7
persen
per
tahun.
Pertumbuhan
DAU
yang
rata-rata
13,7
persen
per
tahun
dalam
periode
2001-2010
jauh
melebihi
tingkat
inflasi
tahunan
rata-rata
dalam
periode
tersebut
yang
diperkirakan
hanya
sekitar
9%.
Artinya
jumlah
DAU
tumbuh
secara
ril
sekitar
4,7%.
Meskipun
secara
ril
jumlah
DAU
keseluruhan
daerah
tumbuh,
namun
mengingat
dalam
periode
tersebut
terjadi
pemekaran
daerah
secara
besar-besaran,
maka
pertumbuhan
ril
tersebut
terasa
tidak
mencukupi
bagi
sebagian
besar
daerah
yang
tergantung
pada
DAU.
Jumlah
daerah
Kabupaten/Kota,
misalnya,
bertambah
dari
336
di
tahun
2001
menjadi
491
di
tahun
2010,
atau
tumbuh
rata-rata
sekitar
4,3%
per
tahun.
Artinya
pertumbuhan
riil
DAU
ternyata
sebagian
besar
terserap
untuk
mengakomodasi
pertumbuhan
daerah
baru.
Pertumbuhan
rata-rata
tahunan
DAU
berada
di
bawah
pertumbuhan
rata-rata
tahunan
pendapatan
negara
dalam
periode
2001-2010
tersebut
yang
diperkirakan
sekitar
15,3%.
Hal
ini
disebabkan
pada
dua
tahun
terakhir
(tahun
anggaran
2009
dan
2010)
terjadi
perubahan
definisi
PDN
Netto
yang
menjadi
dasar
perhitungan
jumlah
DAU.
PDN
netto
telah
diredefinisi
oleh
UU
APBN
dengan
menambahi
faktor
pengurang
pada
PDN,
yang
pada
intinya
mengurangi
total
DAU
untuk
daerah.
Perubahan
perhitungan
PDN
netto
ini
sesungguhnya
dapat
dipahami
sebagai
bagian
dari
upaya
pemerintah
untuk
mengantisipasi
krisis.
Dilema
yang
dihadapi
pemerintah
ketika
itu
adalah
di
satu
sisi
pemerintah
kesulitan
membiaya
defisit,
namun
di
sisi
lain
total
DAU
harus
dinaikkan
jika
tetap
menggunakan
definisi
PDN
netto
menurut
UU
33/2004.
Dampak
dari
perubahan
perhitungan
PDN
netto
adalah
proporsi
alokasi
DAU
terhadap
PDN
bruto
berkurang
cukup
signifikan,
dari
rata-rata
23
persen
pada
periode
2001-2008
menjadi
19
dan
20
persen
pada
APBN
2009
dan
2010.
P E R A N A N
DAU
D A L A M
M E N U R U N K A N
K E T IM P A N G A N
F IS K A L
A N T A R D A E R A H
Salah
satu
isu
yang
penting
dalam
periode
desentralisasi
adalah
semakin
tingginya
ketimpangan
fiskal
antardaerah.
Beberapa
metode
dapat
digunakan
untuk
mengukur
ketimpangan
fiskal
antara
daerah
tersebut,
antara
lain
(1)
koefisien
variasi
(KV),
(2)
Indeks
Williamson
(IW),
dan
(3)
rasio
pendapatan
perkapita
maksimum
terhadap
pendapatan
perkapita
minimum
(RMM).
Hasil
perhitungan
memperlihatkan
beberapa
hal:
1. Angka
koefisien
variasi
memperlihatkan
bahwa
ketimpangan
fiskal
antar-
daerah
kabupaten/kota
dalam
periode
2001-2010
tidak
mengalami
perbaikan
dan
juga
tidak
mengalami
pemburukan.
Namun
tingkat
ketimpangan
dalam
periode
ini
masih
lebih
tinggi
dibanding
tingkat
ketimpangan
tahun
1999/2000.
Jika
pada
tahun
2001
KV
terhitung
sebesar
1,16
(yang
berarti
besarnya
standar
deviasi
adalah
1,16
kali
dari
rata-rata),
maka
pada
tahun
2010
KV
tetap
terhitung
1,16.
2. Rasio
pendapatan
per
kapita
maksimum
dengan
minimum
(RMM)
memperlihatkan
bahwa
dalam
periode
2001-2010
terjadi
peningkatan
ketimpangan.
Jika
pada
tahun
2001
RMM
adalah
60:1
(pendapatan
perkapita
daerah
terkaya
adalah
60
kali
pendapatan
perkapita
daerah
termiskin),
maka
pada
tahun
2010
RMM
meningkat
menjadi
75:1.
3.
Tabel
5.1.
Tingkat
Ketimpangan
Fiskal
Antardaerah
Pendapatan
Perkapita
1999/2000
Rata-rata (rupiah)
205,044
616,643
705,198
2,505,932
2.838.845
0,76
1,16
1,02
1,13
1,16
32:1
60:1
42:1
69:1
75:1
0,70
0,67
0,70
0,70
Williamson Index
Pendapatan
Pendapatan
Perkapita
Perkapita
2001
2002
Pendapatan
Pendapatan
Perkapita
Perkapita
2008
2010
K E L E M A H A N
F O R M U L A
DAU
K IN I
Meskipun
secara
kuantitatif
DAU
mampu
berperan
dalam
menurunkan
ketim-
pangan
fiskal,
namun
berbagai
kelemahan
dalam
formulasi
DAU
dapat
diidentifikasi
sebagai
berikut:
a.
Formula
yang
mengestimasi
kebutuhan
fiskal
daerah
masih
sangat
lemah.
Saat
ini
terdapat
lima
variabel
yang
digunakan
untuk
mengestimasi
kebutuhan
fiskal,
yaitu
jumlah
penduduk,
luas
wilayah,
indeks
pembangunan
manusia
(IPM),
indeks
kemahalan
konstruksi
(IKK)
dan
PDRB
per
kapita.
Jumlah
penduduk
dan
luas
wilayah
jelas
dapat
dijadikan
variable
karena
terkait
dengan
kebutuhan
dana
untuk
menyediakan
pelayanan
dasar
yang
sangat
ditentukan
oleh
kedua
variable.
Kebutuhan
dana
dalam
rangka
peningkatan
kualitas
manusia
ditentukan
oleh
indeks
pembangunan
manusia
(IPM),
sedangkan
variasi
kebutuhan
dana
untuk
membangun
infrastruktur
akan
ditentukan
oleh
indeks
kemahalan
konstruksi
(IKK).
Namun
variabel
PDRB
per
kapita
tidak
memiliki
c.
Adanya
Alokasi
Dasar
(AD)
dalam
formula
DAU
saat
ini
yang
dihitung
dari
kebutuhan
belanja
pegawai
daerah
tentunya
akan
menjadi
insentif
bagi
daerah
untuk
mengusulkan
pengangkatan
pegawai
sebanyak-banyaknya.
Dapat
juga
dikatakan
bahwa
dengan
adanya
AD,
paling
tidak
daerah
tidak
punya
insentif
untuk
mengurangi
jumlah
pegawai
ke
tingkat
yang
rasional.
Penambahan
jumlah
pegawai
negeri
sipil
daerah
(PNSD)
yang
tidak
rasional
dan
melebihi
pertumbuhan
DAU,
menyebabkan
sebagian
besar
DAU
akan
terserap
untuk
keperluan
belanja
pegawai
tersebut.
Tidak
bisa
dihindari
bahwa
adanya
AD
dalam
formula
DAU
menimbulkan
kesan
bahwa
DAU
memang
diperuntukkan
untuk
membayar
gaji.
Kondisi
jumlah
pegawai
yang
lebih
banyak
dari
seharusnya
yang
terjadi
saat
ini
diberbagai
daerah,
berdampak
pada
biaya
gaji
yang
harus
ditanggung
oleh
Pemerintah
Daerah,
khususnya
bagi
daerah
yang
tidak
memiliki
banyak
sumber
penerimaan
daerah.
Melimpahnya
jumlah
pegawai
merupakan
masalah
utama
dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah,
dimana
daerah
akan
menanggung
ketidakefisienan
pegawai
tersebut.
Untuk
meningkatkan
efisiensi
pegawai
dapat
dilakukan
dengan
berbagai
cara.
Pemerintah
daerah
bisa
mengurangi
jumlah
pegawai
dari
posisi
saat
ini
menjadi
posisi
yang
lebih
efisien.
Tetapi,
kebijakan
mengurangi
jumlah
pegawai
dalam
jangka
pendek
merupakan
langkah
yang
tidak
populer
dewasa
ini,
dimana
tingkat
pengangguran
dianggap
masih
tinggi.
Pencapaian
efisiensi
dengan
pengurangan
jumlah
pegawai
bisa
dilakukan
tetapi
dalam
perspektif
jangka
menengah.Untuk
itu,
dibutuhkan
waktu
dalam
melakukan
transformasi
tersebut
sehingga
untuk
sementara,
alokasi
DAU
harus
memperhatikan
ketidakefisienan
ini.
Dalam
jangka
panjang,
desain
alokasi
DAU
harus
didasarkan
pada
pencapaian
outcome
yang
diharapkan.
Selain
itu,
dengan
mamanfaatkan
kelebihan
pegawai
untuk
melakukan
tugas
lain,
pemerintah
daerah
dituntut
kreativitasnya
untuk
menciptakan
kegiatan-
kegiatan
(task)
baru
dalam
pemenuhan
barang
maupun
pelayanan
publik.
Hal
ini
dapat
digambarkan
dengan
bagaimana
pemerintah
daerah
menciptakan
kegiatan
baru
untuk
menyerap
untuk
kelebihan
pegawai
tersebut.
Di
dalam
perspektif
jangka
pendek,
penciptaan
kegiatan
ini
sulit
dilakukan
karena
beberapa
hal
antara
lain:
masalah
sumber
daya
manusia,
kendala
struktural
dan
kebiasaan
bussiness
as
usual.
Di
dalam
perpektif
jangka
panjang,
kegiatan
baru
ini
diarahkan
pada
kegiatan
yang
produktif
yang
memberikan
kontribusi
bagi
penerimaan
daerah.
Apalagi
jika
mampu
memanfaatkan
peluang
bonus
demografi
yang
akan
terjadi
antara
tahun
2020
sampai
2040.
Sudah
menjadi
rahasia
umum
bahwa
terdapat
kegiatan-kegiatan
yang
tumpang
tindih
(overlapping)
dengan
berbagai
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
pegawai
pemerintah
daerah.
Dapat
dibayangkan
bahwa
pelimpahan
pegawai
yang
telah
terjadi
diawal
desentralisasi
telah
menambah
beban
bagi
pemerintah
daerah.
Sehingga
jumlah
pegawai
sekarang
di
daerah
merupakan
penjumlahan
antara
pegawai
pemerintah
daerah
dengan
jumlah
pegawai
eks
Kanwil
dan
eks
Kandep.
Dengan
penjelasan
ini
maka
penanganan
Alokasi
Dasar
(belanja
pegawai)
dalam
formula
DAU
jika
ingin
dikeluarkan
dari
formula
seharusnya
diganti
dengan
solusi
yang
bersifat
nasional.
Permasalahan
yang
dikemukakan
di
atas,
difokuskan
pada
aspek
jumlah
pegawai
atau
kuantitasnya.
Peraturan
Pemerintah
(PP)
yang
berisi
kenaikan
eselon
bagi
pegawai
daerah
telah
ikut
membawa
dampak
pada
peningkatan
biaya
per
pegawai
(pokok
maupun
tunjangan),
sehingga
total
biaya
untuk
pegawai
akan
meningkat.
Dari
sudut
pandang
ekonomi,
biaya
ini
akan
lebih
tidak
efisien
karena
kondisi
ketidakefisienan
berlimpahnya
pegawai
yang
digaji
(tunjangan)
yang
meningkat
dengan
keberadaan
PP
tersebut.
Meskipun
di
beberapa
daerah
yang
kaya
SDA
kenaikan
eselon
tersebut
bisa
dilakukan,
akan
tetapi
hal
itu
merupakan
peningkatan
ketidakefisienan.
Sebaliknya,
bagi
daerah
yang
miskin
(kurang)
SDA,
pemerintah
daerah
semakin
tidak
mampu
menutup
biaya
pegawai
dan
menjadi
sumber
ketidakefisienan.
Kebijakan
perubahan
Gaji
Pokok
yang
tertuang
dalam
PP
juga
akan
membawa
dampak
pada
peningkatan
biaya
gaji
pegawai.
Khususnya,
bagi
beberapa
daerah
yang
mengalami
kesulitan
anggaran
dengan
menyatakan
DAU
tidak
cukup
untuk
menutup
biaya
gaji
pegawai
daerah.
Terlebih
lagi,
keputusan
kenaikan
gaji
tersebut
bersifat
progresif,
artinya
golongan
yang
lebih
tinggi
mengalami
kenaikan
gaji
yang
cukup
besar
sedangkan
golongan
rendah
mendapat
kenaikan
yang
relatif
lebih
kecil.
Dengan
demikian,
kombinasi
berbagai
peraturan
yang
terkait
dengan
gaji
PNSD
membawa
implikasi
kenaikan
gaji
pegawai
yang
harus
ditanggung
oleh
setiap
daerah,
yang
sesungguhnya
kebijakan
tersebut
merupakan
kebijakan
nasional.
d.
Formula
kapasitas
fiskal
yang
saat
ini
digunakan
mengesankan
bahwa
DAU
yang
diterima
daerah
akan
berkurang
jika
PAD
meningkat.
Dalam
formula
DAU
2010,
PAD
yang
digunakan
oleh
Kementerian
Keuangan
untuk
menghitung
kapasitas
fiskal
daerah
adalah
PAD
realisasi
tahun
2008
dengan
alasan
data
realisasi
yang
baru
tersedia
adalah
untuk
tahun
2008.
Data
realisasi
PAD
2009
belum
dapat
digunakan
karena
laporan
realisasi
APBD
sebagian
besar
daerah
masih
dalam
proses
diaudit
oleh
BPK.
Dengan
menggunakan
data
realisasi
PAD
dua
tahun
sebelumnya
dalam
formula
DAU
berarti
bahwa
jika
sebuah
daerah
berhasil
menaikkan
PAD
pada
tahun
2010
ini,
baru
akan
dihukum
dengan
mengurangi
DAU
nya
pada
tahun
2012
yang
akan
datang.
e.
Tolak
ukur
output
DAU
sifatnya
jangka
pendek
dan
merupakan
tolok
ukur
praktikal.
Tolok
ukur
praktikal
adalah
tolok
ukur
keberhasilan
DAU
yang
digunakan
selama
masa
transisi.
Dengan
demikian,
alternatif
yang
dapat
U S U L A N P E R U B A H A N DAU D A N F O R M U L A N Y A
Mengenai
jumlah
DAU,
disarankan
agar
jumlahnya
tetap
minimum
26%
dari
Pendapatan
Dalam
Negeri
Neto
(PDN)
yang
ditetapkan
dalam
APBN.
Kalaupun
terjadi
penguatan
kemampuan
keuangan
negara,
disarankan
penambahan
transfer
ke
daerah
tidak
diarahkan
untuk
peningkatan
DAU.
Namun
disarankan
definisi
PDN
Netto
harus
dikembalikan
kepada
definisi
sebagaimana
dijelaskan
oleh
UU
33/2004,yaituPendapatan
Dalam
Negeri
dikurangi
dengan
Bagi
Hasil
Pajak
dan
Bagi
Hasil
SDA.Meskipun
demikian,
Pemerintah
Pusat
dalam
situasi
memaksa,
misalnya
krisis
fiskal
seperti
yang
terjadi
pada
tahun
1997/1998
atau
tahun
2008/2009,
dapat
mengurangi
porsi
DAU
terhadap
PDN
menjadi
lebih
kecil
dari
26%
dengan
tetap
mempertimbangkan
kecukupan
pendanaan
untuk
pelayanan
masyarakat
yang
dasar
di
daerah.
Terkait
Alokasi
Dasar
(Belanja
PNSD)
perlu
dikeluarkan
secara
bertahap.
Formula
DAU
disarankan
hanya
atas
dasar
celah
fiskal.
Dengan
kata
lain,
Alokasi
Dasar
yang
dihitung
dari
kebutuhan
belanja
PNS
daerah
perlu
dihilangkan
dari
formula.
Celah
fiskal
adalah
kebutuhan
fiskal
dikurangi
dengan
kapasitas
fiskal
daerah.Namun
jika
alokasi
dasar
dihapus
dari
formula
DAU,
diperlukan
periode
transisi
supaya
daerah
dapat
melakukan
penyesuaian
(misalnya
secara
bertahap
merasionalkan
jumlah
pegawai
dan
struktur
organisasinya).
Jika
jumlah
pegawai
tetap
digunakan,
maka
perlu
dimodifikasi
untuk
mencerminkan
belanja
pegawai
yang
rasional.Kebutuhan
untuk
belanja
pegawai
yang
rasional
dapat
dimasukkan
sebagai
bagian
dari
perhitungan
kebutuhan
fiskal.
Jumlah
pegawai
yang
rasional
dapat
diprediksi
dengan
rasio
pegawai
terhadap
penduduk
yang
tertimbang
menurut
karakteristik
wilayah,
misalnya
berdasarkan
rasio
penduduk
per
PNS
menurut
kelompok
klaster
kewilayahan
dengan
memperhatikan
belanja
per
pegawai
dan
dalam
rangka
mendorong
rasio
belanja
pegawai
terhadap
APBD
total
ke
tingkat
tertentu.
Mengenai
Kebutuhan
Fiskal,
perlu
dilakukan
penyesuaian
dengan:
1)
2)
IKK
perlu
dikali
dengan
luas
wilayah
sebelum
dijadikan
salah
satu
indeks
penentu
kebutuhan
fiskal.
IPM
perlu
dikali
dengan
jumlah
penduduk
sebelum
dijadikan
salah
satu
indeks
penentu
kebutuhan
fiskal.
3)
4)
Terkait
formula
Kapasitas
Fiskal,
tetap
diukur
dengan
memperhitungkan
PAD,
Bagi
Hasil
Pajak
dan
Bagi
Hasil
SDA.
Untuk
Bagi
Hasil
Pajak
dan
Bagi
Hasil
SDA,
dapat
digunakan
data
realisasi
terakhir,
mengingat
variabel
ini
berada
diluar
kendali
Pemerintah
Daerah
dan
semata
ditentukan
oleh
formula
bagihasilnya.
Namun
untuk
PAD,
perlu
diformulasikan
agar
tidak
menghukum
yang
PAD-nya
naik,
sehingga
ada
insentif
bagi
daerah
untuk
terus
meningkatkan
PAD
secara
rasional.
Untuk
Kabupaten/Kota,
dana
bagi
hasil
mestinya
juga
termasuk
dana
bagi
hasil
provinsi.
Perlakuan
berbeda
terhadap
PAD
untuk
karakteristik
(demografi)
yang
berbeda.
Proporsi
DAU
antara
daerah
provinsi
dan
kabupaten/kota
tetap
dapat
dilanjutkan
seperti
saat
ini
yaitu
10:90
dengan
asumsi
perimbangan
pembagian
fungsi
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota
tetap
seperti
sediakala.
Namun
mengingat
provinsi
memiliki
kapasitas
fiskal
yang
cukup
baik
dari
PAD
perlu
didorong
agar
provinsi
ke
depan
juga
perlu
menyediakan
dana
transfer
(grant)
ke
kabupaten/kota.
Formula
DAU
untuk
provinsi
disarankan
harus
berbeda
dengan
formula
untuk
kabupaten/kota
karena
karakteristiknya
berbeda,
bahkan
jika
memungkinkan
dengan
klaster
wilayah.
Selain
itu
perlu
dipertimbangkan
pilihan
memberikan
kewenangan
kepada
Provinsi
untuk
mendistribusikan
DAU
sejumlah
tertentu
dalam
rangka
pemerataan
fiskal
antardaerah
kabupaten/kota
dalam
provinsi.
Hal
ini
dapat
dilakukan
misalnya
mengubah
porsi
DAU
untuk
provinsi
dan
kabupaten/kota
menjadi
20:80.
Dari
porsi
DAU
untuk
tiap
provinsi
(yang
totalnya
sebesar
20%
tersebut),
minimum
setengah
DAU
yang
diterimanya
harus
dialokasikan
oleh
provinsi
ke
kabupaten/kota
untuk
pemerataan
kemampuan
fiskal
kabupaten/kota
dalam
provinsi
tersebut.
Pemikiran
ini
tentu
bisa
disesuaikan
lagi
dengan
klaster,
menggunakan
WO
sebagaimana
dijelaskan
di
bab-bab
sebelumnya.
Namun
sementara
ini,
yang
dijadikan
patokan
adalah
bahwa
klaster
nantinya
akan
lebih
mengarah
kepada
penyesuaian
dalam
DAK
daripada
DAU.
Untuk
meningkatkan
kepastian
dan
transparansi
perhitungan,
formula
DAU
harus
secara
jelas
dinyatakan
dalam
undang-undang
dan
digunakan
dalam
alokasi
DAU.
Dengan
demikian
diharapkan
daerah
dapat
menghitung
alokasi
DAU-nya
masing-
masing.
Untuk
itu
perlu
transparansi
formula
dan
data
yang
digunakan.
Formula
dan
semua
data
dasar
yang
digunakan
harus
dapat
di-upload
ke
website
agar
dapat
diketahui
oleh
publik.
Dalam
rangka
transparansi
dan
akuntabilitas,
paling
lambat
satu
bulan
setelah
Keputusan
Presiden
tentang
alokasi
DAU
ditandatangani,
maka
data
dasar
formulasi
dan
alokasi
DAU
harus
diumumkan
dan
dapat
diakses
oleh
publik.
Tujuan
DAU
adalah
untuk
mengurangi
ketimpangan
fiskal
antardaerah.Ukuran
ketimpangan
diukur
dengan
indeks
Williamson
atau
koefisien
variasi.
Nilai
pengukur
ketimpangan
sebaiknya
dirancang
tidak
boleh
lebih
tinggi
dari
tahun
sebelumnya.
Dalam
perhitungan
indeks
Williamson
dan
koefisien
variasi,
variable
y
yang
digunakan
adalah
rasio
Kebutuhan
fiskal
terhadap
Kapasitas
Fiskal
ditambah
DAU.
Variabel
y
ini
menggambarkan
berapa
persen
Kebutuhan
Fiskal
daerah
dapat
ditutupi
dengan
Kapasitas
Fiskal
ditambah
DAU,
karena
formula
DAU
pada
dasarnya
adalah
untuk
mengisi
celah
antara
kebutuhan
dengan
kapasitas
fiskal.
=
BAB
6
DANA
ALOKASI
KHUSUS
P E N G A N T A R
Sebelum
membahas
desain
DAK
dalam
mengantisipasi
feneomena
demografi
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya,
perlu
dijelaskan
dulu
Konsep
DAK,
penerapan
dan
permasalahannya
saat
ini,
serta
alternatif
desain
DAK
kedepan.
Konsep
DAK
secara
normatif
adalah
jenis
transfer
yang
bersifat
spesifik
yang
dialokasikan
untuk
mencapai
tujuan
tertentu
dari
pemberi
dana
transfer
(dalam
hal
ini
pemerintah
pusat).
Berdasarkan
konsep
teoritis,
alokasi
DAK
dapat
bertujuan
untuk
salah
satu
atau
gabungan
dari
tujuan
berikut
ini:
1)
mencapai
prioritas
nasional
yang
dapat
dicapai
secara
bertahap
dalam
jangka
menengah
tertentu,
2)
kebijakan
yang
bersifat
ad-hoc
yang
lebih
ditentukan
oleh
perkembangan
permasalahan
tertentu,
untuk
mengatasi
permasalahan
eksternalitas
antardaerah
yang
sering
dikenal
sebagai
inter-jurisdictional
spillover.
Syarat
pemberian
DAK
untuk
prioritas
nasional
adalah
pemerintah
telah
menyatakan
terlebih
dahulu
prioritas
nasional
tersebut
secara
jelas
dan
terukur.
Untuk
itu
prioritas
nasional
harus
berupa
tujuan-tujuan
tertentu
di
dalam
dokumen
negara
yang
dapat
diukur
dengan
indikator
dan
mempunyai
kerangka
waktu
yang
jelas.
DAK
dapat
bersifat
matching
(memerlukan
dana
pendamping
dari
daerah
penerima)
ataupun
non-matching.
Skema
dana
pendamping
umumnya
dipakai
sebagai
instrumen
untuk
menjaga
komitmen
pemerintah
daerah
penerima
DAK.
Tetapi
dana
pendamping
juga
dikritik
sebagai
bias
terhadap
daerah
yang
mampu.
Untuk
tujuan
distributif,
dapat
dipertimbangkan
DAK
yang
bersifat
non-matching
(tidak
perlu
dana
pendamping).
Untuk
mendukung
implementasi
DAK
yang
bersifat
non-matching
ini,
maka
dana
transfer
DAK
dapat
digolongkan
sebagai
hibah
dengan
sumber
dana
berasal
dari
pemerintah
pusat
atau
negara
lain.
Khusus
untuk
hibah
yang
bersumber
dari
luar
negeri,
adalah
diskresi
pemerintah
pusat
untuk
bernegosiasi
dengan
pemberi
hibah
mengenai
detil
penyaluran
hibah.
Sedangkan
untuk
DAK
yang
berasal
dari
APBN
murni
perlu
dibuat
sebuah
pengaturan.
DAK
bukan
merupakan
sumber
penerimaan
rutin
bagi
daerah,
sehingga
tidak
mengandung
atribut
hold-harmless
atau
hak
suatu
daerah
untuk
mendapat
DAK
terus
menerus.
DAK
bersifat
dinamis;
daerah
penerima
dan
besaran
yang
diterima
dipengaruhi
oleh
faktor
kriteria,
kebutuhan
dan
evaluasi,
dengan
pengaturan
alokasi
yang
telah
berdasarkan
sebuah
mekanisme
perencanaan
anggaran
yang
bersifat
jangka
menengah.
K E B IJA K A N
DAK
P R IO R IT A S
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK)
untuk
konteks
Indonesia
merupakan
bagian
dari
dana
perimbangan.
Dalam
konteks
Dana
Perimbangan,
faktor
distribusi
antardaerah
menjadi
pertimbangan
utama.
Konteks
tujuan
distribusi
ini
tetap
merupakan
warna
utama
dari
Desentralisasi
Indonesia
yang
dimulai
sejak
tahun
2001,
dan
sepertinya
tetap
akan
menjadi
prioritas
setidaknya
dalam
5-10
tahun
kedepan.
Namun
demikian,
dari
analisis
dan
kajian
terkait
DAK,
seperti
studi
dari
TADF
(2010)
menunjukkan
bahwa
DAK
di
Indonesia
selama
ini
cenderung
tidak
bersifat
distributif.
Karakteristik
dari
konsep
distribusi
atau
pemerataan
antardaerah,
dapat
dilakukan
dari:
1)
pendekatan
pemerataan
akses
dan
kualitas
pelayanan
publik
yang
direpresentasikan
dengan
Standar
Pelayanan
Minimum
(SPM),
atau
2)
distribusi
terkait
aktivitas
dan
kegiatan
ekonomi
antardaerah,
atau
3)
penanggulangan
kemiskinan.
Terkait
dengan
tujuan
1)
dan
2)
yang
bersifat
pemerataan
antardaerah,
dalam
perencanaan
dan
pencapaian
target,
daerah-daerah
dapat
dikategorikan
dalam
klaster
berikut:
A
High
SPM
Poor
Regions
(Probably
Efficient
Regions)
C
Low
SPM
Poor
Regions
(Lagging
Regions)
B
High
SPM
Rich
Regions
D
Low
SPM
Rich
Regions
(Probably
Inefficient
Regions)
Berdasarkan
katagorisasi
tersebut,
DAK
yang
ditujukan
untuk
tujuan
SPM
dan
aktivitas
ekonomi,
diprioritaskan
untuk
daerah
miskin
yang
pelayanan
publiknya
masih
buruk
(lagging
regions
atau
daerah
tertinggal).
Di
sini
perlu
diidentifikasi
indikator
daerah
tertinggal
(lagging
indicators)
yang
bisa
jadi
berbeda
dengan
indikator
yang
dipakai
oleh
Kementerian
PDT
untuk
mengelompokkan
daerah
tertinggal.
Alokasi
DAK
untuk
tujuan
ini
harus
memenuhi
syarat
untuk
pencapaian
tujuan
prioritas
nasional
tertentu,
dalam
hal
ini
dapat
berupa
pencapaian
SPM,
misalnya
dibidang
infrastruktur
atau
kesehatan.
Sementara
itu,
untuk
tujuan
3)
penanggulangan
kemiskinan,
skema
transfer
yang
berbasis
individu
dapat
diterapkan
di
tingkat
nasional
dan
atau
dikoordinasikan
dengan
pemerintahan
tingkat
provinsi
dan
kabupaten/kota
untuk
skema
transfer
yang
berbasis
masyarakat.
Dalam
konteks
ini,
penanggulangan
kemiskinan
dapat
bersifat
kebijakan
ad-hoc
DAK.
Mengingat
keterbatasan
sumber
keuangan
negara,
maka
DAK
Prioritas
seharusnya
fokus
pada
sektor
yang
benar-benar
mendukung
prioritas
nasional.
Usulan
dari
Tim
adalah
sampai
dengan
5-7
tahun
pertama
DAK
hanya
untuk
tiga
sektor
yaitu
infrastruktur,
pendidikan,
dan
kesehatan.
Pembatasan
ini
diperlukan
karena
telah
terbukti
selama
ini
bahwa
DAK
yang
terfragmentasi
menjadi
sangat
beragam
tetapi
dalam
jumlah
yang
kecil
telah
menghasilkan
dampak
yang
tidak
signifikan
terhadap
K E B IJA K A N
DAK
A D - H O C
Suatu
transfer
disebut
DAK
ad-hoc
jika
digunakan
untuk
membiayai:
1)
kegiatan
yang
bukan
urusan
daerah
tetapi
menjadi
prioritas
perencanaan
jangka
menengah
pemerintah
pusat,
atau
2)
kegiatan
yang
cakupan
kerjanya
lintas
daerah
(antar
kabupaten
dan/atau
kota
di
satu
provinsi
atau
beberapa
provinsi).
DAK
ad-hoc
ini
bertujuan
untuk
mengakomodasi
spillover
benefit
(penyediaan
pelayanan
publik
oleh
daerah
tertentu
tetapi
yang
menerima
manfaat
termasuk
penduduk
daerah
lain)
ataupun
mengkompensasi
negative
spillover.
Salah
satu
contoh
penanggulangan
spillover
adalah
kompensasi
untuk
pengelolaan
lingkungan,
dimana
satu
atau
beberapa
daerah
yang
diperlukan
sebagai
daerah
penyangga
untuk
konservasi
atau
daerah
yang
melakukan
kegiatan
pengelolaan
lingkungan
berhak
mendapatkan
kompensasi
berupa
DAK
ad-hoc.
Skema
DAK
reimbursement
yang
ada
saat
ini
sesuai
untuk
masuk
dalam
kelompok
DAK
ad-hoc.
Pemerintah
perlu
membuat
kriteria
kegiatan
yang
berhak
untuk
mendapatkan
reimbursement,
jumlah
minimum-maksimum
alokasi
per-kategori,
serta
kerangka
waktu.
Syarat
utamanya
adalah
kegiatan
yang
memerlukan
kompensasi
eksternalitas
baik
eksternalitas
negatif
(kepada
daerah
korban)
maupun
eksternalitas
positif
(kepada
daerah
pelaku).
DAK
ad-hoc
bisa
mempunyai
skema
dana
pendampingan
ataupun
tidak,
tergantung
dari
sifat
dan
kasus
yang
ada.Terkait
dengan
sumber
penerimaan
dan
desain
skema
transfer,
tidak
ada
batasan
atau
standar
tertentu
yang
perlu
dipenuhi,
kecuali
pada
umumnya
transfer
DAK
dapat
didesain
dengan
pendekatan
program
atau
diukur
dengan
pencapaian
outcome.
DAK
ad-hoc
yang
bersumber
dari
hibah
LN
tidak
mempunyai
batasan
jumlah
minimum-maksimum,
karena
tergantung
dari
tawaran
yang
ada
dan
kesepakatan
antar
pemerintah.
Tetapi
untuk
dana
yang
bersumber
dari
APBN
murni,
perlu
ditentukan
porsi
antara
DAK
Prioritas
dan
DAK
ad-hoc.
Hal
ini
penting
karena
sifat
ad-hoc
membuka
kesempatan
faktor
politis
untuk
ikut
menentukan
alokasi.
Untuk
itu
diusulkan
bahwa
pemerintah
atau
komisi
transfer
menentukan
persentase
porsi
ad-hoc
dan
prioritas
di
awal
Medium
Term
Expenditure
Framework
(MTEF)
atau
tahun
anggaran,
jika
MTEF
belum
bisa
diterapkan.
Penentuan
porsi
ini
harus
didasari
oleh
kriteria
dan
tujuan-tujuan
yang
ada
dalam
dokumen
kenegaraan.
S U M B E R
P E N D A N A A N
DAK
D A N
T IP O L O G I
DAK
DAK Prioritas (untuk mencapai
Prioritas Nasional):
- Top-down allocation
- Kompetisi
DAK Ad-hoc
(Berbasis Program):
- By design
- Reimbursement
Hibah LN
G2G agreement
Daerah penerima
Pinjaman
Untuk pembiayaan
Infrastruktur
DAK
Keterangan:
Hibah
LN
dapat
berupa
penerusan
ke
daerah
atau
jika
pihak
donor
setuju
dapat
masuk
dalam
skema
DAK
umum
atau
hanya
DAK
ad-hoc.
D E S A IN
DAK
D A N
P E N C A P A IA N
SPM
Dari
perkembangan
DAK
untuk
setiap
sektor,
DAK
untuk
sektor
pendidikan,
kesehatan
dan
infrastruktur
mencakup
lebih
dari
70%
total
alokasi
DAK
(TADF
2009).
Sesuai
juga
dengan
dokumen
GDFD,
apabila
DAK
ditujukan
untuk
insentif
pencapaian
SPM,
maka
dapat
diprioritaskan
untuk
ketiga
sektor
ini.
Insentif
yang
dikaitkan
dengan
pencapaian
SPM
perlu
dikembangkan
selaras
dengan
konteks
roadmap
tahapan
pencapaian
SPM
di
tiga
sektor
utama
ini.Insentif
pencapaian
SPM
dapat
pula
dikaitkan
dengan
pencapaian
program
pengentasan
kemiskinan.
Tabel
5.2.
Desain
DAK
serta
Peran
Pemerintah
Pusat
dan
Pemerintah
Daerah
Karakteristik
DAK
-
DAK Prioritas
-
-
-
Pemerintah
Pusat
Perlu
penetapan
Prioritas
Nasional
secara
terukur
dan
dalam
kerangka
waktu
yang
jelas.
Tidak
dibatasi
hanya
untuk
pembangunan
fisik.
Perubahan
prioritas
tidak
bersifat
tahunan
melainkan
multi-years.
Sebaiknya
sudah
menggunakan
sistem
-
-
-
Pemerintah
Daerah
Orientasi
pada
peningkatan
SPM.
Wajib
melaporkan
progress
dan
luaran.
Kompetisi
DAK
dapat
memberi
insentif
pada
daerah
untuk
berinisiatif
dan
berinovasi.
-
-
-
-
-
DAK ad-hoc
-
Pool
of
Funds
-
Formula
Aspek Distributif
-
-
-
-
Aspek
Efisiensi
MTEF.
Terbuka
untuk
mengalokasikan
sebagian
dari
anggaran
untuk
dikompetisikan
antardaerah.
Perlu
membangun
sistem
Monev.
Untuk
penanggulangan
kemiskinan
harus
bersinergi
dengan
program-program
lain
yang
sudah
ada.
Jenis
kegiatan
beragam
tidak
dibatasi
oleh
pembangunan
fisik
saja.
Disesuaikan
dengan
kebijakan
dan
dinamika
APBN.
Porsi
yang
bersumber
dari
APBN
murni
ditetapkan
di
awal
perencanaan
multi-
years.
Sistem
monitoring
dan
evaluasi
setiap
jenis
program
ditentukan
di
awal
serah-
terima
program
dan
disepakati
oleh
kedua
tingkat
pemerintahan.
DAK
reimbursement
ditetapkan
sebelum
tahun
anggaran
daerah
dimulai
sehingga
daerah
bisa
mengantisipasi
jika
ingin
mengikuti
program
ini.
Karena
bukan
merupakan
bentuk
shared
revenues,
tidak
ada
kewajiban
bagi
pemerintah
pusat
untuk
menetapkan
pool
of
funds
yang
bersifat
tetap
(persentase
tertentu
dari
penerimaan
pemerintah)
Formula
alokasi
dapat
berbeda-beda
tergantung
jenis
dan
tujuan
DAK.
Dimungkinkan
untuk
mengubah
kebijakan
formula
DAK
untuk
jenis
tertentu
yang
utamanya
adalah
untuk
mengoptimalkan
pencapaian
tujuan
transfer
terkait.
Pengukuran
ketimpangan
dan
dampak
distributif
harus
sesuai
dengan
klasterisasi.
Dapat
diukur
pada
tingkatan
individual
atau
komunitas.
Harus
ada
pemetaan
daerah
sebelum
program
DAK
ini
dimulai.
Skema
bersifat
non-matching.
Akan
ada
trade-off
antara
efisiensi
vs.
keadilan
untuk
pemberian
DAK
pada
daerah
tertinggal.
-
-
-
-
-
-
P E R M A S A L A H A N
A D M IN IS T R A S I
DAK
D A N
A L T E R N A T IF
S O L U S IN Y A
Meskipun
anggaran
terbatas,
saat
ini
jenis
DAK
makin
banyak,
sehingga
hasil
kurang
optimal
untuk
beberapa
jenis
DAK:
saat
ini
terdapat
19
jenis
DAK
berdasarkan
D E S A IN
T R A N S F E R
D A N A
A L O K A S I
K H U S U S
(DAK)
U N T U K
D A E R A H
Y A N G
M E N U JU
D A N
S U D A H
M E N C A P A I
W IN D O W
O F
O P P O R T U N IT Y
(WO)
Dana
alokasi
khusus
dapat
diberikan
ke
daerah
agar
daerah
dapat
memanfaatkan
secara
optimal
kondisi
saat
menuju
window
of
opportunity
(WO)
atau
Dependency
Ratio
(DR)
sedang
menurun,
dan
saat
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)
atau
Dependency
Ratio
(DR)
terendah.
Untuk
itu
beberapa
kebutuhan
perlu
K L A S T E R
1:
D A E R A H
Y A N G
S U D A H
M E N C A P A I
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
Daerah-daerah
pada
klaster
ini
adalah
daerah
memiliki
dua
kondisi
yang
menguntungkan,
yaitu
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)dan
memiliki
kapasitas
fiskal
tinggi.
Daerah
yang
termasuk
di
dalam
Klaster
1
Provinsi
DKI
Jakarta
(yang
mencapai
WO
pada
tahun
2010),
Kepulauan
Riau
(2015),
Maluku
Utara
(2015),
dan
Provinsi
Papua
Barat
(yang
mencapai
WO
pada
tahun
2012).
Provinsi
DKI
Jakarta
dan
Provinsi
Papua
Barat
adalah
dua
provinsi
yang
memiliki
kondisi
sosio-ekonomi
yang
paling
berbeda.
DKI
memiliki
IPM
yang
tinggi,
PAD
tertinggi
di
Indonesia,
dan
fasilitas
publik
terlengkap.
Dikaitkan
dengan
urbanisasi,
Jakarta
dan
Papua
memiliki
problem
yang
sangat
berbeda.
Yang
diperlukan
oleh
DKI
adalah
manajemen
kota
metropolitan
yang
terintegrasi
dengan
daerah
peri-perinya.
Sebagian
dari
kebutuhan
ini
akan
dapat
dipenuhi
melalui
kemampuan
fiskal
daerah
yang
tinggi,
namun
sebagian
besar
memerlukan
intervensi
fiskal
dari
pemerintah
pusat,
di
antaranya
adalah
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK)
yang
dibahas
dalam
bagian
ini.
Untuk
kedua
daerah,
tujuan
atau
jenis
DAK
yang
diberikan
akan
sangat
berbeda.
DKI
memerlukan
DAK
untuk
mendukung
kebutuhan
pembangunan
infrastrukturnya
yang
sangat
tinggi.
Karena
infrastruktur
memerlukan
investasi
yang
besar,
maka
DAK
tidak
cocok
sebagai
sumber
utama
pendanaan.
Pembangunan
sistem
transportasi
masal
untuk
daerah
metropolitan
seperti
DKI
memerlukan
keputusan
pada
tingkat
nasional.
Dalam
hal
ini
DAK
dapat
menjadi
salah
satu
komplemen
sumber
dana
misalnya
membiayai
sub-sistem
transportasi
masal
atau
untuk
kerjasama
dengan
daerah
peri-peri
(menginternalisasi
eksternalitas).
Secara
umum,
kebutuhan
strategis
bagi
daerah
dalam
periode
window
of
opportunity
(WO)
ini
adalah:
Pertama,
kebutuhan
yang
terkait
dengan
ketersediaan
tenaga
kerja
dengan
kualitas
yang
memadai.
Untuk
mencapai
hal
ini,
maka
kebutuhan
terkait
dengan
ketenaga-
kerjaan
yang
dapat
diidentifikasikan
adalah
sebagai
berikut
:
1.
Pengendalian
tingkat
kelahiran
agar
selalu
pada
posisi
tingkat
yang
rendah.
Hal
ini
diperlukan
karena
keluarga
sejahtera
seperti
yang
dicita-citakan
melalui
program
Keluarga
Berencana
(KB)
adalah
strategi
umum
yang
tetap
diperlukan.
Jumlah
keluarga
ideal
bagi
sebagian
besar
keluarga
di
Indonesia
diharapkan
dapat
dicapai
sehingga
produktivitas
tenaga
kerja
yang
memiliki
keluarga
ideal
akan
tinggi.
2.
3.
Tenaga
kerja
yang
tersedia
adalah
tenaga
kerja
yang
berkualitas.
Untuk
perbaikan
mutu
tenaga
kerja
dengan
kualitas
tertentu
yang
memenuhi
standar,
dapat
dilakukan
dengan
2
(dua)
hal
:
a. Pelatihan
kerja
(on
the
job
training
maupun
off
the
job
training),
pelayanan
kesehatan
yang
memadai,
hingga
penguasaan
dan
pengembangan
teknologi
yang
tepat
(appropriate
technology).
Hal
ini
harus
terus
dilakukan
seiring
dengan
kebutuhan
pasar
kerja
(labor
market).
Kebutuhan
keahlian
tenaga
kerja
di
DKI
tentu
berbeda
dengan
kebutuhan
keahlian
tenaga
kerja
di
Papua
Barat.
b. Program
keterampilan
dan
pengembangan
inovasi
produk
juga
harus
dilakukan
seintensif
mungkin,
sehingga
angkatan
kerja
tidak
hanya
tergantung
kepada
ketersediaan
lapangan
pekerjaan,
tetapi
juga
mampu
menciptakan
lapangan
pekerjaan
serta
mampu
mendorong
pengembangan
usaha
melalui
kegiatan
ekonomi
kreatif.
Hal
ini
cocok
dilaksanakan
di
Jakarta
yang
sektor
jasanya
sudah
cukup
maju
dan
memiliki
banyak
tenaga
kerja
produktif,
sedangkan
bidang
yang
tampaknya
potensial
untuk
Papua
Barat
yang
masih
memiliki
lahan
luas
dan
penduduk
yang
masih
sedikit
adalah
sektor
pertanian
dan
industri.
Menyediakan
atau
memfasilitasi
Lapangan
Kerja
dalam
jangka
pendek.
Kebutuhan
ini
diperlukan
terutama
bagi
angkatan
kerja
yang
sudah
lama
tinggal
di
Provinsi
DKI
Jakarta,
akan
tetapi
sulit
menemukan
pekerjaan.
Sebenarnya
jika
dilihat
dari
perkembangan
tingkat
pengangguran,
terjadi
kecenderungan
menurun
di
kedua
provinsi
dalam
klaster
ini.
Tingkat
pengangguran
di
Provinsi
DKI
Jakarta
menurun
dari
Tahun
2005
(15,77%)
sampai
Tahun
2010
(11,05%),
dan
di
Provinsi
Papua
Barat
juga
menurun
dari
Tahun
2006
(10,17%)
sampai
Tahun
2010
(7,68%).
Lapangan
kerja
dalam
jangka
pendek
ini
dapat
difasilitasi
untuk
disediakan
swasta
melalui
kemudahan
dalam
memperoleh
izin
usaha
atau
memberikan
insentif
fiskal
daerah.
Kedua,
kebutuhan
yang
terkait
penyediaan
lapangan
pekerjaan
dan
faktor-faktor
lain
yang
mendukung
pertumbuhan
ekonomi.
Beberapa
faktor
sangat
menentukan
realisasi
penyediaan
lapangan
pekerjaan
ini,
diantaranya
adalah
:
1) Terjadinya
peningkatan
investasi
yang
signifikan,
baik
investasi
dalam
negeri
maupun
investasi
asing.
Untuk
meningkatkan
minat
investor
perlu
dilakukan
berbagai
langkah
kebijakan,
antara
lain
melalui
penambahan
dan
perbaikan
infrastruktur,
serta
perbaikan
iklim
investasi
pada
umumnya.
Doing
Business
WB
memberikan
DKI
Jakarta
ranking
7
dari
14
kota
di
Indonesia
untuk
kemudahan
dalam
mendapatkan
izin
usaha
pada
tahun
2009.
Saat
ini
investor
memerlukan
rata-rata
60
hari
untuk
mendapatkan
surat
izin
usaha
di
DKI
Jakarta.
Seharusnya
DKI
bisa
memperbaiki
kondisi
ini
sehingga
menarik
dan
merealisasikan
investasi
lebih
banyak
dan
membuka
lapangan
kerja.
2) Peningkatan
pengeluaran
modal
pemerintah,
baik
pusat
dan
daerah,
untuk
membangun
infrastruktur.
Ketiga,
kebutuhan
lain
yang
terkait
dengan
stabilisasi
ekonomi
makro
serta
ketersediaan
kebijakan
publik
dan
regulasi
yang
bersifat
mendukung
baik
sisi
penawaran
maupun
permintaan
tenaga
kerja.
P E N Y E D I A A N
D A N A
A L O K A S I
K H U S U S
( D A K )
Berdasarkan
atas
kebutuhan
tersebut
di
atas,
maka
dapat
ditetapkan
kebijakan
dana
alokasi
khusus
(DAK)
untuk
memenuhi
kebutuhan
seperti
yang
telah
diuraikan
di
atas
bagi
daerah
Provinsi
DKI
Jakarta
dan
Provinsi
Papua.
Sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
klaster
I
ini
adalah
daerah
provinsi
yang
telah
memiliki
kapasitas
fiskal
yang
tinggi,
maka
kebijakan
alokasi
DAK
tersebut
memiliki
karakteristik
sebagai
berikut
:
1. Dari
segi
mekanisme
pembiayaannya,
alokasi
DAK
menggunakan
dana
pendamping
(matching)
dari
daerah,
dan
dengan
kemampuan
fiskal
yang
tinggi,
maka
daerah
dalam
klaster
ini
diberi
insentif
untuk
memberikan
porsi
dana
pendamping
yang
signifikan.
2. DAK
yang
sesuai
untuk
daerah
dengan
kapasitas
fiskal
yang
tinggi
adalah
DAK
by
design
dan
DAK
Reimbursement.
Tujuannya
adalah
membentuk
aset
infrastruktur
daerah
yang
vital,
mengakomodasi
spillover
effect,
dan
melakukan
percepatan
pertumbuhan.
Disesuaikan
dengan
kebutuhan
yang
telah
diuraikan
sebelumnya,
maka
dapat
disediakan
alokasi
DAK
dengan
kategori
sebagai
berikut
:
1. Dana
Alokasi
Khusus
yang
bersifat
fisik
maupun
non-fisik
dengan
beberapa
skema
sesuai
kebutuhan,
terdiri
atas
:
a) DAK
yang
mendukung
program
Keluarga
Berencana
(KB).
DAK
ini
dapat
berupa
program
non-fisik
khususnya
berupa
program
penyuluhan
untuk
peningkatan
kesadaran
melaksanakan
KB.
Selain
itu
DAK
ini
juga
menyediakan
program
untuk
mendukung
kesehatan
Ibu
yang
juga
aktif
bekerja.
DAK
Program
KB
yang
sudah
ada
dapat
terus
dilanjutkan
sehingga
produktivitas
tenaga
kerja
yang
memiliki
keluarga
ideal
juga
akan
tinggi.
b) DAK
yang
bersifat
mendukung
pelatihan
tenaga
kerja.
Program
yang
dapat
dibuat
adalah
program
yang
dapat
mendorong
Daerah
agar
berkomitmen
pada
ketersediaan
angkatan
kerja
atau
tenaga
kerja
yang
berkualitas
sesuai
kebutuhan
pasar
kerja
(labor
market).
Program
ini
untuk
memastikan
ketersediaan
kemampuan
tenaga
kerja
dalam
kemampuan
vocational.
c) DAK
untuk
menyediakan
atau
memfasilitasi
lapangan
kerja
dalam
jangka
pendek.
Lapangan
kerja
dalam
jangka
pendek
ini
dapat
disediakan
oleh
pemerintah
daerah,
misalnya
dalam
bentuk
kegiatan
Jaringan
Pengaman
Sosial
(JPS)
atau
dalam
bentuk
kegiatan
Program
Pemberdayaan
Masyarakat
Mandiri.
2. Dana
Alokasi
Khusus
yang
berupa
penyediaan
infrastruktur.
DAK
berorientasi
kepada
infrastruktur
ini
ditujukan
terutama
agar
daerahdapat
meningkatkan
investasi
baik
domestik
maupun
asing.
Contoh
skema
DAK
ini
misalnya:
jika
pemerintah
memandang
bahwa
DKI
Jakarta
perlu
membangun
sistem
transportasi
masal
tertentu
atau
meningkatkan
konektivitas
dengan
daerah
peri-perinya
dan
mengompensasi
eksternalitas
yang
ada,
maka
DAK
dapat
menjadi
salah
satu
sumber
pendanaan.
Contoh
lainnya:
jika
pemerintah
mengidentifikasi
bahwa
Papua
harus
membangun
pembangkit
listrik
independen
maka
DAK
dapat
dijadikan
dana
pendamping
investasi
daerah
atau
reimbursement
sebagian
pembangunan
pembangkit
yang
sudah
dilakukan.
K L A S T E R
2:
D A E R A H
Y A N G
S U D A H
M E N C A P A I
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
R E N D A H
Daerah-daerah
pada
klaster
ini
adalah
daerah
yang
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)
tetapi
memiliki
kapasitas
fiskal
relatif
rendah.
Kondisi
daerah
dengan
tingkat
ketergantungan
atau
Dependency
Ratio
(DR)
terendah
ini
harus
dimanfaatkan
sebaik-baiknya
oleh
daerah
karena
kondisi
tersebut
merupakan
kesempatan
atau
peluang
yang
berharga
untuk
memperoleh
bonus
demografi
yang
maksimum
sehingga
tercapai
kesejahteraan
rakyat.
Jika
momentum
tersebut
tidak
dimanfaatkan
atau
berlalu
begitu
saja
akan
menimbulkan
berbagai
masalah
sehingga
kesejahteraan
rakyat
tidak
tercapai
seperti
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya
di
Klaster
1.
Daerah
yang
termasuk
Klaster
2
adalah
Provinsi
DI
Yogyakarta
(yang
mencapai
WO
pada
tahun
2010),
Provinsi
Jawa
Tengah(2011),
Provinsi
Jawa
Timur
(2011),
Provinsi
Papua
(2010),
Provinsi
Sulawesi
Utara
(2012),
Provinsi
Sulawesi
Selatan
(2013),
Provinsi
Bangka
Belitung
(2013),
Provinsi
Gorontalo
(2014),
dan
Provinsi
Maluku
(2014).
Daerah-daerah
dalam
klaster
ini
mempunyai
kemampuan
fiskal
yang
relatif
rendah.
Dalam
Tabel
sebelumnya
di
Bab
2,
dapat
dilihat
bahwa
Pendapatan
daerah
perkapita
(dari
PAD
dan
DBH)
yang
dikoreksi
dengan
IKK
dalam
klaster
ini
berkisar
antara
Rp
132.353
(Provinsi
Jawa
Tengah)
sampai
Rp
403.808
(Provinsi
Bangka
Belitung).
Daerah-daerah
dalam
klaster
ini
juga
memiliki
karakteristik
Indeks
Pembangunan
Manusia
(IPM)
yang
cukup
beragam,
yaitu
Provinsi
DI
Yogyakarta
(dengan
IPM
sebesar
73,29),
Provinsi
Jawa
Tengah
(71,99),
Provinsi
Jawa
Timur
(72,14),
Provinsi
Papua
(69,00),
Provinsi
Sulawesi
Utara
(77,03),
Provinsi
Sulawesi
Selatan
(71,12),
Provinsi
Bangka
Belitung
(73,88),
Provinsi
Gorontalo(70,38),
dan
Provinsi
Maluku
(67,95).
Dengan
kondisi
yang
cukup
beragam
ini,
maka
kebutuhan
yang
diperlukan
untuk
2
daerah
pada
klaster
ini
juga
akan
berbeda.
Sebagian
dari
kebutuhan
ini
relatif
sulit
dipenuhi
melalui
kemampuan
fiskal
daerah
yang
rendah.
Oleh
karena
itu,
sebagian
besar
memerlukan
intervensi
fiskal
dari
pemerintah
pusat,
yang
di
antaranya
adalah
lewat
Dana
Alokasi
Khusus
(DAK).
Secara
umum,
Klaster
2
yang
sudah
mencapai
window
of
opportunity
(WO)
tapi
dengan
kapasitas
fiskal
rendah
ini
memiliki
beberapa
kebutuhan
strategis
yang
relatif
sama
dengan
Klaster
1
seperti
dijabarkan
dalam
bagian
sebelumnya.
Karena
kapasitas
fiskal
daerahnya
rendah
maka
perlu
diperhitungkan
dalam
alokasi
DAK
ke
daerah
dalam
Klaster
2
ini.
P E N Y E D I A A N
D A N A
A L O K A S I
K H U S U S
( D A K )
DAK
diperlukan
untuk
daerah
dalam
Klaster
2
ini
relatif
sama
dengan
yang
diperlukan
untuk
daerah
dalam
Klaster
1
karena
sama-sama
sudah
mencapai
WO
atau
tingkat
ketergantungan
(DR)
yang
paling
rendah.
Oleh
karena
itu
dengan
alasan
yang
sama,
DAK
yang
diperlukan
untuk
mendorong
daerah
untuk
memanfaatkan
kondisi
WO
yang
sudah
dicapai
oleh
daerah-daerah
dalam
Klaster
2
ini.
Tentu
saja
variabel
penting
lainnya
yaitu
urbanisasi,
jumlah
dan
kepadatan
penduduk,
serta
struktur
ekonomi
berpengaruh
penting
dalam
memilih
desain
dan
skema
DAK
yang
paling
tepat
untuk
masing-masing
daerah.
Salah
satu
hal
yang
membedakan
dalam
mekanisme
pembiayaan
DAK
bagi
daerah
dalam
Klaster
2
ini
yaitu
daerah-daerah
tersebut
memiliki
kapasitas
fiskal
yang
rendah,
dan
kondisi
ini
dapat
diintegrasikan
dalam
formulasi
alokasi
DAK,
yaitu
dengan
membebaskan
syarat
dana
pendamping
atau
menetapkan
persentase
matching
grant
yang
relatif
rendah
bagi
daerah-daerah
yang
berada
dalam
klaster
tersebut.
Struktur
ekonomi
suatu
daerah
akan
mempengaruhi
ke
arah
mana
desain
DAK
yang
sesuai,
masyarakat
agraris
mungkin
membutuhkan
DAK
irigasi
tetapi
masyarakat
industri
membutuhkan
DAK
untuk
Balai
Latihan
Kerja
yang
lebih
canggih.
Urbanisasi
membutuhkan
fasilitas
perkotaan
yang
lebih
banyak
dibandingkan
daerah
pedesaan
yang
mungkin
lebih
membutuhkan
dukungan
akses
ke
fasilitas
yang
sudah
ada.
K L A S T E R
3:
D A E R A H
Y A N G
M E N U J U
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y
D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
T I N G G I
Klaster
ini
mempunyai
peluang
terbaik
untuk
mendapatkan
bonus
demografi
jika
mampu
mempersiapkan
diri
dalam
menuju
periode
WO
dan
memanfaatkan
WO
tersebut.Daerah
dengan
kapasitas
fiskal
yang
tinggi
seharusnya
tidak
mempunyai
masalah
besar
untuk
menyediakan
dana
pendamping
DAK.
Yang
menjadi
kunci
adalah
desain
DAK
harus
mampu
memberikan
insentif
bagi
daerah
untuk
mempersiapkan
diri
mengambil
peluang
mendapatkan
bonus
demografi.
Daerah-
daerah
pada
klaster
ini
adalah
Kalimantan
Tengah
(2016),
Kalimantan
Selatan
(2016),
Kalimantan
Timur
(2018),
Bali
(2020),
Sumatera
Selatan
(2024),
dan
Riau
(2025).
Sebagaimana
klaster
lainnya,
konteks
urbanisasi,
struktur
ekonomi,
dan
jumlah
serta
kepadatan
penduduk
adalah
krusial
dalam
menentukan
desain
DAK
yang
tepat.
Semua
daerah
di
klaster
3
ini
terletak
di
luar
Jawa
dan
kecuali
Bali
memiliki
kepadatan
dan
jumlah
penduduk
yang
masih
rendah.
Dengan
pengecualian
Bali,
semua
daerah
ini
masih
dalam
kondisi
kekurangan
infrastruktur
dasar
jalan
penghubung
dan
listrik.
Dua
infrastruktur
ini
merupakan
kebutuhan
vital
dalam
pembangunan
karenanya
perlu
diperhatikan
dan
diupayakan
ketersediaannya.
DAK
dapat
berperan
penting
di
sini,
bersama
dengan
sumber
pendanaan
lainnya
seperti
dana
investasi
infrastruktur
dari
pusat,
dana
swasta
melalui
Public
Private
Partnership
(PPP),
ataupun
dana
bantuan
luar
negeri.
DAK
dengan
dana
pendamping
akan
mempengaruhi
belanja
daerah,
dan
apabila
skema
yang
ditawarkan
cukup
menarik
maka
investasi
daerah
untuk
infrastruktur
akan
menjadi
signifikan,
contohnya
adalah
untuk
setiap
rupiah
yang
dibelanjakan
untuk
membangun
jalan
penghubung
antar
kabupaten,
pemerintah
akan
menyediakan
satu
rupiah
dana
tambahan
selama
masih
berada
dalam
batasan
minimal-maksimal
besarnya
proyek.
Atau
pemerintah
akan
menyediakan
DAK
dengan
dana
pendamping
sangat
ringan
(misalnya
di
bawah
5%)
untuk
pelatihan
keterampilan
penduduk
usia
tenaga
kerja
jika
daerah
membangun
BLK
dengan
biaya
sendiri.
Masih
banyak
desain
yang
bisa
ditawarkan
asalkan
pemerintah
pusat
memiliki
objektif,
data,
dan
target
yang
jelas
mengenai
tujuan
pemberian
DAK
tersebut.
DAK
untuk
klaster
ini
juga
dapat
menunjang
program
MP3EI
yang
dicanangkan
pemerintah.
K L A S T E R
4:
D A E R A H
Y A N G
M E N U J U
W I N D O W
O F
O P P O R T U N I T Y D A N
M E M I L I K I
K A P A S I T A S
F I S K A L
R E N D A H
Klaster
ini
masih
mempunyai
peluang
untuk
mendapatkan
bonus
demografi
jika
mampu
meningkatkan
kondisi
penunjang
selama
menuju
periode
WO.
Daerah
dengan
kapasitas
fiskal
rendah
memiliki
keterbatasan
dalam
membelanjakan
anggaran
untuk
investasi
infrastruktur.
Desain
DAK
yang
tepat
dapat
ditawarkan
sesuai
dengan
potensi
dan
tantangan
masing-masing
daerah.
Skema
dana
pendamping
juga
tidak
bersifat
kaku,
untuk
beberapa
daerah
dan
sektor
tertentu
mungkin
DAK
dapat
diberikan
tanpa
memerlukan
dana
pendamping
atau
melalui
sistem
kompetisi.
Sama
halnya
seperti
pada
klaster
lainnya,
daerah
tidak
bisa
menumpukan
semua
harapan
pembangunan
infrastruktur
pada
DAK,
karena
DAK
sendiri
memiliki
keterbatasan,
baik
SDM
penyelenggara
maupun
pada
proses
dan
sistem
termasuk
regulasi,
keterbatasan
kapasitas
dan
kompetensi,
ataupun
jumlah
yang
bisa
dialokasikan.
Untuk
daerah
dengan
kapasitas
fiskal
rendah
dan
dalam
kondisi
kekurangan
infrastruktur
dan
fasilitas
dasar
tetapi
tidak
mampu
membangunnya,
maka
pemerintah
pusat
dapat
menentukan
DAK
untuk
pembangunan
fasilitas
tersebut
secara
pendekatan
top-down
walaupun
tetap
mengacu
pada
kriteria
yang
transparan
dan
akuntabel.
BAB
7
D ANA
B AGI
H ASIL
P E N G A N T A R
DBH
merupakan
dana
perimbangan
yang
strategis
bagi
daerah-daerah
yang
memiliki
sumber-sumber
penerimaan
Pusat
di
daerahnya.
Sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
DBH
sangat
berperan
dalam
mengurangi
ketimpangan
vertikal
yang
terjadi
dan
DBH
dapat
diberikan
dalam
bentuk
bagi
hasil
pajak
dan
bukan
pajak
(non-pajak).
Meskipun
peranan
DBH
cukup
penting,
terutama
bagi
daerah
dengan
sumber
daya
pajak
dan
sumber
daya
alam
yang
besar,
tetapi
tidak
semua
jenis
penerimaan
Negara
dapat
dibagihasilkan
ke
Daerah.
Indonesia
sebagai
negara
dengan
karakteristik
daerah
yang
sangat
beragam,
sangat
penting
memasukkan
perbedaan
karakteristik
daerah
tersebut
dalam
kebijakan
desentralisasi
fiskalnya,
termasuk
Dana
Bagi
Hasil.
Adioetomo
(2005)
menyatakan
bahwa
aspek
demografi
dapat
mempengaruhi
dinamika
pembangunan
dan
memberikan
kesempatan
bagi
suatu
daerah
untuk
memanfaatkan
jumlah
penduduk
usia
produktif
dalam
pembangunan
yang
dikenal
dengan
bonus
demografi.
Kondisi
WO
(windows
of
opportunity)
dan
Kapasitas
Fiskal
daerah,
dijadikan
sebagai
dasar
untuk
pembuatan
Klaster
(secara
detil
dijelaskan
pada
BAB
3).
Berdasarkan
klaster
yang
ada,
maka
dana
transfer
seperti
DAU,
DAK
akan
mengalami
penyesuaian
termasuk
Dana
Transfer
lainnya.
Sedangkan
DBH
akan
disesuaikan
terutama
terkait
dengan
semakin
besar
jumlah
orang
usia
kerja
dan
mampu
menghasilkan
penerimaan
pajak
yang
nantinya
akan
dibagi
hasilkan.
Pembagian
DBH
selama
ini
berdasarkan
atas
daerah
asal
yang
dikenal
dengan
penghasil
dan
dibagirata
untuk
daerah
non
penghasil.
Besaran
prosentase
dari
bagi
hasil
baik
Pajak
dan
Non
Pajak
ditetapkan
oleh
Undang
Undang.
Untuk
memberikan
rasa
keadilan
yang
lebih
baik,
sebaiknya
pembagian
DBH
pada
daerah
non-penghasil
[didalam
provinsi]
didasarkan
atas
pertimbangan
windowsof
opportunity
masingmasing
daerah,
tidak
lagi
dibagi
sama
rata
diantara
daerah
non
penghasil.
Secara
terperinci
gambaran
DBH
terkait
dengan
klaster
dijelaskan
dibawah
ini.
D E S A IN
K E B IJA K A N
D A N A
B A G I
H A S IL
B E R D A S A R K A N
K L A S T E R
D A N A
B A G I
H A S I L
P A J A K
Salah
satu
alasan
suatu
pajak
ditetapkan
sebagai
pajak
pusat
dan
tidak
dijadikan
sebagai
pajak
daerah
adalah
untuk
menghindari
tax
competition
yang
mengarah
pada
persaingan
yang
tidak
sehat
dan
akan
berimplikasi
pada
penurunan
penerimaan
dan
perekonomian,
akibat
dari
basis
pajak
(atau
taxpayer)
yang
cenderung
tertarik
pada
daerah
dengan
tingkat
pajak
yang
rendah.
Penetapan
tingkat
dan
basis
pajak
secara
nasional,
yang
kemudian
dibagihasilkan,
merupakan
alternatif
untuk
menghindari
wasteful
tax
competition
di
daerah.
Namun
demikian,
penetapan
DBH
di
beberapa
jenis
pajak
kemungkinan
akan
mengakibatkan
penurunan
tax
effort
dibandingkan
dengan
jenis
pajak
yang
tidak
dibagihasilkan.
Hal
ini
karena
penerimaan
dari
pajak
yang
dibagihasilkan
tidak
sepenuhnya
digunakan
oleh
tingkat
pemerintahan
yang
menetapkan
dan
bertanggung
jawab
terkait
administrasi
pajak
tersebut.
Untuk
itu,
justifikasi
conditionality
dari
DBH
dapat
dikaitkan
dengan
upaya
pemerintah
daerah
untuk
membantu
meningkatkan
pemungutan
pajak
akan
mengimbangi
potensi
penurunan
tax
effort
di
tingkat
pemerintah
pusat
ataupun
daerah.
Secara
konsep,
tidak
ada
pembatasan
jenis
pajak
pusat
yang
dapat
dibagihasilkan.
Namun
demikian,
di
Indonesia
jenis
transfer
dalam
sistem
transfer
antar
pemerintahan
(intergovernmentaltransfer)
saling
terkait
satu
dengan
lain,
dimana
diperlukan
konsensus
untuk
penetapan
DBH,
baik
pajak
apa
yang
dapat
dibagihasilkan
dan
berapa
proporsinya.
Berikut
beberapa
kriteria
penerimaan
negara
dari
pajak
yang
dapat
dibagihasilkan:
1. Penerimaan
pajak
yang
tumbuh
seiring
dengan
pertumbuhan
ekonomi
(artinya,
elastis
terhadap
pertumbuhan
ekonomi)
Daerah
yang
mendapatkan
bagi
hasil
akan
mendapat
manfaat
dari
pertumbuhan
ekonomi.
DBH
pajak
diberlakukan
agar
pemerintah
daerah
juga
dapat
mengakses
sumber
penerimaan
yang
relatif
stabil
terutama
untuk
mengkompensasi
terbatasnya
sumber
penerimaan
yang
dapat
dikategorikan
sebagai
pajak
daerah.Secara
umum
DBH
adalah
pajak
pemerintah
pusat
yang
relatif
elastis
dan
stabil
seperti
pajak
pendapatan
perorangan
(individual
income
tax).
2. Potensi
basis
pajaknya
relatif
merata
antardaerah
Hal
ini
terutama
untuk
menjamin
bahwa
distribusi
DBH
pajak
tidak
hanya
akan
meningkatkan
pendapatan
dari
sebagian
kecil
pemerintah
daerah.
Poin
ini
juga
merupakan
pembedaan
antara
penerimaan
pajak
yang
dibagihasilkan
dengan
bagi
hasil
PNBP
yang
umumnya
merupakan
penerimaan
yang
berasal
dari
kegiatan
pengelolaan
SDA
yang
cenderung
terkonsentrasi
hanya
di
beberapa
wilayah.
3. Diberlakukan
untuk
pajak
yang
lokasi
pemungutannya
(tax
collection)
kurang
lebih
sama
dengan
lokasi
penanggung
beban
pajaknya
(tax
incidence)
Umumnya
alokasi
DBH
ditentukan
berdasarkan
derivation
basis
(atau
collection
point),
perlu
penekanan
bahwa
jenis
pajak
yang
dibagihasilkan
relatif
tinggi
korespondensi
antara
lokasi
pemungutan
pajak
dengan
mayoritas
penanggung
beban
pajak
tersebut.Dalam
hal
ini
perlu
dihindari
pemberlakuan
DBH
berdasarkan
derivation
basis
terhadap
pajak
dengan
tingkat
exportation
yang
tinggi
seperti
pajak
ekspor
atau
tarif
impor,
PPh
Badan
(corporatetax),
ataupun
pajak
(termasuk
cukai)
rokok.
4. Objek
pajak
merupakan
kepemilikan
nasional
Implikasinya
adalah
pengaturan
hanya
mencakup
pajak
yang
dibagihasilkan
oleh
pemerintah
pusat
ke
pemerintah
daerah.Dalam
hal
ini,
tidak
perlu
dilakukan
pengaturan
secara
spesifik
mengenai
DBH
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah,
yaitu
DBH
dari
pemerintah
provinsi
ke
pemerintah
kabupaten/kota.
DBH
yang
based
on
originserta
menjadi
sumber
hukum
utama
dalam
penyusunan
berbagai
peraturan
lain
yang
terkait
dengan
DBH.
Dalam
PBB
bagian
pusat
ada
yang
dibagikan
berdasarkan
bagi
rata,
upah
pungut,
dan
insentif.Metode
bagi
rata
ini
sebenarnya
tidak
tepat,
karena
hal
itu
sudah
menjadi
bagian
dari
DAU.
Untuk
upah
pungut,
daerah
mendapatkan
dari
PBB
migas,
pertambangan,
dan
perkebunan.Padahal
daerah
tidak
memberi
kontribusi
apapun
didalam
pengumpulannyakontribusi
daerah
hanya
untuk
perkotaan
dan
perdesaan.Kedepannya
PBB
hanya
bagian
pusat,
dan
bagian
daerah
saja.Biaya
pungut
seharusnya
tidak
lagi
menjadi
komponen
bagi
hasil,
dan
dimasukkan
saja
menjadi
bagian
dari
belanja
instansi
yang
bertanggung
jawab.
Revisi
UU
33/2004
harus
melakukan
perbaikan
atas
proporsi
bagi
hasil
antara
pemerintah
pusat,
provinsi,
dan
kabupaten/kota.
Dihilangkannya
metode
bagi
rata
dan
biaya
pungut,
berarti
bagian
pusat
hanya
tinggal
3%,
sesuai
dengan
praktek
yang
telah
terjadi
sampai
dengan
saat
ini.
Sebesar
97%
dialokasikan
ke
daerah.
Yang
dialokasikan
ke
daerah
ini
akan
dibagi
ke
provinsi
sebesar
17%
dan
kabupaten/kota
sebesar
80%.
D A N A
B A G I
H A S I L
N O N -P A J A K
(SDA)
Salah
satu
sumber
penerimaan
daerah
yang
cukup
penting
adalah
bagi
hasil
pajak
dari
pengelolaan
Sumber
Daya
Alam.Penggunan
Dana
Bagi
Hasil
Sumber
Daya
Alam(DBH
SDA)
ini
bersifat
unconditional,
dimana
daerah
dapat
membelanjakan
sesuai
dengan
kebutuhan
daerah
tanpa
ada
persyaratan
atau
arahan
tertentu
dari
Pusat.
DBH
SDA
termasuk
dalam
kategori
DBH
non-pajak.
Dalam
perkembangannya,
DBH
SDA
terdiri
dari
DBH
yang
berasal
dari
penerimaan
negara
bukan
pajak
(PNBP)
dari
minyak
bumi,
gas
alam,
panas
bumi,
pertambangan
umum,
kehutanan,
dan
perikanan.
Konsep
penerimaan
SDA
yang
dimasukkan
sebagai
penerimaan
non-pajak
kemungkinan
terkait
dengan
penerimaan
yang
bersifat
royalti
dari
tingkat
produksi.
Bahl
dan
Tumenasan
(2002)
melakukan
evaluasi
bahwa
alasan
SDA
dapat
dibagihasilkan
terutama
terkait
dengan
konsep
kepemilikan,
serta
kegunaaan
(manfaat)
dan
biaya
dari
pengelolaan
SDA
tersebut.
Untuk
negara
berkembang
dengan
sumber
daya
dan
kapasitas
adminitrasi
publik
yang
terbatas,
penetapan
SDA
yang
dibagihasilkan
seharusnya
juga
disesuaikan
dengan
efisiensi
biaya
administrasi
alokasi
SDA.
Oleh
karena
itu,
Penerimaan
Negara
Bukan
Pajak
(PNBP)
dari
sumber
daya
alam
yang
dapat
dibagihasilkan
harus
memenuhi
kriteria
berikut:
1.
2.
3.
5.
6.
7.
DBH
SDA
mencakup
DBH
Minyak
Bumi,
Gas
Alam,
dan
Panas
Bumi,
Pertambangan
Umum,
Kehutanan,
dan
Perikanan.
Beberapa
pemikiran
yang
perlu
dipertimbangkan
untuk
perbaikan
alokasi
DBH
SDA
di
masa
yang
akan
datang
antara
lain:
M I N Y A K
B U M I ,
G A S
A L A M ,
D A N
P A N A S
B U M I
DBH
dari
minyak
bumi
dan
gas
alam
didasarkan
pada
penerimaan
negara
berdasarkan
perjanjian
KPS
yang
tidak
termasuk
dalam
penerimaan
pajak.
Basis
dari
penerimaan
negara
untuk
minyak
bumi
dan
gas
alam
adalah
berdasarkan
jumlah
lifting
(hasil
produksi
yang
siap
dijual).
Alokasi
DBH
SDA
terutama
dari
sumber
penerimaan
minyak
bumi
dan
gas
cenderung
sensitif
dengan
perubahan
tingkat
harga
minyak
bumi
dan
gas.
Fluktuasi
tingkat
harga
adalah
salah
satu
kendala
dari
penyaluran
DBH
sehingga
menyebabkan
penerimaan
pemerintah
daerah
dari
DBH
SDA
relatif
tidak
stabil.
Alternatif
dari
risiko
fluktuasi
penerimaan
DBH
dapat
diminimalisir
dengan
penyaluran
yang
berdasarkan
prognosa
dengan
asumsi
risiko
dan
juga
windfall
dari
fluktuasi
harga
SDA
akan
ditanggung
sebagian
besarnya
oleh
pemerintah
pusat.
Penyaluran
tersebut
dilakukan
per
triwulan
dimana
tiga
triwulan
pertama
masing-
masing
sebesar
25%
dari
alokasi
sementara
DBH
SDA
dan
penyaluran
untuk
triwulan
keempat
berdasarkan
prognosa
realisasidengan
memperhitungkan
penyaluran
3
(tiga)
triwulan
sebelumnya.
Untuk
itu,
penetapan
capping
130
persen
terhadap
asumsi
dasar
harga
minyak
bumi
dan
gas
bumi
tidak
perlu
dicantumkan.
Cappingterhadap
tingkat
harga
yang
dijadikan
dasar
alokasi
DBH
menjadi
tidak
lagi
relevan
ketika
alokasi
DBH
SDA
adalah
berdasarkan
asumsi
harga
yang
ditetapkan
di
APBN.
Earmark
DBH
Minyak
Bumi
dan
Gas
Alam
sebesar
0.5
persen
sebaiknya
dihapuskan
terutama
karena
porsi
yang
relatif
kecil
dan
kurang
cost-efektif
jika
dikaitkan
dengan
monitoring
dan
pengawasan
dari
penggunaan
dana
tersebut.
Conditionality
penggunaan
DBH
untuk
program
pengeluaran
tertentu
juga
tidak
sesuai
dengan
tujuan
awal
DBH
yang
semata-mata
adalah
untuk
vertical
sharing
arrangement.
P E R T A M B A N G A N
U M U M
Penerimaan
dari
pertambangan
umum
yang
layak
dibagihasilkan
adalah
jenis
sumber
penerimaan
yang
relatif
besar.
Untuk
itu,
jenis
pertambangan
dan
juga
jumlah
deposit
menentukan
apakah
kegiatan
pertambangan
umum
tersebut
berada
dibawah
pengelolaan
pemerintah
pusat,
yang
selanjutnya
dapat
dibagihasilkan
ke
pemerintah
daerah.
Komponen
penerimaan
dari
pertambangan
umum
yang
dibagihasilkan
ke
daerah
adalah
iuran
tetap
atau
land-rent
dan
iuran
ekploitasi
dan
eksplorasi
atau
royalti.
Dalam
hal
ini,
land-rent
dari
pertambangan
umum
selayaknya
dijadikan
sebagai
pajak
daerah
saja,
mengingat
karakteristik
dari
basis
pungutan
relatif
dapat
dikategorikan
sama
dengan
karakteristik
pajak
bumi
dan
bangunan.
Selanjutnya,
DBH
SDA
pertambangan
hanya
mengacu
pada
penerimaan
royalti
yang
didasarkan
pada
kegiatan
produksi.
Jumlah
DBH
SDA
relatif
besar
untuk
beberapa
pemerintah
daerah
sementara
kemampuan
belanja
rendah
dan
kapasitas
SDM
pemerintah
daerah
tersebut
relatif
terbatas.
Dalam
hal
ini,
seyogyanya
penggunaan
dana
transfer
ini
tidak
dapat
dilihat
dalam
konteks
pengeluaran
melalui
satu
tahun
berjalan
saja.
Endowment
fund
kemungkinan
diperlukan
terlebih
karena
DBH
SDA
terutama
SDA
yang
tidak
terbarukan
memiliki
jangka
waktu
tertentu
sesuai
dengan
deposit
SDA
tersebut
dan
juga
kapasitas
dan
tingkat
kegiatan
produksi.Hal
ini
juga
dikaitkan
dengan
kemungkinan
masih
terdapat
eksternalitas
(negatif)
yang
perlu
ditangani
bahkan
setelah
kegiatan
eksploitasi
dan
eksplorasi
SDA
selesai.
K E H U T A N A N
Penerimaan
yang
dibagihasilkan
terkait
dengan
PNBP
di
Kehutanan
adalah
Iuran
Hak
Pengusahaan
Hutan
(IHPH),
Provisi
Sumber
Daya
Hutan
(PSDH),
dan
Dana
Reboisasi.Tujuan
pemungutan
Dana
Reboisasi
adalah
untuk
sepenuhnya
kegiatan
reboisasi,
dan
tidak
dapat
dijadikan
sebagai
DBH.Untuk
itu,
sebaiknya
Dana
Reboisasi
diserahkan
ke
pemerintah
daerah
berdasarkan
regulasi
yang
ketat,
terutama
terkait
dengan
kewenangan
melakukan
reboisasi
hutan
yang
merupakan
tanggung
jawab
pemerintah
daerah.
P E R I K A N A N
Tidak
seperti
alokasi
DBH
SDA
lainnya,
alokasi
DBH
dari
SDA
perikanan
tidak
mengikuti
formula
tertentu
dan
hanya
dibagi
sama
rata
untuk
seluruh
pemerintah
daerah.
Dalam
hal
ini,
jumlah
pemerintah
daerah
yang
cenderung
terus
meningkat
cukup
kontras
dengan
penerimaan
dari
sektor
perikanan
yang
dibagihasilkan
yang
justru
cenderung
terus
menurun.
Sebagai
contoh,
untuk
tahun
2009,
total
DBH
dari
perikanan
yang
dibagihasilkan
ke
daerah
hanyalah
sebesar
160
milyar
IDR,
dan
jumlah
ini
bahkan
menurun
di
tahun
2010
menjadi
hanya
sekitar
120
milyar
IDR
(PMK
No.
157
Tahun
2008,
PMK
No.
201
Tahun
2009).
Terkait
dengan
relatif
kecilnya
penerimaan
dari
perikanan
dan
juga
pembagian
yang
sulit
untuk
dihubungkan
dengan
potensi
SDA
perikanan
setiap
daerah,
maka
revisi
UU
33/2004
sebaiknya
menghapuskan
saja
DBH
SDA
perikanan.
Pemungutan
PNBP
dari
SDA
perikanan
dialihkan
ke
pemerintah
daerah,
baik
itu
pemerintah
kabupaten/kota
maupun
pemerintah
provinsi.
K O N D IS I
S A A T
I N I
Untuk
melihat
kondisi
saat
ini
dari
kebijakan
DBH
dapat
ditinjau
dari
beberapa
segi:
Formula
alokasi
DBH.
Persentase
yang
dibagi-hasilkan
dengan
Daerah
relatif
tidak
mengalami
perubahan
semenjak
ditetapkan
kebijakan
tersebut
pada
tahun
2001.
Pengecualian
terjadi
untuk
besarnya
persentase
bagi-hasil
minyak
dan
gas
bumi,
yang
mengalami
kenaikan
sebesar
0,5%
pada
tahun
2004.
Rumusan
bagi
hasil
untuk
setiap
jenis
pajak
dan
juga
penerimaan
sumber
daya
alam
(SDA)
sangat
bervariasi
satu
dengan
yang
lain.
Selain
itu,
semenjak
ditetapkan
rumusan
alokasi
ini
pada
tahun
2001,
tidak
ada
argumentasi
yang
jelas
tentang
formula
bagi
hasil
tersebut.
Formula
DBH
menjadi
makin
kompleks
karena
pemberlakuan
formula
yang
berbeda
untuk
daerah
otonomi
khusus
(Nanggroe
Aceh
Darussalam
dan
Papua).
Dasar
nilai
penetapan
bagi
hasil.
Selain
dari
beragamnya
formula,
yang
juga
menambah
rumit
alokasi
DBH
adalah
beragamnya
dasar
penetapan
untuk
bagi
hasil.
Saat
ini,
untuk
Minyak
dan
Gas
Bumi,
yang
dibagihasilkan
kepada
Daerah
adalah
nilai
net-operating
income
setelah
dikurangi
berbagai
jenis
pajak
(PPh,
PPN,
dan
PBB),
dengan
formula
yang
berbeda
untuk
minyak
bumi
dan
gas
alam.
Sedangkan
untuk
Pertambangan,
Kehutanan
dan
Perikanan,
nilai
yang
dibagihasilkan
pada
dasarnya
ada
dua
jenis,
yaitu
biaya
sewa
perijinan
usaha
dan
royalti
untuk
produksi
yang
dihasilkan.
Pemanfaatan
DBH
di
Daerah.
Bagi
pemda
yang
memperoleh
alokasi
DBH
yang
cukup
signifikan,
seyogyanya
pemanfaatan
dana
tersebut
dilakukan
secara
optimal
dalam
rangka
meningkatkan
pelayanan
publik
dan
pengembangan
infrastruktur
dasar
di
daerah.
Namun
demikian,
arah
penggunaan
DBH
tampaknya
belum
jelas
di
daerah,
bahkan
terkadang
terjadi
tumpang
tindih
program
kegiatan
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota,
misalnya
pembangunan
lapangan
udara
pada
lokasi
yang
berdekatan
dengan
anggaran
berbeda,
yaitu
dari
provinsi
dan
yang
satunya
dari
kabupaten.
Mekanisme
penyaluran
DBH.
Permasalahan
klasik
yang
terus
terjadi
semenjak
tahun
2001
sampai
dengan
sekarang
adalah
keterlambatan
penyaluran
DBH
ke
Daerah,
khususnya
untuk
DBH
yang
berasal
dari
SDA.
Seharusnya
penyaluran
dilakukan
pada
setiap
akhir
kuartal,
dimana
nilai
yang
disalurkan
pada
3
kuartal
pertama
adalah
nilai
yang
didasarkan
kepada
angka
yang
disepakati
di
APBN,
sedangkan
nilai
yang
disalurkan
pada
kuartal
terakhir
sudah
memperhitungkan
berbagai
penyesuaian
terhadap
realisasi
yang
terjadi.
Meskipun
berbagai
upaya
K O N D IS I
Y A N G
D IH A R A P K A N
Berdasarkan
uraian
atas
berbagai
kompleksitas
alokasi
DBH
tersebut,
diharapkan
di
masa
mendatang
akan
dapat
didesain
suatu
sistem
bagi
hasil
yang
lebih
sederhana.
Meskipun
demikian,
DBH
harus
tetap
mengemban
fungsinya
untuk
mengurangi
ketidakseimbangan
vertikal
dengan
tetap
menjaga
kesinambungan
fiskal
nasional.
Penjabaran
strategi
dan
rencana
aksi.
Beberapa
kebijakan
sampai
dengan
tahun
2030
yang
dapat
diimplementasikan
dalam
rangka
penyederhanaan
alokasi
DBH
dapat
diuraikan
sebagai
berikut:
1. Menata
kembali
jenis
pendapatan
negara
yang
layak
dan
dapat
dibagihasilkan.
Mengingat
ada
kecenderunganDaerah
untuk
menuntut
bagihasil
bagi
seluruh
jenis
pendapatan
negara,
maka
perlu
diterapkan
kriteria
yang
tegas
agar
kecenderungan
tersebut
lebih
rasional.
2. Melakukan
penyederhanaan
formula
alokasi
DBH
dan
memberikan
argumentasi
yang
jelas
terhadap
proporsi
pembagian
DBH
antara
Pusat
dan
Daerah.
3. Mengembangkan
sistem
penyaluran
DBH
yang
lebih
baik
dan
tepat
waktu,
agar
alokasi
DBH
ke
daerah
penghasil
menjadi
tepat
waktu
dan
tepat
jumlah,
sehingga
dana
tersebut
dapat
dimanfaatkan
secara
optimal
sesuai
dengan
yang
direncanakan.
Jika
mekanisme
penyaluran
berdasarkan
realisasi
tidak
dapat
diperbaiki
ketepatan
waktunya,
perlu
dipertimbangkan
penetapan
DBH
yang
didasarkan
kepada
anggaran
dan
penyalurannya
dilakukan
secara
berkala
dan
tepat
waktu.
4. Dana
Bagi
Hasil
darisumberdaya
alam
(misalnya
dari
Provisi
Sumber
daya
Hutan)
yang
menjadi
bagian
daerah
dan
porsi
tertentu
akan
dibagikan
untuk
kabupaten/kota
lainnya
(non-penghasil)
dalam
provinsi
yang
bersangkutan,
menjadi
kewenangan
Gubernur
sebagai
wakil
Pemerintah
Pusat
di
daerah
untuk
membaginya
berdasarkan
formula
tertentu
yang
ditujukan
untuk
mengurangi
ketimpangan
fiskal
antar
Kabupaten/Kota
dalam
Provinsi
yang
bersangkutan.
Kondisi
saat
ini,
porsi
yang
dibagikan
untuk
kabupaten/kota
lainnya
dalam
provinsi
yang
bersangkutan,
dibagikan
secaramerata
untuk
daerah
non-
penghasil.
BAB
8
TRANSFER
LAINNYA
P E N G A N T A R
Definisi
Transfer
Lainnya
(TL)
di
sini
adalah
semua
transfer
ke
daerah
yang
selama
ini
tidak
termasuk
dalam
kategori
Dana
Perimbangan
(DAU,
DAK,
DBH)
dan
Dana
Otsus
dan
Penyesuaian.
Secara
definitif,
yang
termasuk
dalam
DTL
adalah:
Dana
Percepatan
Infrastruktur
Daerah
(DPID),
Dana
Insentif
Daerah
(DID),
dan
Hibah.
Sebagian
besar
alokasi
DTL
diputuskan
secara
ad-hoc
atau
tidak
mengikuti
pola
yang
regular.Kesepakatan
politis
memegang
peranan
penting
di
sini.DTL
dicirikan
dengan
tingginya
fleksibilitas
alokasi
dan
biasanya
diiringi
dengan
ketidaksiapan
administrasi.Fleksibilitas
ini
sebenarnya
memberikan
keuntungan
dalam
menyesuaikan
dengan
target
dan
variasi
kondisi
daerah.
Tetapi
di
lain
pihak,
fleksibilitas
juga
berarti
rawan
terhadap
potensi
penyimpangan.
Isu
penyimpangan
dan
penyaluran
alokasi
sering
menerpa
DTL,
seperti
yang
dewasa
ini
diberitakan
4
menyangkut
DPID .
H IB A H
Dalam
sistem
hubungan
keuangan
Pusat-Daerah,
Hibah
sebenarnya
dapat
menjadi
dana
transfer
yang
mempunyai
peran
yang
cukup
penting.
Tetapi
ketidakjelasan
perannya
membuat
Hibah
hanya
menjadi
salah
satu
bentuk
pemberian
atau
penyaluran
dari
pihak
di
luar
pemerintah
ke
daerah.
Dalam
kondisi
seperti
ini
substansi
Hibah
menjadi
kabur
dengan
DAK
atau
dana
adhoc
lainnya.
Besaran
alokasi
total
dari
APBN
untuk
program
Hibah
juga
tidak
dirancang
secara
integral
bersama
dengan
dana
transfer
lainnya.
Pada
Bab
5,
Hibah
dalam
negeri
dimasukkan
dalam
kelompok
DAK.
Secara
nomenklatur
dari
jenis
hibah
yang
selama
ini
diaplikasikan
oleh
pemerintah
pusat,
hibah
yang
bersumber
dari
Rupiah
(APBN
murni)
tidak
berbeda
dengan
konsep
DAK
adhoc
atau
berbasis
program,
yaitu
ketika
pemerintah
bertujuan
membantu
pembiayaan
suatu
program
tertentu
misalnya
ketika
suatu
daerah
menjadi
tuan
rumah
event
internasional
atau
nasional.
Sedangkan
untuk
Hibah
yang
bersumber
dari
bantuan
LN,
pemerintah
pusat
biasanya
hanya
menyalurkan.Pengaturan
yang
dilakukan
untuk
alokasi
besaran
dan
daerah
agak
terbatas,
sedangkan
untuk
administrasi
dan
mekanisme
penyaluran
biasanya
diserahkan
pada
pemerintah.
Sesuai
dengan
konsep
DAK
yang
dijelaskan
pada
Bab
5,
sebaiknya
tidak
ada
lagi
jenis
transfer
lainnya
yang
selama
ini
diberikan
dengan
berbagai
macam
nama
termasuk
4
Lihat
misalnya
di:
http://nasional.kompas.com/read/2011/06/29/11284141/KPK.Didesak.Usut.Calo.A
nggaran.di.DPR
atau
http://www.investor.co.id/home/kpk-diminta-selidiki-dugaan-
calo-anggaran-dpid/13904
DPID
dan
DID.
DPID
dapat
dimasukkan
dalam
kategori
DAK
Prioritas
(kompetisi/merit-based)
ataupun
DAK
adhoc.Sedangkan
DID
sesuai
untuk
dimasukkan
ke
dalam
DAK
Prioritas
(merit-based).
Fleksibilitas
dalam
mengantisipasi
perubahan
demografi
dan
dinamika
urbanisasi
merupakan
kelebihan
DAK
yang
dapat
dimanfaatkan
untuk
mendukung
kebijakan
tertentu.
Seperti
yang
didiskusikan
pada
Bab
1
mengenai
Urbanisasi,
ada
beberapa
mitos
yang
sayangnya
sering
dipakai
sebagai
dasar
beberapa
kebijakan
transfer;
misalnya
anggapan
mengenai
bahwa
disparitas
horizontal
akan
meningkat
dengan
tingginya
urbanisasi
sehingga
alokasi
dana
transfer
lebih
besar
untuk
daerah
non-
Jawa.
Pada
kenyataannya,
tidak
ada
perubahan
signifikan
pada
disparitas
Jawa
vs.
non-Jawa
setelah
10
tahun
desentralisasi
fiskal.
Dengan
kebijakan
transfer
yang
menekankan
aspek
redistributif
fiskal
dibandingkan
fokus
pada
pembentukan
aset/modal,
justru
membuat
banyak
daerah
dalam
kondisi
kekurangan
infrastruktur.
Belanja
infrastruktur
sebagian
besar
bersifat
lumpy
dan
sulit
untuk
mengadopsi
sistem
distributif/ekualitas
ketika
negara
sendiri
mempunyai
keterbatasan
fiskal.
Pilihannya
adalah
membagikan
dana
yang
tersebar
merata
tetapi
masing-masing
berjumlah
kecil
atau
memilih
prioritas.
Sudah
terbukti
bahwa
DAK
gagal
untuk
memenuhi
harapan
membangun
infrastruktur
di
daerah
karena
jumlahnya
yang
kecil
dan
terfragmentasi
baik
sektoral
maupun
daerah.Hal
yang
harus
dilakukan
adalah
meningkatkan
pool
of
funds,
memilih
prioritas
sektoral,
dan
mengatur
sekuens
daerah/locus
untuk
dibangun.
Dengan
demikian
bisa
diharapkan
akan
terbangun
infrastruktur
yang
cukup
berarti
sektor
per
sektor,
daerah
demi
daerah.
Penentuan
prioritas
sektoral
dan
sekuens
daerah
untuk
mendapatkan
DAK
infrastruktur
ini
yang
perlu
dilakukan
secara
bijaksana
dengan
didukung
oleh
data
bukan
sekedar
mitos.
Beberapa
hal
yang
harus
disadari
dari
keuntungan
membangun
kota
vs
membangun
desa,
adalah
kenyataan
bahwa
tingkat
kemiskinan
lebih
tinggi
di
pedesaan
atau
dengan
kata
lain
kesejahteraan
penduduk
kota
lebih
tinggi,
skala
ekonomi
dan
efisiensi
yang
lebih
tinggi
di
kota,
basis
pajak
yang
lebih
tinggi
di
kota,
dan
output
pendidikan
yang
lebih
baik
di
kota.
Kekurangan
yang
masih
ada
sekarang
adalah
kualitas
infrastruktur
perkotaan
masih
kurang
dan
kebijakan
yang
belum
mampu
menginternalisasi
eksternalitas
antardaerah.
Sedangkan
mengabaikan
pemba-
ngunan
desa
juga
akan
berakibat
menurunnya
produksi
sektor
pertanian
dan
meningkatkan
ketimpangan
sosial
dan
keadilan.
Karena
itu
pembangunan
daerah
pedesaan
(melalui
transfer)
tetap
harus
dilakukan
dengan
bertumpu
pada
potensi
ekonomi
daerah
tersebut
dan
memperhatikan
aspek
keadilan.
Kota
juga
umumnya
harus
menanggung
tambahan
beban
dari
daerah
sekitarnya.
Sebagai
contoh,
banyak
penduduk
non-urban
yang
mengirimkan
anaknya
sekolah
di
kota,
berobat
di
RS
di
kota,
atau
mencari
hiburan
dan
melakukan
aktivitas
ekonomi
lainnya
di
kota.
Selain
menikmati
eksternalitas
positif
seperti
keuntungan
dari
potensi
ekonomi
dan
skala
ekonomi,
di
saat
yang
sama
kota
juga
harus
menanggung
eksternalitas
negatif
misalnya
menyediakan
barang
publik
untuk
dikonsumsi
oleh
non-resident
(penduduk
luar),
serta
beban
lingkungan
yang
meningkat
seperti
tambahan
polusi,
kekurangan
daya
dukung
air,
penambahan
limbah,
dan
Kompetisi/merit-
based
Adhoc
By design
Porsi
Mempertimbangkan
masukan
dari
K/L
terkait
dan
merupakan
bagian
terbesar
dari
total
DAK.
Contoh
DAK
pembangunan
infrastruktur
dasar
(jalan,
sanitasi,
listrik,
pasar
modern,
terminal
bus,
transportasi
masal,
gorong-gorong,
sarana
olahraga,
dsb)
Sama
seperti
di
atas
ditambah
dengan
bidang-bidang
yang
merupakan
kebutuhan
unik
daerah
tersebut
misal
perpustakaan
kota,
taman
kota,
museum,
planetarium,
dsb.
Reimbursement
pemerintah/DPR.
Jika
pemerintah
bisa
mengestimasi
kebutuhan
infrastruktur
prioritas
pada
tahun
mendatang
dan
memproses
proposal
pembangunan
dari
daerah
untuk
ditentukan
penerimaan
reimbursement,
maka
proporsi
dana
yang
dialokasikan
bisa
cukup
signifikan
(misalnya
sampai
dengan
20-30%
dari
total
DAK).
Tujuannya
juga
mendorong
daerah
melakukan
investasi
infrastruktur
di
daerah
mereka
dengan
inisiatif
sendiri.
Skema
yang
diberikan
bisa
berupa
partial
reimbursement
ataupun
total
reimbursement
selama
daerah
memang
membuktikan
bahwa
infrastruktur
tersebut
dibangun
sesuai
dengan
spesifikasi
teknis
yang
diajukan
dan
disetujui.
Partial
reimbursement
pada
dasarnya
adalah
prefinancing
matching
grant,
sedangkan
total
reimbursement
adalah
prefinancing
specific
grant.
dsb),
dsb.
Reimbursement
untuk
daerah
yang
membangun
infrastruktur
dengan
pembiayaan
sendiri
di
mana
kategori
infrastruktur
tersebut
diumumkan
sebelumnya
dan
daerah
memasukkan
aplikasi
yang
telah
disetujui
pusat.
REFERENSI
Adioetomo,
Sri
Moetiningsih
Setyo,
2005,
Bonus
Demografi:
Menjelaskan
Hubungan
Antara
Pertumbuhan
Penduduk
dengan
Pertumbuhan
Ekonomi,
Pidato
Pengukuhan
Guru
Besar
Tetap
Dalam
Bidang
Ekonomi
Kependudukan
Pada
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Indonesia,
Jakarta
30
April
2005.
Adioetomo,
Sri
Moetiningsih
Setyo,
2011.
Pertumbuhan
Penduduk
dan
Kesejahteraan
Ekonomi.Presentasi
dalam
Pentaloka
BKKBN,
Jakarta:
27
April
2011.
Aldenderfer,
Mark
dan
Roger
Balshfield,
1984,
"Cluster
Analysis",
Sage
Publications.
Bloom,
D.E.,
D.
Canning,
L.
Rosenberg,
2011.
Demographic
Change
and
Economic
Growth
in
South
Asia.
PGDA
Working
Paper
No.67,
February
2011.
Bloom,
D.E.
and
J.E.
Finlay,
2009.
Demographic
Change
and
Economic
Growth
in
Asia.
Asian
Economic
Policy
Review
(4),
p.45-64.
Bloom,
D.E.,
D.
Canning,
J.
Sevilla,
2003.The
Demographic
Dividend,
A
New
Perspective
on
the
Economic
Consequences
of
Population
Change.
Santa
Monica,
California:
RAND.
Bloom,
D.E.,
D.
Canning,
dan
P.N.
Malaney,
1999.
Demographic
Change
and
Economic
Growth
in
Asia.
CID
Working
Paper
No.15,
Mei
1999
Efi
Nurvidya
Arifin,
2009,Aspek
Ekonomi
Demografi
Penduduk
Lansia
Indonesia,
CDK
170/vol.36
no.4/Juli-Agustus
2009.
Everitt,
B.,
1979,
Unresolved
Problems
in
Cluster
Analysis,
Biometrics
35,
169-181.
Felecia
P.Adam.
Tren
Urbanisasi
di
Indonesia,
Program
Studi
Agrobisnis
Fakultas
Pertanian
Universitas
Pattimura.
Handra,
Hefrizal,
2005,
A
Study
of
Indonesias
Fiscal
Equalisation
Mechanism
in
the
Early
Stages
of
Decentralisation,
Ph.D
Thesis,
Flinders
University
of
South
Australia.
Imam
S.
Ernawi.
Morfologi-Transformasi
Dalam
Ruang
Perkotaan
yang
Berkelanjutan,
Direktur
Jenderal
Penataan
Ruang
Kementerian
Pekerjaan
Umum.
Jaka
Sriyana.Dampak
Transisi
Demografi
Terhadap
Defisit
Fiskal
di
Indonesia,
Dalam
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan
Kajian
ekonomi
Negara
Berkembang.Universitas
Islam
Indonesia.
Lorr,
Maurice,
1983,
"Cluster
Analysis
for
Social
Scientists",
Jossey-Bass
Publishers.
Maskell,
Peter
dan
Lela
Kebir,
"What
Qualifies
as
a
Cluster
Theory?",
2009
DRUID
Working
Paper
No.
05-09.
Nazara,
Suahasil
dan
Nurkholis,
2006,Evaluasi
Pemekaran
Wilayah
Kabupaten/Kota
di
Indonesia
Dalam
Era
Desentralisasi,
Kajian
Ekonomi,
Vol.5
No.
2,
2006.
Dividend,Mimeograph.