Anda di halaman 1dari 86

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

Public Disclosure Authorized

68455

Indonesias Intergovernmental Transfer


Response on Future Demographic
and Urbanization Shifts

Improving the Policy Framework for Fiscal Decentralisation


(the Grand Design of Fiscal Decentralization)
November 2011

DECENTRALIZATION SUPPORT FACILITY

Indonesias
Intergovernmental
Transfer
Response on Future Demographic
and Urbanization Shifts




11/11/2011

This document expands previous intergovernmental transfer analysis produced by


the Assistance Team on Fiscal Decentralization for the Minister of Finance, Republic
of Indonesia.

P ENGANTAR

Urbanisasi dan perubahan demografi telah menjadi isu yang cukup sering dikaitkan
dengan desain sistem transfer antarpemerintahan (intergovernmental transfer system).
Beberapa pengaruh urbanisasi dan faktor-faktor demografi terhadap transfer
antarpemerintahan, maupun sebaliknya, telah cukup jelas teridentifikasi. Tetapi dalam
kasus Indonesia, praktis belum ada penelitian yang melihat interaksi antara kedua hal
ini.
Dokumen ini merupakan pengembangan dari dokumen Grand Design Desentralisasi
Fiskal, dengan menambahkan analisis mengenai kaitan isu urbanisasi dan perubahan
demografi terhadap sistem transfer antarpemerintahan. Pembahasan difokuskan kepada
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH),
sebagai tiga dana transfer utama.
Bagian Satu dokumen ini membahas proyeksi demografi dan tren urbanisasi di
Indonesia, termasuk juga teknik pengelompokkan yang digunakan untuk membagi
daerah-daerah (provinsi) ke dalam beberapa klaster yang masing-masing memiliki tren
demografi serta kapasitas fiskal yang berbeda.
Bagian Dua menjabarkan detil analisis dampak yang akan dialami dan kebijakan
transfer antarpemerintahan yang sebaiknya diambil untuk dan oleh masing-masing
klaster daerah.

R INGKASAN E KSEKUTIF

Perubahan yang signifikan di sisi demografi/urbanisasi akan dialami oleh Indonesia di masa
datang. Sistem transfer antarpermerintahan ikut terpengaruh karena dinamikanya juga
dipengaruhi dinamika penduduk yang menjadi basis pajak maupun penerima layanan/barang
publik. Fenomena bonus demografi akan dialami tiap daerah pada kurun waktu yang
berbeda. Diperlukan suatu respon kebijakan agar tiap daerah dapat memanfaatkan
momentum bonus demografinya, sekaligus memaksimalkan layanan/barang publik yang
sesuai untuk tiap karakter populasi (misalnya, populasi produktif, atau populasi menua).
Untuk mempermudah analisis, 33 daerah provinsi dibagi ke dalam 4 klaster, yang dibedakan
berdasarkan karakter demografi dan kapasitas fiskal. Dalam analisa ini, karakter demografi
dilihat dari pencapaian window of opportunity (WO) oleh setiap daerah, yaitu titik dalam
bonus demografi ketika rasio ketergantungan populasi paling rendah. Dampak
urbanisasi/demografi serta respon kebijakan desentralisasi fiskal untuk setiap klaster dapat
diformulasikan berdasarkan respon kebijakan transfer yang secara ringkas dapat disampaikan
sebagai berikut:
Klaster 1: sudah mencapai WO, kapasitas fiskal tinggi
Untuk dapat memanfaatkan kondisi WO secara optimal, maka respon kebijakan adalah
meningkatkan nilai tambah faktor produksi (pelatihan, OSS untuk investasi) melalui alokasi
DAK yang lebih tinggi dari DAU.
Klaster 2: sudah mencapai WO, kapasitas fiskal rendah
Selain respon DAK yang lebih tinggi, pihak swasta harus diberikan insentif fiscal maupun non-
fiskal untuk meningkatkan perannya dalam perekonomian daerah.
Klaster 3: belum mencapai WO, kapasitas fiskal tinggi
Pengelolaan keuangan daerah dengan sasaran terwujudnya efisiensi alokasi, penajaman
prioritas, dan anggaran berbasis kinerja.
Klaster 4: belum mencapai WO, kapasitas fiskal rendah
Bantuan investasi untuk Pemerintah Daerah serta kebijakan khusus lainnya untuk tiap
daerah, tergantung dari tantangan yang dihadapi daerah tersebut.

Kriteria rinci untuk pembagian klaster dapat dibaca dalam Bagian Satu, sedangkan respon
kebijakan untuk tiap dana transfer diperinci pada Bagian Dua.
Selain rekomendasi yang diberikan, juga diusulkan agar seluruh dana transfer ad-hoc yang
kini ada, dileburkan ke dalam Dana Alokasi Khusus, termasuk Hibah. Pengelompokan yang
demikian akan konsisten dengan definisi DAK yang dicantumkan dalam perundang-undangan,
serta meminimalkan intervensi politik dan biaya inefisiensi yang ditimbulkan olehnya.

Proyeksi Tren
Demografi dan
Urbanisasi
Indonesia
Bagian Satu

BAB 1
BONUS DEMOGRAFI

T IN JA U A N U M U M

Bonus demografi, atau sering juga disebut dengan istilah demographic dividend atau
demographic gift, dapat diartikan sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan
1
oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil dari proses penurunan
fertilitas jangka panjang (Adioetomo 2005, p.23). Beberapa studi lainnya seperti
Bloom et al. (2011, p.1-2) dan Bloom et al. (2003, p.25), memasukkan pula faktor
turunnya tingkat mortalitas, di samping penurunan fertilitas, sebagai penyebab
terjadinya transisi demografi tersebut. Dengan bergesernya distribusi usia
penduduk dari penduduk usia non produktif ke penduduk usia produktif (atau usia
kerja), maka investasi yang sebelumnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk termuda dalam populasi dapat dialihkan untuk pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan keluarga (Ross 2004, p.1).

Bonus demografi ini sudah dinikmati oleh negara-negara di Asia Timur seperti China,
Jepang, dan Korea selama periode 1960-1990 (Bloom et al. 1999; Bloom dan Finlay
2009), yang ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita
di negara-negara tersebut. Ketika periodenya diperpanjang menjadi 1960-2005,
hasil estimasi tetap menunjukkan bahwa dampak transisi demografi masih
signifikan, meskipun dampaknya di Jepang terlihat mengalami penurunan. Di lain
pihak, pada periode yang sama, di negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina,
Thailand, Singapura, termasuk Indonesia, yang mulai mengalami kenaikan proporsi
penduduk usia kerja sejak tahun 1980-an, kontribusi transisi demografi tersebut
malah lebih besar lagi. Sekitar 40 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia selama
periode 1960-2005 bersumber dari naiknya populasi dan proporsi penduduk usia
kerja (Bloom dan Finlay 2009).

Kesempatan untuk menikmati bonus demografi masanya terbatas. Seperti terlihat
pada Grafik 1.1, porsi populasi penduduk usia kerja di negara-negara Eropa dan
Amerika Utara sudah mengalami penurunan, sementara negara-negara di region
lainnya, kecuali Afrika, tinggal memiliki kesempatan sekitar 1-2 dekade lagi. Peluang
untuk meraih bonus demografi terbesar terjadi pada periode yang dinamakan
window of opportunity, yakni menjelang berakhirnya periode emas transisi
demografi. Pada periode ini, angka rasio ketergantungan berada pada titik yang
terendah, biasanya di bawah 50% (Adioetomo 2005, p.25). Artinya, jumlah

1
Rasio ketergantungan (atau dependence ratio) adalah perbandingan antara jumlah
populasi non usia kerja dengan jumlah populasi usia kerja. Populasi usia kerja
berada pada rentang usia 15-64 tahun, sementara populasi non usia kerja terbagi
dua, yakni populasi anak-anak (0-14 tahun) dan populasi orang tua (usia 65 tahun ke
atas).

penduduk usia kerja saat itu lebih dari dua kali lipat penduduk non usia kerja (atau
rasio penduduk usia kerja per non usia kerja adalah lebih dari dua).


Grafik 1.1 Proyeksi Porsi Populasi Penduduk Usia Kerja Berdasarkan Region
Negara














Sumber: United Nations, World Population Prospects: The 2000


Revision, CD-ROM, 2001 dalam Bloom et al. (2003, p.37)

Di Asia, seperti terlihat pada Grafik 1.2, munculnya window of opportunity (WO)
terjadi pada periode yang berbeda. Negara-negara di Asia Timur sudah terlebih
dahulu mengalami WO di antara tahun 2000 dan 2010. Meskipun puncak rasio
penduduk usia kerja (produktif) terhadap penduduk non usia kerja (atau usia non
produktif) terjadi di periode tersebut, namun rasionya masih akan di atas dua paling
tidak hingga periode tahun 2030. Sementara itu negara-negara di Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, diperkirakan baru mengalami WO di antara tahun 2020 dan
2030. Di Asia Selatan, terjadinya WO masih lebih lama lagi, yakni kemungkinan

Persen

setelah tahun 2040.



Grafik 1.2. Proyeksi Populasi Penduduk Usia Kerja per Non Usia Kerja di Beberapa
Region di Asia

Asia Timur
Asia Selatan
Asia Tenggara







Tahun

Tahun
Tahun

T

Sumber: World aPopulation Prospects (United Nations 2007) dalam Bloom dan
h
Finlay(2009, p.48)
u


Perlu diingat bahwa bonus demografi bukanlah sesuatu yang otomatis akan dapat
dinikmati oleh setiap negara yang mengalami transisi demografi. Bloom et al. (2003,
p.39-42), Ross (2004, p.3), dan Adioetomo (2005, p.34-35) mengemukakan bahwa
minimal ada tiga saluran utama dari pengaruh transisi demografi ke pertumbuhan
ekonomi, yakni melalui:
1) peningkatan tenaga kerja;
2) peningkatan tingkat tabungan nasional; dan
3) peningkatan modal manusia.

Secara demografis, peningkatan tenaga kerja di atas bisa berasal dari dua sumber.
Sumber pertama dari generasi anak-anak yang lahir di saat periode kelahiran tinggi
yang kemudian di saat transisi demografi memasuki usia produkitf dan masuk
angkatan kerja. Sumber kedua berasal dari para wanita terdidik yang dengan lebih
sedikit anak lebih banyak memasuki dunia kerja di luar rumah. Migrasi sebenarnya
bisa pula ikut meningkatkan (atau mengurangi) jumlah tenaga kerja, namun migrasi
ini dapat terjadi terlepas dari ada tidaknya transisi demografi. Sementara itu
peningkatan tingkat tabungan masyarakat diharapkan dapat terjadi dengan semakin
banyaknya orang dewasa pada usia kerja yang mampu menghasilkan lebih banyak
pendapatan. Peningkatan tabungan lainnya bisa pula diharapkan dari meningkatnya
kemampuan menabung tenaga kerja-tenaga kerja ini saat mereka mendekati usia
40-an. Pada saat itu, dukungan finansial untuk anak-anak mereka kemungkinan
sudah mulai berkurang.

Dengan demikian, terkait dengan ketiga saluran di atas, maka tingkat kapitalisasi
transisi demografi mungkin akan berbeda-beda di setiap negara tergantung pada
beberapa faktor berikut (Bloom et al. 2011, p.14-15, 19-20; Bloom et al. 2003, p.74-
78):
1. Kualitas institusi pemerintahan. Hal ini terkait dengan efisiensi dan efektivitas
dari kemampuan pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan untuk
merealisasikan bonus demografi.
2. Ketersediaan lapangan pekerjaan produktif yang dapat menyerap peningkatan
angkatan kerja. Hal ini terkait dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang
memberikan nilai tambah tinggi bagi perekonomian, sehingga dapat menyerap
angkatan kerja baru.
3. Manajemen makroekonomi. Inflasi yang tinggi dan stabilitas makro yang buruk
bisa menimbulkan ketidakpastian dalam penilaian arus uang di masa depan,
sehingga hal ini dapat menghalangi dan menghambat upaya peningkatan
tabungan masyarakat dan investasi pada aset-aset baru yang produktif.
Demikian pula, makroekonomi yang dikelola dengan rasio utang per PDB yang
tinggi dapat berpengaruh negatif pada penurunan kemampuan pemerintah
untuk menjalankan program-programnya secara efektif.
4. Investasi pada perbaikan akses dan kualitas di bidang pendidikan dan
kesehatan. Kebijakan-kebijakan ini akan terkait dengan efektivitas dalam
pembentukan modal manusia serta keberhasilan dalam menyiapkan tenaga
kerja yang tak hanya besar secara jumlah, tetapi juga lebih produktif.

5.

6.

Kebijakan di area pasar keuangan untuk menarik lebih banyak tabungan yang
tersalurkan ke investasi-investasi yang produktif. Kebijakan ini bisa meliputi
modernisasi institusi keuangan hingga lebih kompetitif, transparan, efisien, dan
terpercaya.
Keterbukaan perekonomian. Perdagangan internasional bisa membuka lebih
banyak lapangan pekerjaan di industri-industri yang berorientasi ekspor.


Bonus demografi tidak dapat berulang di dalam satu siklus demografi. Saat window
of opportunity berakhir, perekonomian secara otomatis mengikuti siklus demografi
berikutnya. Dengan angka fertilitas yang sudah berada pada tingkat yang rendah,
bahkan di beberapa negara Eropa dan di Jepang tingkatnya sudah di bawah
replacement rate, dan disertai dengan angka harapan hidup yang makin tinggi,
populasi kemudian mengalami periode penuaan (ageing population). Angka
ketergantungan mulai meningkat kembali sebagai konsekuensi dari meningkatnya
jumlah penduduk tua di dalam populasi, sementara di lain pihak pergantian
penduduk usia kerja dari penduduk yang sebelumnya berusia muda sudah tidak
sebanding (Bloom et al. 2011, p.16-17).

Penuaan populasi yang tidak dapat terhindarkan tak hanya akan meningkatkan
angka ketergantungan, tapi juga diprediksikan akan membawa dampak penurunan
kinerja pada perekonomian (Bloom dan Finlay 2009, p.61). Tanpa persiapan yang
memadai, kebutuhan akan jaminan sosial seperti pensiun dan perlindungan
kesehatan juga akan sulilt terantisipasi.

Terlepas dari potensi implikasi negatif dari periode penuaan populasi, bonus
demografi kedua sebenarnya masih mungkin diraih pada periode ini melalui
pemberdayaan kelompok lanjut usia yang berpendidikan, sehat, dan produktif
(Nazara 2010, p.7). Lebih lanjut lagi, Bloom et al. (2011, p.18-19) mengemukakan
alasan lain dari kemungkinan munculnya bonus demografi yang kedua. Pertama,
meningkatnya usia harapan hidup dapat cenderung mendorong pekerja melakukan
antisipasi dengan menaikkan tabungan. Peningkatan tabungan kemudian dapat
meningkatkan investasi dan membawa dampak yang positif untuk pertumbuhan
ekonomi. Kedua, dengan fakta bahwa di kebanyakan negara berkembang banyak
terdapat pekerja yang underemployed atau bahkan secara efektif bisa dikatakan
menganggur, maka pekerja-pekerja ini diharapkan dapat menggantikan tenaga-
tenaga kerja yang pensiun. Ketiga, penurunan populasi anak-anak di periode ageing
sudah menjadi keniscayaan.Dengan kondisi seperti ini, baik pemerintah maupun
keluarga sebenar-nya berkesempatan untuk dapat berinvestasi lebih banyak pada
kesehatan dan pendidikan anak-anaknya. Investasi seperti ini dapat menghasilkan
angkatan kerja yang lebih produktif. Terakhir, dunia swasta bisa memainkan peran
pula dalam mengantisipasi periode penuaan populasi dengan membuat perubahan-
perubahan yang mendorong tenaga kerja-tenaga kerja tua untuk tetap berada di
dalam angkatan kerja dan membatasi terjadinya penurunan produktivitas mereka.

K O N D IS I D A N P E R K E M B A N G A N D E M O G R A F I D I I N D O N E S IA

Pasca kemerdekaan Indonesia di periode 1950-an, tingkat kelahiran di Indonesia
relatif tinggi. Penemuan teknologi kesehatan seperti obat-obat antibiotik yang
berhasil dimanfaatkan, di lain pihak, berhasil menurunkan angka kematian,
terutama kematian bayi. Sebagai akibatnya, bayi yang lahir pada periode ini lebih
banyak yang tetap hidup dan bertahan hingga usia lanjut. Selanjutnya dengan
tingkat fertilitias yang masih tinggi, angka kelahiran terus mengalami peningkatan.
Bayi yang lahir di saat tingkat kelahiran sedang tinggi terus hidup dan menyebabkan
penumpukan jumlah anak di bawah 15 tahun pada periode tersebut (Adioetomo
2005, p.30).

Seperti ditunjukkan dalam Grafik 1.3, kenaikan angka kelahiran di satu sisi, dan
penurunan angka kematian di sisi yang lain, menyebabkan laju pertumbuhan
penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan. Puncaknya terjadi pada periode
1961-1971, di mana rata-rata laju pertumbuhan penduduk mencapai 2,3 persen per
tahun. Pada tahun 1971, angka fertilitas sendiri mencapai 5,6 per ibu melahirkan
(Adioetomo 2010).

Grafik 1.3. Estimasi dan Proyeksi Angka Kelahiran, Angka Kematian, dan Laju
Pertumbuhan Penduduk Indonesia per Tahun (1950-2050)













Sumber: Adioetomo (2010)

Memasuki era tahun 1970 dan 1980-an, telah terjadi peremajaan angkatan kerja
yang berasal dan kohor baby boom tahun 1950 dan 1960-an. Jumlah angkatan kerja
secara keseluruhan juga terus mengalami peningkatan, sebagai akibat dari masih
tingginya tingkat fertilitas pada periode 1971-1980 yang dibarengi dengan terus
menurunnya tingkat kematian bayi. Angkatan kerja muda maupun yang meningkat
ke usia yang lebih tua berkontribusi besar pada peningkatan jumlah angkatan kerja
ini.

Kebijakan pemerintah dalam bentuk Program Nasional Keluarga Berencana dengan
menanamkan manfaat norma keluarga kecil telah berhasil menekan angka fertilitas
(Adioetomo 2005, p.31). Dampaknya, pada tahun 1980, proporsi jumlah penduduk
non produktif di bawah usia 15 tahun turun dari 44 persen pada tahun 1971

u
m
l
a
h

(
j
u
t
a
)

menjadi sekitar 41 persen jumlah populasi (lihat Tabel 1.1). Selanjutnya, laju
pertumbuhan penduduk pada periode 1980-1990 berhasil ditekan, dari sekitar dua
persen pada periode-periode sebelumnya, hingga menjadi 1,4 persen.

Fenomena penurunan angka fertilitas dan laju pertumbuhan ini terus berlanjut
hingga kini. Selama periode 1971-2000, pembangunan sosial ekonomi dan program
KB telah berhasil menghindarkan kelahiran 80 juta penduduk, sementara dari
program KB saja diestimasikan telah menghindarkan kelahiran 40 juta penduduk
(Adioetomo 2010). Dengan tren fertilitas dan tingkat kematian bayi yang
diasumsikan akan terus menurun, maka telah dihasilkan berbagai estimasi dan
proyeksi penduduk Indonesia hingga tahun 2050 seperti terlihat pada Grafik 1.4.
Jumlah penduduk total walau bagaimana pun akan terus bertambah besar karena
laju pertumbuhan penduduk yang senantiasa positif.

Grafik 1.4. Estimasi dan Proyeksi Penduduk Indonesia, 1950-2050













Sumber: Adioetomo (2010)

T
a
h
P E R U B A H A N K O M P O S IS I D E M O G R A F I D AuN S IK L U S
n

D E M O G R A F I D I I N D O N E S IA


Siklus demografi di Indonesia dimulai saat terjadi periode kelahiran tinggi yang
dibarengi dengan penurunan angka kematian selama periode 1950-an hingga 1970-
an. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, kondisi ini telah menyebabkan
penumpukan penduduk di bawah usia 15 tahun sehingga di kedua periode tersebut
porsi penduduk muda ini lebih dari 40 persen total populasi. Namun di sisi lain,
fenomena tersebut juga melahirkan kondisi peremajaan angkatan kerja di tahun
1970-an. Kedua hal ini terlihat jelas dalam piramida penduduk Indonesia tahun 1961
dan 1971 (Grafik 1.5 dan Grafik 1.6).




Grafik 1.5.Piramida Penduduk Indonesia menurut Umur dan Jenis Kelamin,Sensus


Penduduk 1961

Sumber: Adioetomo (2010)



Grafik 1.6.Piramida Penduduk Indonesia menurut Umur dan Jenis Kelamin,Sensus
Penduduk 1971


Sumber: Adioetomo (2010)

Seiring dengan keberhasilkan program KB dalam menurunkan tingkat fertilitas,
transisi demografi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Jumlah
penduduk usia kerja terus mengalami peningkatan dibarengi dengan makin
menurunnya porsi penduduk di bawah usia 15 tahun di dalam populasi. Usia
harapan hidup ikut meningkat, dari rata-rata 46 tahun di tahun 1971 menjadi 52 dan
60 tahun berturut-turut di tahun 1980 dan 1990, mendorong penggemukan porsi
penduduk usia kerja di dalam populasi. Perubahan komposisi demografi ini makin
jelas terlihat pada piramida penduduk tahun 2010 (Grafik 1.7).

Grafik 1.7.Piramida Penduduk Indonesia menurut Umur dan Jenis Kelamin,Sensus


Penduduk 2010


Sumber: Adioetomo (2010)

Secara keseluruhan, perkembangan penduduk di bawah usia 15 tahun, usia kerja
(15-64 tahun), dan usia tua (65+ tahun) ditunjukkan pada Grafik 1.8. Peningkatan
jumlah penduduk usia kerja yang pesat sejak tahun 1980-an terus diikuti dengan
penurunan jumlah penduduk di bawah usia 15 tahun. Jumlah penduduk usia kerja
diproyeksi-kan akan mencapai 171 juta orang di tahun 2015 dan mencapai
puncaknya pada tahun 2040 sebanyak 195 juta orang sebelum kemudian turun
menjadi 191 juta orang di tahun 2050 (lihat Tabel 1.1). Sementara itu, jumlah
penduduk di bawah usia 15 tahun diproyeksikan akan terus menurun meski
jumlahnya masih akan berada di kisaran 50 juta orang di tahun 2050.

Sementara itu dengan terus meningkatnya angka harapan hidup, di masa transisi
demografi, jumlah penduduk di atas usia 65 tahun bergerak sejalan dengan
perkembangan penduduk usia kerja meski dengan laju pertumbuhan yang lebih
lambat. Namun laju pertumbuhan penduduk di atas usia 65 tahun ini kemudian
diproyeksikan akan lebih cepat dari laju pertumbuhan penduduk usia kerja pada
tahun 2040, sehingga di tahun 2050 jumlahnya diperkirakan mencapai 49,6 juta
orang (lihat Tabel 1.2). Pertumbuhan pesat jumlah penduduk lanjut usia di satu sisi,
dan perlambatan jumlah penduduk usia kerja di sisi lain, akan menandai
berakhirnya masa transisi demografi di Indonesia. Periode penuaan (ageing)
populasi di Indonesia diperkirakan akan terjadi setelah tahun 2050.










Jumlah
(juta)


Grafik 1.8.Tren Jumlah Penduduk menurut Usia


Sumber: Adioetomo (2010)

Tahun


Indonesia memiliki kesempatan untuk menikmati bonus demografi selama periode
transisi demografi yang sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1980-an yang lalu.
Seperti terlihat pada Grafik 1.9, kenaikan jumlah penduduk usia kerja di periode ini
cenderung diikuti dengan rasio ketergantungan yang terus menurun. Angka
ketergantungan yang tinggi di tahun 1971, hingga mencapai 87 orang per seratus
orang penduduk usia kerja, cenderung terus menurun mengikuti turunnya porsi
penduduk di bawah usia 15 tahun di dalam populasi. Di tahun 2010, rasio
ketergantungan telah menurun hingga di bawah 50 persen. Artinya, jumlah
penduduk usia kerja sudah lebih dari dua kali lipat penduduk non usia kerja. Dari
hasil proyeksi yang ada, rasio ketergantungan ini masih akan terus menurun.
Peluang untuk meraih bonus demografi terbesar pada periode window of
opportunity diperkirakan bisa dinikmati Indonesia di antara tahun 2020 dan 2030.
Pada periode tersebut, rasio ketergantungan telah berada pada tingkat terendah.

Grafik 1.9.Rasio Ketergantungan Penduduk Usia 0-14, 65+, dan Total


Sumber: Adioetomo (2005, p.32)

Meskipun pada masa transisi demografi, terlebih lagi di saat terbukanya window of
opportunity, terbuka kesempatan besar untuk meraih bonus demografi, namun
seperti dikemukakan sebelumnya, bonus demografi ini tidaklah otomatis terjadi
atau dapat secara mudah dikapitalisasi. Hasil estimasi Bloom dan Finlay (2009)
menyatakan bahwa Indonesia telah meraih bonus demografi bersama dengan
negara-negara Asia Tenggara lainnya. Sekitar 40 persen pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama periode 1950-2005 bersumber dari naiknya populasi dan proporsi
penduduk usia kerja dalam populasi. Namun hasil tersebut tentu saja belum
memperlihatkan seberapa optimal perekonomian Indonesia dalam memanfaatkan
bonus demografi. Adioetomo (2005, p.35-42) memperlihatkan bahwa di masa
transisi demografi ini, pengangguran terbuka masih terus meningkat, sementara
proporsi pekerja yang bekerja di sektor informal belum dapat diturunkan.
Akibatnya, pemupukan tabungan di masyarakat untuk investasi belum bisa
diharapkan. Untuk rentang waktu sampai dengan tahun 2015, diperkirakan wajah
angkatan kerja Indonesia masih akan diwarnai oleh banyaknya proporsi pekerja
yang berpendidikan rendah tanpa keterampilan. Lalu pada akhirnya, window of
opportunity juga hanya dapat terjadi jika upaya penurunan fertilitas terus dilakukan.

Dengan demikian, masih diperlukan upaya besar untuk bisa mewujudkan window of
opportunity dan meraih bonus demografi di Indonesia. Upaya pemerintah melalui
berbagai kebijakan dan program terkait dibutuhkan, tak hanya di tingkat pusat,
tetapi juga di tingkat pemerintah daerah.
Tabel 1.1. Indikator Demografi Indonesia 1950-2000

1950

1961

1971

Jumlah penduduk (juta)


79,54
97,02
119,21
Jumlah perempuan 15-49 tahun (juta)
38,10
23,75
28,62
Jumlah penduduk 0-14 tahun (juta)
31,10
41,04
52,04
Jumlah penduduk 15-64 tahun (juta)
45,26
53,38
63,34
Jumlah penduduk 64+ tahun (juta)
3,18
2,61
2,97
Depedency ratio (persen)
75,8
81,8
86,8


1930-61 1961-71
Laju pertumbuhan penduduk/thn (%)
1,8
2,1
2,32
Jumlah kelahiran per tahun (juta)

3,83
5,10
Jumlah kematian per tahun (juta)

2,19
2,14
Crude birth rate (per 1000 penduduk)

43,8
42,7
Crude death rate (per 1000 penduduk)

25,2
21,5



1967-70
Angka fertilitas total (per wanita)


5,61



1967
Angka kematian bayi (per 1000


145
kelahiran)
Harapan hidup (tahun)


45,7
Sumber: BPS (berbagai Sensus dan Survey) dalam Adioetomo (2005, p.65)

Tabel 1.2. Indikator Demografi Indonesia 2005-2050

1980

1990

2000

147,49
35,94
60,04
81,94
4,77
79,1
1971-80
1,98
5,33
1,97
39,9
16,7
1976-79
4,68
1976
109

179,38
46,09
66,69
106,80
6,75
67,8
1980-90
1,39
4,98
1,70
29,9
10,1
1986-89
3,33
1986
71

206,30
57,34
63,21
133,06
9,58
54,7
1990-2000

4,12
1,57
20,7
6,9
1996-99
2,34
1996
47

52,2

59,8

65,4

2005

2010

2015

2020

2025

2030

2035

2040

2045

2050

Jumlah penduduk (juta)


Pertambahan jumlah penduduk/th (juta)

225,31
2,75

238,37
2,61

250,42
2,41

261,05
2,12

270,11
1,81

277,56
1,49

283,87
1,26

288,83
0,99

292,17
0,66

293,79
0,32

Jumlah perempuan 15-49 tahun (juta)


Jumlah penduduk 0-14 tahun (juta)
Jumlah penduduk 15-64 tahun (juta)
Jumlah penduduk 64+ tahun (juta)
Depedency ratio (persen)

Laju pertumbuhan penduduk/thn (%)
Jumlah kelahiran per tahun (juta)
Jumlah kematian per tahun (juta)
Crude birth rate (per 1000 penduduk)
Crude death rate (per 1000 penduduk)
Angka fertilitas total (per wanita)
Net Reproduction Rate per wanita
Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran)
Harapan hidup (tahun)

62,10
64,66
148,25
12,39
51,98
2000-
2005
1,26
4,52
1,99
20,7
7,3
2,33
1,07
41,6
66,8

65,70
64,12
160,18
14,06
48,81
2005-
2010
1,13
4,43
1,64
19,1
7,1
2,20
1,04
34,3
68,5

68,50
63,60
170,79
16,02
46,63
2010-
2015
0,99
4,32
1,73
17,7
7,1
2,10
0,98
29,2
69,9

70,11
62,13
180,38
18,53
44,72
2015-
2020
0,83
4,16
1,83
16,3
7,3
2,01
0,94
25,3
71,0

70,94
60,23
187,18
22,68
44,30
2020-
2025
0,68
3,98
1,99
15,0
7,5
1,94
0,91
21,9
72,0

70,38
58,01
192,63
26,92
44,09
2025-
2030
0,54
3,81
2,14
13,9
7,8
1,86
0,89
18,5
73,1

70,20
56,40
194,74
32,64
45,77
2030-
2035
0,45
3,74
2,30
13,3
8,2
1,85
0,88
15,9
74,2

69,10
55,16
195,25
38,41
47,93
2035-
2040
0,35
3,68
2,51
12,9
8,8
1,85
0,88
13,8
75,2

67,70
54,05
193,71
41,41
50,83
2040-
2045
0,23
3,58
2,73
12,3
9,4
0,85
0,89
12,1
76,1

66,30
52,58
191,55
49,66
53,37
2045-
2050
0,11
3,47
2,97
11,9
10,1
1,85
0,89
10,5
76,9

Sumber: UN World Population Prospects, the 2002 Revision dalam Adioetomo (2005, p.66)

P O T R E T D A E R A H D I I N D O N E S IA D A L A M M A S A T R A N S IS I
D E M O G R A F I

Kesempatan untuk meraih bonus demografi sebenarnya sudah terjadi sejak masa
transisi demografi dimulai, yaitu ketika proporsi penduduk usia kerja di dalam
populasi penduduk mulai mengalami peningkatan. Akan tetapi bonus demografi
terbesar baru bisa diraih saat terbukanya window of opportunity (WO), karena di
saat tersebut tingginya jumlah penduduk usia kerja dibarengi dengan tingkat
ketergantungan penduduk (atau dependency ratio, DR) yang terendah, yakni
biasanya kurang dari setengah jumlah angkatan kerja yang ada. Terbukanya window
of opportunity sendiri hanya berlangsung sekitar 1-2 dekade saja, dan begitu masa
ini mulai tertutup, kesempatan untuk mendapatkan bonus demografi pun semakin
berkurang.
Dengan asumsi konservatif bahwa window of opportunity terbuka kurang lebih
selama satu dekade di masing-masing daerah, yakni lima tahun sebelum mencapai
dependency ratio terendah dan lima tahun sesudahnya, maka daerah-daerah di
Indonesia yang mencapai DR terendah pada rentang waktu 2010-2015 dapat
dikatagorikan tengah mengalami masa window of opportunity. Sebaliknya, daerah-
daerah yang baru mencapai DR terendah setelah tahun 2015 dengan demikian
dapat dikatagorikan sebagai daerah yang menuju WO.
Walaupun secara umum Indonesia diperkirakan mengalami WO pada periode 2020-
2030, tetapi sebagai negara yang mempunyai sebaran penduduk yang tidak merata,
terdapat variasi yang cukup besar pada skala regional. Tabel 1.3 memperlihatkan
bahwa terdapat 16 provinsi di Indonesia yang tengah mengalami masa window of
opportunity (DR minimumnya terjadi pada rentang waktu 2010-2015), dan sisanya,
sebanyak 17 provinsi, dalam tahap menuju kondisi WO (DR minimumnya terjadi
setelah tahun 2015). Lima daerah, yakni DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Papua, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur, sudah mencapai DR terendah sejak tahun 2010 dan 2011
ini. Beberapa daerah lainnya, di lain pihak, malah baru mencapai angka DR terendah
setelah tahun 2020. Angka minimum dependency ratio di setiap daerah di Indonesia
pun berbeda-beda, dari yang terendah di Provinsi DKI Jakarta (36.8%) dan DI
Yogyakarta (37,1%), hingga yang masih di atas 50 persen seperti di Provinsi Maluku
Utara (51,8%), Maluku (53,8%), dan Nusa Tenggara Timur (56,8%).

Tabel 1.3. Tingkat Ketergantungan Penduduk (DR) Minimum dan Tahun Terjadinya di Daerah-daerah di
Indonesia
Da er a h

Ta hun denga n
DR
DR ter enda h
mi ni mum

Penduduk
(2 0 1 0 )

DKI Jakarta

2010

36.8

9,223,000

DI Yogyakarta

2010

37.1

3,501,869

Papua

2010

47.6

2,097,482

Jawa Tengah

2011

46.7

32,864,563

Jawa Timur

2011

39.3

37,286,246

Papua Barat

2012

47.8

743,860

Sulawesi Utara

2012

41.5

2,228,856

Bangka Belitung

2013

45.3

1,138,129

Sulawesi Selatan

2013

49.3

7,908,519

Gorontalo

2014

46

983,952

Maluku

2014

53.8

1,339,503

Kepulauan Riau

2015

46.3

1,515,294

Maluku Utara

2015

51.8

974,990

Nusa Tenggara Timur

2015

56.8

4,619,655

Sulawesi Tengah

2015

46.1

2,480,264

Sumatera Barat

2015

51.5

4,827,973

Kalimantan Tengah

2016

44.4

2,085,819

Kalimantan Timur

2016

42.1

3,164,798

Kalimantan Selatan

2018

43.9

3,496,125

Sulawesi Barat

2018

47.7

1,047,739

Bengkulu

2019

45

1,666,920

Lampung

2019

46.3

7,491,943

Sumatera Utara

2019

51

13,248,386

Bali

2020

38.3

3,551,009

Banten

2020

44.6

9,782,779

Jambi

2022

45.4

2,834,164

Jawa Barat

2023

45.4

41,501,564

Sumatera Selatan

2024

45.8

7,222,635

Kalimantan Barat

2024

49.1

4,319,142

Riau

2025

42.9

5,306,533

Aceh

2025

48.5

4,363,477

Nusa Tenggara Barat

2025

48.8

4,434,012

Sulawesi Tenggara

2025

50.6

2,118,300

Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, diolah



Dengan kondisi di atas, terlihat jelas bahwa window of opportunity, yang di tingkat
nasional diprediksikan baru akan terjadi di antara tahun 2020 dan 2030, di tingkat
daerah bisa terjadi lebih awal dan akan berakhir lebih lama. Hampir separuh daerah
di Indonesia, sekaligus juga separuh jumlah penduduk Indonesia yang mendiami
daerah-daerah tersebut, sudah mengalami WO sebelum tahun 2020. Oleh karena
itu, nampaknya diperlukan desain kebijakan yang berbeda baik di tingkat nasional
maupun daerah untuk merespon fenomena ini. Fokus kebijakan yang diambil bagi
daerah-daerah yang tengah mengalami WO seyogyanya dibedakan dengan daerah-
daerah yang tengah menyongsong terjadinya WO. Selanjutnya, dengan pencapaian
masing-masing daerah yang berbeda dalam meraih bonus demografi di masa WO
maupun menuju WO, fokus kebijakan tersebut harus dibuat lebih spesifik lagi.

Sebagai gambaran awal dari pencapaian masing-masing daerah dalam upaya meraih
bonus demografi, paparan di bawah ini menyajikan indikator angka Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) baik untuk kelompok daerah yang tengah mengalami
masa WO maupun yang tengah menuju masa WO. Angka IPM terdiri dari tiga
elemen, yakni angka harapan hidup, angka melek huruf dan rerata lama sekolah,
dan daya beli. Ketiga elemen dalam IPM ini bisa mewakili tingkat keberhasilan
daerah dalam mempersiapkan modal manusia yang menjadi salah satu saluran
utama dari transisi demografi menuju pertumbuhan ekonomi.
Dari proyeksi angka dependency ratio seluruh daerah di Indonesia, terdapat 16
daerah yang dapat dikatagorikan tengah berada di masa window of opportunity
(lihat Tabel 1.4). Dari ke-16 daerah tersebut, terdapat tujuh daerah yang memiliki
angka IPM relatif baik atau di atas angka rata-rata nasional, yaitu DKI Jakarta,
Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Kepulauan Bangka
Belitung, dan Jawa Tengah. Provinsi DKI Jakarta dan Sulawesi Utara bahkan memiliki
IPM pertama dan kedua tertinggi secara nasional, meskipun angka daya beli di
kedua daerah tersebut masih berada di bawah rata-rata nasional. Sementara itu
Provinsi DI Yogyakarta, meski memiliki IPM tertinggi keempat, namun masih
memiliki masalah dalam tingkat melek huruf. Masalah serupa dihadapi oleh Provinsi
Jawa Tengah.
Meski terdapat enam daerah yang masuk ke dalam 10 besar daerah dengan IPM
tertinggi, di kelompok yang sama terdapat pula lima daerah yang masuk peringkat
10 terbawah. Bahkan untuk Provinsi NTT dan Papua, seluruh elemen IPM-nya
berada di bawah rata-rata nasional. Potret kurang baik lainnya adalah, angka DR
terendah untuk Provinsi NTT adalah yang tertinggi di Indonesia, yakni sebesar 56,8
persen. Angka DR minimum yang di atas 50 persen juga dihadapi oleh empat
provinsi di kelompok ini, yaitu Sumatera Barat (51,5%), Maluku Utara (51,8%), dan
Maluku (53,8%). Secara keseluruhan, dalam kelompok daerah yang tengah berada
dalam masa WO ini, jumlah daerah yang memiliki angka IPM di bawah rata-rata
nasional relatif lebih dominan, yaitu sebanyak sembilan daerah.
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang kesiapan
daerah dalam memanfaatkan WO melalui modal manusia, tidak terdapat potret
daerah yang seragam. Oleh karena itu, meski sama-sama tengah mengalami masa
WO, fokus kebijakan di masing-masing daerah akan sangat mungkin berbeda.
Misalnya untuk daerah dengan IPM rendah, karena pembangunan modal manusia
membutuhkan waktu yang relatif lama, maka upaya memanfaatkan bonus
demografi bisa lebih difokuskan ke saluran yang lain, seperti penyediaan lapangan
kerja produktif dan formalisasi sektor ekonomi.
Tabel 1.4. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia 2008 Daerah yang Tengah Mengalami Masa WO
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Komponennya
Provinsi

Angka
Harapan
Hidup

Rata
Lama
Sekolah

Angka
Melek
Huruf

Daya Beli

IPM

Peringkat

DKI Jakarta

72,90

10,80

98,76

625,70

77,03

Sulawesi Utara

72,00

8,80

99,31

625,58

75,16

1
2

DI Yogyakarta

73,10

8,71

89,46

643,25

74,88

Kepulauan Riau

69,70

8,94

96,00

637,67

74,18

Sumatera Barat

69,00

8,26

96,66

631,52

72,96

Kepulauan Bangka Belitung

68,60

7,37

95,57

636,07

72,19

10

Jawa Tengah

71,10

6,86

89,24

633,59

71,60

14

Jawa Timur

69,10

6,95

87,43

636,61

70,38

Maluku

67,00

8,60

98,12

605,02

70,38

18

Sulawesi Selatan

69,60

7,23

86,53

630,81

70,22

21

Sulawesi Tengah

66,10

7,81

95,68

622,35

70,09

22

Gorontalo

66,20

6,91

95,75

619,70

69,29

24

65,40

8,60

95,44

595,69

68,18

28

67,90

7,67

92,15

593,13

67,95

30

Nusa Tenggara Timur

67,00

6,55

87,66

599,93

66,15

Papua

68,10

6,52

75,41

599,65

64,00

Indonesia

69,00

7,52

92,19

628,33

Maluku Utara
Papua Barat

18

31

33

71,17

Sumber: Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008



Untuk daerah yang dikatagorikan tengah menuju masa window of opportunity, dari
17 daerah, terdapat tujuh daerah yang memiliki angka IPM relatif baik atau di atas
angka rata-rata nasional (lihat Tabel 1.5), yaitu Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi. Sepuluh daerah
lain sisanya, memiliki IPM di bawah rata-rata nasional. Kecuali empat daerah
pertama dengan IPM tertinggi, seluruh daerah lainnya dalam kelompok ini memiliki
masalah dalam komponen daya beli. Lebih jauh lagi, mayoritas daerah di kelompok
ini memiliki angka harapan hidup yang relatif lebih rendah. Sementara itu lima
daerah dengan kelompok IPM terendah di kelompok ini memiliki elemen IPM yang
hampir seluruhnya di bawah rata-rata nasional.
Potret di atas menunjukkan bahwa sebenarnya hampir tidak terdapat perbedaan
antara pencapaian pembangunan modal manusia baik di daerah-daerah yang sudah
berada dalam kondisi WO maupun yang sedang menuju ke sana. Namun ada satu
keuntungan yang dimiliki oleh daerah yang masih menuju kondisi WO, yaitu
tersedianya waktu untuk mempersiapkan diri. Bahkan untuk daerah yang memiliki
IPM rendah, kesempatan untuk mempersiapkan lebih banyak modal manusia masih
cukup terbuka lebar.
Tabel 1.5. Kondisi Indeks Pembangunan Manusia 2008 Daerah yang Sedang Menuju WO
Indeks Pembangunan Manusia dan Komponennya
Angka
Harapan
Hidup

Rata
Lama
Sekolah

Angka
Melek
Huruf

Daya Beli

IPM

Riau

71,10

8,51

97,81

638,31

75,09

Kalimantan Timur

70,80

8,80

96,36

634,52

74,52

71,00

8,00

97,67

628,64

73,88

Sumatera Utara

69,20

8,60

97,08

629,97

73,29

Bengkulu

69,40

8,00

94,87

625,66

72,14

11

Sumatera Selatan

69,20

7,60

97,05

623,49

72,05

12

Jambi

68,80

7,63

96,05

628,25

71,99

13

Provinsi

Kalimantan Tengah

Peringkat

Jawa Barat

67,80

7,50

95,53

626,81

71,12

15

Bali

70,60

7,81

86,94

626,63

70,98

16

Aceh

68,50

8,50

96,20

605,56

70,76

17

Lampung

69,00

7,30

93,63

615,03

70,30

20

Banten

64,60

8,10

95,60

625,52

69,70

23

Sulawesi Tenggara

67,40

7,74

91,42

611,72

69,00

25

63,10

7,44

95,30

630,83

68,72

26

67,40

6,99

87,31

625,04

68,55

27

66,30

6,70

89,40

624,74

68,17

29

61,50

6,70

80,13

633,58

64,12

69,00

7,52

92,19

628,33

71,17

Kalimantan Selatan
Sulawesi Barat

Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Barat

Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik, Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008

32

BAB 2
URBANISASI


Konteks urbanisasi merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dalam desain
desentralisasi fiskal, mengingat beberapa studi juga menunjukkan bahwa
perkembangan urbanisasi juga disebabkan oleh penerapan kebijakan desentralisasi
(Sarosa, 2010; Commola & de Mello, 2010; Lewis, 2010).
Urbanisasi juga dapat dikaitkan dengan pertumbuhan dan struktur penduduk, yang
dalam hal ini mengacu pada terbentuknya bonus demografi. Urbanisasi dan struktur
penduduk dari adanya bonus demografi merupakan faktor-faktor yang dapat
berpengaruh besar dalam perkembangan dan peningkatan pembangunan ekonomi
(Adioetomo 2005, Lewis 2010).

D E F IN IS I D A N I N D IK A T O R U R B A N IS A S I
Definisi urbanisasi erat kaitannya dengan perkembangan dan pembentukan kota
atau wilayah urban. Indikator untuk mengukur urbanisasi relatif beragamdengan
kemungkinan perbedaan konteks antarnegaraterutama dalam kriteria wilayah
urban.Indikator ukuran urbanisasi di Indonesia adalah (Firman, 2010):
1)
2)
3)

proporsi populasi penduduk yang tinggal di perkotaan (tingkat urbanisasi);


tingkat pertumbuhan dari total penduduk dan penduduk perkotaan;
proporsi penduduk yang tinggal di Jakarta Metropolitan area dan
keseluruhan penduduk perkotaan di Jawa dan Indonesia.

Menurut Firman (2010), berdasarkan manual yang digunakan BPS dalam Sensus
tahun 1980, 1990, 2000, dan Survei Penduduk antar Sensus (SUPAS) tahun 2005,
sebuah wilayah dinyatakan sebagai wilayah urban apabila memenuhi persyaratan
berikut:
1)

Memiliki kepadatan penduduk 5.000 penduduk setiap kilometer persegi.

2)

Maksimal 25 persen dari total rumah tangga di wilayah tersebut bekerja di


sektor pertanian.

3)

Memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas yang umumnya ada di wilayah urban,
seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar.

Indikator untuk mengukur urbanisasi relatif beragam, dan untuk konteks Indonesia
tingkat pemerintahan juga dijadikan tolak ukur, mengingat pemerintah daerahnya
terdiri dari beberapa lapis (multi layer). Penetapan wilayah urban atau rural di
Indonesia, yang mengacu pada ketersediaan jenis fasilitas yang umumnya dimiliki
oleh wilayah urban, dilakukan berdasarkan kriteria BPS untuk mengidentifi-kasi
status wilayah tingkat desa atau kelurahan. Sementara itu, penetapan kota ataupun

kabupaten yang merupakan wilayah administrastif yang lebih tinggi (dari


kelurahan/desa) didasarkan pada kriteria seperti jumlah penduduk dan batasan
atau total luas wilayah administratifnya sesuai dengan peraturan Kementerian
Dalam Negeri.
Sebagaimana sudah disampaikan, definisi urban dan ukuran indikator urbanisasi
untuk menentukan area urban yang digunakan setiap negara pada praktiknya
berbeda-beda (UNSTAT, 2005). Kanada merupakan negara yang mendasarkan
kriteria urban berdasarkan threshold kepadatan penduduk tertentu, Jepang
mendasarkan pada kriteria bangunan rumah dan jenis pekerjaan penduduk
sebagian besar di sektor manufaktur, sementara negara-negara di Afrika lebih
mendasarkan threshold total populasi tertentu yang umumnya bervariasi antar satu
negara dengan negara lainnya.

K O N D IS I D A N P E R K E M B A N G A N U R B A N IS A S I D I I N D O N E S IA
Salah satu indikator yang umum digunakan sebagai indikator tingkat urbanisasi
adalah persentase penduduk yang tinggal di perkotaan. Sesuai studi yang dilakukan
oleh Sarosa (2010), Grafik 2.1 menunjukkan proyeksi pertumbuhan penduduk
Indonesia: untuk 30 tahun ke depan, diperkirakan lebih dari 70 persen penduduk
Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan.
Grafik 2.1.Tren Penduduk Urban dan Rural di Indonesia


Sumber: Sarosa (2010)
Studi Sarosa (2010) tidak menjelaskan lebih lanjut acuan dari wilayah urban yang
digunakan, apakah mengacu pada penduduk yang tinggal di kota vs kabupaten, atau
jumlah penduduk yang tinggal di wilayah urban berdasarkan kriteria BPS. Tabel 2.1
menunjukkan pengelompokan administratif kabupaten dan kota, jumlah kabupaten
atau kota berdasarkan kepadatan penduduk, dan ketentuan jumlah penduduk

mengacu pada definisi wilayah urban berdasarkan kepadatan penduduk dan jumlah
penduduk di suatu wilayah (Firman, 2010; UNSTAT, 2010). Dari Tabel 2.1, terlihat
bahwa perkembangan wilayah urban terjadi baik di kota ataupun di wilayah
kabupaten, walaupun dari segi kepadatan penduduk, sebagian besar wilayah
administratif kota relatif memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Selama periode
lima tahun terakhir juga terjadi peningkatan jumlah wilayah urban baik dari segi
administratif, kepadatan penduduk, maupun berdasarkan klaster jumlah penduduk.
Tabel 2.1.Pembagian Administratif, Kepadatan Penduduk, dan Jumlah Penduduk: Kabupaten dan Kota
Jumlah
Kabupaten/
Kota

2005
Administratif

2010
2

>1000/km

>250.000
penduduk

Administratif

>1000/km

>250.000
penduduk

Kabupaten

349

27

191

399

31

201

Kota

91

55

35

98

60

39

Sumber: Diolah dari data dasar DAU (Kemenkeu, 2011) dan BPS (2011)

Berdasarkan proyeksi bahwa mayoritas penduduk akan menjadi penduduk
perkotaan dan juga proyeksi perkembangan wilayah perkotaan, kebijakan
pemerintah tentunya perlu disesuaikan dengan perkembangan sosial-ekonomi dan
permasalahan yang kemungkinan berbeda dengan konteks struktur penduduk di
dekade sebelumnya, dimana mayoritas adalah penduduk pedesaan dengan
karakteristik rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian.

P O L A S O S IO -E K O N O M I D A N I N D IK A T O R K E U A N G A N
P U B L IK W IL A Y A H U R B A N D A N N O N -U R B A N
Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, perkembangan tingkat urbanisasi di
Indonesia meningkat cukup tinggi (Lewis, 2011; Sakora, 2010). Secara umum,
indikator sosio-ekonomi lebih baik di wilayah perkotaan dibandingkan dengan
wilayah rural (pedesaan). Tabel 2.1 dan Tabel 2.2 menunjukkan perkembangan
indikator yang menggambarkan karakteristik kondisi pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan secara umum untuk wilayah perkotaan dan pedesaan.
Di sektor kesehatan, persentase morbiditas (penduduk yang sakit) yang
mengganggu aktivitas secara nasional lebih besar di pedesaan dibandingkan
perkotaan (lihat Tabel 2.2). Namun, tingkat morbiditas ini untuk beberapa provinsi
justru lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Karakteristik jenis
penyakit yg ada di masyarakat pun berbeda antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Tabel 2.2. Persentase Morbiditas yang Mengganggu Aktivitas di Perkotaan dan Pedesaan Antarprovinsi
Provinsi

Perkotaan

Pedesaan

Perkotaan

Pedesaan

2000

2000

2006

2006

Aceh

14

16,5

Sumatra Utara

6,5

8,1

9,7

Sumatra Barat

9,4

14,5

7,2

12,5

Riau

7,8

11,3

8,1

10,5

Jambi

6,4

9,5

12,3

11,4

Sumatra Selatan

7,3

8,8

10,1

10

Bengkulu

10,5

11,6

9,5

15,1

Lampung

12,6

9,9

11

15,2

10,3

11,7

Bangka Belitung
Kepulauan Riau

11,5

17,1

Jakarta

11,9

12,4

Jawa Barat

9,7

10,4

11,4

13,5

Jawa Tengah

11,6

12,6

10,7

12,5

Yogyakarta

11,6

11,6

14,3

18,7

Jawa Timur

12,3

13,2

12,1

13,9

10,5

11,5

Bali

11,5

15,2

15,8

20

NTB

21,2

20,3

16,9

19,8

NTT

20

22

18,2

22,3

Kalimantan Barat

7,4

11,4

15,5

12

Kalimantan Tengah

5,1

6,7

15,4

11,1

Kalimantan Selatan

10,2

11,4

10,7

13,1

Kalimantan Timur

9,8

9,3

13,4

14,3

Sulawesi Utara

11,8

13,6

15,3

17,4

Sulawesi Tengah

18,4

18,4

12,4

21,1

Sulawesi Selatan

12,6

11,8

11,7

13,4

Sulawesi Tenggara

11,9

10,1

12,8

16,5

Gorontalo

23,5

23,1

Sulawesi Barat

12,5

17,4

Maluku

13,5

20,3

Maluku Utara

15,1

23,2

Papua Barat

19,9

8,3

Papua

6,9

9,7

14,2

16,4

Indonesia

10,7

11,9

11,6

13,9

Banten

Sumber: Smeru (2008)


Tabel 2.3 menunjukkan jenis layanan kesehatan yang tersedia di perkotaan dan
pedesaan yang juga terdisagregasi berdasarkan pulau. Dari Tabel 2.3, terlihat bahwa
proporsi layanan kesehatan swasta masih relatif dominan di perkotaan untuk tahun
2000. Namun demikian untuk tahun 2006, fasilitas layanan kesehatan pemerintah
jauh lebih besar dibandingkan swasta. Data di tahun 2006 menunjukkan
perkembangan fasilitas layanan kesehatan pemerintah cukup tinggi baik di
perkotaan maupun di pedesaan.
Tabel 2.3. Persentase Fasilitas Berdasarkan Jenis Layanan Kesehatan

Pemerintah

Swasta

Tradisional

2000

2006

2000

2006

2000

2006

Jawa

Perkotaan/Urban

35,9

54,1

61,8

41,7

2,3

1,8

Pedesaan/Rural

41,6

70,7

56

23,7

2,4

2,9

38,8

62,2

Sumatera

Perkotaan/Urban

35,2

Pedesaan/Rural

44,4

Sulawesi

Perkotaan/Urban

Pedesaan/Rural

Kalimantan

58,9

33

2,3

58,6

62

36

2,8

72,6

49,5

19

6,1

3,5

41,1

67,6

53,9

25

4,9

46,4

65,1

51,5

31

2,1

0,8

57,7

78,6

38,3

15

1,6

54,1

74,4

42,4

20

3,4

1,3

Perkotaan/Urban

39,4

58

57,7

38

2,9

1,3

Pedesaan/Rural

55,3

80,3

40,9

12,6

3,9

3,5

48,5

70,5

48,1

23,7

3,4

2,5

Pulau
Lainnya

Perkotaan/Urban
50,1

65,3

47,6

28,3

2,3

1,6

64,9

82,1

30,5

11,7

4,6

61,6

77,7

34,3

16,1

4,1

1,1

Indonesia

Perkotaan/Urban

Pedesaan/Rural

37,1

55,9

60,6

39,7

2,4

1,8

46,5

73,4

50,1

20,2

3,4

2,7

Pedesaan/Rural

2,3

Sumber: Dikompilasi dari Smeru (2008)


Perkembangan output atau outcome di sektor pendidikan juga lebih baik untuk
wilayah perkotaan dibandingkan dengan di wilayah pedesaan. Grafik 2.2 memperli-
hatkan perkembangan persentase melek huruf antara wilayah perkotaan dan
pedesaan. Secara umum, persentase angka melek huruf lebih tinggi di perkotaan
dibandingkan dengan wilayah rural.
Grafik 2.2. Persentase Melek Huruf di Perkotaan dan Pedesaan (berdasarkan
Income Quantile)


Sumber: MDG-IDN (2004)
Sementara itu, Tabel 2.4 menunjukkan korelasi positif antara tingkat kepadatan
penduduk dengan indikator output pendidikan yaitu angka partisipasi murni (APM).
Dapat disimpulkan bahwa di perkotaan sebagai wilayah dengan kepadatan
penduduk yang relatif tinggi, persentase penduduk usia sekolah yang bersekolah
cenderung tinggi.

Tabel 2.4. Persentase Angka Partisipasi Murni (APM) di Perkotaan dan Pedesaan
Korelasi Kepadatan Penduduk dan APM
Tahun 2010 (Data Provinsi)
Angka Partisipasi Murni (APM) SD

Koefisien Korelasi
0,057106

Angka Partisipasi Murni (APM) SMP

0,189041

Angka Partisipasi Murni (APM) SMA

0,121273

Sumber: Diolah dari data BPS (2011)


Namun demikian, untuk sektor infrastruktur jalan, akses beberapa pelayanan dasar
yang terkait dengan ketersediaan dan kualitas infrastruktur justru lebih rendah
untuk wilayah perkotaan. Grafik 2.3 menunjukkan bahwa kualitas jalan di Kota
cenderung tidak lebih baik dibandingkan kualitas jalan di wilayah Kabupaten. Jalan
aspal kurang dari 50 persen dari total jalan yang ada di Kota, sementara jalan aspal
di Kabupaten meliputi 70 persen dari total jalan yang ada. Investasi infrasktruktur
jalan relatif masih kurang untuk perkotaan dibandingkan kabupaten.
Grafik2.3.Kondisi Jalan Kota dan Kabupaten Tahun 2010 (Proporsi Kondisi Jalan)

1.20
1.00
0.80

lainnya
tanah

0.60

keras
0.40

aspal

0.20
0.00
Kota

Kabupaten

Sumber: Diolah dari Worldbank Dataset (2011)


Terkait dengan infrastruktur pelayanan dasar, Grafik 2.4 dan 2.5 menunjukkan
perbandingan akses terhadap air minum layak dan sanitasi antara wilayah
perkotaan dan pedesaan. Dari Grafik 2.4, persentase rumah tangga dengan akses air
minum layak lebih rendah di perkotaan untuk wilayah Jawa dan Bali, sebagian
wilayah Sumatera, dan Papua. Seperti ditunjukkan di Grafik 2.4 (kotak kuning), pola
yang sama dalam hal akses air minum yang layak untuk wilayah perkotaan juga
mengindikasikan kemungkinan kurangnya antisipasi dalam penyediaan air bersih
untuk wilayah dengan penduduk yang relatif cukup besar seperti di wilayah di Jawa,
dan daerah kaya sumber daya alam dengan perkembangan penduduk atau aktivitas
ekonomi yang cukup pesat seperti di Provinsi Riau dan Provinsi Papua.

Bali
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
DKI
Sulawesi Tenggara
Kep. Bangka
Riau
Maluku Utara
Kep. Riau
Kalimantan Timur
Sulawesi Selatan
Banten
Jambi
Sulawesi Tengah
Sumatera Utara
Maluku
Aceh
Sumatera Selatan
Lampung
Kalimantan Selatan
Sulawesi Utara
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Gorontalo
Bengkulu
Papua Barat
Jawa Barat
Kalimantan Tengah
Papua
NTB
NTT


Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kep. Riau
DKI
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat

Grafik 2.4.Persentase Rumah Tangga dengan akses Air Minum Layak Tahun 2010

80

70

60

50

40

30

20

10
Perkota
an

100

90

80

Sumber: Diolah dari data BPS (2011)


Sumber: Diolah dari data BPS (2011)

Berbeda halnya dengan pelayanan dasar air minum, akses sanitasi layak lebih
rendah di pedesaan dibandingkan perkotaan. Dari Grafik 2.5, persentase rumah
tangga dengan akses sanitasi layak relatif lebih tinggi untuk wilayah perkotaan. Pola
yang sama untuk akses listrik ditunjukkan dalam Tabel 2.5.

Grafik 2.5. Persentase Rumah Tangga dengan akses Sanitasi Layak Tahun 2010

Pedesaan

Perkotaan

70

60

50

40

30

20

10

Tabel 2.5. Persentase Rumah Tangga dengan akses Listrik Tahun 2009 dan 2010

2009
Perkotaan

Pedesaan

Aceh

98,87

Sumatera Utara
Sumatera Barat

2010
Perkotaan

Pedesaan

88,63

Pedesaan &
Perkotaan
91,5

98,63

91,27

Pedesaan &
Perkotaan
93,33

99,04

88,07

93,11

98,96

87,19

92,91

97,9

85,56

89,83

97,36

86,67

90,77

Riau

96,59

80,72

88,65

97,48

82,08

88,05

Jambi

93,36

82,37

85,85

96,49

84,29

87,93

Sumatera Selatan

98,58

81,78

88,04

97,97

83,82

88,69

Bengkulu

97,51

81,44

87,04

98,33

80,44

85,9

Lampung

97,44

85,01

88,24

97,39

89,34

91,29

Kep. Bangka Belitung

97,63

90,62

93,99

97,5

88,01

92,77

Kep. Riau

97,85

87,91

93,18

95,98

92,78

95,45

DKI

99,57

99,57

99,58

Jawa Barat

99,46

97,69

98,72

99,5

98,13

Jawa Tengah

99,28

98,34

98,79

99,54

98,92

99,2

DI Yogyakarta

99,66

98,45

99,26

99,77

99,21

99,59

Jawa Timur

99,45

97,83

98,61

99,52

98,5

98,97

Banten

98,68

94,98

97,24

99,41

93,79

97,67

Bali

99,45

95,14

97,63

99,14

95,46

97,72

NTB

94,97

85,83

89,65

93,71

86,28

89,39

NTT

97,32

35,69

46,17

95,57

42,15

52,55

Kalimantan Barat

97,71

67,01

75,36

99,17

69,07

77,97

Kalimantan Tengah

96,45

67,71

77,49

96,66

73,88

81,54

Kalimantan Selatan

99,37

89,86

93,76

99,21

90,29

94,01

Kalimantan Timur

98,77

87,99

94,65

99,09

88,72

95,18

99,3

92,86

95,66

98,31

95,12

96,58

Sulawesi Tengah

97,28

73,4

78,41

96,11

75,39

80,44

Sulawesi Selatan

98,41

86,51

90,38

99,08

88,8

92,49

Sulawesi Tenggara

96,74

75,99

80,8

96,38

72,76

79,29

Gorontalo

96,99

72,45

80,2

93,87

68,62

77,33

Sulawesi Barat

97,35

75,01

82,27

92,3

69,06

74,25

Maluku

93,66

65,93

73,26

95,62

69,46

79,64

Maluku Utara

95,41

62,87

72,5

97,02

72,98

79,67

Papua

96,41

57,58

68,99

95,56

71,12

82,17

Papua Barat

93,99

28,22

42,78

92,67

25,65

42,71

98,9

88,5

93,55

98,96

89,39

94,15

Sulawesi Utara

Total

99,58
99,01

Sumber: BPS (2011)


Grafik 2.6 menggambarkan karakteristik kesejahteraan masyarakat di perkotaan
dan pedesaan lewat penyajian tingkat kemiskinan (persentase penduduk miskin).
Secara absolut, penduduk miskin hampir di semua provinsi lebih banyak untuk
wilayah pedesaaan dibandingkan di perkotaan. Namun demikian sebagian besar
provinsi di Sumatra dan di Jawa, kesenjangan antara penduduk miskin perkotaan

dan pedesaan tidak terlalu besar sesuai dengan karakteristik sebagian besar wilayah
Jawa dan Sumatera yang didominasi oleh wilayah urban.

Kalimantan Timur

Kalimantan Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Nusa Tenggara Timur

Bali

Nusa Tenggara Barat

Jawa Timur

Yogyakarta

Banten

Kota

Jawa Tengah

Jawa Barat

Lampung

DKI Jakarta

Bengkulu

Kep Bangka Belitung

Jambi

Sumatera Selatan

Riau

Kepulauan Riau

Sumatera Barat

Nanggroe Aceh

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Sumatera Utara

Grafik 2.6. Persentase Penduduk Miskin Tahun 2010

Desa

Sumber: BPS (2011)


Sementara itu, terkait dengan kepemilikan rumah seperti ditunjukkan di Tabel 2.6,
persentase rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri lebih
rendah di perkotaan. Dalam hal ini, untuk DKI Jakarta, hanya sekitar 45 persen
rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri.
Tabel 2.6. Persentase Rumah Tangga dengan Status Kepemilikan Rumah Milik Sendiri Tahun 2010
Provinsi

Perkotaan

Pedesaan

Pedesaan & Perkotaan

Aceh

62,41

82,08

76,59

Sumatera Utara

60,11

72,69

66,58

Sumatera Barat

57,61

75,32

68,53

Riau

54,81

74

66,56

Jambi

64,93

82,1

76,98

Sumatera Selatan

60,8

83,79

75,89

Bengkulu

63,5

84,45

78,05

Lampung

75,14

90,38

86,7

Kep. Bangka Belitung

73,57

87,97

80,75

Kep. Riau

63,55

85,13

67,09

DKI

45,19

45,19

Jawa Barat

67,95

89,51

75,67

Jawa Tengah

80,83

93,55

87,88

DI Yogyakarta

65,05

94,79

74,5

Jawa Timur

78,88

94,12

87,05

Banten

64,34

90,11

72,33

Bali

60,15

89,03

71,28

NTB

77,99

89,1

84,46

NTT

62,53

88,86

83,74

Kalimantan Barat

72,08

89

84

Kalimantan Tengah

61,35

78,42

72,68

Kalimantan Selatan

60,75

83,1

73,78

Kalimantan Timur

55,82

77,21

63,88

Sulawesi Utara

62,7

83,06

73,75

Sulawesi Tengah

62,37

87,45

81,34

Sulawesi Selatan

67,66

90,65

82,4

Sulawesi Tenggara

65

88,94

82,32

Gorontalo

64,26

79,79

74,44

Sulawesi Barat

75,85

86,33

83,99

Maluku

60,16

83,75

74,57

Maluku Utara

68,15

87,72

82,27

Papua

51,24

73,92

63,67

Papua Barat

50,66

92,31

81,71

Total

67,61

88,28

78

Sumber: BPS (2011)


U R B A N IS A S I D A N K E U A N G A N D A E R A H
Pertumbuhan urban yang cepat menjadi suatu tantangan tersendiri bagi pemerintah
karena penyediaan jasa menjadi lebih kompleks dengan bertambahnya
populasi.Menurut Tiebout (1956), individu akan mencari kombinasi pengeluaran
pemerintah daerah (yang diwakili oleh barang publik lokal) dan pajak yang cocok
dengan preferensinya. Jadi, dalam konteks urbanisasi, daya tarik untuk daerah
perkotaan adalah proses alami yang juga dapat disumbangkan dari kebijakan
pemerintah terkait pengeluaran dan pajak.
Di sisi lain, pada sebagian daerah urbanisasi tidak terjadi karena kebijakan pajak
maupun pengeluaran tertentu, melainkan terjadi alami karena suatu
kecenderungan (misalnya peraturan bahwa daerah tersebut menjadi ibukota
provinsi, adanya sumber daya alam, maupun keuntungan lokasi). Dalam hal ini,
daerah perkotaan atau pun proses urbanisasi sendiri juga dapat menjadi sangat
bermanfaat bagi pemerintah daerah terkait, karena akan meningkatkan potensi
pendapatan pajak dan dapat menurunkan biaya pelayanan karena terjadinya
perbaikan skala ekonomi. Pemerintah daerah yang akan memaksimalkan penda-
patan akan mendapat manfaat dari kondisi awal dan pengembangan kegiatan
ekonomi dari urbanisasi.
Urbanisasi yang mengacu kepada pengembangan wilayah dapat diartikan bahwa
daerah perkotaan akan ditandai dengan aglomerasi aktivitas ekonomi dan mungkin
pengelompokan penduduk pendapatan yang relatif tinggi. Dalam hal ini, daerah
perkotaan juga akan memiliki pendapatan pajak yang lebih tinggi apabila kegiatan
ekonomi dari mereka yang menjadi basis pajak meningkat.
Terhadap pengeluaran, keberadaan skala ekonomi di daerah perkotaan setidaknya
akan terefleksikan pada biaya yang makin rendah. Pengeluaran publik untuk
pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan penting mengingat dampak manfaat yang
diduga dirancang untuk menjadi pro-miskin. Kota-kota urban ataupun pemerintah

lokal menyalurkan sebagian besar pengeluaran mereka untuk pendidikan,


infrastruktur, dan kesehatan, mewakili layanan utama yang diterima oleh penduduk.
Ada pendapat bahwa kesenjangan horizontal memburuk akibat urbanisasi, sehingga
dana perimbangan akan dialokasikan untuk daerah yang relatif non-urban atau
tertinggal. Meski demikian, Nazara (2009) dan World Bank (2007) menyatakan
bahwa meskipun sebagian besar dana transfer sudah dialokasikan untuk daerah-
daerah luar Jawa, disparitas pendapatan antardaerah belum banyak berubah.
Selama Orde Baru maupun selama periode desentralisasi, sebagian besar kegiatan
ekonomi dan aglomerasi masih terkonsentrasi di Jawa.
Oleh karena itu, satu dekade desentralisasi di Indonesia ditandai oleh sistem
transfer yang sangat menekankan pada aspek distributif, dengan tujuan pokok
untuk mengurangi kesenjangan horizontal pembangunan ekonomi antardaerah di
Indonesia. Dengan perangkat Dana Alokasi Umum (DAU), beserta dengan Dana
Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) di awal 2011, maka transfer
antarpemerintahan di Indonesia telah bergeser dari bentuk sebelumnya yang
berupa hibah modal dan penggantian biaya (Inpres dan SDO), menjadi transfer yang
lebih memperhitungkan ketimpangan fiskal antardaerah.
Pemaparan berbagai indikator sosial antara daerah urban dan rural, seperti yang
telah dibahas sebelumnya, tidak memberikan sinyal yang jelas mengenai apakah
populasi urban relatif lebih baik dibandingkan populasi rural. Meskipun akses
terhadap kesehatan dan pendidikan lebih baik di wilayah-wilayah urban, tidak
semua pelayanan dasar sudah mencukupi. Kemiskinan (jumlah orang miskin) secara
umum lebih tinggi di wilayah-wilayah rural dibandingkan urban. Namun, kemiskinan
di kota menjadi isu tersendiri karena perbedaan antara kemiskinan urban dan rural
relatif kecil dalam wilayah-wilayah padat penduduk seperti di Jawa dan Sumatera.


BAB 3


K EBUTUHAN K LASTER D AERAH UNTUK D ESAIN


K EBIJAKAN D ESENTRALISASI F ISKAL

Seperti tergambarkan dengan jelas di Bab 1 dan Bab 2, variasi dari kondisi demografi
dan dinamika urbanisasi antardaerah di Indonesia cukup besar baik di tingkat
provinsi maupun untuk tingkat pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Bab 1
juga memberikan indikasi yang jelas bahwa pola pembangunan perlu untuk
mengakomodasi perkembangan siklus demografi. Siklus demografi dapat dimanfa-
atkan dalam bentuk pool produktifitas, ketersediaan SDM, modal finansial (untuk
investasi), dan modal manusia untuk pengembangan aktivitas perekonomian. Siklus
ini perlu dipertimbangkan oleh daerah dalam merumuskan kebijakan pola belanja
dan desain kebijakan pembangunan daerah, khususnya yang terkait dengan
pelayanan publik. Untuk konteks Indonesia, sejumlah daerah berdasarkan proyeksi
struktur penduduk jangka panjang berpotensi mengambil manfaat dari adanya
komposisi penduduk produktif lebih awal dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya. Selain itu juga terdapat daerah dengan struktur penduduk yang sudah ideal,
yaitu daerah yang saat ini memiliki struktur penduduk dengan angka
2
ketergantungan paling rendah (lihat Tabel 1.4 dan Tabel 1.5 di Bab 1).

Perkembangan struktur penduduk kemungkinan juga tidak terlepas dari aspek
geografis dan jenis-jenis aktivitas perekonomian di wilayah itu sendiri. Dalam
deskripsi di Bab 2, daerah-daerah cukup beragam dimana karakteristik urban tidak
hanya terepresentasikan oleh satu jenis pemerintahan. Sejumlah kabupaten
memiliki karakteristik urban, sementara sejumlah pemerintah kota juga relatif
belum dapat dikatagorikan sebagai wilayah urban jika dilihat dari faktor kepadatan
wilayah atau jumlah penduduk. Dalam hal ini, dinamika urbanisasi lebih merupakan
tantangan yang perlu diantisipasi oleh sebagian daerah dalam pola produksi dan
penyediaan pelayanan publik, terutama untuk daerah-daerah yang saat ini
merupakan daerah metropolitan atau yang berpotensi menjadi daerah
metropolitan.


2
Namun demikian, apakah struktur penduduk yang ideal tersebut (yakni pada masa
window opportunity) dapat benar memicu perkembangan perekonomian daerah
atau tidak dapat dieksplorasi melalui tingkat produktifitas penduduk usia produktif
tersebut, yang dalam hal ini bisa tergambarkan dari indikator Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) dan tingkat pengangguran di daerah tersebut.

Pada akhirnya, jika dikaitkan dengan pengelolaan kebijakan publik pemerintah


terutama dari segi pola belanja dan aspek sustainabilitas penerimaan pemerintah,
perubahan struktur penduduk dan perkembangan urbanisasi di suatu daerah akan
berimplikasi pada cakupan dan jenis pelayanan publik sehingga akan mempengaruhi
acuan besar kebutuhan fiskal daerah tersebut. Selain itu, formulasi untuk
penentuan kebutuhan fiskal suatu daerah perlu untuk memerhatikan karakteristik
maupun konteks institusi suatu daerah dan keterkaitan antar jenjang pemerintahan
yang kemungkinan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Perlunya
pendekatan yang relatif berbeda dalam pola penyediaan pelayanan publik juga tidak
terlepas dari indikasi bahwa variasi efisiensi dari berbagai daerah di Indonesia cukup
besar. Oleh karena itu, klaster daerah merupakan salah satu format yang perlu
dipertimbangkan dan dimasukkan dalam desain transfer dengan tujuan untuk
mendukung alokasi transfer yang sesuai dengan kebutuhan dan yang memang
dapat dilakukan oleh daerah, terutama untuk konteks conditional transfer.

L A N D A S A N K O N S E P T U A L

Desentralisasi asimetris terjadi ketika ada daerah-darah yang berada pada tingkat
pemerintahan yang sama namun memiliki tanggung jawab berbeda karena
pertimbangan politik, kapasitas fiskal, atau pun pertimbangan teknis. Desentralisasi
asimetris pada tingkat regional dipraktikkan di beberapa negara seperti Belgia,
Kanada, India, dan Malaysia. Desentralisasi asimetris pada tingkat lokal lebih
menonjol dalam praktik (de-facto), meskipun kebijakan tersebut mungkin tidak
secara khusus dituangkan dalam hukum (de-jure) (Shah & Thompson, 2002).
Pengaturan secara asimetris dapat berguna apabila daerah-daerah relatif beragam
dalam hal populasi, budaya, dan perkembangan perekonomian. Penugasan
penyediaan pelayanan publik kepada berbagai pihak berwenang di pusat dan
daerah memerlukan pertimbangan beberapa faktor termasuk skala dan cakupan
ekonomi, spillover biaya atau manfaat, kedekatan terhadap penerima manfaat,
preferensi konsumen, dan fleksibilitas atau diskresi dalam mengambil keputusan
belanja (Shah, 2004).
Dalam hal ini, Indonesia adalah suatu negara yang karakteristik daerahnya sangat
beragam, sehingga muncul suatu kebutuhan untuk memperlakukan daerah-daerah
secara berbeda. Ini sudah diterapkan dalam konteksi otonomi khusus untuk Aceh
dan Papua. Namun evaluasi selama sepuluh tahun pertama pelaksanaan
desentralisasi menunjukkan bahwa beberapa kebijakan yang diterapkan secara
seragam terhadap semua daerah, seperti Dana Alokasi Umum yang formulanya
berlaku umum untuk seluruh daerah di Indonesia (one size fits all), dipandang tidak
dapat mengakomodasi besarnya variasi antardaerah yang ada. Oleh karena itu,
pemikiran untuk menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal yang asimetris, dalam
hal ini yang berbasis klaster, kembali menguat.
Terminologi awal 'klaster' (cluster dalam bahasa Inggris) berangkat dari pengertian
sempit sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan yang saling
berhubungan, pemasok khusus, penyedia layanan, perusahaan-perusahaan di
industri terkait, dan lembaga-lembaga terkait (misalnya, universitas, lembaga

standar, asosiasi perdagangan) dalam bidang tertentu yang bersaing tetapi juga
bekerja sama (Porter, 2000). Akan tetapi, kini secara umum klaster berarti kelompok
dari beberapa entitas yang memiliki karakteristik yang seragam. Analisis klaster
mengacu pada berbagai macam teknik yang digunakan untuk mengelompokkan
beberapa entitas ke dalam sub-kelompok yang masing-masingnya relatif homogen,
berdasarkan kesamaan karakteristik mereka (Lorr, 1983). Teknik ini membantu
mengurangi kompleksitas dan meningkatkan akurasi prediksi dari suatu
pengamatan. Selama ini, analisis klaster telah digunakan untuk mengukur kinerja
desentralisasi di beberapa negara.
Dalam mengelompokkan ke dalam klaster, ada beberapa kriteria yang harus
dipertimbangkan untuk memilih dimensi dan karakteristik penting (variabel) yang
nantinya juga berguna untuk analisis klaster.
1. Keterukuran: dimensi harus dapat diukur;
2. Kelayakan: variabel yang digunakan untuk menangkap dimensi harus relevan;
3. Kredibilitas: variabel harus obyektif dan kredibel; dan
4. Ketersediaan: ketersediaan data variabel adalah krusial.

Dalam pengelompokan, analisis klaster dapat didasarkan pada angka rata-rata
(mean) maupun median. Akan tetapi, masalah yang lebih sulit adalah ketika
menentukan jumlah klaster yang ideal. Penentuan jumlah klaster adalah masalah
mendasar yang sulit terpecahkan karena kurangnya hipotesis nol yang tepat serta
sifat kompleks dari distribusi sampling multivariat (Everitt, 1979). Aldenderfer &
Balshfield (1984) menunjukkan dua pendekatan dasar untuk menentukan jumlah
klaster, baik berdasarkan prosedur heuristik maupun tes formal. Program statistik
STATA menyarankan solusi dari Indeks Pseudo-F Calinski & Harabasz, yang
menghitung nilai kebolehjadian untuk tiap kemungkinan pengelompokan. Nilai yang
lebih besar mengindikasikan pengelompokan yang lebih baik. Meskipun sudah ada
beberapa tes yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah klaster yang ideal,
tanpa penggunaan yang hati-hati, analisis klaster akan menjadi dugaan subjektif
semata.
Lebih lanjut, pengelompokan ke dalam klaster juga memiliki beberapa masalah
mendasar sebagai berikut (Maskell & Kebir, 2009):
1)

ada tidaknya manfaat ekonomi dan sosial bagi daerah atau masyarakat dengan
pengelompokan tersebut (argumen eksistensi);

2)

adanya disekonomi yang terjadi dengan pengelompokan berdasarkan


geografis maupun sektoral yang telah melebihi ambang batas tertentu
(argumen ekstensi); dan
seberapa lama pengelompokan tersebut akan relevan dengan terjadinya
perubahan terhadap daerah-daerah anggota klaster tersebut (argumen
kekinian).

3)

K O N S T R U K S I K L A S T E R D A E R A H

Gambar 3.1 menunjukkan berbagai alternatif klaster yang dapat digunakan dalam
desain transfer, namun penggunaan antara suatu klaster dengan klaster lainnya,
atau penggunaan beberapa klaster perlu mengacu pada prinsip bahwa keadilan
antardaerah seyogyanya tetap terjadi. Hal yang juga perlu diperhatikan dalam
penggunaan suatu klaster adalah kaitannya dengan tujuan dari alokasi transfer itu
sendiri.

Untuk daerah dengan kebutuhan fiskal yang relatif sama, keadilan dalam alokasi
transfer terkait dengan daerah dengan kapasitas fiskal berbeda seharusnya
mendapat alokasi transfer yang berbeda. Isu dari sistem intergovernmental transfer
di Indonesia adalah bahwa penggunaan rata-rata dari nasional sebagai acuan atau
representative region dari konteks keseluruhan daerah kemungkinan justru
membuat nilai dari kebutuhan fiskal hasil formulasi melenceng jauh dari kebutuhan
fiskal yang sebenarnya untuk sebagian besar daerah. Hal ini karena variasi dan
perbedaan karakteristik yang cukup besar antar sejumlah daerah dengan daerah-
3
daerah lainnya.

Penentuan kebutuhan fiskal suatu daerah tidak terlepas dari cakupan dan jenis
pelayanan publik yang perlu dilakukan oleh suatu daerah dan/atau tingkat
pemerintahan tertentu. Seperti juga tersirat di Gambar 3.1, kebutuhan fiskal suatu
daerah ditentukan oleh karakteristik daerah dan juga institusi pemerintahan di
daerah itu sendiri. Sebelum menerapkan konsep equity tersebut, perlu untuk
setidaknya mengupayakan formulasi kebutuhan fiskal sesuai dengan representasi
karakteristik daerah dan juga institusi pemerintahan yang ada. Klaster daerah yang
realistik adalah mengacu pada karakteristik daerah atau proxy pengelompokan
sesuai dengan jenis pemerintahan. Ini dimaksudkan untuk menentukan kebutuhan
sumber daya untuk mencapai penyediaan pelayanan publik yang optimal.

Konsep keadilan yang mengacu pada alokasi transfer untuk daerah yang relatif
memiliki kapasitas fiskal rendah juga mengindikasikan bahwa setiap daerah
diharapkan menyediakan pelayanan publik yang relatif sama. Asumsi ini
kemungkinan hanya relevan untuk jenis-jenis pelayanan publik minimum yang
disediakan oleh semua daerah. Dalam hal ini, klaster daerah hanya untuk
mengklasifikasi daerah dengan cakupan pelayanan publik yang minimum, yang
berarti bahwa penentuan pelayanan publik daerah kemungkinan besar masih sub-
optimal (under provision of local public goods). Identifikasi kondisi sub-optimal ini
akan semakin relevan terutama untuk sejumlah daerah yang memang secara natural
memerlukan kualitas pelayanan publik yang lebih tinggi dan kuantitas yang lebih
banyak dari daerah-daerah lainnya. Hal ini juga menjadi justifikasi penggunaan
klaster daerah untuk meminimalkan inefisiensi dari proyeksi kebutuhan fiskal yang
jauh dibawah optimal.


3
Formulasi yang sama untuk konteks cakupan dari jenis pelayanan publik yang
berbeda antara sejumlah daerah juga akan menyebabkan perbandingan gap
kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal antar daerah menjadi kurang relevan.

Pada akhirnya, pengelompokan daerah hanya dilakukan dalam konteks desain


intergovernmental transfer apakah untuk menciptakan konsep keadilan atau untuk
meningkatkan efisiensi (mengurangi inefisiensi). Hal yang wajib diperhatikan adalah
penggunaan klaster dapat tidak efektif ketika prinsip keadilan yang berusaha
diciptakan justru tidak muncul karena desain atau penggunaan klaster yang
dibuat.Misalnya, pengelompokan daerah justru menyebabkan baik efisiensi maupun
keadilan tidak tercapai karena penggunaan beberapa klaster dengan tujuan berbeda
(konteks too many clusters lead to nowhere) dan juga ketidakefektifan klaster
(penggunaan klaster yang sebenarnya tidak diperlukan).

Gambar 3.1. Berbagai Alternatif Pendekatan Klaster

1.

Berikut adalah faktor-faktor yang berlu diperhatikan dalam pengelompokan daerah


ke dalam klaster:

Perlu untuk mempertimbangkan apakah setiap daerah melakukan pola belanja yang
relatif sama. Apabila terdapat variasi yang cukup ekstrem dalam pola belanja, maka
adopsi desain dan formulasi penentuan kebutuhan fiskal untuk sejumlah daerah
yang memang berbeda merupakan suatu kebutuhan. Klaster yang dapat diadopsi
adalah klaster 1, representasi dari karakteristik wilayah ataupun struktur ekonomi
masyarakat yang berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya yang memang
mempengaruhi cakupan jenis pelayanan publik dan biaya pelayanan serta indikator
yang mudah diformulasi dan relatif stabil untuk identifikasi perbedaan pelayanan
publik yang cukup signifikan antardaerah.

2.

3.

4.

5.

Apabila terdapat eksternalitas program pengeluaran antar tingkat pemerintahan,


misalnya antara pemerintah provinsi dan pemerintah kotaatau pemerintahan
kabupaten yang menjadi ibukota provinsi, maka penggunaan klaster lebih
dimaksudkan untuk mengidentifikasi kompensasi bagi wilayah-wilayah tersebut. Jika
dikaitkan dengan pilihan penggunaan klaster, seperti di Gambar 3.1, maka
penggunaan klaster 4 berdasarkan jenis pemerintahan kurang dapat digunakan dan
justru pendekatan wilayah relevan dengan juga mempertimbangkan sumber pool of
funds dari unit pemerintahan yang bertanggung jawab (karena memperoleh
manfaat) terhadap eksternalitas tersebut.

Penggunaan klaster yang dilakukan berdasarkan suatu jenis pelayanan publik yang
sudah teridentifikasi dikonstruksi untuk mengetahui besar biaya atau kebutuhan
fiskal. Penggunaan klaster 3 ini relevan apabila terkait dengan skema penggunaan
dari transfer itu sendiri (conditional transfer). Identifikasi indikator untuk klaster 3
juga dapat dilakukan melalui penyesuaian klaster 4 dengan mempertimbangkan
otoritas de facto dari tiap jenis daerah.

Penetapan klaster 2 dan klaster 5, yaitu untuk nilai kebutuhan fiskal ataupun nilai
kapasitas fiskal akan sensitif terhadap nilai kebutuhan fiskal ataupun nilai kapasitas
fiskal yang dijadikan nilai threshold. Nilai threshold tersebut yang akan menentukan
apakah suatu daerah, misalnya disebut sebagai daerah dengan kebutuhan fiskal
tinggi dan daerah dengan kapasitas fiskal tinggi, atau sebaliknya. Tidak seperti ciri-
ciri indikator pengelompokan daerah lainnya (klaster 1, 3, dan 4), maka adalah
krusial untuk mengakomodasi langsung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dalam
formula alokasi transfer.

Desain transfer ke suatu daerah juga perlu mempertimbangkan apakah daerah
tersebut relatif memiliki kapasitas institusi yang memadai atau tidak, dengan
memasukkan juga faktor effort daerah. Misalnya, adalah sangat mungkin suatu
daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, namun kurang dapat
memanfaatkan kapasitas fiskal yang ada karena keterbatasan kapasitas SDM atau
institusi pendukung. Identifikasi effort daerah juga perlu dilakukan agar desain
alokasi transfer yang mengurangi effort daerah dapat dihindari. Kondisi dan kesiapan
institusi daerah sebaiknya tidak dilakukan terpisah dari konteks desain
intergovernmental transfer.












A L T E R N A T IF K L A S T E R D A E R A H

Tabel 3.1. Identifikasi Karakteristik Daerah

A

Urban: umumnya kapasitas fiskal


tinggi tetapi kebutuhan fiskal
relatif tinggi/cakupan atau variasi
pelayanan publik yang lebih
banyak (isunya mempertahankan
kualitas pelayanan).

Struktur penduduk: umumnya
angka ketergantungan rendah dan
mobilitas penduduk cukup tinggi.

Struktur perekonomian:Aktivitas
perekonomian relatif beragam.
Nilai tambah besar dari sektor
industri dan atau jasa.

Berkembang (Progressing Urban):


umumnya kapasitas fiskal tinggi
tetapi kebutuhan fiskal relatif
rendah/cakupan pelayanan publik
yang lebih sedikit (dan isu-nya
adalah akses pelayanan).

Struktur penduduk: umumnya
angka ketergantungan rendah
terutama karena mobilitas
penduduk kemungkinan besar.

Struktur perekonomian: Aktivitas
perekonomian relatif tidak
beragam. Umumnya nilai tambah
besar dari sumberdaya alam.

Rural: umumnya kapasitas fiskal


rendah dan kebutuhan fiskal juga
rendah/cakupan pelayanan publik
yang lebih sedikit.



Struktur penduduk: umumnya
angka ketergantungan tinggi.


Struktur perekonomian: Aktivitas
perekonomian relatif tidak
beragam. Umumnya nilai tambah
tidak besar dan porsi sektor
pertanian cukup besar.

BAB 4
DESAIN DESENTRALISASI FISKAL
BERDASARKAN KLASTER DAERAH

Seperti dijelaskan sebelumnya, transisi demografi pada saat mencapai WO
berpotensi dimanfaatkan untuk mendapatkan bonus demografi. Tantangannya
adalah bagaimana memanfaatkan kondisi WO ini. Tentu saja, kebijakan nasional
merupakan kunci yang penting karena beberapa kebijakan di luar kewenangan
daerah atau tidak akan efektif jika hanya dilakukan pada tingkatan daerah. Dalam
kaitannya dengan kebijakan transfer, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk
mendukung kebijakan nasional dalam rangka memanfaatkan kondisi WO.
Namun, hal yang tetap mesti diingat adalah perlunya kecermatan dalam memaknai
window of opportunity tersebut. Jika momentum ini tidak dimanfaatkan oleh negara
atau daerah dengan melakukan kebijakan yang cocok, sistematis, dan sungguh-
sungguh, maka situasi tersebut akan berlalu tanpa manfaat yang jelas. Bahkan
sebaliknya, masalah-masalah baru bisa muncul bagi perekonomian negara atau
daerah tersebut. Masalah yang paling nyata adalah kemampuan pemerintah
menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk usia kerja. Lapangan pekerjaan
yang bagaimana yang mampu menampung hampir 70 persen penduduk usia kerja
pada 20202030? Jika lapangan kerja sudah tersedia, mampukah sumber daya
manusia yang melimpah memasukinya dan bersaing di pasar kerja baik domestik
maupun internasional?
Oleh karena itu, pemerintah memiliki tugas yang cukup berat untuk merumuskan
kebijakan yang bisa memanfaatkan kondisi window of opportunity. Perbaikan mutu
SDM, melalui pendidikan, pelayanan kesehatan yang memadai, hingga penguasaan
dan pengembangan teknologi (appropriate technology) harus terus dilakukan seiring
dengan tuntutan kebutuhan dunia kerja yang dinamis. Selain itu, program
keterampilan dan pengembangan inovasi produk juga harus dilakukan seintensif
mungkin, sehingga pekerja tidak hanya bergantung kepada ketersediaan lapangan
pekerjaan, tetapi juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan serta mampu
mendorong pengembangan usaha melalui kegiatan ekonomi kreatif. Jika hal
sebaliknya yang terjadi, saat terjadi window of opportunity dan pemerintah gagal
memanfaatkannya, maka bisa saja terjadi ketidakstabilan ekonomi dan sosial.

T A N T A N G A N O P T IM A L IS A S I D E S E N T R A L IS A S I F IS K A L

Desentralisasi fiskal telah dilaksanakan dalam kurun waktu hampir 11 tahun dengan
jumlah dana yang telah ditransfer ke daerah (DAU, DAK, DBH) semakin membesar.
Pada beberapa tahun terakhir, komposisi dana transfer ini mencapai lebih dari 30

persen dari total APBN dan bahkan jika digabungkan secara keseluruhan dana yang
dibelanjakan di daerah (termasuk dan Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Subsidi,
dan sebagainya) sudah mencapai kisaran 60 persen. Seharusnya dengan jumlah
dana yang sangat memihak ke daerah ini sudah bisa menghasilkan daya dorong
pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi. Bahkan semestinya hal ini juga mampu
memperbaiki tingkat ketimpangan antardaerah baik pada tingkat provinsi, kota
maupun kabupaten. Namun angka BPS 2011 menyatakan bahwa tingkat
ketimpangan antardaerah pada tahun 2010 justru semakin melebar.
Memang mesti diakui bahwa perjalanan desentralisasi fiskal Indonesia selama ini
sarat dengan berbagai masalah dan masih menghadapi banyak tantangan yang
membutuhkan penyesuaian kebijakan terus-menerus. Beberapa di antara tantangan
tersebut adalah:
1.

2.
3.

4.

Desentralisasi fiskal Indonesia dimulai pada situasi kesenjangan yang sangat


tinggi antara Kawasan Barat dan Kawasan Timur Indonesia. Akibatnya apapun
pilihan kebijakan yang diambil tetap saja sulit untuk mengurangi secara
signifikan ketimpangan yang ada. Karena itu dibutuhkan bukan saja desain
desentralisasi yang baik, tetapi juga orang-orang kompeten yang dapat yang
menjalankannya.
Mutu sumber daya manusia yang relatif rendah, termasuk mereka yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan keuangan daerah.
Struktur ekonomi pada sebagian besar daerah masih terfokus pada pertanian
dan industri yang mengekstraksi dan mengumpulkan hasil sumber daya alam.
Sementara industri yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah sangat
terbatas. Akibatnya daerah yang kaya akan SDA akan semakin naik
perekonomiannya, begitu pula daerah dengan sentra industriyang sudah relatif
maju; sementara daerah tertinggal sulit mengatasi ketertinggalannya. Oleh
karena itu perlu terus dicari desain kebijakan desentralisasi fiskal yang tepat.
Kondisi infrastruktur sebagian besar daerah disamping terbatas dan tidak
merata, juga kualitasnya semakin memburuk. Kenyataan ini sangat meng-
ganggu aktivitas ekonomi di daerah. Akibatnya berapapun alokasi dana
transfer, nampaknya akan tetap saja jauh dari kebutuhan pembangunan
infrastruktur.

Tantangan-tantangan tersebut di atas akan menjadi semakin sulit diatasi pada saat
dihadapkan dengan kenyataan bahwa karakteristik antardaerah memiliki variasi
sangat tinggi, terutama jika diperhatikan berdasarkan kapasitas fiskal dan
perkembangan penduduk. Terkait dengan window of opportunity sebagaimana
diuraikan sebelumnya, terdapat beberapa daerah yang bahkan sudah mencapainya
pada tahun 2010 sementara yang lain bahkan ada yang baru akan mencapainya
setelah tahun 2020. Dilihat dari kemampuan fiskalnya, terdapat daerah yang
memiliki kapasitas fiskal lebih dari Rp 25 Triliun (DKI Jakarta), sementara daerah lain
ada yang hanya Rp 338 Milyar (Sulawesi Barat). Kemungkinan besar kenyataan
inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab kurang optimalnya capaian
pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan desentralisasi fiskal Indonesia di masa
depan dihadapkan dengan karakteristik daerah yang sangat variatif, maka
diperlukan desain kebijakan yang mampu meminimalkan perbedaan antardaerah

melalui penerapan klaster daerah. Klaster tersebut dapat disusun dengan


menggunakan informasi tentang the window of opportunity dan kapasitas fiskal
masing-masing daerah.

K L A S T E R D A E R A H

Dengan seluruh potensi demografi (keragaman) dan berbagai tantangan yang masih
dihadapi oleh daerah, maka Indonesia membutuhkan desain desentralisasi fiskal
yang dapat mentransformasikan percepatan efektivitas capaian kebijakan
desentralisasi fiskal, khususnya dana transfer, agar menghasilkan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat (dengan pemerataan yang jauh lebih baik). Untuk itu
dibutuhkan perubahan pola fikir dalam disain kebijakan desentralisasi fiskal yang
didasari dengan semangat regional dan keberagaman wilayah dalam bingkai NKRI.
Mengingat keragaman dari angka rasio ketergantungan yang cukup besar
antardaerah di Indonesia, begitu juga kapasitas fiskal daerah, maka
pengelompokkan daerah (provinsi) dapat didasarkan atas dua hal tersebut, yaitu
rasio ketergantungan (DR) dan kapasitas fiskal daerah. Pembagian klaster ini akan
memudahkan pengambil kebijakan untuk memberikan sentuhan yang tidak
berlaku untuk semua daerah, tetapi berdasarkan atas karakteristik daerahdaerah
dalam klaster tersebut.
Berdasarkan data yang diolah dari BPS dan Kementerian Keuangan, maka diperoleh
gambaran klaster sebagai berikut:
Tabel 4.1. Provinsi di Indonesia berdasarkan Kapasitas Fiskal dan Window of Opportunity

Sedang mengalami
window of opportunity
(tahun dengan DR minimum)

Menuju window of opportunity


(tahun dengan DR minimum)

Kapasitas Fiskal Tinggi

DKI Jakarta (2010), Papua Barat


(2012), Kepulauan Riau (2015),
Maluku Utara (2015)

Kalimantan Tengah (2016),


Kalimantan Selatan (2016),
Kalimantan Timur (2018), Bali
(2020), Sumatera Selatan (2024),
Riau (2025)

Kapasitas Fiskal Rendah

DI Jogyakarta (2010), Jawa


Tengah(2011), Jawa Timur (2011),
Papua (2010), Sulawesi Utara
(2012), Sulawesi Selatan (2013),
Bangka Belitung (2013), Gorontalo
(2014), Maluku (2014), Sumbar
(2015), Sulteng (2015), NTT (2015)

NAD (2025), Sumut (2019),


Banten (2020), Jambi (2022),
Bengkulu (2019), Lampung
(2019), Kalbar (2024), Sultra
(2025), Jabar (2023), Sulbar
(2018), NTB (2025)

Sumber: diolah (BPS dan Kementerian Keuangan)

Tabel 4.1 di atas menggambarkan hubungan antara kondisi window of opportunity


dengan kapasitas fiskal masing-masing provinsi yang ternyata sangat bervariasi.
Dalam konteks ini kapasitas fiskal dimaksud adalah kemampuan keuangan daerah
yang diukur dengan besaran pendapatan (PAD+DBH/Kapita) yang sudah
memperhitungkan bobot Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK). Keterkaitan kapasitas
fiskal dengan window of opportunityakan memberi gambaran seberapa besar

kemampuan fiskal daerah dapat mengatasi masalah pembangunan di daerahnya


sesuai dengan capaian window of opportunity-nya. Konsekuensinya, desain
desentralisasi fiskal bagi daerah-daerah yang sama-sama sudah mencapai window
of opportunity akan berbeda jika kapasitas fiskal mereka berbeda. Berdasarkan
keterkaitan antara kapasitas fiskal dengan window of opportunity, maka kita dapat
mengelompokkan daerah provinsi di Indonesia ke dalam empat kelompok besar,
yaitu:

Klaster 1: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan sudah mencapai
window of opportunity
Klaster 2: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan sudah
mencapai window of opportunity
Klaster 3: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan sedang menuju
window of opportunity
Klaster 4: Daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan sedang menuju
window of opportunity

Selain aspek demografi dan kapasitas fiskal, konteks urbanisasi juga penting
dipertimbangkan dalam kebijakan transfer. Seperti yang diuraikan pada Bab 2,
urbanisasi adalah sebuah proses yang normal terjadi, ketika banyak orang
berpendapat bahwa daerah urban menawarkan fasilitas dan kesempatan yang lebih
baik. Pemerintah tidak akan bisa untuk menghentikan urbanisasi, karena tidak ada
halangan bagi penduduk untuk berpindah di dalam suatu negara. Sebaliknya,
pemerintah seharusnya memandang bahwa proses urbanisasi adalah kesempatan
yang mengandung tantangan.
Urbanisasi adalah kesempatan bagi daerah untuk memajukan perekonomiannya
karena mendapatkan tambahan tenaga kerja dari daerah lain yang berpotensi
memiliki keragaman keahlian. Di sisi lain, urbanisasi mengandung tantangan bagi
pemerintah untuk menyediakan dan mencukupkan fasilitas perkotaan bagi
penduduk yang terus bertambah. Jika pemda dapat mengelola kesempatan dan
tantangan ini, maka akan tercipta dinamika kemajuan kota.
Pemerintah pusat dapat merespons dengan kebijakan untuk membantu distribusi
aktivitas perekonomian sehingga tidak hanya berpusat di Jawa.Salah satu kebijakan
yang sekarang dipromosikan adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang diharapkan dapat mempercepat
pembangunan infrastruktur dan menghubungkan intra Indone-sia. Kombinasi
kebijakan pusat (redistribusi aktivitas ekonomi ke luar Jawa) dan daerah (yang
merespons positif urbanisasi) akan menciptakan sentra-sentra pertumbuhan baru
baik kota maupun zona industri di Indonesia.

I D E N T IF IK A S I K E B IJA K A N F IS K A L Y A N G S E L A R A S U N T U K
T IA P K L A S T E R D A E R A H

Potret yang tersaji dalam Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
cukup signifikan antar provinsidi Indonesia. Idealnya, Indonesia harus memiliki
desain kebijakan fiskal yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Tentu
saja prediksi di atas hanya sekedar memberi gambaran makro kondisi dan
kecenderungan perkembangan penduduk Indonesia. Jika diamati lebih detail ke

dalam lingkup provinsi, maka akan tampak adanya variasi waktu dalam mencapai
window of opportunity tersebut. Bahkan terdapat 3 (tiga) provinsi, yaitu DKI Jakarta,
DI Yogyakarta, dan Papua yang sudah mencapai kondisi window of opportunity pada
tahun 2010. Sementara sebagian provinsi di Sumatera dan kawasan timur Indonesia
baru akan mencapainya pada tahun 2020 hingga 2025. Variasi waktu mencapai
kondisi window of opportunity ini sudah barang tentu menuntut pula variasi
kebijakan fiskal yang berbeda, karena masalah dan tantangan pembangunan di
antara berbagai provinsi tersebut juga akan berbeda satu dengan lainnya.
Keberhasilan kebijakan fiskal berdasarkan klaster sangat ditentukan oleh beberapa
prinsip yang harus diakomodasi dalam desain kebijakan ini, yaitu antara lain, pola
pikir yang berbasis regional, formula DAU yang mempertimbangkan rasio
ketergantungan (windows of opportunity), DAK yang diprioritaskan untuk
pembangunan infrastruktur, dan perbaikan pelayanan dasar (pendidikan dan
kesehatan), perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat miskin, serta hasil
pengelolaan SDA yang tidak terbarukan yang mesti mempertimbangkan
kepentingan lintas generasi.
Empat kebijakan fiskal yang selaras dengan masing-masing klaster daerah tersebut
yaitu:

K L A S T E R 1: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I
D A N S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y
Daerah-daerah pada klaster ini memiliki dua kondisi yang relatif potensial untuk
memajukan pembangunan mereka, yaitu kondisi kapasitas fiskal tinggi dan dalam
periode windows of opportunity. Satu-satunya kekhawatiran terhadap daerah pada
klaster ini adalah ketidaktahuan bahwa mereka sedang berada pada momentum
windows of opportunity, sehingga momentum tersebut bisa berlalu begitu saja,
tidak termanfaatkan atau bahkan dapat memberi masalah. Masalah akan terjadi jika
penduduk usia produktif di daerah tersebut tidak dipersiapkan kualitasnya (keahlian
dan kompetensinya), serta jumlahnya tidak sebanding dengan pekerjaan yang bisa
disediakan perekonomian daerah. Akibatnya penduduk usia produktif tersebut tidak
memperoleh kesempatan kerja sehingga dapat menimbulkan permasalahan sosial.
Daerah yang termasuk di Klaster 1 ini adalah DKI Jakarta, Papua Barat, Kepulauan
Riau, dan Maluku Utara. Jika kita bandingkan DKI Jakarta dan Papua Barat, DKI
Jakarta memiliki tantangan untuk mengelola urbanisasi, berbeda dengan provinsi
Papua Barat yang jumlah penduduknya masih sedikit dan lahan kosong yang masih
luas. Struktur perekonomian kedua daerah ini juga berbeda; Papua Barat didominasi
oleh industri berbasis minyak dan gas bumi, sedangkan DKI Jakarta bertumpu pada
sektor perdagangan dan jasa keuangan (BPS, 2009).
Kebijakan fiskal yang umum bagi daerah di klaster ini sebaiknya difokuskan untuk
memanfaatkan momentum the demographic window of opportunity dengan
meningkatkan nilai tambah faktor produksi melalui pelatihan, penerapan One Stop
Services untuk peningkatan investasi, peningkatan kualitas dan kuantitas kegiatan
Usaha Kecil Menengah dan Koperasi, dan pengendalian angka kelahiran (Keluarga
Berencana) untuk meningkatkan kualitas penduduk, serta pelayanan kesehatan
untuk menjaga tingkat produktivitas yang tinggi bagi tenaga kerja usia produktif.

DKI Jakarta perlu meningkatkan pelayanan publik terutama yang berkaitan langsung
dengan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Infrastruktur transportasi,
listrik dan air bersih, keamanan, pelayanan kesehatan, pendidikan serta
keterampilan adalah fasilitas vital bagi masyarakat urban. Berkaitan dengan
kepadatan penduduk dan banyaknya tenaga kerja, perlu diperhatikan pengelolaan
lingkungan termasuk sanitasi, kualitas air dan udara, sampah, dan peluang
peningkatan sisi permintaan.
Struktur perekonomian yang berbasis sektor jasa memerlukan tenaga kerja
berpendidikan dan berketerampilan khusus. Yang penting dilakukan Pemda adalah
menciptakan lingkungan usaha yang kondusif.
Kebijakan ini berbeda dengan Papua Barat yang masih bisa menampung penduduk
lebih banyak dan mempunyai potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan.
Kekurangan dari aktivitas ekonomi yang bertumpu pada sektor migas adalah daya
serap tenaga kerja yang terbatas dan dibutuhkannya tenaga kerja dengan keahlian
yang spesifik. Papua Barat harus menggali sektor lain yang bisa menjadi andalannya
untuk meningkatkan diversifikasi perekonomian daerah.
Dengan demikian daerah pada klaster ini selayaknya memperoleh alokasi DAK yang
relatif besar dibanding DAU yang ditujukan terutama untuk meningkatkan kegiatan
ekonomi dan pengendalian angka kelahiran. Hal lain yang penting bagi daerah pada
klaster ini adalah meningkatkan kualitas belanja daerah melalui efisiensi alokasi
belanja, penajaman prioritas, penerapan secara konsisten anggaran berbasis kinerja
dan reformasi birokrasi. Kondisi ini diyakini akan mampu merangsang sektor swasta
untuk terlibat di dalam usahausaha memanfaatkan momentum the windows
opportunity.

K L A S T E R 2: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L R E N D A H
D A N S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y
Secara umum daerah pada klaster ini memiliki karakteristik demografi yang sama
dengan daerah pada klaster 1 walaupun antara daerah memiiki karakteristik yang
bervariasi dalam hal jumlah dan kepadatan penduduk serta tingkat urbanisasi.
Daerah di dalam klaster ini memiliki kapasitas fiskal rendah sedangkan mereka
sebenarnya sedang menikmati periode WO. Sama seperti pada Klaster 1, daerah
yang sudah masuk periode WO seharusnya mampu memanfaatkan kondisi ini untuk
meningkatkan perekonomiannya dan mengakumulasikan tabungan.
Dengan menghadapi kendala keterbatasan fiskal daerah, maka ada dua hal yang
dapat dilakukan. Pertama adalah pemerintah pusat meningkatkan DAK yang sesuai
dengan tujuan pemanfaatan WO dan meraih bonus demografi. Kedua, pemerintah
daerah memberi insentif pada pihak swasta untuk meningkatkan peran mereka
dalam perekonomian daerah. Insentif yang diberikan tidak harus berupa insentif
fiskal, tetapi bisa juga berupa insentif non fiskal semisal mendukung iklim usaha
yang kondusif (kemudahan perizinan usaha, deregulasi, memberi ruang yang lebih
besar bagi swasta untuk berperan (misal melalui subkontrak pelayanan publik, PPP,
dan sebagainya), menyediakan fasilitas dasar, dan upaya peningkatan kualitas
tenaga kerja.

Daerah dengan tingkat urbanisasi yang cepat harus diberi perhatian khusus oleh
Pemerintah Pusat. Jika daerah tersebut berada di luar Jawa, maka sebaiknya proses
urbanisasi ini didukung dan dikelola dengan baik. Laju urbanisasi jangan sampai
terlalu cepat, karena daerah tersebut pasti akan kesulitan dalam mengejar
penyediaan layanan publik dan ketersediaan lapangan kerja. Untuk mengurangi
konsentrasi urbanisasi maka DAK dapat diberikan pada daerah potensial lainnya
yang dapat menarik pendatang dari pedesaan atau daerah sub-urban.

K L A S T E R 3: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I
D A N S E D A N G M E N U J U W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y
Daerah pada klaster ini belum mencapai rasio terendah dari angka ketergantungan.
Dengan kapasitas fiskalnya yang tinggi, maka ini adalah klaster yang sangat penting
untuk diperhatikan. Daerah-daerah ini mempunyai kesempatan untuk mempersiap-
kan diri memasuki periode WO dan berpeluang besar untuk meraih bonus
demografi. Kebijakan fiskal bagi daerah yang ada di klaster ini fokus pada
pengelolaan keuangan, dengan sasaran terwujudnya efisiensi alokasi, penajaman
prioritas, dan anggaran berbasis kinerja. Daerah pada klaster ini, seharusnya sudah
mampu mengalokasikan belanjanya lebih efisien dan mengarahkan belanjanya pada
penyiapan tenaga kerja dan sektor ekonomi yang tepat agar kelak dapat
memanfaatkan windows opportunity.
Daerah yang mengalami urbanisasi mempunyai peluang untuk meningkatkan
fasilitas publik yang dimilikinya. Karena mempunyai kapasitas fiskal yang tinggi,
maka ada kesempatan untuk melakukan investasi infrastruktur yang signifikan.
Berbagai skema DAK dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan investasi infra-
struktur yang sesuai.

K L A S T E R 4: D A E R A H Y A N G M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L
RENDAH D A N BELUM M E N C A P A I W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y
Daerah pada klaster ini merupakan daerah yang tantangannya paling besar. Dengan
kapasitas fiskal yang rendah sedangkan mereka akan memasuki periode WO,
tantangan utama adalah bagaimana mempersiapkan diri dalam keterbatasan fiskal
ini dan meraih bonus demografi pada saat WO. Walaupun demikian, jika kesadaran
bahwa mereka mempunyai peluang untuk meraih bonus demografi ini tinggi dan
bisa dijadikan motivasi atau basis kebijakan pemerintah daerah maka momentum
ini dapat menjadi pemicu positif dalam pembangunan daerah.
Sama halnya dengan daerah lain, daerah dalam klaster ini yang juga mengalami
urbanisasi mempunyai tantangan lebih. Dengan kondisi keterbatasan fiskal,
meningkatnya jumlah tenaga kerja dan terkonsentrasinya penduduk di perkotaan,
maka Pemda membutuhkan bantuan investasi dan kebijakan yang didesain khusus
untuk mengatasi hal ini. Kuncinya adalah mengubah tantangan menjadi peluang.

Sebelum membahas kaitan klaster dengan kebijakan transfer, perlu kiranya melihat
pada sistem transfer yang berlaku saat ini. APBN mengklasifikasikan Transfer ke
Daerah ke dalam: a) Dana Perimbangan (DAU, DAK, dan DBH), dan b) Dana Otonomi
Khusus dan Penyesuaian. Dalam proposal mengenai skema Dana Transfer, tim
mengusulkan bahwa dana transfer lainnya seperti hibah, dana percepatan
infrastruktur, dana insentif daerah dan sebagainya dipindahkan ke dalam DAK. Hal
ini memudahkan dari sisi tertib administrasi dan untuk memenuhi azas transparansi
dan akuntabilitas. Untuk mengakomodasi fleksibilitas dalam berbagai dana transfer
lainnya ini, maka skema DAK juga perlu diubah sebagaimana yang dapat dilihat pada
Bab DAK dalam laporan ini.
Dalam desain kebijakan transfer berdasarkan klaster, hanya DAK (dalam definisi dan
konteks yang baru) yang bisa mengakomodasi karakteristik demografi, fiskal, dan
urbanisasi. DAU merupakan transfer yang bersifat redistributif sehingga kurang
cocok untuk desain spesifik. Sedangkan DBH merupakan variabel endogen dalam
konstruksi klaster, sehingga mengubah desain atau skema DBH dapat mengakibat-
kan perubahan komposisi daerah di dalam klaster.
Di dalam Bab selanjutnya semua jenis dana transfer tetap akan dibahas walaupun
tidak semua terkait dengan konteks demografi atau urbanisasi. Hal ini tetap penting
karena masing-masing dana transfer ini mempunyai peran tersendiri yang saling
melengkapi dan menunjang pelaksanaan desentralisasi secara komprehensif.

Respon Kebijakan
Dana Transfer
Bagian Dua

BAB 5
DANA ALOKASI UMUM

P R IN S IP D A S A R P E N G A L O K A S IA N DAU
DAU didistribusikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan
sasaran untuk memeratakan kemampuan fiskal antardaerah, sebagaimana tertulis
pada pasal 1 ayat 18 UU 25/1999 dan juga pasal 1 ayat 21 UU 33/2004 sebagai
berikut:
DANA ALOKASI UMUM ADALAH DANA YANG BERASAL DARI APBN, YANG
DIALOKASIKAN DENGAN TUJUAN PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN ANTAR-
DAERAH UNTUK MEMBIAYAI KEBUTUHAN PENGELUARANNYA DALAM RANGKA
PELAKSANAAN DESENTRALISASI

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer
oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk tujuan mengurangi
ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal imbalance). Itu berarti DAU juga
disebut equalization grant yaitu grant (bantuan) yang ditujukan untuk memeratakan
kemampuan keuangan daerah. Daerah yang miskin (kemampuan keuangan yang
rendah) akan mendapat DAU yang relatif lebih besar dari daerah yang kaya
(kemampuan keuangan yang tinggi).
DAU sebagai salah satu sumber penerimaan daerah di era otonomi, keberadaannya
sangat signifikan bagi sebagian besar daerah khususnya yang kurang potensial
dalam SDA dan SDM. Dengan demikian, bagi daerah tersebut DAU merupakan salah
satu sumber penerimaan yang relatif lebih besar dari sejumlah sumber-sumber
penerimaan dalam struktur keuangan daerahnya.
UU No. 33 tahun 2004 menyatakan bahwa DAU dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU untuk suatu daerah
ditetapkan berdasarkan pada potensi ekonomi, karakteristik penduduk (demografi)
dan kebutuhan belanja daerah masing-masing. Dengan demikian pengelolaan dana
transfer khususnya DAU seharusnya didisain dengan mempertimbangkan aspek
inter-generational maupun intertemporal termasuk mempertimbangkan dimensi
demografis dalam jangka menengah maupun jangka panjang di Indonesia.
Studi tentang demografi oleh Adioetomo (2005) memperlihatkan siklus demografi
dimana dalam jangka menengah maupun jangka panjang terdapat peluang yang
sangat potensial untuk memperoleh pendapatan dari situasi demografi tersebut,
namun setelah itu juga menggambarkan situasi yang kurang mendukung proses
pengembangan pendapatan.
Berbagai studi dan angka sampai saat ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah
(PAD) masih relatif rendah khususnya untuk daerah kabupaten, sehingga daerah masih

akan tetap menggantungkan pelaksanaan otonomi daerah pada Dana Perimbangan.


Berbagai pandangan menyimpulkan bahwa Bagian Daerah untuk Sumber Daya Alam
(SDA) akan memperbaiki keseimbangan fiskal antara Pusat dan daerah (vertical fiscal
imbalance), khususnya bagi daerah yang memiliki potensi SDA. Di sisi lain, perbaikan
keseimbangan ini justru meningkatkan ketidakseimbangan fiskal antardaerah
(horizontal fiscal imbalance). Oleh karena itu DAU diharapkan mampu menekan
ketidakseimbangan antardaerah. Lebih lanjut disebutkan, bahwa ketergantungan
daerah akan DAU masih relatif tinggi, antara 70 persen sampai 90 persen.
Ada perbedaan pola pandang di antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
mengenai alokasi DAU. Bagi pemerintah pusat, alokasi DAU dimaksudkan sebagai
instrumen horizontal imbalance untuk pemerataan (equality) atau mengisi fiscal gap
di dalam struktur keuangan daerah. Sementara itu, bagi pemerintah daerah alokasi
DAU dimaksudkan untuk mendukung kecukupun daerah (sufficiency). Namun
demikian, sampai saat ini penghitungan terhadap kebutuhan daerah (fiscal needs)
belum dapat dilakukan dengan memuaskan. Hal ini disebabkan keterbatasan data
dan belum adanya Standar Pelayanan Minimum (SPM) untuk berbagai kebutuhan
dan pelayanan dasar serta sistem penganggaran masih belum didasarkan pada
Standar Analisa Belanja (SAB) atau Standard Spending Assesment (SSA). Dengan
demikian, total pengeluaran yang ada di daerah sekarang belum sepenuhnya
mencerminkan kebutuhan fiskal yang ada. Sehingga, alokasi DAU yang bertujuan
untuk menutup pengeluaran daerah belum tentu mengarah pada penggunaan dana
yang efisien.

F O R M U L A DAU
DAU yang dimulai pada tahun anggaran 2001 adalah pengalaman pertama
Indonesia mengalokasikan dana dengan formula yang menggunakan pendekatan
mengurangi celah fiskal (fiscal gap). Namun formula pertama ini belum dapat
mengestimasi kapasitas fiskal dengan baik karena tidak tersedianya perkiraan dana
bagi hasil yang juga mulai ditransfer ke daerah pada tahun 2001. Penerapan formula
secara murni ini jadi menyakitkan bagi banyak daerah yang mengalami penurunan
dana transfer secara drastis. Oleh karena itu formula murni dimodifikasi dengan
penambahan variabel transisi, yakni Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana
Pembangunan Daerah (DPD) pada tahun 2000. Dengan menggunakan DPR dan DPD,
maka tidak terjadi fluktuasi tinggi dari transfer yang diterima oleh daerah. Secara
umum dapat dikatakan bahwa 80% alokasi DAU 2001 ditentukan oleh DRD dan DPD
yang diterima daerah tahun 2000 dan hanya 20% alokasi ditentukan oleh formula
celah fiskal.
Formula DAU diperbaiki pada tahun 2002 karena dianggap terdapat banyak
kelemahan dalam formula tahun 2001.Perbaikan dilakukan terutama terhadap
formula kapasitas fiskal. Namun formula DAU 2002 tetap memasukkan variabel
transisi yaitu gaji PNS daerah dan sejumlah lump sum yang secara keseluruhan
disebut Alokasi Minimum. Secara umum terjadi perbaikan pada formula DAU 2002
dengan meningkatnya peranan celah fiskal yang diperhitungan, dari 20% menjadi
40%. Namun implementasinya ternyata tidak mudah secara politis. Formula
tersebut ternyata mengakibatkan sejumlah daerah yang memiliki kapasitas fiskal
tinggi mengalami penurunan DAU dan bahkan ada yang tidak mendapat DAU sama

sekali. Simulasi formula ini kemudian memunculkan perlawanan politik dari


beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota, khususnya yang kaya sumber daya
alam (SDA). Tuntutan daerah kaya SDA tersebut kemudian diakomodasi dalam
sebuah kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR yang mengharuskan alokasi
DAU tahun 2002 tidak boleh lebih kecil dari tahun 2001. Kesepakatan ini disebut
kebijakan holdharmless.
Untuk tahun 2003, 2004 dan 2005, formula DAU hampir tidak mengalami
perubahan yang mendasar. Yang terlihat diperbaiki dari tahun ke tahun adalah
peranan kesenjangan fiskal dalam formula DAU ditingkatkan sejalan dengan
penurunan peran variable transisi. Peningkatan peranan celah fiskal secara
berkelanjutan dalam formula adalah sebuah strategi untuk menuju penerapan
formula murni. Namun yang sangat disayangkan adalah kesepakatan politik tahun
2001 tentang holdharmless tetap dilanjutkan. Kesepakatan yang tidak memboleh-
kan satu daerah pun mengalami penurunan DAU mengakibatkan strategi untuk
menerapkan formula murni tidak berjalan. Salah satu indikasinya adalah adanya
jumlah dana penyeimbang yang harus disediakan sebagai kompensasi untuk daerah
yang mengalami penurunan DAU dengan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke
tahun.
Formula DAU kemudian diubah oleh UU 33/2004 dengan adanya variabel Alokasi
Dasar (AD) yang dihitung berdasarkan kebutuhan belanja pegawai daerah. Berbeda
dengan formula yang diatur oleh UU 25/1999, variabel penghitung kebutuhan fiskal
ditambah dengan memasukkan PDRB (Produk Domestik Rregional Bruto) sebagai
penghitung kebutuhan. Secara umum dapat dikatakan bahwa formula DAU tidak
menjadi lebih baik dari formula DAU yang diatur oleh UU 25/1999.
Namun terdapat salah satu tantangan di UU 33/2004 untuk membuat peranan
pemerataan DAU lebih baik yaitu menghilangkan holdharmless. UU 33/2004 secara
eksplisit menyatakan bahwa sebuah daerah dapat saja menerima DAU lebih kecil
dari DAU sebelumnya atau bahkan nol jika Kebutuhan Fiskal ditambah AD-nya lebih
kecil dari Kapasitas Fiskalnya (lihat penjelasan pasal 32 UU 33/2004). Kebijakan ini
mampu diterapkan oleh Pemerintah pada tahun 2008 dengan adanya daerah yang
mendapat DAU nol dan turun dari tahun sebelumnya. Keberhasilan penerapan no
holdharmless sayangnya belum diikuti dengan kepastian penyaluran DBH khususnya
DBH SDA dan jadwal penyalurannya. Daerah yang tidak mendapat DAU berpotensi
mengalami kesulitan kas jika DBH tidak diterimanya tepat waktu dan terjadwal
dengan baik.

K E C U K U P A N DAU
DAU yang berperan sebagai instrumen untuk mengatasi ketimpangan horizontal
(horizontal imbalance) antardaerah telah mengalami peningkatan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari meningkatnya rasio alokasi
DAU terhadap pendapatan dalam negeri (PDN) neto, dari 25 persen dalam periode
tahun 2001 hingga tahun 2003, menjadi 25,5 persen dalam tahun 2004-2005, dan
kemudian menjadi 26,0 persen pada tahun 2006-2010. Sejalan dengan peningkatan
rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam rentang waktu yang sama,
realisasi DAU meningkat dari Rp 60,3 triliun dalam tahun 2001 menjadi Rp 192,5
triliun dalam tahun 2010, atau naik rata-rata sebesar 13,7 persen per tahun.

Pertumbuhan DAU yang rata-rata 13,7 persen per tahun dalam periode 2001-2010
jauh melebihi tingkat inflasi tahunan rata-rata dalam periode tersebut yang
diperkirakan hanya sekitar 9%. Artinya jumlah DAU tumbuh secara ril sekitar 4,7%.
Meskipun secara ril jumlah DAU keseluruhan daerah tumbuh, namun mengingat
dalam periode tersebut terjadi pemekaran daerah secara besar-besaran, maka
pertumbuhan ril tersebut terasa tidak mencukupi bagi sebagian besar daerah yang
tergantung pada DAU. Jumlah daerah Kabupaten/Kota, misalnya, bertambah dari
336 di tahun 2001 menjadi 491 di tahun 2010, atau tumbuh rata-rata sekitar 4,3%
per tahun. Artinya pertumbuhan riil DAU ternyata sebagian besar terserap untuk
mengakomodasi pertumbuhan daerah baru.
Pertumbuhan rata-rata tahunan DAU berada di bawah pertumbuhan rata-rata
tahunan pendapatan negara dalam periode 2001-2010 tersebut yang diperkirakan
sekitar 15,3%. Hal ini disebabkan pada dua tahun terakhir (tahun anggaran 2009 dan
2010) terjadi perubahan definisi PDN Netto yang menjadi dasar perhitungan jumlah
DAU. PDN netto telah diredefinisi oleh UU APBN dengan menambahi faktor
pengurang pada PDN, yang pada intinya mengurangi total DAU untuk daerah.
Perubahan perhitungan PDN netto ini sesungguhnya dapat dipahami sebagai bagian
dari upaya pemerintah untuk mengantisipasi krisis. Dilema yang dihadapi
pemerintah ketika itu adalah di satu sisi pemerintah kesulitan membiaya defisit,
namun di sisi lain total DAU harus dinaikkan jika tetap menggunakan definisi PDN
netto menurut UU 33/2004. Dampak dari perubahan perhitungan PDN netto adalah
proporsi alokasi DAU terhadap PDN bruto berkurang cukup signifikan, dari rata-rata
23 persen pada periode 2001-2008 menjadi 19 dan 20 persen pada APBN 2009 dan
2010.

P E R A N A N DAU D A L A M M E N U R U N K A N K E T IM P A N G A N
F IS K A L A N T A R D A E R A H

Salah satu isu yang penting dalam periode desentralisasi adalah semakin tingginya
ketimpangan fiskal antardaerah. Beberapa metode dapat digunakan untuk
mengukur ketimpangan fiskal antara daerah tersebut, antara lain (1) koefisien
variasi (KV), (2) Indeks Williamson (IW), dan (3) rasio pendapatan perkapita
maksimum terhadap pendapatan perkapita minimum (RMM). Hasil perhitungan
memperlihatkan beberapa hal:
1. Angka koefisien variasi memperlihatkan bahwa ketimpangan fiskal antar-
daerah kabupaten/kota dalam periode 2001-2010 tidak mengalami perbaikan
dan juga tidak mengalami pemburukan. Namun tingkat ketimpangan dalam
periode ini masih lebih tinggi dibanding tingkat ketimpangan tahun 1999/2000.
Jika pada tahun 2001 KV terhitung sebesar 1,16 (yang berarti besarnya standar
deviasi adalah 1,16 kali dari rata-rata), maka pada tahun 2010 KV tetap
terhitung 1,16.
2. Rasio pendapatan per kapita maksimum dengan minimum (RMM)
memperlihatkan bahwa dalam periode 2001-2010 terjadi peningkatan
ketimpangan. Jika pada tahun 2001 RMM adalah 60:1 (pendapatan perkapita
daerah terkaya adalah 60 kali pendapatan perkapita daerah termiskin), maka
pada tahun 2010 RMM meningkat menjadi 75:1.

3.

Angka Indeks Williamson (IW) ternyata tidak memperlihatkan peningkatan


ketimpangan fiskal antardaerah. Pengamatan pada tahun 2001, 2008 dan
2010, angka IW tetap berada pada posisi 0,7. Artinya, diukur dengan IW,
ketimpangan fiskal antardaerah tidak mengalami pemburukan, namun juga
tidak membaik.


Tabel 5.1. Tingkat Ketimpangan Fiskal Antardaerah

Pendapatan
Perkapita
1999/2000

Rata-rata (rupiah)

205,044

616,643

705,198

2,505,932

2.838.845

Koefisien Variasi (KV)

0,76

1,16

1,02

1,13

1,16

Rasio Pendapatan Per Kapita


Maksimum dan Minimum
(RMM)

32:1

60:1

42:1

69:1

75:1

0,70

0,67

0,70

0,70

Williamson Index

Pendapatan Pendapatan
Perkapita
Perkapita
2001
2002

Pendapatan Pendapatan
Perkapita
Perkapita
2008
2010

Sumber: Diolah dari data di Kemenkeu RI dan Handra (2005),



Dari ketiga indikator ketimpangan fiskal di atas, indikator RMM menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan ketimpangan fiskal antara daerah, namun indikator KV dan IW
tidak menyimpulkan hal yang sama. Dalam periode 2001-2010, ketimpangan
antardaerah berada pada posisi yang tetap.
Tidak adanya perbaikan dalam tingkat ketimpangan fiskal antara daerah dalam
periode 2001-2010 tidaklah berarti bahwa DAU tidak punya peran.Peranan DAU
dalam menurunkan ketimpangan fiskal antardaerah sesungguhnya dapat dilihat dari
kemampuannya menurunkan ketimpangan fiskal yang terjadi atau ditimbulkan oleh
pendapatan daerah lainnya terutama PAD dan DBH.

K E L E M A H A N F O R M U L A DAU K IN I

Meskipun secara kuantitatif DAU mampu berperan dalam menurunkan ketim-
pangan fiskal, namun berbagai kelemahan dalam formulasi DAU dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
a.

Formula yang mengestimasi kebutuhan fiskal daerah masih sangat lemah. Saat
ini terdapat lima variabel yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan fiskal,
yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM),
indeks kemahalan konstruksi (IKK) dan PDRB per kapita. Jumlah penduduk dan
luas wilayah jelas dapat dijadikan variable karena terkait dengan kebutuhan
dana untuk menyediakan pelayanan dasar yang sangat ditentukan oleh kedua
variable. Kebutuhan dana dalam rangka peningkatan kualitas manusia
ditentukan oleh indeks pembangunan manusia (IPM), sedangkan variasi
kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur akan ditentukan oleh indeks
kemahalan konstruksi (IKK). Namun variabel PDRB per kapita tidak memiliki

alasan yang rasional untuk ditempatkan sebagai variabel yang mengestimasi


kebutuhan fiskal.
b.

Variabel yang mengestimasi kebutuhan fiskal mengandung insentif bagi


pemekaran daerah. Sebagai contoh, sebuah daerah A yang memiliki penduduk
400 ribu mekar menjadi dua daerah B dan C. Maka jumlah penduduk kedua
daerah baru akan tetap 400 orang. Namun variabel IPM dan IKK tidak akan
terbagi ketika terjadi pemekaran daerah. Jika daerah A yang memiliki IPM 70
maka kemungkinan besar kedua daerah baru B dan C akan memiliki IPM yang
sama-sama 70. Ketika variabel IPM diperlakukan berdiri sendiri dan memiliki
bobot sendiri dalam menghitung kebutuhan fiskal, maka kedua daerah baru ini
akan dihitung memiliki kebutuhan fiskal yang sama untuk meningkatkan
kualitas manusia. Artinya pemekaran daerah akan diberi insentif oleh variabel
IPM dan IKK yang tidak terbagi dalam menghitung kebutuhan fiskal

c.

Adanya Alokasi Dasar (AD) dalam formula DAU saat ini yang dihitung dari
kebutuhan belanja pegawai daerah tentunya akan menjadi insentif bagi daerah
untuk mengusulkan pengangkatan pegawai sebanyak-banyaknya. Dapat juga
dikatakan bahwa dengan adanya AD, paling tidak daerah tidak punya insentif
untuk mengurangi jumlah pegawai ke tingkat yang rasional. Penambahan
jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang tidak rasional dan melebihi
pertumbuhan DAU, menyebabkan sebagian besar DAU akan terserap untuk
keperluan belanja pegawai tersebut. Tidak bisa dihindari bahwa adanya AD
dalam formula DAU menimbulkan kesan bahwa DAU memang diperuntukkan
untuk membayar gaji.
Kondisi jumlah pegawai yang lebih banyak dari seharusnya yang terjadi saat ini
diberbagai daerah, berdampak pada biaya gaji yang harus ditanggung oleh
Pemerintah Daerah, khususnya bagi daerah yang tidak memiliki banyak sumber
penerimaan daerah. Melimpahnya jumlah pegawai merupakan masalah utama
dalam pelaksanaan otonomi daerah, dimana daerah akan menanggung
ketidakefisienan pegawai tersebut. Untuk meningkatkan efisiensi pegawai
dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemerintah daerah bisa mengurangi
jumlah pegawai dari posisi saat ini menjadi posisi yang lebih efisien. Tetapi,
kebijakan mengurangi jumlah pegawai dalam jangka pendek merupakan
langkah yang tidak populer dewasa ini, dimana tingkat pengangguran dianggap
masih tinggi. Pencapaian efisiensi dengan pengurangan jumlah pegawai bisa
dilakukan tetapi dalam perspektif jangka menengah.Untuk itu, dibutuhkan
waktu dalam melakukan transformasi tersebut sehingga untuk sementara,
alokasi DAU harus memperhatikan ketidakefisienan ini. Dalam jangka panjang,
desain alokasi DAU harus didasarkan pada pencapaian outcome yang
diharapkan.
Selain itu, dengan mamanfaatkan kelebihan pegawai untuk melakukan tugas
lain, pemerintah daerah dituntut kreativitasnya untuk menciptakan kegiatan-
kegiatan (task) baru dalam pemenuhan barang maupun pelayanan publik. Hal
ini dapat digambarkan dengan bagaimana pemerintah daerah menciptakan
kegiatan baru untuk menyerap untuk kelebihan pegawai tersebut. Di dalam
perspektif jangka pendek, penciptaan kegiatan ini sulit dilakukan karena
beberapa hal antara lain: masalah sumber daya manusia, kendala struktural dan
kebiasaan bussiness as usual. Di dalam perpektif jangka panjang, kegiatan baru

ini diarahkan pada kegiatan yang produktif yang memberikan kontribusi bagi
penerimaan daerah. Apalagi jika mampu memanfaatkan peluang bonus
demografi yang akan terjadi antara tahun 2020 sampai 2040.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat kegiatan-kegiatan yang tumpang
tindih (overlapping) dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh pegawai
pemerintah daerah. Dapat dibayangkan bahwa pelimpahan pegawai yang telah
terjadi diawal desentralisasi telah menambah beban bagi pemerintah daerah.
Sehingga jumlah pegawai sekarang di daerah merupakan penjumlahan antara
pegawai pemerintah daerah dengan jumlah pegawai eks Kanwil dan eks
Kandep. Dengan penjelasan ini maka penanganan Alokasi Dasar (belanja
pegawai) dalam formula DAU jika ingin dikeluarkan dari formula seharusnya
diganti dengan solusi yang bersifat nasional.
Permasalahan yang dikemukakan di atas, difokuskan pada aspek jumlah
pegawai atau kuantitasnya. Peraturan Pemerintah (PP) yang berisi kenaikan
eselon bagi pegawai daerah telah ikut membawa dampak pada peningkatan
biaya per pegawai (pokok maupun tunjangan), sehingga total biaya untuk
pegawai akan meningkat. Dari sudut pandang ekonomi, biaya ini akan lebih
tidak efisien karena kondisi ketidakefisienan berlimpahnya pegawai yang digaji
(tunjangan) yang meningkat dengan keberadaan PP tersebut. Meskipun di
beberapa daerah yang kaya SDA kenaikan eselon tersebut bisa dilakukan, akan
tetapi hal itu merupakan peningkatan ketidakefisienan. Sebaliknya, bagi daerah
yang miskin (kurang) SDA, pemerintah daerah semakin tidak mampu menutup
biaya pegawai dan menjadi sumber ketidakefisienan.
Kebijakan perubahan Gaji Pokok yang tertuang dalam PP juga akan membawa
dampak pada peningkatan biaya gaji pegawai. Khususnya, bagi beberapa
daerah yang mengalami kesulitan anggaran dengan menyatakan DAU tidak
cukup untuk menutup biaya gaji pegawai daerah. Terlebih lagi, keputusan
kenaikan gaji tersebut bersifat progresif, artinya golongan yang lebih tinggi
mengalami kenaikan gaji yang cukup besar sedangkan golongan rendah
mendapat kenaikan yang relatif lebih kecil. Dengan demikian, kombinasi
berbagai peraturan yang terkait dengan gaji PNSD membawa implikasi kenaikan
gaji pegawai yang harus ditanggung oleh setiap daerah, yang sesungguhnya
kebijakan tersebut merupakan kebijakan nasional.
d.

Formula kapasitas fiskal yang saat ini digunakan mengesankan bahwa DAU yang
diterima daerah akan berkurang jika PAD meningkat. Dalam formula DAU 2010,
PAD yang digunakan oleh Kementerian Keuangan untuk menghitung kapasitas
fiskal daerah adalah PAD realisasi tahun 2008 dengan alasan data realisasi yang
baru tersedia adalah untuk tahun 2008. Data realisasi PAD 2009 belum dapat
digunakan karena laporan realisasi APBD sebagian besar daerah masih dalam
proses diaudit oleh BPK. Dengan menggunakan data realisasi PAD dua tahun
sebelumnya dalam formula DAU berarti bahwa jika sebuah daerah berhasil
menaikkan PAD pada tahun 2010 ini, baru akan dihukum dengan mengurangi
DAU nya pada tahun 2012 yang akan datang.

e.

Tolak ukur output DAU sifatnya jangka pendek dan merupakan tolok ukur
praktikal. Tolok ukur praktikal adalah tolok ukur keberhasilan DAU yang
digunakan selama masa transisi. Dengan demikian, alternatif yang dapat

dijadikan sebagai indikator keadilan adalah variasi penerimaan antardaerah dan


variasi kualitas dan/atau kuantitas pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat. Alternatif lain yang mungkin adalah belanja pegawai sebagai
ukuran untuk kebutuhan fiskal di daerah.
Outcome DAU adalah adalah jangka menengah dan panjang dan merupakan
tolok ukur normatif. Tolok ukur normatif merupakan variabel-variabel
keberhasilan DAU sesuai dengan UU No. 33/2004. Alternatif indikator
keadilannya adalah variasi kesejahteraan penduduk antardaerah, yaitu
pendapatan perkapita, di mana semakin kecil variasinya akan semakin baik.
Tolok ukur normatif tersebut menjadi tolok ukur keberhasilan DAU.
Dari pengertian di atas, maka dapat ditunjukkan mengenai hubungan antara
input, output, dan outcome melalui konsep value for money (ekonomi, efisiensi
dan efektivitas). Ekonomi adalah perbandingan antara input (masukan) dengan
input value (nilai uang). Pengertian ekonomi mencakup juga pengertian bahwa
pengeluaran pemerintah hendaknya dilakukan secara berhati-hati (prudency)
dan keuangan pemerintah harus digunakan secara optimal tanpa pemborosan
(hemat). Suatu kegiatan operasional dikatakan ekonomis bila dapat
menghilangkan atau mengurangi biaya yang dianggap tidak perlu. DAU
dikatakan ekonomis apabila dalam pendistribusianya memperhitungkan
prinsip-prinsip di atas bagi daerah.
Efisiensi berhubungan erat dengan konsep produktivitas, yaitu rasio yang
membandingkan antara output/keluaran yang dihasilkan terhadap input/
masukan yang digunakan. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila suatu target
tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan biaya yang
serendah-rendahnya diperbandingkan secara relatif terhadap kinerja usaha
sejenis atau antar kurun waktu (spending well).
Dari aspek daerah, efisiensi diartikan bahwa DAU yang didistribusikan untuk
menutupi kesenjangan fiskal, telah memperhitungkan fiscal needs secara
objektif. Dengan demikian, besarnya DAU yang didistribusikan tersebut benar-
benar telah memperhitungkan kebutuhan fiskal daerah setempat. DAU akan
efisien apabila DAU yang diterima oleh daerah dapat meningkatkan penerimaan
daerah, dan dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, baik secara kualitas maupun kuantitasnya, sebagai imbal balik
kepada masyarakat.
Efektivitas merupakan perbandingan antara outcome dengan output (keluaran).
Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan
dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely). Dengan demikian, distribusi DAU
dikatakan efektif apabila sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai,
yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk antardaerah, yang dilihat
melalui variasi pendapatan perkapita masyarakat yang semakin kecil.



U S U L A N P E R U B A H A N DAU D A N F O R M U L A N Y A

Mengenai jumlah DAU, disarankan agar jumlahnya tetap minimum 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDN) yang ditetapkan dalam APBN. Kalaupun
terjadi penguatan kemampuan keuangan negara, disarankan penambahan transfer
ke daerah tidak diarahkan untuk peningkatan DAU. Namun disarankan definisi PDN
Netto harus dikembalikan kepada definisi sebagaimana dijelaskan oleh UU
33/2004,yaituPendapatan Dalam Negeri dikurangi dengan Bagi Hasil Pajak dan Bagi
Hasil SDA.Meskipun demikian, Pemerintah Pusat dalam situasi memaksa, misalnya
krisis fiskal seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998 atau tahun 2008/2009, dapat
mengurangi porsi DAU terhadap PDN menjadi lebih kecil dari 26% dengan tetap
mempertimbangkan kecukupan pendanaan untuk pelayanan masyarakat yang dasar
di daerah.
Terkait Alokasi Dasar (Belanja PNSD) perlu dikeluarkan secara bertahap. Formula
DAU disarankan hanya atas dasar celah fiskal. Dengan kata lain, Alokasi Dasar yang
dihitung dari kebutuhan belanja PNS daerah perlu dihilangkan dari formula. Celah
fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah.Namun jika
alokasi dasar dihapus dari formula DAU, diperlukan periode transisi supaya daerah
dapat melakukan penyesuaian (misalnya secara bertahap merasionalkan jumlah
pegawai dan struktur organisasinya). Jika jumlah pegawai tetap digunakan, maka
perlu dimodifikasi untuk mencerminkan belanja pegawai yang rasional.Kebutuhan
untuk belanja pegawai yang rasional dapat dimasukkan sebagai bagian dari
perhitungan kebutuhan fiskal. Jumlah pegawai yang rasional dapat diprediksi
dengan rasio pegawai terhadap penduduk yang tertimbang menurut karakteristik
wilayah, misalnya berdasarkan rasio penduduk per PNS menurut kelompok klaster
kewilayahan dengan memperhatikan belanja per pegawai dan dalam rangka
mendorong rasio belanja pegawai terhadap APBD total ke tingkat tertentu.
Mengenai Kebutuhan Fiskal, perlu dilakukan penyesuaian dengan:
1)

Standar pelayanan tertentu dengan SPM atau secara bertahap disesuaikan


dengan beberapa pelayanan dasar yg menjadi kewenangan daerah (pendidikan,
kesehatan, infrastruktur) yang bervariasi antardaerah sesuai dengan
karakteristik demografi pada beberapa fase dalam kurun waktu 2011 sampai
pada tahun 2030

2)

Idealnya kebutuhan fiskal diukur dengan pendekatan analisis standar belanja


(standard spending assessment) untuk mewujudkan Standar Pelayanan
Minimum (SPM) bagi pelayanan dasar tertentu. Namun mengingat belum
tersedianya data yang cukup untuk membangun formula tersebut, maka dalam
masa transisi ini kebutuhan fiskal tetap diukur dengan proksi. Variabel-variabel
penentu kebutuhan fiskal disarankan tetap menggunakan jumlah penduduk,
luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi
(IKK). Namun formula proksi harus diperbaiki sedemikian rupa sehingga tidak
memberi insentif bagi pemekaran. Saat ini penggunaan IKK dan IPM
menjadikan DAU memberi insentif kepada praktek pemekaran. Penyebabnya
ialah karena nilai indeks tersebut tidak ikut terbagi ketika terjadi pemekaran.
Hal ini berbeda dengan variabel seperti jumlah penduduk ataupun luas wilayah.
Variabel IKK dan IPM seyogyanya tetap dapat dipakai dengan melakukan
penyesuaian agar tidak memberi insentif bagi pemekaran. Penyesuaiannya
antara lain misalnya:

IKK perlu dikali dengan luas wilayah sebelum dijadikan salah satu
indeks penentu kebutuhan fiskal.

IPM perlu dikali dengan jumlah penduduk sebelum dijadikan salah satu
indeks penentu kebutuhan fiskal.

3)

Dalam jangka panjang 10 tahun setelah revisi UU 33 berlaku, Kebutuhan Fiskal


disarankan dihitung berdasarkan analisis standar belanja (standard spending
assessment) untuk mewujudkan Standar Pelayanan Minimum (SPM), sehingga
lebih akurat dalam memprediksi kebutuhan fiskal daerah. Namun hal ini
memerlukan persiapan yang baik terutama menyiapkan data yang diperlukan.

4)

Variabel PDRB per kapita disarankan untuk dihilangkan sebagai variabel


penentu kebutuhan fiskal, karena variabel ini lebih cocok sebagai penentu
kapasitas fiskal.

Terkait formula Kapasitas Fiskal, tetap diukur dengan memperhitungkan PAD, Bagi
Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA. Untuk Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA, dapat
digunakan data realisasi terakhir, mengingat variabel ini berada diluar kendali
Pemerintah Daerah dan semata ditentukan oleh formula bagihasilnya. Namun untuk
PAD, perlu diformulasikan agar tidak menghukum yang PAD-nya naik, sehingga
ada insentif bagi daerah untuk terus meningkatkan PAD secara rasional. Untuk
Kabupaten/Kota, dana bagi hasil mestinya juga termasuk dana bagi hasil provinsi.
Perlakuan berbeda terhadap PAD untuk karakteristik (demografi) yang berbeda.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota tetap dapat dilanjutkan
seperti saat ini yaitu 10:90 dengan asumsi perimbangan pembagian fungsi antara
provinsi dan kabupaten/kota tetap seperti sediakala. Namun mengingat provinsi
memiliki kapasitas fiskal yang cukup baik dari PAD perlu didorong agar provinsi ke
depan juga perlu menyediakan dana transfer (grant) ke kabupaten/kota. Formula
DAU untuk provinsi disarankan harus berbeda dengan formula untuk
kabupaten/kota karena karakteristiknya berbeda, bahkan jika memungkinkan
dengan klaster wilayah. Selain itu perlu dipertimbangkan pilihan memberikan
kewenangan kepada Provinsi untuk mendistribusikan DAU sejumlah tertentu dalam
rangka pemerataan fiskal antardaerah kabupaten/kota dalam provinsi. Hal ini dapat
dilakukan misalnya mengubah porsi DAU untuk provinsi dan kabupaten/kota
menjadi 20:80. Dari porsi DAU untuk tiap provinsi (yang totalnya sebesar 20%
tersebut), minimum setengah DAU yang diterimanya harus dialokasikan oleh
provinsi ke kabupaten/kota untuk pemerataan kemampuan fiskal kabupaten/kota
dalam provinsi tersebut. Pemikiran ini tentu bisa disesuaikan lagi dengan klaster,
menggunakan WO sebagaimana dijelaskan di bab-bab sebelumnya. Namun
sementara ini, yang dijadikan patokan adalah bahwa klaster nantinya akan lebih
mengarah kepada penyesuaian dalam DAK daripada DAU.
Untuk meningkatkan kepastian dan transparansi perhitungan, formula DAU harus
secara jelas dinyatakan dalam undang-undang dan digunakan dalam alokasi DAU.
Dengan demikian diharapkan daerah dapat menghitung alokasi DAU-nya masing-
masing. Untuk itu perlu transparansi formula dan data yang digunakan. Formula dan
semua data dasar yang digunakan harus dapat di-upload ke website agar dapat
diketahui oleh publik. Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas, paling lambat
satu bulan setelah Keputusan Presiden tentang alokasi DAU ditandatangani, maka

data dasar formulasi dan alokasi DAU harus diumumkan dan dapat diakses oleh
publik.
Tujuan DAU adalah untuk mengurangi ketimpangan fiskal antardaerah.Ukuran
ketimpangan diukur dengan indeks Williamson atau koefisien variasi. Nilai pengukur
ketimpangan sebaiknya dirancang tidak boleh lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Dalam perhitungan indeks Williamson dan koefisien variasi, variable y yang
digunakan adalah rasio Kebutuhan fiskal terhadap Kapasitas Fiskal ditambah DAU.
Variabel y ini menggambarkan berapa persen Kebutuhan Fiskal daerah dapat
ditutupi dengan Kapasitas Fiskal ditambah DAU, karena formula DAU pada dasarnya
adalah untuk mengisi celah antara kebutuhan dengan kapasitas fiskal.
=

BAB 6
DANA ALOKASI KHUSUS

P E N G A N T A R
Sebelum membahas desain DAK dalam mengantisipasi feneomena demografi yang
telah dijelaskan sebelumnya, perlu dijelaskan dulu Konsep DAK, penerapan dan
permasalahannya saat ini, serta alternatif desain DAK kedepan. Konsep DAK secara
normatif adalah jenis transfer yang bersifat spesifik yang dialokasikan untuk
mencapai tujuan tertentu dari pemberi dana transfer (dalam hal ini pemerintah
pusat). Berdasarkan konsep teoritis, alokasi DAK dapat bertujuan untuk salah satu
atau gabungan dari tujuan berikut ini: 1) mencapai prioritas nasional yang dapat
dicapai secara bertahap dalam jangka menengah tertentu, 2) kebijakan yang
bersifat ad-hoc yang lebih ditentukan oleh perkembangan permasalahan tertentu,
untuk mengatasi permasalahan eksternalitas antardaerah yang sering dikenal
sebagai inter-jurisdictional spillover.
Syarat pemberian DAK untuk prioritas nasional adalah pemerintah telah
menyatakan terlebih dahulu prioritas nasional tersebut secara jelas dan terukur.
Untuk itu prioritas nasional harus berupa tujuan-tujuan tertentu di dalam dokumen
negara yang dapat diukur dengan indikator dan mempunyai kerangka waktu yang
jelas.
DAK dapat bersifat matching (memerlukan dana pendamping dari daerah penerima)
ataupun non-matching. Skema dana pendamping umumnya dipakai sebagai
instrumen untuk menjaga komitmen pemerintah daerah penerima DAK. Tetapi dana
pendamping juga dikritik sebagai bias terhadap daerah yang mampu. Untuk tujuan
distributif, dapat dipertimbangkan DAK yang bersifat non-matching (tidak perlu
dana pendamping).
Untuk mendukung implementasi DAK yang bersifat non-matching ini, maka dana
transfer DAK dapat digolongkan sebagai hibah dengan sumber dana berasal dari
pemerintah pusat atau negara lain. Khusus untuk hibah yang bersumber dari luar
negeri, adalah diskresi pemerintah pusat untuk bernegosiasi dengan pemberi hibah
mengenai detil penyaluran hibah. Sedangkan untuk DAK yang berasal dari APBN
murni perlu dibuat sebuah pengaturan.
DAK bukan merupakan sumber penerimaan rutin bagi daerah, sehingga tidak
mengandung atribut hold-harmless atau hak suatu daerah untuk mendapat DAK
terus menerus. DAK bersifat dinamis; daerah penerima dan besaran yang diterima
dipengaruhi oleh faktor kriteria, kebutuhan dan evaluasi, dengan pengaturan alokasi
yang telah berdasarkan sebuah mekanisme perencanaan anggaran yang bersifat
jangka menengah.

K E B IJA K A N DAK P R IO R IT A S
Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk konteks Indonesia merupakan bagian dari dana
perimbangan. Dalam konteks Dana Perimbangan, faktor distribusi antardaerah
menjadi pertimbangan utama. Konteks tujuan distribusi ini tetap merupakan warna
utama dari Desentralisasi Indonesia yang dimulai sejak tahun 2001, dan sepertinya
tetap akan menjadi prioritas setidaknya dalam 5-10 tahun kedepan. Namun
demikian, dari analisis dan kajian terkait DAK, seperti studi dari TADF (2010)
menunjukkan bahwa DAK di Indonesia selama ini cenderung tidak bersifat
distributif.
Karakteristik dari konsep distribusi atau pemerataan antardaerah, dapat dilakukan
dari: 1) pendekatan pemerataan akses dan kualitas pelayanan publik yang
direpresentasikan dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM), atau 2) distribusi
terkait aktivitas dan kegiatan ekonomi antardaerah, atau 3) penanggulangan
kemiskinan.
Terkait dengan tujuan 1) dan 2) yang bersifat pemerataan antardaerah, dalam
perencanaan dan pencapaian target, daerah-daerah dapat dikategorikan dalam
klaster berikut:
A
High SPM
Poor Regions
(Probably Efficient Regions)
C
Low SPM
Poor Regions
(Lagging Regions)

B
High SPM
Rich Regions
D
Low SPM
Rich Regions
(Probably Inefficient Regions)


Berdasarkan katagorisasi tersebut, DAK yang ditujukan untuk tujuan SPM dan
aktivitas ekonomi, diprioritaskan untuk daerah miskin yang pelayanan publiknya
masih buruk (lagging regions atau daerah tertinggal). Di sini perlu diidentifikasi
indikator daerah tertinggal (lagging indicators) yang bisa jadi berbeda dengan
indikator yang dipakai oleh Kementerian PDT untuk mengelompokkan daerah
tertinggal. Alokasi DAK untuk tujuan ini harus memenuhi syarat untuk pencapaian
tujuan prioritas nasional tertentu, dalam hal ini dapat berupa pencapaian SPM,
misalnya dibidang infrastruktur atau kesehatan.
Sementara itu, untuk tujuan 3) penanggulangan kemiskinan, skema transfer yang
berbasis individu dapat diterapkan di tingkat nasional dan atau dikoordinasikan
dengan pemerintahan tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk skema transfer
yang berbasis masyarakat. Dalam konteks ini, penanggulangan kemiskinan dapat
bersifat kebijakan ad-hoc DAK.
Mengingat keterbatasan sumber keuangan negara, maka DAK Prioritas seharusnya
fokus pada sektor yang benar-benar mendukung prioritas nasional. Usulan dari Tim
adalah sampai dengan 5-7 tahun pertama DAK hanya untuk tiga sektor yaitu
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pembatasan ini diperlukan karena telah
terbukti selama ini bahwa DAK yang terfragmentasi menjadi sangat beragam tetapi
dalam jumlah yang kecil telah menghasilkan dampak yang tidak signifikan terhadap

pembangunan ekonomi ataupun peningkatan SPM. Ketiga sektor tersebut juga


merupakan sektor dasar untuk mendukung pembangunan manusia dan ekonomi.
Terbuka kemungkinan untuk mempunyai alternatif DAK Kompetisi yaitu pemerintah
mengalokasikan sebagian dari total dana yang tersedia untuk diperebutkan oleh
daerah. Dasar kompetisi adalah kesesuaian dengan target Prioritas Nasional, aspek
teknis, dan dampak. Daerah bisa mendapatkan poin lebih jika dampak program DAK
yang diusulkannya tidak hanya menunjang pencapaian Prioritas Nasional tetapi juga
dalam hal pembelajaran atau inovasi daerah. Dalam hal ini, pemerintah dapat
menyediakan bantuan teknis untuk penyusunan usulan kegiatan bagi daerah yang
berpotensi tetapi masih kurang dalam kemampuan SDM.

K E B IJA K A N DAK A D - H O C
Suatu transfer disebut DAK ad-hoc jika digunakan untuk membiayai: 1) kegiatan
yang bukan urusan daerah tetapi menjadi prioritas perencanaan jangka menengah
pemerintah pusat, atau 2) kegiatan yang cakupan kerjanya lintas daerah (antar
kabupaten dan/atau kota di satu provinsi atau beberapa provinsi).
DAK ad-hoc ini bertujuan untuk mengakomodasi spillover benefit (penyediaan
pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi yang menerima manfaat termasuk
penduduk daerah lain) ataupun mengkompensasi negative spillover. Salah satu
contoh penanggulangan spillover adalah kompensasi untuk pengelolaan lingkungan,
dimana satu atau beberapa daerah yang diperlukan sebagai daerah penyangga
untuk konservasi atau daerah yang melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan
berhak mendapatkan kompensasi berupa DAK ad-hoc.
Skema DAK reimbursement yang ada saat ini sesuai untuk masuk dalam kelompok
DAK ad-hoc. Pemerintah perlu membuat kriteria kegiatan yang berhak untuk
mendapatkan reimbursement, jumlah minimum-maksimum alokasi per-kategori,
serta kerangka waktu. Syarat utamanya adalah kegiatan yang memerlukan
kompensasi eksternalitas baik eksternalitas negatif (kepada daerah korban)
maupun eksternalitas positif (kepada daerah pelaku).
DAK ad-hoc bisa mempunyai skema dana pendampingan ataupun tidak, tergantung
dari sifat dan kasus yang ada.Terkait dengan sumber penerimaan dan desain skema
transfer, tidak ada batasan atau standar tertentu yang perlu dipenuhi, kecuali pada
umumnya transfer DAK dapat didesain dengan pendekatan program atau diukur
dengan pencapaian outcome.
DAK ad-hoc yang bersumber dari hibah LN tidak mempunyai batasan jumlah
minimum-maksimum, karena tergantung dari tawaran yang ada dan kesepakatan
antar pemerintah. Tetapi untuk dana yang bersumber dari APBN murni, perlu
ditentukan porsi antara DAK Prioritas dan DAK ad-hoc. Hal ini penting karena sifat
ad-hoc membuka kesempatan faktor politis untuk ikut menentukan alokasi. Untuk
itu diusulkan bahwa pemerintah atau komisi transfer menentukan persentase porsi
ad-hoc dan prioritas di awal Medium Term Expenditure Framework (MTEF) atau
tahun anggaran, jika MTEF belum bisa diterapkan. Penentuan porsi ini harus
didasari oleh kriteria dan tujuan-tujuan yang ada dalam dokumen kenegaraan.

S U M B E R P E N D A N A A N DAK D A N T IP O L O G I DAK

DAK Prioritas (untuk mencapai
Prioritas Nasional):
- Top-down allocation
- Kompetisi

Untuk daerah tertinggal

DAK Ad-hoc
(Berbasis Program):
- By design
- Reimbursement

Untuk semua daerah yang


memenuhi syarat program

Hibah LN

G2G agreement

Daerah penerima

Pinjaman

Untuk pembiayaan
Infrastruktur

Daerah yang mampu


meminjam

DAK


Keterangan: Hibah LN dapat berupa penerusan ke daerah atau jika pihak donor setuju dapat masuk
dalam skema DAK umum atau hanya DAK ad-hoc.

D E S A IN DAK D A N P E N C A P A IA N SPM
Dari perkembangan DAK untuk setiap sektor, DAK untuk sektor pendidikan,
kesehatan dan infrastruktur mencakup lebih dari 70% total alokasi DAK (TADF
2009). Sesuai juga dengan dokumen GDFD, apabila DAK ditujukan untuk insentif
pencapaian SPM, maka dapat diprioritaskan untuk ketiga sektor ini.
Insentif yang dikaitkan dengan pencapaian SPM perlu dikembangkan selaras dengan
konteks roadmap tahapan pencapaian SPM di tiga sektor utama ini.Insentif
pencapaian SPM dapat pula dikaitkan dengan pencapaian program pengentasan
kemiskinan.
Tabel 5.2. Desain DAK serta Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Karakteristik DAK
-

DAK Prioritas

-
-
-

Pemerintah Pusat
Perlu penetapan Prioritas Nasional secara
terukur dan dalam kerangka waktu yang
jelas.
Tidak dibatasi hanya untuk pembangunan
fisik.
Perubahan prioritas tidak bersifat
tahunan melainkan multi-years.
Sebaiknya sudah menggunakan sistem

-
-
-

Pemerintah Daerah
Orientasi pada peningkatan SPM.
Wajib melaporkan progress dan luaran.
Kompetisi DAK dapat memberi insentif
pada daerah untuk berinisiatif dan
berinovasi.

-
-

-
-
-

DAK ad-hoc

-
Pool of Funds

-
Formula

Aspek Distributif

-
-
-
-

Aspek Efisiensi

MTEF.
Terbuka untuk mengalokasikan sebagian
dari anggaran untuk dikompetisikan
antardaerah.
Perlu membangun sistem Monev.
Untuk penanggulangan kemiskinan harus
bersinergi dengan program-program lain
yang sudah ada.
Jenis kegiatan beragam tidak dibatasi
oleh pembangunan fisik saja.
Disesuaikan dengan kebijakan dan
dinamika APBN.
Porsi yang bersumber dari APBN murni
ditetapkan di awal perencanaan multi-
years.
Sistem monitoring dan evaluasi setiap
jenis program ditentukan di awal serah-
terima program dan disepakati oleh
kedua tingkat pemerintahan.
DAK reimbursement ditetapkan sebelum
tahun anggaran daerah dimulai sehingga
daerah bisa mengantisipasi jika ingin
mengikuti program ini.
Karena bukan merupakan bentuk shared
revenues, tidak ada kewajiban bagi
pemerintah pusat untuk menetapkan
pool of funds yang bersifat tetap
(persentase tertentu dari penerimaan
pemerintah)
Formula alokasi dapat berbeda-beda
tergantung jenis dan tujuan DAK.
Dimungkinkan untuk mengubah kebijakan
formula DAK untuk jenis tertentu yang
utamanya adalah untuk mengoptimalkan
pencapaian tujuan transfer terkait.
Pengukuran ketimpangan dan dampak
distributif harus sesuai dengan
klasterisasi.
Dapat diukur pada tingkatan individual
atau komunitas.
Harus ada pemetaan daerah sebelum
program DAK ini dimulai.
Skema bersifat non-matching.
Akan ada trade-off antara efisiensi vs.
keadilan untuk pemberian DAK pada
daerah tertinggal.

-
-

-
-

-
-

Transfer tidak bersifat permanen dan tidak


menganut hold-harmless atau pemerataan
(semua daerah harus menerima).
Kebutuhan dan keberlangsungan transfer
tergantung dari tujuan kebijakan.
Daerah kurang mempunyai insentif untuk
memberikan eksternalitas positif jika tidak
didukung oleh pendanaan tambahan.
Jika memungkinkan, daerah penyebab
eksternalitas negatif dapat dihukum
misalnya dengan membayar denda berupa
kompensasi yang digunakan sebagai
sumber DAK ad-hoc bagi daerah korban.

Kepastian transfer bagi pemerintah daerah


adalah dengan transparansi tujuan
transfer, kriteria, dan periode suatu daerah
mendapatkan transfer ini.
Dari satu jenis transfer dengan jenis
lainnya, sumber dana dapat berbeda.
Formula alokasi ataupun ketentuan
eligibility yang bersifat tetap dapat
menjamin kepastian.

Daerah berkompetisi dalam klaster yang


sama untuk mencapai program nasional.
Diharapkan dapat memberi insentif untuk
inovasi sesuai dengan karakteristik daerah
penerima.

Akan ada trade-off antara keseragaman


(SPM Nasional) vs. keunikan desentralisasi
yang memungkinkan inovasi, efisiensi dan
transparansi lokal.

P E R M A S A L A H A N A D M IN IS T R A S I DAK D A N A L T E R N A T IF
S O L U S IN Y A
Meskipun anggaran terbatas, saat ini jenis DAK makin banyak, sehingga hasil kurang
optimal untuk beberapa jenis DAK: saat ini terdapat 19 jenis DAK berdasarkan

prioritas nasional yang telah ditetapkan dalam Perencanaan Pembangunan


Nasional. Besarnya dana untuk setiap jenis alokasi DAK berbeda-beda, namun
secara umum, total jumlah DAK masih tetap terbatas dalam APBN. Sebagai
akibatnya alokasi DAK menjadi tidak efektif untuk setiap jenis DAK tersebut. Oleh
karena itu, proposal untuk membatasi jenis DAK menjadi pembiayaan terhadap 3
sektor utama yaitu infrastruktur, pendidikan dan kesehatan, menjadi relevan. Fokus
pembiayaan DAK ini dapat berubah untuk setiap lima tahun.
Penyerapan DAK di beberapa daerah menunjukkan perkembangan yang masih
lambat, sebagai akibat dari kurangnya keterlibatan pemerintah daerah dalam
penentuan program yang dibiayai DAK. Walaupun selama ini DAK dikategorikan
sebagai alokasi yang sebagian besar dipergunakan sesuai dengan prioritas nasional,
namun seharusnya tetap terkoordinasi dengan pemerintah daerah. Karena sifatnya
top-down, maka pelaksanaan DAK di daerah menjadi kurang terkoordinasi dan
penyelesaian program/proyek yang dibiayai DAK cenderung terlambat. Oleh karena
itu, walaupun bersifat prioritas nasional, perencanaan alokasi DAK ke daerah
sebaiknya melakukan metode bottom-up.
Kegiatan DAK lebih diutamakan untuk kegiatan fisik saja padahal banyak sekali
kebutuhan yang bersifat non-fisik yang lebih dibutuhkan oleh daerah, misalnya
kebutuhan akan peningkatan kemampuan tenaga guru dengan memberikan
kesempatan pencapaian gelar sarjana sesuai ketentuan minimum yang berlaku
untuk profesi guru. Oleh karena itu dapat diusulkan pemanfaatan DAK untuk
kebutuhan yang bersifat non-fisik.
DAK dianggarkan secara tahunan, padahal berbagai proyek fisik memerlukan waktu
penyelesaian lebih dari satu tahun anggaran. Oleh karenanya perlu dipikirkan
bagaimana alokasi DAK menggunakan ketentuan pendanaan berdasarkan
perencanaan keuangan jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework).
Keterlambatan petunjuk teknis tidak hanya dapat menghambat pelaksanaan
kegiatan DAK, namun juga dapat menyebabkan kegiatan tidak dapat dilaksanakan di
daerah secara tepat waktu. Seyogyanya antara berbagai instansi pemerintah di
pusat telah melakukan koordinasi yang matang, dan pembuatan petunjuk teknis
DAK tidak saling bertentangan dan dapat diberikan kepada pemerintah daerah pada
waktu yang bersamaan, semenjak awal, sehingga tidak mengganggu penyerapan
DAK di daerah.
Termin alokasi DAK ke daerah sebaiknya dijadikan hanya 2 (dua) termin, dari 3 (tiga)
termin yang berlaku saat ini. Hal ini dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah
untuk memperlancar pelaksanaan program/proyek DAK di daerah.

D E S A IN T R A N S F E R D A N A A L O K A S I K H U S U S (DAK)
U N T U K D A E R A H Y A N G M E N U JU D A N S U D A H M E N C A P A I
W IN D O W O F O P P O R T U N IT Y (WO)
Dana alokasi khusus dapat diberikan ke daerah agar daerah dapat memanfaatkan
secara optimal kondisi saat menuju window of opportunity (WO) atau Dependency
Ratio (DR) sedang menurun, dan saat sudah mencapai window of opportunity (WO)
atau Dependency Ratio (DR) terendah. Untuk itu beberapa kebutuhan perlu

diidentifikasi terkait dengan persiapan daerah dalam kondisi tersebut. Setiap


daerah memiliki perbedaan dalam kebutuhannya, dan tergantung juga kepada
kemampuan keuangannya, yang dihitung dari kapasitas fiskal daerah. Identifikasi
kebutuhan dan desain DAK supaya prioritas anggaran sesuai kebutuhan,
berdasarkan empat klaster yang telah dijelaskan dalam Bab 2, dapat dijelaskan
sebagai berikut :

K L A S T E R 1: D A E R A H Y A N G S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F
O P P O R T U N I T Y D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I

Daerah-daerah pada klaster ini adalah daerah memiliki dua kondisi yang
menguntungkan, yaitu sudah mencapai window of opportunity (WO)dan memiliki
kapasitas fiskal tinggi.

Daerah yang termasuk di dalam Klaster 1 Provinsi DKI Jakarta (yang mencapai WO
pada tahun 2010), Kepulauan Riau (2015), Maluku Utara (2015), dan Provinsi Papua
Barat (yang mencapai WO pada tahun 2012). Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi
Papua Barat adalah dua provinsi yang memiliki kondisi sosio-ekonomi yang paling
berbeda. DKI memiliki IPM yang tinggi, PAD tertinggi di Indonesia, dan fasilitas
publik terlengkap. Dikaitkan dengan urbanisasi, Jakarta dan Papua memiliki problem
yang sangat berbeda. Yang diperlukan oleh DKI adalah manajemen kota
metropolitan yang terintegrasi dengan daerah peri-perinya.
Sebagian dari kebutuhan ini akan dapat dipenuhi melalui kemampuan fiskal daerah
yang tinggi, namun sebagian besar memerlukan intervensi fiskal dari pemerintah
pusat, di antaranya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dibahas dalam bagian
ini. Untuk kedua daerah, tujuan atau jenis DAK yang diberikan akan sangat berbeda.
DKI memerlukan DAK untuk mendukung kebutuhan pembangunan infrastrukturnya
yang sangat tinggi. Karena infrastruktur memerlukan investasi yang besar, maka
DAK tidak cocok sebagai sumber utama pendanaan. Pembangunan sistem
transportasi masal untuk daerah metropolitan seperti DKI memerlukan keputusan
pada tingkat nasional. Dalam hal ini DAK dapat menjadi salah satu komplemen
sumber dana misalnya membiayai sub-sistem transportasi masal atau untuk
kerjasama dengan daerah peri-peri (menginternalisasi eksternalitas).
Secara umum, kebutuhan strategis bagi daerah dalam periode window of
opportunity (WO) ini adalah:
Pertama, kebutuhan yang terkait dengan ketersediaan tenaga kerja dengan kualitas
yang memadai. Untuk mencapai hal ini, maka kebutuhan terkait dengan ketenaga-
kerjaan yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut :
1.

Pengendalian tingkat kelahiran agar selalu pada posisi tingkat yang rendah.
Hal ini diperlukan karena keluarga sejahtera seperti yang dicita-citakan melalui
program Keluarga Berencana (KB) adalah strategi umum yang tetap diperlukan.
Jumlah keluarga ideal bagi sebagian besar keluarga di Indonesia diharapkan
dapat dicapai sehingga produktivitas tenaga kerja yang memiliki keluarga ideal
akan tinggi.

2.

3.

Tenaga kerja yang tersedia adalah tenaga kerja yang berkualitas. Untuk
perbaikan mutu tenaga kerja dengan kualitas tertentu yang memenuhi standar,
dapat dilakukan dengan 2 (dua) hal :
a. Pelatihan kerja (on the job training maupun off the job training),
pelayanan kesehatan yang memadai, hingga penguasaan dan
pengembangan teknologi yang tepat (appropriate technology). Hal ini
harus terus dilakukan seiring dengan kebutuhan pasar kerja (labor
market). Kebutuhan keahlian tenaga kerja di DKI tentu berbeda dengan
kebutuhan keahlian tenaga kerja di Papua Barat.
b. Program keterampilan dan pengembangan inovasi produk juga harus
dilakukan seintensif mungkin, sehingga angkatan kerja tidak hanya
tergantung kepada ketersediaan lapangan pekerjaan, tetapi juga mampu
menciptakan lapangan pekerjaan serta mampu mendorong
pengembangan usaha melalui kegiatan ekonomi kreatif. Hal ini cocok
dilaksanakan di Jakarta yang sektor jasanya sudah cukup maju dan
memiliki banyak tenaga kerja produktif, sedangkan bidang yang
tampaknya potensial untuk Papua Barat yang masih memiliki lahan luas
dan penduduk yang masih sedikit adalah sektor pertanian dan industri.

Menyediakan atau memfasilitasi Lapangan Kerja dalam jangka pendek.

Kebutuhan ini diperlukan terutama bagi angkatan kerja yang sudah lama
tinggal di Provinsi DKI Jakarta, akan tetapi sulit menemukan pekerjaan.
Sebenarnya jika dilihat dari perkembangan tingkat pengangguran, terjadi
kecenderungan menurun di kedua provinsi dalam klaster ini. Tingkat
pengangguran di Provinsi DKI Jakarta menurun dari Tahun 2005 (15,77%)
sampai Tahun 2010 (11,05%), dan di Provinsi Papua Barat juga menurun dari
Tahun 2006 (10,17%) sampai Tahun 2010 (7,68%). Lapangan kerja dalam jangka
pendek ini dapat difasilitasi untuk disediakan swasta melalui kemudahan dalam
memperoleh izin usaha atau memberikan insentif fiskal daerah.

Kedua, kebutuhan yang terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan faktor-faktor
lain yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Beberapa faktor sangat menentukan
realisasi penyediaan lapangan pekerjaan ini, diantaranya adalah :
1) Terjadinya peningkatan investasi yang signifikan, baik investasi dalam negeri
maupun investasi asing. Untuk meningkatkan minat investor perlu dilakukan
berbagai langkah kebijakan, antara lain melalui penambahan dan perbaikan
infrastruktur, serta perbaikan iklim investasi pada umumnya. Doing Business
WB memberikan DKI Jakarta ranking 7 dari 14 kota di Indonesia untuk
kemudahan dalam mendapatkan izin usaha pada tahun 2009. Saat ini investor
memerlukan rata-rata 60 hari untuk mendapatkan surat izin usaha di DKI
Jakarta. Seharusnya DKI bisa memperbaiki kondisi ini sehingga menarik dan
merealisasikan investasi lebih banyak dan membuka lapangan kerja.
2) Peningkatan pengeluaran modal pemerintah, baik pusat dan daerah, untuk
membangun infrastruktur.

Ketiga, kebutuhan lain yang terkait dengan stabilisasi ekonomi makro serta
ketersediaan kebijakan publik dan regulasi yang bersifat mendukung baik sisi
penawaran maupun permintaan tenaga kerja.


P E N Y E D I A A N D A N A A L O K A S I K H U S U S ( D A K )

Berdasarkan atas kebutuhan tersebut di atas, maka dapat ditetapkan kebijakan
dana alokasi khusus (DAK) untuk memenuhi kebutuhan seperti yang telah diuraikan
di atas bagi daerah Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Papua.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa klaster I ini adalah daerah provinsi
yang telah memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, maka kebijakan alokasi DAK tersebut
memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Dari segi mekanisme pembiayaannya, alokasi DAK menggunakan dana
pendamping (matching) dari daerah, dan dengan kemampuan fiskal yang
tinggi, maka daerah dalam klaster ini diberi insentif untuk memberikan porsi
dana pendamping yang signifikan.

2. DAK yang sesuai untuk daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi adalah DAK
by design dan DAK Reimbursement. Tujuannya adalah membentuk aset
infrastruktur daerah yang vital, mengakomodasi spillover effect, dan melakukan
percepatan pertumbuhan.

Disesuaikan dengan kebutuhan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
disediakan alokasi DAK dengan kategori sebagai berikut :

1. Dana Alokasi Khusus yang bersifat fisik maupun non-fisik dengan beberapa
skema sesuai kebutuhan, terdiri atas :
a) DAK yang mendukung program Keluarga Berencana (KB). DAK ini dapat
berupa program non-fisik khususnya berupa program penyuluhan untuk
peningkatan kesadaran melaksanakan KB. Selain itu DAK ini juga
menyediakan program untuk mendukung kesehatan Ibu yang juga aktif
bekerja. DAK Program KB yang sudah ada dapat terus dilanjutkan
sehingga produktivitas tenaga kerja yang memiliki keluarga ideal juga
akan tinggi.
b) DAK yang bersifat mendukung pelatihan tenaga kerja. Program yang
dapat dibuat adalah program yang dapat mendorong Daerah agar
berkomitmen pada ketersediaan angkatan kerja atau tenaga kerja yang
berkualitas sesuai kebutuhan pasar kerja (labor market). Program ini
untuk memastikan ketersediaan kemampuan tenaga kerja dalam
kemampuan vocational.
c) DAK untuk menyediakan atau memfasilitasi lapangan kerja dalam jangka
pendek. Lapangan kerja dalam jangka pendek ini dapat disediakan oleh
pemerintah daerah, misalnya dalam bentuk kegiatan Jaringan Pengaman
Sosial (JPS) atau dalam bentuk kegiatan Program Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri.

2. Dana Alokasi Khusus yang berupa penyediaan infrastruktur. DAK berorientasi
kepada infrastruktur ini ditujukan terutama agar daerahdapat meningkatkan
investasi baik domestik maupun asing. Contoh skema DAK ini misalnya: jika
pemerintah memandang bahwa DKI Jakarta perlu membangun sistem
transportasi masal tertentu atau meningkatkan konektivitas dengan daerah
peri-perinya dan mengompensasi eksternalitas yang ada, maka DAK dapat
menjadi salah satu sumber pendanaan. Contoh lainnya: jika pemerintah
mengidentifikasi bahwa Papua harus membangun pembangkit listrik
independen maka DAK dapat dijadikan dana pendamping investasi daerah atau
reimbursement sebagian pembangunan pembangkit yang sudah dilakukan.

Pada intinya DAK dapat dijadikan instrumen untuk mempengaruhi belanja


infrastruktur pemerintah daerah sesuai dengan objektif tertentu.

K L A S T E R 2: D A E R A H Y A N G S U D A H M E N C A P A I W I N D O W O F
O P P O R T U N I T Y D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L R E N D A H

Daerah-daerah pada klaster ini adalah daerah yang sudah mencapai window of
opportunity (WO) tetapi memiliki kapasitas fiskal relatif rendah. Kondisi daerah
dengan tingkat ketergantungan atau Dependency Ratio (DR) terendah ini harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh daerah karena kondisi tersebut merupakan
kesempatan atau peluang yang berharga untuk memperoleh bonus demografi yang
maksimum sehingga tercapai kesejahteraan rakyat. Jika momentum tersebut tidak
dimanfaatkan atau berlalu begitu saja akan menimbulkan berbagai masalah
sehingga kesejahteraan rakyat tidak tercapai seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya di Klaster 1.

Daerah yang termasuk Klaster 2 adalah Provinsi DI Yogyakarta (yang mencapai WO
pada tahun 2010), Provinsi Jawa Tengah(2011), Provinsi Jawa Timur (2011), Provinsi
Papua (2010), Provinsi Sulawesi Utara (2012), Provinsi Sulawesi Selatan (2013),
Provinsi Bangka Belitung (2013), Provinsi Gorontalo (2014), dan Provinsi Maluku
(2014). Daerah-daerah dalam klaster ini mempunyai kemampuan fiskal yang relatif
rendah. Dalam Tabel sebelumnya di Bab 2, dapat dilihat bahwa Pendapatan daerah
perkapita (dari PAD dan DBH) yang dikoreksi dengan IKK dalam klaster ini berkisar
antara Rp 132.353 (Provinsi Jawa Tengah) sampai Rp 403.808 (Provinsi Bangka
Belitung). Daerah-daerah dalam klaster ini juga memiliki karakteristik Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang cukup beragam, yaitu Provinsi DI Yogyakarta
(dengan IPM sebesar 73,29), Provinsi Jawa Tengah (71,99), Provinsi Jawa Timur
(72,14), Provinsi Papua (69,00), Provinsi Sulawesi Utara (77,03), Provinsi Sulawesi
Selatan (71,12), Provinsi Bangka Belitung (73,88), Provinsi Gorontalo(70,38), dan
Provinsi Maluku (67,95). Dengan kondisi yang cukup beragam ini, maka kebutuhan
yang diperlukan untuk 2 daerah pada klaster ini juga akan berbeda.
Sebagian dari kebutuhan ini relatif sulit dipenuhi melalui kemampuan fiskal daerah
yang rendah. Oleh karena itu, sebagian besar memerlukan intervensi fiskal dari
pemerintah pusat, yang di antaranya adalah lewat Dana Alokasi Khusus (DAK).
Secara umum, Klaster 2 yang sudah mencapai window of opportunity (WO) tapi
dengan kapasitas fiskal rendah ini memiliki beberapa kebutuhan strategis yang
relatif sama dengan Klaster 1 seperti dijabarkan dalam bagian sebelumnya. Karena
kapasitas fiskal daerahnya rendah maka perlu diperhitungkan dalam alokasi DAK ke
daerah dalam Klaster 2 ini.
P E N Y E D I A A N D A N A A L O K A S I K H U S U S ( D A K )
DAK diperlukan untuk daerah dalam Klaster 2 ini relatif sama dengan yang
diperlukan untuk daerah dalam Klaster 1 karena sama-sama sudah mencapai WO
atau tingkat ketergantungan (DR) yang paling rendah. Oleh karena itu dengan alasan
yang sama, DAK yang diperlukan untuk mendorong daerah untuk memanfaatkan
kondisi WO yang sudah dicapai oleh daerah-daerah dalam Klaster 2 ini. Tentu saja
variabel penting lainnya yaitu urbanisasi, jumlah dan kepadatan penduduk, serta

struktur ekonomi berpengaruh penting dalam memilih desain dan skema DAK yang
paling tepat untuk masing-masing daerah.
Salah satu hal yang membedakan dalam mekanisme pembiayaan DAK bagi daerah
dalam Klaster 2 ini yaitu daerah-daerah tersebut memiliki kapasitas fiskal yang
rendah, dan kondisi ini dapat diintegrasikan dalam formulasi alokasi DAK, yaitu
dengan membebaskan syarat dana pendamping atau menetapkan persentase
matching grant yang relatif rendah bagi daerah-daerah yang berada dalam klaster
tersebut.
Struktur ekonomi suatu daerah akan mempengaruhi ke arah mana desain DAK yang
sesuai, masyarakat agraris mungkin membutuhkan DAK irigasi tetapi masyarakat
industri membutuhkan DAK untuk Balai Latihan Kerja yang lebih canggih. Urbanisasi
membutuhkan fasilitas perkotaan yang lebih banyak dibandingkan daerah pedesaan
yang mungkin lebih membutuhkan dukungan akses ke fasilitas yang sudah ada.

K L A S T E R 3: D A E R A H Y A N G M E N U J U W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y
D A N M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L T I N G G I

Klaster ini mempunyai peluang terbaik untuk mendapatkan bonus demografi jika
mampu mempersiapkan diri dalam menuju periode WO dan memanfaatkan WO
tersebut.Daerah dengan kapasitas fiskal yang tinggi seharusnya tidak mempunyai
masalah besar untuk menyediakan dana pendamping DAK. Yang menjadi kunci
adalah desain DAK harus mampu memberikan insentif bagi daerah untuk
mempersiapkan diri mengambil peluang mendapatkan bonus demografi. Daerah-
daerah pada klaster ini adalah Kalimantan Tengah (2016), Kalimantan Selatan
(2016), Kalimantan Timur (2018), Bali (2020), Sumatera Selatan (2024), dan Riau
(2025).
Sebagaimana klaster lainnya, konteks urbanisasi, struktur ekonomi, dan jumlah
serta kepadatan penduduk adalah krusial dalam menentukan desain DAK yang
tepat. Semua daerah di klaster 3 ini terletak di luar Jawa dan kecuali Bali memiliki
kepadatan dan jumlah penduduk yang masih rendah. Dengan pengecualian Bali,
semua daerah ini masih dalam kondisi kekurangan infrastruktur dasar jalan
penghubung dan listrik. Dua infrastruktur ini merupakan kebutuhan vital dalam
pembangunan karenanya perlu diperhatikan dan diupayakan ketersediaannya.
DAK dapat berperan penting di sini, bersama dengan sumber pendanaan lainnya
seperti dana investasi infrastruktur dari pusat, dana swasta melalui Public Private
Partnership (PPP), ataupun dana bantuan luar negeri. DAK dengan dana
pendamping akan mempengaruhi belanja daerah, dan apabila skema yang
ditawarkan cukup menarik maka investasi daerah untuk infrastruktur akan menjadi
signifikan, contohnya adalah untuk setiap rupiah yang dibelanjakan untuk
membangun jalan penghubung antar kabupaten, pemerintah akan menyediakan
satu rupiah dana tambahan selama masih berada dalam batasan minimal-maksimal
besarnya proyek. Atau pemerintah akan menyediakan DAK dengan dana
pendamping sangat ringan (misalnya di bawah 5%) untuk pelatihan keterampilan
penduduk usia tenaga kerja jika daerah membangun BLK dengan biaya sendiri.

Masih banyak desain yang bisa ditawarkan asalkan pemerintah pusat memiliki
objektif, data, dan target yang jelas mengenai tujuan pemberian DAK tersebut. DAK
untuk klaster ini juga dapat menunjang program MP3EI yang dicanangkan
pemerintah.

K L A S T E R 4: D A E R A H Y A N G M E N U J U W I N D O W O F O P P O R T U N I T Y D A N
M E M I L I K I K A P A S I T A S F I S K A L R E N D A H

Klaster ini masih mempunyai peluang untuk mendapatkan bonus demografi jika
mampu meningkatkan kondisi penunjang selama menuju periode WO. Daerah
dengan kapasitas fiskal rendah memiliki keterbatasan dalam membelanjakan
anggaran untuk investasi infrastruktur. Desain DAK yang tepat dapat ditawarkan
sesuai dengan potensi dan tantangan masing-masing daerah. Skema dana
pendamping juga tidak bersifat kaku, untuk beberapa daerah dan sektor tertentu
mungkin DAK dapat diberikan tanpa memerlukan dana pendamping atau melalui
sistem kompetisi.
Sama halnya seperti pada klaster lainnya, daerah tidak bisa menumpukan semua
harapan pembangunan infrastruktur pada DAK, karena DAK sendiri memiliki
keterbatasan, baik SDM penyelenggara maupun pada proses dan sistem termasuk
regulasi, keterbatasan kapasitas dan kompetensi, ataupun jumlah yang bisa
dialokasikan. Untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan dalam kondisi
kekurangan infrastruktur dan fasilitas dasar tetapi tidak mampu membangunnya,
maka pemerintah pusat dapat menentukan DAK untuk pembangunan fasilitas
tersebut secara pendekatan top-down walaupun tetap mengacu pada kriteria yang
transparan dan akuntabel.

BAB 7
D ANA B AGI H ASIL

P E N G A N T A R
DBH merupakan dana perimbangan yang strategis bagi daerah-daerah yang
memiliki sumber-sumber penerimaan Pusat di daerahnya. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, DBH sangat berperan dalam mengurangi ketimpangan vertikal yang
terjadi dan DBH dapat diberikan dalam bentuk bagi hasil pajak dan bukan pajak
(non-pajak). Meskipun peranan DBH cukup penting, terutama bagi daerah dengan
sumber daya pajak dan sumber daya alam yang besar, tetapi tidak semua jenis
penerimaan Negara dapat dibagihasilkan ke Daerah.
Indonesia sebagai negara dengan karakteristik daerah yang sangat beragam, sangat
penting memasukkan perbedaan karakteristik daerah tersebut dalam kebijakan
desentralisasi fiskalnya, termasuk Dana Bagi Hasil. Adioetomo (2005) menyatakan
bahwa aspek demografi dapat mempengaruhi dinamika pembangunan dan
memberikan kesempatan bagi suatu daerah untuk memanfaatkan jumlah penduduk
usia produktif dalam pembangunan yang dikenal dengan bonus demografi. Kondisi
WO (windows of opportunity) dan Kapasitas Fiskal daerah, dijadikan sebagai dasar
untuk pembuatan Klaster (secara detil dijelaskan pada BAB 3).
Berdasarkan klaster yang ada, maka dana transfer seperti DAU, DAK akan
mengalami penyesuaian termasuk Dana Transfer lainnya. Sedangkan DBH akan
disesuaikan terutama terkait dengan semakin besar jumlah orang usia kerja dan
mampu menghasilkan penerimaan pajak yang nantinya akan dibagi hasilkan.
Pembagian DBH selama ini berdasarkan atas daerah asal yang dikenal dengan
penghasil dan dibagirata untuk daerah non penghasil. Besaran prosentase dari bagi
hasil baik Pajak dan Non Pajak ditetapkan oleh Undang Undang.
Untuk memberikan rasa keadilan yang lebih baik, sebaiknya pembagian DBH pada
daerah non-penghasil [didalam provinsi] didasarkan atas pertimbangan windowsof
opportunity masingmasing daerah, tidak lagi dibagi sama rata diantara daerah non
penghasil. Secara terperinci gambaran DBH terkait dengan klaster dijelaskan
dibawah ini.

D E S A IN K E B IJA K A N D A N A B A G I H A S IL B E R D A S A R K A N
K L A S T E R
D A N A B A G I H A S I L P A J A K
Salah satu alasan suatu pajak ditetapkan sebagai pajak pusat dan tidak dijadikan
sebagai pajak daerah adalah untuk menghindari tax competition yang mengarah
pada persaingan yang tidak sehat dan akan berimplikasi pada penurunan
penerimaan dan perekonomian, akibat dari basis pajak (atau taxpayer) yang
cenderung tertarik pada daerah dengan tingkat pajak yang rendah. Penetapan

tingkat dan basis pajak secara nasional, yang kemudian dibagihasilkan, merupakan
alternatif untuk menghindari wasteful tax competition di daerah.
Namun demikian, penetapan DBH di beberapa jenis pajak kemungkinan akan
mengakibatkan penurunan tax effort dibandingkan dengan jenis pajak yang tidak
dibagihasilkan. Hal ini karena penerimaan dari pajak yang dibagihasilkan tidak
sepenuhnya digunakan oleh tingkat pemerintahan yang menetapkan dan
bertanggung jawab terkait administrasi pajak tersebut. Untuk itu, justifikasi
conditionality dari DBH dapat dikaitkan dengan upaya pemerintah daerah untuk
membantu meningkatkan pemungutan pajak akan mengimbangi potensi penurunan
tax effort di tingkat pemerintah pusat ataupun daerah.
Secara konsep, tidak ada pembatasan jenis pajak pusat yang dapat dibagihasilkan.
Namun demikian, di Indonesia jenis transfer dalam sistem transfer antar
pemerintahan (intergovernmentaltransfer) saling terkait satu dengan lain, dimana
diperlukan konsensus untuk penetapan DBH, baik pajak apa yang dapat
dibagihasilkan dan berapa proporsinya. Berikut beberapa kriteria penerimaan
negara dari pajak yang dapat dibagihasilkan:
1. Penerimaan pajak yang tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi (artinya,
elastis terhadap pertumbuhan ekonomi)
Daerah yang mendapatkan bagi hasil akan mendapat manfaat dari pertumbuhan
ekonomi. DBH pajak diberlakukan agar pemerintah daerah juga dapat
mengakses sumber penerimaan yang relatif stabil terutama untuk
mengkompensasi terbatasnya sumber penerimaan yang dapat dikategorikan
sebagai pajak daerah.Secara umum DBH adalah pajak pemerintah pusat yang
relatif elastis dan stabil seperti pajak pendapatan perorangan (individual income
tax).
2. Potensi basis pajaknya relatif merata antardaerah
Hal ini terutama untuk menjamin bahwa distribusi DBH pajak tidak hanya akan
meningkatkan pendapatan dari sebagian kecil pemerintah daerah. Poin ini juga
merupakan pembedaan antara penerimaan pajak yang dibagihasilkan dengan
bagi hasil PNBP yang umumnya merupakan penerimaan yang berasal dari
kegiatan pengelolaan SDA yang cenderung terkonsentrasi hanya di beberapa
wilayah.
3. Diberlakukan untuk pajak yang lokasi pemungutannya (tax collection) kurang
lebih sama dengan lokasi penanggung beban pajaknya (tax incidence)
Umumnya alokasi DBH ditentukan berdasarkan derivation basis (atau collection
point), perlu penekanan bahwa jenis pajak yang dibagihasilkan relatif tinggi
korespondensi antara lokasi pemungutan pajak dengan mayoritas penanggung
beban pajak tersebut.Dalam hal ini perlu dihindari pemberlakuan DBH
berdasarkan derivation basis terhadap pajak dengan tingkat exportation yang
tinggi seperti pajak ekspor atau tarif impor, PPh Badan (corporatetax), ataupun
pajak (termasuk cukai) rokok.
4. Objek pajak merupakan kepemilikan nasional
Implikasinya adalah pengaturan hanya mencakup pajak yang dibagihasilkan oleh
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.Dalam hal ini, tidak perlu dilakukan
pengaturan secara spesifik mengenai DBH yang dilakukan oleh pemerintah
daerah, yaitu DBH dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota.

5. Penerimaan pajaknya tidak bersifat ad hoc dan/atau distortif terhadap kegiatan


perekonomian
Pajak yang akan dikenakan dan dibagihasilkan tidak seharusnya berdampak
negatif terhadap kegiatan ekonomi yang sudah berjalan. Oleh karena itu, pajak
yang dikenakan tidak selayaknya berubah-ubah dan dikenakan hanya untuk
kepentingan peningkatan pendapatan semata.
DBH Pajak mencakup DBH atas pajak pendapatan peorangan, DBH atas cukai, dan
DBH Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Beberapa pemikiran yang perlu dipertimbang-
kan untuk perbaikan alokasi DBH pajak di masa yang akan datang antara lain:
P A J A K P E N D A P A T A N ( P P H P E O R A N G A N )
DBH atas PPh perorangan dikenakan berdasarkan pada derivation basis yaitu dari
tempat tinggal (individu) pembayar pajak (taxpayer). Namun demikian, untuk
alokasi DBH PPh kabupaten/kota tidak seluruhnya didasarkan pada tempat wajib
pajak terdaftar. Perlu diperjelas bahwa alokasi DBH Pajak saat ini tidak berdasarkan
pada wilayah pemungutan kantor tempat wajib pajak terdaftar tetapi berdasarkan
lokasi tempat tinggal pembayar pajak sesuai dengan nomor identitas penduduknya.
Apabila didasarkan pada tempat tinggal wajib pajak, maka tidak perlu ada
komponen yang dibagi sama rata antar kabupaten/kota yang merupakan proporsi
dari komponen DBH PPh peorangan untuk kabupaten/kota.
D B H C U K A I T E M B A K A U
DBH seharusnya bersifat blockgrant bukan specificgrant. Oleh karena itu,
pengaturan DBH Cukai Hasil Tembakau di UU 39/2007 tentang Cukai harus
disesuaikan dengan prinsip dana transfer, yang mengamanatkan bahwa DBH
merupakan block grant. Cukai rokok merupakansin tax, sehingga alokasi sebagian
dana dari cukai rokok untuk pemerintah daerah seharusnya bertujuan untuk
mengurangi konsumsi rokok. Dengan demikian, bagi hasil antar tingkat
pemerintahan bukan merupakan fokus utama, akan tetapi skema alokasi CHT
dibagikan menurut intensitas konsumsi dan bukan produksi untuk meminimalisir
dampak dari peningkatan produksi dan pemanfaatan hasil perkebunan tembakau
untuk produksi rokok.
Diusulkan agar DBH CHT tetap dipertahankan sampai dengan tahun 2014 ketika
Pajak Rokok diberlakukan.Pajak Rokok adalah pajak provinsi.Ketika Pajak Rokok
nanti telah diberlakukan, DBH CHT dapat dihapuskan. Namun Pajak Rokok kemudian
harus di-earmarked untuk pengeluaran sektor tertentu. Sebagai alternatif adalah
pengeluaran untuk kesehatan, pemberantasan rokok ilegal, dan juga mendorong
petani tembakau dan produsen rokok untuk menggeser kegiatannya ke non
tembakau/rokok.
P A J A K B U M I & B A N G U N A N ( P B B ) D A N B P H T B ( B E A P E R O L E H A N H A K
A T A S T A N A H D A N B A N G U N A N )
PBB sudah didaerahkan khususnya yang perdesaan dan perkotaan. Masih ada PBB
lain: kehutanan, perkebunan, dan migas. PBB kehutanan dan perkebunan, bagi
hasilnya merujuk ke UU 33/2004. Tetapi untuk PBB Migas agak berbeda karena ada
metode bagi hasil tersendiri, menggunakan formula tertentu sehingga setiap daerah
mendapatkan (ada dimensi pemerataan). Revisi UU 33/2004 sebaiknya menerapkan

DBH yang based on originserta menjadi sumber hukum utama dalam penyusunan
berbagai peraturan lain yang terkait dengan DBH.
Dalam PBB bagian pusat ada yang dibagikan berdasarkan bagi rata, upah pungut,
dan insentif.Metode bagi rata ini sebenarnya tidak tepat, karena hal itu sudah
menjadi bagian dari DAU. Untuk upah pungut, daerah mendapatkan dari PBB migas,
pertambangan, dan perkebunan.Padahal daerah tidak memberi kontribusi apapun
didalam pengumpulannyakontribusi daerah hanya untuk perkotaan dan
perdesaan.Kedepannya PBB hanya bagian pusat, dan bagian daerah saja.Biaya
pungut seharusnya tidak lagi menjadi komponen bagi hasil, dan dimasukkan saja
menjadi bagian dari belanja instansi yang bertanggung jawab.
Revisi UU 33/2004 harus melakukan perbaikan atas proporsi bagi hasil antara
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Dihilangkannya metode bagi rata
dan biaya pungut, berarti bagian pusat hanya tinggal 3%, sesuai dengan praktek
yang telah terjadi sampai dengan saat ini. Sebesar 97% dialokasikan ke daerah. Yang
dialokasikan ke daerah ini akan dibagi ke provinsi sebesar 17% dan kabupaten/kota
sebesar 80%.

D A N A B A G I H A S I L N O N -P A J A K (SDA)
Salah satu sumber penerimaan daerah yang cukup penting adalah bagi hasil pajak
dari pengelolaan Sumber Daya Alam.Penggunan Dana Bagi Hasil Sumber Daya
Alam(DBH SDA) ini bersifat unconditional, dimana daerah dapat membelanjakan
sesuai dengan kebutuhan daerah tanpa ada persyaratan atau arahan tertentu dari
Pusat. DBH SDA termasuk dalam kategori DBH non-pajak. Dalam perkembangannya,
DBH SDA terdiri dari DBH yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
dari minyak bumi, gas alam, panas bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan
perikanan.
Konsep penerimaan SDA yang dimasukkan sebagai penerimaan non-pajak
kemungkinan terkait dengan penerimaan yang bersifat royalti dari tingkat produksi.
Bahl dan Tumenasan (2002) melakukan evaluasi bahwa alasan SDA dapat
dibagihasilkan terutama terkait dengan konsep kepemilikan, serta kegunaaan
(manfaat) dan biaya dari pengelolaan SDA tersebut. Untuk negara berkembang
dengan sumber daya dan kapasitas adminitrasi publik yang terbatas, penetapan SDA
yang dibagihasilkan seharusnya juga disesuaikan dengan efisiensi biaya administrasi
alokasi SDA.
Oleh karena itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sumber daya alam
yang dapat dibagihasilkan harus memenuhi kriteria berikut:
1.

Sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable)


DBH SDA seharusnya dibatasi hanya untuk SDA yang tidak terbarukan, dimana
eksternalitas negatif cenderung tidak dapat dihindari pada saat periode
eksplorasi dan eksploitasi dan juga setelah habisnya periode eksplorasi.

2.

Sumber daya alam dengan PNBP yang jelas dan potensial


Alokasi DBH SDA relatif harus memiliki potensi yang cukup besar untuk
memberi insentif bagi pemerintah pusat tetap melakukan pemungutan dan
pendistribusian DBH tersebut serta menjadi sumber penerimaan yang cukup
signifikan bagi pemerintah daerah.

3.

Komponen yang dibagihasilkannya teridentifikasi dengan baik

Komponen penerimaan SDA yang dibagihasilkan tergantung dari jenis ataupun


cakupan sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah pusat. Dalam hal ini,
pemerintah harus menetapkan komponen bagi hasil yang memang dapat
dimonitor dan sebaiknya menjadi konsensus bersama antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.
4.

Daerah pemungutan teridentifikasi dengan baik


Kementerian teknis bisa menetapkan secara jelas pemerintah daerah mana
yang merupakan daerah penghasil. Ketentuan mengenai penetapan daerah
penghasil harus secara jelas dicantumkan dalam peraturan terkait, termasuk
dalam hal lokasi produksi yang meliputi dua atau lebih pemerintah daerah.

5.

Periode pemungutan teridentifikasi dengan baik


Penetapan daerah penghasil sebaiknya harus mencakup juga periode
penyaluran DBH untuk SDA migas yaitu berdasarkan periode eksploitasi. Hal ini
dilakukan agar konsisten dengan aplikasi penyaluran DBH SDA yang akan
didasarkan pada MTEF (Medium Term Expenditure Framework)

6.

Pemanfaatan dan eksplorasinya memiliki dampak negatif dan lokasi dampak


tersebut dapat diidentifikasi dengan baik
Pengelolaan dampak negatif dari kegiatan eksploitasi dan eksplorasi SDA akan
lebih efektif apabila cakupan area dari eksternalitas (dampak) negatif dari
kegiatan tersebut relatif sama dengan lokasi produksi yang merupakan acuan
untuk penetapan daerah penghasil.

7.

Basis pajaknya memiliki lokasi yang spesifik


DBH SDA didasarkan pada basis pajak yang relatif immobile mengurangi klaim
bahwa perlu juga DBH SDA untuk daerah yang melakukan pengolahan SDA,
yang kemungkinannya berbeda dengan lokasi produksi SDA tersebut.

DBH SDA mencakup DBH Minyak Bumi, Gas Alam, dan Panas Bumi, Pertambangan
Umum, Kehutanan, dan Perikanan. Beberapa pemikiran yang perlu dipertimbangkan
untuk perbaikan alokasi DBH SDA di masa yang akan datang antara lain:
M I N Y A K B U M I , G A S A L A M , D A N P A N A S B U M I
DBH dari minyak bumi dan gas alam didasarkan pada penerimaan negara
berdasarkan perjanjian KPS yang tidak termasuk dalam penerimaan pajak. Basis dari
penerimaan negara untuk minyak bumi dan gas alam adalah berdasarkan jumlah
lifting (hasil produksi yang siap dijual).
Alokasi DBH SDA terutama dari sumber penerimaan minyak bumi dan gas
cenderung sensitif dengan perubahan tingkat harga minyak bumi dan gas. Fluktuasi
tingkat harga adalah salah satu kendala dari penyaluran DBH sehingga
menyebabkan penerimaan pemerintah daerah dari DBH SDA relatif tidak stabil.
Alternatif dari risiko fluktuasi penerimaan DBH dapat diminimalisir dengan
penyaluran yang berdasarkan prognosa dengan asumsi risiko dan juga windfall dari
fluktuasi harga SDA akan ditanggung sebagian besarnya oleh pemerintah pusat.
Penyaluran tersebut dilakukan per triwulan dimana tiga triwulan pertama masing-
masing sebesar 25% dari alokasi sementara DBH SDA dan penyaluran untuk triwulan
keempat berdasarkan prognosa realisasidengan memperhitungkan penyaluran 3
(tiga) triwulan sebelumnya. Untuk itu, penetapan capping 130 persen terhadap
asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi tidak perlu dicantumkan.

Cappingterhadap tingkat harga yang dijadikan dasar alokasi DBH menjadi tidak lagi
relevan ketika alokasi DBH SDA adalah berdasarkan asumsi harga yang ditetapkan di
APBN.
Earmark DBH Minyak Bumi dan Gas Alam sebesar 0.5 persen sebaiknya dihapuskan
terutama karena porsi yang relatif kecil dan kurang cost-efektif jika dikaitkan
dengan monitoring dan pengawasan dari penggunaan dana tersebut. Conditionality
penggunaan DBH untuk program pengeluaran tertentu juga tidak sesuai dengan
tujuan awal DBH yang semata-mata adalah untuk vertical sharing arrangement.
P E R T A M B A N G A N U M U M
Penerimaan dari pertambangan umum yang layak dibagihasilkan adalah jenis
sumber penerimaan yang relatif besar. Untuk itu, jenis pertambangan dan juga
jumlah deposit menentukan apakah kegiatan pertambangan umum tersebut berada
dibawah pengelolaan pemerintah pusat, yang selanjutnya dapat dibagihasilkan ke
pemerintah daerah.
Komponen penerimaan dari pertambangan umum yang dibagihasilkan ke daerah
adalah iuran tetap atau land-rent dan iuran ekploitasi dan eksplorasi atau royalti.
Dalam hal ini, land-rent dari pertambangan umum selayaknya dijadikan sebagai
pajak daerah saja, mengingat karakteristik dari basis pungutan relatif dapat
dikategorikan sama dengan karakteristik pajak bumi dan bangunan. Selanjutnya,
DBH SDA pertambangan hanya mengacu pada penerimaan royalti yang didasarkan
pada kegiatan produksi.
Jumlah DBH SDA relatif besar untuk beberapa pemerintah daerah sementara
kemampuan belanja rendah dan kapasitas SDM pemerintah daerah tersebut relatif
terbatas. Dalam hal ini, seyogyanya penggunaan dana transfer ini tidak dapat dilihat
dalam konteks pengeluaran melalui satu tahun berjalan saja. Endowment fund
kemungkinan diperlukan terlebih karena DBH SDA terutama SDA yang tidak
terbarukan memiliki jangka waktu tertentu sesuai dengan deposit SDA tersebut dan
juga kapasitas dan tingkat kegiatan produksi.Hal ini juga dikaitkan dengan
kemungkinan masih terdapat eksternalitas (negatif) yang perlu ditangani bahkan
setelah kegiatan eksploitasi dan eksplorasi SDA selesai.
K E H U T A N A N
Penerimaan yang dibagihasilkan terkait dengan PNBP di Kehutanan adalah Iuran
Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana
Reboisasi.Tujuan pemungutan Dana Reboisasi adalah untuk sepenuhnya kegiatan
reboisasi, dan tidak dapat dijadikan sebagai DBH.Untuk itu, sebaiknya Dana
Reboisasi diserahkan ke pemerintah daerah berdasarkan regulasi yang ketat,
terutama terkait dengan kewenangan melakukan reboisasi hutan yang merupakan
tanggung jawab pemerintah daerah.
P E R I K A N A N
Tidak seperti alokasi DBH SDA lainnya, alokasi DBH dari SDA perikanan tidak
mengikuti formula tertentu dan hanya dibagi sama rata untuk seluruh pemerintah
daerah. Dalam hal ini, jumlah pemerintah daerah yang cenderung terus meningkat
cukup kontras dengan penerimaan dari sektor perikanan yang dibagihasilkan yang
justru cenderung terus menurun.

Sebagai contoh, untuk tahun 2009, total DBH dari perikanan yang dibagihasilkan ke
daerah hanyalah sebesar 160 milyar IDR, dan jumlah ini bahkan menurun di tahun
2010 menjadi hanya sekitar 120 milyar IDR (PMK No. 157 Tahun 2008, PMK No. 201
Tahun 2009).
Terkait dengan relatif kecilnya penerimaan dari perikanan dan juga pembagian yang
sulit untuk dihubungkan dengan potensi SDA perikanan setiap daerah, maka revisi
UU 33/2004 sebaiknya menghapuskan saja DBH SDA perikanan. Pemungutan PNBP
dari SDA perikanan dialihkan ke pemerintah daerah, baik itu pemerintah
kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi.

K O N D IS I S A A T I N I
Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari beberapa segi:
Formula alokasi DBH. Persentase yang dibagi-hasilkan dengan Daerah relatif tidak
mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001.
Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan gas bumi,
yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004. Rumusan bagi hasil untuk
setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam (SDA) sangat bervariasi
satu dengan yang lain. Selain itu, semenjak ditetapkan rumusan alokasi ini pada
tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut.
Formula DBH menjadi makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda
untuk daerah otonomi khusus (Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua).
Dasar nilai penetapan bagi hasil. Selain dari beragamnya formula, yang juga
menambah rumit alokasi DBH adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil.
Saat ini, untuk Minyak dan Gas Bumi, yang dibagihasilkan kepada Daerah adalah
nilai net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN, dan
PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas alam. Sedangkan
untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai yang dibagihasilkan pada
dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha dan royalti untuk produksi
yang dihasilkan.
Pemanfaatan DBH di Daerah. Bagi pemda yang memperoleh alokasi DBH yang
cukup signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara optimal
dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan infrastruktur
dasar di daerah. Namun demikian, arah penggunaan DBH tampaknya belum jelas di
daerah, bahkan terkadang terjadi tumpang tindih program kegiatan antara provinsi
dan kabupaten/kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi yang
berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari
kabupaten.
Mekanisme penyaluran DBH. Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak
tahun 2001 sampai dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke
Daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari SDA. Seharusnya penyaluran
dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan pada 3 kuartal
pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di APBN,
sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah memperhitungkan
berbagai penyesuaian terhadap realisasi yang terjadi. Meskipun berbagai upaya

telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke Daerah, tetap


saja muncul keluhan keterlambatan khususnya dari daerah penghasil SDA.

K O N D IS I Y A N G D IH A R A P K A N
Berdasarkan uraian atas berbagai kompleksitas alokasi DBH tersebut, diharapkan di
masa mendatang akan dapat didesain suatu sistem bagi hasil yang lebih sederhana.
Meskipun demikian, DBH harus tetap mengemban fungsinya untuk mengurangi
ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional.
Penjabaran strategi dan rencana aksi. Beberapa kebijakan sampai dengan tahun
2030 yang dapat diimplementasikan dalam rangka penyederhanaan alokasi DBH
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Menata kembali jenis pendapatan negara yang layak dan dapat dibagihasilkan.
Mengingat ada kecenderunganDaerah untuk menuntut bagihasil bagi seluruh
jenis pendapatan negara, maka perlu diterapkan kriteria yang tegas agar
kecenderungan tersebut lebih rasional.
2. Melakukan penyederhanaan formula alokasi DBH dan memberikan
argumentasi yang jelas terhadap proporsi pembagian DBH antara Pusat dan
Daerah.
3. Mengembangkan sistem penyaluran DBH yang lebih baik dan tepat waktu, agar
alokasi DBH ke daerah penghasil menjadi tepat waktu dan tepat jumlah,
sehingga dana tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan yang
direncanakan. Jika mekanisme penyaluran berdasarkan realisasi tidak dapat
diperbaiki ketepatan waktunya, perlu dipertimbangkan penetapan DBH yang
didasarkan kepada anggaran dan penyalurannya dilakukan secara berkala dan
tepat waktu.
4. Dana Bagi Hasil darisumberdaya alam (misalnya dari Provisi Sumber daya
Hutan) yang menjadi bagian daerah dan porsi tertentu akan dibagikan untuk
kabupaten/kota lainnya (non-penghasil) dalam provinsi yang bersangkutan,
menjadi kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah untuk
membaginya berdasarkan formula tertentu yang ditujukan untuk mengurangi
ketimpangan fiskal antar Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang bersangkutan.
Kondisi saat ini, porsi yang dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan, dibagikan secaramerata untuk daerah non-
penghasil.

BAB 8
TRANSFER LAINNYA



P E N G A N T A R
Definisi Transfer Lainnya (TL) di sini adalah semua transfer ke daerah yang selama ini
tidak termasuk dalam kategori Dana Perimbangan (DAU, DAK, DBH) dan Dana Otsus
dan Penyesuaian. Secara definitif, yang termasuk dalam DTL adalah: Dana
Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID), Dana Insentif Daerah (DID), dan Hibah.
Sebagian besar alokasi DTL diputuskan secara ad-hoc atau tidak mengikuti pola yang
regular.Kesepakatan politis memegang peranan penting di sini.DTL dicirikan dengan
tingginya fleksibilitas alokasi dan biasanya diiringi dengan ketidaksiapan
administrasi.Fleksibilitas ini sebenarnya memberikan keuntungan dalam
menyesuaikan dengan target dan variasi kondisi daerah. Tetapi di lain pihak,
fleksibilitas juga berarti rawan terhadap potensi penyimpangan. Isu penyimpangan
dan penyaluran alokasi sering menerpa DTL, seperti yang dewasa ini diberitakan
4
menyangkut DPID .

H IB A H
Dalam sistem hubungan keuangan Pusat-Daerah, Hibah sebenarnya dapat menjadi
dana transfer yang mempunyai peran yang cukup penting. Tetapi ketidakjelasan
perannya membuat Hibah hanya menjadi salah satu bentuk pemberian atau
penyaluran dari pihak di luar pemerintah ke daerah. Dalam kondisi seperti ini
substansi Hibah menjadi kabur dengan DAK atau dana adhoc lainnya. Besaran
alokasi total dari APBN untuk program Hibah juga tidak dirancang secara integral
bersama dengan dana transfer lainnya. Pada Bab 5, Hibah dalam negeri dimasukkan
dalam kelompok DAK. Secara nomenklatur dari jenis hibah yang selama ini
diaplikasikan oleh pemerintah pusat, hibah yang bersumber dari Rupiah (APBN
murni) tidak berbeda dengan konsep DAK adhoc atau berbasis program, yaitu ketika
pemerintah bertujuan membantu pembiayaan suatu program tertentu misalnya
ketika suatu daerah menjadi tuan rumah event internasional atau nasional.
Sedangkan untuk Hibah yang bersumber dari bantuan LN, pemerintah pusat
biasanya hanya menyalurkan.Pengaturan yang dilakukan untuk alokasi besaran dan
daerah agak terbatas, sedangkan untuk administrasi dan mekanisme penyaluran
biasanya diserahkan pada pemerintah.
Sesuai dengan konsep DAK yang dijelaskan pada Bab 5, sebaiknya tidak ada lagi jenis
transfer lainnya yang selama ini diberikan dengan berbagai macam nama termasuk

4
Lihat misalnya di:
http://nasional.kompas.com/read/2011/06/29/11284141/KPK.Didesak.Usut.Calo.A
nggaran.di.DPR atau http://www.investor.co.id/home/kpk-diminta-selidiki-dugaan-
calo-anggaran-dpid/13904

DPID dan DID. DPID dapat dimasukkan dalam kategori DAK Prioritas
(kompetisi/merit-based) ataupun DAK adhoc.Sedangkan DID sesuai untuk
dimasukkan ke dalam DAK Prioritas (merit-based).
Fleksibilitas dalam mengantisipasi perubahan demografi dan dinamika urbanisasi
merupakan kelebihan DAK yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan
tertentu.
Seperti yang didiskusikan pada Bab 1 mengenai Urbanisasi, ada beberapa mitos
yang sayangnya sering dipakai sebagai dasar beberapa kebijakan transfer;
misalnya anggapan mengenai bahwa disparitas horizontal akan meningkat dengan
tingginya urbanisasi sehingga alokasi dana transfer lebih besar untuk daerah non-
Jawa. Pada kenyataannya, tidak ada perubahan signifikan pada disparitas Jawa vs.
non-Jawa setelah 10 tahun desentralisasi fiskal. Dengan kebijakan transfer yang
menekankan aspek redistributif fiskal dibandingkan fokus pada pembentukan
aset/modal, justru membuat banyak daerah dalam kondisi kekurangan
infrastruktur. Belanja infrastruktur sebagian besar bersifat lumpy dan sulit untuk
mengadopsi sistem distributif/ekualitas ketika negara sendiri mempunyai
keterbatasan fiskal. Pilihannya adalah membagikan dana yang tersebar merata
tetapi masing-masing berjumlah kecil atau memilih prioritas.
Sudah terbukti bahwa DAK gagal untuk memenuhi harapan membangun
infrastruktur di daerah karena jumlahnya yang kecil dan terfragmentasi baik
sektoral maupun daerah.Hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan pool of
funds, memilih prioritas sektoral, dan mengatur sekuens daerah/locus untuk
dibangun. Dengan demikian bisa diharapkan akan terbangun infrastruktur yang
cukup berarti sektor per sektor, daerah demi daerah. Penentuan prioritas sektoral
dan sekuens daerah untuk mendapatkan DAK infrastruktur ini yang perlu dilakukan
secara bijaksana dengan didukung oleh data bukan sekedar mitos.
Beberapa hal yang harus disadari dari keuntungan membangun kota vs membangun
desa, adalah kenyataan bahwa tingkat kemiskinan lebih tinggi di pedesaan atau
dengan kata lain kesejahteraan penduduk kota lebih tinggi, skala ekonomi dan
efisiensi yang lebih tinggi di kota, basis pajak yang lebih tinggi di kota, dan output
pendidikan yang lebih baik di kota. Kekurangan yang masih ada sekarang adalah
kualitas infrastruktur perkotaan masih kurang dan kebijakan yang belum mampu
menginternalisasi eksternalitas antardaerah. Sedangkan mengabaikan pemba-
ngunan desa juga akan berakibat menurunnya produksi sektor pertanian dan
meningkatkan ketimpangan sosial dan keadilan. Karena itu pembangunan daerah
pedesaan (melalui transfer) tetap harus dilakukan dengan bertumpu pada potensi
ekonomi daerah tersebut dan memperhatikan aspek keadilan.
Kota juga umumnya harus menanggung tambahan beban dari daerah sekitarnya.
Sebagai contoh, banyak penduduk non-urban yang mengirimkan anaknya sekolah di
kota, berobat di RS di kota, atau mencari hiburan dan melakukan aktivitas ekonomi
lainnya di kota. Selain menikmati eksternalitas positif seperti keuntungan dari
potensi ekonomi dan skala ekonomi, di saat yang sama kota juga harus menanggung
eksternalitas negatif misalnya menyediakan barang publik untuk dikonsumsi oleh
non-resident (penduduk luar), serta beban lingkungan yang meningkat seperti
tambahan polusi, kekurangan daya dukung air, penambahan limbah, dan

kemacetan. Faktor-faktor tersebut selama ini belum diakomodasi dalam sistem


transfer.Dalam alokasi DAU yang mempertimbangkan variabel penduduk, yang
dihitung adalah jumlah penduduk sesuai wilayah administrasi tanpa
mempertimbangkan mobilitas yang menimbulkan eksternalitas.
Pada sisi lainnya, daerah periperi yang menyangga kota juga mempunyai beban
tambahan dari pertumbuhan kota tersebut. Pasokan air, pembuangan limbah, jalan
penghubung, industri manufaktur dan penyangganya, biasanya jatuh menjadi beban
daerah periperi. Jadi terdapat eksternalitas dua arah antara kota dan daerah
periperinya yang satu sama lain belum tentu sama besarnya, sehingga kebijakan
membiarkan (atau tidak adanya kebijakan internalisasi/kompensasi dari eksterna-
litas) tidaklah berarti akan berakhir dengan suatu keseimbangan akibat efek
meniadakan satu sama lain (canceled-out).
Di lain pihak menghitung masing-masing eksternalitas yang diterima baik oleh
periperi maupun oleh kota tidaklah mudah, apalagi jika formula DAU (yang bersifat
transfer umum) diharapkan dapat mengandung determinan eksternalitas. Hal yang
paling mungkin dilakukan adalah mengompensasi eksternalitas melalui sepsifik
transfer atau DAK.Tabel berikut menunjukkan bagaimana skema baru DAK dapat
digunakan untuk mendukung urbanisasi (dan eksternalitas) secara proporsional.
Perlu diperhatikan bahwa frase mendukung urbanisasi tidak berarti bahwa alokasi
DAK ini hanya akan jatuh pada daerah kota, pada kenyataannya, daerah
administratif apapun berhak atas DAK ini selama memenuhi persyaratan/kriteria
yang ditentukan.

Jenis DAK
Kategori
Prioritas
Top-down
approach

Kompetisi/merit-
based

Adhoc

By design

Porsi
Mempertimbangkan masukan dari
K/L terkait dan merupakan bagian
terbesar dari total DAK.

Untuk 3 tahun pertama alokasi


dapat dibatasi tidak terlalu besar
misalnya maksimal 10% dari total
DAK. Sifatnya diperebutkan
berdasarkan proposal daerah.
Untuk menciptakan kesetaraan
akses (tingkat playing field) maka
sebagian kecil dari DAK dapat
dialokasikan untuk memberikan
Technical Assistance pada daerah-
daerah yang belum mampu
menyusun sendiri proposal yang
baik.
Karena sifatnya yang irregular,
maka sebaiknya porsinya tidak
terlalu besar. Lobi politik
dimungkinkan sepanjang ada tim
independen yang memberikan
kriteria dan penilaian pada
program yang diajukan

Contoh
DAK pembangunan infrastruktur
dasar (jalan, sanitasi, listrik, pasar
modern, terminal bus, transportasi
masal, gorong-gorong, sarana
olahraga, dsb)
Sama seperti di atas ditambah dengan
bidang-bidang yang merupakan
kebutuhan unik daerah tersebut misal
perpustakaan kota, taman kota,
museum, planetarium, dsb.

Sarana penunjang untuk event


nasional/internasional, sarana
pendukung untuk daerah periperi,
kompensasi eksternalitas negatif
perkotaan, kompensasi pemeliharaan
aset nasional (terumbu karang, hutan
lindung, penangkaran satwa langka

Reimbursement

pemerintah/DPR.
Jika pemerintah bisa mengestimasi
kebutuhan infrastruktur prioritas
pada tahun mendatang dan
memproses proposal
pembangunan dari daerah untuk
ditentukan penerimaan
reimbursement, maka proporsi
dana yang dialokasikan bisa cukup
signifikan (misalnya sampai
dengan 20-30% dari total DAK).
Tujuannya juga mendorong daerah
melakukan investasi infrastruktur
di daerah mereka dengan inisiatif
sendiri. Skema yang diberikan bisa
berupa partial reimbursement
ataupun total reimbursement
selama daerah memang
membuktikan bahwa infrastruktur
tersebut dibangun sesuai dengan
spesifikasi teknis yang diajukan
dan disetujui. Partial
reimbursement pada dasarnya
adalah prefinancing matching
grant, sedangkan total
reimbursement adalah
prefinancing specific grant.

dsb), dsb.
Reimbursement untuk daerah yang
membangun infrastruktur dengan
pembiayaan sendiri di mana kategori
infrastruktur tersebut diumumkan
sebelumnya dan daerah memasukkan
aplikasi yang telah disetujui pusat.

REFERENSI

Adioetomo, Sri Moetiningsih Setyo, 2005, Bonus Demografi: Menjelaskan
Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk dengan Pertumbuhan Ekonomi,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Ekonomi
Kependudukan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta 30
April 2005.
Adioetomo, Sri Moetiningsih Setyo, 2011. Pertumbuhan Penduduk dan
Kesejahteraan Ekonomi.Presentasi dalam Pentaloka BKKBN, Jakarta: 27
April 2011.
Aldenderfer, Mark dan Roger Balshfield, 1984, "Cluster Analysis", Sage Publications.
Bloom, D.E., D. Canning, L. Rosenberg, 2011. Demographic Change and Economic
Growth in South Asia. PGDA Working Paper No.67, February 2011.
Bloom, D.E. and J.E. Finlay, 2009. Demographic Change and Economic Growth in
Asia. Asian Economic Policy Review (4), p.45-64.
Bloom, D.E., D. Canning, J. Sevilla, 2003.The Demographic Dividend, A New
Perspective on the Economic Consequences of Population Change. Santa
Monica, California: RAND.
Bloom, D.E., D. Canning, dan P.N. Malaney, 1999. Demographic Change and
Economic Growth in Asia. CID Working Paper No.15, Mei 1999
Efi Nurvidya Arifin, 2009,Aspek Ekonomi Demografi Penduduk Lansia Indonesia,
CDK 170/vol.36 no.4/Juli-Agustus 2009.
Everitt, B., 1979, Unresolved Problems in Cluster Analysis, Biometrics 35, 169-181.
Felecia P.Adam. Tren Urbanisasi di Indonesia, Program Studi Agrobisnis Fakultas
Pertanian Universitas Pattimura.
Handra, Hefrizal, 2005, A Study of Indonesias Fiscal Equalisation Mechanism in the
Early Stages of Decentralisation, Ph.D Thesis, Flinders University of South
Australia.
Imam S. Ernawi. Morfologi-Transformasi Dalam Ruang Perkotaan yang
Berkelanjutan, Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan
Umum.
Jaka Sriyana.Dampak Transisi Demografi Terhadap Defisit Fiskal di Indonesia,
Dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian ekonomi Negara
Berkembang.Universitas Islam Indonesia.
Lorr, Maurice, 1983, "Cluster Analysis for Social Scientists", Jossey-Bass Publishers.
Maskell, Peter dan Lela Kebir, "What Qualifies as a Cluster Theory?", 2009 DRUID
Working Paper No. 05-09.
Nazara, Suahasil dan Nurkholis, 2006,Evaluasi Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota
di Indonesia Dalam Era Desentralisasi, Kajian Ekonomi, Vol.5 No. 2, 2006.

Nazara, Suahasil, 2010,Pemerataan Antardaerah Sebagai Tantangan Utama


Transformasi Struktural Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Depan,
Pidato pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang
Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi UI, Jakarta 10 Maret 2010.
Porter, Michael E., 2000, "Location, Competition, and Economic Development: Local
Clusters in a Global Economy", Economic Development Quarterly 14, 15-34.
Ross,

J., 2004,Understanding the Demographic


Washington: The Policy Project, Futures Group.

Dividend,Mimeograph.

Salladien, 2003Strategi Pembangunan Kependudukan dan Kebijakan yang


Ditempuh di Era Global, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Geografi Manusia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang,
Malang 20 Januari 2003.
Shah, Anwar, 2004, Fiscal Decentralization in Developing and Transition Economies:
Progress, Problems, and the Promise, World Bank Policy Research Working
Paper 3282, April 2004.
Shah, Anwar dan Theresa Thompson, 2002, Implementing Decentralized Local
Governance: A Treacherous Road with Potholes, Detours and Road
Closures, Presented in 'Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?' A
Conference Sponsored by International Studies Program, Andrew Young
School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 1-3 Mei, 2002.
Syed Abdul Razak B. Sayed Mahadi.Perubahan Struktur Umur Penduduk: Impak dan
Cabaran Kepada Pembangunan Negara, Rancangan Pengkajian
Kependudukan Fakultas Sastra dan Sains Sosial.
Undang-Undang 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
United Nations.Laporan Pencapaian Millenium Development Goals Indonesia 2007.
The World Bank, 2007,Pembangunan dan Generasi Mendatang, Salemba Empat
Laporan Pembangunan Dunia 2007.
The World Bank/The International Finance Corporation, 2009, Doing Business in
Indonesia 2010, Washington DC.

Anda mungkin juga menyukai