Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis energi listrik di Indonesia disebabkan karena semakin menipisnya
bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara yang tidak
diimbangi dengan peningkatan pertumbuhan penduduk. Relevansi krisis energi
listrik dengan krisis bahan bakar fosil terjadi karena banyak pembangkit tenaga
listrik di Indonesia menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar
utamanya. Solusi bagi krisis energi listrik dan bahan baku fosil seperti tersebut di
atas adalah adanya sumber energi alternatif, sumber energi alternatif tersebut
dapat menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan, efektif dan efisien. Solusi
bagi krisis energi listrik dan bahan baku fosil seperti tersebut di atas adalah
adanya sumber energi alternatif. Sumber energi alternatif tersebut harus bisa
menjadi bahan bakar substitusi yang ramah lingkungan, efektif, efisien, dan dapat
diakses oleh masyarakat luas. Selain itu, sumber energi alternatif tersebut idealnya
berasal dari sumber energi yang bisa diperbarui. Sumber energi yang bisa
diperbarui relatif tidak berpotensi habis, sebaliknya, selalu tersedia dalam
kuantitas dan kualitas yang lebih dari cukup, antara lain energi air, angin,
biomassa, tidal, panas bumi dan energi surya.
Salah satu potensi energi yang dapat diperbarui adalah energi biomassa
limbah kelapa sawit. Selama ini, kelapa sawit banyak digunakan sebagai
penghasil minyak nabati tanpa mencoba menemukan potensi yang dimiliki limbah
kelapa sawit. Limbah kelapa sawit yang ditimbulkan oleh pengolahan kelapa
sawit memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi. Bila dikelola dengan baik
limbah kelapa sawit dapat digunakan sebagai energi alternatif pengganti batu bara
yang biasa digunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Kalimantan sebagai daerah penghasil kelapa sawit di Indonesia, misalnya,
berpotensi untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis
energi biomassa. Kalimantan Selatan memiliki luas 3.753.053 hektar dengan
1

jumlah penduduk hampir 4 juta jiwa. Saat ini, luas perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan Selatan 243.411 hektar. Kabupaten tanah laut pada tahun 2007
memiliki luas area perkebunan sekitar 37 ribu Ha, sedangkan potensi kelapa sawit
pada daerah itu 85 ribu Ha. Setiap hektar kebun kelapa sawit ditanami sekitar 148
pohon kelapa sawit dan menghasilkan 15-30 kg tandan buah segar untuk setiap
pohon kelapa sawit. Untuk setiap ton pengolahan kelapa sawit akan menghasilkan
60 kg limbah cangkang kelapa sawit dengan kandungan kalori sebesar 3500-4100
kkal/kg. Limbah kelapa sawit berupa serabut kelapa juga bisa diolah menjadi
sumber energi karena setiap 120 kg serabut kelapa sawit memiliki kalori sebesar
26373998 kkal/kg. Meski begitu, potensi limbah kelapa sawit baik secara
kuantitas maupun kualitas seperti tersebut di atas belum dimaksimalkan untuk
diolah sebagai bahan bakar alternatif.
1.2.

Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana pengolahan limbah kelapa sawit dari penggunaan untuk
PLTU?
1.2.2. Hasil seperti apa dari pengolahan limbah dari kelapa sawit?
1.2.3. Untuk apa pengolahan limbah klapa sawit itu di olah sedemikian rupa

1.3.

bagi kehidupan kita?


Tujuan
1.3.1. Pengolahan limbah kelapa sawit agar bermanfaat bagi kehidupan ini.
1.3.2. Pengolahan limbah kelapa sawit penting bagi kelangsungan hidup

ekosistem di alam ini.


1.4.
Manfaat
1.4.1. Pengolahan limbah kelapa sawit hasil PLTU dapat memberikan
tambahan ilmu bagi perkembangan teknologi.
1.4.2. Pengolahan limbah kelapa sawit dapat

memberikan

asupan

pendapatan bagi pemerintah karena alamnya terjaga dengan baik.


1.4.3. Pengolahan limbah kelapa sawit dapat memberikan pengetahuan akan
pentingnya menjaga alam bagi masyarakat luas.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.

Teori Penunjang Ketenagalistrikan Daerah dan Pemanfaatan

Biomassa
2.1.1. Biomassa Sebagai Sumber Energi
Energi biomassa potensinya di Indonesia cukup melimpah, energy
biomassa ini berasal dari organik atau limbah produksi sisa limbah organic.
Biomassa ini merupakan energi alternatif sebagai pengganti penggunaan bahan
bakar fosil. Biomassa sangat beragam jenisnya yang pada dasarnya merupakan
hasil produksi dari makhluk hidup. Biomassa dapat berasal dari tanaman
perkebunan atau pertanian, hutan, peternakan atau bahkan sampah. Biomassa
(bahan organik) dapat digunakan untuk menyediakan panas, membuat bahan
bakar, dan membangkitkan listrik, hat ini disebut bioenergi.. Energi yang
tersimpan itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar utama pembangkit
listrik. Karena sebagian besar biomassa mengandung nilai kalori yang cukup
tinggi. Sehingga dapat di manfaatkan sebagai pengganti energy fosil yang
semakin menipis diindonesia.
2.1.2. Model Peramalan Dengan DKL 3.01
Model yang digunakan dalam metode DKL 3.01 untuk menyusun
perkiraan adalah model sektoral. Perkiraan kebutuhan tenaga listrik model
sektoral digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan tenaga listrik pada
tingkat wilayah/distribusi. Metodologi yang digunakan pada model sektoral
adalah metode gabungan antara kecenderungan, ekonometri dan analitis.
Pendekatan yang digunakan dalam menghitung kebutuhan listrik adalah
dengan mengelompokkan pelanggan menjadi empat sektor yaitu :
a) Sektor Rumah Tangga
b) Sektor Bisnis
c) Sektor Publik
d) Sektor Industri .
2.1.3. Ekonomi Pembangkit
2.1.3.1. Harga Energi Listrik
Tiap pembangkit listrik mempunyai harga energi listrik yang
berbeda-beda yang besarnya bervariasi tergantung pada biaya

pembangunan, perawatan dan biaya operasi dari pembangkit listrik


tersebut. Secara umum harga energi yang dihasilkan suatu pembangkit
listrik dihitung dengan parameter-parameter yang diperlukan, yaitu
biaya pembangkitan per kW, biaya pengoperasian per kWh, biaya
perawatan per kWh, suku bunga, depresiasi , umur operasi, dan daya
yang dibangkitkan. Metode perhitungan yang digunakan adalah metoda
perhitungan biaya pembangkitan tahunan, terdiri dari tiga komponen
biaya, yaitu biaya investasi modal (capital cost), biaya bahan bakar
(fuel cost), serta biaya operasi dan perawatan (O&M cost).
2.1.3.2. Ekonomi Investasi Pembangkit
Sebelum suatu proyek dilaksanakan perlu dilakukan analisa dari
investasi tersebut sehingga akan diketahui kelayakan suatu proyek
dilihat dari sisi ekonomi investasi. Ada beberapa metode penilaian
proyek investasi, yaitu :
a) Net Pressent Value (NPV) NPV adalah nilai sekarang dari
keseluruhan Discounted Cash Flow atau gambaran ongkos total
atau pendapatan total proyek dilihat dengan nilai sekarang (nilai
pada awal proyek).
b) Internal Rate of Return (IRR) Internal rate of return, adalah
discount rate yang akan menjadikan jumlah nilai prooceds yang
diharapkan akan diterima sama dengan jumlah nilai sekarang dari
pengeluaran modal. IRR akan menghasilkan NPV=0. Besarnya
NPV dari suatu cash flow akan bergantung pada tingkat discount
rate yang dipakai. Semakin besar discount rate maka NPV
semakin menurun. Dengan kata lain, IRR adalah suatu indicator
yang dapat menggambarkan kecepatan pengembalian modal dari
suatu proyek.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Sistem Ketenagalistrikan Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan
Selatan
3.1.1. Sekilas Kabupaten Tanah Laut Kabupaten Tanah Laut

Merupakan salah satu dari 13 Kabupaten/Kota yang ada di Propinsi


Kalimantan Selatan.Dengan luas wilayah sebesar 3.729,30 km, tingkat
kepadatan penduduk di Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2007 adalah 69
penduduk per km2. PDRB perkapita tahun 2007 atas dasar harga berlaku
sebesar 5.691.540 rupiah. PDRB perkapita atas dasar harga berlaku
Kabupaten Tanah Laut selama periode 2003 2006 tumbuh rata-rata sebesar
7,05%, sedangkan pertumbuhan rata-rata PDRB atas dasar harga konstan
dalam periode yang sama hanya sebesar 2,30%.
3.1.2. Sistem Ketenagalistrikan Provinsi Kalimantan Selatan
Dari tahun ke tahun jumlah pelanggan listrik di Kalimantan Selatan
terus mengalami kenaikan, hal ini disebabkan bertambahnya jumlah
penduduk di Kalimantan Selatan, yang mengakibatkan bertambahnya
jumlah pelanggan listrik di sektor rumah tangga, industry, komersil (bisnis)
dan publik.
3.2. Kondisi Eksisting Ketenagalistrikan di Kalimantan Selatan
Beberapa tahun terakhir, seiring dengan pertumbuhan penduduk,
kawasan pemukiman, industri dan ekonomi, Kalimantan Selatan mengalami
krisis energi listrik karena pasokan energi tidak sesuai dengan permitaan.
Krisis ini menyebabkan seringnya terjadi pemadaman listrik di seluruh
daerah Kalimantan Selatan. Saat ini.
Pada tahun 2007 Secara keseluruhan, daya maksimal yang mampu
disediakan PLN Kalimantan Selatan adalah 264.5 MW. Sementara
kebutuhan pelanggan di wilayah ini pada beban puncak mencapai 272.5
MW. Artinya, margin standar keandalan sistem tidak tercapai karena selisih
daya dan kebutuhan cukup besar. Kebutuhan energi pada tahun 2008
mengalami kenaikan, beban puncak mencapai 295.59 MW dan daya mampu
hanya 273.5 sehingga terjadi defisit 22.09 MW. Diperlukan anggaran yang
besar dan itu diluar kemampuan PLN. Selain itu, beberapa masalah yang
kerap mengganggu pasokan listrik di Kalimantan Selatan diantaranya:
Penurunan debit bendungan riam kanan pada musim kemarau, padahal
bendungan ini sumber utama energi PLTA riam kanan. Perbaikan atau
overhaul mesin PLTU Asam-asam yang harus dilakukan setiap tahun.

Akibatnya, saat mesin dirawat, kemampuan PLN menyediakan listrik juga


menjadi jauh berkurang.
3.3. Instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa Kelapa Sawit
Jenis pembangkit yang digunakan disini adalah jenis pembangkit listrik
tenaga uap (PLTU). PLTU adalah pembangkit yang menggunakan tenaga
uap sebagai penggerak turbin, dimana poros dari turbin ini dikopel dengan
poros generator dan supaya konservasi energi untuk peningkatan efisiensi
sistem juga tercapai maka penerapan sistem pembangkit menggunakan
teknologi kogenarasi. Dimana pada sistem ini uap sisa (residu steam) yang
masih bertekanan tinggi dapat dipergunakan lagi untuk proses yang lainnya.
Inti teknologi coogenerasi adalah proses penggunaan residu uap dalam
proses berjenjang.
Setelah uap yang bertekanan tinggi dipakai sebagai penggerak turbin
generator, residu uap yang juga masih bertekanan cukup tinggi digunakan
lagi dalam proses yang terjadi dearator, mesin Horizontal Striliser, maupun
digester. Sehingga lebih menguntungkan bila ditinjau dari sudut efisiensi
energi. Selain bahan bakar pembangkit listrik yang digunakan merupakan
limbah dari proses pengolahan minyak kelapa sawit, sisa uap dari penggerak
turbin generator masih dapat juga digunakan untuk proses pengolahan minak
kelapa sawit itu sendiri. Dalam proses konversi limbah kelapa sawit ke
energi listik, terdapat dua macam pemrosesan:
a) Proses pengambilan serabut dan cangkang pada buah kelapa sawit
b) Proses konversi energi dari serabut dan cangkang menjadi energi listrik.
3.3.1. Proses Pengambilan Serabut dan Cangkang Pada Buah Kelapa
Sawit.
Untuk memperoleh serabut dan cangkang pada kelapa sawit dilakukan
beberapa langkah-langkah pengolahan.

Gambar 1 Pengolahan TBS menjadi Cangkang dan Serabut


Energi yang dapat dibangkitkan dengan bahan bakar cangkang dan
serabut dapat diilustrasikan sebagai berikut pada gambar 1. Untuk
sebuah PKS dengan kapasitas 100 ribu ton TBS pertahun akan
dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang dan 12 ribu serabut. Dengan
menggunakan data serta efisiency pembangkitan sekitar 25 % akan
diperoleh energi listrik sebesar 7,2 8,4 GWh untuk cangkang dan 9,2
15,9 GWh untuk serabut. Karena kebutuhan listrik untuk produksi
adalah sekitar 1,4 1,6 GWh, maka pabrik kelapa sawit mampu
mandiri dalam hal pasok energi untuk kebutuhan operasionalnya.

Tabel 5. Nilai kalor limbah kelapa sawit

(Sumber: Berburu Energi di kelapa sawit, Harian Republika, Desember 2007)


3.3.2. Proses Konversi Energi listrik dengan limbah Kelapa Sawit

Gambar 2 Proses Pengolahan Limbah Kelapa Sawit menjadi energi


listrik
Untuk memperoleh energi listrik terdapat tahap-tahapan dari
sumbar bahan bakar menjadi energi listrik. Dari gambar 2 terlihat
bahwa cangkang dan serabut dimasukkan kedalam ruang bakar
digunakan sebagai bahan bakar untuk memanaskan ketel uap sehingga
menghasilkan uap yang bertekanan tinggi.
Ketel uap yang digunakan dalam proses pembakaran limbah ini
adalah tipe khusus yang menggunakan sistem grate. Berbeda dengan
bahan bakar lain yang tidak menggunakan sistem grate Serabut dan
cangkang ini dalam penggunaanya menggunakan 70% serabut dan 30%
cangkang, hal ini dikarenakan spesifikasi boiler. Bila penggunaanya
tidak sesuai maka akan merusak gratenya.
Setelah dari pembakaran serabut dan cangkang uap yang
bertekanan tinggi dari boiler (25 kg/cm2 3130C) mengalir melalui
nozzle yang sekaligus mengurangi tekanan uap sampai menjadi
8

bertekanan(22 kg/cm2 2600C) di atur dengan efisiensi 75%. Poros


turbin berputar dengan kecepatan yang cukup tinggi direduksi
kecepatan putarnya oleh reduction gear yang dipasang antara turbin dan
generator sehinggga diperoleh sinkronissi kecepatan antara turbin dan
generator. Dan karena generator berputar maka akan menimbulkan
medan listrik sehingga akan membangkitkan tenaga listrik. Sehingga
akan membangkitkan tenaga listrik. Untuk meningkatkan efisiensi
pembangkit digunakan sistem coogeneration, dengan sistem ini akan
dapat ditingkatkan efisiensinya sebesar 75%.

Hasil sisa pembakaran

dari serabut dan cangkang yaitu ash (debu) dibuang. Debu hasil sisa
pada pembakaran cangkang dan serabut ini masih banyak mengandung
kalori yang saat ini sedang diteliti untuk dipergunakan pupuk, seperti
terlihat pada tabel 6.
Tabel 6. Kandungan Abu Serabut dan Cangkang

Ketel uap yang digunakan dalam proses pembakaran limbah ini


adalah tipe khusus, karena bahan bakarnya serabut dan cangkang.
Dalam penggunaanya biasanya cangkang hanya digunakan sebanyak
30% dari total bahan bakar, hal ini tergantung dari spesifikasi dari
boiler.
3.4. Perhitungan Biaya Bahan Bakar
Pembangkit ini menggunakan bahan bakar serat dan cangkang kelapa
sawit yang merupakan hasil limbah produksi pabrik kelapa sawit kira-kira
sebanyak 30 ton/hari. Karena bahan bakar yang digunakan pada pembangkit
ini adalah limbah dari produksi minyak kelapa sawit, maka biaya bahan
bakar pembangkit ini bukan untuk membeli serat dan cangkang, tetapi untuk
biaya transportasi dari perkebuanan kelapa sawit sampai ke tempat
pembangkit.

Biaya transportasi dari perkebunan sampai ke tempat pembangkit


diasumsikan bahwa jarak tempuh antara pabrik dan perkebunan 8 km,
sehingga Biaya transportasi dari perkebunan sampai ke tempat pembangkit
diasumsikan US$ 0.048 per ton. Dengan asumsi 1 USD senilai Rp. 10.000
maka dapat di hitung :
a) Harga = 0.048 USD/ton = 0,000048 USD/kg
= Rp 0.0048 cent /kg
b) Konsumsi Bahan Bakar = 30 ton/jam
c) Konsumsi Bahan bakar per tahun = (30 x 8760) ton/MW-tahun
= 262800 ton/MW-tahun
d) Fuel Cost (FC) = 30 ton/MWh 0.048 USD/ton
= 1.44 USD/MWh
= 0,00144 USD/kWh
= 0.144 cent/kWh
3.5. Perhitungan Biaya Operasi Dan Perawatan
Biaya operasi dan perawatan adalah biaya yang dikeluarkan untuk
pengoperasian pembangkit dan perawatan berkala. Rincian biayanya dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Data Biaya Operasi dan Perawatan PLTU Biomassa Limbah Kelapa
Sawit

(Sumber: Center for Research on Material and Energy-ITB, data diolah


kembali)
Sehingga dari data diatas biaya operasi dan perawatan untuk PLTU
limbah kelapa sawit yang berkapasitas 1.6 MW dengan factor kapasitas
sebesar 75% digunakan Biaya Operasi dan Perawatan 2MW . Dari Tabel 7 di
atas dapat diketahui bahwa biaya operasi dan perawatan PLTU limbah
kelapa sawit 1.6 MW ini adalah 2.49 cent/kWh.
3.6. Perhitungan Biaya Pembangkitan Total

10

Berdasarkan beberapa biaya diatas, maka persamaan biaya


pembangkitan total dalam pembangkitan tahunan dapat dinyatakan sebagai
berikut:
TC = Biaya Total
CC = Biaya Modal
FC = Biaya Bahan Bakar
O&MC = Biaya Operasi dan Perawatan
TC = CC + FC + OM
Untuk suku bunga i = 12 %
maka: TC = 3.07 cent / kWh + 0.144 cent / kWh + 2.49 cent / kWh
= 5.704 cent / kWh
= 0,05704 US$/kWh
= 570.4 Rp/kWh
Untuk suku bunga i = 9 %
maka : TC = 2.42 cent / kWh + 0.144 cent / kWh + 2.49 cent / Kw
= 5,054 cent / kWh
= 0,05054 US$/kWh
= 505,4 Rp/kWh
Untuk suku bunga i = 6 %
maka : TC = 1.89 cent / kWh + 0.144 cent / kWh + 2.49 cent / kWh
= 4.524 cent / kWh
= 0,04524 US$/kWh
= 452,4 Rp/kWh
Dari perhitunganperhitungan diatas jika kita tabelkan, maka akan
tampak biaya pembangkitan energy listrik berbahan bakar limbah kelapa
sawit, dari tabel dapat dianalisa keekonomisan dari PLTU berbahan bakar
limbah kelapa sawit seperti tabel di bawah ini:
Tabel 8 Biaya Pembangkitan Energi Listrik
(TABEL 8)
3.7. Kemampuan Daya Beli Energi Listrik Masyarakat
Kemampuan daya beli masyarakat sangat penting dalam analisa apakah
suatu pembangkit itu layak atau tidak, maka kita harus mengetahui
kemampuan masyarakat kabupaten Tanah Laut dalam membeli listrik/kWh.
Daya beli mayarakat ditentukan dari pendapatan perkapita suatu daerah.
Daya beli masyarakat sangat menentukan seberapa besar harga jual listrik

11

yang mampu dibayar oleh pengguna listrik. Besarnya biaya pembangkitan


total akan dibandingkan dengan harga energi listrik yang dapat dibeli
masyarakat.
Dengan input data kabupaten tanah laut sebagai berikut : Pendapatan
perkapita penduduk setiap bulan = Rp 474.295 Dengan mengasumsikan
dalam 1 rumah tangga penduduk memiliki 4 anggota keluarga sehingga
didapat : Pendapatan rumah tangga = Rp 474.295 x 4 = Rp 1.897.182
Sedangkan pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi energi listrik rata-rata
berkisar 6% - 10%. Dengan diasumsikan pengeluaran rumah tangga untuk
energi listrik rata-rata adalah 7%, maka pengeluarannya sebesar Rp.
132.800. Dengan sambungan daya pelanggan pada 450 VA maka dengan
asumsi power faktor 0,8 didapat sambungan daya dalam watt sebesar :
50 VA x 0.8 = 0.36 kw.
Maka konsumsi listrik dalam 1 bulan didapat : Kwh 1 bulan = 0.36 kw x 30
x 24 x Load faktor Dengan faktor beban sebesar 64.02 % maka :
Kwh 1 bulan = 0.36 kw x 30 x 24 x 0.6402
Kwh 1 bulan = 165.94 kw
Dengan biaya beban sebesar Rp. 12.000 (sesuai Keppres no. 103 tahun 2003
mengenai Tarif Dasar Listrik).
Biaya beban = Rp 11.000
Biaya pemakaian = 165.94 kWh/bulan Rp 518/kWh = Rp 85.956,8
Biaya total = biaya beban + biaya pemakaian = Rp 96.956,8
Sehingga daya beli listrik masyarakat Kabupaten Tanah Laut adalah: Daya
beli = (132.800/ 96.956,8) Rp 518/kWh = Rp 709.5 /kWh
Harga jual ini lebih rendah dari kemampuan daya beli energi listrik
rumah tangga yaitu Rp. 544.12/kWh sehingga harga jual Rp. 709.5/kWh
dapat dijangkau oleh masyarakat Kabupaten Tanah Laut.

12

3.8. Biaya Pembangkitan Energi Listrik PLTU Limbah Kelapa Sawit.


Tabel 9 Perbandingan Biaya PLTU Batubara dan PLT Biomassa- limbah
kelapa sawit.

(Sumber:PLN Statistics 2008, PT PLN (Persero) Jakarta, 2008, data diolah


kembali)
Dari table diatas dapat dilihat bahwa untuk jenis konversi energi
pembangkit listrik dengan menggunakan biomassa, mempunyai biaya
pembangkitan yang sedikit relative lebih murah dibanding dengan PLTU
batubara dan PLTP, karena PLTU biomassa menggunakan bahan bakar
sampah kelapa sawit, sehingga biayanya sangat murah. Selain memiliki
harga pembangkitan yang relative murah, biaya bahan bakar dari biomassa
merupakan energy renewable, sehingga tidak dapat habis.
3.9. Dampak Lingkungan
Dampak lingkungan yang ditimbulkan pada pembangkit ini tergolong
cukup rendah, bila dibanding dengan pembangkit yang menggunakan gas
dan batubara. Emisi Gas CO2 yang dihasilkan per kWh sekitar 1100 g pada
batubara, sedangkan pada pembangkit listrik berbahan bakar limbah kelapa
sawit hanya 16 g per kWh emisi gas CO2 nya. Dampak lain selain CO2
adalah gas nitrogen dioksida (NOx), partikulat (PM) dan belerang dioksida
(SO2) [10]. Gas hasil pembakaran limbah kelapa sawit menjadi listrik
tergolong cukup rendah jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil.

13

Penyumbang polusi terbesar adalah proses pengolahan kelapa sawit menjadi


minyak seperti terlihat pada table 10.
Tabel 10 Polutan Hasil Pembakaran Cangkang dan Serabut

14

BAB VI
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
1) Potensi luas area perkebunan kelapa sawit di kabupaten tanah laut sekitar
87.260,61 Ha. Dan pada saat ini penggunaan area sekitar 37.038 Ha,
besarnya area perkebunan kelapa sawit berimplikasi pada besarnya
produksi kelapa sawit. Dari produksi ini akan menimbulkan limbah,
limbah-limbah tersebut antara lain cangkang, serabut, bungkil kosong dan
lumpur. Limbah dari kelapa sawit ini memiliki kandungan kalori yang
cukup tinggi, kandungan kalori cangkang sekitar 3500-4100 kkal/kg,
serabut 2637-3998 kkal/kg dan Bungkil kosong

sekitar 4492 kkal/kg.

Cangkang dan Boiler dapat dipergunakan langsung sebagai bahan bakar


boiler. Bungkil kosong masih banyak mengandung air sehingga
pembakarannya sulit. Jadi diperlukan proses untuk mengeringkan bungkil
kosong ini. Sehingga diperlukan biaya yang sangat mahal, sehingga dalam
pengolahannya bungkil kosong ini tidak digunakan.
2) Dengan area perkebunan kelapa sawit sekitar 37.038 Ha, dapat diperoleh
limbah hasil produksi yang melimpah. Dengan kapasitas produksi 259.200
ton tandan buah segar pertahun akan dihasilkan 15.552 ribu ton cangkang,
31.104 ton serabut. Dengan sumber daya limbah kelapa sawit yang
melimpah dan dengan masa tumbuh tanaman kelapa sawit sekitar 6 bulan,
PLTU ini memiliki sifat kontinuitas yang terjaga sepanjang tahun.
3) Peralatan yang digunakan untuk konversi kelapa sawit menjadi energi
listrik memiliki tipe khusus terutama pada boiler. Boiler yang digunakan ini
menggunakan grate, grate ini digunakan untuk mengendalikan kecepatan
cangkang dan serabut yang diumpankan ke tungku dengan mengendalikan
komposisi bahan bakar. Kapasitas Cangkang dan serabut harus sesuai
komposisi sebab bila tidak sebuah komposisi pembakaran tidak akan
sempurna yang akan menyebabkan kerak pada grate boiler dan
menyebabkan rusaknya grate.
4) Dampak lingkungan akibat dari PLTU limbah kelapa sawit ini adalah
terjadi penurunan kualitas udara yaitu berupa peningkatan konsentrasi gas-

15

gas SOx, NOx, dan COx. Dampak lingkungan yang ditimbulkan pada
pembangkit ini tergolong cukup rendah, bila dibanding dengan pembangkit
yang menggunakan gas dan batubara. Emisi Gas CO2 yang dihasilkan per
kWh sekitar 1100 g pada batubara, sedangkan pada pembangkit listrik
berbahan bakar limbah kelapa sawit hanya 16 g per kWh emisi gas CO2
nya. Pada saat beroperasi pembangkit ini memerlukan setidaknya 1-2 ton
air untuk tiap 1 ton TBS yang diolah, hal ini akan mengakibatkan terjadi
penurunan kualitas air di sekitarnya dan menyebabkan kenaikan
temperature pada air sungai yang digunakan,

secara tidak langsung

mempengaruhi biotaair disekitar sungai.


5) Biaya investasi untuk pembangkit listrik tenaga uap bahan bakar limbah
kelapa sawit ini relative lebih murah dibanding dengan PLTU dan PLTP.
Untuk pembangkitan PLTU limbah kelapa sawit harga per kWh 0.0452
US$ sedangkan untuk PLTU batu bara biaya pembangkitannya per kWh
0.0597 US$ dan untuk PLT panas bumi per kWh 0.0746 US$ . Biaya
pembangkitan PLTU limbah kelapa sawit ini tergolong murah dikarenakan
biaya bahan bakar dari pembangkit ini tergolong limbah atau tidak bernilai,
sehingga proses pembangkitannya lebih murah bila dibanding dengan
pembangkit bahan bakar lain.
4.2.
Saran
1) Perlunya segera dilakukan upaya-upaya pemecahan permasalahan yang
mendesak terkait krisis kelistrikan yang terjadi di Kalimantan Selatan untuk
tercapainya pendistribusian tenaga listrik dalam jumlah yang cukup,
efisiensi yang tinggi, dan mutu yang baik. Perlu diadakan pergantian dari
bahan bakar fosil ke bahan bakar renewable, untuk mengatasi permasalahan
krisisnya energy listrik.
2) Pemanfaatan Biomassa sebagai salah satu energi alternatif di Indonesia
perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah karena potensi dari energi
terbarukan ini sangat besar dan potensial.
3) Perlunya penelitian lebih lanjut tentang pemanfaatan energi terbarukan
untuk pembangkit listrik sehingga didapatkan alternatif untuk diversifikasi
dan mendapatkan harga energi yang lebih kompetitif untuk jangka panjang.

16

4) Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit terbesar kedua di


dunia, dengan potensi luas wilayah perkebunan kelapa sawit. Maka
pembangkit ini sangat layak digunakan untuk mengatasi krisis energy. 5.
Masukan dari segenap aspek yang membaca Tugas Akhir ini sehingga
Tugas akhir ini dapat semakin disempurnakan.

DAFTAR PUSTAKA

Majalah Elektro Indonesia ,Pengembangan Energi Terbaharukan sebagai


energi alternatif diindonesia, Elektro Online dan indonesia Net, February
2001. www.elektroindonesia.com

17

Mahmudsyah

Syarifuddin,

Ir. M.Eng.,

Kenaikan

Harga

BBM

dan

Problematikanya, Serta Diversivikasi Energi Menghadapi Era Pengurangan


Subsidi BBM, Seminar, ITS- Surabaya, 24 April 2007.
Abdullahi. 30 november 2004.Power and energy conferenceThe Potensial of
palm oil as a dielectric fluid . IEEE 10.1109/Pecon 2004. pp 224-228.
Yusoff. Sumiani, Renewable energy from palm oil-innovation on effective
utilization of waste, University of Malaysia, September 2004, pp 87-93.
Jayantha.Weerarantne. August, 2006. Application of industrial ecology system
by applying life cycle analysis: A case study in a palm oil mill. Malaysia, pp
22-26.
Yeoh, B.G. 2004. A technical and economic analysis of heat and power
generation from biomethanation of palm oil mill effluent. Electricity Supply
Industry in Transition: Issues and Prospect for Asia.20(14-16): 63-78.
Chavalparit, Rulkens, W.H., Mol, A.P.J. & Khaodhair, S. 2006. Options for
environmental sustainability of the crude palm oil industry in Thailand
through enhancement of industrial ecosystems. Environment, Development
and Sustainability 8: 271287.
Wood BJ, Corley RHV. The energy balance of oil palm cultivation. Paper for
international oil palm conference, Kuala Lumpur; 1998.
Chee MS. Forum on bioenergy from palm oil mills. Chemistry and technology
conference. Malaysian Palm Oil Board; 2001.
Kinoshita,C M. Energy conversion Engineering Conference,1997 Potensial
for biomass electricity in four asia countries . IEEE 10.1109/IECEC . pp
1778-1784.

18

Anda mungkin juga menyukai