Anda di halaman 1dari 47

PRESENTASI KASUS

IKTERUS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204

Dokter pembimbing :
dr. Kuadiharto, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

PRESENTASI KASUS

IKTERUS

Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204

Dokter pembimbing :
dr. Kuadiharto, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2016

BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS

II.

Nama

: Ny. S

Usia

: 81 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Randuacir

Status perkawinan

: Menikah

Masuk RS

: Tanggal 7 Januari 2016

Bangsal

: Flamboyan

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga atas rujukan dari RS. PA, pasien datang dalam
kondisi lemas, BAB kehitaman BAK seperti teh, serta badan menguning termasuk
mata. Keluhan sudah dialami pasien sejak lama namun baru dirasakan memberat sekitar
2 bulan terakhir.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit gula, darah tinggi, liver, jantung, ginjal disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien tinggal bersama keluarganya, dan keluarga tidak memiliki gejala serupa keluhan
pasien. Riwayat sakit liver, hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung pada
keluarga disangkal.
Riwayat Personal Sosial
Merokok (-), konsumsi alkohol (-), konsumsi obat tertentu dalam jangka waktu lama
(-), sering jajan makanan diluar (-), pasien kurang aktif dalam kegiatan fisik semenjak
keluhan yang dirasakan.
Anamnesis Sistem:

III.

Kepala/Leher
THT
Respirasi
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Urogenital
Muskuloskeletal
Integumentum

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)


: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: BAB berwarna kehitaman
: Kencing berwarna pekat seperti teh
: Tidak ada keluhan
: Kulit menguning, nyeri (-)

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT PASIEN


1. S (Subjektif)
Lemas (+), BAB kehitaman, BAK seperti the, mual (-), muntah (-), sesak napas (-)
2. O (Objektif)
a. Kesan Umum
: Tampak lemas, Compos Mentis
b. Kesadaran
: E4V5M6, Compos Mentis
c. Vital Sign
-Tekanan darah : 110/60 mmHg
-Nadi
: 68x/menit
-Frekuensi napas : 19x/menit
-Suhu
: 36,8 0C
d. Kepala dan Leher
Kepala
: Normochepali
Mata
: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), reflek pupil
(+/+)
Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-)
Mulut : Karies (-/-)
Leher

: Pembesaran tiroid (-), kelenjar getah bening tidak teraba

membesar
e. Thorax

Cor auskultasi suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak terdengar bising atau
suara tambahan jantung
Pulmo
-Inspeksi kedua hemithorak simetris, tidak terdapat jejas, tidak ada ketinggalan
gerak
-Palpasi tidak ada nyeri tekan pada lapang paru, vocal fremitus tidak ada
peningkatan maupun penurunan
-Perkusi : sonor
-Suara dasar vesikuler (+/+) terdengar di lapang paru dekstra dan sinistra
-Suara ronkhi (-/-) tidak terdengar di lapang paru dekstra dan sinistra

-Suara amforik (-/-) tidak terdengar di lapang paru dekstra dan sinistra
-Suara wheezing (-/-) tidak terdengar di lapang paru dekstra dan sinistra
f. Abdomen
Bising usus (+), perkusi timpani
Nyeri tekan (+)
Hepar teraba membesar 3 jari dibawah arcus costa
konsistensi keras, permukaan licin tepi lancip
g. Ekstremitas
Akral dingin (-), edema (+) pitting pada ekstremitas bawah
h. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 5 Januari 2015
Pemeriksaan
Glukosa Sewaktu
Bilirubin total
Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek
SGOT
SGPT
HbsAg

Hasil
87
20,74
14,88
5,86
95
50
Negatif

Satuan
Mg/dL
Mg/dL
Mg/dL
Mg/dL
u/l
u/l

Nilai Rujukan

L<37
L<42

P<31
P<32

Pemeriksaan serologi tanggal 9 Januari 2016, dengan hasil Anti HCV negatif.
Pemeriksaan USG tanggal 9 Januari 2016, dengan hasil yang menunjukkan kesan
gambaran awal sirosis hepatis dengan asites.
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 12 Januari 2016
Pemeriksaan
SGOT
SGPT
Bilirubin Total
Bilirubin Direk
Bilirubin Indirek
3. A (Asessment)
Observasi Ikterus
Hepatomegali
4. P (Planing)
Infus D5%
Peroral :

Hasil
53
35
17,3
8,6
8,7

Satuan
u/l
u/l
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

Nilai Rujukan
<31
<32
<1
<0,25
<0,7

Omeprazole

3x1

Curcuma

3x1

B.Complex

2x1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Istilah jaundice berasal dari bahasa Perancis jaune yang berarti kuning atau
ikterus dari bahasa yunani icteros menunjukkan pewarnaan kuning pada kulit, sklera atau
membran mukosa sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.
Ikterus atau jaundice menandakan adanya peningkatan produksi bilirubin atau eliminasi
bilirubin dari tubuh yang tidak efektif.1,2
Penumpukan bilirubin dalam aliran darah menyebabkan pigmentasi kuning dalam
plasma darah yang menimbulkan perubahan warna pada jaringan yang memperoleh
banyak aliran darah tersebut. Kadar bilirubin serum akan menumpuk kalau produksinya
dari heme melampaui metabolisme dan ekskresinya. Ketidak seimbangan antara produksi
dan klirens dapat terjadi akibat pelepasan prekursor bilirubin secara berlebihan ke dalam
aliran darah atau akibat proses fisiologi yang mengganggu ambilan (uptake) hepar,
metabolisme ataupun ekskresi metabolit ini7.
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi
kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L) atau sekitar 2 kali batas
atas kisaran normal. Kadar bilirubin serum normal adalah sebagai berikut. Bilirubin direk
: 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.0 mg/dL5.
Jaringan sklera kaya dengan elastin yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap
bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya merupakan tanda yang lebih sensitif
untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus yang menyeluruh. Tanda dini
yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang gelap yang terjadi akibat
eksresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukoronid. Pada ikterus yang
mencolok, kulit dapat berwarna kehijauan karena oksidasi sebagian bilirubin yang
beredar menjadi biliverdin7.

B. ANATOMI HEPAR DAN KANDUNG EMPEDU


1. Hepar

Hepar terdiri dari dua lobus besar, yaitu lobus kanan dan kiri, yang mengisi
kavitas abdominis bagian kanan atas dan tengah, tepat di bawah diafragma. Sel-sel
hepar memiliki banyak fungsi, salah satunya fungsi pencernaan yaitu menghasilkan
empedu. Empedu memasuki duktus koledokus minor yang disebut kanalikuli empedu
pada sel-sel hepar, yang kemudian akan bergabung menjadi saluran yang lebih besar
dan akhirnya bersatu membentuk duktus hepatikus, yang akan membawa empedu
keluar dari hepar. Duktus hepatikus akan bersatu dengan duktus sistikus biliaris untuk
membentuk duktus koledokus komunis, yang akan membawa empedu kedalam
duodenum8.
Empedu sebagian besar tersusun atas air dan memiliki fungsi ekskretorik, yaitu
membawa bilirubin dan kelebihan kolesterol ke dalam usus untuk dikeluarkan
bersama feses. Fungsi pencernaan empedu dilakukan oleh garam empedu, yang akan
mengemulsikan lemak di dalam intestinum tenue. Emulsifikasi berarti pemecahan
lemak yang berukuran besar menjadi molekul yang berukuran kecil. Proses ini
bersifat mekanik, bukan kimiawi. Produksi empedu dirangsang oleh hormon sekretin
yang diproduksi oleh duodenum ketika makanan memasuki intestinum tenue8.

Gambar 1. Anatomi hepar9


2. Kandung Empedu

Vesica biliaris atau kandung empedu adalah suatu kantong dengan panjang sekitar
7,5 10 cm, yang terletak pada permukaan bawah lobus kanan hepar. Empedu di
dalam duktus hepatikus, hepar akan mengalir melalui duktus sistikus ke dalam vesika
biliaris, yang akan menampung empedu sampai ia dibutuhkan kedalam usus halus.
Kandung empedu juga akan meningkatkan konsentrasi empedu dengan mengabsorbsi
air. Ketika makanan yang mengandung lemak memasuki duodenum mukosa
duodenum akan mensekresikan hormon kolesistokinin. Hormon ini akan merangsang
kontraksi otot polos pada dinding vesika biliaris, yang akan mendorong empedu
memasuki duktus sistikus, lalu kedalam duktus koledokus komunis dan berlanjut
kedalam duodenum8.

Gambar 2. Anatomi Kandung Empedu10


C. METABOLISME BILIRUBIN NORMAL
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
a. Produksi
Bilirubin adalah produk akhir metabolisme protoporfirin besi atau heme,
yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim
sitokrom, katalase dan heme bebas), mioglobin otot serta eritropoesis yang tidak
efektif di sumsum tulang. Sekitar 80-85% bilirubin terbentuk dari pemecahan
eritrosit tua dalam sistem monosit makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit adalah

120 hari. Setiap hari dihancurkan sekitar 50 ml darah dan menghasilkan 250-350
mg bilirubin. Pemecahan heme menghasilkan biliverdin yang akan diubah
menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak
dan tidak larut dalam air, sehingga tidak dapat diekskresi dalam empedu atau
urin.11,12
b. Transportasi
Bilirubin tak terkonjugasi (indirek) berikatan dengan albumin dalam suatu
kompleks larut air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Setiap molekul
albumin mampu mengikat satu molekul bilirubin. Artinya pada kadar bilirubin
serum normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan
albumin, dengan sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain11.
c.

Liver Uptake
Bilirubin tak terkonjugasi yang telah berikatan dengan albumin dalam
suatu kompleks larut-air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Ambilan
oleh sel hati memerlukan dua protein hati yaitu yang diberi simbol sebagai protein
Y dan Z.11,12

d. Konjugasi
Dalam sel hepar bilirubin indirek dikonjugasi oleh enzim glukoronil
transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam
lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urin.dalam
air. Didalam hati kira-kira 80% bilirubin terdapat dalam bentuk bilirubin direk
(terkonjugasi atau bilirubin II)11.
e. Ekskresi
Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transport
bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses
aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresi ke dalam empedu, kecuali setelah
proses fotooksidasi atau fotoisomerisasi. Bakteri usus mereduksi bilirubin II
menjadi serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat
ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10-20% urobilinogen mengalami
siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam urin11.

Gambar 2. Fisiologi Bilirubin9


D. PATOFISIOLOGI IKTERUS
Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi:
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati
3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan
ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme


yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi11.
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan
Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah
merupakan penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang
timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan
hati. Akibatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah meningkat. Meskipun
demikian kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/100 ml pada penderita
hemolitik berat, dan ikterus yang timbul bersifat ringan, berwarna kuning pucat.
Karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, maka tidak dapat
diekskresikan ke dalam kemih, dan bilirubinuria tidak terjadi. Tetapi pembentukan
urobilinogen menjadi meningkat (akibat.peningkatan beban bilirubin terhadap hati
peningkatan konjugasi dan ekskresi), yang lanjutnya mengakibatkan peningkatan
ekskresi dalam feses dan kemih. Kemih dan feses dapat berwarna gelap11.
Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah hemoglobin abnormal
(hemoglobin S pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal (sferositosis
herediter), antibodi dalam serum (Rh atau inkompatibilitas transfusi atau sebagian
akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian beberapa obat-obatan, dan beberapa
limfoma (pembesaran limpa dan peningkatan hemolisis). Sebagian kasus ikterus
hemolitik dapat diakibatkan oleh peningkatan destruksi sel darah merah atau
prekursornya dalam sumsum tulang (talasemia, anemia pernisiosa, porfiria). Proses
ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif11.
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin secara berlebihan yang
berlangsung kronik mengakibatkan pembentukan batu empedu yang banyak
mengandung bilirubin; di luar itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak
membahayakan. Pengobatan langsung ditujukan untuk memperbaiki penyakit
hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml
pada bayi dapat mengakibatkan kern ikterus11.
2.

Gangguan pengambilan bilirubin

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat albumin oleh sel-sel hati
dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkannya pada protein
penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap
pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati: asam flavaspidat (dipakai untuk mengobatl
cacing pita), novobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik. Hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat yang menjadi penyebab
dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert dianggap
disebabkan oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh
hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah ditemukan defisiensi
glukoroniltransferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi
bilirubin11.
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( <12,9 mg/100 ml) yang
mulai terjadi pada hari kedua sampai kelima lahir disebut ikterus fisiologis pada
neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim
glukoroniltransferase. Aktivitas glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa
hari setelah lahir sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus akan
menghilang11.
Ketika bilirubin yang tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20
mg/100 ml, terjadi suatu keadaan yang disebut kern ikterus. Keadaan ini dapat timbul
bila suatu proses hemolitik (seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir
dengan defisiensi glukoronil transferase normal. Kern ikterus atau bilirubin
ensefalopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal
ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak diobati maka akan terjadi
kematian atau kerusakan neurologik berat. Tindakan pengobatan yang saat ini
dilakukan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan
fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen (gelombang
yang panjangnya 430 sampai 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini
menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto-isomerisasi) menjadi isomer
isomer yang larut dalam air, isomer ini akan diekskresikan dengan cepat ke dalam
empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu11.

Ada tiga kondisi herediter yang menyebabkan defisiensi progresif dari


glukoronil transferase: sindrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II.
Sindrom Gilbert merupakan suatu penyakit familial ringan yang ditandai oleh
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan ( <5 mg/1 00 ml) dan ikterus. Beratnya
ikterus dapat berubah- ubah, dan sering kali menjadi lebih buruk jika penderita puasa
lama, infeksi, operasi dan terlalu banyak minum alkohol. Awitannya paling sering
terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert adalah keadaan yang cukup sering timbul dan
dapat menyerang sampai 5% penduduk pria. Tes fungsi hati normal, demikian juga
kadar

urobilinogen

kemih

dan

feses. Tidak

ada

bilirubinuria.

Penelitian

mengungkapkan bahwa penderita-penderita ini mengalami defisiensi parsial


glukoroniltransferase. Keadaan ini dapat diobati dengan fenobarbital, yang
merangsang aktivitas enzim glukoronil transferase11.
Sindrom Crigler-Najjar tipe I merupakan gangguan herediter yang jarang,
penyebabnya adalah gen resesif, dengan akibat glukoronil transferase tidak ada sama
sekali sejak lahir. Karena konjugasi bilirubin tidak dapat terjadi, maka empedu jadi
tidak berwarna dan kadar bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100 ml,
sehingga menyebabkan kern ikterus. Fototerapi dapat mengurangi hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi untuk sementara waktu, tetapi biasanya bayi akan meninggal pada
tahun pertama kehidupannya. Sindrom Crigler-Najjar tipe II adalah bentuk yang lebih
ringan dari penyakit ini, di mana defisiensi glukoronil transferase hanya ringan.
Kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum lebih rendah (6 sam pai 20 mg/100 ml)
dan ikterus dapat tidak terlihat sampai masa remaja. Fenobarbital yang mening katkan
aktivitas glukoronil transferase sering kali dapat menghilangkan ikterus pada
penderita ini11.
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor
fungsional

maupun

obstruktif,

terutama

mengakibatkan

hiperbilirubinemia

terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat
diekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubinuria dan kemih berwarna
gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga feses
terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti

kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali dalam
serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam
empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan
oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning-jingga
muda atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu.11
Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan
nama lain dari ikterus obstrukfif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel
hati, kanali kuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu di
luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokomia yang sarna11.
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular di
mana sel parenkim hati mengalami kerusakan akibat virus hepatitis. Pada penyakit
ini, pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat
kanalikuli atau kolangiola. Penyakit hepatoselular biasanya menyebabkan gangguan
pada semua fase metabolisme bilirubin-Pengambilan, konjugasi, dan ekskresi, tetapi
karena ekskresi biasanya yang paling terganggu, maka yang paling menonjol adalah
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik yang lebih jarang
adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan ganguan herediter Dubin-Johnson serta
sindrom Rotor. Pada keadaan ini, terjadi gangguan transfer bilirubin melalui membran
hepatosit. Obat yang sering menimbulkan gangguan ini adalah halotan (anestetik),
kontrasepsi oral, estrogen, steroid anabolik, isoniazid, dan klorpromazin11.
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu,
biasanya pada ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas dapat pula
menyebabkan tekanan pada duktus koledokus dari luar; juga karsinoma ampula
Vateri. Penyebab yang lebih jarang adalah striktur yang timbul pasca peradangan atau
setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik
seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus kanan atau
kiri11.
Berikut merupakan tabel gambaran khas ikterus hemolitik, hepatoseluler, dan
obstruktif:
GAMBARAN

HEMOLITIK

HEPATOSELULER

OBSTRUKTIF

Warna kulit

Kuning pucat

Warna Urine

atau tua
Normal (atau gelap Gelap

Warna feses

dengan urobilin)
terkonjugasi)
terkonjugasi)
Normal atau gelap Pucat (lebih sedikit Warna dempul (tidak
(lebih

Proritus
Bilirubin

sterkobilin)
Tidak ada
serum Meningkat

Oranye kuning muda Kuning hijau muda


atau tua
(bilirubin Gelap

banyak sterkobilin)

(bilirubin

ada sterkobilin)

Tidak menetap
meningkat

Biasanya menetap
meningkat

jugasi)
Bilirubin serum direct Normal

meningkat

Meningkat

(terkonjugasi)
Bilirubin urine
Urobilinogen urine

Meningkat
Sedikit meningkat

Meningkat
menurun

indirect (tak terkon-

Tidak ada
Meingkat

E. PENYAKIT TERKAIT GANGGUAN BILIRUBIN


a. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
Hemolisis. walaupun hati yang normal dapat memetabolisme kelebihan bilirubin,
namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui
kemampuannya. Pada keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih
dari 3-5 mg/dL (> 51-86 umol/L) kecuali kalau terdapat kerusakaan hati juga. Namun
demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat
mengakibatkan ikterus yang lebih berat.13
Sindrom Gilbert. Gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek
(tak terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis, karena keadaan ini sering
disalahartikan sebagai penyakit hepatitis kronis. Patogenesisnya belum dapat

dipastikan. Adanya gangguan (defek) yang kompleks dalam proses pengambilan


bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL (34-86 umol/L) yang
cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stres lainnya. Karenanya mungkin ada
hubungannya dengan sindrom Crigler-Najjar tipe II.
Telah dilaporkan bahwa Sindrom Gilbert dapat berkontribusi terhadap terjadinya
percepatan ikterus neonatal, terutama pada kasus peningkatan hemolisis akibat
penyakit seperti defisiensi Glukosa-6-phosphate dehidrogenase. Situasi ini bisa sangat
berbahaya jika tidak cepat diobati karena kadar bilirubin yang tinggi menyebabkan
kecacatan neurologis ireversibel dalam bentuk kernikterus.13
Gejala yang tampak pada penderita antara lain merasa lelah sepanjang hari
(fatigue), penurunan konsentrasi, kehilangan nafsu makan, sakit perut, berat badan
turun, gatal-gatal (tanpa ruam), dll. tetapi penelitian ilmiah menemukan ada pola yang
jelas antara gejala yang merugikan terkait dengan peningkatan kadar bilirubin tak
terkonjugasi pada orang dewasa14.
Orang dengan Sindrom Gilbert memiliki peningkatan bilirubin tak terkonjugasi,
sedangkan bilirubin terkonjugasi biasanya dalam kisaran normal dan kurang dari 20%
dari total. Kadar bilirubin yang dilaporkan dari 20 pM sampai 90 pM (1,2-5,3 mg /
dL) dibandingkan dengan jumlah normal <20 pM. Pasien akan memiliki rasio
bilirubin tak terkonjugasi / terkonjugasi (indirect / direct) yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang tanpa Sindrom Gilbert. Tingkat bilirubin total sering lebih
meningkat jika sampel darah diambil setelah berpuasa selama dua hari dan cepat
dapat digunakan untuk diagnosis15.
Sindrom gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal
hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek
yang dominan. Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau
retikulositosis. Histologi hati normal. Pasien harus diyakinkan bahwa tidak ada
penyakit hati.
Sindrom Crigler-Najjar. Penyakit yang diturunkan dan jarang ini disebabkan
oleh karena adanya keadaan kekurangan glukuro- niltransferase, dan terdapat dalam 2
bentuk. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe I (lengkap=komplit) mempunyai
hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Pasien
dengan

penyakit

autosom

resesif

tipe

II

(sebagian=parsial)

mempunyai

hiperbilirubinemia yang kurang berat (< 20 mg/dL, <342 umol/L) dan biasanya bisa

hidup sampai masa dewasa tanpa kerusakan neurologik. Fenobarbital, yang dapat
merangsang kekurangan glukuronil transferase, dapat mengurangi kuning.13
b. Hiperbilirubinemia Konjugasi
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non-Kolestasis
Sindrom Dubin-Johnson. Penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang
ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya gangguan ekskresi berbagai
anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu.
Berbeda dengan sindrom Gilbert hiper-bilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin
terkonjugasi dan empedu terdapat dalam urin.
Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran
histologi normal. Nilai aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena
sebab yang belum diketahui gangguan yang khas ekskresi korpoporfirin urin dengan
rasio reversal isomer I; III menyertai keadaan ini.
Gangguan ekskresi empedu bilirubin glukuronidase disebabkan oleh mutasi pada
kanalikular multidrug resistance protein 2 (MRP2). Kelainan pigmen gelap pada hati
karena metabolit epinefrin polimerisasi, bukan bilirubin16.

Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis


Kolestasis Intrahepatik. Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian ikterus

obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalu ada. Aliran
empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus),
sampai ampula Vater. Untuk kepentingan klinis, membedakan penyebab sumbatan
intrahepatik atau ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestatik
intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol dan
penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier
primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik dan penyakit-penyakit lain
yang jarang.
Virus hepatitis, alkohol, dan keracunan obat (drug induced hepatitis), dan
kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik
mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A
merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang
timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada
tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala
hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati

menahun juga disertai gejala kuning, sehingga kadang-kadang didiagnosis salah


sebagai penyakit hati akut.
Hepatitis virus akut. Merupakan suatu infeksi sistemik terutama mengenai hati.
Secara klinik tampak rasa tidak enak badan, ,mual, muntah, diare dan sedikit demam
diikuti dengan urine warna gelap, ikterus dan nyeri hepatomegali; mungkin secara
subklinik diketahui berdasarkan kenaikan kadar aspartat dan alanin aminotransferase
(AST dan ALT). Hepatitis B mungkin berkaitan dengan fenomena kompleks imun,
termasuk artritis, penyakit seperti serum sickness, glomerulonefritis dan vaskulitis
seperti poliartritis nodosa. Penyakit seperti hepatitis mungkin penyebabnya tidak
hanya oleh virus hepatotropik (A,B,C,D,E) tetapi juga oleh virus-virus lainnya
(Epstein-Barr, CMV, coxsackievirus, dll), alkohol, obat-obatan, hipotensi dan iskemia
dan penyakit traktus biliaris.
Hepatitis A (HAV) Penyakit infeksi akut pada hati yang disebabkan oleh virus
hepatitis A (HAV). Virus picorna 27-nm dengan untaian tunggal genom RNA. Akibat
sembuh dalam 6-12 bulan, biasanya tanpa gejala sisa; sebagian kecil akan tampak
satu atau dua gambaran klinik dan serologik; pada beberapa kasus, timbul kolestasis
yang jelas menunjukkan terjadinya sumbatan biliaris; jarang bersifat fatal (hepatitis
fulminan), tidak ada karier kronis.
Gejala awal infeksi hepatitis A biasanya sering dianggap influenza, tapi pada
beberapa penderita, terutama anak-anak, tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Gejala biasanya muncul 2 sampai 6 minggu (masa inkubasi) setelah infeksi awal 17.
Gejala biasanya berlangsung kurang dari 2 bulan, meskipun beberapa orang bisa sakit
selama 6 bulan: kelelahan, demam mual muntah kehilangan nafsu makan,
menguningnya kulit dan mata karena hiperbilirubinemia, garam empedu yang
disaring dari aliran darah dan diekskresikan dalam urin, memberikan warna kuning
gelap, tinja berwarna tanah liat18.
Meskipun HAV diekskresikan dalam tinja menjelang akhir masa inkubasi,
diagnosis spesifik dibuat oleh deteksi antibodi IgM HAV-spesifik dalam darah.
Antibodi IgM hanya muncul dalam darah menyusul infeksi hepatitis akut A. Hal ini
terdeteksi satu sampai dua minggu setelah infeksi awal dan berlangsung sampai 14
minggu. Antibodi IgG dalam darah muncul berarti tahap akut penyakit sudah selesai
dan penderita akan kebal terhadap infeksi selanjutnya. Antibodi IgG HAV juga

ditemukan dalam darah orang tervaksinasi dan tes untuk kekebalan terhadap virus
didasarkan pada deteksi antibodi ini19. Selama infeksi tahap akut, enzim hati alanin
transferase (ALT) muncul dalam darah yang nilainya jauh lebih tinggi dari normal.
Enzim berasal dari sel-sel hati yang telah dirusak oleh virus20.
Epidemiologi penularan fekal-oral; endemik di negara-negara

kurang

berkembang; epidemi yang ditularkan melalui makanan dan air; wabah pada pusatpusat perawatan, tempat tinggal. Pencegahan setelah paparan: imun globulin 0,02
mL/kg IM dalam 2 minggu pada kontak dalam rumah tangga (bukan kontak biasa di
tempat kerja). Sebelum paparan: vaksin HAV tidak aktif 1mL IM (dosis satuan
tergantung pada formulasi); setengah dosis pada anak-anak; ulangan pada 6-12 bulan;
sasaran pada wisatawan, calon tentara, perawat hewan, petugas perawatan, pekerja
laboratorium, penderita dengan penyakit hati kronis, terutama hepatitis C.
Hepatitis B (HBV) Merupakan penyakit infeksi peradangan hati yang disebabkan
oleh virus Hepatitis B (HBV). Hepadna virus 42-nm dengan selubung permukaan luar
(HbsAg), inti nukleokapsid dalam (HbcAg), DNA polimerase dan sebagian ulir ganda
DNA genome dari 3200 nukleotida. Bentuk sirkulasi HbcAg adalah HbeAg, suatu
petanda replikasi virus dan kemampuan infeksi. Serotip banyak dan heterogen genetik

Virus ini ditularkan melalui paparan darah atau cairan tubuh seperti air mani dan
cairan vagina, sedangkan DNA virus telah terdeteksi dalam air liur, air mata, dan urin
dari karier kronis. Infeksi perinatal merupakan rute utama infeksi pada daerah
endemik (terutama negara berkembang)21.
Infeksi akut virus hepatitis B dikaitkan dengan hepatitis viral akut. Penyakit yang
diawali dengan sakit secara menyeluruh, kehilangan nafsu makan, mual, muntah,
nyeri di seluruh tubuh, demam ringan, urin berwarna gelap, dan kemudian
berkembang menjadi ikterus22.
Infeksi kronis virus hepatitis B dapat bersifat asimtomatik atau mungkin
berhubungan dengan peradangan kronis hati (hepatitis kronis), yang dapat mengarah
ke sirosis setelah beberapa tahun. Jenis infeksi ini dapat meningkatkan insiden
karsinoma hepatoseluler (kanker hati). Pasien karier kronis dianjurkan untuk
menghindari mengkonsumsi alkohol karena akan meningkatkan risiko mereka terkena

sirosis dan kanker hati. Virus hepatitis B telah dikaitkan dengan perkembangan
glomerulonefritis membranosa (GNM)23.
Kemungkinan sembuh > 90%, hepatitis fulminan (<1%), hepatitis kronis atau
karier (hanya 1-2% imunokompeten pada orang dewasa; lebih tinggi pada neonatus,
usia lanjut, gangguan imunologik), sirosis, dan karsinoma hepatoselular (terutama
setelah infeksi kronis yang dimulai pada bayi atau awal masa kanak-kanak).
Diagnosis HbsAg dalam serum (infeksi akut atau kronis); IgM anti-HBc (awal
anti HBc mengindikasi adanya infeksi akut atau baru saja terjadi infeksi). Tak lama
setelah munculnya HBsAg, antigen lain yang disebut antigen e hepatitis B (HBeAg)
akan muncul. Secara tradisional, kehadiran HBeAg dalam serum host dikaitkan
dengan replikasi virus tingkat yang jauh lebih tinggi dan meningkatkan infektivitas,
namun varian dari virus hepatitis B tidak menghasilkan 'e' antigen, sehingga aturan ini
tidak selalu berlaku. Jika imunitas host mampu melawan infeksi, akhirnya HBsAg
akan menjadi tidak terdeteksi dan akan diikuti oleh antibodi IgG terhadap antigen
permukaan hepatitis B dan antigen inti, (anti-HBs dan anti HBc IgG). Waktu antara
penghapusan HBsAg dan munculnya anti-HBs disebut periode jendela. Seseorang
dengan HbsAg negatif tetapi anti-HBs positif berarti telah sembuh dari penyakitnya
atau telah divaksinasi sebelumnya24. Individu dengan HBsAg positif selama
setidaknya enam bulan dianggap sebagai pembawa hepatitis B. Pembawa virus
mungkin mengidap hepatitis B kronis, yang akan tercermin dengan peningkatan
serum alanine aminotransferase (ALT) dan peradangan pada hati, seperti yang
digambarkan pada pemeriksaan biopsi25. Tes yang paling sensitif adalah mengetahui
HBV DNA dalam serum; umumnya tidak diperlukan untuk diagnosis rutin.
Epidemiologi perkutan (tusukan jarum), seksual atau penularan perinatal.
Endemik di sub-Sahara Afrika dan Asia Tenggara, dimana hampir 20% penduduk
terkena infeksi, biasanya pada waktu usia muda.
Pencegahan setelah orang yang belum divaksinasi terpajan: globin imun hepatitis
B (HBIg) 0,06 mL/kg BB secara IM segera setelah tertusuk jarum terinfeksi sampai
14 hari setelah pajanan seksual disertai serangkaian vaksinasi. Pada paparan perinatal
(ibu HbsAg+) HBIg 0,05 mL pada paha segera setelah lahir dengan vaksinasi dimulai
pada 12 jam pertama kehidupan. Sebelum paparan: vaksin hepatitis B rekombinan IM
(dosis tergantung pada formulasi untuk dewasa atau untuk anak-anak dan

hemodialis); pada 0; 1; dan 6 bulan; suntikan pada deltoid bukan pada bokong.
Ditargetkan untuk kelompok risiko tinggi (misalnya pekerja kesehatan, individu
dengan pasangan seksual banyak, pengguna obat IV, pasien hemodialisis, hemofilia,
kontak rumah tangga dan kontak seksual dari karier HbsAg, individu bepergian ke
daerah endemik, anak-anak yang tidak divaksinasi <18 tahun). Sekarang dianjurkan
vaksinasi secara menyeluruh pada seluruh anak di Amerika Serikat.
Hepatitis C (HCV) disebabkan oleh virus mirip flavi virus dengan genom RNA
yang terdiri dari >9000 nukleotida (mirip dengan virus demam kuning, virus dengue),
heterogenitas genetik. Periode inkubasi 7-8 minggu. Infeksi virus ini sering kali tanpa
gejala, tetapi infeksi kronis dapat menyebabkan jaringan parut hati dan akhirnya
menjadi sirosis, yang umumnya terlihat setelah beberapa tahun kemudian. Dalam
beberapa kasus, orang-orang dengan sirosis akan berkembang menjadi gagal hati,
kanker hati atau varises esofagus dan lambung yang mengancam jiwa26.
Perjalanan klinis sering secara klinis ringan dan menjadi nyata karena
peningkatan secara fluktuasi kadar serum aminotransferase; > 50% cenderung kronis,
penyakit menuju ke sirosis pada > 20%. Infeksi hepatitis C menyebabkan gejala akut
pada 15% kasus. Gejala umumnya ringan dan samar-samar, termasuk nafsu makan
menurun, kelelahan, mual, nyeri sendi, dan penurunan berat badan. Sebagian besar
kasus infeksi akut tidak berhubungan dengan gejala ikterus27.
Sekitar 80% dari mereka yang terkena virus berkembang menjadi infeksi kronis.
Kebanyakan tanpa gejala selama beberapa dekade awal infeksi, meskipun hepatitis C
kronis dapat dikaitkan dengan gejala kelelahan. Hepatitis C menahun menjadi
penyebab utama sirosis dan kanker hati. Sekitar 10-30% orang berkembang menjadi
sirosis lebih dari 30 tahun. Sirosis lebih sering pada mereka yang mempunyai infeksi
tambahan hepatitis B atau HIV, pecandu alkohol, dan orang-orang jenis kelamin lakilaki. Mereka yang berkembang menjadi sirosis memiliki risiko 20 kali lipat lebih
besar menjadi karsinoma hepatoseluler. Hepatitis C adalah penyebab dari 27% kasus
sirosis dan 25% karsinoma hepatoseluler di seluruh dunia28.
Sirosis hati dapat menyebabkan hipertensi portal, asites (akumulasi cairan di
perut), mudah memar atau pendarahan, varises (vena membesar, terutama di perut dan
kerongkongan), ikterus, dan sindrom gangguan kognitif dikenal sebagai ensefalopati.
Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukannya transplantasi hati29.

Diagnosis menggunakan Anti-HCV dalam serum. Sekarang imunoassay generasi


ketiga memasukkan protein dari inti, bagian NS3 dan NS5. Indikator yang paling
sensitif infeksi HCV adalah HCV RNA.
Hepatitis C kronis didefinisikan sebagai infeksi dengan virus hepatitis C yang
bertahan selama lebih dari enam bulan berdasarkan kehadiran RNA-nya. Infeksi
kronis biasanya tanpa gejala selama beberapa dekade pertama. Paling sering
ditemukan setelah pemeriksaan enzim hati yang meningkat atau pada pemeriksaan
rutin kelompok risiko tinggi. Tetapi tes ini tidak dapat membedakan antara infeksi
akut dan kronis30.
Epidemiologi HCV berperan > 90% pada kasus transfusi yang berkaitan dengan
hepatitis. Penggunaan obat IV berperan > 50% dari kasus-kasus hepatitis C yang
dilaporkan. Sedikit adanya bukti tentang penularan melalui seksual atau perinatal.
Pencegahan jangan gunakan donor darah yang dibayar, melakukan tes darah dari
donor untuk anti-HCV. Anti-HCV diketahui dari imunoassay enzim dalam darah
donor dengan ALT normal sering memberikan positif palsu (30%); hasilnya
sebaiknya dipastikan melalui pemeriksaan HCV RNA dalam serum.
Sirosis Hepatis Merupakan konsekuensi dari penyakit hari kronis yang ditandai
dengan penggantian jaringan hati dengan jaringan fibrotik, jaringan parut, dan nodul
regeneratif (benjolan yang terbentuk sebagai hasil regenerasi jaringan yang telah
rusak. Penyakit ini mengarah ke hilangnya fungsi hati. Sirosis umumnya disebabkan
oleh alkoholisme, hepatitis B, hepatitis C, dan penyakit fatty liver, namun tidak
menutup kemungkinan oleh penyebab yang lainnya. Beberapa kasus didapatkan
idiopatik31.
Hati memainkan peran penting dalam sintesis protein (misalnya, albumin, faktor
pembekuan dan komplemen), detoksifikasi dan penyimpanan (misalnya vitamin A).
Selain itu, hati berpartisipasi dalam metabolisme lipid dan karbohidrat. Sirosis sering
didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis). Jika penyebabnya dihilangkan pada
tahap ini, perubahan tersebut masih reversibel. Patologis khas sirosis adalah
pengembangan jaringan parut yang menggantikan parenkim normal, menghalangi
aliran darah portal melalui organ dan mengganggu fungsi normal. Penelitian terbaru
menunjukkan peran penting dari sel stelat, jenis sel yang biasanya menyimpan
vitamin A, dalam perkembangan sirosis. Kerusakan parenkim hati menyebabkan

aktivasi sel stelat, yang menjadi kontraktil (disebut myofibroblast) dan menghalangi
aliran darah dalam sirkulasi. Di samping itu, teraktivasi juga TGF-1, yang mengarah
ke respon fibrosis dan proliferasi jaringan ikat. Garis-garis jaringan fibrosa yang
memisahkan nodul-nodul hati, yang akhirnya menggantikan arsitektur hati seluruh,
yang menyebabkan penurunan aliran darah sistemik. Limpa menjadi padat, yang
menyebabkan hipersplenisme dan peningkatan penyerapan trombosit. Hipertensi
portal bertanggung jawab atas komplikasi yang paling parah sirosis32.
Kolestatis Ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis ekstrahepatik
adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif
lebih jarang adalah striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus,
karsinoma duktus koledokus, pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan kolangitis
sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya
sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanis empedu
Efek patofisiologi mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang
terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan
kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan
campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam
urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran
cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan
sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungan belum
jelas sehingga patogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan vitamin K, gangguan
ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada
keadaan kolestasis yang berlangsung lama (primary biliary cirrhosis), gangguan
penyerapan Ca dan vitamin D dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan
dapat menyebabkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati
dan esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; Konsentrasi trigliserida
tidak terpengaruh.
Kolelitiasis Diartikan adanya batu di kantong empedu disebut juga dengan
Gallstone. Jika batu empedu bermigrasi turun ke saluran empedu, kondisi tersebut

disebut sebagai koledokolitiasis. Koledokolitiasis itu sendiri sering dikaitkan dengan


obstruksi saluran empedu yang dapat menyebabkan penyakit ascending cholangitis.
Batu empedu yang bermigrasi ke tingkat ampula Vater dapat menghambat sistem
eksokrin pankreas, yang selanjutnya dapat mengakibatkan pankreatitis.
Epidemiologi satu juta kasus baru kolelitiasis setiap tahun di Amerika Serikat.
Faktor predisposisi mencakup demografik/genetik (prevalensi meningkat pada Indian
Amerika Utara), obesitas, berat badan turun, hormon seks wanita, usia, penyakit
ileum, kehamilan, hiperlipidemia tipe IV dan sirosis.
Batu empedu kolesterol terbentuk ketika empedu mengadung terlalu banyak
kolesterol dan tidak diimbangi dengan jumlah garam empedu. Selain konsentrasi
kolesterol yang tinggi, ada dua faktor yang menyebabkan batu empedu. Yang pertama
adalah seberapa sering dan seberapa baik kontraksi kandung empedu, pengosongan
yang tidak lengkap dan tidak sering dapat mengakibatkan overconcentrated dan
berkontribusi dalam pembentukan batu empedu. Hal ini dapat disebabkan oleh
resistensi yang tinggi terhadap aliran empedu dari kantong empedu karena geometri
internal yang rumit dari duktus sistikus. Faktor kedua adalah adanya protein dalam
hati dan empedu yang mendorong atau menghambat kristalisasi kolesterol menjadi
batu empedu. Selain itu, peningkatan kadar hormon estrogen, sebagai akibat dari
kehamilan atau terapi hormon, atau penggunaan kontrasepsi oral kombinasi yang
mengandung estrogen dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam empedu dan juga
mengurangi gerakan kantong empedu, sehingga memicu pembentukan batu empedu33.
Gejala dan tanda batu empedu adalah tenang yaitu terdapat pada penderita
tanpa gejala. Gejala terdapat jika batu menimbulkan inflamasi atau obstruksi duktus
sistikus atau duktus biliaris komunis. Gejala utama: (1) kolik biliaris sakit hebat
terus menerus pada kuadran kanan atas di epigastrium yang mulainya mendadak;
sering terdapat 30-90 menit setelah makan, berakhir sampai beberapa jam dan
terkadang menjalar ke skapula kanan atau punggung; (2) mual, muntah. Pada
pemeriksaan fisik mungkin normal atau tampak nyeri epigastrium atau pada kuadran
kanan atas (RUG).
Laboratorium terkadang, ringan dan sedikit peningkatan bilirubin (<85 mol/L
(<5 mg/dL)) diikuti dengan kolik biliaris. Pencitraan hanya 10% batu kolesterol
adalah radio-opak. Ultrasonografi adalah tes diagnosis yang terbaik. Kolesistogram

oral telah digantikan dengan ultrasonografi tetapi mungkin berguna untuk menilai
duktus sistikus apakah masih paten dan fungsi pengosongan kandung empedu masih
berfungsi.
Pengobatan meliputi pengangkatan batu menggunakan ERCP (endoscopic
retrograde cholangiopancreatography). Biasanya, kantong empedu ini kemudian
diangkat dengan operasi yang disebut kolesistektomi, untuk mencegah terjadinya
obstruksi saluran empedu di masa mendatang atau komplikasi lain34.
Kolesistitis akut radang akut kandung empedu biasanya disebabkan oleh
sumbatan duktus sistikus karena batu yang terjebak. Reaksi radang ditimbulkan oleh:
(1) radang mekanis karena tekanan dalam lumen meningkat; (2) radang kimia dari
pelepasan lisolesitin; (3) radang bakteri, yang memegang peran dalam 50-58% pasien
dengan kolesistitis akut. Etiologi 90% batu; 10% bukan batu. Kolesistitis bukan batu
berkaitan dengan kejadian komplikasi yang lebih tinggi dan berkaitan dengan
penyakit yang akut (misalnya luka bakar, trauma, pembedahan besar), puasa,
hiperalimentasi yang menyebabkan stasis kandung empedu, vaskulitis, karsinoma
kandung empedu atau karsinoma duktus biliaris komunis, beberapa infeksi kandung
empedu (Leptospira, Streptococcus, Salmonella, atau Vibrio cholerae), tetapi pada >
50% kasus tidak ditemukan penjelasan yang mendasar.
Gejala dan tanda berupa (1) serangan kolik biliaris (nyeri kuadran kanan atas atau
nyeri epigastrium) yang progresif memburuk; (2) mual, muntah, tidak nafsu makan;
dan (3) demam. Pemeriksaan yang khas adanya ketegangan pada kuadran kanan atas;
teraba massa pada kuadran kanan atas ditemukan pada 20% pasien. Murphys sign
timbul jika inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi kuadran kanan atas,
menimbulkan sakit yang makin hebat atau saat diminta menahan inspirasi.
Kolesistitis biasanya didiagnosis dengan riwayat gejala di atas, serta temuan
pemeriksaan:
1. Demam (biasanya ringan pada kasus tanpa komplikasi)
2. Nyeri kuadran kanan atas dengan atau tanpa tanda Murphy
3. Ortners Sign: Nyeri ketuk pada tepi lengkung iga kanan

4. Georgievskiy - Myussi's sign (phrenic nerve sign): Nyeri ketika penekanan pada
tepi sternokleidomastoid
5. Boass Sign: Peningkatan sensitivitas bawah skapula kanan (juga karena iritasi
saraf frenikus)35
Nilai laboratorium menandakan kenaikan alkali fosfatase, dapat disertai kenaikan
bilirubin yang tinggi (meskipun ini dapat menunjukkan kelainan koledokolitiasis),
dan mungkin disertai dengan kenaikan hitung sel darah putih. CRP (C-Reactive
Protein) sering meningkat. Tingkat kenaikan nilai-nilai laboratorium mungkin
tergantung pada tingkat peradangan kandung empedu itu sendiri. Pasien dengan
kolesistitis akut mungkin nilai laboratoriumnya bisa terlihat abnormal sedangkan
pada kolesistitis kronis nilai-nilai laboratorium sering kali normal.
USG adalah modalitas sensitif dan spesifik untuk diagnosis kolesistitis akut,
sensitivitas mencapai 88% sedangkan spesifitas mencapai 80%. Kriteria diagnostik
kandung empedu didapatkan penebalan dinding sebesar > 3mm. Batu empedu bukan
merupakan kriteria diagnostik untuk kolesistitis sebab dapat terjadi dengan atau tanpa
batu. Sensitivitas dan spesifitas temuan CT scan berada pada kisaran 90-95%. CT
scan lebih sensitif dibandingkan ultrasonografi dalam penggambaran respon inflamasi
pericholecystic dan melokalisir abses pericholecystic, gas pericholecystic, dan
permukaan luar lumen kandung empedu. CT scan tidak bisa melihat kalsifikasi
kandung empedu dan menilai Murphys Sign.
Hepatobiliary scintigraphy dengan teknesium-99m DISIDA (bilirubin) analog
juga sensitif dan akurat untuk diagnosis kolesistitis kronis dan akut. Teknik ini juga
dapat menilai kemampuan ejeksi kandung empedu dan penurunan kemampuan ejeksi
kandung empedu dapat dikaitkan dengan kolesistitis kronis. Namun, karena
kebanyakan pasien dengan nyeri kuadran kanan atas tidak memiliki kolesistitis,
evaluasi primer biasanya dilakukan dengan modalitas yang dapat mendiagnosa
penyebab lain juga36.
Koledokolitiasis / kolangitis etiologi pada penderita dengan kolelitiasis, aliran
batu empedu ke dalam duktus hepatikus komunis terjadi pada 10-15%; usia yang

makin bertambah. Pada kolesistektomi, batu yang tidak diketahui akan tertinggal pada
1-5% penderita.
Gejala dan tanda koledokolitiasis mungkin sebagai penemuan yang tidak sengaja,
kolik biliaris, obstruktif ikterus, kolangitis, atau pankreatitis. Kolangitis biasanya
memberi gejala demam, nyeri kuadran kanan atas dan ikterus (trias Charcot).
Laboratorium menunjukkan peningkatan serum bilirubin, alkali fosfatase dan
aminotransferase. Leukositosis biasanya mengikuti kolangitis; kultur darah sering
positif. Amilase meningkat pada 15% kasus. Pencitraan diagnosis biasanya dibuat
melalui kolangiografi, baik sebelum operasi melalui endoscopic retrograd
cholangiopancreatography (ERCP) atau intraoperatif pada saat kolesistektomi.
Ultrasonografi mungkin memperlihatkan duktus biliaris melebar tetapi tidak sensitif
untuk mengetahui batu pada duktus biliaris komunis.
Diagnosis banding berupa kolesistitis akut, kolik ginjal, viskus perforasi,
pankreatitis. Komplikasi kolangitis, obstruktif ikterus, pankreatitis yang diinduksi
oleh batu empedu dan sirusi bilier sekunder.33
Ikterus neonatorum. adalah menguningnya sklera, kulit, atau jaringan lain akibat
penimbunan bilirubin dalam tubuh. Keadaan ini merupakan tanda penting penyakit
hati atau kelainan fungsi hati, saluran empedu, dan penyakit darah. Bila kadar
bilirubin darah melebihi 2 mg% maka ikterus akan terlihat. Namun pada neonatus
masih belum terlihat meskipun kadar bilirubin mencapai 5 mg % 1
Macam ikterus
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologi adalah keadaan dimana hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang
merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir.
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan
12,5% untuk neonatus lebih bulan
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari
d. Ikterus menghilang 10 hari pertama
2. Ikterus patologis
a. Ikterus dalam 24 jam pertama
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi
c.
d.
e.
f.

12,5% pada neonatus kurang bulan


Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari
Ikterus menetap setelah 2 minggu pertama
Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg%
Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik

Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap baru lahir, karena
hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek
1. Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukoronil
transferase, ligan dalam protein belum adekuat)
2. Siklus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim beta
glukoronidase di usus dan belum ada nutrien.
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis
mikroorganisme

berbentuk

spiral

dan

bergerak

yang
aktif

disebabkan
yang

oleh

dinamakan

Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever,Slime fever
(Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice, Field fever,
Cane cutter dan lain-lain3,4.
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara
beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira inter ogans dengan berbagai subgrup
yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air
kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain,
maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa
terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi
dengan

air,

tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih

binatang yang terinfeksi leptospira7.


Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu
hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan
sebelum terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia
hanya ada pada pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya
terjadi pada kasus leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada
beberapa kasus. Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel
hati jarang terjadi sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.7
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal
ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam

dapat persisten sehingga fase

imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia.
Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri

leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta


kecepatan memperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering
gagal ginjal akut. 7
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS IKTERUS
Untuk menegakkan diagnosis ikterus dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Namun, sebelum dilakukan anamnesis,
identifikasi pasien mencakup Nama, umur, dan jenis kelamin jangan dilupakan. Umur
dan jenis kelamin sering memberikan petunjuk kearah kemungkinan tercapainya
diagnosis. Misalnya hepatitis viral akut tipoe A ditemukan terutama pada anak-anak dan
usia muda. Penyakit akndung empedu lebihbanyak dijumpai pada usia pertengahan dan
pada wanita. Sebaliknya, sirosis hati ataau hepatoma lebih banayk pada kaum pria.
a. Anamnesis terkait ikterus
Anamnesis yang terinci perlu untuk mengetahui bagaimana mulainya penyakit.
Anamnesis terkait ikterus tetap berpedoman pada 7 butir anamnesis (Sacred seven)
dan 4 pilar utama (Fundamental four).

Anamnesis sangat penting untukmenggali

riwayat penyakit dan membantu pengakan diagnosis sebelum ditunjang oleh


pemeriksaan fisik dan penunjang5. Berikut adalah anamnesis terkait ikterus
berdasarkan sacred seven:
1. Onset dan kronologis
Penting untuk mengetahui kapan mulai terjadinya ikterus dan kronologis
terjadinya ikterus.dimana pertama kali muncul dan didahului oleh apa. Apabila
riwayat penyakit kuning telah berlangsung lama sedangkan keadaan pasien
berlangsung baik, dapat mengarah pada kemungkinan penyakti bawaan seperti
sindrom Gilbert, Rotor, atau Dubin Johnson.
Bila ikterus disebabkan obstruksi seperti kista koleidokus atau kolelitiasis,
penderita mengalami kolik hebat secara tiba-tiba tanpa sebab yang jelas. Keluhan
nyeri perut di kanan atas dan menusuk ke belakang. Penderita tampak gelisah dan
kemudian ada ikterus disertai pruritus.
2. Lokasi

Penting untuk mengetahui letak dimana saja terjadi ikterus. Apakah di


sclera, palmar, atau di seluruh tubuh.hal ini penting untuk menentukan derajat
suatu penyakit dengan gejala ikterus

3. Kualitas
Lokasi munculnya ikterus menunjukkan derajat kadar bilirubin yag ada
didalam tubuh. Kualitas keluhan juga dapat digali melalui

gejala lain yang

menyertai, sebab adanya ikterus biasanya disertai dengan gejala sistemik lainnya.
4. Kuantitas
Penting utnuk menanyakan sejauh mana luas daerah tubuh yang menjadi
ikterus, untuk mengetahui derajat penyakit.
5. Faktor Peringan
Dakktor peringan penting untuk mengetahu apakah ikterus yang terjadi
merupakan ikterus patologis, fisiologis, akibat mengonsumsi obat tertentu atau
makanan tinggi karoten, seperti wortel. Apabila ikterus disebabkan karena
mengonsumsi zat tertentu atau obat tertentu, maka dengan penghentian konsumsi,
gejala ikterus dapat berkurang.
6. Faktor pemberat
Faktor pemberat terkait ikterus misalnya apakah keluhan memberat
dengan konsumsi makanan berlemak, dengan penggunaan obat tertentu, atau
apabila pasien beraktivitas. Hal ini dapat membantu mengarahkan ke diagnosis
pasti. Bila dengan makanan berlemak pasien menjadi semakin mengeluh sakit
maka ada kemungkinan kolestitis.
7. Gejala/keluhan yang menyertai
Penting untuk mengetahui gejala atau keluhan
karena

hal

tersebut

dapat

membantu

untuk

lain yang menyertai,

penegakan

diagnosis

dan

menyingkirkan diagnosis banding yang lain. Misalnya adakah gejala predormal


seperti lemas, tidak nafsu amkan, mual, mencret, nyeri ulu hati, myalgia, meriang
atau menggigil yang timbul beberapa hart sebelum kulit berwarna kulit. Jika ada

maka hepatitis viral aktif harus dicurigai. Jika periode praikterus berlangsung lebih
lama atau lebih dari beberapa minggu atau bulan,maka curiga kearah subacute
hepatic necrosis.
Adanya keluhan sakit perut / kolik dan disertai gangguan pencernaan
lama sebelumnya, yang diperberat oleh makan makanan berlemak disertai
rasapenuh,kembung dan panas di perut serta mungkin sukar buang air besar, maka
diagnosis mengarah ke penyakit batu di saluran empedu37.
Adanya demam dan menggigil biasanya terdapat pada penyakit kolangitis,
namun harus diingat bahwa keadaan ini pun dapat ditemukan pada fase predormal
hepatitis viral akut,hepatitis karena obat dan leptospirosis11.
Pada hepatitis gejala awal muncul secara mendadak seperti demam, mual,
muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Ikterus dapat tidak kentara pada anak
kecil muda sehingga hanya dapat terdeteksi dengan uji laboratorium. Bila terjadi,
ikterus dan urin berwarna gelap biasanya terjadi setelah gejala-gejala sistemik.
Selain itu juga bisa didapatkan ada riwayat ikterus pada keluarga, teman sekolah,
teman bermain, atau jika anak atau keluarga telah berwisata ke daerah endemik.2,12
Adanya ikterus tanpa keluhan (painless jaundice) harus dipkirkan kearah
ikterus obstruktif karena tumor pancreas. Keluhan gatal-gatal yang menyertai
ikterus dapat mengarahkan kepada sumbatan di saluran empedu terutama oleh
tumor,sedangkan jika keadaan ini ditemukan pada wanita yang sedang hamil, perlu
dipikirkan mengenai ikterus berulang pada wanita hamil.
Keluhan air seni yang berwarna gelap merupakan tanda permulaan ikterus.
Warna tinja juga perlu mendapat perhatian, misalnya warna yang acholic pada
pasien ikterus obstruktif ekstrahepatik.
Sedangkan anamnesis mengenai ikterus yang berpedoman dengan fundamental
four yaitu:
1. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyait sekarang penting untuk mengetahui hal-hal terkait alasan
utama yang menyebabkan pasien memeriksakan diri atau dibawa keluarganya ke
dokter atau rumah sakit. Keluhan

utama merupakan titik tolak penelusuran

informasi mengenai penyakit yang diderita pasien dan riwayat penyakit sekarang
berdasarkan sacred seven di atas. Pada pasien ikterus dapat ditanyakan apakah
memiliki

riwayat

penyakti

lain

seperti

Hipertensi,

Diabetes

Mellitus,

Osteoarthritis, tumor, sedang dalam pengobatan suatu penyakit dan lain-lain5.


2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu penting untuk mengetahui hal-hal terkait keluhan
seputar apakah dulu pernah mengalami sakit yang sama seperti saat ini, riwayat
pengobatan, riwayat operasi, kecelakaan serta riwayat alergi obat. Bila pasien
pernah melakukan berbagai pemeriksaan sebelumnya, bisa dicantumkan di sini.
Seperti misalnya hasil pemeriksaan darah atau pun foto rontgen (berdasarkan
keterangan dokter yang memeriksa). Pada pasien ikterus perlu ditanyakan apakan
pernah menderita penyakit kuning sebelumnya,kontak dengan pasien kuning,
mengonsumsi jamu-jamuan jangka panjang, obat-obatan steroid, anabolik,
kontrasepsi oral, obat anti-tuberkulosis dan lain-lain 2. Apakah pasien pernah
dioperasi terutama operasi kandung empedu (mengarah pada kemungkinan striktur
atau batu yang tertinggal).
3. Riwayat penyakit keluarga
Hal ini terkait apakah ada keluarga atau kerabat dekat yang pernah
mengalami gangguan yang sama atau penyakit keturunan yang lain. Pada pasien
bayi dan anak-anak, perlu juga diceritakan riwayat kehamilan dan kelahiran. Pada
pasien ikterus penting untuk mengatahui apakah pasien pernah kontak dengan
keluarga yang pernah sakit kuning sebelumnya atau adakah keluarganya yang
sejak lahir memiliki sakit kuning2,5.
4. Riwayat sosial ekonomi
Yaitu pertanyaan mengenai tempat bekerja, pola makan setiap hari,
lingkungan sekolah atau rumah, aktivitas olahraga, dan gaya hidup atau kebiasaan.
Pada pasien ikterus penting untuk mengetahui adanya kebiasaan merokok,
mengonsumsi alkohol. riwayat memakai tato, transfusi, termasuk penyalahgunaan
obat-obat terlarang (narkoba) maupun aktifitas seksual. Pada pasien ikterus juag
perlu ditanyakan apakah kontak dengan bintang pengerat seperti tikus (mengarah

pada leptospirosis), keadaan kebersihan lingkungan pasien (sanitasi rumah), dan


lain-lain11.
b. Pemeriksaan fisik terkait ikterus
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menunjukkan tanda objektif dari suatu gejala
yang dikeluhkan apsien dan untuk mengonfirmasi hasil anamnesis pada pasien. Ikterus
dapat dilihat pada sklera atau kulit. Klinikus harus mencatat apakah penderita tampak
sehat atau sakit, atau apakah penderita tampak iritabel atau lemah. Hal ini akan
memberi indikasi apakah terdapat ensefalopati, infeksi atau penyakit metabolik.
Dismorfisme sangat berharga untuk mencari penyebab kolestasis. Popok bisa diperiksa
untuk melihat adanya tinja dempul dan urine gelap38.
Kepala.
1. Sklera ikterus. Tentukan warnanya apakah memberi kesan kekuningan (yellownish
jaundice) atau kehijauan (greenish jaundice) atau hanya sub ikterus. Kesan
yellownish jaundice menandakan ikterus berasal dari kelainan intrahepatik,
Greenish jaundice menandakan ikterus berasal dari kelainan ekstrahepatik.
2. Tanda-tanda anemia. Anemia disertai ikterus perlu dipikirkan anemia hemolitik.
3. Sianosis perioral Menunjukkan adanya kelainan pada cor atau pulmo. Sering pada
cardiac sirrosis
4.

Fetor hepatikum. Menandakan banyak amoniak dalam tubuh yang merupakan


tanda kegagalan fungsi hati. Paling sering pada koma hepatikum.

Leher
1. Tentukan JVP apakah meningkat. Menunjukkan bendungan sistemik / portal. Misal
pada cardiac sirrosis.
2. KGB teraba membesar . Menunjukkan adanya infeksi. Hepatitis dapat dengan
pembesaran KGB
Thorax
1. Tentukan batas paru-hepar, apakah ada peranjakan hati
2. Cari kemungkinan adanya ginekomastia dan spider nevi. Merupakan salah satu
stigmata SH.
3. Pulmo : Adakah kelainan

4. Cor : Adakah kelainan seperti gagal jantung


Abdomen
Inspeksi: cari adanya : Massa, Acites, Venektasi. Kelainan-kelainan ini sering
pada SH dan hepatoma.
Kandung empedu yang membesar seperti ditemukan pada ikterus obstruktif,
dapat teraba sebagai masa yang bulat rata; jika tidak sakit mungkin disebabkan oleh
tumor di bagian kepala pancreas1,2.
Ascites yang menyertai ikterus,umumnya disebabkan oleh sirosis hati. Dengan
pungsi diagnostic dapat mudah dilihat apakah caciran asites transudat, eksudat atau
hemoragik11.
Auskultasi : Cari kemungkinan terdapat bruit pada massa yang tampak. Bruit (+) pada
massa hepar menunjukkan Hepatoma.
Perkusi: Cari kemungkinan redup yang dapat menunjukkan kemungkinan adanya
massa atau pembesaran organ.
1. Nilai adanya acites dengan shifting dullness
2. Cari kemungkinan adanya nyeri ketok pada regio hepar, kendung empedu,
epigastrium
Palpasi :
1. Tentukan konsistensi abdomen
2. Adakah Hepatomegali. Tentukan besar dan konsistensi, tepi tajam / tumpul,
permukaan licin-rata / berbenjol-benjol, nyeri tekan (NT)

Massa hati dgn tepi tajam, permukaan licin dan rata, konsistensi keras, NT
(+) : mungkin Hepatitis

Massa hati dgn tepi tajam, permukaan berbenjol-benjol dan rata, konsistensi
keras, NT (+) : mungkin Hepatoma

Massa hati dengan tepi tumpul, permukaan licin dan berbenjol, fluktuasi (+),
konsistensi lunak, NT (+) : mungkin Abses Hepar

3. Adakah Splenomegali. Tentukan dalam batas schuffner.


Jika tidak ada tanda hemolitik maka ikterus dengan splenomegali lebih
mengarah ke penyakit hati kronik sebagai penyebabnya5.

Ekstremitas
1. Oedem. Tentukan

Pitting / non-pitting; Pitting oedem dapat menunjukkan

hipoalbuminemia sebagai kegagalan sintesis hati serta retensi Na dan air sebagai
akibat dari hipertensi porta. Sering pada SH
2. Clubbing finger, Sianosis; Sering pada cardiac sirrosis.
3. Adakah Liver nail. ( kuku berwarna putih dengan ujung kuku berwarna merah
jambu, biasanya bilateral dan masih dapat ditembus cahaya )
4. Capilarry Refil Time
c. Pemeriksaan laboratorium terkait ikterus
1.)
a.)

Tes fungsi hati


Ekskresi empedu

Bilirubin serum direk (terkonjugasi), meningkat bila terjadi gangguan


ekskresi bilirubin terkonjugasi. Nilai normalnya 0,1-0,3 mg/dl

Bilirubin serum indirek (tidak terkonjugasi), meningkat pada keadaan


hemolitik. Nilai normalnya 0,2-0,7 mg/dl.

Bilirubin serum total, meningkat pada penyakit hepatoseluler. Nilai


normalnya 0,3-1,0 mg/dl11.

b.)

Protein
Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di
retikulum

endoplasma

hepatosit.

Fungsi

utamanya

adalah

untuk

mempertahankan tekanan koloid osmotik intravaskuler dan sebagai pembawa


berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik
(contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat
disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Nilai
normalnya 3,2-5,5 g/dl11,39.
c.)

Enzim serum

Aspartate aminotransferase (AST) atau Serum Glutamic Oxaloasetic


Transaminase

(SGOT), Alanine aminotransferase (ALT) atau Serum

Glutamic Pyruvic Transaminase

(SGPT), dan Lactic Dehydrogenase

(LDH) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati, dan
jaringan skelet yang dilepaskan dari jaringan yang rusak. Apabila ada

kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan


kadar enzim ini dalam serum. Nilai normal SGOT 5-35 unit/ml dan SGPT
5-35 unit/ml. 1,39.

Alkaline Phosphatase
Alkaline phosphatase dibentuk dalam tulang, hati, ginjal, usus halus, dan
disekresikan ke dalam empedu. Kadarnya meningkat pada obstruksi
biliaris, penyakit tulang, dan metastasis hati. Nilai normalnya 30-120 IU/L
atau 2-4 unit/dl.

Gamma-glutamyltransferase (GT)
GT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada saluran empedu dan
hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak,
mammae, dan usus dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. GT
merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya
penyakit hepatobilier. Kadar GT tertinggi ditemukan pada obstruksi
hepatobilier. Peningkatan kadar GT pada kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan di
antara keduanya39.

Pemeriksaaan laboratorium yang terpenting adalah menilai peningkatan blirubin.


Beberapa penyakit terkait ikterus memiliki tanda yang khas pada hasil
pemeriksaan laboratorium.

Pada rasio bilirubin direk dan bilirubin total, jika rasio kurang dari 15%
maka cenderung ke proses hemolitik sindrom Gilbert.

Peningkatan bilirubin yang tidak terlalu tinggi (<10mg/dl) biasa ditemukan


pada batu kandung empedu.

Peningkatan bilirubin sekitar 15 mg/dl atau lebih tinggi biasa ditemukan


pada hepatitis akut.

Peningkatan bilirubin hingga 25 mg/dl atau lebih dapat mengarah pada


kolestatis ekstrahepatik.

Peningkatan bilirubin yang lebih tinggi dapat mengarah pada hepatitis


fulminan.
Pada kejadian peningkatan bilirubin direct perlu diperiksa transaminase,
alkali fosfatase, albumin, globulin, dan GT untuk membedakan keadaan
hepatoseluler dan kolestasis. Kadar transaminase yang tinggi sekali
menyokong adanya penyakit hepatoseluler.

Danya penyumbatan

ekstrahepatk biasanya disertai dengan peningkatan alkali fosfatase dan


kolesterol.
Perlu diperhatikan bahwa kelainan faal hati tidak spesifik sehingga
interpretasi kelainan laboratorium harus dilakukan hati-hati dengan melihat
keluhan dan gejala-gejala secara keseluruhan.
2.)
a.)

Pencitraan
Ultrasonografi (USG)
USG perlu dilakukan untuk menentukan penyebab obstruksi. Yang perlu
diperhatikan adalah :

Besar, bentuk dan ketebalan dinding kandung empedu. Bentuk kandung


empedu yang normal adalah lonjong dengan ukuran 2 3 x 6 cm, dengan
ketebalan sekitar 3 mm. Bila ditemukan dilatasi duktus koledokus dan
saluran empedu intrahepatal disertai pembesaran kandung empedu
menunjukan ikterus obstrusi ekstrahepatal bagian distal. Sedangkan bila
hanya ditemukan pelebaran saluran empedu intrahepatal saja tanpa disertai
pembesaran kandung empedu menunjukkan ikterus obstruksi ekstrahepatal
bagian proksimal artinya kelainan tersebut di bagian proksimal duktus
sistikus.

Ada tidaknya massa padat di dalam lumen yang mempunyai densitas tinggi
disertai bayangan akustik (acustic shadow), dan ikut bergerak pada
perubahan posisi, hal ini menunjukan adanya batu empedu.

Bila tidak ditemukan tanda-tanda dilatasi saluran empedu berarti


menunjukan adanya ikterus obstruksi intra hepatal38.

Contoh USG batu empedu www.radiopaedia.org


b.)

Computed Tomography (CT) Scan


CT Scan dilakukan untuk melihat adanya dilatasi duktus intrahepatik yang
disebabkan oleh oklusi ekstrahepatik dan duktus koledokus akibat kolelitiasis.
CT scan menyediakan evaluasi yang baik dari seluruh saluran empedu karena
dapat menentukan anatomi lebih baik daripada ultrasonografi. CT scan
mungkin modalitas pencitraan awal dalam beberapa kasus40.

CT scan abdomen www.healthcentral.com


c.)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI menghasilkan gambar yang sebanding dengan kualitas CT scan tanpa


paparan pasien terhadap radiasi pengion. Setelah pemberian agen kontras yang
cocok, pencitraan dari saluran empedu bisa lebih terperinci40.

Pencitraan MRI hepar


Pencitraan MRI sirosis hepar
www.radiopaedia.org
d.)

Endoskopi retrograde cholangiopancreatography (ERCP)


ERCP berguna dalam kasus dimana obstruksi bilier diduga kuat. Ini adalah
investigasi pilihan untuk mendeteksi dan mengobati batu saluran empedu
umum dan juga berguna untuk membuat diagnosis kanker pankreas. Kondisi
lain yang mungkin berguna ERCP termasuk primary sclerosing cholangitis dan
adanya kista koledukus40.

Gambaran pencitraan ERCP


www.cpmc.org

e.)

Biopsi hati
Banyak penderia membutuhkan biopsy hati untuk menegakkan diagnosis
pasti. Biopsy dapat dilakukan perkutan, dengan atau tanpa arahan
ultrasonografi

atau

melalui

pembedahan.

Selain

untuk

pemeriksaan

histopatologi untuk melihat gambaran spesifik, specimen biopsy hati dapat


digunakan untuk pemeriksaan secara kuantitatif 40.

Gambar 13. TeknikBiopsi hepar. Jarum Biopsi biasanya diinsersikan di sela iga 79. Jaringan hasilbiopsi diletakkan di kaca objek untukdilihat histopatologinya
www.niddk.nih.gov

a. Hasil biopsi hepar norrmal

b. Hasil biopsi heparpada Hepatitis B


www.intechopen.com

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan terhadap ikterus pada gangguan sistem hepatobilier tergantung
dari penyebabnya.
a. Ikterus Intrahepatik yang disebabkan oleh hepatitis

Tidak ada pengobatan antivirus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah
dengan pemberian immunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau
menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A biasanya dirawat jalan, tetapi 13%
penderita memerlukan rawat inap dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan
kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati,
dan ensefalopati12.
b. Ikterus Obstruktif yang disebabkan oleh kista koledukus dan kolelitiasis

Penatalaksanaan non-bedah

Terapi suportif dan diet


Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya
mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala
gastrointestinal ringan Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut
biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak. Pada pasien ikterus bisa terjadi
malnutrisi yaitu malnutrisi protein, malabsorpsi lemak, anoreksia dan defisiensi
vitamin larut lemak. Terapi yang diberikan adalah diet TKTP dengan penambahan
50% kalori dari biasanya.37

Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol,
chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang
berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.. Mekanisme kerjanya
adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga
terjadi desaturasi getah empedu. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat
khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu
kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan
untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang
digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu37.

Penatalaksanaan bedah
Sampai saat ini pembedahan masih merupakan baku emas dalam
penanganan kolelitiasis. Pada dasarnya penatalaksanaan penderita ikterus obstruksi

bertujuan untuk menghilangkan penyebab obstruksi atau mengalihkan aliran


empedu. Bila penyebabnya adalah batu di kandung empedu dilakukan
kolesistektomi yaitu mengangkat kandung empedu beserta seluruh batu. Bila
ditemukan dilatasi duktus koledokus lebih dari 5 mm dilakukan eksplorasi duktus
koledokus. Semua batu dibuang sebersih mungkin. Usaha selanjutnya ialah
mencegah batu rekuren dengan menghilangkan sumber pembentuk batu antara lain
dengan cara diet rendah kolesterol, menghindari penggunaan obat-obatan yang
meningkatkan kolesterol, mencegah infeksi saluran empedu. Bila letak batu sudah
pasti hanya dalam duktus koledokus, dapat dilakukan sfingterotomi / papilotomi
untuk mengeluarkan batunya38.
H. KOMPLIKASI
1. Pruritus
Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada
kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya meliputi seluruh
bagian tubuh dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan ekstensor
ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus superior memiliki tingkat keparahan yang
lebih tinggi. Mekanisme terjadinya pruritus masih belum diketahui secara pasti.
Deposit garam empedu di kulit diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung.
Namun sudah dibuktikan bahwa teori ini tidak benar. Sebagai tambahan,
hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan pruritus39.
Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena
konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan hati sehingga
terjadi pelepasan substansi yang bersifat pruritogenik (misalnya histamine) 39.
2. Hiperlipidemia dan Xantoma
Hiperlipidemia dan xantoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada
kolestasis intrahepatik. Pada kolestasis terjadi gangguan aliran empedu yang akan
menyebabkan meningkatnya kadar lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi
hiperkolesterolemia (kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dl). Hal ini
menyebabkan akan terdepositnya kolesterol di kulit, membrane mukosa, dan arteri39.
3. Sirosis dan Gagal Hati

Sirosis dan gagal hati dapat terjadi pada pasien yang mengalami keterlambatan
diagnosis

sehingga

fungsi

hati

sudah

tidak

dapat

dipertahankan

lagi 39.

I. PROGNOSIS
Prognosis ikterus karena gangguan system hepatobilier tergantung penyakit dasarnya.

Pada kolelitiasis prognosisnya adalah baik. Jeda waktu antara deteksi batu pada
pasien asimtomatik dan pengembangan gejala ini diperkirakan terjadi lebih dari 10
tahun38.

Pada kista koledukus prognosis setelah eksisi biasanya sangat baik. Pasien perlu
tindak lanjut seumur hidup karena peningkatan resiko kolangiokarsinoma, bahkan
setelah eksisi komplit kista41.

Hepatitis A prognosisnya sangat baik. Pada kebanyakan pasien, infeksi HAV adalah
self-limited, dan bisa sembuh sempurna. Bahkan, banyak kasus tidak menunjukkan
gejala. Kecuali dalam pengaturan hepatitis fulminan, gejala sisa jarang terjadi.
Hepatitis fulminan akibat HAV jarang dan memiliki tingkat mortalitaskira-kira 0,4%.
Infeksi HAV yang kambuh terjadi pada sekitar 10% dari pasien kira-kira1-4 bulan
setelah episode awal dan akhirnya dapat sembuh sepenuhnya41.

Hepatitis B akut 90% memiliki kemungkinan yang baik dan bisa sembuh sempurna.
Meskipun tingkat mortalitas untuk kebanyakan kasus hepatitis B rendah, pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan hepatitis B akut memiliki tingkat mortalitas 1%42.

Pada Hepatitis C lebih dari 80% dari individu yang terinfeksi akut akan mengalami
hepatitis kronis. Kebanyakan pasien yang terinfeksi kronis dengan virus hepatitis C
tetap asimtomatik dan tidak memiliki penyakit hepar yang signifikan42.
Hepatitis kronis yang aktif, yang dapat dilihat pada hepatitis B virus (HBV) atau virus
hepatitis C (HCV), tidak terjadi pada infeksi HAV. Kondisi carrier kronis tidak terlihat
dengan infeksi HAV41.

DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Atabi, SB Chin . 2010.Experimental investigation of the flow of bile in patient
specific cystic duct models M. Journal of biomechanical engineering,265:67
2. Alter, MJ. 2007. "Epidemiology of hepatitis C virus infection"(PDF). World journal of
gastroenterology : WJG 13 (17): 2436 41
3. Balistreri WF. 2000. Manifestasi Penyakit Hati dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.
2. Jakarta: EGC. Hal. 1386-1387.
4. Bancroft JD, Kreamer B, Gourley GR. 1998. "Gilbert syndrome accelerates development
of neonatal jaundice". Journal of Pediatrics 132 (4): 65660.
5. Bosma PJ, Chowdhury JR, Bakker C, Gantla S, de Boer A, Oostra BA, Lindhout D,
Tytgat GN, Jansen PL, Oude Elferink RP, et al. 1995. "The genetic basis of the reduced
expression of bilirubin UDP-glucuronosyltransferase 1 in Gilbert's syndrome".New
England Journal of Medicine 333 (18): 11715.doi:10.1056/NEJM199511023331802
6. Callahan JM. 2005. Ikterus dalam Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC. Hal 461-472.
7. Chu CM, Liaw YF. 2007. "Predictive factors for reactivation of hepatitis B following
hepatitis B e antigen seroconversion in chronic hepatitis B". Gastroenterology133 (5):
145865. doi:10.1053/j.gastro.2007.08.039

8. Coopstead, Lee-Ellen C. 2010. Pathophysiology. Missouri: Saunders. pp. 886887.


9. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI / RSCM. 2007. Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Jakarta: FKUI.
10. Gan SI, Devlin SM, Scott-Douglas NW, Burak KW. 2005. "Lamivudine for the treatment
of membranous glomerulopathy secondary to chronic hepatitis B infection".Canadian
journal of gastroenterology = Journal canadien de gastroenterologie 19 (10): 6259.
11. Gustawan, dkk. 2007 Kolelitiasis pada Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RS Sanglah Denpasar. Diakses melalui
http://indonesia.digitaljournal.org/index.php/idnmed/article/download543/661.
12. Hasan, R., Alatas, H., 2000, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 3, Cetakan 9,
Jakarta, hal 1102-1105
13. Hepatitis A Information for the Public" . Center for Disease Control. 2009.
http://www.cdc.gov/hepatitis/A/aFAQ.htm
14. Hepatitis A Symptoms" http://www.emedicinehealth.com/hepatitis _a/page3_
em.htm#Hepatitis%20A%20Symptoms
15. Ikterus Obstruksi. Diakses melalui http://ilmubedah.info/ikterus-obstruksi-diagnosispenatalaksanaan-20110204.html
16. Iredale JP. 2003. "Cirrhosis: new research provides a basis for rational and targeted
treatments". BMJ 327 (7407): 1437
17. Kadim, Muzal, dkk. 2008. Kolestasis. Jakarta: UKK Gastro-Hepatologi IDAI.
18. Kumar, Vinay. 2007. Robbins Basic Pathology. Elsevier. p. 639
19. Lindseth GA. 2006. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas dalam
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Hal. 481-485.
20. Lissauer, Tom. 2009. Liver Disorders in Illustrated Textbook of Paediatrics 3 rd edition.
Philadelphia: Mosby Elsevier. Hal. 337-345
21. Liver
Cirrhosis". Review
of
Pathology
of
the
Liver.
http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/orfpath/cirhosis.htm
22. Martiza, Iesje. 2011. Ikterus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Hal. 263-284.
23. Musana KA, Yale SH, Abdulkarim AS 2004. "Tests of Liver Injury". Clin Med Res2 (2):
12931. doi:10.3121/cmr.2.2.129
24. Na-en bijscholing apothekers. 2011. Hepatitis Heelzucht. Diakses melalui
http://www.prd-online.com/user/coursedat/c43/Marmed/Geelzucht.php
25. Netter FH. 2006. Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
26. Olsson R, Bliding A, Jagenburg R, Lapidus L, Larsson B, Svrdsudd K, Wittboldt S.
1988. "Gilbert's syndromedoes it exist? A study of the prevalence of symptoms in
Gilbert's syndrome". Acta Med Scandinavia 224 (5): 485490
27. Ozaras, R; Tahan, V. 2009. "Acute hepatitis C: prevention and treatment". Expert review
of anti-infective therapy 7 (3): 35161. doi:10.1586/eri.09.8
28. Pratt S, Kaplan MM. Jaundice. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine Vol.1.16th ed.
USA, Mc GrawHill, p.240

29. Rosen, HR. 2011. "Clinical practice. Chronic hepatitis C infection". The New England
Journal of Medicine 364 (25): 242938.doi:10.1056/NEJMcp1006613
30. Ryan KJ, Ray CG (editors), ed. 2004. Sherris Medical Microbiology (4th ed.). McGraw
Hill. pp. 5512\
31. Sawyer, Michael AJ. 2009. Choledochal Cysts. Medscape Reference. Diakses melalui
http://emedicine.medscape.com/article/172099.
32. Scanlon VC. 2007. Buku Ajar Anatomi & Fisiologi Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal.350-353.
33. Shea JA, Berlin JA, Escarce JJ, et al. 1994. "Revised estimates of diagnostic test
sensitivity and specificity in suspected biliary tract disease". Arch. Intern. Med. 154 (22):
257381. doi:10.1001/archinte.154.22.2573
34. Stapleton JT. 1995. "Host immune response to hepatitis A virus". J. Infect.
Dis.171 (Suppl 1): S914.
35. Strasberg, S. M. 2008. "Acute Calculous Cholecystitis". New England Journal of
Medicine 358 (26): 28042811. doi:10.1056/NEJMcp0800929
36. Sulaiman A. 2006. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 422-425
37. Sylvia AP, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Jakarta: EGC. 475:480
38. Terrault N, Roche B, Samuel D. 2005. "Management of the hepatitis B virus in the liver
transplantation setting: a European and an American perspective". Liver Transpl. 11 (7):
71632. doi:10.1002/lt.20492
39. Vivian McAlister, Eric Davenport, and Elizabeth Renouf. 2007. "Cholecystectomy
Deferral in Patients with Endoscopic Sphincterotomy. Cochrane Database of Systematic
Reviews .4: CD006233.
40. Weisiger RA, dkk. 2009. Hyperbilirubinemia, Conjugated. Diakses melalui
http://emedicine.medscpae.com/article/178757.
41. Wilkins, T; Malcolm JK; Raina D; Schade RR. 2010. "Hepatitis C: diagnosis and
treatment". American family physician 81 (11): 13517.
42. Zuckerman AJ. 1996. "Hepatitis Viruses". In Baron S, et al.. Baron's Medical
Microbiology (4th ed.). University of Texas Medical Branch.

Anda mungkin juga menyukai