Anda di halaman 1dari 24

REFLEKSI KASUS

ANEMIA APLASTIK
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik Bagian
Penyakit Dalam di RSUD Salatiga

Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204
Dokter pembimbing :
dr. Kuadi H., Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA

HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan, refleksi kasus dengan judul

ANEMIA APLASTIK

Disusun Oleh :
Candra Widhi Wicaksono
20110310204
Telah dipresentasikan
Hari/tanggal:
Disahkan oleh:
Dokter pembimbing,

dr. Kuadi H., Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS
KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA

BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas
Nama
: Ny. S
Usia
: 67 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Dukuh Duren
Status pernikahan
: Sudah menikah
B. Anamnesis
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Saltiga dengan keluhan lemas, pusing berputar, terdapat
bercak kemerahan disekujur tubuh.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien sering mengalami keluhan serupa dirasakan sejak satu tahun terakhir, dan selalu
rawat inap di RS. Riwayat mondok di RS hampir setiap bulan.
Riwayat penyakit Keluarga
Anggota keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa.
Riwayat Personal sosial
Pasien tidak aktif dalam kegiatan sosial sehari hari karena sakit yang dialami.
Tinjauan sistem
Kepala leher
THT
Respirasi
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Perkemihan
Sistem reproduksi
Muskuloskeletal
Kulit

: tidak ada keluhan


: tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: tidak ada keluhan
: tidak ada keluhan
: Tidak ada keluhan
: terdapat bercak kemerahan (petechie) menyebar di sekujur
tubuh

C. Riwayat perjalanan penyakit pasien


S (Subjektif)
Sesak napas (-), pusing berputar (+) , mual (+), muntah (-), nafsu makan turun, nyeri
dada (-), nyeri pada perut (-)
O(Objektif)
Kesan umum: Tampak lemas dan pucat

Kesadaran : Compos mentis


Vital Sign:
Tekanan darah
: 140/90
Detak nadi a.radialis : 68x/m
Detak jantung
: 68x/m
Frekuensi napas
: 20x/m
Suhu
: 36,5C
Kepala dan leher
Conjungtiva anemis
: (+/+)
Sklera ikterik
: (-/-)
Reflek pupil
: (+/+)
Pembesaran limfonodi
: (-)
JVP
: Tidak meningkat
Tiroid
: Tidak membesar
Limfonodi
: Tidak membesar
Thorax
Cor
- S1/S2 reguler, tidak ditemukan bising jantung
Pulmo
- Bentuk dada simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk
- Tidak ada ketinggalan gerak, tidak terdapat peningkatan maupun penurunan

vocal fremitus
- Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru
- Perkusi: sonor
- Suara dasar vesikuler: +/+
- Suara ronkhi: -/- Suara amforik: -/- Suara wheezing: -/ Abdomen
- Supel: +
- Nyeri tekan: - Bunyi usus: + , 12 x/menit
Extremitas
- Akral dingin: - CRT > 2 detik
- Edema: Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Januari 2016
PEMERIKSAA

HASIL

NILAI RUJUKAN

SATUAN

N
HEMATOLOGI
Lekosit
Eritrosit

1,7
2,67

4,5 11
45

10^3/uL
10^6/uL

Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Golongan Darah
KIMIA
GDS
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT

7,7
22,2
83,1
28,8
34,7
11
B

14 18
38,00 47,00
86 - 108
28 - 31
30 - 35
150 450

g/dL
%
fL
pg
g/dL
10^3/uL

354
37
0,9
81
227

80 100
10 50
0,6 1,1
< 31
<32

mg/dL
mg/dL
mg/dL
U/l
U/l

Pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Januari 2016


PEMERIKSAA

HASIL

NILAI RUJUKAN

SATUAN

N
HEMATOLOGI
Lekosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit

2,02
3,2
9,9
27,1
84,7
30,9
36,5
11

4,5 11
45
14 18
38,00 47,00
86 - 108
28 - 31
30 - 35
150 450

10^3/uL
10^6/uL
g/dL
%
fL
pg
g/dL
10^3/uL

Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang

A (Asessment)
Anemia Aplastik
P (Planing)
Infus NaCl 16 tpm

Peroral :
Asam Folat
Metyl Prednisolon 8 mg
Curcuma
Siklosporin

1x1
3x1
3x2
3x2

Pada tanggal 6 Januari 2016 di program untuk tranfusi Trombosit Concentrate 2


kalve dengan premedikasi Metyl Prednisolon 2x125 mg
Pada tanggal 7 Januari 2016 di program untuk tranfusi Packed Red Cell 2 kalve

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan sumsum
tulang dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh lemak,
menyebabkan

pansitopenia,

dan

sering

disertai

dengan

granulositopenia

dan

trombositopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter (genetik),


faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik
pada sel sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan beragam penyakit penyerta,
atau faktor idiopatik.4,6
B. Etiologi
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat idiopatik, yaitu
penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan. Kesulitan dalam mencari penyebab
ini karena penyakit ini terjadi secara perlahan-lahan dan karena belum adanya model
binatang percobaan yang tepat. 3
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1.

Anemia aplastik herediter atau anemia aplastik yang diturunkan merupakan faktor

kongenital yang ditimbulkan sindrom kegagalan sumsum tulang herediter antara lain :
a. Sindroma Fanconi (anemia Fanconi) yang biasanya disertai dengan kelainan bawaan
lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, dan kelainan ginjal. Kegagalan
sumsum tulang herediter biasanya muncul pada usia sepuluh tahun pertama dan kerap
disertai anomali fisik (tubuh pendek, kelainan lengan, hipogonadisme, bintik-bintik
caf-au-lait pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi).
Dalam kelompok ini, anemia Fanconi (sindroma Fanconi) adalah penyakit yang
paling sering ditemukan. Anemia Fanconi (sindroma Fanconi) merupakan kelainan
autosomal resesif yang ditandai oleh defek pada DNA repair dan memiliki
predisposisi ke arah leukemia dan tumor padat. Pada pasien anemia Fanconi
(sindroma Fanconi) akan ditemukan gangguan resesif langka dengan prognosis buruk

yang ditandai dengan pansitopenia, hipoplasia sumsum tulang, dan perubahan warna
kulit yang berbercak bercak coklat akibat deposisi melanin (bintik bintik caf-aulait).1,7
b. Diskeratosis kongenital adalah sindrom kegagalan sumsum tulang diwariskan secara
klasik yang muncul dengan triad pigmentasi kulit abnormal, distrofi kuku, dan
leukoplakia mukosa. Kelainan ini memiliki heterogenitas dan manifestasi klinik yang
beragam. Terdapat bentuk bentuk X-linked recessive, autosomal dominan, dan
autosomal resesif. Bentuk X-linked recessive diakibatkan oleh mutasi pada gen
DKC1, yang menghasilkan protein dyskerin, yang penting untuk stabilisasi
telomerase. Gangguan telomerase menyebabkan terjadinya pemendekan telomer lebih
cepat, kegagalan sumsum tulang, dan penuaan dini (premature aging). Diskeratosis
kongenital autosomal dominan disebabkan oleh mutasi gen TERC (yang menyandi
komponen RNA telomerase) yang pada akhirnya mengganggu aktivitas telomerase
dan pemendekan telomer abnormal. Sejumlah kecil pasien (kurang dari 5%) yang
dicurigai menderita anemia aplastik memiliki mutasi TERC.1,7
c. Trombositopenia amegakaryositik diwariskan merupakan kelainan yang ditandai oleh
trombositopenia berat dan tidak adanya megakaryosit pada saat lahir. Sebagian besar
pasien mengalami missense atau nonsense mutations pada gen C-MPL. Banyak
diantara penderita trombositopenia amegakaryositik diwariskan mengalami kegagalan
sumsum tulang multilineage.1,7
d. Sindrom Shwachman-Diamond adalah kelainan autosomal resesif yang ditandai
dengan disfungsi eksokrin pankreas, disostosis metafiseal, dan kegagalan sumsum
tulang. Seperti pada anemia Fanconi (sindroma Fanconi), penderita sindrom
Shwachman-Diamond juga mengalami peningkatan resiko terjadinya myelodisplasia
atau leukemia pada usia dini. Belum ditemukan lesi genetik yang dianggap menjadi
penyebabnya, tetapi mutasi sebuah gen di kromosom 7 telah dikaitkan dengan
penyakit ini. 1,7

2. Anemia aplastik didapat 1,7

Timbulnya anemia aplastik didapat pada seorang anak dapat dikarenakan oleh :
-

Penggunaan obat, anemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau
penggunaan dosis obat yang berlebihan. Obat yang paling banyak menyebabkan
anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat obatan lain yang juga sering dilaporkan
adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, anti-rematik, anti-tiroid, preparat emas dan
antikonvulsan, obat obatan sitotoksik seperti mileran atau nitrosourea.

Senyawa kimia berupa benzene yang paling terkenal dapat menyebabkan anemia
aplastik. Dan juga insektisida (organofosfat).

Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen,
yakni virus Epstein-Barr, virus Haemophillus influenza A, tuberkulosis milier,
Cytomegalovirus (CMV) yang dapat menekan produksi sel sumsum tulang melalui
gangguan pada sel sel stroma sumsum tulang, Human Immunodeficiency virus
(HIV) yang berkembang menjadi Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS),
virus hepatitis non-A, non-B dan non-C, infeksi parvovirus.
Infeksi parvovirus B19 dapat menimbulkan Transient Aplastic Crisis. Keadaan ini
biasanya ditemukan pada pasien dengan kelainan hemolitik yang disebabkan oleh
berbagai hal. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron akan ditemukan virus dalam
eritroblas dan dengan pemeriksaan serologi akan dijumpai antibodi virus ini. DNA
parvovirus dapat mempengaruhi progenitor eritroid dengan mengganggu replikasi dan
pematangannya.

Paparan radiasi, dapat mengubah struktur DNA normal menjadi abnormal.

Jika pada seorang pasien tidak diketahui penyebab anemia aplastiknya, maka pasien
tersebut akan digolongkan ke dalam kelompok anemia aplastik idiopatik.
C. Klasifikasi
Klasifikasi Anemia Aplastik 1
Tabel Klasifikasi Anemia Aplastik
Klasifikasi
Anemia aplastik tidak berat

Kriteria
Sumsum tulang hiposelular namun sitopenia
tidak memenuhi kriteria berat

Anemia aplastik berat


Selularitas sumsum tulang
Sitopenia sedikitnya dua dari
tiga seri sel darah

Anemia aplastik sangat berat


Selularitas sumsum tulang
Sitopenia sedikitnya dua dari
tiga seri sel darah

<25%
Hitung neutrofil < 500/l
Hitung trombosit < 20.000/l
Hitung
retikulosit
absolute
60.000/l

<25%
Hitung neutrofil < 200/l
Hitung trombosit < 20.000/l
Hitung
retikulosit
absolute
60.000/l

<

<

D. Patofisiologi 1
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin
merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya
belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat
proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel.
Pada anemia aplastik terdapat peran limfosit T sitotoksik memerantarai destruksi
sel sel asal hemopoietik. Sel sel T efektor tampak lebih jelas di sumsum tulang
dibandingkan dengan darah tepi pasien anemia aplastik. Sel sel tersebut berperan dalam
pelepasan limfokin seperti interferon- dan TNF- yang merupakan inhibitor langsung
hematopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel sel CD34 +. Selain itu terjadi
pula pelepasan IL-2 yang berlebihan. Peningkatan produksi interleukin-2 mengawali
terjadinya ekspansi poliklonal sel T aktivasi reseptor Fas melalui Fas-Ligand
menyebabkan terjadinya kerusakan sel target. Klon sel sel imortal yang positif CD4 dan
CD8 dari pasien anemia aplastik juga mensekresi sitokin T-helper-1 (Th1) yang bersifat
toksik langsung ke sel sel CD34+ positif autologus.
Efek IFN- melalui interferon regulatory factor 1 (IRF-1), adalah menghambat
transkripsi gen dan masuk ke dalam siklus sel. IFN- juga menginduksi pembentukan
nitric oxide synthase (NOS), dan produksi gas toksik nitric oxide (NO) yang mungkin
menyebabkan efek toksiknya menyebar. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi,
khususnya kematian sel CD34+ yang diperantarai ligan Fas, dan aktivasi alur intraselular
yang menyebabkan penghentian siklus sel (cell-cycle arrest).

E. Gejala Klinis
Aplasia sistem eritropoitik dalam darah tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia
yang disertai dengan merendahnya kadar hemoglobin, hematokrit dan hitung eritrosit
serta MCV (Mean Corpuscular Volume). Secara klinis pasien tampak pucat dengan
berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal
jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia sistem hematopoitik, maka
umumnya

tidak

ditemukan

ikterus,

pembesaran

limpa

(splenomegali),

hepar

(hepatomegali) maupun kelenjar getah bening (limfadenopati).7


Pada hasil pemeriksaan fisik pada pasien anemia aplastik sangat bervariasi dan
pada hasil penelitian Salonder tahun 1983 ditemukan pucat pada semua pasien yang
diteliti sedangkan perdarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien.
Hematomegali yang disebabkan oleh bermacam macam hal ditemukan pada sebagian
kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan. Adanya splenomegali dan
limfadenopati akan meragukan diagnosis anemia aplastik.1
Tabel Keluhan Pasien Anemia Aplastik (n=70) (Salonder, 1983)
Jenis Keluhan
%
Perdarahan
83
Badan lemah
30
Pusing
69
Jantung berdebar
36
Demam
33
Nafsu makan berkurang
29
Pucat
26
Sesak napas
23
Penglihatan kabur
19
Telinga berdengung
13
F. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik 1
Pemeriksaan Fisik pada Pasien Anemia Aplastik (N=70) (Salonder, 1983)
Jenis Pemeriksaan Fisik
%
Pucat
100
Perdarahan
63
34
Kulit
26
Gusi
20
Retina
7
Hidung
6

Saluran cerna
Vagina
Demam
Hepatomegali
Splenomegali

3
16
7
0

Pemeriksaan Penunjang 1
1. Pemeriksaan Laboratorium

Apusan Darah Tepi


Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Jenis
anemianya adalah normokrom normositer. Sangat jarang ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah
tepi menandakan bukan anemia aplastik. Granulosit dan trombosit ditemukan rendah.
Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus.
Presentase retikulosit umumnya normal atau rendah. Pada sebagian kecil kasus,
persentase retikulosit ditemukan lebih dari 2%. Akan tetapi, bila nilai ini dikoreksi
terhadap beratnya anemia maka diperoleh persentase retikulosit normal atau rendah
juga. Adanya retikulositosis setelah dikoreksi menandakan bukan anemia aplastik.

Laju Endap Darah


Hasil pemeriksaan laju endap darah pada pasien anemia aplastik selalu
meningkat. Pada penelitian yang dilakukan di laboratorium RS Cipto Mangunkusumo
ditemukan 62 dari 70 kasus anemia aplastik (89%) mempunyai nilai laju endap darah
lebih dari 100 mm dalam satu jam pertama.

Faal Hemostasis
Pada pasien anemia aplastik akan ditemukan waktu perdarahan memanjang dan
retraksi bekuan yang buruk dikarenakan trombositopenia. Hasil faal hemostasis
lainnya normal.

Biopsi Sumsum Tulang


Seringkali pada pasien anemia aplasti dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang
berulang dikarenakan teraspirasinya sarang sarang hemopoiesis hiperaktif.

Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia
aplastik. Dari hasil pemeriksaan sumsum tulang ini akan didapatkan kesesuaian
dengan kriteria diagnosis anemia aplastik.

Sumsum Tulang Normal dan Aplastik


(http://www.uams.edu/m2008/notes/path2/Pathology%20disease%20spreadsheet/bone/aplastic
%20anemia.jpg)

Pemeriksaan Virologi
Adanya kemungkinan anemia aplastik akibat faktor didapat, maka pemeriksaan
virologi perlu dilakukan untuk menemukan penyebabnya. Evaluasi diagnosis anemia
aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus.

Pemeriksaan Kromosom
Pada pasien anemia aplastik tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan
sitogenetik dengan fluorescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik
dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti
myelodisplasia hiposeluler.

Pemeriksaan Defisiensi Imun


Adanya defisiensi imun dalam tubuh pasien anemia aplastik dapat diketahui
melalui penentuan titer immunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T.

Pemeriksaan yang Lain

Pemeriksaan darah tambahan berupa pemeriksaan kadar hemoglobin fetus (HbF)


dan kadar eritropoetin yang cenderung meningkat pada anemia aplastik anak.

2. Pemeriksaan Radiologis

Nuclear Magnetic Resonance Imaging


Jenis pemeriksaan penunjang ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah sumsum
tulang berlemak akibat anemia aplastik dan sumsum tulang selular normal.

Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning)


Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah
disuntuk dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag
sumsum tulang atau iodium chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan
bantuan pemindaian sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk

memperoleh sel sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel sel induk.
Penatalaksanaan
1. Terapi Imunosupresif 2
G.

Terapi imunosupresif merupakan modalitas terapi terpenting untuk sebagian besar pasien
anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif adalah
antithymocyte globuline (ATG) atau antilymphocyte globuline (ALG) dan siklosporin A
(CsA). Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan
sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Siklosporin
juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi limfosit
sitotoksik, dosisnya 3 -10 mg/kgBB/hr peroral.
Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang belum diketahui secara
pasti dan mungkin melalui:

Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal


Stimulasi langsung atau tidak langsung pada hematopoiesis

ATG atau ALG diindikasikan pada:


1. Anemia aplastik bukan berat
2. Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok

3. Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun, dan pada saat pengobatan tidak
terdapat infeksi atau perdarahan atau granulosit lebih dari 200/mm3
Dosisnya 2,5-40 mg/kgBB/hr melalui cairan infus dalam 4-6 jam selama 4 sampAi 10 hari. Kirakira pasien akan berespon terhadap pengobatan dalam 2-3 bulan.

2. Terapi Suportif
Pengobatan suportif diberikan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi dan
perdarahan.

Pengobatan terhadap infeksi


Untuk meghindarkan dari infeksi, sebaiknya diisolasi dalam ruangan khusus yang suci
hama. Pemberian obat antibiotika hendaknya dipilih yang tidak menyebabkan depresi

sumsum tulang. 7
Transfusi darah
Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah.
Bila terdapat keluhan akibat anemia, diberikan tranfusi eritrosit berupa packed
red cell sampai kadar hemoglobin7-8 gr % atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular.1 Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya
mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang
terlampaui sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat menyebabkan
timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap sel
darah merah, leukosit dan trombosit. Dengan demikian transfusi darah diberikan bila
diperlukan.
Resiko perdarahan meningkat bila trombosit kurang dari 20.000/mm 3. Pada
keadaan yang sangat gawat (perdarahan massif, perdarahan otak, dan sebagainya) dapat
diberikan suspensi trombosit. Transfusi trombosit diberikan bila perdarahan atau kadar
trombosit dibawah 20.000/mm3 (profilaksis). Pemberian transfusi leukosit sebagai
profilaksis masih kontroversi dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah
daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek. Pada
infeksi berat khasiatnya hanya sedikit sehingga pemberian antibiotik masih diutamakan.5

Transplantasi

Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat
berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi
sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30%
pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi
sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia >35
tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya
umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang
donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan usia > 40 tahun memiliki
respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
Algoritme Penatalaksanaan
Anemia Aplastik
usia <35 tahun
dengan HLA
matched sibling

usia >35 tahun atau


tidak ada HLA matched
sibling

transplantasi sumsum tulang

terapi imunosupresif

ada respons

tidak ada respon

turunkan CsA
dalam 6 bulan

ulangi
pemberian
ATG/ALG
tidak ada
respons
faktor
pertumbuhan
hematopoietik
atau androgen
atau matched
unrelated
transplant

H. Prognosis1,7
Prognosis penyakit anemia aplastik bergantung pada:

ada
respon
tidak
kambuh:
follow up
teratur
kambuh :
ulangi terapi
imunosupre
sif

1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.


2. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik.
4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi masih
tinggi.
Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan
prognosis.
Riwayat alamiah penderita anemia aplastik dapat berupa:
1. Berakhir dengan remisi sempurna. Hal ini jarang terjadi kecuali jika dikarenakan
faktor iatrogenik akibat kemoterapi atau radiasi. Remisi sempurna biasanya terjadi
segera.
2. Meninggal dalam 1 tahun. Hal ini terjadi pada sebagian besar kasus.
3. Dapat bertahan hidup selama 20 tahun atau lebih. Kondisi penderita anemia aplastik
dapat membaik dan bertahan hidup lama, namun masih ditemukan pada kebanyakan
kasus mengalami remisi tidak sempurna.

Remisi anemia aplastik biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan,


mula mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoitik, kemudian sistem
granulopoitik dan terakhir sistem trombopoitik. Kadang kadang remisi terlihat pada
sistem granulopoitik lebih dahulu lalu disusul oleh sistem eritropoitik dan
trombopoitik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah
retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung jenisnya dan jumlah trombosit.
Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan indikator terbaik untuk
menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas
eritropoitik dan granulopoitik, bahaya perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena
perbaikan sistem trombopoitik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan
pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000 100.000/mm3.

Prognosis buruk dari penyakit anemia aplastik ini dapat berakibat pada
kematian yang seringkali disebabkan oleh keadaan penyerta berupa:
1. Infeksi, biasanya oleh bronchopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap
tuberkulosis akibat pemberian kortikosteroid (prednison) jangka panjang.
2. Perdarahan otak atau abdomen, yang dikarenakan kondisi trombositopenia.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Manifestasi Klinis yang Muncul
Pada kasus ini manifestasi klinis yang muncul pada pasien adalah lemas, pusing,
pucat, mual, nafsu makan menurun serta terdapatnya petechie yang menyebar disekujur
tubuh pasien.

Sel darah merah (eritrosit) berfungsi sebagai transport atau pertukaran O2 dan
CO2, berkurangnya jumlah eritrosit maka pengiriman O2 ke jaringan akan menurun,
karena sirkulasi bersifat sistemik maka efeknya bia sampai ke otak, otak adalah organ
yang sangat mutlak membutuhkan O2 maka dari itu berkurangnya eritrosit bisa
berdampak pada fungsi otak dapat terjadi penurunan kesadaran, pusing.
Pada jaringan perifer suplai darah, O2 tidak maksimal karena distribusinya akan
didahulukan ke organ yang lebih vital, maka dari itu metabolisme anaerob dapat
meningkat dan menyebabkan seseorang merasa lemas dan cepat lelah. Untuk
memaksimalkan distribusi O2 ke organ vital maka respon pada pembuluh darah adalah
vasokonstriksi maka dapat timbul pucat.
Sel darah putih (leukosit) berperan sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Terdiri dari granulosit (neutofil, eosinophil, basophil), agranulosit (limfosit, monosit).
Oleh sebab itu bila leukosit tidak adekuat maka dapat meningkatkan resiko terjadinya
infeksi yang bisa menyebabkan peningkatan suhu tubuh (demam).
Trombosit merupakan unsur seluler sumsum tulang yang penting untuk
homeostasis dan koagulasi. Granula trombosit mengandung diantaranya : serotonin
vasokonstriktor yang kuat, faktor agregasi, fibrinogen yang aktif sebagai respon cedera

yang bisa berakibat terjadinya perdarahan. Maka apabila jumlah trombosit turun dapat
meningkatkan resiko terjadinya perarahan, misal : mimisan, gusi berdarah, petechie.
B. Diagnosis
Pada kasus ini penegakan diagnosis didasarkan pada kesesuaian manifestasi klinis yang
muncul pada pasien dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin dan
aspirasi sumsum tulang dengan hasil :
Pemeriksaan darah rutin tanggal 4 Januari 2016
Hasil
Nilai Rujukan
Lekosit
:
1,7
4,5 11
Eritrosit
:
2,67
45

Satuan

Trombosit

10^3/uL

11

150-450

Keterangan
10^3/uL
(turun)
10^6/uL
(turun)
(turun)

Pemeriksaan darah rutin tanggal 9 Januari 2016


Lekosit
:
2,02
4,5 11
Eritrosit
:
3,2
45

10^3/uL
(turun)
10^6/uL
(turun)

Trombosit

10^3/uL

11

150 - 450

(turun)

Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang menunjukkan hasil selularitas sumsum


tulang yang hiposeluler, dan didominasi sel limfosit. Dari hasil pemeriksaan tersebut
dapat ditegakkan diagnosis anemia aplastik.
C. Terapi
No
1

Terapi
Infus RL 16 tpm

Keterangan
Komposisi: Per 1000 mL Natrium laktat 3,1 gram,
NaCl 6 gram, KCl 0,3 gram, CaCl2 0,2 gram.
Digunakan sebagai replacement terapi, merupakan
cairan yang fisiologis karena Tidak ada interaksi

Asam Folat 1x1

Curcuma 3x2

Metyl Prednisolon 3x8 mg

dengan makanan atau obat lain.


Asam folat adalah sejenis vitamin B yang larut dalam
air. Manfaat asam folat yang utama adalah untuk
kelancaran metabolisme dan stabilitas sel tubuh.
Ekstrak curcuma Xantoriza mengandung Kurkumin
yang bermanfaat terutama sebagai anti hepototoksik
dan antioksidan, dapat digunakan pula untuk
menambah nafsu makan.
Obat Imunosupresif, Kortikosteroid (glukokortikoid)
dapat digunakana sebagai obat tunggal atau dalam
kombinasi dengan imunosupresan lain.
Kortikosteroid menghambat proliferasi sel limfosit T,
imunitas seluler, dan ekspresi gen yang menyandi
berbagai sitokin (IL-1, IL-2, IL-6, IFN-, dan TNF-)

Siklosporin 3x2

Merupakan obat imunosupresif. suatu molekul


peptide siklik yang mengandung 11 asam amino yang
ditutupi oleh gugus-gugus samping alifatik sehinnga
obat ini sangat lipofilik
Siklosporin secara efektif menghambat respon
imun seluler dengan menghambat pembentukan interleukin-2, suatu faktor pertumbuhan atau stimulator
limfosit T.

Pada kasus ini penggunaan obat imunusupresif adalah dengan mengkombinasikan


Siklosporin dan juga Metyl Prednisolon. Pengkombinasian obat ini ditujukan untuk efek
imunosupresif yang lebih kuat, keduanya berperan dalam inhibisi limfosit T.
Selain itu pasien juga ditatalaksana dengan pemberian tranfusi darah berupa 2 kantong
PRC (Packed Red Cells) dan 2 kantong TC dengan premedikasi berupa pemberian Metil
Prednisolon 2x125 mg. PRC beasal dari darah lengkap yang disentrifugasi. Satu unit PRC dari
500 ml darah lengkap volumenya 200-250 ml, dengan kadar hematocrit 70-80%, volume plasma
15-25ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl
diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan kadar hematocrit 3-5 %. Diberikan
selama 2-4 jam dengan kecepatan 1-2ml/menit. Pada pasien ini diberikan tranfusi PRC dengan
terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap darah donor meliputi : Hbs-Ag, HIV,
VDRL(sifilis), HCV. Pada pengujian didapatkan hasil negative sehingga darah pendonor bisa
ditranfusikan kepada pasien. Tujuan diberikannya PRC adalah untuk menaikkan Hb tanpa
meningkatkan volume darah secara nyata.
TC (Trombosit Concentrate) kandungan utamanya adalah trombosit dengan volume 50
ml. Dilakukan dengan cara mensentrifuse darah, sentrifuse pertama kali akan menghasilkan PRP
(Platelete Rich Plasma), kemudian disentrifuse lagi untuk mendapatkan TC. Tranfusi TC
bermaksud untuk meningkatkan jumlah trombosit, serta mengatasi keterlanjutan trombositopenia
yang dapat menyebabkan perdarahan yng lebih lanjut.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Anemia aplastik merupakan jenis anemia yang ditandai dengan kegagalan sumsum tulang
dengan penurunan sel sel hematopoietik dan penggantiannya oleh lemak, menyebabkan
pansitopenia. Terjadinya anemia aplastik dapat dikarenakan faktor herediter (genetik),
faktor sekunder oleh berbagai sebab seperti toksisitas, radiasi atau reaksi imunologik
pada sel sel induk sumsum tulang, berhubungan dengan beragam penyakit penyerta,
atau faktor idiopatik.
2. Secara etiologik, anemia aplastik dibagi menjadi dua, yaitu anemia aplastik herediter dan
anemia aplastik didapat. Jika tidak diketahui penyebab timbulnya anema aplastik dalam
tubuh seorang pasien, dapat dicurigai sebagai anemia aplastik idiopatik.
3. Gejala gejala klinik yang tampak pada tubuh seorang pasien anemia aplastik merujuk
pada keadaan pansitopenia yang dapat menyebabkan lemas, pucat, pusing, perdarahan,
suhu yang naik karena infeksi.
4.

Penegakan diagnosis anemia aplastik dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas,
pucat, perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepato splenomegali), adanya gambaran
darah tepi yang menunjukkan pansitopenia. Diagnosis pasti ditentukan dengan
pemeriksaan biopsi sumsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang, banyak jaringan
penyokong dan jaringan lemak.

5. Pemberian terapi secara suportif pada pasien anemia aplastik berupa pengobatan infeksi,
pemberian transfusi darah dan tindakan transplantasi sumsum tulang dengan HLA
saudara kandung yang cocok.
6. Prognosis pasien anemia aplastik bergantung pada:
a. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler.
b. Kadar Hb F yang lebih dari 200mg% memperlihatkan prognosis yang lebih baik.
c. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik.

d. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi masih


tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Abidin Widjanarko, Aru W. Sudoyo, Hans Salonder.Anemia Aplastik.Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II.Edisi IV.Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2006.Hal:627-633.
2. Bakhshi, Sameer, MD. 2009. Aplastic Anemia. http://www.emedicine.com/
3. Bakta IM. Buku Panduan Hematologi Ringkas. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FK UI,2006

4. Dorland WA. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC; 2002.
5. Sudarmanto. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010.
6. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume I.Edisi VI.EGC.Jakarta.2006.Hal: 258-260.
7. Ugrasena, IDG.Anemia Aplastik.Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak IDAI.Cetakan
Kedua.Badan Penerbit IDAI.Jakarta.2006.Hal:10-15.

Anda mungkin juga menyukai