Latarbelakang : Gabapentin merupakan obat antikejang yang memiliki efek analgesia untuk
nyeri akut paskaoperasi. Meskipun efek analgesia gabapentin sebagai suatu obat profilaksis
antikejang pada pasien yang menjalanin kraniotomi masih belum jelas. Pada penelitian ini,
paskaoperasi kami mengevaluasi keefektifitas gabapentin nyeri akut paskaoperasi dimana
gabapentin digunakan sebagai profilaksis antikejang pada pasien yang menjalani kraniotomi
reseksi tumor supratentorial .
Metode: Delapanpuluh pasien yang menjalani kraniotomi untuk reseksi tumor supratentorial
secara random dibagi
gabapentin oral (3 x 400 mg), dan pasien kelompok P (n = 40) mendapat fenitoin oral (3 x
100 mg) untuk 7 hari sebelum operasi dan paskaoperasi. Pelaksanan protokol anestesi sama
pada kedua kelompok. Pemeliharaan anestesia dengan infus propofol dan remifentanil.
Patient-controlled analgesia (PCA) digunakan morfin dan pengukuran skala nyeri.
Antikejang dikaitkan dengan efek samping, kebutuhan anestesi, durasi anestesi dan
pembedahan, waktu ekstubasi trakea, nilai nyeri paskaoperasi, kebutuhan morfin dan skala
sedasi dilakukan pencatatan.
Hasil penelitian: Hasil penelitian kelompok G terdiri dari 37 pasien dan kelompok P 38
pasien. Selama preoperatif pada kelompok G, 1 orang menderita kelelahan yang berat, 1
orang menderita pusing hebat dan yang satu mengalami perubahan tindakan pembedahan.
Plasma level gabapentin 34 mol/mL (rata-rata 2351 mol/mL) pada 34 pasien. Kelompok
P, 1 pasien menarik diri dari preoperatif dan 1 pasien terjadi perubahan gejala neurologis
paskaoperasi.
1
Data demografi dan durasi anesthesia dan pembedahan adalah sama pada kedua
kelompok ini. Total kebutuhan propofol dan remifentanyl pada kelompok G 1847548
mg/3034 1334 g) secara signifikan lebih kecil dibanding dengan kelompok P (2293 580
mg/4287 1282 g) (P = 0.01). Meskipun ekstubasi trakea dapat dilakukan lebih awal pad
kelompok P (4,5 2 min) dibanding dengan kelompok G (16,6 22 min) (P< 0,001). Skala
nyeri secara signifikan lebih tinggi dari kelompok P pada menit ke 15, 30 dan 1 jam
(P<0.001). Total kebutuhan morin juga signifikan lebih tinggi dari kelompok P (3317 mg vs
2419) (P< 0.01). Skor sedasi paskaoperasi signifikan lebih tinggi pada kelopok G pada
menit ke 15, 30, 1 jam dan 2 jam (P<0.001)
Simpulan: Pemberian gabapentin pada pasien yang menjalani kraniotomi reseksi tumor
supratentorial adalah efekitif untuk nyeri akut paska operasi. Gabapentin juga dapat
menurunkan kebutuhan analgesia setelah pembedahan. Walaupun gabapentin mungkin
mempunyai efek samping seperti ekstubasi trakea yang lambat dan peningkatan sedasi
paskaoperasi.
( Sumber :Anesthesia Analgesia Vol . 5, November 2009;109:162531)
Gabapentin telah dipakai sebagai obat antikejang dan sebagai adjuvan untuk
penatalaksanaan epilepsi umum dan parsial yang telah resisten terhadap terapi konvensional.
Gabapentin juga sebagai obat antikejang generasi terbaru yang memiliki antinosiseptif dan
antihiperalgesia. Gabapentin dipakai sebagai penanganan nyeri akut paskaoperasi dan
menurunkan kebutuhan analgesia paska operasi telah dievaluasi pada beberapa penelitian
lain. Pada pasien bedah saraf, ketidakadekuatan analgesia dapat terjadi agitasi, hipertensi,
menggigil dan muntah. Kejadiaan ini berpotensi berbahaya karena resiko terjadi perdarahan
intrakranial. Analgesia paska operasi yang adekuat dapat mengurangi komplikasi dan waktu
rawat inap yang pendek.
Meskipun bukti pasti terapi digunakan untuk profilaksis antikejang masih digunakan,
Ahli bedah saraf sering menggunakan obat antikejang untuk profilaksis pada pasien dengan
tumor otak. Jika satu obat mempunyai dua efek antiepilepssi dan efek analgesia maka dapat
memberikan keuntungan besar pada pasien yang menjalani kraniotomi. Pada penelitian ini,
kami bertujuan untuk mengetahui
digunakan sebagai profilasksis antikejang pada pasien yang menjalani kraniotomi reseksi
tumor supratentorial. Di klinik kami, pasien kraniotomi secara rutin mendapat profilaksis
antiepilepsi. Obat yang digunakan secara luas oleh ahli bedah saraf adalah fenitoin. Oleh
karena ini, kelompok control pasien ini diberikan fenitoin.
Metode
Penelitian ini telah disetujui oleh badan komite etik. Setelah menerima inform consent secara
tertulis, 80 pasien telah terdaftar untuk menjalani kraniotomi reseksi tumor supratentorial
elektif dengan posisi supine dimasukkan dalam penelitian ini. Pasien yang telah terdaftar
memenuhi syarat jika usia 18 - 60 tahun, tidak memiliki penyakit kadiovaskular, hati, ginjal
dan peptic ulcer, penyakit asma atau kelainan mental, dan tidak ada riwayat gangguan
pembekuan darah. Pasien dengan berat badan lebih dari 20% berat badan ideal, mempunyai
ukuran tumor lebih dari 30 mm ( karena mempunyai kecenderungan terlambat sadar dari
anestesi),Pasien dengan GCS 15; pasien dengan defisit neurologis (tidak dapat menggunakan
alat PCA), dan pasien yang mendapat pengobatan dengan antidepresan trisiklik,
benzodiazepin, monoamine oxidase inhibitor, selective serotonin reuptake inhibitor atau obat
neuroleptika atau obat antiepilepsi kami keluarkan dari penelitian ini. Pasien dengan riwayat
alergi yang diketahui dari status medikasi atau setiap pasien dengan afasia atau disfasia
preoperatif dan dengan gejala yang mirip dengan efek samping yangditimbulakan dari obat
antiepilepsi (somnolen, pusing,asthenia, nystagmus, ataxia, sakit kepala, kemerahan kulit,
nyeri kepala karena cahaya, kelemahan, mual dan muntah) juga kami keluarkan dari
penelitian ini. Selanjutnya pasien yang menggunakan drain paskaoperasi kami keluarkan
karena setiap perubahan tekanan intracranial dapat menimbulkan nyeri. Pasien dirandomisasi
masuk dalam 2 kelompok masing-masing kelompok 40 pasien. Alat PCA dan visual analog
scale (VAS) dijelaskan pada pasien saat preoperative visit.
dicatat (somnolen, pusing,asthenia, nystagmus, ataxia, sakit kepala, kemerahan kulit, nyeri
kepala karena cahaya, kelemahan, mual dan muntah). Pagi hari sebelum operasi semua pasien
diberikan dosis obat antiepilepsi. Semua operasi direncanakan pada pagi hari dengan jadwal
operasi pertama. Semua pasien diberikan dexametason 1 hari sebelum pembedahan dan
dilanjutkan sekitar 1 minggu paska operasi. Semua obat antiepilepsi dilanjutkan sekitar 6
bulan sampai 1 tahun pada pasien meningioma. Pada pasien dengan tumor glioma
paskaoperasi tidak dilanjutkan.
Anestesi
Sebelum induksi anestesi umum, monitor standar dipasang (elektrokardigram, tekanan
darah arteri, dan probe saturasi oksigen). Bispectral index sensor (BIS) (Aspect Medical
Systems, Part 186-0106, Norwood, MA) dipasang pada bagian frontal dengan pertimbangan
lokasi insisi operasi. Induksi anestesi dengan thiopental 4-6 mg/kg dan remifentanil titrasi
dengan dosis 0,5 1 g/kg, dan pelumpuh otot cisatracurium dosis 0,15 mg/kg. Setelah
pasien terintubasi dan ventilator mekanik dimulai ( oksigen/udara; oksigen 50%). Kateter no
20 G dipasang pada arteri radialis dan pengukuran suhu esofagus dan kulit dan level CO2
end-tidal di monitoring. Pemeliharaan anestesi dengan remifentanil titrasi ( 0,1-0,25 gkg -1
min-1 ) dan propofol infus (75-200 gkg-1 min-1).Kecepatan infus remifentanil dan propofol
diatur oleh anestesiologis dengan mempertahankan BIS antara 40 dan 50 dan hemodinamik
stabil. Pemeliharaan pelumpuh otot menggunakan bolus cisatracurium (0,02 mg/kg). Obatobat seperti furosemid dan antibiotika diberikan intravena (IV) diwajibkan oleh ahli bedah
saraf. Pada kelompok P, pemberian rutin fenitoin IV saat pembedahan. Pada kelompok G,
dipasang
Pengembangan gaster dan asporasi gaster dihindari karena berhubungan terjadinya mual dan
muntah paska operasi. Propofol dihentikan setelah menutup dura dan remifentanil dihentikan
setelah three-pin head holder dicabut. Setelah propofol dihentikan, jika perubahan
hemodinamik ( tekanan darah arteri rerata dan denyut jantung > 20% dari baseline,
pergerakan tangan atau lengan pasien), kami memberikan titrasi remifentanil 0,5-1 g/kg, dan
dosis remifentanil dapat ditingkatkan. Setiap sisa blok neuromuscular di reverse dengan
menggunakan neostigmin dan atropin dengan tepat. Kami mencatat saat akhir operasi, durasi
operasi dan anestesi, total dosis propofol
pembedahan. Waktu dari mulainya menutup dura sampai akhir menutup kulit ditetapkan
waktu selesainya operasi. Duarasi anestesi ditetapkan dari waktu induksi sampai remifentanil
4
dihentikan. Waktu ekstubasi ditetapkan dari remifentanil dihentikan saat ekstubasi aman saat
pasien dapat membuka mata, mengikuti perintah dan pernafasan adekuat.
Kami merencanakan pasien diekstubasi di kamar operasi, kemudian pasien
dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana alat PCA (Abbott Pain Management, North
Chicago,IL) disambung ke pasien. Perawat anestesi tidak mengetahui penelitian ini, setiap
pasien dicatat skala nyeri dan sedasi (0 jam). Nyeri paska operasi dievaluasi dengan skala
VAS ( 0 = tidak nyeri dan 10 nyeri sangat hebat ). Saat skala VAS lebih dari 3, Morfin dititasi
dengan dosis maksimum 0,1 mg/kg IV, dan PCA morfin diatur dengan deliver dosis 1 mg
dengan lockout interval 8 menit dan tanpa pemasangan infus. Setiap ada masalah ( nyeri yang
tidak dapat dikendalikan, tersedasi, gagal nafas) alat PCA wajib dihentikan. Skala VAS dan
skala sedasi Ramsay, total kumulatif kebutuhan morfin, adanya mual, muntah, serangan
kejang atau efek samping lain dicatat pada menit 0,15, 30 dan 1,2,4,6,12,24, dan 48 jam
paskaoperasi. Pasien yang merasa mual, ingin muntah dan muntah diberikan ondansentron
(4 mg, IV). Jumlah pasien yang mendapat ondansentron dicatat.
Pada waktu paskaoperasi, NGT dicabut saat pasien sudah dapat menelan dan sadar
baik, gabapentin oral diberikan sesuai jadwal rutin. Kami berpendapat 10% perbedaan
kebutuhan morfin antara kelompok ini adalah secara klinis relevan, Penelitian ini dibutuhkan
30 pasien setiap kelompok untuk = 80% dan
esklusi atau penarikan diri, kami putuskan 10 pasien dari setiap kelompok. Semua variabel
ditest distribusi normal dengan test Kolmogorov-Smirnov. StudentS t-test dan X 2 test
digunakan untuk membandingkan rata-rata variabel dan data distribusi normal. Kebutuhan
morfin dengan perbedaan waktu interval dibandingkan dengan perbedaan analisa
pengukuran. Mann-Whitney U-test digunakan untuk menganalisa VAS dan skala sedasi setiap
kelompok. Korelasi antara variabel digunakan test korelasi Spearman rho. Dari hasil analisa
ini dapat digambarkan dengan mean SD. Skala sedasi dan VAS dilaporkan dengan median
dan interquartil ranges. Nilai A P <0.05 adalah signifikan.
Hasil penelitian
Delapanpuluh pasien dievaluasi memenuhi syarat tetapi hanya 75 yang lengkap
penelitiannya. Pada kelompok G, 2 pasien menderita efek samping gabapentin saat
preoperatif dan 1 pasien prosedur tindakan operasi berubah saat preoperatif. Pada kelompok
P,setelah terapi antiepilepsi diberikan, 1 pasien mengundurkan diri dari penelitian ini sebelum
operasi dan 1 pasien mengalami perubahan gejalah neruologis paskaoperasi (hemiparesis).
Tigapuluh tujuh pasien kelompok G dan 38 pasien kelomopk P penelitiannya lengkap.
Saat preoperatif , setelah pemberian gabapentin, 7 pasien merasa kelemahan (1 orang
dengan kelemahan yang berat). Dan 5 pasien pusing (1 dari mereka tidak dapat bergerak
tanpa bantuan karena pusing yang hebat) (Tabel 1). Dua pasien ini, gabapentin di hentikan
dan efek samping berkurang. Sampel plasma gabapentin dikumpulkan tetapi 3 pasien sampel
tidak dapat diteliti dilaboratorium. Tiga pasien ini tidak kami keluarkan dari penelitian ini.
Tigapuluh empat pasien rata-rata level plasma gabapentin adalah 34 mol/mL ( range, 23-51
mol/mL). Data demografi dan selama pembedahan, anestesi dan waktu selesainya
pembedahan sebanding antara kelompok ini (Tabel 2). Pada kelompok G, total dosis propofol
dan remifentanil adalah signifikan lebih rendah dibanding kelompok P ( P
= 0.01).
Kelompok G, ekstubasi trakea adalah signifikan lebih lambat sebanding dengan kelompok P
(P < 0.001). Kelompok G, 2 pasien telah dilakukan computer topography CT-scan karena
lambat ekstubasi. Analisa gas darah dan kimia darah dalam batas normal, saat dilihat CT scan
pasien ini tidak ada tanda patologi pembedahan seperti edema, perdarahan atau hidrosefalus.
Tidak ada korelasi antara waktu ekstubasi dan durasi anestesi (r = 0.07, P = 0.6), waktu
selesai operasi (r = - 0.1, P = 0.2). Total propofon infus ( r = 0.05, P = 0,2) dan total
remifentanil infus ( r = 0.06, P = 0.3).
Skala VAS paskaoperasi signifikan lebih tinggi kelompok P dibanding kelompok G
pada 15 dan 30 menit dan 1 jam (P < 0.001)( Gbr.1). Total dan kumulatif kebutuhan morfin
signifikan lebih tinggi kelompok P dibanding kelompok G (mg) (33 17 vs 24 19) selama
48 jam paskaoperasi (P = 0.001) (Gbr.2). Disini tidak ada kolerasi diantara total kebutuhan
morfin, perjalanan pembedahan (r = 0.06, P = 0.3), dan jenis kelamin pasien (r = 0.08, P =
0.2).
Gambar 1. Perubahan skor VAS. Nilai dinyatakan dalam median & rentang interkuartil (25-75 %),
Garis vertikal menunjukan nilai minimum dan maksimum diperoleh.* P < 0.05 antara kelompok.
Gambar 3. Perubahan skala sedasi Ramsay (1: pasien cemas dan agitasi, atau gelisah atau keduanya; 2:
pasien kooperatif, tenang; 3: pasien berespon hanya dengan perintah; 4: pasien respon cepat terhadap
ketukan didahi atau stimulasi suara keras; 5: pasien respon lambat terhadap ketukan didahi atau
stimulasi suara keras; 6: pasien tidak ada respon ).Nilai dinyatakan dalam median & rentang
interkuartil (25-75 %), Garis vertikal menunjukan nilai minimum dan maksimum diperoleh.
* P < 0.05 antara kelompok.
Diskusi
Kami meneliti efisiensi analgesia paskaoperasi gabapentin dimulai untuk profilaksis
antiepilpesi 1 minggu sebelum kraniotomi. Membandingkan dengan fenitoin, gabapentin
menurunkan kebutuhan morfin pasien dan meningkatkan sedasi paskaoperasi. Akan tetapi,
ekstubasi trakea menjadi lambat.
Efek Analgesia preemptive gabapentin telah diketahui dengan baik. Peneliti
melaporkan secara signifikan gabapentin (300 800 mg) dosis tunggal atau kombinasi
multiple dosis preoperatif menurunkan kebutuhan analgesia paskaoperasi. Penelitian ini,
walaupun, gabapentin telah digunakan untuk preoperatif pendek.
Perbedaan penelitian
sebelumnya, kami mulai pemberian gabapentin 1200 mg per hari (3 x 400 mg) 7 hari sebelum
pembedahan untuk memelihara level plasma antilepilepsi. Penjumlahan mean 34 mmol/L
level plasma gabapentin untuk mencegah kejang dan memberikan analgesia paskaoperasi.
Sangat disayangkan, tidak satu pun peneliti
mengevaluasi efek
gabapentin pada
paskaoperasi dengan mengukur level plasma; jadi, tidak tersedia data untuk membantu
mereka menentukan target analgesia dan level plasma antiepilepsi. Jika tujuan utama adalah
menurunkan nyeri paskaoperasi, akan tetapi, pemberian gabapentin 7 hari preoperatif tidak
selalu dapat dikerjakan dengan mudah, dan efek samping tidak harus diremehkan karena
mungkin batasan digunakan preoperatif.
Pada penelitian kami, menggunakan preemptive gabapentin dengan dosis dibagi
untuk 1 minggu menurunkan kebutuhan morfin 28 % pada 48 jam pertama dibandingkan
dengan fenitoin. Penelitian lain menyimpulkan gabapentin menurunkan kebutuhan morfin
paskaoperasi sebanyak 32% - 50%. Sebagai contoh, Dirks dkk, Pasien diberikan gabapentin
(1200 mg) dosis tunggal 1 jam sebelum pembedahan, diikuti gabapentin oral (600 mg) 8, 16
dan 24 jam setelah inisial dosis (total dosis 3000 mg dalam 24 jam) untuk histerektomi
abdominal. Mereka melaporkan 32% menurunkan kebutuhan morfin tanpa efek samping
berarti. Hasil kami adalah konsisten pada penelitian ini, meskipun semua penelitian ini
difollow up dosis regimen gabapentin berbeda, tipe pembedahan, obat coadministrasi dan
durasi.
menggunakan profilaksis gabapentin dan kapan dosis optimal analgesia dan efikasi
antiepilepsi, terutama pasien bedah saraf.
Meskipun pada kenyataannya fenitoin telah diketahui tidak memiliki efak analgesia
mengatasi nyeri akut, hal ini fentoin sebagai obat antiepilepsi pertama digunakan secara
khusus untuk management nyeri kronik tetapi saat ini jarang digunakan sebagai aplikasi.
10
Kenyataan ini mungkin dapat dijelaskan sparing efek opioid adalah lebih sedikit pada
penelitian kami ketika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.
Pasien yang menerima gabapentin lebih tinggi skala sedasi sampai dengan 2 jam
pertama setelah pembedahan. Peneliti lain juga mencatat efek sedasi gabapentin. Walaupun
hasil yang diteliti dengan meta analisa dilaporkan efek sedasi bermakna dibandingkan dengan
plasebo saat hasil percobaan dikelompokkan tetapi disimpulkan. Meskipun, dimana
pelaporan kurang baik dan sebagian besar menjadi bermakna dari dua percobaan. Walaupun
pasien bedah saraf, tidak seperti menjalani tipe pembedahan lain, sebagai alasan dimana
menjalani tipe operasi lain, menentukan alasan untuk sedasi, ekstubasi trakea lambat, atau
ketidaksadaran adalah sulit, dan faktor yang berkaitan dengan pasien, anestesi dan operasi.
Konsisten dengan kepustakaan, dimana kami menemukan gabapentin menurunkan
keperluan perioperatif anestesi. Besarnya keterbatasan penelitian ini ditujukan pada efek
pemberian gabapentin preoperatif dalam kebutuhan anestesi. Koc, dkk melaporkan
penurunan kebutuhan total remifentanil intraoperatif dengan infus propofol pada pasien yang
mendapat gabapentin dan deksametason secara bersamaan sebelum operasi varicocel. Turan,
dkk menunjukkan penurunan total kebutuhan fentanyl intraoperasi tanpa menurunkan
kebutuhan propofol saat gabapentin diberikan sebelum operasi telinga-hidung-tenggorokan
(THT). Pembedahan ini dihubungkan dengan nyeri sedang dan kedalaman anestesi di
monitoring dengan variabel anatomi standar dan monitoring BIS. Penelitian selanjutnya
diperlukan keputusan manakah pasien yang akan menerima gabapentin preoperatif dengan
anestesi yang sama selama kraniotomi.
Profilaksis antiepilepsi harus ditentukan oleh satu orang dengan resiko dan
konsiekwensi kejang selama periode paskaoperasi, dan dari sisi lain efikasi dan toleransi
obat. Sebagai profilaksis setelah kraniotomi, obat antieplepsi dengan mudah digunakan,
mengontrol kejang secara adekuat, dan efek samping utama tidak ada. Persiapan IV juga
diperlukan selama pemulihan. Fenitoin dalam bentuk IV, tetapi gabapentin tidak ada, dan
gabapentin memiliki efek samping berat (pusing, kelemahan, ataxia, dll). Sangat disayangkan
beberapa pasien kami tidak dapat dilanjutkan penelitiannya karena saat preoperatif mengeluh
pusing dan kelemahan. Frekuensi efek samping dan dibutuhkan penghentian terapi adalah
langsung sebanding dengan dosis yang dibutuhkan, dan efek samping muncul hari pertama
saat terapi. Pada pasien bedah saraf, meskipun kadang-kadang sulit untuk membedakan
penyebab kelemahan, pusing dan mengantuk dimana gejalah tersebut berkaitan dengan
patologi intrakranial. Jadi, dilakukan penelitian lanjut mengenai perbedaan dosis gabapentin
pada pasien bedah saraf. Mual dan muntah dapat muncul pada pasien setelah kraniotomi
11
12