Anda di halaman 1dari 2

Akademisi dalam Pusaran Korupsi

Karyudi Sutajah Putra ; Tenaga Ahli DPR


SUARA MERDEKA, 03 September 2013
PEKAN ini KPK memeriksa Andi Alifian Mallarangeng, akademisi yang kemudian
terjun ke politik dan menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, sebagai tersangka korupsi
proyek Hambalang. Dalam kasus korupsi proyek bernilai Rp 2,5 triliun itu Andi dijerat
Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai perubahan atas UU
Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat
(1) KUHP.
Sebelum terjun ke politik dengan mendirikan Partai Demokrasi Kebangsaan dan
kemudian bergabung dengan Partai Demokrat, Andi dosen di Institut Ilmu Pemerintahan
(IIP) Jakarta. Rudi Rubiandini, sebelum menjabat Wakil Menteri ESDM dan kemudian
Kepala SKK Migas adalah dosen dan Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dia kini ditahan sebagai tersangka suap setelah ditangkap KPK dengan barang bukti uang
700.000 dolar AS dari petinggi PT Kernel Oil di Indonesia, Simon Gunawan Tanjaya,
pada 13 Agustus lalu. Rudi dijerat Pasal 12 Huruf a dan Huruf b atau Pasal 5 Ayat (2)
atau Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Andi dan Rudi menambah panjang daftar tersangka kasus korupsi berlatar akademisi.
Sebelumnya, ada mantan ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin. Mantan guru besar
Universitas Indonesia (UI) ini tersandung kasus pengumpulan dana taktis dari rekanan
KPU pada 2005. Nazaruddin divonis 6 tahun penjara dan mengembalikan kerugian
negara Rp 1,068 miliar.
Lalu, ada Rusadi Kantaprawira, saat itu anggota KPU. Guru Besar Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung, ini tersandung kasus korupsi pengadaan tinta sidik jari
Pemilu 2004. Ia dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Berikutnya Mulyana
Wirakusumah. Kriminolog UI ini tertangkap tangan saat menerima suap dari pegawai
BPK. Saat itu Mulyana menjabat anggota KPU. Selain suap, Mulyana juga terlibat
korupsi pengadaan kotak suara Pemilu 2004.
Mulyana divonis 2 tahun 7 bulan penjara untuk kasus suap, dan 15 bulan penjara untuk
korupsi kotak suara. Juga ada Daan Dimara. Guru Besar Universitas Cendrawasih
Jayapura, ini tersandung kasus korupsi saat menjabat anggota KPU. Dia dinyatakan
terlibat korupsi pengadaan segel surat suara pada 2005. Daan divonis 4 tahun penjara dan
denda Rp200 juta.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri tersandung korupsi dana
nonbujeter saat menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Rokhmin divonis 7 tahun
penjara. Selanjutnya Miranda Swaray Goeltom, Guru Besar UI ini terlibat suap
pemberian cek pelawat kepada sejumlah anggota DPR pada 2004.

Miranda divonis 3 tahun penjara. Di daerah, Rektor Universitas Jenderal Soedirman


(Unsoed) Purwokerto Edy Yuwono ditahan kejaksaan, pada Rabu (21/8), sebagai
tersangka korupsi dana corporate social responsibillity (CSR) dari PT Aneka Tambang
untuk proyek Pengembangan Perikanan, Peternakan dan Pertanian Terpadu di Pantai
Ketawang Grabag Kabupaten Purworejo.
Hasil audit BPKP Jateng per 1 Agustus 2013, kerugian negara dalam kasus itu Rp 2,154
miliar dari proyek kerja sama Unsoed-Antam senilai Rp5,8 miliar. Edy dijerat Pasal 2, 3,
9, dan 12B UU Nomor 20 Tahun 2001.
Penuh Jebakan
Mengapa akademisi terjerat dalam pusaran korupsi? Pengamat politik dari Universitas
Nasional (Unas) Jakarta Alfan Alfian berpendapat, keterjeratan akademisi dalam kasus
korupsi menunjukkan bahwa dunia politik penuh dengan jebakan, godaan, dan intrik. Jika
tak berhati-hati, akademisi akan dimanfaatkan oleh politikus.
Menurut Alfian, ada beberapa faktor yang memengaruhi akademisi terlibat korupsi,
antara lain mereka dikendalikan kekuatan besar yang memanfaatkan kesempatan dengan
sistem yang mudah untuk menyimpangkan wewenang atau abuse of power. Dari sisi lain,
Rektor Universitas Paramadina Jakarta Anies Baswedan mengakui citra kalangan
akademisi jatuh gara-gara ada oknum terjerat korupsi.
Namun, untuk memperbaiki hal tersebut ia makin mantap terjun ke dunia politik dengan
mengikuti konvensi calon presiden dari Partai Demokrat. Klaim bahwa akademisi
terjebak dan dimanfaatkan politikus sehingga terlibat korupsi, bisa benar bisa tidak. Yang
pasti, mereka bukan orang bodoh.
Namun orang pintar kadang masih kalah dari orang beja (beruntung). Barangkali mereka
sedang apes. Betapa banyak pejabat korupsi tetapi tak tertangkap. Atau mereka pintar
tetapi lugu, tidak menguasai medan, sehingga jejaknya mudah diendus. Bandingkan
dengan politikus kawakan yang sering disebut terlibat korupsi tapi tetap aman.
Yang pasti, ada dua faktor yang memengaruhi terjadinya korupsi, yakni niat dan
kesempatan. Bila niat itu ada tetapi tak ada kesempatan, tidak jadi itu barang.
Begitu pun bila ada kesempatan tetapi tak ada niat. Maka, dua faktor itu harus ditutup
secara simultan. Nilai-nilai kampus mestinya membentuk karakter para akademisi
sehingga tak ada niat korupsi. Sistem yang bagus dan bersih dapat menutup kesempatan
korupsi. Dua hal itu menjadi tanggung jawab siapa?

Anda mungkin juga menyukai