Anda di halaman 1dari 10

Penyulit Persalinan Kala III

A. Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%),
dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum.
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum
secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi
pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi
apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.
Atonia uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi

kegagalan uterus dalam

berkontraksi dengan baik setelah persalinan, sedangkan atonia uteri juga di definisikan
sebagai tidak adanya kontraksi uterus segera setelah plasenta lahir.
Atonia uteri ( relaksasi otot uterus ) adalah uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik
setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan
Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2010 )
Etiologi :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang ) seperti :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion,


Paritas tinggi
Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
Multipara dengan jarak kelahiran pendek
Partus lama / partus terlantar
Malnutrisi.
Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya placenta belum
terlepas dari dinding uterus.

Tanda Gejala :
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak
merembes.Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi
karena tromboplastin sudah tidak lagi sebagai anti pembeku darah.
b. Konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting / khas atonia dan yang membedakan
atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
c. Fundus uteri naik

Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan


menggumpal.
d. Terdapat tanda-tanda syok
Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ektremitas dingin, gelisah,
mual dan lain-lain.
Diagnosis
a. Data Subjektif:
Ibu mengatakan merasa mules pada perut bagian bawah.
b. Data Objektif
Pemeriksaan fisik: Uterus tidak berkontraksi dan lunak serta terjadi perdarahan
segera setelah plasenta dan janin lahir.
Penatalaksanaan :
1. Masase dan Kompresi bimanual
Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta
(maksimal 15 detik)
1) Gunakan sarung tangan DTT panjang
2) Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan antiseptik
3) Kosongkan kandung kemih
4) Mengeluarkan semua bekuan darah atau selaput yang mungkin masih tertinggal
5) Segera memulai kompresi bimanual internal
a. Masukkan tangan yang memakai sarung tangan ke dalam vagina secara
obstetrik
b. Kepalkan tangan pada forniks anterior
c. Tekankan tangan yang ada dalam vagina dengan mantap
d. Tekankan tangan luar pada perutdan gunakantekanan melawan kepalan tangan
yang berada di dalam vagina secara bersamaan
e. Tahan dengan mantap
6) Kontraksi pertahankan tekanan selama 2 menit, lalu dengan perlahan tariklah
tangan keluar. Jika uterus berkontraksi , teruskan pemantauan.
7) Jika uterus tidak berkontraksi setelah 5 menit, suruhlah anggota keluarganya
untuk melakukan kompresi bimanual ekternal (KBE) sementara kita member
injeksi methergin 0,2 mg IM dan memulai infuse IV ( RL dengan 20 IU oksitosin /
500 cc terbuka lebar / guyur ).
8) Jika uterus tetap tidak berkontraksi lanjutkan kembali KBIsegera setelah kita
memberikan injeksi methergin dan memulai infuse IV.
9) Jika uterus belum juga mulai berkontraksi setelah 5-7 menit, segeralah perujukan
dengan IV tetap terpasang dengan laju 500cc/ jam hingga tiba di tempat perujukan

atau jumlah seluruhnya 1,5 liter diinfuskan. Lalu teruskan dengan laju infuse 125
cc / jam.
2. Resusitasi
Apabila terjadi perdarahan postpartum banyak, maka penganganan awal yaitu
resusitasi dengan oksigen dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital,
jumlah urin, dan saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu
dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
3. Uterotonika
Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior
hipofisis.Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring
dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin.Pada dosis
rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada
dosis tinggi menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk
perdarahan aktif diberikan lewat infuse dengan RL 20 IU per liter, jika sirkulasi
kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU IMM. Perdarahan postpartum dini sebagian
besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan
uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan aktif yang terjadi.
d. Uterine lavage dan uterine packing
Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan ,pemberian air panas ke dalam
cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2 liter
salin 470C-500C langsung kedalam cavum uteri menggunakan pipa infus.Prinsipnya adalah
membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan maksimumpada dinding
uterus.Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin, anestesi dibutuhkan dalam
penangan ini dan antibiotika broad-spectrum harus diberikan. Uterine packing dipasang
selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi cairan dan transfuse darah masuk. Uterine
packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas operasi atau kondisi pasien tidak
e.

1)

memungkinkan dilakukan operasi.


Operatif
Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan
80-90%.
Ligasi arteri Iliaka Interna
Identifikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk melakukannya harus
dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral parallel dengan garis ureter.setelah
peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal
bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan dibelakang arteri dan dengan
menggunakan benang non absorbable dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm.
Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan

femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.Resiko ligasi arteri iliaka adalah
trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan perdarahan.Dalam melakukan tindakan ini
dokter harus mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.
2)
Teknik B-Lynch
Teknik B-Lynch dikenal juga dengan brace suture , ditemukan oleh Christopher B
Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk mengatasi perdarahan postpartum
3)

akibat atonia uteri.


Histerektomi
Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika terjadi perdarahan
postpartum masih yang membutuhkan tindakan operatif.Insidensi mencapai 7-13 per
100.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada persalinan abdominal dibandingkan

vaginal.
4)
Ligasi arteri uterine
Benerapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan 8090%.Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus setinggi
batas atas segmen bawah rahim.Jika dilakukan SC, ligasi arteri uterina dilakukan 2-3 cm
dibawah irisan segmen bawah rahim.Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik
yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterine diligasi dengan
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterine, masuk ke miometrium keluar dibagian
avaskular ligamentum latum lateral vasa uterine. Saat ,melakukan ligasi hindari rusaknya
vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu
penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika
langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim. Dengan
menyisihkan vesika uterina, ligasi kedua dilakukan bilateral ipada vasa uterina bagian
bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina diatas.Ligasi ini harus mengenai sebagian besar
arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang menuju servik, jika
perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa
ovarian.
Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam 10-15
menit.Biasanya sangat baik mengontrol bahaya sementara dan sering menghentikan
perdarahan secara sempurna.Bila uterus refrakter oksitosin dan perdarahan tidak berhenti
setelah kompresi bimanual maka harus dilakukan tindakan terakhir yaitu histerektomi.

B. Retensio Placenta
Retensio Plasentaadalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam
setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya

perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadiplasenta inkarserata dapat
terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasiganas korio karsinoma.
Etiologi :
1. Plasenta belum lepas dari didinding uterus.
2. Plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan (disebabkan karena tidak adanya usaha
untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III).
3. Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
4. Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vili korealis menembus
desidua sampai miometrium-sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta-perkreta).
Jenis Jenis Retensio Placenta
a. Plasenta Adhesiva
Placenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
b. Placenta Akreta
Placenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasetita hingga memasuki
sebagian lapisan miornetrium.
c. Placenta Inkreta
Placenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai /
memasuki miornetrium.
d. Placenta Perkreta
Placenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e. Placenta Inkaserata
Placenta inkaserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri
disebabkan oleh kontriksi osteuni uteri.
Tanda dan Gejala:
1.
2.
3.
4.

Terjadi perdarahan segera


Uterus tidak berkontraksi
Tinggi fundus uteri tetap atau tidak berkurang
Plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir

Diagnosis:
a. Data subjektif
Ibu mengatakan perutnya terasa mulas dan plasenta belum lahir
b. Data objektif

Pemeriksaan Fisik : Palpasi pada daerah perut didapatkan uterus tidak teraba bulat
dan keras kontraksi kurang baik, TFU 1 jari diatas pusat dan vesika urinaria teraba
agak menonjol serta terjadi perdarahan segera setelah anak lahir (postpartum primer)
Penatalaksaan :
1.

Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila


plasenta belum lahir dalam - 1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai

perdarahan.
2. Tindakan penanganan retensio plasenta :
a. Memberikan informasi kepada ibu dan keluarga tentang tindakan yang akan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

dilakukan
Mencuci tangan secara efektif
Melaksanakan pemeriksaan umum
Mengukur vital sign, suhu, nadi, tekanan darah dan pernafasan
Melakukan pemeriksaan kebidanan seperti inspeksi, palpasi, periksa dalam
Memakai sarung tangan steril
Melakukan vulva hygiene
Mengamati adanya gejala dan tanda retensio plasenta
Bila plasenta tidak lahir dalam 30 menit sesudah lahir atau terjadi perdarahan

sementara plasenta belum lahir maka berikan oxytocin 10 IU IM


j. Pastikan bahwa kandung kencing kosong dan tunggu terjadi kontraksi, kemudian
coba melahirkan plasenta dengan menggunakan peregangan tali pusat terkendali
k. Bila dengan tindakan tersebut plasenta belum lahir dan terjadi perdarahan banyak,
maka plasenta harus dilahirkan secara manual plasenta
l. Berikan cairan infuse NACL atau RL secara guyur untuk mengganti cairan
m. Manual Plasenta
1) Memasang infuse cairan dekstrose 5 %
2) Ibu posisi litotomi dengan narkosa dengan segala sesuatunya dalam keadaan
suci hama
3) Teknik: Tangan kiri diletakkan di fundus uteri ,tangan kanan dimasukkan
dalam rongga rahim dengan menyusuri tali pusat sebagai penuntun. Tepi
plasenta dilepas-disisihkan dengan tepi jari-jari tangan bila sudah lepas
ditarik keluar.Lakukan eksplorasi apakah ada luka luka atau sisa-sisa plasenta
dan bersihkanlah. Manual plasenta berbahaya karena dapat terjadi robekan
jalan lahir ( uterus ) dan membawa infeksi.
C. Emboli Air Ketuban

Emboli air ketuban menimbulkan syok yang sangat mendadak dan biasanya
berakhir dengan kematian. Salah satu syok dalam obstetric yang bukan disebabkan
karena perdarahan.
Emboli cairan ketuban merupakan sindrom dimana setelah sejumlah cairan
ketuban memasuki sirkulasi darah maternal, tiba-tiba terjadi gangguan pernafasan yang
akut dan shock. Sindrom cairan ketuban adalah sebuah gangguan langka dimana
sejumlah besar cairan ketuban tiba tiba memasuki aliran darah. Emboli cairan ketuban
adalah masuknya cairan ketuban beserta komponennya ke dalam sirkulasi darah ibu.
Yang dimaksud komponen di sini ialah unsur-unsur yang terdapat di air ketuban seperti
lapisan kulit janin yang terlepas, rambut janin, lapisan lemak janin, dan musin/cairan
kental. yang dapat menghambat pembuluh darah dan mencairkan darah yang
mempengaruhi koagulasi. Dua tempat utama masuknya cairan ketuban dalam sirkulasi
darah maternal adalah vena yang dapat robek sekalipun pada persalinan normal.
Ruptura uteri meningkatkan kemampuan masuknya cairan ketuban.
Emboli cairan ketuban dapat terjadi bila ada pembukaan pada dinding pembuluh
darah dan dapat terjadi pada wanita tua/ usia lebih dari 30 tahun, sindrom janin mati,
Multiparitas, Janin besar intrauteri, Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi,
Menconium dalam cairan ketuban dan kontraksi uterus yang kuat. Dua puluh lima
persen wanita yang menderita keadaan ini meninggal dalam waktu 1 jam. Emboli air
ketuban atau EAK (Amniotic fluid embolism) merupakan kasus yang sangat jarang
terjadi. Kasusnya antara 1 : 8.000 sampai 1 : 80.000 kelahiran.
Meskipun jarang terjadi, tetapi bila edema cairan ketuban terjadi pada wanita,
maka akan menyumbat aliran darah ke paru, yang bila meluas akan mengakibatkan
penyumbatan dijantung, sehinggaa iskemik dan kematian jantung secara mendadak bisa
terjadi. Karena wanita tersebut akan mengalami gangguan penapasan, syok, hipotermi,
Dyspnea, Batuk, Hipotensi perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia
Cardiac arrest. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain
(DIC terjadi di 83% pasien.). Risiko emboli cairan ketuban tidak bisa diantisipasi jauhjauh hari karena emboli paling sering terjadi saat persalinan. Dengan kata lain,
perjalanan kehamilan dari bulan ke bulan yang lancar-lancar saja, bukan jaminan ibu
aman dari ancaman EAK. Sementara bila di persalinan sebelumnya ibu mengalami
EAK, belum tentu juga kehamilan selanjutnya akan mengalami kasus serupa. Begitu
juga sebaliknya.

Etiologi :
a. Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun
Shock yang dalam yang terjadi secara tiba tiba tanpa diduga pada wanita
yang proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang sulit .
Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar ,
mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus
menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini ( emboli cairan ketuban ).
b. Janin besar intrauteri
Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun dapat
masuk melalui pembuluh darah.
c. Kematian janin intrauteri
Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar
akan ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan menyubat aliran
darah ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan pernapasan karena
cairan ketuban menyubat aliran ke paru, yang lama kelamaan akan menyumbat aliran
darah ke jantung, dengan ini bila tidak tangani dengan segera dapat menyebabkan
iskemik bahkan kematian mendadak.
d. Menconium dalam cairan ketuban
e. Kontraksi uterus yang kuat
Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya laserasi
atau rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan vena, dengan pembukaan
vena, maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh darah ibu, yang
nantinya akan menyumbat aliran darah, yang mengakibatkan hipoksia, dispue dan
akan terjadi gangguan pola pernapasan pada ibu.
f. Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi
Dengan prosedur operasi tidak jauh dari adanya pembukaan pembuluh darah,
dan hal ini dapat terjadi ketuban pecah dan masuk ke pembuluh darah ibu.
Patofisologi:
Perjalanan cairan amnion memasuki sirkulasi ibu tidak jelas, mungkin melalui
laserasi pada vena endoservikalis selama diatasi serviks, sinus vena subplasenta, dan
laserasi pada segmen uterus bagian bawah. Kemungkinan saat persalinan, selaput
ketuban pecah dan pembuluh darah ibu (terutama vena) terbuka. Akibat tekanan yang
tinggi, antara lain karena rasa mulas yang luar biasa, air ketuban beserta komponennya
berkemungkinan masuk ke dalam sirkulasi darah.
Walaupun cairan amnion dapat masuk sirkulasi darah tanpa mengakibatkan
masalah tapi pada beberapa ibu dapat terjadi respon inflamasi yang mengakibatkan

kolaps cepat yang sama dengan syok anafilaksi atau syok sepsis. Selain itu, jika air
ketuban tadi dapat menyumbat pembuluh darah di paru-paru ibu dan sumbatan di paruparu meluas, lama kelamaan bisa menyumbat aliran darah ke jantung. Akibatnya, timbul
dua gangguan sekaligus, yaitu pada jantung dan paru-paru.
Pada fase I, akibat dari menumpuknya air ketuban di paru-paru terjadi vasospasme
arteri koroner dan arteri pulmonalis. Sehingga menyebabkan aliran darah ke jantung kiri
berkurang dan curah jantung menurun akibat iskemia myocardium. Mengakibatkan
gagal jantung kiri dan gangguan pernafasan. Perempuan yang selamat dari peristiwa ini
mungkin memasuki fase II. Ini adalah fase perdarahan yang ditandai dengan pendarahan
besar dengan rahim atony dan Coagulation Intaravakuler Diseminata ( DIC ). Masalah
koagulasi sekunder mempengaruhi sekitar 40% ibu yang bertahan hidup dalam kejadian
awal. Dalam hal ini masih belum jelas cara cairan amnion mencetuskan pembekuan.
Kemungkinan terjadi akibat dari embolisme air ketuban atau kontaminasi dengan
mekonium atau sel-sel gepeng menginduksi koagulasi intravaskuler.
Gejala Klinis
Tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan kemungkinan emboli cairan ketuban:
a.Tekanan darah turun secara signifikan dengan hilangnya diastolik pada saat
pengukuran (Hipotensi )
b. Dyspnea, Batuk
c.Sianosis perifer dan perubahan pada membran mukosa akibat dari hipoksia.
d. Janin Bradycardia sebagai respon terhadap hipoksia, denyut jantung janin dapat
turun hingga kurang dari 110 denyut per menit (dpm). Jika penurunan ini
berlangsung selama 10 menit atau lebih, itu adalah Bradycardia. Sebuah tingkat 60
bpm atau kurang lebih 3-5 menit mungkin menunjukkan Bradycardia terminal.
e.Pulmonary edema, Cardiac arrest.
f. Rahim atony: atony uterus biasanya mengakibatkan pendarahan yang berlebihan
setelah melahirkan.Kegagalan rahim untuk menjadi perusahaan dengan pijat
bimanual diagnostik.
g. Koagulopati atau pendarahan parah karena tidak adanya penjelasan lain (DIC
terjadi di 83% pasien.)
Penatalaksanaan :
Walaupun pada awal perjalanan klinis emboli cairan amnion terjadi hipertensi
sistemik dan pulmonal, fase ini bersifat sementara. Wanita yang dapat bertahan hidup
setelah menjakani resusitasi jantung paru seyogyanya mendapat terapi yang ditujukan

untuk oksigenasi dan membantu miokardium yang mengalami kegagalan. Tindakan


yang menunjang sirkulasi serta pemberian darah dan komponen darah sangat penting
dikerjakan. Belum ada data yang menyatakan bahwa suatu intervensi yang dapat
mempermaiki prognosis ibu pada emboli cairan amnion. Wanita yang belum melahirkan
dan mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk melakukan tindakan seksio
caesaria perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin. Namun, bagi ibu yang
hemodinamikanya tidak stabil, tetapi belum mengalami henti jantung, pengambilan
keputusan yang seperti itu menjadi semakin rumit.
1. Terapi krusnal , meliputi : resusitasi , ventilasi , bantuan sirkulasi , koreksi defek
yang khusus ( atonia uteri , defek koagulasi ).
2. Penggatian cairan intravena & darah diperlukan untuk mengkoreksi hipovolemia &
perdarahan .
3. Oksitosin yang di tambahkan ke infus intravena membantu penanganan atonia
uteri.
4. Morfin (10 mg) 0,01 0,02 sub cutan atau atropine 0,001 0,003 IU pelahan-lahan
dan pavaperin 0,004 i.u dapat membantu mengurangi dispnea dan ancietas
5. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskular dengan menghambat
proses perbekuan.
6. Amniofilin ( 250 500 mg ) melalui IV mungkin berguna bila ada bronkospasme ..
7. Isoproternol menyebabkan vasodilatasi perifer, relaksi otot polos bronkus, dan
peningkatan frekuensi dan kekuatan jantung. Obat ini di berikan perlahan lahan
melalui Iv untuk menyokong tekanan darah sistolik kira kira 100 mmHg.
8. Kortikosteroid secara IV mungkin bermanfaat .
9. Heparin membantu dalam mencegah defibrinasi intravaskuler dengan menghambat
proses pembekuan.
10. Oksigen diberikan dengan tekanan
11. Untuk memperbaiki defek koagulasi dapat digunakan plasma beku segar dan sedian
trombosit.
12. Defek koagulasi harus dikoreksi dengan menggunakan heparin / fibrinogen.
13. Darah segar diberikan untuk memerangi kekurangan darah; perlu diperhatikan agar
tidak menimbulkan pembebanan berlebihan dalam sirkulasi darah.
Digitalis berhasiat kalau terdapat kegagalan jantung.

14.

Anda mungkin juga menyukai