UVEITIS
Uveitis merupakan proses inflamasi pada uveal tract (koroid, iris, dan corpus
ciliaris). Uveitis umumnya unilateral,biasanya terjadi pada dewasa muda dan usia
pertengahan. Ditandai adanya riwayat sakit,fotofobia,dan penglihatan yang kabur,
mata merah (merah sirkumneal) tanpa tahi mata purulen dan pupil kecil atau ireguler
KLASIFIKASI
Klasifikasi uveitis berdasarkan :
Fokus inflamasi
Meliputi
Uveitis anterior
COA
Uveitis
intermediat
Vitreus
Uveitis posterior
Pan uveitis
Iritis
Iridosiklitis
Siklitis anterior
Pars planitis
Siklitis posterior
Hialitis
Koroid fokal, multifokal atau
difus
Korioretinitis
Retinokoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis
EPIDEMIOLOGI
Insiden sekitar 15 per 100.000 orang, sekitar 75 % merupakan uveitis anterior. Sekitar 50%
pasien dengan uveitis menderita penyakit sistemik terkait
II.
Uveitis posterior
Definisi :
Uveitis posterior adalah proses peradangan pada segmen posterior uvea, yaitu pada
koroid, dan disebut juga koroiditis. Karena dekatnya koroid pada retina, maka penyakit
koroid hampir selalu melibatkan retina ( korioretinitis ). Uveitis posterior biasanya lebih
serius dibandingkan uveitis anterior.
Peradangan di uvea posterior dapat menyebabkan gejala akut tapi biasanya
berkembang menjadi kronik. Kedua fase tersebut ( akut dan kronik ) dapat menyebabkan
pembuluh darah diretina saling tumpang tindih dengan proses peradangan di uvea posterior.
Perdarahan diretina akan menutup semua area, pada beberapa kasus terdapat lesi yang
kecil disertai kelainan pada koroid tapi setelah beberapa minggu atau bulan akan ditemukan
infiltrat dan edema hilang sehingga menyebabkan koroid dan retina atrofi dan saling melekat.
Daerah yang atrofi akan memberikan kelainan bermacam macam dalam bentuk dan ukuran.
Perubahan ini akan menyebabkan perubahan warna koroid menjadi putih, kadang pembuluh
darah koroid akan tampak disertai karakteristik dari deposit irregular yang banyak atau
berkurangnya pigmen hitam terutama pada daerah marginal.
Lesi bisa juga ditemukan pada eksudat selular yang berkurang di koroid dan retina.
Inflamasi korioretinitis selalu ditandai dengan penglihatan kabur disertai dengan melihat lalat
berterbangan ( floaters). Penurunan tajam penglihatan dapat dimulai dari ringan sampai
berat yaitu apabila koroiditis mengenai daerah makula atau papilomakula.
Kerusakan bisa terjadi perlahan lahan atau cepat pada humor vitreus yang dapat
dilihat jelas dengan fundus yang mengalami obstruksi. Pada korioretinitis yang lama biasanya
disertai floaters dengan penurunan jumlah produksi air mata pada trabekula anterior yang
dapat ditentukan dengan pemeriksaan fenomena Tyndall. Penyebab floaters adalah
terdapatnya substansi di posterior kornea dan agregasi dari presipitat mutton fat pada kornea
bagian dalam. Mata merah merupakan gejala awal sebelum menjadi kuning atau putih yang
disertai penglihatan kabur, bila terdapat kondisi ini biasanya sudah didapatkan atropi pada
koroid, sering kali uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai penglihatannya
kabur.
Gejala khas dari uveitis posterior adalah tajam penglihatan yang menurun, floating
spot dan fotopsia . Karena terdapat banyak kelainan pada badan vitreus sel yang disebabkan
fokal atau multifokal retina dan koroid gambaran klinis bisa juga secara bersamaan.
Diagnosis banding tergantung dari lama dan penyebab infeksi atau bukan infeksi. Infeksi bisa
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan cacing non infeksi, bisa juga disebabkan
oleh penurunan imunologik atau alergi organ, bisa juga penyebabnya tidak diketahui setelah
timbul endoftalmitis dan neoplasma.
ETIOLOGI :
Virus
Herpes simpleks
Lesi mata yang tersering dan paling serius adalah keratitis. Lesi kulit vesikuler juga
dapat muncul di kulit dan tepi kelopak. Herpes simpleks dapat menyebabkan iridosiklitis.
Virus herpes simpleks tipe I, virus varicela zoster, dan CMV pernah dilaporkan sebagai
penyebab sindrom nekrosis retina akut.
ditemukan tampilan AIDS lainnya seperti retinopati CMV yang terdiri dari area retina
keputihan berhubungan dengan perdarahan disertai likenifikasi hingga terlihat seperti keju
softage. Lesi itu dapat mengancam makula atau lempeng optik dan biasanya terdapat sedikit
inflamasi pada vitreus.
Jamur
Histoplasmosis
Merupakan kelainan multifaktor korioretinitis, epidemiologinya berhubungan dengan
Histoplasma capsulatum, yang merupakan jamur dimorfik yang dalam perkembangannya
dapat bertahan 2 tahun dalam bentuk filamennya. Spora jamur tersebut dapat menyebabkan
terjadinya penyakit sistemik dan penyakit mata. Beberapa daerah di Amerika Serikat yang
endemis histoplasmosis yaitu Ohio dan lembah sungai Missisippi. Diagnosis koroiditis yang
diduga disebabkan oleh histoplasmosis sering ditegakkan. Infeksi primer pada mata terjadi
setelah kontak spora jamur yang berasal dari paru paru. Jamur ini dapat menyebar ke limpa,
hati, dan koroid mengikuti infeksi yang berasal dari paru paru. Histoplasmosis didapat
kadang tidak menimbulkan gejala atau akibat dari keadaan sakit yang tidak berbahaya dan
biasanya ditemukan pada anak anak.
Pemeriksaan kulit pada pasien biasanya positif terhadap histoplasmosis dan
menunjukkan bercak bercak khas pada perifer fundus. Bercak bercak ini berbentuk daerah
daerah kecil, bulat atau lonjong tidak teratur, tanpa pigmen kadang kadang dengan batas
berpigmen halus. Kadang dapat ditemukan atrofi peripapiler dan hiperpigmentasi.
Bercak histo muncul pertama kali pada mata selama masa remaja, tetapi makulopati
baru berkembang pada usia 20 -50 tahun, rata-rata pada usia 41 tahun. Secara patologi, lesi
pertama muncul dalam bentuk granuloma di koroid. Koroiditis akan menyebabkan
penglihatan menurun dan terbentuk sikatrik disertai pigmentasi pada pigmen epitelium, atau
memberi gambaran rusaknya membran pigmen epitelium yang disebabkan peningkatan kadar
limfosit. Pada daerah pusat koroiditis akan terbentuk pembuluh darah baru subretinal yang
baru, yang akan menyebabkan peningkatan cairan, lipid dan darah yang dapat menyebabkan
kerusakan pada fungsi makular.
Diagnosis histoplasmosis berdasarkan gejala klinis disertai pembentukan bercak kecil
yang menyebar, perubahan papil papil di pigmen dan pembentukan cincin pigmen dimakula
sehingga menyebabkan saraf sensorik retina saling tumpang tindih, kadang disertai
perdarahan. Pada permulaan histo akan terbentuk bercak dimakula dan badan vitreus yang
tidak terlihat pada histoplasmosis, jarang didapat gejala yang menyertai bentuk atrofi. Sel
vitreus tidak terlihat pada OHS, dan gejala sering bersamaan dengan perifer dan atropi bercak
histo. Bercak tersebut fokal, sembuh dan terbentuk lesi punched out yang disebabkan oleh
jumlah yang bervariasi dari luka yang terdapat pada koroid dan yang berlengketan pada retina
lapisan luar. Gangguan penglihatan pada pusat penglihatan karena keterlibatan makula
sehingga pasien harus dirujuk ke dokter mata.
Pada daerah koroiditis dapat diobati dengan kortikosteroid oral dan lokal. Pada tahap
awal dari angiogram fluoresein, koroid aktif akan menghambat zat tersebut dan akan tampak
hipofluoresein. Selanjutnya, lesi koroid akan berwarna dan menjadi hiperfluoresein. Dengan
kontras, area pada membran neovaskular subretina aktif akan menjadi hiperfluoresein yang
terjadi awal pada angiogram.
Membran neovaskular penting jika hanya terdapat pada daerah diskus-makula. Jika di
luar superotemporal dan inferotemporal vascular arcades, hal tersebut tidak mengurangi
penglihatan dan tidak membutuhkan terapi. Namun jika membran tersebut terletak di 1-200
m dari tengah, laser fotokoagulasi diindikasikan untuk mencegah hilangnya penglihatan.
Macular Photocoagulation Study Group bekerjasama dengan Multicenter Study
menunjukan efek yang berguna dengan fotokoagulasi argon biru-hijau. Pasien yang tidak
diobati menunjukkan persentase yang tinggi (50%) kehilangan penglihatan dibandingkan
dengan pasien yang mendapatkan terapi laser (22%) selama 24 tahun. Krypton merah atau
Argon hijau gelombang tinggi dapat memberi hasil penglihatan yang lebih baik dengan luka
retina yang lebih sedikit dibandingkan dengan fotokoagulasi argon biru-hijau.
reservoir atau host intermediet bagi parasit. Vektor serangga dapat juga menyebarkan
T.gondii dari feses kucing ke sumber makanan manusia, termasuk tumbuhan dan binatang
herbivora.
Manusia terinfeksi lebih sering karena memakan daging yang mentah dan kurang matang
yang mengandung kista jaringan. Wanita yang mendapat Toxoplasmosis selama kehamilan
dapat mentransmisikan takizoit ke janin dengan potensial mata yang parah, SSP dan
komplikasi sistemik. Wanita hamil nonimun tanpa bukti serologik terpapar toxoplasmosis
harus berhati-hati bila memelihara kucing dan harus menghindari daging mentah. Pasien
AIDS juga mudah terkena.
Toxoplasmosis tercatat pada 7-15% dari uveitis. Karena penyakit tersebut dapat
merusak penglihatan struktur mata, hal tersebut penting bagi para ahli mata untuk mengenal
lesi tersebut dan untuk menghindari potensi kematian. Diagnosis yang tepat pada waktunya
sangat penting karena toxoplasmosis memberi respon pada terapi anti mikroba dan itu
merupakan bentuk yang masih dapat diobati pada uveitis posterior.
Tergantung pada luasnya lokasi lesi, pasien mengeluh floating spot unilateral atau
penglihatan kabur. Secara umum segmen anterior tidak mengalami inflamasi pada awal
penyakit, dan pasien memperlihatkan mata putih dan penglihatan yang masih nyaman.
Kadang-kadang inflamasi granulomatosa dapat terjadi peningkatan tekanan bola mata
khususnya pada penyakit yang berulang.
Opasitas vitreus secara umum terlihat jelas dengan pemeriksaan mata baik dengan
pemeriksaan direk maupun indirek. Kuning keputihan, sedikit tinggi letaknya, lesi kabur
dapat terlihat pada fundus, lokasi lesi sering berada dekat dengan bekas luka korioretinal.
Lesi tersebut tampak pada bagian posterior dibandingkan pada fundus bagian lain dan
kadang-kadang terlihat berdekatan dengan papil nervus optikus. Sering salah dianggap
sebagai papilitis optik. Pembuluh darah retina pada sekitar lesi aktif tampak perivaskulitis
dengan sarung vena dan arterial segmental yang difus. Karakteristik lesi adalah retinitis fokal
eksudatif. Pada lapisan depan retina merupakan lokasi untuk proliferasi T. gondii. Lesi ini
tidak menyebabkan berkabut pada vitreus pada tahap awal penyakit, dan pasien tidak
menyadari floating spot sampai lapisan depan retina dan membran hialoid posterior terkena.
Retinitis toksoplasma dapat dimanifes oleh lesi retina perifer, kecil, punctata, sering disebut
Punctate Outer Retinal Toxoplasmosis (PORT).
Diagnosis Toxoplasmosis mata dibuat dengan:
1. Observasi dari karakteristik lesi fundus (fokal nekrosis retinokoroiditis)
2. Deteksi dari adanya antibodi anti Toxoplasma pada serum pasien
3. Pengeluaran dari penyakit infeksi lain yang dapat menyebabkan nekrosis lesi pada
fundus, seperti sifilis, sitomegalovirus dan jamur.
DIAGNOSIS :
Pada umumnya segmen anterior bola mata tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan
sehingga seringkali proses uveitis posterior tidak disadari oleh penderita sampai
penglihatannya kabur.
Lesi pada fundus biasanya dimulai dari retinitis atau koroiditis tanpa komplikasi. Apabila
proses peradangan berlanjut akan didapatkan retinikoroiditis, hal yang sama terjadi pada
koroiditis yang akan berkembang menjadi korioretinitis. Pada lesi yang baru didapatkan tepi
lesi yang kabur dan lesi terlihat 3 dimensional dan dapat disertai perdarahan disekitarnya,
dilatasi vaskuler atau sheating pembuluh darah.
Pada lesi lama didapatkan batas yang tegas seringkali berpigmen rata atau datar dan disertai
hilang atau mengkerutnya jaringan retina atau koroid. Pada lesi yang lebih lama didapatkan
parut retina atau koroid tanpa bisa dibedakan jaringan mana yang lebih dahulu terkena.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium sangat dibutuhkan guna mendapat sedikit gambaran mengenai
penyebab uveitis. Pada pemeriksaan darah, yaitu Differential count, eosinofilia :
kemungkinan penyebab parasit atau alergi, VDRL, FTA, Autoimun marker (ANA,
Reumatoid factor, Antidobble Stranded DNA), Calcium, serum ACE level (sarcoidosis),
Toxoplasma serologi dan serologi TORCH lainnya. Pemeriksaan urin berupa kalsium urin 24
jam (sarcoidosis) dan Kultur (bechets reitters). Pemeriksaan Radiologi, yaitu Foto thorax
(Tbc, Sarcoidosis, Histoplasmosis), Foto spinal dan sendi sacroiliaka (Ankylosing sponfilitis),
Foto persendian lainya (Reumatoid arthritis, juvenile rheumatoid arthritis) dan Foto
tengkorak, untuk melihat adakah kalsifikasi cerebral (toxoplasmosis)
Skin Test, yaitu Mantoux test, untuk Tbc, Pathergy test, untuk Bechets disease akan terjadi
peningkatan sensivitas kulit terhadap trauma jarum pada pasien bila disuntikkan 0,1 ml saline
intradermal dalam 18-24 jam kemudian terjadi reaksi pustulasi. Pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut diperlukan untuk mengetahui etiologi secara spesifik, bila dicurigai adanya
kecurigaan penyakit sistemik, Uveitis rekuren, Uveitus bilateral, Uveitis berat, Uveitis
posterior.
DIAGNOSA BANDING :
Komplikasi :
Vitritis
Ablasio retina
Konjungtivitis
Uveitis posterior ec bakteri
Uveitis ec jamur
Uveitis ec parasit
Uveitis ec infeksi opportunistik
Sinekia posterior
Ablasio retina
Neovaskularisasi retina dan koroid
Endoftalmitis
CME (Cystoid Macular Edema)
Traction retinal detachment
TERAPI
Pengobatan yang diberikan tergantung pada penyebab dan luasnya kerusakan pada mata
Medikamentosa
Biasanya
pasien
diberikan
antiradang
seperti
kortikosteroid,
immunosuppressive / cytotoxic agent . Bila penyebabnya infeksi maka akan
diberikan antibiotik atau anti virus.
Pengobatan standar untuk toksoplasmosis mata terdiri dari
pyrimethamine (daraprim) dan sulfonamide. Dosis awal pyrimethamine 150
mg diikuti 25 mg perhari untuk 6 minggu, dosis awal sulfadiazine 4 mg
diikuti dengan 1g obat yang sama 4 x sehari selama 4 atau 6 minggu. Terapi
dengan pyrimethamine dan sulfonamide mengecewakan pada usia tua dan
pada lesi yang luas pada fundus yang muncul untuk beberapa bulan. Efek
negatif dari kandungan sulfa meliputi kulit merah, batu ginjal, dan sindrom
Steven Johnson.
trimethoprim/sulfamethoxazole (bactrim, septra) sebagai alternatif
sulfadiazin. Karena sulfadiazin lebih mahal dan sangat sulit didapat. Asam
folinik secara umum mencegah leukopenia dan trombositopenia yang
diakibatkan terapi pirimetamin. Jumlah leukosit dan trombosit harus
dimonitor setiap hari. Asam folinik sekarang tersedia dalam bentuk preparat
oral dan diberikan 5 mg tablet setiap hari. Namun terapi klindamisin dapat
menyebabkan kolitis membranosa.
Terapi baru sudah mulai tersedia untuk toksoplasma. Atovaquone adalah
agen untuk bentuk kista yang berpotensial mengurangi bahkan untuk bentuk
bukan kista. Obat tersebut sangat larut lemak, baik untuk penyakit sistemik
dan pada pasien imunocompromise. Kekambuhan telah diobservasi pada
pasien yang diobati dengan obat tersebut, namun hal tersebut belum
dibuktikan untuk mencegah serangan toksoplasma berikutnya. Investigasi
yang lebih lanjut dibutuhkan sebelum ditetapkan sebagai terapi
toksoplasmosis mata.
Pembedahan
vitrektomi atau bedah retina dilakukan untuk membersihkan cairan dalam
bola mata yang meradang atau untuk diagnosis penyakit. Neovaskularisasi
retina dapat terjadi pada toksoplasma, dan fotokoagulasi dari lesi
neovaskular dapat mencegah kehilangan penglihatan sampai perdarahan
vitreus. Terapi ini digunakan apabila dengan terapi medikamentosa tidak
berhasil, dan gejala pasien makin bertambah berat
PROGNOSIS
Uveitis umumnya berulang, penting bagi pasien untuk melakukan pemeriksaan
berkala dan cepat mewaspadai bila terjadi keluhan pada matanya. Tetapi tergantung di mana
letak eksudat dan dapat menyebabkan atropi. Apabila mengenai daerah makula dapat
menyebabkan gangguan penglihatan yang serius.
Gambaran klinis dari uveitis anterior antara lain: fotofobia, epifora, gatal yang dalam dan
tumpul pada daerah sekitar orbit mata dan sekitarnya. Gejala akan memburuk apabila
terpapar cahaya sehingga pasien sering datang ke pasien dengan mengenakan kacamata.
Epifora yang terjadi dihubungkan dengan peningkatan stimulasi neuron dari kelenjar airmata,
dan tidak ada hubungannya dengan sensasi benda asing yang dirasakan.
Tajam penglihatan tidak selalu menurun drastis (20/40 atau kadang masih lebih baik,
walaupun pasien melaporkan pandangannya berkabut). Daya akomodasi menjadi lebih sulit
dan tidak nyaman. Inspeksi difokuskan pada kongesti palpebra ringan hingga sedang dan
menyebabkan pseudoptosis. Kadang dapat ditemukan injeksi perilimbus dari konjungtiva dan
sklera, walaupun konjungtiva palpebra normal. Kornea dapat terlihat edem pada pemeriksaan
slitlamp. Pada beberapa kondisi yang lebih parah, dapat ditemukan deposit endotel berwarna
coklat keabu-abuan yang disebut keratic precipitates (KP).
Gambar 3. Keratic precipitates (KP)
Tanda patagonomis dari uveitis anterior adalah ditemukannya sel leukosit (hipopion); dan
flare (protein bebas yang lepas dari iris dan badan siliar yang meradang; dan dapat ditemukan
pada kamera okuli anterior sehingga kamera okuli anterior tampat kotor dan berkabut). Iris
dapat mengalami perlengketan dengan kapsul lensa (sinekia posterior) atau kadang dapat
terjadi perlengketan dengan kornea perifer (sinekia anterior). Sebagai tambahan kadang
terlihat nodul granulomatosa pada stroma iris.
Gambar 4. Kanan: sinekia posterior, Tengah: fler, dan kiri : hipopion
Tekanan intraokular dapat menurun karena penurunan sekresi dari badan siliar. Namun
saat reaksi berlangsung, produk peradangan dapat perakumulasi pada trabekulum. Apabila
debris ditemukan signifikan, dan apabila badan siliar menghasilkan sekresi yang normal
maka dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular dan menjadi glaukoma uveitis sekunder.
b. Uveitis intermediate
Uveitis Intermediate adalah bentuk peradangan yang tidak mengenai uvea anterior atau
posterior secara langsung. Sebaliknya ini mengenai zona intermediate mata. Ini terutama
terjadi pada orang dewasa muda dengan keluhan utama melihat bintik-bintik terapung di
dalam lapangan penglihatannya. Pada kebanyakan kasus kedua mata terkena. Tidak ada
perbedaan distribusi antara pria dengan wanita. Tidak terdapat rasa sakit, kemerahan, maupun
fotofobia. Pasien mungkin tidak menyadari adanya masalah pada matanya, namun dokter
melihat adanya kekeruhan dalam vitreus, yang sering menutupi pars plana inferior, dengan
oftalmoskop.
Jikapun ada, hanya sedikit gejala uveitis anterior. Kadang-kadang terlihat beberapa sel di
kamera okuli anterior, sangat jarang terjadi sinechia posterior dan anterior. Sel radang lebih
besar kemungkinan terlihat di ruangan retrolental atau di vitreus anterior pada pemeriksaan
dengan slit-lamp. Sering timbul katarak subkapsular posterior. Oftalmoskopi indirek sering
menampakan kekeruhan tipis bulat halus di atas retina perifer. Eksudat seluler ini mungkin
menyatu, sering menutupi pars plana. Sebagian pasien ini mungkin menunjukan vaskulitis,
yaitu terlihat adanya selubung perivaskuler pada pembuluh retina.
Pada kebanyakan pasien, Penyakit ini tetap stasioner atau berangsur membaik dalam
waktu 5 sampai 10 tahun. Pada beberapa pasien timbul edema makular kistoid dan parut
makular permanen, selain katarak subkapsular posterior. Pada kasus berat dapat terjadi
pelepasan membran-membran siklitik dan retina. Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang
jarang terjadi.
Penyebabnya tidak diketahui. Kortikosteroid adalah satu-satunya pengobatan yang
menolong namun hanya dipakai pada kasus yang berat, terutama bila penglihatan menurun
sekunder akibat edema makular. Mula-mula dipakai kortikosteroid topikal, namun jika gagal
suntikan subtenon atau retrobulber dengan kortikosteroid mungkin efektif. Pengobatan
demikian meningkatkan resiko timbulnya katarak. Untungnya pasien-pasien ini menyembuh
setelah operasi katarak.
c. Uveitis posterior
Uveitis posterior merupakan peradangan pada koroid dan retina; meliputi koroiditis,
korioretinitis (bila peradangan koroidnya lebih menonjol), retinokoroiditis (bila peradangan
retinanya lebih menonjol), retinitis dan uveitis disseminta. Kebanyakan kasus uveitis
posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit sistemik. Penyebab uveitis posterior
seringkali dapat ditegakkan berdasarkan (1) morfologi lesi, (2) cara onset dan perjalanan
penyakit, (3) hubungannya dengan penyakit sistemik.
Penyebab uveitis posterior
1.Penyakit infeksi
a. Virus: CMV, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola, virus defisiensi imun
manusia HIV), virus eipstein Barr, virus coxsackie, nekrosis retina akut.
b. Bakteri: Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadic dan endemic
Nocardia, Mycobacterium avium-intracellulare, Yarsinia, dan borella (penyebab
penyakit Lyme).
c. Fungus: Candida, histoplasma, Cryptococcus, dan aspergillus
d. Parasit: Toxoplasma, toxocara, cysticercus, dan onchocerca
2. Penyakit Non Infeksi:
a. Autoimun:
- Penyakit Behcet
- Oftalmia simpleks
- Sindrom vogt-koyanagi-Harada
- Vaskulitis retina
- Poliarteritis nodosa
b. Keganasan:
- Sarkoma sel reticulum
- Leukemia
- Melanoma maligna
- Lesi metastatic
c. Etiologi tak diketahui:
- Sarkoidosis
- Retinopati birdshot
- Koroiditis geografik
- Epiteliopati pigmen retina
- Epitelopati pigmen piakoid multifocal akut
Secara tipikal, retinitis merupakan manifestasi dari infeksi toksoplasma dan herpes.
Koroiditis dapat muncul diikuti dengan uveitis granulomatosa (seperti tuberkulosis,
sarcoidosis, penyakit Lyme, sifilis), histoplasmosis, atau sindrom yang tidak biasa seperti
korioretinitis serpiginous atau birdshot. Papilitis dapat timbul dengan toksoplasmosis, retinitis
viral, limfoma, atau sarkoidosis.
Lesi pada segmen posterior mata dapat fokal, geografis atau difus. Yang menimbulkan
kekeruhan pada vitreus di atasnya harus dibedakan dari yang tidak pernah menimbulkan selsel vitreus. Jenis dan distribusi kekeruhan vitreus harus dijelaskan. Lesi radang di segmen
posterior umumnya berawal tenang, namun ada yang disertai kekeruhan vitreus dan
kehilangan penglihatan secara tiba-tiba. Penyakit demikian biasanya disertai uveitis anterior,
yang pada gilirannya kadang-kadang diikuti sebentuk glaukoma sekunder.
Uveitis posterior pada pasien 3 tahun dapat disebabkan oleh sindrom samaran, seperti
retinoblastoma atau leukemia. Penyebab infeksi uveitis posterior pada kelompok umur ini
adalah infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, sifilis, retinitis herpes, dan infeksi rubella.
Akut
Sub-akut
Kronik
Rekurens
Berdasarkan berat dan perjalanan dari uveitis dapat dikategorikan menjadi akut, subakut,
kronis (> 3 bulan), dan rekurens. Misalnya, pada iritis (inflamasi iris) akut sering terjadi pada
dewasa muda. Gejala awal yang sering dirasakan adalah nyeri, kemerahan, dan fotofobia
(sensitif terhadap cahaya). Seringnya, pasien memiliki hubungan genetik dengan timbulnya
iritis akut seperti adanya riwayat anggota keluarga lain mengalami hal yang sama. Hubungan
dengan faktor genetik ini sering terjadi pada penyakit lain misalnya pada ankylosing
spondylitis (arthritis pada punggung bawah), penyakit inflamasi usus, dan psoriasis.
Berdasarkan perjalanan penyakit, terjadinya uveitis memerlukan waktu 2-6 minggu dan
selalu muncul hanya pada satu mata. Beberapa pasien dapat mengalami serangan 1-2 kali
selama hidupnya, dan kadang ada yang mengalami serangan berulang.
Contoh lain misalnya kronik iridosiklitis yang berhubungan dengan iris dan badan siliar
(struktur seperti kelenjar) dibelakang iris. Kronik iridosiklitis sering menunjukan gejala
minimal hingga keparahan yang mampu merusak mata. Penyakit sistemik yang sering
menyebabkan kronik iridosiklitis adalah anak-anak yang memiliki arthritis rheumatoid
juvenile. Pada anak-anak ini, khususnya gadis yang berusia 2-6 tahun, merupakan usia yang
sangat berpotensial untuk terjadinya kondisi ini. Banyak dari anak-anak ini tidak
mengeluhkan gejala yang berhubungan dengan penglihatan. Sehingga, sangat penting bagi
dokter spesialis mata untuk merujuk semua anak dengan arthritis rheumatoid juvenil ke
dokter spesialis mata karena iridosiklitis kronik dapat muncul beberapa tahun setelah arthritis
rheumatoid juvenil timbul, anak-anak yang memiliki riwayat seperti ini memerlukan check
up periodik hingga usia remaja.
3. Berdasarkan patologinya :
a. Non-granulomatosa
Jenis uveitis non-granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen
dan berespon baik terhadap terapi kortikosteroid, diduga peradangan ini adalah semacam
fenomena hipersensitivitas. Uveitis nongranulomatosa terutama timbul di bagian anterior
traktus ini, yakni iris dan korpus siliar. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrasi
sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit sel mononuklear. Pada
kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di dalam kamera okuli anterior.
Pada bentuk non-granulomatosa onset khasnya akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia,
dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkum korneal yang disebabkan oleh dilatasi
pembuluh darah limbus. Deposit putih halus (presipitat keratik/KP) pada permukaan posterior
kornea dapat dilihat dengan slitlamp atau dengan kaca pembesar. Pupilnya kecil dan mungkin
terdapat kumpulan fibrin dengan sel kamera okuli anterior. Jika terdapat sinekia posterior
maka pupil tampak tidak teratur.
Pasien harus ditanya tentang adanya riwayat arthritis dan kemungkinan terpajan terhadap
toksoplasmosis, histoplasmosis, tuberculosis, dan sifilis. Kemungkinan adanya fokus infeksi
jauh dalam tubuh harus pula dicari.
b. Granulomatosa
Sedangkan, uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan
oleh organisme penyebab (misalnya. Mycobacterium tuberculosis atauToxoplasma gondii).
Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan, dan diagnosis etiologik pasti jarang
ditegakkan. Kemungkinan-kemungkinan seringkali dapat dipersempit oleh pemeriksaan
klinik dan laboratorium. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang bagian traktus
uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel raksasa
yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposit radang pada permukaan permukaan
posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis spesifik dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis pada mata yang yang dikeluarkan dengan
menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam tuberkulosis, spirochaeta pada sifilis,
tampilan granuloma khas pada sarkoidosis atau oftalmia simpatika, dan beberapa penyebab
spesifik langka lainnya.
Pada uveitis granulomatosa (yang dapat menimbulkan uveitis anterior, uveitis posterior,
dan keduanya), biasanya onsetnya tidak kentara. Penglihatan menjadi kabur dan mata
tersebut memerah secara difus daearh sirkumkornea. Sakitnya minimal, dan fotofobianya
tidak sama berat dengan non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan menjadi tidak teratur
karena terbentuk sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar terlihat di permukaan
posterior kornea dengan slitlamp. Tampak kemerahan (flare) dan sel-sel di kamera anterior,
dan nodul yang terdiri atas kelompok sel-sel putih tampak di tepian pupil iris (nodul koeppe).
Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa diseluruh stroma iris
disebutnodul busacca.
Gambar 5. Uveitis anterior dengan keratik presipitat mutton-fat
dan nodul Koeppe dan Busacca
Gambar 6. Uveitis anterior dengan nodul Busacca pada permukaan iris
dan sedikit mutton-fat pada aspek inferior
Lesi koroid dan retina yang aktif dan segar tampak sebagai bercak-bercak putihkekuningan samar-samar dengan oftalmoskop melalui corpus vitreum berkabut. Kasus
posterior demikian pada umumnya digolongkan sebagai penyakit granulomatosa. Karena
retina dan koroid saling melekat erat, retinanya hampir selalu ikut terkena (korioretinitis).
Dalam proses penyembuhan, kabut vitreus berangsur hilang, dan pigmentasi berangsur timbul
di tepian bintik-bintik putih kekuningan. Pada tahap sembuh, umumnya terdapat deposit
pigmentasi yang cukup banyak. Jika makula tidak terkena, kesembuhan penglihatan sentral
umumnya sempurna. Pasien umumnya tidak menyadari adanya skotoma di perifer lapangan
pandang sesuai dengan daerah parut.
4.
a.
b.
c.
d.
e.
1.
a.
b.
c.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
3.
4.
a.
b.
c.
d.
e.
-
Epifora
Pasien dengan uveitis anterior menunjukan banyak gejala. Gejala-gejala ini bervariasi
dari gejala ringan (pandangan kabur dengan kondisi mata normal) hingga gejala berat,
fotofobia, dan hilang penglihatan yang berhubungan dengan injeksi yang muncul dan
hipopion. Faktor diluar gejala mata kadang membantu dalam menegakan diagnosis uveitis
anterior. Onset, durasi, dan keparahan gejala seperti unilateral atau bilateral harus diketahui.
Selain itu usia pasien, latar belakang pasien, dan keadaan mata harus menjadi pertimbangan.
Riwayat rinci dan review dari sistem merupakan pendekatan diagnosis yang berharga bagi
pasien dengan uveitis.
Untuk menegakkan diagnosis dari uveitis ada beberapa pemeriksaan yang perlu dilakukan
antara lain:
Pemeriksaan subyektif mata
Pemeriksaan subyektif mata yang perlu dilakukan meliputi pemeriksaan tajam pengllihatan,
pemeriksaan gerakan bola mata.
Pada mata yang terkena akan mengalami penurunan tajam penglihatan
Sedangkan pada pemeriksaan gerakan bola mata ditemukan hasil yang normal
Pemeriksaan obyektif mata
Pada pemeriksaan obyektif mata dapat ditemukan:
Pemeriksaan sekitar mata, palpebra, dan duktus lakrimalis dalam kondisi normal
Ditemukan injeksi konjungtiva (Pola dari injeksi konjungtiva pada uveitis sering ditemukan
pada 360 derajat dari injeksi perilimbus dan akan semakin meningkat menuju arah limbus.
Hal inilah yang membedakannya dengan konjungtivitis yang terlihat injeksi semakin banyak
dengan arah menjauhi limbus.)
Pemeriksaan tekanan intraokular dapat meningkat atau menurun, tergantung kondisi dari
produksi humor aqueous, drainase, dan keberadaan sel radang, putih dan merah.
Pada pemeriksaan iris dapat ditemukan sinekia.
pupil, pasien dapat mengalami fotofobia direct ketika cahaya secara langsung mengenai iris
yang terkena, sebagaimana fotofobia consensus ketika cahaya secara langsung mengenai iris
berlawanan. Arti klinis dari temuaan ini yaitu:
Fotofobia consensus sangat membantu dalam membedakan antra iritis dan beberapa
penyebab fotofobia lain, seperti konjungtivitis.
Pupil dalam kondisi miosis
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan biomikroskopis/slit lamp
Periksa epithelium dari kornea untuk menemukan adanya abrasi, edem, ulkus, atau benda
asing.
Lakukan inspeksi pada kondisi ulkus yang dalam dan edema kornea
Temukan tanda patogonomis dari iritis yaitu keratitic precipitates / KP (sel darah putih pada
endothelium). Apabila ditemukan KP kecil-sedang maka diklasifikasikan ke dalam uveitis
nongranuloma, sedangkan KP pada uveitis granuloma lebih besar, kotor, dan penuh lemak
(gambaran granula mutton-fat).
Pada kamera okuli anterior ditemukan fler (sel radang) yang menyebabkan kamera okuli
anterior tampak kotor.
Sel darah merah (hifema) atau sel darah putih (hipopion) dapat ditemukan pada kamera okuli
anterior dan dapat diklasifikasikan menjadi derajat +1 s/d +4:
0 tidak ditemukan
+1 ditemukan dalam jumlah sedikit
+2 ditemukan dalam jumlah sedang (iris dan lensa masih terlihat jelas)
5. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan jika saat dilakukan anamnesis ditemukan hubungan
etiologi uveitis dengan penyebab sistemik. Namun pemeriksaan laboratorium ini tidak
dilakukan bila pasien mengalami uveitis nongranulomatosus unilateral untuk pertama kali
dan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan penanda yang khas.
b. Apabila dalam kondisi uveitis bilateral, uveitis granulomatosa, dan uveitis rekurens, pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak menunjukan tanda khas maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium nonspesifik, seperti tes darah lengkap, dll.
E. PENANGANAN PERADANGAN UVEA (UVEITIS)
Penanganan uveitis paling awal adalah melakukan diagnosis yang tepat dan bagi setting
penanganan pelayanan primer ataupun pada IRD segera melakukan rujukan kepada ahli
spesialis mata. Walaupun ditemukan mata merah dan ditemukan sel radang, darah putih, atau
darah merah pada kamera okuli anterior, antibiotik tidak diindikasikan untuk diberikan
kepada pasien.
Adapun penanganan secara medikamentosa, ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
peradangan. Secara tradisional, manajemen medis terdiri atas kortikosteroid topikal atau
sistemik dan sering diberikan sikloplegik. Obat yang dapat dipakai adalah:
1. Pemberian Obat Anti Radang
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek yang baik untuk menghambat peradangan yaitu dengan cara:
- Mengurangi gejala radang dengan cara menghambat pengeluaran asam arakidonat dari
fosfolipid, menghambat transkripsi dan mengaktifkan sitokin, dan membatasi aktifitas sel B
dan sel T. Kortikosteroid diberikan dengan indikasi adanya peradangan yang bukan
disebabkan karena infeksi.
- Mengurangi permeabilitas pembuluh darah
- Mengurangi pembentukan jarangan parut
Cara pemberian dengan topikal, periokular dan sistemik. Pemberian dosis juga sangat
bervariasi, tergantung dari kondisi pasien, tapi pemberian dalam jumlah minimal untuk
mengontrol inflamasi harus diberikan untuk menurunkan peluang terjadinya
komplikasi. Initial dose yang digunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg
hingga beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu, kortikosteroid
diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan masa kerja yang pendek
dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek samping karena kortisol mencapai
puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi umpan balik yang maksimal dari seekresi
ACTH. Sedangkan pada malam hari kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi
ACTH yang normal sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari
sebelum tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal.
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu
dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan
menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis
tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk
mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam
darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat
penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari pemberian
obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg
prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid
lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis
fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri
Karena efek samping yang serius khususnya karena pemberian dosis tinggi dan
pemberian jangka panjang, agen imunosupresif biasanya digunakan untuk uveitis kronik atau
uveitis yang mengancam penglihatan (menyebabkan kebutaan).
Adapun beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain:
Kortikosteroid topikal : untuk uveitis anterior, digunakan steroid topikal tetes. Tergantung dari
keparahan peradangan yang akan dipulihkan, frekuensi pemberian bervariasi. Prednisolon
asetat 1% merupakan obat yang paling disukai namun karena persediaan berbentuk
precipitate, sehingga pasien harus menggoyangkan dahulu botol sebelum digunakan. Kadangkadang steroid dapat menyebabkan hipertensi okular; sehingga pemakaian dalam jangka 4-6
minggu perlu dimonitor.
Kortikosteroid periokular; digunakan apabila segmen posterior terkena atau ketika mulai
dirasakan gejala yang mengarah komplikasi. Pemberian terpai inisial selam 3-4 minggu
sebelum pemberian steroid jangka panjang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
responsive terhadap kortikosteroid. Beberapa bukti menunjukan bahwa injeksi dalam
transeptal menyebabkan lebih sedikit hipertensi ocular dibandingkan dengan pemberian subtenon. Namun pemberian injeksi ini tidak digunakan pada pasien dengan uveitis yang
infeksius atau skleritis karena penebalan sclera dan kemungkinan terjadi perforasi.
Kortikosteroid sistemik; diberikan pada saat:
1. Uveitis yang mengancam penglihatan seperti beresiko menyebabkan kebutaan
2. Uveitis yang tidak responsive terhadap pemberian dengan metode lainnya
Contoh obat kortikosteroid yang digunakan untuk uveitis:
- Prednisolone 1% (pred forte) steroid paling kuat dan merupakan drug of choice untuk
uveitis. Prednisolone dapat menurunkan reaksi peradangan dengan mendepresi migrasi dari
leukosit PMN dan menurunkan permeabilitas dari pembuluh darah. Homatropine dapat
menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor. Selain itu prednisolone juga
tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif dengan prednisolone dan pasien sedang
mengalami infeksi jamur, virus, dan bakteri. Dosis yang digunakan yaitu 1 gtt setap 1-6 jam
(dewasa). Prednisolone dapat meningkatkan tekanan intraocular dan beresiko menimbulkan
katarak dalam pemakaian jangka panjang.
b. Obat anti inflamasi nonsteroid
Sepeti obat kortikosteroid, obat anti inflamasi nonsteroid ini juga berfungsi untuk
menurunkan gejala peradangan dan diberikan apabila pasien memiliki kondisi
kontra. Kontraindikasi pada kortikosteroid terdiri dari kontraindikasi mutlak dan relatif. Pada
kontraindikasi absolut, kortikosteroid tidak boleh diberikan pada keadaan infeksi jamur yang
sistemik, herpes simpleks keratitis, hipersensitivitas biasanya kortikotropin dan preparat
intravena. Sedangkan kontraindikasi relatif kortikosteroid dapat diberikan dengan alasan
sebagai life saving drugs. Kortikosteroid diberikan disertai dengan monitor yang ketat pada
keadaan hipertensi, tuberkulosis aktif, gagal jantung, riwayat adanya gangguan jiwa, positive
purified derivative, glaucoma, depresi berat, diabetes, ulkus peptic, katarak, osteoporosis,
kehamilan. Termasuk ke dalam golongan antiinflamasi yang bersifat antilimfosit seperti
fenilbutazon, indometasin, salisilat, natrium diklofenak, dan golongan Non-Steroid AntiInfamasi Drugs (NSAIDs) yang lainnya .
2. Obat sikloplegia
Obat sikloplegia bekerja melumpuhkan otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil,
selain juga mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melumpuhkan akomodasi.
Mekanisme ini dapat mengurangi rasa nyeri dan fotofobia yang terjadi.
Contoh obat sikloplegia:
- Atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik kuat dan juga bersifat midriatik. Efek maksimal
dicapai setelah 30-40 menit. Bila terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal
kembali 2 minggu setelah obat dihentikan. Atropin memberikan efek samping seperti nadi
cepat, demam, merah, dan mulut kering.
- Siklopentolate 0,5-2% (cyclogyl) menyebabkan efek sikloplegia 25-75 menit dan
midriasis setelah 30-60 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 1 jam. Namun efek ini
dapat menurun pada kondisi parah. Sehingga homatropin lebih sering digunakan pada uveitis
dibandingkan siklopentolat. Siklopentolate dapat menghambat kerja obat carbacol dan
kolinesterase inhibitor. Selain itu siklopentolate juga tidak boleh digunakan pada pasien yang
mengalami glaukoma sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan siklopentolate.
Dosis yang digunakan yaitu cyclogyl 1 gtt 3dd (dewasa).
- Homatropine 2-5% (isopto) menyebabkan efek sikloplegia 30-90 menit dan midriasis
setelah 10-30 menit. Efek yang dihasilkan bertahan selama 10-48 jam untuk sikloplegia dan 6
jam - 4 hari untuk midriasis. Homatropine merupakan agent of choice yang sering digunakan
pada uveitis. Homatropine dapat menghambat kerja obat carbacol dan kolinesterase inhibitor.
Selain itu homatropine juga tidak boleh digunakan pada pasien yang mengalami glaucoma
sudut tertutup dan pasien yang hipersensitif dengan homatropin. Dosis yang digunakan yaitu
1 gtt 3dd (dewasa).
Pada pasien dengan kasus uveitis lanjut yang parah yang mana tidak responsif terhadap
steroid atau pada pasien dengan komplikasi yang berhubungan dengan terapi sebelumnya,
immunosupresan dapat digunakan. Immunosuppressif agen merupakan terapi pilihan awal
pada penyakit Behcet (termasuk ke dalam segmen posterior), Wegener granulomatosis, dan
skleritis nekrotik. Penyakit-penyakit tersebut dihubungkan dengan vaskulitis sistemik yang
mengancam jiwa, dan terdapat bukti medis bahwa dengan pemberian imunosupresive dapat
meningkalkan kondisi pasien. Imunomodulatory terapi sering diperlukan dalam kondisi
penanganan jangka panjang dengan kortikosteroid seperti pada serpiginous koroiditis,
birdshot koroiditis, Vogt-koyanagi-harada (VKH), sistemik oftalmia dan arthritis idiopatik
juvenile.
Penanganan terbaru pada uveitis adalah medikasi yang ditujukan untuk target spesifik
yaitu mediator spesifik pada respon imunitas. Walaupun medikasi ini telah dipelajari dan
diteliti pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan crohn disease, persamaan pada
patogenesis penyakit ini yang menstimulasi untuk dilakukan obat yang sama untuk
penanganan peyakit inflamasi ocular yang bervariasi. Adapun obat yang digunakan sebagai
pemblok mediator spesifik pada sistem imunitas yang sering ditemukan pada penderita
uveitis yaitu antara lain; pemblok TNF (Tumor Necrosis Factor alpha) contoh adalimumab,
dan infliximab; dan pemblok reseptor interleukin-2 contoh daclizumab.
Penanganan lain yang terbaru adalah penggunaan farmakoterapi intraocular melalui
injeksi intravitreal dan implantasi bedah. Beberapa laporan kasus melaporkan adanya manfaat
dalam penggunaan triamkinolone injeksi (biasanya 4 mg dalam 0,1 cc) untuk manajeman
refraksi pada edema makular kistoid. Namun, kelemahan injeksi intravitral ini memiliki
waktu paruh yang pendek sehingga injeksi akan dilakukan berulang kali (multipel). Sehingga
resiko terjadi pembentukan katarak dan peningkatan tekanan intraokular, serta beresiko untuk
terjadinya endoftalmitis (endoftalmitis steril) sekitar 0,1%.
c.
Gangguan drainase humor aqueous juga dapat terjadi akibat terkumpulnya sel-sel radang
(fler) pada sudut iridokornea sehingga volume pada kamera okuli anterior meningkat dan
terjadi glaukoma.
Pada uveitis intermediate, glaukoma sekunder adalah komplikasi yang jarang terjadi.
2. Atrofi nervus optikus
Setelah terjadi peningkatan tekanan intraokular, pasien dapat mengalami atrofi nervus optikus
sehingga terjadi kebutaan permanen.
3. Katarak komplikata
Katarak komplikata akibat penyakit intraocular disebbakan karena efek langsung pada
fisiologis lensa. Katarak biasnya berawal dari di daerah subkapsul posterior dan akhirnya
mengenai seluruh struktur lensa. Katarak yang terjadi biasanya unilateral. Prognosis
visualnya tidak sebaik katarak senilis biasanya.
4. Ablasio retina
5. Edema kistoid macular
6. Efek penggunanan steroid jangka panjang.
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid:
- Menurunkan daya reaksi jaringan
- Mengaktifkan proliferasi bakteri
- Steroid menyembunyikan gejala penyakit lain
- Menambah keaktifan kolagenase yang merusak tukak
- Memberikan penyulit glaukoma dan katarak bila dipakai lama
- Mengakibatkan midriasis pupil dan ptosis kelopak mata
- Mengaktifkan infeksi herpes simpleks dan infeksi virus
- Menambah kemungkinan infeksi jamur
- Menambah berat radang akibat infeksi bakteri
Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian steroid sistemik:
Tempat
Macam efek samping
1. Saluran cerna
- Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster,
ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional,
kolitis ulseratif.
2. Otot
- Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
3. Susunan saraf pusat
- Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah,
mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis,
kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.
4. Tulang
- Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis,
5. Kulit
fraktur tulang panjang.
- Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis
6. Mata
akneiformis, purpura, telangiektasis.
7. Darah
- Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
8. Pembuluh darah
- Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
9. Kelenjar adrenal bagian- Kenaikan tekanan darah
kortek
- Atrofi, tidak bisa melawan stres
10. Metabolisme protein, KH
dan lemak
- Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula
meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati.
11. Elektrolit
- Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis,
Walaupun komplikasi dapat terjadi, prognosis dari uveitis bagus apabila dilakukan
penanganan yang tepat.