PERCOBAAN V DAN VI
PENCAMPURAN BAHAN OBAT AMINOPHILIN INJEKSI KE DALAM
LARUTAN DEKSTROSA 5% (I.V ADMIXTURES) DAN VALIDASI PROSES
HANDLING CYTOSTATIC AGENTS
DISUSUN OLEH :
Nama Anggota Kelompok : 1. Bagus Dwi Setiawan
2. Ristra Putri A
3. Eviyana
(G1F014036)
(G1F014038)
(G1F014040)
Kelompok / Golongan
: 5 / B1
Tanggal Praktikum
LABORATORIUM FARMASETIKA
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
PENCAMPURAN BAHAN OBAT AMINOPHILIN INJEKSI KE DALAM LARUTAN
DEKSTROSA 5% (I.V ADMIXTURES) DAN VALIDASI PROSES HANDLING CYTOSTATIC
AGENTS
I.
a.
1.
2.
3.
4.
PENDAHULUAN
Tujuan
Menguraikan dan melakukan pencampuran larutan injeksi aminophilin ke dalam larutan
infuse i.v larutan dekstrosa 5%.
Menguraikan dan melakukan evaluasi produk i.v admixture.
Menguraikan cara-cara validasi proses handling cytotoxic agents.
Menguraikan cara-cara validasi alat laminar air flow (LAF) cabinet.
b. Dasar Teori
Intravena admixture adalah suatu larutan steril yang dimaksudkan untuk penggunaan
parenteral (diberikan melalui intervana) yang dibuat dengan cara mencampurkan satu atau lebih
produk parenteral ke dalam satu wadah. Pada saat ini program IV admixture makin banyak
digunakan. Latar belakang mengapa iv admixture menjadi tanggung jawab farmasis, dan tenaga
kesehatan lain yang ada di rumah sakit adalah pertimbangan:
1. Farmasis menguasai problem yang berkaitan dengan kontaminan, inkompatibilitas fisika,
kimia maupun inkompatibilitas terapeutik serta sekaligus dapat mengatasinya jika problem
ini muncul, serta menguasai problem yang berkaitan dengan stabilitas.
2. Efisiensi cost
3. Menurunnya potensial errors (kesalahan)
4. Kualitas meningkat
5. Merupakan salah satu dari pengamalan pharmaceutical care
(Ansel, 2005)
Beberapa keuntungan yang didapat melalui pemberian obat dengan cara iv admixture, adalah:
1. Lebih praktis karena larutan infus yang telah dicampur obat dapat sekaligus berfungsi
ganda yaitu larutan infus sebagai pemelihara keseimbangan cairan tubuh dan obat yang
berada didalamnya dapat berfungsi mempertahankan kadar terapetik obat dalam darah.
2. Pada pemberian banyak obat (multiple drugs therapy) cara ini merupakan altematif yang
paling baik mengingat terbatasnya pembuluh vena yang tersedia, sehingga lebih
convenience (nyaman ) bagi penderita.
(Rahman, 2009)
Namun perlu diperhatikan bahwa pemberian obat melalui cara ini apabila dilakukan secara
sembarangan dapat menimbulkan beberapa kerugian. Kerugian yang di maksud berkaitan dengan
pemberian obat secara intravena pada umumnya adalah sebagai berikut:
1. Air embolus
2. Bleeding (perdarahan)
3. Reaksi alergi
4. Phlebitis/iritasi vena
5. Pirogen
6. Ekstravasasi
(Rahman, 2009)
Bahan Sitostatika adalah zat/obat yang merusak dan membunuh sel normal dan sel kanker,
serta digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor malignan. Istilah sitostatika biasa
digunakan untuk setiap zat yang mungkin genotoksik, mutagenik, onkogenik, teratogenik, dan sifat
berbahaya lainnya. Sitostatika tergolong obat beresiko tinggi karena mempunyai efek toksik yang
tinggi terhadap sel, terutama dalam reproduksi sel sehingga dapat menyebabkan karsinogenik,
mutagenik dan tertogenik. Oleh karena itu, penggunaan obat sitstatika membutuhkan penanganan
khusus untuk menjamin keamanan, keselamatan penderita, perawat, profesional kesehatan, dan
orang lain yang tidak menderita sakit ( Smeltzer, 2002).
Prosedur penanganan obat sitostatika yang aman perlu dilaksanakan untuk mencegah risiko
kontaminasi pada personel yang terlibat dalam preparasi, transportasi, penyimpanan dan
pemberian obat sitostatika baik melalui melalui inhalasi, absorpsi, atau ingestion. Potensial
paparan pada petugas pemberian sitostatika telah banyak diteliti. Toksisitas yang sering dilaporkan
berkenaan dengan preparasi dan handling sitostatika berupa toksisitas pada liver, neutropenia
ringan, fetal malformation, fetal loss, atau kasus timbulnya kanker. Selain untuk melindungi
petugas dan lingkungan dari keterpaparan obat kanker, preparasi obat sitostatika secara aseptis
diperlukan untuk 3 tujuan, yaitu:
II.
PEMBAHASAN
A. Prosedur Tetap Penggunaan Laminar Air Flow (LAF)
1. Hubungkan LAFdengan sumber listrik yang sesuai (220 volt)
2. Nyalakan blower dan lampu UV minimal 15 menit sebelum digunakan
3. Matikan lampu UV
4. Buka pintu penutup LAF dan letakkan secara horisontal di atas meja
5.Bersihkan permukaan LAF dengan Iso Propol Alkohol (IPA) atau alkohol 70 %
menggunakan lap yang tidak berserat:
a. Dinding : dari atas kebawah dengan gerakan satu arah
b. Lantai : dari belakang kedepan dengan gerakan satu arah
Catatan: jangan menyemprotkan alkohol langsung ke arah HEPA filter
6. Seka semua bahan dan alat yang akan dimasukkan ke dalam LAF dengan alkohol 70 %
7. Letakkan bahan dan alat di dalam LAF sesuai tata letak
8. Biarkan 5 menit untuk menghilangkan turbulensi udara
B. Perbedaan Tipe Aliran Laminar Air Flow (LAF)
Laminar Air flow(LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang memiliki efisiensi
tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai :
Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan steril :
a. Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow).
Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas tidak terlindungi dari partikel
ataupun uap yang berasal dari ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk pencampuran obat
steril non sitostatika.
b. Aliran Udara Vertikal (Vertical Air Flow).
Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh daripetugas sehingga memberikan
lingkungan kerja yang lebih aman. Untuk penanganan sediaan sitostatika menggunakan LAF
vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat tekanan udara di dalam BSC
harus lebih negatif dari pada tekanan udara di ruangan.
(Eitel, A.,et al., 2000).
C. Prosedur Kerja
Sebelum melakukan pencampuran obat, terlebih dahulu menggunakan peralatan steril untuk
menjamin sediaan yang steril dan terhindar dari kontaminasi mikroorganisme. Peralatan yang
harus dimiliki untuk melakukan pencampuran sediaan steril meliputi :
Persiapan pertama kali yang di lakukan yaitu melakukukan sterilisasi pada ruang black area
dengan mengganti pakaian, sepatu, menggunakan cover kepala, sarung tangan, dan kaca mata,
kemudian di semprot dengan alcohol 70% pada sarung tangan untuk menghindarkan kontaminasi
mikroba. Setelah pakaian steril (dari ujung rambut hingga ujung kaki tertutup rapat bebas
mikroorganisme), kita memasuki ruangan grey area. Ruangan Grey area kontaminan
mikroorganismenya lebih sedikit daripada black area. Pintu yang terhubung satu arah dan
menggunakan tekanan yang lebih besar (positif) dari pada diluar agar mikroorganisme dari luar
tidak masuk, kemudian di dalam ruang grey area di lakukan persiapan bahan, lalu memasuki ruang
white area. White area adalah ruangan dimana praktikan membuat sediaan steril didalam LAF
(Laminar Air Flow) (Lachman L., 1994).
Hal yang pertama dilakukan adalah menyalakan sinar uv terlebih dahulu yaitu mencegah
terkontaminasi mikroorganisme, kemudian dinyalakan aliran udara. LAF yang digunakan yaitu
Type Horizontal laminar airflow, dimana udara yang terfilter bergerak dari depan alat menuju ke
arah kita (personal) kerena termasuk pencampuran obat non sitostatika. Kemudian sinar uv
dimatikan, lalu masukan bahan dan alat yang digunakan, lalu disemprot dengan alcohol 70% untuk
membunuh mikroorganisme (Lachman L., 1994).
Setelah itu, mulailah untuk membuat larutan i.v admixtures. Ampul yang berisi
aminophillin dipotong dengan menekan menggunakan ibujari, setelah ampul terbuka ambil cairan
menggunakan jarum yang sudah terpasang pada syringes. Ambil cairan dalam ampul sebanyak 10
ml dengan kemiringan 20 derajat diambil dengan spuit atau syringes. Setelah aminophillin tertahan
dalam syringe, masukkan kedalam botol yang berisi dektrosa 5%. Setelah itu, dihomogenkan
dengan mengojog secara perlahan. Lalu di beri etiket dalam wadahnya dan ditaruh ke dalam box
penampung sediaan steril yang sudah siap pakai
3. Prosedur Pencampuran Obat Sitotoksik
Handling sitotoksik dalam farmasi adalah penangan suatu agen sitotoksik dalam pelaksanaan
kegiatan di rumah sakit. Pelaksanaan kegiatan preparasi obat sitostatika yang aman dan
menghasilkan produk yang bermutu, harus disusun dahulu standar prosedur kerja sebagai pedoman
petugas dalam melaksanakan kegiatan (Eitel, 2000). Standar Prosedur Kerja meliputi :
Fasilitas fisik yang dibutuhkan untuk melindungi operator dan produk yaitu menggunak
Laminar Air Flow (LAF) yang diletakan di ruangan steril dengan dilengkapi dengan HEPA
filter. LAF yang digunakan bisa Type ISOLATOR yaitu dengan aliran Vertikal. Tekanan
Udara di dalam LAF lebih negatif dibanding didalam Clean Room dan tekanan udara
didalam Clean lebih positif dibandingkan diluar. Transportasi keluar masuknya obat-obatan
dan alat-alat pendukung preparasi obat dilakukan melalui Pass Box, untuk meminimalkan
kontaminasi udara kedalam clean room. Komunikasi petugas didalam clean room dengan
petugas diluar dilakukan dengan intercom (SPHA Committee, 2005).
Pakaian pelindung yang melindungi operator dan produk yaitu pakaian yang dapat
melindungi personal dalam penanganan obat sitotoksik. Pakaian yang digunakan seperti
pakaian, sarung tangan, tutup kepala, tutup kaki, masker, kaca mata harus berbeda dengan
pakaian yang biasa digunakan di luar ruang steril (SPHA Committee, 2005).
Prosedur pelatihan untuk personal agar semua personal yang bertugas memeliki
kemampuan dalam menangani obat sitoksik dalam preparasi obat sitotoksik (SPHA
Committee, 2005).
Teknik khusus yang diperlukan untuk safe handling cytotoxic meliputi standar atau teknik
preparasi sediaan sitotoksik baik steril maupun non steril untuk menghindari petugas agar tidak
terpapar bahan sitotoksik, prosedur pembersihan tumpahan obat baik diluar LAF atau di dalam
LAF, dan pemberian label sitotoksik (SPHA Committee, 2005).
Prosedur kerja handling sitotoksik hampir sama dengan pembuatan larutan i.v admixture,
perbedaannya yaitu arah aliran laminar air flow (LAF) menggunakan arah aliran vertical. Hal ini
dikarenakan obat sitostatik sangat berbahaya dan dapat meracuni bagi personal sehingga
digunakan arah aliran vertical sehingga tidak meracuni personal saat pencampuran obat (UCL
Hospital,2000).
D. Evaluasi Sediaan
1. Uji pH (Depkes RI, 1995)
Pengujian menggunakan ph meter, penetapan pH ini mengetahui pH sediaan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan.
2. Uji Kebocoran (Depkes RI, 1995)
Pengujian kemasannya yaitu dengan melapisi permukaan bawah menggunakan
kertas putih, jika kertas basah maka kemasan sediaan tersebut terdapat kebocoran.
3. Uji dengan larutan warna (Dye Bath Test)
Sejumlah wadah (ampul, vial) yang belum berlabel dipegang pada lehernya.
Dibalikkan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya gelembung udara, kemudian diputar
sedikit untuk memutar isi larutan di dalamnya. Kemudian wadah dipegang secara
horizontal. Pemeriksaan larutan dalam wadah dilakukan dengan menggunakan latar
belakang hitam putih selang-seling. Wadah yang berisi larutan yang tercemar partikel asing
atau wadah rusak harus dipisah. Bila jumlah wadah yang tercemar melebihi batas
persyaratan maka pemeriksaan diulang atau kemudian produk ditolak..
4. Uji Kejernihan (Depkes RI, 1995)
Tujuan uji ini memastikan larutan terbebas dari pengotor Prinsip uji ini
membandingkan kejernihan larutan uji dengan suspensi padanan dilakukan dibawah cahaya
yang terdifusi tegak lurus ke arah bawah tabung dengan latar belakang hitam sesuatu
cairan dikatakan jernih jika kejernihannya sama dengan air atau pelarut yang digunakan
bila diamati di bawah kondisi seperti tersebut di atas atau jika opalesensinya tidak lebih
nyata dari suspensi padanan I. Persyaratan untuk derajat oplesensi dinyatakan dalan suspensi
padanan I, II, dan III.
5. Uji Partikel Asing (Depkes RI, 1995)
Tujuan dari uji partikel asing ini yaitu untuk mengetahui apakah ada partikel dalam larutan.
Partikel asing tersebut merupakan partikel-partikel yang tidak larut, bisa berasal dari larutan
dan zat kimia yang terkandung, lingkungan, peralatan, personal maupun dari wadah. Partikel
asing dapat menyebabkan pembentukan granuloma patologis dalam organ vital tubuh. Untuk
mengetahui keberadaan partikel asing dilakukan dengan menerawang sediaan pada sumber
cahaya.
6. Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, terdapat beberapa cara uji sterilitas, antara lain:
i. Media Thioglikolat Cair
pH media setelah sterilisasi 7,1 0,2. Media
thioglikolat cair digunakan untuk inkubasi dalam kondisi aerob.
Black area
Area ini disebut juga area kelas E. Ruangan ataupun area yang termasuk dalam kelas ini
adalah koridor yang menghubungkan ruang ganti dengan area produksi, area staging bahan kemas
dan ruang kemas sekunder. Setiap karyawan wajib mengenakan sepatu dan pakaian black area
(dengan penutup kepala)
c.
Grey area
Area ini disebut juga area kelas D. Ruangan ataupun area yang masuk dalam kelas ini
adalah ruang produksi produk non steril, ruang pengemasan primer, ruang timbang, laboratorium
mikrobiologi (ruang preparasi, ruang uji potensi dan inkubasi), ruang sampling di gudang. Setiap
karyawan yang masuk ke area ini wajib mengenakan gowning (pakaian dan sepatu grey). Antara
black area dan grey area dibatasi ruang ganti pakaian grey dan airlock.
d. White area
Area ini disebut juga area kelas C, B dan A (dibawah LAF). Ruangan yang masuk dalam
area ini adalah ruangan yang digunakan untuk penimbangan bahan baku produksi steril, ruang
mixing untuk produksi steril , background ruang filling , laboratorium mikrobiologi (ruang uji
sterilitas). Setiap karyawan yang akan memasuki area ini wajib mengenakan pakaian antistatik
(pakaian dan sepatu yang tidak melepas partikel). Antara grey area dan white area dipisahkan oleh
ruang ganti pakaian white dan airlock.
Airlock berfungsi sebagai ruang penyangga antara 2 ruang dengan kelas kebersihan yang
berbeda untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari ruangan dengan kelas kebersihan lebih
rendah ke ruang dengan kelas kebersihan lebih tinggi. Berdasarkan CPOB, ruang diklasifikasikan
menjadi kelas A, B, C, D dan E, dimana setiap kelas memiliki persyaratan jumlah partikel, jumlah
mikroba, tekanan, kelembaban udara dan air change rate.
(Lund W., 1994)
Tabel pembagian kelas ruangan berdasarkan Jumlah Partikel
Jumlah partikel/m3
Hygine Zoning
Kelas
At rest
In Operational
0,5 (m)
5,0 (m)
0,5 (m)
5,0 (m)
100
3.520
20
3.520
20
100
3.520
29
352.000
2.900
10.000
352.000
2.900
3.520.000
29.000
100.000
3.520.000
29.000
NS
NS
E1
UC
NS
NS
NS
NS
E2
UC
NS
NS
NS
NS
E3
UC
NS
NS
NS
NS
Hygine
Zoning
Class
100
<1
<1
<1
100
10
10.000
100
50
NS
100.000
200
100
NS
E1
UC
NS
NS
NS
E2
UC
NS
NS
NS
E3
UC
NS
NS
NS
Keterangan :
UC = Unclassified
NS = No Specification
Kondisi at rest yaitu kondisi dimana tidak ada operator yang beraktivitas di dalam
ruangan, mesin dalam kondisi beroperasi, sedangkan kondisi in operational yaitu kondisi dimana
ada operator yang sedang bekerja di dalam ruangan dan kondisi mesin sedang beroperasi. Petugas
yang akan bekerja di dalam ruangan produksi steril harus mengganti baju dan membersihkan diri
menggunakan cairan antiseptik di dalam ruangan clean changing area dan dibilas dengan udara
steril, sehingga diharapkan petugas bebas dari kotoran dan mikroorganisme.
Petugas yang akan bekerja di dalam ruangan produksi steril saat masuk ke rumah changing
area, harus mengganti baju dan sepatu serta memakai topi dan kacamata steril yang telah tersedia.
Setelah itu, dia baru masuk ke ruangan clean filling room atau ruangan preparation area.
Laminar airflow merupakan tempat bekerja secara aseptic, untuk tes sterilitas, aseptic
dispensing, dan i.v. mixture (pencampuran obat suntik). Tekanan yang ada di dalam ruangan
laminair airflow dibuat menjadi tekanan negatif. Artinya, aliran udara yang ada mengalir kembali
kedalam ruangan laminair airflow.
Penyebab kontaminasinya adalah : Udara yang masuk ke ruangan, baik dara dai dalam maupun
dari luar. Hasil-hasil produksi yang ada di ruangan. Oleh karena itu, control kualitas diperlukan
untuk :
1. Control udara
Dengan menggunakan HEPA filter, bila berasap menggunakan smoke detector.
2. Temperature dan humidity
Target temperature 20C dan relative humidity 35-45% dengan tekanan positif.
(Lachman, 1994)
Kesimpulan
1. Proses pembuatan i.v admixture harus dilakukan dalam kondisi
steril secara aseptis.
2. Handling Cytotoxic merupakan prosedur kerja dengan agen-agen
sitotoksik
untuk
meminimalisasi
kemungkinan
agen
mengontaminasi personal atau operator.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson R.W. et.al, 1982, Risk of Handling Injectable Antineoplastic Agents. Am. J. Hosp.
Pharm. ,1982, 39:1881-1887
Ansel, Howard C., 2005, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV, UI Press, Jakarta
.Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Eitel, A., M. Scherrer, and K. Kummerer, 2000, Handling Cytostatic Drugs German Edition,
Bristol-Myers Squibb, Germany.
Lachman, L., Liberman H.A., dan Kanig J., 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi
ke-3. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Lund W., 1994, The Pharmaceutical Codex Principles and Practice of Pharmaceutics 12 th
Ed., The Pharmaceutical Press, London.
Rahman, Latifah dan Natsir Djide, 2009, Sediaan Farmasi Steril, Lembaga Penerbitan
Unhas, Makassar.
SHPA Committee of Specialty Practice in Oncology, 2005, SHPA Standards of Practice for
the Safe Handling of Cytotoxic Drugs in Pharmacy Departments, J Pharm Pract Res,
Australia.
UCL Hospitals , 2000, Injectable Drug Administration Guide. The Pharmacy Department
University College,London.