Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Gagal Jantung Kongestif
1. Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan
pengisian ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal
dari gagal jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan
toleransi aktivitas dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan
edema perifer. Gejala ini mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien
gagal jantung.
2. Etiologi
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk
menderita penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner
dengan hipertrofi ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit
jantung koroner selama 7-8 tahun akan menderita penyakit gagal jantung
kongestif. Pada negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung
koroner menderita gagal jantung kongestif. Bahkan dua per tiga pasien
yang mengalami disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit
Jantung Koroner.
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan
komplikasi terjadinya gagal jantung. Berdasarkan studi Framingham
dalam Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung
memiliki riwayat hipertensi. Hipertensi menyebabkan gagal jantung
kongestif melalui mekanisme disfungsi sistolik dan diastolik dari
ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi predisposisi terjadinya
infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya akan
berujung pada gagal jantung kongestif.
c. Kardiomiopati

Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak


disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan
kongenital. Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah
dilated cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering
terjadinya gagal jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa
dilatasi dari ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan.
Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi sel miokardium dengan
peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis.
Hipertrophic

cardiomiopathy

merupakan

salah

satu

jenis

cardiomiopathy yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik


dari jenis ini ialah abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak
hanya miokardium tetapi juga menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga
terjadi obstruksi aliran darah ke aorta (aortic outflow). Kondisi ini
menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk, peningkatan tekanan
diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel.
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy.
Karakteristik dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan
komplians yang buruk, tidak ditemukan adanya pembesaran dari jantung.
Kondisi ini berhubungan dengan gangguan relaksasi saat diastolik
sehingga pengisian ventrikel berkurang dari normal.
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral.
Regurgitasi mitral meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan
volume di jantung. Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk
berkontraksi lebih kuat agar darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh
tubuh. Kondisi ini jika berlangsung lama menyebabkan gagal jantung
kongestif.
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung
tanpa perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau
hipertensi. 31% dari pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa
atrial fibrilasi dan ditemukan 60% pasien gagal jantung memiliki gejala
atrial fibrilasi setelah dilakukan pemeriksaan echocardiografi. Aritmia

tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung tetapi juga memperparah


prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
f. Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan
atrial fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam
jangka panjang menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3%
kasus gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol
jangka panjang. Sementara itu beberapa obat yang memiliki efek toksik
terhadap miokardium diantaranya ialah agen kemoterapi seperti
doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral.
g. Multifaktor
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan
pada wanita belum ada fakta yang konsisten.
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas
dan kejadian rawat inap berulang pasien gagal jantung kongestif melalui
mekanisme perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu,
obesitas menyebabkan peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko
penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab utama dari gagal
jantung kongestif. Berdasarkan studi Framingham disebutkan bahwa
diabetes merupakan faktor resiko yang untuk kejadian hipertrofi
ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung.
3. Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang
tidak bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan
tekanan hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti
cardiomiopathy.

Kondisi-kondisi

tersebut

menyebabkan

penurunan

kapasitas pompa jantung. Namun, pada awal penyakit, pasien masih


menunjukkan asimptomatis ataupun gejala simptomatis yang minimal. Hal
ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang disebabkan oleh
cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri.
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi ReninAngiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2)

peningkatan kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output


tetap normal dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan
cardiac output maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel
kiri, sinus karotikus dan arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke
sistem syaraf sentral di cardioregulatory center yang akan menyebabkan
sekresi Antidiuretik Hormon (ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan
meningkatkan permeabilitas duktus kolektivus sehingga reabsorbsi air
meningkat.
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis
yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot
skeletal. Stimulasi simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin.
Peningkatan renin meningkatkan kadar angiotensin II dan aldosteron.
Aktivasi RAAS menyebabkan
vasokonstriksi

pembuluh

darah

retensi cairan dan garam melalui


perifer.

Mekanisme

kompensasi

neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural


jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang
lebih lanjut.
Perubahan neurohormonal, adrenergik dan sitokin menyebabkan
remodeling ventrikel kiri. Remodelling ventrikel kiri berupa hipertrofi
miosit, perubahan substansi kontraktil miosit, penurunan jumlah miosit
akibat nekrosis, apoptosis dan kematian sel miokard.
Remodelling ventrikel kiri dapat diartikan sebagai perubahan massa,
volume, bentuk, dan komposisi jantung. Remodelling ventrikel kiri merubah
bentuk jantung menjadi lebih sferis sehingga beban mekanik jantung
menjadi semakin meningkat. Dilatasi pada ventrikel kiri juga mengurangi
jumlah afterload yang mengurangi stroke volume dan mengakibatkan stress
oksidatif yang mengaktivasi hipertrofi ventrikel. Perubahan struktur jantung
akibat remodeling ini yang berperan dalam penurunan cardiac output,
dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik yang meningkatkan
progresivitas gagal jantung.

4. Diagnosis

Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan dengan satu atau


dua kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif (Framingham)

5. Klasifikasi
New York Heart Association membagi klasifikasi gagal jantung
kongestif berdasarkan tingkat atau derajat keparahan dan keterbatasan fisik
sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi Gagal Jantung Kongestif (NYHA)

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rawat Inap Berulang pada Pasien


Gagal Jantung Kongestif
Kejadian rawat inap berulang pasien gagal jantung kongestif terjadi
karena eksaserbasi dari gejala klinis overload volume dan penurunan
cardiac output. Gejala yang menyebabkan pasien CHF mengalami
rehospitalisasi ialah Angina (nyeri dada), sesak nafas dan Edema. Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi rehospitalisasi pasien CHF ialah :
a. Faktor Kardiovaskular
Salah satu gangguan kardiovaskular yang menyebabkan rawat
inap berulang ialah iskemik dan infark miokard. Infark miokard dapat
berupa STEMI (ST Elevation Miocard Infarction) ataupun NSTEMI
(Non ST Elevation Miocard Infarction). Infark miokard menyebabkan
jantung kekurangan nutrisi untuk berkontraksi terutama ventrikel.
Adanya thrombosis pada arteri koroner sebagai cabang utama yang
memperdarahi miokardium juga menyebabkan kekurangan nutrisi pada
miokardium yang menyebabkan kegagalan kontraksi ventrikel.
Kegagalan kontraksi ventrikel menyebabkan penurunan ejection

fraction. Penurunan ejection fraction menyebabkan peningkatan


volume cairan tubuh yang memperparah kondisi pasien CHF.
b. Faktor Nonkardiovaskular
Pneumonia dan penyakit obstruksi paru seperti Asma dan PPOK
menyebabkan kejadian rawat inap berulang sebesar 28% setelah 6-9
bulan sebelumnya menjalani rawat inap.
Infeksi paru seperti tuberkulosis, pneumonia dan bronchitis
merupakan gangguan pada intrapulmonal. Gejala yang ditimbulkan
ialah nyeri dada, sesak nafas, batuk dan batuk darah. Sesak nafas dan
nyeri dada merupakan gejala yang menyebabkan pasien gagal jantung
mengalami rehospitalisasi.
Gagal jantung kongestif menyebabkan edema paru akibat
retensi cairan tubuh. Namun, edema paru sendiri dapat memperparah
kondisi CHF. Penumpukan cairan di alveolus paru menimbulkan sesak
nafas. Berbeda dengan edema paru, efusi pleura terjadi penumpukan
cairan di ekstraparu intratorakal. Hal ini menyebabkan paru tidak dapat
mengembang secara maksimal yang menimbulkan short of breathness.
Acute Kidney Injury (AKI) atau Acute Renal Failure (ARF)
merupakan salah satu gangguan fungsi ginjal yang menyebabkan
penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR). Pada AKI, pemeriksaan
fungsi ginjal memperlihatkan adanya peningkatan nilai Blood Urea
Nitrogen (BUN) dan kreatinin, dengan ration BUN terhadap kreatinin
20 : 1. Peningkatan nilai BUN dan Penurunan GFR menyebabkan
retensi cairan sehingga volume cairan tubuh semakin overload. Retensi
cairan menyebabkan edema paru dan edema perifer sehingga pasien
gagal jantung dapat kembali mengalami rawat inap berulang akibat
eksaserbai dari gejala CHF.
7. Penatalaksanaan
a. Modifikasi gaya hidup
Pembatasan asupan cairan minimal 1000 ml dan maksimal 1500
ml; pembatasan asupan garam minimal 1 gram/hari dan maksimal 2
gram/hari; dan mengentikan aktivitas merokok serta konsumsi alkohol.
b. Tirah baring

Pada kondisi eksaserbasi akut pasien disarankan untuk melakukan


tirah baring. Kondisi ini dilakukan untuk mengurangi beban jantung
pasien terhadap aktivitas fisiknya.
c. Farmakologi

Terapi oksigen 2-4 liter per menit.

Pemasangan intravenous line untuk akses obat-obatan injeksi dan


cairan.
Obat Diuretik
Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki
peningkatan pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal
jantung. Diuterik yang sering digunakan golongan loop diuretic dan
thiazide.
Loop diuretic (bumetamid, furosemid) meningkatkan ekskresi
natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle
asenden, namun efek sampingnya berupa hiperurisemia.
Diuretik

Thiazide

(bendroflumetiazid,

klorotiazid,

hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi


garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini
kurang efektif dibandingkan dengan loop diuretic dan sangat tidak
efektif bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30% (gagal ginjal
berat). Penggunaan kombinasi loop diuretic dengan diuretic thiazide
bersifat sinergis. Thiazide memiliki efek vasodilatasi langsung pada
arterior perifer dan dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat.

Digoksin
Glikosida seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard
yang menghasilkan inotropisme positif yaitu memperkuat kontraksi
jantung,

hingga

stroke

volume,

diuresis.

Digoksin

tidak

meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena


curah jantung ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga
oleh beban dan denyut jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat
memperbaiki

kontraktilitas

dan

menghilangkan

mekanisme

kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan timbulnya gejala


gagal jantung.

Vasodilator
Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan
dinding ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan
oksigen moikard, menurunkan konsumsi oksigen miokard dan
meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada sistem
vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran
vasodilator dan dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor
angiotensin, prazosin dan nitroprusida).

Beta Blocker
penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan
menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi
inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan
iskemi miokard. Penggunaan terbaru dari metoprolol dan bisoprolol
adalah sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE-inhibitor. Obatobatan tersebut dapat mencegah memburuknya kondisi serta
memperbaiki gejala dan keadaan fungsional.

Antiaritmia
Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut
dengan jalan menormalisasi frekuensi dan ritme stroke volume. Obat
antiaritmia mempertahankan irama sinus pada gagal jantung.
Amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah AF
dan membantu meningkatkan tingkat keberhasilan kardioversi bila AF
tetap ada.

Nitrat
Nitrat mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke
volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen miokard pada gagal
jantung akut. Sebaiknya dikombinasikan dengan furosemid dengan
dosis rendah.

B. Penumonia
1. Definisi

Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory


tract (LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi. Sebenarnya pneumonia
bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui
ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur,
berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang
tua dan penderita penyakit kronis.
2. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa.
Tabel 3. Mikroorganisme Penyebab Pneumonia

3. Patogenesis
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui
berbagai cara:
a. Inhalasi langsung (air borne transmitted).
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
c. Penyebaran secara hematogen.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia


a. Mekanisme Pertahanan Paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang
terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di
dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis

saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis


yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel
yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka
bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran
pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius..
Infeksi saluran napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem
pertahanan paru yang tidak bekerja dengan baik.
b. Kolonisasi Bakteri di Saluran Pernapasan
Di dalam saluran napas terdapat cukup banyak bakteri yang
bersifat komensal. Bila jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai
suatu konsentrasi yang cukup, kuman ini kemudian masuk ke saluran
napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan mekanisme pembersihan
saluran

napas,

keadaan

ini

bermanifestasi

sebagai

penyakit.

Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran


napas akan ikut dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama
mekanisme pembersihan, sehingga tidak terjadi kolonisasi.
c. Pembersihan Saluran Napas terhadap Bahan Infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulang kali dimasuki oleh
berbagai mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak
menimbulkan
pertahanan

sakit,

paru

ini

yang

menunjukkan
efisien

adanya

sehingga

dapat

suatu

mekanisme

menyapu

bersih

mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan


penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan-bahan berbahaya dan infeksius
berupa refleks batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh
respon imunitas humoral.
5. Klasifikasi Pneumonia
a. Community Acquired Pneumonia
Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi
di luar lingkungan rumah sakit atau infeksi terjadi dalam 48 jam setelah
dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah
sakit selama > 14 hari.
b. Hospital Acquired Pneumonia
Pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah
masuk rumah sakit. Jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah

sakit. Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit


mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya.
c. Pneumonia Aspirasi/Anaerob
Infeksi oleh bakteri dan organisme anaerob lain setelah aspirasi
orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada
pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan
refleks menelan.
d. Pneumonia Oportunistik
Terjadi pada pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid,
kemoterapi, HIV) sehingga mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan
mikobakteri, selain organisme bakteria lain.
e. Pneumonia Rekuren
Disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis
kistik dan bronkietaksis.
6. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko

pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik
(misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obatobatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit
virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik,
pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, dan pendingin ruangan.

7. Diagnosis
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan pada gambaran klinis,
sedangkan pemeriksaan foto polos dada perlu dilakukan untuk menunjang
diagnosis, disamping untuk melihat luasnya kelainan patologis pada
pneumonia.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, sesak napas, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit
tenggorok, nyeri dada saat bernapas, sakit kepala, nyeri otot, dan nyeri sendi.
Keluhan tersebut juga disertai batuk, dengan sputum purulen kekuningkuningan atau kehijau-hijauan, kadang-kadang berdarah. Pada pasien muda
atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran
nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol.

Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel


darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC
15.000-40.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah
WBC dapat normal atau menurun. Dalam keadaan leukopenia laju endap
darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3, dan protein reaktif C
mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas.
Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati.
Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi
kreatinin masih dalam batas normal.
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan
perbedaan nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus
umumnya menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi.
Pneumonia

yang

disebabkan

oleh

kuman

Pseudomonas

sering

memperlihatkan adanya infiltrat bilateral atau bronkopneumonia.


8. Penatalaksanaan
a. Terapi Antibiotik
Antibiotika memiliki

khasiat

mematikan

atau

menghambat

pertumbuhan kuman. Peresepan antibiotika untuk pasien yang tidak


membutuhkan, dapat mengakibatkan resistensi. Dapat digunakan sebagai
terapi awal beradasarkan pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan
organisme jika hasil mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam.
Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan sensitifitas antibiotika.
Tabel 4. Penggunaan Antibiotik berdasarkan Bakteri Penyebab Pneumonia

BAB III
KESIMPULAN
Gagal jantung kongestif merupakan salah satu dari penyakit jantung yang kini
bukan lagi hanya diderita oleh pasien geriatri saja melainkan dapat diderita oleh
pasien usia produktif dan berpeluang bersifat progresif dengan tanda-tanda kardinal
berupa dispnea dan fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas dan
retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini
mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung.
Kejadian rawat inap berulang pasien gagal jantung kongestif terjadi karena
eksaserbasi dari gejala klinis overload volume dan penurunan cardiac output. Selain
itu, terdapat pula penyakit lain yang dapat menyertai seperti infark miokard,
pneumonia, penyakit paru obstruktif kronik, tuberkulosis paru, bronkopneumonia,
atau pun gagal ginjal. Oleh karena itu, perubahan gaya hidup dan medical check up
rutin menjadi salah satu upaya pencegahan yang efektif untuk mencegah terjadinya
penyakit ini.

REFERENSI
1. Panduan Pelayanan Medik. PAPDI. 2009.
2. Isselbacher, J Kurt. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 3. Jakarta: EGC.2000
3. ORouke., Walsh., Fuster. Hursts The Heart Manual of Cardiology.12th
Ed.McGrawHill. 2009.
4. Sudoyo, W. Aaru, Bambang Setiyohadi. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI. 2007.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2003.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Nosokomial. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2005.

PRESENTASI KASUS DAN PORTOFOLIO

GAGAL JANTUNG KONGESTIF


PNEUMONIA

RSUD KABUPATEN KEPAHIANG


PROVINSI BENGKULU

Disusun oleh :
dr. Bintang Bayu Aryandi

Pendamping :
dr. Budi Artha Sitepu
dr. Ratna Siagian

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


2014/2015

PRESENTASI KASUS DAN PORTOFOLIO

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

RSUD KABUPATEN KEPAHIANG


PROVINSI BENGKULU

Disusun oleh :
dr. I Nyoman Aripin

Pendamping :
dr. Budi Artha Sitepu
dr. Ratna Siagian

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN
BADAN PPSDM KESEHATAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


2014/2015

BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO


Pada hari ini tanggal telah dipresentasikan portofolio oleh :
Nama peserta

: .

Dengan Judul

: .

Nama Pendamping

: .
.

Wahana
No.

: .

Nama Peserta

Tanda Tangan

Berita acara ini ditulis dan disampaikan dengan sebenar-benarnya.


Pendamping I

Narasumber

Pendamping II

Anda mungkin juga menyukai