Anda di halaman 1dari 17

JTM Vol. XVI No.

3/2009

HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DAN MORFOLOGI


DALAM DISTRIBUSI KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA
ENDAPAN NIKEL LATERIT : STUDI KASUS ENDAPAN NIKEL
LATERIT DI PULAU GEE DAN PULAU PAKAL, HALMAHERA
TIMUR, MALUKU UTARA
CONNECTING SLOPE SLOPE AND MORPHOLOGY IN THICKNESS DISTRIBUTION
HORIZON deposit laterite nickel laterite: CASE STUDY ON THE ISLAND deposit laterite
nickel GEE AND ISLAND Pakal, HALMAHERA EAST, NORTH MALUKU
1

Syafrizal , M. Nur Heriawan , Sudarto Notosiswoyo , Komang Anggayana , Jogi F. Samosir

Sari
Endapan nikel laterit merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan ultramafik pembawa Ni-Silikat, dan
umumnya
terdapat pada daerah dengan iklim tropis sampai dengan subtropis. Proses pembentukan endapan nikel laterit
dikendalikan oleh beberapa faktor, antara lain jenis batuan dasar, iklim, topografi, airtanah, stabilitas
mineral,
mobilitas unsur, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkat kelarutan mineral. Untuk
dapat
memberikan kontribusi yang lebih berarti dalam kegiatan eksplorasi maka dilakukan pemodelan dari
data eksplorasi pada Pulau Gee dan Pulau Pakal, Halmahera Timur, sehingga diperoleh suatu hipotesa
tentang
kondisi yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit. Pada studi ini digunakan data
hasil pemboran Pulau Gee dan Pulau Pakal. Dari sisi geomorfologi dan geologi struktur terlihat bahwa pada
daerah dengan kemiringan yang sangat landai, horizon yang akan terbentuk adalah top soil serta dijumpai
perulangan profil. Pada daerah dengan kondisi topografi yang sangat terjal, sedikit sekali ditemukan
keberadaan laterit yang disebabkan oleh intensifnya pengikisan profil laterit oleh erosi air. Morfologi daerah
yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit adalah daerah dengan kondisi kemiringan
topografi antara 35% sampai 52%.
Kata Kunci : nikel laterit, morfologi, kemiringan topografi, profil
laterit.
Abstract

Laterite nickel deposit is the product of advance weathering


of Ni-silicate bearing ultramafic rocks, where in general
deposited within the tropical to sub-tropical area. The
process on laterite nickel deposition involved some factors,
i.e. type of bedrock, climate, topographic, groundwater,
mineral stability, element mobility, and the environmental
condition which influenced the rate of mineral
solubility. In order to give more significant contribution
to the exploration activity, then a hypothesis about the most
ideal condition of the deposition place of nickel laterite is
discussed, with the case study for nickel laterite deposit
at Pakal and Gee Islands, East Halmahera. The result
on exploration drilling from both locations is used for
this study. The aspects on geomorphology and structural
geology showed that at the particularly flat area, the
produced horizon was top soil followed by profile
recurrence. At the area with extremely steep slope, the
laterite layer did not exist due to intensive water erosion.
The most ideal morphology for the depositional of nickel

laterite was the area with topographical slope about 35% to


52%.
Keywords: laterite nickel, morphology, topographic slope, laterite
profile.
1)
2)

Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumberdaya Bumi (KK-ESDB), FTTM


ITB E_mail : syafrizal@mining.itb.ac.id
Program Studi Teknik Pertambangan, FTTM ITB

I. PENDAHULUAN
Endapan nikel laterit merupakan produk dari proses pelapukan lanjut pada batuan ultramafik pembawa NiSilikat, umumnya terdapat pada daerah dengan iklim tropis sampai dengan subtropis. Indonesia dikenal sebagai
salah satu negara utama penghasil bahan galian di dunia, termasuk nikel. Berdasarkan karakteristik geologi
dan tatanan tektoniknya, beberapa lokasi endapan nikel laterit yang potensial di Indonesia umumnya tersebar
di wilayah Indonesia bagian timur, antara lain : Pomalaa (Sulawesi Tenggara), Sorowako (Sulawesi Selatan),
Gebe (Halmahera), Tanjung Buli (Halmahera), dan Tapunopaka (Sulawesi Tenggara). Sedangkan beberapa
lokasi yang diperkirakan juga memiliki potensi endapan nikel laterit dan hingga saat ini sedang

Lateritic nickel deposit is a product of weathering of ultramafic rocks further on Ni-silicate carrier,
generally found in areas with tropical climates up to subtropical. Indonesia is known as one of the main
countries in the world producer of minerals, including nickel. Based on geological characteristics and
order tectonic, some locations precipitate nickel laterite potential in Indonesia is generally spread in
eastern Indonesia, among others: Pomalaa (Southeast Sulawesi), Sorowako (South Sulawesi), Gebe
(Halmahera), Tanjung Buli (Halmahera), and Tapunopaka (Southeast Sulawesi). While some locations
are estimated to have the potential to precipitate nickel laterite and is currently dilaksanakan kegiatan
eksplorasi terdapat di pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Halmahera, antara lain Pulau Obi, Pulau Gee, dan
Pulau Pakal.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan data-data eksplorasi dan data-data pengamatan lapangan yang
diperoleh dari Pulau Gee dan Pulau Pakal, Halmahera Timur, Propinsi Maluku Utara (Gambar 1).
Daerah penelitian ini merupakan bagian dari Kuasa Pertambangan (KP) Eksplorasi PT. Aneka Tambang. Tbk.
Pada saat ini, aktivitas penambangan di Pulau Gee masih terus berlangsung, dimana kegiatan eksplorasi
telah selesai dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Sementara itu,
149

Syafrizal, M. Hubungan
Nur Heriawan,
Kemiringan
Sudarto Lereng
Notosiswoyo,
dan Morfologi
Komangdalam
Anggayana,
Distribusi
JogiKetebalan
F. SamosirHorizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit

kegiatan eksplorasi di Pulau Pakal masih terus dilaksanakan secara intensif dengan aktivitas. utama berupa
pemboran eksplorasi dengan spasi 25 x 25 meter.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah identifikasi keberadaan profil umum (zona) endapan laterit, yaitu
zona top soil, zona limonit, zona low saprolit ore zone (LSOZ), zona high saprolit ore zone (HSOZ) dan
zona bedrock. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui pola hubungan antar parameter utama yang
mempengaruhi pembentukan endapan nikel laterit khususnya morfologi (pola topografi), struktur lokal
(dalam hal ini rekahan), iklim, vegetasi dan yang tidak kalah pentingnya adalah pola hubungan kadar.
Masing-masing parameter tersebut diperkirakan berkaitan erat satu sama lain dan merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan, sehingga dengan mempelajari pola hubungan antar elemen ini diharapkan dapat diketahui
kontrol utama pembentukan nikel laterit sehingga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan eksplorasi.

The main focus of this research is the identification of the existence of a common profile
(zone) deposition laterite, ie top soil zone, the zone of limonite, saprolite ore zone Low
zone (LSOZ), high zone of saprolite ore zone (HSOZ) and bedrock zones. Further analysis
to determine the pattern of the relationship between the main parameters that influence the
formation of lateritic nickel deposit in particular morphology (topographic pattern), local
structures (in this case the fracture), climate, vegetation and no less important is the
relationship patterns levels. Each of these parameters is estimated closely related to each
other and is an integral and inseparable, so by studying the pattern of the relationship
between elements is expected to be known to the main control laterite formation so that it
can be used in exploration activities.
II. KONDISI GEOLOGI
Sebagian Halmahera Timur merupakan batuan ultrabasa yang merupakan batuan asal (bed rock) yang
kemudian mengalami pelapukan dan terakumulasi menjadi endapan nikel laterit. Komplek batuan
ultrabasa ini terdiri dari serpentinit, piroksen, dan dunit (Apandi & Sudana, 1980).
Mendala geologi Halmahera Timur terutama dibentuk oleh satuan batuan ultrabasa (Ub). Batuan sedimen
berumur Kapur (Kd) dan Paleosen-Eosen (Tped, Tpec, dan Tpel) diendapkan tidak selaras di atas batuan
ultrabasa. Sejak Eosen Akhir hingga Oligosen Awal terjadi aktivitas gunung api dan membentuk materialmaterial vulkanik sebagai Formasi Bacan (Tomb). Bersamaan dengan itu terbentuk batugamping Formasi
Tutuli (Tomt). Setelah itu terbentuk cekungan yang luas yang berkembang sejak Miosen Atas sampai Pliosen.
Di dalam cekungan tersebut, diendapkan
batupasir
berselingan
dengan napal, tufa, konglomerat
sebagai Formasi Weda (Tmpw), batuan konglomerat (Tmpc), dan batugamping Formasi Tingteng (Tmpt).
Pada bagian barat Halmahera, terendapkan batuan
gunungapi
Oligo-Miosen
Formasi Bacan (Tomb).
Batuan sedimen dan karbonat berumur Miosen-Pliosen tersebar luas, dimana kebanyakan batuan sedimen
tersebut bersifat tufaan. Selain itu, pada bagian utaranya ditemukan batuan gunungapi Kuarter (Qpk dan Qht).
Menurut Apandi & Suandi (1980),

Most of East Halmahera is an ultramafic rock that is the origin of rock (bed rock) which is
then subjected to weathering and accumulated into lateritic nickel deposit. The complex
consists of ultramafic rock serpentinite, pyroxene, and dunit (Apandi & Sudana, 1980).
Mendala East Halmahera geology is mainly formed by ultramafic rock units (Ub).
Cretaceous sedimentary rocks (Kd) and the Paleocene-Eocene (TPED, TPEC, and Tpel)
precipitated not aligned above ultramafic rocks. Since the Late Eocene to Early Oligocene
volcanic activity occurred and formed volcanic materials as Formation Bacan (Tomb). At
the same limestone formations formed Tutuli (Tomt). After that formed a broad basin that
developed since the Upper Miocene to Pliocene. Inside the basin, deposited sandstone
interspersed with marl, tuff, conglomerate as Veda Formation (Tmpw), rock conglomerate
(Tmpc), and limestone formations Tingteng (tmpt).
150
1501

150
1501

Syafrizal, M. Hubungan
Nur Heriawan,
Kemiringan
Sudarto Lereng
Notosiswoyo,
dan Morfologi
Komangdalam
Anggayana,
Distribusi
JogiKetebalan
F. SamosirHorizon Laterit
pada Endapan Nikel Laterit

In the western part of Halmahera, volcanic rocks deposited Oligo-Miocene Formations


Bacan (Tomb). Carbonate sedimentary rocks and Miocene-Pliocene widespread, where
most of the sedimentary rocks are tuff. Moreover, the northern part is found Quaternary
volcanic rocks (Qpk and Qht). According Apandi & Suandi (1980),
struktur lipatan berupa sinklin dan antiklin terlihat pada Formasi Weda (Tmpw) yang berumur Miosen
Tengah-Pliosen Awal. Struktur sesar yang terdiri dari sesar normal dan sesar naik, umumnya berarah utaraselatan dan barat laut-tenggara. Kegiatan tektonik kemungkinan dimulai pada Kapur Akhir dan Tersier Awal,
ditandai dengan adanya komponen batulempung yang berumur Kapur, serta batuan ultrabasa di dalam
konglomerat yang membentuk Formasi Dorosagu (Tped).
III. PENENTUAN HORIZON LATERIT Pada penelitian ini, penentuan zona laterit pada endapan nikel
laterit didasarkan atas komposisi kadar Ni dan Fe dengan asumsi sebagai berikut: top soil (kadar Ni
< 1% dan Fe <
30%), zona limonit (kadar 1,0% < Ni < 1,4% dan Fe > 40%), low saprolit ore zone (LSOZ, kadar 1,4% < Ni
< 1,8% dan Fe < 40%) serta high saprolit ore zone (HSOZ, kadar Ni >
1,8% dan Fe < 30%).
Basis data yang digunakan dalam studi ini adalah data-data pemboran eksplorasi yang telah
diverifikasi dan diolah dengan menggunakan teknik komposit. Distribusi data kadar Ni dan Fe pada masingmasing lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 2, 3, 4, dan 5.
Histogram kadar Ni terhadap semua data assay memperlihatkan distribusi data kadar pada Pulau Gee dan
Pulau Pakal yang mengumpul pada kadar kecil dari 4% Ni.
Histogram kadar Fe secara umum terlihat adanya 2 populasi, yaitu populasi kadar Fe rendah dan
populasi kadar Fe tinggi. Populasi Fe kadar tinggi diinterpretasikan merupakan zona limonit yang
didominasi oleh mineral- mineral yang kaya akan Fe, misalnya goethite, hematite, dan magnetit. Berdasarkan
karakteristik endapan nikel laterit tipe Mg- silicate, kadar Fe akan semakin berkurang pada zona saprolit.
Pembuatan komposit kadar dilakukan terhadap data awal yang berupa data individual dengan interval 1 meter,
yang kemudian dilakukan konstruksi zona-zona laterit berdasarkan optimasi komposit data secara sistematik.
Ketebalan zona top soil di Pulau Pakal mencapai hingga lebih dari 30 m dan terdistribusi baik
hingga ketebalan top soil mencapai 17 m. Zona top soil di Pulau Pakal lebih tebal daripada zona top soil di
Pulau Gee yang hanya mencapai ketebalan maksimum 9 m.

151
1511

151
1511

Sedangkan pada zona limonit, zona LSOZ dan zona HSOZ secara umum kedua pulau memiliki distribusi
ketebalan yang mirip. Pada zona limonit dan LSOZ tebalnya berkisar antara 1 m hingga 10 m dengan data
mengelompok pada ketebalan rendah. Sedangkan zona HSOZ data terdistribusi secara merata hingga
ketebalan 20 m untuk Pulau Gee dan 25 m untuk Pulau Pakal.
Distribusi kadar Ni pada zona top soil menjadi sangat rendah akibat mengalami mobilisasi dan berpindah pada
zona dibawahnya. Distribusi kadar Ni pada zona bedrock terkumpul pada kadar 0,6% - 1% untuk Pulau Gee
dan 0,4% 1% untuk Pulau Pakal. Sedangkan populasi
kadar Ni yang tinggi (Ni > 1%) terjadi akibat batas antara zona saprolit dengan zona bedrock yang eratik dan
perubahannya terjadi secara gradual. Distribusi kadar Fe pada masing- masing zona akan mengalami
pergeseran dimana pada zona top soil kadar Fe akan lebih tinggi dari pada kadar Fe di zona limonit dan
demikian seterusnya hingga pada zona bedrock akan memiliki kadar Fe paling rendah dibandingkan dengan
zona lainnya.
IV. PROFIL HORIZON LATERIT
Profil nikel laterit Pulau Pakal memiliki tebal zona top soil hampir 3 kali lipat ketebalan zona top soil Pulau
Gee, dan bedrock Pulau Pakal juga lebih dalam dibandingkan dengan di Pulau Gee, hal ini disebabkan
tingkat pelapukan yang lebih tinggi di Pulau Pakal. Profil nikel laterit ini dapat dilihat pada Gambar
6.
Selain itu kadar Fe pada endapan nikel laterit di Pulau Gee lebih tingggi daripada kandungan Fe di Pulau
Pakal. Model kadar nikel laterit untuk Pulau Gee memperlihatkan bahwa Fe lebih banyak terakumulasi
pada lapisan limonit. Hal ini kemungkinan disebabkan karena zona top soil yang tipis sehingga iron
cap terletak di daerah perbatasan zona top soil dengan limonit. Pada zona limonit ini terakumulasi mineralmineral yang kaya akan Fe, misalnya magnetit, goethite, dan hematite, sehingga secara kuantitatif
menyebabkan zona limonit menjadi kaya akan Fe.
Model distribusi kadar pada masing-masing horizon laterit ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

Laterite profile Pakal Island has a thick zone of topsoil is almost 3 times the thickness of
the zone Gee Island top soil and bedrock Pakal Island are also deeper than the Island Gee,
this is due to higher levels of weathering on the island of Pakal. Nickel laterite profile can
be seen in Figure 6.
In addition, levels of Fe in laterite nickel deposit Island tingggi Gee more than the Fe
content in Pakal Island. Model grade lateritic nickel for Gee Island show that Fe more
accumulates in layers of limonite. This is possibly due to the thin top soil zone so that the
iron cap located in the border areas of top soil zone with limonite. In the limonite zone is
accumulated minerals rich in Fe, eg magnetite, goethite, and hematite, thus quantitatively
causing the limonite zone is rich in Fe. Content distribution model in each of the laterite
horizon can be seen in Figure 7 and Figure 8.
V. HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DENGAN PROFIL HORIZON LATERIT
Pada kondisi kemiringan topografi berbeda
akan terbentuk ketebalan endapan yang berbeda-beda. Perilaku ini disebabkan oleh
kondisi lingkungan pembentukan yang berbeda akibat perbedaan kemiringan topografi.
Hubungan persen lereng dengan ketebalan zona endapan laterit memperlihatkan bahwa ketebalan zona
limonit akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan topografi.
Hal ini dikarenakan oleh aktivitas utama yang terjadi pada daerah dengan kemiringan topografi terjal
adalah pengikisan (erosi) sehingga unsur-unsur penyusun limonit tidak akan terakumulasi melainkan tererosi
sehingga zona limonit tidak akan terbentuk. Kondisi yang sama terjadi pada LSOZ dan HSOZ
dimana ketebalan zona ini akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan topografi.
Pembentukan masing-masing zona pada endapan nikel laterit berada pada daerah dengan kemiringan
lereng yang moderat. Histogram persen lereng (Gambar 9 dan Gambar 10) memperlihatkan bahwa
pada daerah dengan kemiringan lereng yang sangat landai (0% - 35%) besar kemungkinan tidak akan
terbentuk zona yang umum terdapat pada endapan nikel laterit, walau tidak menutup kemungkinan terbentuknya
horizon ini.

Artinya pada daerah dengan kemiringan lereng yang berkisar antara 0% sampai 35% dapat terbentuk masingmasing zona namun dapat pula tidak ditemukan adanya zona-zona umum yang berada pada endapan nikel
laterit. Sementara untuk daerah dengan kemiringan yang berkisar antara 18% sampai 52% maka sangat
besar kemungkinan terbentuknya zona- zona yang terdapat pada endapan nikel laterit (Gambar 9 dan
Gambar 10).
Sehingga untuk dapat menentukan kemiringan topografi yang paling prospek sebagai tempat pembentukan
endapan nikel maka dilakukan dengan cara mengiriskan batasan kemiringan dimana zona endapan nikel laterit
tidak terbentuk dan kemiringan dimana zona endapan nikel laterit akan terbentuk.
Hal ini dilakukan sebagai solusi yang diambil mengingat
ditemukannya
kenyataan
bahwa pada
kemiringan yang berkisar antara 0% sampai 35% dapat terbentuk endapan nikel laterit, namun dapat
pula tidak ditemukan endapan nikel laterit. Sebagai hasil dari irisan ini maka didapatkan suatu kemiringan
topografi sebagai tempat yang paling ideal untuk terbentuknya suatu endapan nikel laterit yakni pada
kemiringan antara 35% sampai
52%.

VI. KONDISI PEMBENTUKAN ENDAPAN NIKEL LATERIT PADA TOPOGRAFI LANDAI


Endapan nikel laterit akan terbentuk pada
daerah yang pada permukaan tanahnya tidak mengalir air permukaan yang cukup kencang, karena bila hal ini
terjadi maka besar kemungkinan bahwa air tidak memiliki waktu yang cukup lama untuk dapat melakukan
penetrasi kearah bawah. Penetrasi inilah yang menyebabkan unsur - unsur mobile akan terbawa bersama
aliran air dan akhirnya akan terakumulsi pada suatu tempat yang cukup ideal.
Namun bila aliran air permukaan cukup kecil, maka air permukaan yang dapat berasal dari air hujan akan
memiliki waktu yang cukup banyak untuk dapat melakukan penetarasi ke arah bawah. Bersamaan dengan
aktivitas penetrasi tersebut maka unsur - unsur mobile yang cukup penting sebagai unsur pembentuk
endapan nikel laterit dapat terakumulsi pada suatu tempat yang cukup ideal.
Namun dari hasil analisis lainnya diperoleh suatu kesimpulan bahwa pada daerah dengan kemiringan lereng
yang cukup kecil/landai maka endapan nikel laterit juga tidak terbentuk secara optimal.
Pada kondisi topografi yang berkisar antara 0
% - 35 % endapan nikel laterit tidak dapat terbentuk. Penyebab utama yang sangat mempengaruhi adalah
bagaimana kemampuan air untuk dapat melakukan penetrasi kebagian bawahnya. Komposisi tanah penutup
(top soil) yang sebahagian besar didominasi oleh material berupa lempung mengindikasikan bahwa proses
laterisasi berlangsung intensif pada kuantitas air yang cukup, sehingga menyebabkan terbentuk akumulasi
lempung.
Hal ini didukung oleh sebaran titik bor dengan ketebalan top soil yang beragam yang terdapat pada Pulau Pakal
dan Pulau Gee. Dari sebaran titik bor ini didapatkan kenyataan bahwa titik bor yang mengandung top soil
sebahagian besar tersebar pada daerah yang bertopografi landai sampai sedang di Pulau Gee dan Pulau Pakal
(Gambar 10 dan 11).
VII. PERULANGAN PROFIL LATERIT Pada kegiatan eksplorasi di lapangan seringkali ditemukan profil
endapan nikel laterit yang tidak terbentuk secara ideal dan sempurna, artinya pada satu lubang bor
tidak ditemukan profil yang berurut dari top soil sampai bed rock. Pada banyak lubang bor ditemukan
suatu profil yang berulang, dimana berdasarkan aktivitas pembentukan yang terjadi maka tidak
mungkin terbentuk profil yang berulang. Sebagai contoh: Pada bagian atas suatu log bor ditemukan profil
limonit, selanjutnya pada bagian bawah terbentuk profil low saprolit ore zone. Namun setelah profil low
saprolit ore zone ini ditemukan kembali profil yang berupa limonit.
Berdasarkan proses pembentukannya maka kasus ini tidak mungkin terjadi, karena profil yang terbentuk
pada endapan nikel laterit seharusnya
berurut dari top soil sampai bedock. Sedangkan pada kenyataanya
kondisi ideal seperti ini tidak selalu ditemukan di lapangan. Besar kemungkinan bahwa daerah yang dibor ini
merupakan endapan hasil transportasi dari berbagai tempat. Setelah endapan limonit diendapkan selanjutnya
dari daerah lain diendapkan pula low saprolit ore zone. Namun setelah endapan low saprolit ore zone ini
diendapkan, limonit yang merupakan hasil transportasi dari daerah lain kembali diendapkan. Hal inilah yang
sering membuat terjadinya kerancuan deskripsi profil pada endapan nikel laterit dan kasus ini dapat terjadi pada
semua profil/ zona yang terdapat pada endapan nikel laterit.
Bila dilihat dari sebaran titik bor dimana terbentuk perulangan profil maka sebagian besar sebarannya
akan terakumulasi
pada daerah dengan topografi landai di Pulau Gee dan Pulau Pakal seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 12 dan 13.
Hal ini disebabkan pada daerah landai terakumulasi semua jenis horizon yang berasal dari daerah lain melalui
proses transportasi. Walaupun berada pada elevasi yang cukup tinggi namun daerah tersebut merupakan
daerah dengan kondisi kemiringan topografi yang sangat landai. Kondisi ini akan berlaku sama baik pada
Pulau Gee maupun pada Pulau Pakal, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa lubang bor yang
menunjukkan perulangan akan terletak pada daerah dengan kondisi topografi yang sangat landai dan
horizon yang terbentuk bukan merupakan endapan insitu melainkan hasil akumulasi dan sedimentasi pada
saat proses pembentukannya.
VIII. IDENTIFIKASI KONTROL STRUKTUR
Pada beberapa lubang bor ditemukan kadar Ni
yang relatif sangat tinggi dibandingkan dengan kadar Ni yang ada pada lubang bor di sekitarnya.
Keberadaan kadar Ni yang relatif sangat tinggi ini diperkirakan akibat intensitas keberadaan mineral garnierit.

Rekahan
yang terdapat
pada Pulau Gee menunjukkan suatu pola kelurusan. Pada zona rekahan
kadar Ni yang terkandung sangat besar karena pada zona ini banyak terdapat garnierit yang memiliki
kandungan Ni yang sangat besar. Rekahan yang terdapat pada Pulau Pakal lebih banyak dibandingkan
pada Pulau Gee. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan kadar Ni yang cukup tinggi akan lebih banyak
tersebar pada Pulau Pakal.
Seperti telah diketahui bahwa batuan beku memiliki porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga
penetrasi air akan sangat sulit. Oleh karena itu dengan hadirnya rekahan-rekahan akan lebih memudahkan
masuknya air dan mengakibatkan proses pelapukan akan lebih intensif. Selain itu struktur yang ada
(terutama rekahan) akan menjadi tempat terakumulasinya unsur-unsur Ni sehingga akan mengakibatkan
terbentuknya mineral-mineral garnierit.
Unsur-unsur Ni yang mengalami pencucian (leaching) akan bergerak dari atas menuju arah bawah sampai pada
suatu kondisi yang paling ideal dimana unsur-unsur Ni yang tertransport tadi akan terakumulasi membentuk
mineral garnierit [(Ni,Mg)6Si4O10(OH)6]. Selain garnierit, pada rekahan juga akan terbentuk banyak mineral
krisopras. Unsur-unsur Si yang mengalami
sedikit
pencucian
dari
atas kebawah akan terendapkan
berupa Si dengan ukuran yang sangat halus dan membentuk mineral krisopras. Unsur-unsur Si yang mengalami
pelarutan akan kembali terakumulasi pada rekahan berupa material pengisi (filling material) dan selanjutnya
membentuk krisopras.
Secara umum, bila pada suatu daerah ditemukan mineral dengan kadar unsur Ni yang sangat tinggi
maka kemungkinan besar mineral tersebut adalah garnierit, karena kandungan unsur Ni yang terdapat
pada mineral garnierit bisa mencapai 10%. Sementara mineral-mineral pembawa unsur Ni yang berupa
hasil leaching dari mineral- mineral serpentin dan peridotit tidak akan memiliki kandungan unsur Ni
yang sangat besar seperti yang terdapat pada garnierit. Dengan kata lain kehadiran mineral garnierit
akan membuat rentang kadar Ni yang terdapat pada daerah penelitian akan semakin besar, sehingga bila
rekahan ini terdapat pada suatu lubang bor maka akan mengakibatkan data yang muncul/diperoleh akan
menjadi sangat eratik.
IX. KESIMPULAN
Semakin besar persen lereng (kemiringan)
suatu daerah maka ketebalan endapan yang
terbentuk akan semakin tipis, sebaliknya bila besar persen lereng suatu daerah lebih kecil (landai) maka
ketebalan endapan yang terbentuk akan semakin besar (tebal). Sementara kondisi kemiringan lereng
yang paling ideal sebagai tempat pembentukan endapan nikel laterit berada pada daerah dengan
kemiringan lereng yang sedang, artinya tidak terlalu landai dan juga tidak terlalu terjal (antara 35% - 52%).
Semakin banyak jumlah kekar (baik kecil maupun besar) maka sebaran kadar dan ketebalan endapan
yang terbentuk pada daerah tersebut akan semakin besar, karena pada daerah kekar maka mineralmineral garnierit yang memiliki unsur Ni yang sangat tinggi akan banyak terendapkan.
Profil berulang yang banyak ditemukan pada daerah penelitian merupakan lokasi dimana terjadi pengendapan
secara silih berganti oleh profil laterit yang sebelumnya sudah terbentuk pada tempat lain, sehingga
sering muncul urutan yang berulang (tidak sesuai dengan proses pembentukan endapan nikel laterit yang
terjadi pada umumnya).
Perbedaan ketebalan yang paling terlihat antara masing-masing horizon adalah top soil, dimana perbedaan
ketebalan top soil antara Pulau Pakal dan top soil Pulau Gee menunjukkan perbedaan yang cukup
signifikan. Sementara horizon lainnya tidak memiliki perbedaan ketebalan yang cukup signifikan (kurang
dari satu meter). Hal ini juga dapat merefleksikan intensitas pelapukan yang lebih intensif dan didukung oleh
keberadaan kelurusan-kelurusan anomali kadar Ni yang tinggi.
UCAPAN TERIMA KASIH

Tim peneliti mengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) atas
dukungan dana untuk pelaksanaan
kegiatan Riset KK No.: 044/K01.08/SPK/2008 ini. Juga penghargaan kami sampaikan kepada Unit Geomin PT. Aneka
Tambang, Tbk. atas dukungan yang diberikan selama anggota tim peneliti melaksanaan kegiatan lapangan serta izin
yang diberikan kepada kami untuk menggunakan salah satu wilayah eksplorasi sebagai daerah studi dalam Riset KK
ini. Juga terimakasih kami sampaikan kepada seluruh pihak-pihak lain yang telah memungkinkan terlaksananya
aktivitas penelitian ini dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA
1.
Apandi, T. dan Sudana, D., 1980. Peta Geologi Lembar Ternate, Maluku Utara. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung.
2. Ashock, 2004. The Past and Future of Nickel Laterites, PDAC International Convention.

3. Freyssinet, Ph., Butt, C.R.M., Morris, R.C. and Piantone, P., 2005. Ore Forming
Guilbert, J.M. and Park, C.F., 1986. The
Geology of Ore Deposit, W.H. Freeman
Processes
Related
to
Lateritic
and Company.
Weathering, Economic Geology 100th
Anniversary Volume.
4. Gleeson, S.A., Butt, C.R.M. and Elias,
7. Mackenzie, W.S. and Guilford, C., 1994.
Atlas of Rock Forming Mineral in Thin
Section,
Longman
Scientific
and
M., 2003. Nickel Laterites:
A Review,
Technical.
Society Economic Geologist (SEG)
8. Heinrich, E.W., 1975.
Microscopic
Newletter Number 54.
5. Golightly, J.P., 1981.
6.

Nickeliferous
Identification of Mineral, McGraw Hill
Book Company.
Laterite Deposits, Economic
75th Anniversary Volume.

Geology

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 2. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Gee.

Gambar 3. Distribusi kadar Ni pada keseluruhan data Pulau Pakal.

Gambar 4. Distribusi kadar Fe pada keseluruhan data Pulau Gee.

Gambar 5. Distribusi kadar Fe pada keseluruhan data Pulau Pakal.

Gambar 6. Perbandingan profil laterit Pulau Gee (kiri) dan Pulau Pakal (kanan).

Gambar 7. Model distribusi kadar Ni dan Fe pada masing-masing horizon laterit


di Pulau Gee.

Gambar 8. Model distribusi kadar Ni dan Fe pada masing-masing horizon laterit


di Pulau Pakal.

Gambar 9. Histogram yang memperlihatkan frekuensi kemunculan horizon High Saprolit (HSOZ) di
Pulau Gee.

Gambar 10. Histogram yang memperlihatkan frekuensi kemunculan horizon High Saprolit (HSOZ) di
Pulau Pakal.

Gambar 11. Distribusi titik bor dengan ketebalan horizon top soil > 2 di Pulau Gee.

Gambar 12. Distribusi titik bor dengan ketebalan horizon top soil > 2
di Pulau Pakal.

Gambar 13. Distribusi titik bor dengan indikasi perulangan profil laterit di Pulau Gee.

Gambar 14. Distribusi titik bor dengan indikasi perulangan profil laterit di Pulau Gee.

160
1601

Studi Distribusi Ukuran Butir Elektrum dan Asosiasi Mineralisasi Emas pada
Urat Ciurug, Pongkor, Indoensia

161

Anda mungkin juga menyukai