Anda di halaman 1dari 5

Langkah 4: Menerapkan Bukti

Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur PICO, diakhiri
dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan aspek PICOpatient, intervention,
comparison, dan outcome. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan
kelayakan (feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis.
Patient
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi:
1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama
dengan pasien di tempat praktik?
2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun kebutuhan
sesungguhnya (real need) pasien?
3.
Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya dalam
menggunakan intervensi?
Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada pasien (patient-centered
care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian karaktersistik pasien yang digunakan dalam
riset dan pasien yang dihadapi di tempat praktik klinis. (Jika peneliti menggunakan pasien
berspektrum luas sehingga memiliki karakteristik yang sama/ serupa dengan pasien di tempat
praktik, maka bukti riset bisa diterapkan. Tetapi pada banyak kasus tidak seperti itu. Tidak
jarang peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi pada sampel pasien yang diteliti,
suatu kebiasaan yang kontraproduktif, sehingga sampel pasien yang diteliti menjadi sangat
spesifik dan berspektrum sempit. Jika pasien yang diteliti berspektrum sempit dan memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pasien di tempat praktik, maka klinisi harus melakukan
pertimbangan seksama dan terbaik untuk memutuskan apakah bukti riset tersebut bisa
diterapkan.
Dokter perlu menggunakan pengetahuan yang ada, pertimbangan klinis (clinical judgment)
terbaik dan pemikiran logis (logical thinking) untuk menentukan apakah bukti riset tepat
untuk diterapkan pada pasien di tempat praktik (Rothman, 2002).

Karena itu dokter harus mempertimbangkan ketepatan (appropriateness) intervensi sebelum


menerapkannya kepada individu pasien. Ketepatan (appropriateness) adalah menunjukkan
kesesuaian antara hasil intervensi yang akan diberikan dengan keinginan dan kebutuhan
pasien. Appropriateness adalah menunjukkan sejauh mana suatu prosedur, terapi, tes, atau
pelayanan memang diperlukan, tidak berlebihan, dalam jumlah yang cukup, dan diberikan
pada setting yang paling cocok bagi kebutuhan pasien.
Intervention
Tiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada pasien:
1. Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?
Efektivitas (effectiveness) adalah kemampuan untuk menghasilkan efek yang diinginkan.
Intervensi yang rasional untuk digunakan, intervensi yang efektivitasnya didukung oleh bukti
yang valid, memberikan perbaikan klinis secara substansial (clinically significant), menunjukkan
konsistensi hasil (statistically significant), dan dapat diterapkan (applicable).
Comparison
Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk menerapkan bukti:
1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatif yang digunakan oleh peneliti
dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik?
2. Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang diakibatnya?
3. Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?
Pertama, penerapan intervensi perlu memperhatikan kesesuaian antara pembanding/ alternatif
yang digunakan oleh peneliti dan pembanding/ alternatif yang dihadapi klinisi pada pasien di
tempat praktik. Peneliti dalam sebuah riset bisa menggunakan pembanding yang sama sekali
tidak mendapatkan intervensi (do nothing), pembanding yang mendapatkan plasebo
(menyerupai intervensi tetapi tidak memiliki bahan aktif alias inert), atau pembanding yang
mendapatkan intervensi lainnya, misalnya terapi standar. Kesesuaian antara pembanding dalam
riset dan pembanding yang dihadapi pada pasien menentukan efikasi dan efektivitas intervensi
ketika diterapkan kepada pasien. Sebuah terapi baru yang ditemukan tidak lebih efektif ketika

dibandingkan terapi standar tidak berarti tidak efektif untuk diberikan kepada pasien jika
dibandingkan dengan tidak memberikan terapi apapun kepada pasien.
Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis perlu membandingkan
manfaat dan kerugian dari melakukan intervensi. Sebuah intervensi yang memberikan manfaat
(benefit, utility) hampir selalu memberikan kerugian yang tidak diinginkan (harm) dan biaya.
Biaya adalah nilai ekonomi dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyediakan dan
melakukan intervensi. Kerugian (disutility) akibat intervensi, misalnya depresi akibat
penggunaan suatu sitostatika, stigma akibat menjalani suatu tes diagnostik, dapat dipandang dan
dinilai oleh pasien secara kuantitatif sebagai suatu biaya, disebut intangible cost. Baik manfaat
maupun kerugian dan biaya secara kuantitatif dan kualitatif perlu diperbandingkan. Besarnya
manfaat dan kerugian intervensi bervariasi, mulai dari sangat kecil (negligible) hingga sangat
substansial.
Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah menentukan pilihan dari berbagai
alternatif intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan atau tidak memberikan intervensi,
atau memilih sebuah dari beberapa alternatif intervensi. Jadi klinisi harus membandingkan
manfaat dan kerugian dari masing-masing alternatif, dan menentukan pilihan sebuah dari
beberapa alternatif intervensi.
Analisis keputusan meliputi langkah-langkah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Identifikasi alternatif pilihan tindakan;


Prediksi probabilitas terjadinya hasil dari masing-masing alternatif pilihan;
Integrasikan nilai pasien tentang manfaat dan kerugian akibat dari alternatif pilihan;
Bandingkan manfaat dan kerugian dari masing-masing alternatif pilihan; dan
Lakukan analisis sensitivitas (Friedland, 1998).
Prinsipnya, alternatif yang dipilih adalah alternatif yang menujukkan rasio kerugian
(biaya) dan manfaat, atau cost-effectiveness ratio (CER), yang lebih rendah. Dengan kata
lain, pilih alternatif yang lebih banyak memberikan manfaat (good) dibandingkan dengan
kerugian (harm) yang diakibatkannya.

Outcome
Tiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil:

1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?


2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
sesungguhnya (real need) pasien?
3. Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian yang
diakibatkannya?
Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah hasil yang berorientasi
pada pasien. Pengambilan keputusan klinis harus memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi
pasien. Menerapkan bukti riset terbaik dengan mengabaikan nilai-nilai dan preferensi pasien
dapat menyebabkan lebih banyak mudarat (harm) daripada manfaat (benefit, utility) kepada
pasien. Karena itu pengambilan keputusan klinis untuk pasien tidak bersifat take-itor-leave
it yang ditentukan semaunya dokter (provider-driven) tanpa memberikan opsi kepada
pasien. Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak pasien, sehingga pengambilan keputusan
bersama pasien-dokter untuk tidak menerapkan intervensi yang terbukti efektif karena
mempertimbangkan nilai-nilai pasien bisa dipandang suatu praktik EBM yang baik.

Langkah 5: Mengevaluasi Kinerja Penerapan EBM


Menerapkan EBM ke dalam praktik klinis merupakan proses berdaur ulang, terdiri atas
sejumlah langkah EBM.Penerapan masing-masing langkah EBM membutuhkan berbagai
kompetensi yang berbeda, yang menentukan keberhasilan implementasi EBM.
-

Langkah 1 EBM memerlukan pengetahuan untuk merumuskan pertanyaan dengan

struktur PICO.
Langkah 2 memerlukan pengetahuan dan keterampilan untuk menelusuri literatur

pada aneka database hasil-hasil riset pada web.


Langkah 3 memerlukan pengetahuan dan keterampilan epidemiologi dan biostatistik

untuk menilai kritis validitas, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti.


Langkah 4 memerlukan pengetahuan dan keterampilan mensintesis bukti-bukti untuk

pengambilan keputusan klinis pada pasien.


Langkah 5 memerlukan keterampilan untuk mengevaluasi kinerja penerapan bukti
pada pasien (Price, 2000; Ilic, 2009).

Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut
Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan langkah-langkah EBM. Penerapan EBM
belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti
yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan
kualitas bukti yang tidak memenuhi VIA (kebenaran, kepentingan, dan kemampuan
penerapan bukti).
Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi EBM. Kedua, melakukan
audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar praktik klinis. Dalam
audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang telah diberikan, untuk
dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah diberikan
(being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should be
done). Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja
yang dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan
klinis pasien.
Ketiga, mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM
merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang.
Hasil evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk memperbaiki penerapan EBM,
agar penerapan EBM di masa mendatang menjadi lebih baik, efektif, dan efisien. Jadi
langkah-langkah EBM sesungguhnya merupakan fondasi bagi program perbaikan
kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (continuous quality improvement) (Ilic,
2009)

DAFTAR PUSTAKA :
Prof.
Bhisma
Murti,
PENGANTAR
EVIDENCE-BASED
MEDICINE.
http://fk.uns.ac.id/static/materi/Pengantar_EBM_Prof_Bhisma_Murti.pdf.
Bagian ilmu kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas
Maret.

Anda mungkin juga menyukai