Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik dikenal juga sebagai nephrosis adalah suatu kondisi yang
ditandai adanya proteinuria dengan nilai dalam kisaran nefrotik, hiperlipidemia,
dan hipoalbuminemia. Sindrom nefrotik adalah suatu konstelasi temuan klinis,
sebagai hasil dari keluarnya protein melalui ginjal secara massif. Karenanya,
sindrom nefrotik sendiri sebenarnya bukan penyakit, tetapi manifestasi berbagai
penyakit glomerular berbeda. Sindrom nefrotik ini sering terjadi pada anak anak.
Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak
masih tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan
penicilin tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta
koertikosterid pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan
kebanyakan mortalitas ini disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada
dekade berikutnya mortalitas turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%.
Dengan pemakaian ACTH atau kortison pada awal 1950 untuk mengatasi edema
dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi, angka kematian turun mencapai
20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi sebelum era sulfonamid
umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal ginjal kronik.
Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada
glomerulus yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah
sindrom nefrotik primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik
dikarenakan etiologi keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta
histopatologinya. Dalam refrat ini selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi
klinik, diagnosis dan penatalaksanaan akan dititk beratkan pada sindrom nefrotik
primer. Terutama sub kategori minimal change nephrotic syndrome (MCNS),
fokal

segmental

glomerosclerosis

(FSGS)

serta

membrano

proloferatif

glomerulonephritis (MPGN).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma nefrotik merupakan kelainan kronik yang umum, dicirikan dengan
adanya perubahan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk membatasi hilangnya protein. Proteinuria pada sindroma
nefrotik didefinisikan sebagai keluarnya protein melebihi 1000 mg/m2 per hari
atau rasio protein terhadap kreatinin melebihi 2 mg/mg. Proteinuria pada anakanak dengan sindroma nefrotik secara utama berhubungan dengan albumin.
Sindroma nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala :
1. Proteinuria massif ( 40 mg/m3 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik +2)
2. Hipoalbuminemia 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia
Pada buku lain disebutkan bahwa yang dimaksud proteinuria masif adalah
apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih.
Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl.
Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,
hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.
2.2 Epidemiologi
Insidens dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%)
dijumpai pada usia 2-7 tahun. Dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5
tahun.
Insiden SN pada anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-4 kasus
baru per 100.000 anak per tahun. Di Negara berkembang insidennya lebih tinggi.
Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2 : 1. Sindrom nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik
pada anak sisanya merupakan sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom
nefrotik primer berkisar 16 per 100.000 anak.
2

Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering pada anak dibanding dewasa, dan
kebanyakan kasus nefrotik sindrom primer pada anak merupakan penyakit lesi
minimal. Prevalensi penyakit lesi minimal berkurang secara proprosional sesuai
dengan umur onset terjadinya penyakit. Fokal segmental glomerosclerosis (FSGS)
merupakan sub kategori nefrotik sindrom kedua tersering pada anak dan frekuensi
kejadiannya cenderung meningkat. Membrano proloferatif glomerulonephritis
(MPGN) merupakan sub kategori sindrom nefrotik yang biasanya terjadi pada
anak yang lebih besar dan dewasa. Kurang lebih 1 % dari sindrom nefrotik pada
anak dan dewasa dan kelainan ini dihubungkan dengan hepatitis dan penyakit
virus lain.
2.3 Etiologi
Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini
dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen-antibodi.
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder
mengikuti penyakit sistemik, antara lain SLE, purpura henoch schonlein, dan lainlain.
Sindroma nefrotik pada anak-anak secara utama bersifat primer atau
idiopatik walaupun dalam jumlah kecil kasus merupaka sekunder karena agen
infeksi dan penyakit sistemik dan glomerular lainnya. Etiologi SN juga
bergantung pada umur pasien. SN yang terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan
(SN kongenital) mungkin merupakan akibat sekunder infeksi intrauterine seperti
sifilis congenital, toksoplasmosis, dan penyakit sitomegalovirus. Selain itu, dapat
juga karena penyakit genetik.
Walaupun tidak ada penelitian sistematik mengenai etiologi SN yang terjadi
pada tahun pertama kehidupan (3-12 bulan), terdapat data yang menunjukkan
bahwa terdapat hingga 40% kasus selama periode tersebut mungkin disebabkan
karena genetik. Selama tahun pertama kehidupan dan pada dekade pertama,
kebanyakan kasus bersifat primer/idiopatik, sedangkan jumlah kasus SN yang
bersifat sekunder meningkat pada 10 tahun pertama kehidupan.

Gambar 1. Etiologi Sindrom Nefrotik Kongenital


Sedangkan pada pasien dengan MCD, biasanya onset terjadinya gejala pada
umur antara 2-6 tahun, 30%-nya juga dapat terjadi pada dewasa. FSGS dapat
terjadi pada semua umur anak-anak, rata-rata biasanya menyerang umur di bawah
8 tahun. Glomerulonefritis membranoproliferatif secara khusus terlihat pada anak
yang lebih tua dan dewasa.

Gambar 2 Etiologi Sindrom Nefrotik


a. Sindroma Nefrotik Primer
Dikatakan sindrom nefrotik primer karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau pada usia di bawah 1 tahun.
Pada anak jika kausa SN tidak jelas maka disebut Sindrom Nefrotik
Idiopatik (SNI). Kelainan histologis SNI menunjukkan kelainan-kelainan yang
tidak jelas atau sangat sedikit perubahan yang terjadi sehingga disebut Minimal

Change Nephrotic Syndrome atau Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM).


Sarjana lain menyebut NIL (Nothing In Light Microscopy).
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari International Study of Kidney Disease
in Children (ISKDC). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya dan apabila diperlukan akan disempurnakan
dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini
menggambarkan

klasifikasi

histopatologik

sindrom

nefrotik

pada

anak

berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC.


Tabel 1. Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada Sindrom Nefrotik Primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer pada anak sebagian besar (80 90%) mempunyai
gambaran patologi anatomi berupa kelainan minimal (SNKM). Gambaran
patologi anatomi lainnya adalah GSFS (7 8%), GNPMD (1,9 2,3%), GNMP
(6,2%), dan GM (1,3%). Pada pengobatan kortikosteroid inisial, sebagian besar
SNKM (94%) mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS (80

85%) tidak responsif (resisten steroid). Onset gejala SNKM biasanya terjadi pada
usia 2 6 tahun, tetapi 30% SNKM juga terjadi pada usia dewasa muda.
b. Sindroma Nefrotik Sekunder
Adalah sindrom nefrotik yang timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek
samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah:
1. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema.
2. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS.
3. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular.
4. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schnlein, sarkoidosis.
5. Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
2.4 Patogenesis
Terdapat beberapa teori mengenai terjadinya SN pada anak yaitu :
Soluble Antigen Antibody Complex (SAAC)
Antigen yang masuk ke sirkulasi menimbulkan antibody sehingga terjadi
reaksi antigen dan antibodi yang larut (soluble) dalam darah. SAAC ini
kemudian menyebabkan sistem komplemen dalam tubuh bereaksi sehingga
komplemen C3 akan bersatu dengan SAAC membentuk deposit yang kemudian
terperangkap di bawah epitel kapsula Bowman yang secara imunofloresensi
terlihat berupa benjolan yang disebut HUMPS sepanjang membran basalis
glomerulus (MBG) berbentuk granuler atau noduler. Komplemen C 3 yang ada
dalam HUMPS ini lah yang menyebabkan permeabilitas MBG terganggu
sehingga eritrosit, protein dan lain-lain dapat melewati MBG sehingga dapat
dijumpai dalam urine.
Perubahan Elektrokemis

Selain perubahan struktur MBG, maka perubahan elektrokemis dapat juga


mneimbulkan proteinuria. Dari beberapa percobaan terbukti bahwa kelainan
terpenting pada glomerulus berupa gangguan fungsi elektrostatik (sebagai sawar
glomerulus terhadap filtrasi protein) yaitu hilangnya fixed negative ion yang
terdapat pada lapisan sialo-protein glomeruli. Akibat hilangnya muatan listrik ini
maka permeabilitas MBG terhadap protein berat molekul rendah seperti albumin
meningkat sehingga albumin dapat keluar bersama urin.
2.5 Patofisiologi

Proteinuria
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya

sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.


Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia
merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik
plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang
interstitial.
Pada SN, proteinuria umumnya bersifat masif yang berarti eksresi protein >
50 mg/kgBB/hari atau >40 mg/m2/jam atau secara kualitatif proteinuria +++
sampai ++++. Oleh karena proteinuria paralel dengan kerusakan MBG, maka
proteinuria dapat dipakai sebagai petunjuk sederhana untuk menentukan derajat
kerusakan glomerulus. Jadi yang diukur adalah Index Selectivity of Proteinuria
(ISP). ISP dapat ditentukan dengan cara mengukur ratio antara Clearance IgG dan
Clearence Transferin.
ISP =

Clearance IgG
Clearance Transferin

Bila ISP < 0,2 berarti ISP meninggi (Highly Selective Proteinuria) yang
secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus ringan dan respons terhadap
kortikosteroid baik. Bila ISP > 0,2 berarti ISP menurun (Poorly Selective
Proteinuria) yang secara klinik menunjukkan kerusakan glomerulus berat dan
tidak adanya respons terhadap kortikosteroid.

Hiperlipidemia
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh

penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-glikoprotein sebagai


perangsang lipase.
Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.
Dikatakan hiperlipidemia karena bukan hanya kolesterol saja yang meninggi
(kolesterol > 250 mg/100 ml) tetapi juga beberapa konstituen lemak meninggi
dalam darah. Konstituen lemak itu adalah kolesterol, Low Density Lipoprotein
(LDL), Very Low Density Lipoprotein (VLDL), dan trigliserida (baru meningkat
bila plasma albumin < 1gr/100 mL).
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin
sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga
akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL pleh
lipoprotein lipase. Tetapi, pada SN aktivitas enzim ini terhambat oleh adanya
hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas.
Disamping itu menurunnya aktivitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula
oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke
dalam urine.
Jadi, hiperkolesteronemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang
berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.

Hipoalbuminemia dan Edema

Hipoalbuminemia terjadi apabila kadar albumin dalam darah < 2,5 gr/100ml.
Hipoalbuminemia pada SN dapat disebabkan oleh proteinuria, katabolisme
protein yang berlebihan dan nutrional deficiency.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler

tetap

normal.

Retensi

cairan

selanjutnya

mengakibatkan

pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma


yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium
dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium
rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill.

Kelainan glomerulus

10


Albuminuria

Hipoalbuminemia

Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma

Volume plasma

Retensi Na renal sekunder

Edema
Gambar 3. Terbentuknya Edema Menurut Teori Underfilled

Gambar 4. Patofisiologi Sindrom Nefrotik Menurut Teori Underfill

11

Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.
Kelainan glomerulus

Retensi Na renal primeri

Volume plasma

Albuminuria
Hipoalbuminemia

Edema
Gambar 5. Terjadinya Edema Menurut Teori Overfilled

Gambar 6. Patofisiologi Sindrom Nefrotik Menurut Teori Overfill

12

Edema
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis

penyakit

glomerulus

mungkin

merupakan

suatu

kombinasi

rangsangan yang lebih dari satu.


Edema mula-mula nampak pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur.
Edema yang hebat / anasarka sering disertai edema genitalia eksterna. Edema
anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gr/ 100 ml. Selain itu, edema
anasarka ini dapat menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema
mukosa usus. Akibat anoreksia dan proteinuria masif, anak dapat menderita PEM.
Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rekstum dan sesak nafas dapat pula
terjadi akibat edema anasarka ini.
Pada umumnya tipe SNKM mempunyai gejala-gejala klinik yang disebut
diatas tanpa gejala-gejala lain. Oleh karena itu, secara klinik SNKM ini dapat
dibedakan dari SN dengan kelainan histologis tipe lain yaitu pada SNKM
dijumpai hal-hal sebagai berikut pada umunya :
Anak berumur 1-6 tahun
Tidak ada hipertensi
Tidak ada hematuria makroskopis atau mikroskopis
Fungsi ginjal normal
Titer komplemen C3 normal
Respons terhadap kortikosteroid baik sekali.
Oleh karena itulah, bila dijumpai kasus SN dengan gejala-gejala diatas dan
mengingat bahwa SNKM terdapat pada 70-80% kasus, maka pada beberapa
penelitian tidak dilakukan biopsi ginjal.
2.6 Manifestasi Klinik
Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang

13

disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai
sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.
Edema (sembab) merupakan manifestasi klinik yang menonjol, kadangkadang mencapai 40% dari berat badan. Pada fase awal, sembab sering bersifat
intermiten dan biasanya mulai tampak pada daerah-daerah yang mempunyai
resistensi jaringan yang rendah (misalnya daerah periorbita, skrotum, atau labia).
Anak-anak dengan asites dapat mengalami restriksi pernafasan dengan
kompensasi berupa takipnea. Akhirnya, sembab menjadi menyeluruh dan masif
(edema anasarka).
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab
muka pada pagi hari waktu bangun tidur dan kemudian menjadi bengkak pada
ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak dan meninggalkan
bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit
menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat
pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut
terjadi karena proteinuria dan hipoalbuminemia terjadi lebih hebat pada pasien
SNKM.
Pasien sangat rentan terhadap infeksi sekunder. Selama beberapa minggu
mungkin terdapat hematuria, azotemia, dan hipertensi ringan. Hipertensi dapat
dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian ISKDC menunjukkan
bahwa 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari
90th persentil umur. Selama edema masih banyak biasanya produksi urin
berkurang (oliguri) dan berat jenis urin meninggi. Sedimen dapat normal atau
berupa torak hialin, granula, lipoid, dan dapat pula ditemukan leukosit.
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom
nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan oleh
sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan oleh sintesis albumin yang
meningkat atau edema, atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang
kadang-kadang berat dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh
karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun
karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi
berat, terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat

14

menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani. Oleh karena adanya distensi
abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu,
bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan
pemberian infus albumin dan diuretik. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih
pucat.
Anak sering mengalami gangguan psikososial seperti halnya pada penyakit
berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang
sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan
respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh
anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama
menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40
mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam, biasanya berkisar antara 1 10 gram per hari.
Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien
dengan tipe yang lain. Pada sedimen ditemukan oval fat bodies yakni epitel sel
yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit,
toraks hialin dan toraks eritrosit.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum <
2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik dan
umumnya berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol
LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar
lipid tetap tinggi sampai 1 3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, tetapi tidak
dapat dijadikan pertanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.
Kadar globulin normal atau meninggi sehingga terdapat perbandingan
albumin-globulin yang terbalik. Didapatkan pula hiperkolesterolemia dan
peningkatan kadar fibrinogen, sedangkan kadar ureum normal. Anak dapat pula
menderita anemia defisiensi besi karena transferin banyak keluar bersama urin.
Kadang-kadang didapatkan protein bound iodine rendah tanpa adanya hipotiroid.
Pada 10% kasus terdapat defisiensi faktor IX. Laju endap darah meninggi, kadar
kalsium darah sering rendah, dan pada keadaan lanjut kadang terdapat glukosuria
tanpa hiperglikemia.

15

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin
serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan
SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik.
Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal
tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak
langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG
ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran
ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.

Gambar 7. Definisi dan Batasan pada Sindrom Nefrotik


2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.
2. Pemeriksaan Fisik

16

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua


kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadangkadang ditemukan hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Dalam laporan ISKDC (International Study
of Kidney Disease in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria
mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar
kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.
3. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kunatitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
-

hematokrit, LED)
Kadar albumin dan kolesterol plasma
Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin denga cara klasif atau

dengan rumus Schwartz


Kadar komplemen C3, bila dicurigai SLE, pemeriksaan ditambah dengan
komplemen C4, ANA, dan anti ds-DNA

2.8 Klasifikasi Histopatologi


Pemeriksaan histopatologi dari jaringan biopsi ginjal sangat penting untuk
menentukan dan memastikan diagnosis, menentukan klasifikasi berdasarkan
kelainan-kelainan histopatologi, prognosis, dan akhirnya pengobatan. Dapat
dilakukan biopsi ginjal apabila :

SN dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum plasma

meninggi, atau kadar komplemen serum menurun


SN resisten steroid
SN dependen steroid

17

Berikut beberapa kelainan histopatologi dan hubungannya dengan gambaran


klinis :
1. Glomerulopati Lesi Minimal (GLM)
Kelainan histopatologi; dengan mikroskop cahaya : seolah-olah tampak
normal, mikroskop elektron : hanya ditemukan obliterasi dari foot processe

(FP), mikroskop imunofloresensi : tidak ditemukan kelainan imunologik.


Sering dijumpai pada anak-anak.
Gambaran klinik khas : faal ginjal normal, tidak ditemukan hematuria,

normotensi.
Mempunyai respon yang baik terhadap kortikosteroid, dengan remisi

mencapai 90%. Remisi spontan mencapai 60%.


Kira-kira 2/3 dari pasien remisi mengalami kekambuhan 3-4 bulan setelah
remisi sempurna tapi tetap menunjukkan respon terhadap kortikosteroid dan
sebagian kecil terhadap imunosupresif lain. 70% dari pasien yang kambuh
didahului oleh infeksi saluran pernafasan non streptokokous dengan periode
laten kurang dari 10 hari, atau penyakit atopik saluran nafas atas.

2. Glomerulopati Lesi Membranosa (GLM)


Kelainan histopatologis; mikroskop cahaya : penebalan difus dan uniform

membran basalis glomerulus, tapi tidak ditemukan proliferasi sel-sel.


Sering dijumpai pada penyakit-penyakit lain selain idiopati; penyakit
sistemik (lupus, rematoid, poliartristis), karsinoma (bronkus, payudara,
lambung), limfoma (hodgkin), sarkoidosis, infeksi (sifilis, malaria, filariasis,
lepra, hepatitis B), obat-obatan (emas, penisilinamin, triodine, tolbutaminde,

probenesid).
30-50% terjadi pada orang dewasa
Manifestasi lambat, udem, proteinuria 10 gr/hari dan sifatnya non selektif
(tidak hanya albumin),hematuria makroskopik (terutama pada anak-anak,

hematuri mikroskopik, hipertensi, dan penurunan faal ginjal.


Remisi 30%, sering relaps setelah beberapa bulan atau tahun

3. Glomerulosklerosis Lokal (GFS)


Kelainan histopatologi; lesi-lesi progresif

memperlihatkan sklerosis

segmental dan lokal pada stadium awal, tapi akhirnya mengenai glomerulus.
18

Mikroskop cahaya : sklerosis hialin segmental, sel-sel busa, atropi sel-sel


tubuler. Mikroskop elektron : Terlihat deposit yang electrone-dense, terletak
sub epitelia dimana pada stadium lanjut akan terbenam pada membran
basalis glomerulus. Mikroskop imunofloresensi : Mengandung IgG dan

komplemen C3 dengan gambaran granuler.


Manifestasi berupa : proteinuria asimtomatik disertai hipertensi, penurunan

faal ginjal.
20% pada anak, 10-20% pada dewasa
Remisi dapat mencapai 25% pada anak-anak. Progresifitas penyakit menjadi

gagal ginjal sekitar 30%


Peranan kortikosteroid maupun siklofosfamid masih diragukan.

4. Glomerulopati Lesi proliferatif (GLP), atau Glomerulopati lesi membranoproliferatif (GLMP), atau Glomerulopati mesangiokapiler (GMK)
kelainan histopatologi berupa proliferasi sel mesangium yang sangat luas
sehingga membran basal seolah terputus-putus. Mikroskop elektron :
Terlihat deposit yang electrone-dense, terletak sub epitelia dimana pada
stadium lanjut akan terbenam pada membran basalis glomerulus. Mikroskop
imunofloresensi : Mengandung IgG dan komplemen C3 dengan gambaran

granuler.
Glomerulopati Lesi proliferatif idiopati jarang terjadi, biasanya sering
ditemukan pada usia adolesen dengan umur antara 15-30 tahun. Gambaran
klinik : sindroma nefrotik (30%), proteinuria dengan atau tanpa

hematuria(30%) dan sindrom nefrotik akut (20%).


Glomerulopati lesi membrano-proliferatif
: proteinuria non selektif,
hematuria, hipertensi, penurunan faal ginjal progresif lambat selama

bertahun-tahun sebelum terjadi sindrom azotemia.


Peranan kortikosteroid masih kontroversial, terapi hanya simtomatis
sebelum transplantasi ginjal.

2.9 Tata Laksana


Pada SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan tujuan
untuk mempercepat pemeriksan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan

19

edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orang tua. Sebelum pengobatan
steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan uji Mantoux. Bila hasilnya positif
diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan TB diberikan OAT.
Perawatan pada SN relaps hanya dilakukan bila disertai edema anasarka yang
berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah
baring tidak perlu dipaksakan dan aktifitas disesuaikan dengan kemampuan
pasien. Bila edema tidak berat anak boleh sekolah.
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya tidak terlalu
cepat memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 510% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu
10-14 hari. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel
berikut :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik
Remisi

Proteinuria negatif atau seangin, atau


proteinuria < 4 mg/m2/jam selama 3 hari

Kambuh

berturut-turut
Proteinuria 2 + atau proteinuria > 40
mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut,
dimana sebelumnya pernah mengalami

Kambuh tidak sering

remisi
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan,

Kambuh sering

atau < 4 kali dalam periode 12 bulan


Kambuh 2 kali dalam 6 bulan pertama
setelah respons awal, atau 4 kali

Responsif-steroid

kambuh pada setiap periode 12 bulan


Remisi tercapai hanya dengan terapi

Dependen-steroid

steroid saja
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut
selama masa tapering terapi steroid, atau
dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid
20

dihentikan
Gagal mencapai remisi meskipun telah

Resisten-steroid

diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari


selama 4 minggu
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi

Responder lambat

prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan


terapi lain
Resisten-steroid sejak terapi awal
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang

Nonresponder awal
Nonresponder lambat

sebelumnya responsif-steroid

2.10 Protokol Pengobatan


International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m 2/hari
dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis
tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.
CD =4 minggu
AD/ID =4 minggu

Tapp.off(remisi)
Stop

Mg 1

4
Remisi

8
Remisi

Gambar 8. Protokol Pengobatan Sindrom Nefrotik (Serangan 1)


Keterangan :
CD = Continuous day : prednisone 60mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari

21

ID = Intermittent day : prednisone 40mg/m2/hari atau 2/3 dosis CD,diberikan 3


hari berturut turut dalam 1 minggu
AD = Pemberian prednisone berselang-seling sehari

A. Sindrom Nefrotik Serangan Pertama


1. Perbaiki keadaan umum penderita :
Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Protein 1-2
gr/kgBB/hari, bila ureum dan kreatinin meningkat diberi protein 0,5-1 gr.
Kalori rata-rata 100 kalori/kgBB/hari. Garam dibatasi bila edema hebat.
Bila tanpa edema, diberi 1-2 mg/hari. Pembatasan cairan bila terdapat
gejala-gejala gagal ginjal. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk
pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau
albumin konsentrat.
Berantas infeksi.
Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.
Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema
anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu
aktivitas. Metode yang lebih efektif dan fisiologik untuk mengurangi edema
ialah merangsang diuresis dengan pemberian albumin (salt poor albumin)
0,5-1 mg/kgBB selama 1 jam disusul kemudian oleh furosemid IV 1-2
mg/kbBB/hari. Pengobatan ini dapat diulang setiap 6 jam kalau perlu.
Diuretik yang biasa dipakai ialah diutetik jangka pendek seperti furosemid
atau asam etakrinat. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat
antihipertensi.
2. International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison oral dosis penuh (induksi)
sebesar 60 mg/m2/hari atau 2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 80
mg/hari, dibagi 3 dosis, selama 4 minggu, bila terjadi remisi 4 minggu ke dua
dianjutkan dengan dosis steroid sebesar 40 mg/m2/hari (2/3 dosis awal) secara
alternatin (selang sehari) dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu,
lalu setelah itu pengobatan dihentikan. Bila remisi tidak terjadi pada 4
22

minggu pertama, maka pasien tersebut didiagnosis sebagai Sindroma nefrotik


resisten steroid.
3. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari
setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah
penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari
terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam
waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan
prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.
b. Sindrom Nefrotik Kambuh (Relapse)
Sebelum pemberian prednison, terlebih dahulu cari pemicunya, biasanya
infeksi saluran pernapasan atas, berikan terapi antibiotik 5-7 hari. Bila proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Berikan prednison sesuai
protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan. Selain itu, perbaiki
keadaan umum penderita.

1.

Full dose

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan


dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 4 minggu.

2. Alternating
Setelah 4 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

Cara pemberian pada relapse seperti pada serangan I, hanya CD diberikan


sampai remisi (tidak perlu menunggu sampai 4 minggu).
CD
AD/ID

Tapp.Off
Stop

Mg1
Remisi

4
Remisi

c. Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependent Steroid

23

Sindrom nefrotik relaps sering (frequent relaps) adalah sindrom nefrotik


yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.
Sedangkan dependent steroid apabila terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama
masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid
dihentikan. Dependen steroid adalah bagian dari relaps sering yang jumlah
relapsnya lebih banyak dan prognosisnya lebih buruk, tetapi masih lebih baik
daripada resisten steroid.
Dahulu pada SN relaps sering dan dependen steroid segera diberikan
pengobatan steroid alternating bersamaan dengan pemberian siklofosfamid (CPA)
tetapi sekarang dalam literature ada 4 opsi penatalaksanaan yaitu :

Pemberian streroid jangka panjang


Pemberian levamisol
Pengobatan dengan sitostatik
Pengobatan dengan siklosporin
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi gigi, dan

kecacingan.
Pengobatan Dengan Steroid Jangka Panjang
Sindroma nefrotik relaps sering
atau dependen steroid
prednison FD

Remisi

diturunkan sampai dosis treshoid


0,1-0,5 mg/kgBB AD 6-12 bulan
(1)

(2)
Relaps pada prednison > 0,5 mg/kgBB AD

Relaps pada prednison > 1mg/kg BB


(2)

atau Efek samping steroid meningkat

Levamisol 2,5 mg/kgBB AD (4-12 bulan) (3)

CPA 2-3 mg/kgBB


...8-12 minggu
Relaps

prednison standar

24

Relaps pada prednison > 0,5 mg/kgBB AD


Siklosporin 5 mg/kgBB/hari Selama 1 tahun

Gambar

8. Diagram Pengobatan Sindrom Nefroti Relaps Sering atau


Dependent Steroid

Keterangan :
(1). Langsung diberi CPA (+ prednison)
(2). Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan CPA
(3). Sesudah prednison jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Gambar 9. Skema Tatalaksana SN

25

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3
mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu
siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi
anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen,
terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid atau untuk biopsi ginjal.
d. Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)
Pengobatan SNRS sampai sekarang masih belum memuaskan. Sebelum
pengobatan dimulai sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran PA
ginjal, karena gambaran PA tersebut akan mempengaruhi prognosis.
Berikut alur pengobatan SNRS :

Sitostatik oral : siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 3-6


bulan

Prednison

40mg/m2LPB/hari

dosis

alternating

selama

pemberian

siklofosfamid oral. Kemudian prednison di dengan dosis 1 mg/kgBB/hari


selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selam 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).
Atau :

Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus


satu kali sebulan selam 6 bulan,dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.

Prednison

40mg/m2LPB/hari

dosis

alternating

selama

pemberian

siklofosfamid puls (6 bulan). Kemudian prednison di dengan dosis 1


mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selam 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
e. Sindrom Nefrotik Nonresponder
Tidak ada respons sesudah 8 minggu pengobatan prednisone.
CD imunosupresan + ID pred (40mg/m2/hr)

CD pred
ID pred
1

26

Remisi (-)
Setelah 8 minggu pengobatan prednisone tidak berhasil, pengobatan
selanjutnya dengan gabungan imunosupresan lain (endoxan secara CD dan
prednisone 40 mg/m2/hr secara ID.
2.11 Komplikasi
1. Syok akibat sepsis, emboli atau hipovolemia. Terjadi terutama pada
hipoalbuminemia berat (<1 gm/100 ml) yang menyebabkan hipovolemi
berat sehingga terjadi syok.
2. Trombosis akibat hiperkoagulabilitas, mungkin akibat gangguan system
koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma atau factor
V,VII,VIII dan X. Trombus lebih sering terjadi di system vena apalagi bila
disertai pengobatan kortikosteroid.
3. Infeksi, mungkin karena kadar immunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia
4. Hambatan pertumbuhan. Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi
gangguan pertumbuhan (failure to thrive), hal ini dapat disebabkan
anoreksia hypoproteinemia, peningkatan katabolisme protein, atau akibat
komplikasi

penyakit

infeksi,

mal

absorbsi

karena

edem

saluran

gastrointestinal.
5. Gagal ginjal akut atau kronik
6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis,
gangguan emosi dan perilaku.

27

Gambar 10. Komplikasi SN


2.12 Diagnosis Banding
1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal
2. Glomerulonefritis akut
3. Lupus sistemik eritematosus
4. Gizi buruk tipe kwashiokor

2.13

Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1.
2.
3.
4.
5.

Menderita pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun
Disertai oleh hipertensi
Disertai hematuria
Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan

histopatologi.
Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak
kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan
prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena
pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2
kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun
28

setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial
episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon terhadap steroid menjadi steroid
resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1% pasien, dan
kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan
komplikasi ekstra renal.
Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental
glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak
pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit
renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40%
dalam sepuluh tahun.
Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami
remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed
remisi. Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6%
menjadi renal isufisiensi yang progresif.
Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty
umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada
beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara pemberian
pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30% pasien
akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas H, Tambunan T, Trihono Pardede SO, editor. Konsensus atalaksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2005.

29

2. Wila Wirya IG, . Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. h.381-426. 2002.
3. Bagga A., Mantan M. Nephrotic Syndrome in Children. Indian J Med Res
2005. 122: 13 28.
4. Chesney RW. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatric 1999;
11: 158-161.
5. Muhammad Sjaifullah Noer, Ninik Soemyarso. Sindrom Nefrotik. Diakses
tanggal

18

Desember

2011

dari

http://www.pediatrik.com/isi03.php?

page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110ebtq258.htm
6. Rasheed Gbadegesin and William E. Smoyer. Nephrotic Syndrome. Diakses
tanggal

11

Desember

2011

dari

http://www.podonet.org/opencms/export/sites/default/podonet/podonet_en/pdf
/9780323048835_12.pdf. 2008.
7. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Sindrom Nefrotik. Dalam Pedoman Pelayanan
Medis. Jilid 1. Jakarta : IDAI. 2010.

30

Anda mungkin juga menyukai