Anda di halaman 1dari 16

DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR

Oleh:
Nama
NIM
Kelompok
Rombongan
Asisten

: Nitami Sugiyati
: B1J014034
:5
:V
: Silviyatun Nikmah

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2016

I.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penemuan virus Epstein Barr diperkenalkan oleh ahli bedah asal Inggris,
Denise Burkitt, selama perjalanan tentang pelayanan kesehatan di Uganda.
Burkitt pertama kalinya menjabarkan tentang adanya pembesaran limfoma pada
anak anak di rahang bawah, yang sekarang terkenal sebagai Burkits lymphoma.
Burkitt juga melaporkan bahwa limfoma Burkitt distribusinya tergantung faktor
iklim seperti suhu dan musim hujan. Epidemiologi tentang Burkitt limfoma
menarik perhatian Anthony Epstein dengan postulasinyabahwa penyebabnya
berasal

dari virus

onkogen

dan kemudian

dimulailah penelitian terhadap

jaringan tumor limfoma. Akhirnya virus Epstein Barr diidentifikasi dari turunan
galur sel limfoma menggunakan mikroskop elektron (Tan, 2010).
Karsinoma nasofaring (KNF) dewasa ini merupakan tumor ganas kepala dan
leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Angkanya diperkirakan mencapai 60%
tumor ganas kepala dan leher. Prevalensi KNF 6 /100.0000 penduduk pertahun (Tan,
2010). Roezin dan Adham (2007), menyatakan bahwa KNF berada di peringkat ke
lima dari semua keganasan pada tubuh manusia, setelah tumor ganas servik uteri,
tumor payudara, tumor kelenjar getah bening dan tumor kulit. Karsinoma nasofaring
(KNF) merupakan salah satu penyakit pada epitel nasofaring yang sulit dideteksi
secara dini karena letak keganasan awalnya yang tersembunyi. Hal ini menjadi
masalah besar karena prognosis penderita KNF sangat bergantung pada stadium
klinis saat dilakukan diagnosis, dimana lebih dari 80% keberhasilan terapi terjadi
pada stadium awal (stadium III) dan bila penderita didiagnosis pada stadium lanjut
(stadium IIIIV), angka keberhasilan kurang dari 40%.

Pada dekade terakhir,

terdapat peningkatan yang bermakna pada insiden terjadinya karsinoma nasofaring


pada anak dan remaja. Hal ini menjadi fakta yang menarik bagi peneliti di beberapa
negara untuk mempelajari perilaku KNF pada usia belia. KNF pada anak berbeda
dengan KNF pada orang dewasa, yaitu berhubungan erat dengan infeksi EpsteinBarr virus (EBV) (Soewito, 2011).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah
Virus Epstein-Barr, karena hampir semua pasien dengan karsinoma nasofaring
didapatkan memiliki titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedangkan pada penderita

karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan titer antibodi
terhadap kapsid virus EB. Akan tetapi virus EB bukan satu-satunya faktor penyebab
penyakit ini, karena ada beberapa faktor lain yang sangat mempengaruhi seperti letak
geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, social ekonomi, infeksi bakteri atau parasit (Jeyakumar, 2006).
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah mendeteksi
gen virus Epstein-Barr dari sampel darah.

II.

MATERI DAN METODE


A. Materi

Bahan-bahan yang digunaka pada praktikum kali ini yaitu untuk isolasi DNA
virus adalah 2 L proteinase K, 200 L darah sampel, 200 L lysis buffer, 250 L
etanol 96%, 500 L wash buffer, dan 50 L RNAse free water. Untuk amplifikasi
gen BRLF1 dengan teknik PCR adalah 7,5 L Dream Tag PCR Master Mix, 1 L 10
M Forward Primer, 1 L 10 M Reverse Primer, 4,5 L ddH 2O, dan 1 L DNA
template. Untuk PCR tahap 2 yaitu 7,5 L Dream Tag PCR Master Mix, 1 L 10 M
Forward Primer, 1 L 10 M Reverse Primer, 5 L ddH 2O, dan 0,5 L DNA
template. Untuk teknik elektroforesis yaitu 0,6 gram agarosa, 30 mL TBE buffer, 0,5
L EtBr, dan DNA marka.
Alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah tabung eppendorf,
sentifugation, viral spin columb collection tube, mikropipet serta tip, mesin PCR,
labu erlenmeyer, microwave, alat elektoforesis serta asesorisnya, Gel-Doc 1000,
handsgloves, dan masker.
B. Metode

Isolasi DNA virus:

2 L proteinase K, 200 L darah sampel, 200 L lysis buffer dimasukkan ke


dalam tabung eppendorf, kemudian di inkubasi 56 C selama 15 menit dan di
sentrifugasi.

Hasilnya berupa lysate, kemudian ditambahkan 250 L etanol 96% dan di vortex
selama 15 detik, di inkubasi 5 menit, dan di sentrifugasi kembali.

Blood lysate dimasukkan ke dalam viral spin columb collection tube dan di
sntrifugasi 6800 g 1 menit. Collection tube dilepas dan dipasangkan dengan yang
baru.

Ditambahkan 500 L wash buffer, di sentrifugasi 6800 g 1 menit, kemudian


dibuang larutan pada wash tube.

Di sentrifugasi 13000 g 1 menit, kemudian ditambahkan 500 L wash buffer dan


di sentrifugasi kembali dengan 6800 g selama 1 menit.

Larutan wash tube dibuang, kemudian di sentrifugasi 13000 g 1 menit.

Ditambahkan 50 L RNAse free water, kemudian di inkubasi 1 menit, di


sentrifugasi 13000 g 1 menit, dan disimpan pada suhu -80C.

Amplifikasi gen BRLF1 dengan teknik PCR:

7,5 L Dream Tag PCR Master Mix, 1 L 10 M Forward Primer, 1 L 10 M


Reverse Primer, 4,5 L ddH2O, dan 1 L DNA template dimasukkan ke dalam
tabung eppendorf kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR.

Tahapannya pre denaturasi 96C 5 menit, denaturasi 96C 30 menit, annealing


63C, extension 72C 30 menit, dan post extension 72C 7 menit.

Tahapan denaturasi, annealing, dan extension dilakukan 35 siklus.

Untuk teknik PCR tahap kedua yaitu 7,5 L Dream Tag PCR Master Mix, 1 L
10 M Forward Primer, 1 L 10 M Reverse Primer, 5 L ddH 2O, dan 0,5 L
DNA template (hasil PCR tahap 1) dimasukkan ke dalam eppendorf.

Tahapan prosesnya sama dengan teknik PCR pertama.

Untuk men-setting mesin PCR yaitu:

Header

Lidnt on 110C

Temp 95C, 5

Loop[ 35x

Temp 95C, 30 (denaturation)

Temp 63C, 30 (annealing)

Temp 72C, 30 (extension)

Loop]

Temp 72C, 7 (post extension)

Temp 20C, 20

Store et 8C, 1 jam

End

Visualisasi hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis dengan gel


agarosa:

Gel agarosa dibuat dengan 0,6 gram agarosa dan 30 mL TBE buffer dimasukkan
ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian dipasnaskan dengan microwave selama 1
menit.

Larutan didinginkan hingga suhu 50-60C, kemudian ditambahkan 0,5 L EtBr.

Larutan dituang ke dalam tangki elektroforesis yang sudah dipasang sisir dan
selotip.

Tunggu hingga memadat, setelah itu dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis.

Masukkan DNA sampel dan DNA marka, kemudian di running 70 V, 500 mA


selama 75 menit.

Hasil di visualisasikan pada Gel-Doc 1000 (157 pasang basa). Data.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. HASIL

Gambar 1. Hasil elektroforesis

Gambar 3. Hasil elektroforesis

Gambar 2. Hasil elektroforesis

B.Pembahasan
Virus Epstein-Barr (VEB) adalah herpes virus gamma spesies Human
herpesvirus 4 dari genus Lymphocryptovirus dan termasuk dalam familia
Herpesviridae. VEB adalah dengan besar genom 172 kb yang berasosiasi dengan
jaringan limfoid dan kanker pada sel epitel dikaitkan dengan karsinoma nasofaring,
Burkitt's lymphoma. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti
limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis. Produk gen laten yang
diekspresikan dapat mempengaruhi gen pengatur pada proliferasi dan apoptosis sel.
Pada keadaan normal, infeksi VEB hanya terbatas pada manusia sebagai inangnya,
walaupun hasil eksperimen pada beberapa jenis kera juga dapat terinfeksi VEB.
Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu
menyebabkan mononukleosis. Virus ini virus simplex dan sitomegalovirus, EBV
berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert
Achong menemukan virus ini pada tahun 1964 (Middeldorp, 2003).
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus dsDNA yang memiliki capsid
ichosahedral termasuk dalam family Herpesviridae, merupakan salah satu penyebab
karsinoma nasofaring. Virus Epstein-Barr virus (EBV).yang paling sering dikaitkan
dengan perkembangan KNF. EBV merupakan virus utama yang menyebabkan
infeksi mononucleosis, dan terutama ditemukan dalam sel tumor nasofaring tapi
tidak meliputi seluruh limfositnya. Kehadiran EBV pada KNF dibuktikan dengan
adanya serum antibodi terhadap Virus Caspid Antigen (VCA) dan Early Antigen
(EA), dimana peningkatan titer antibodi tersebut biasanya hanya terjadi pada KNF
dan tidak pada kanker lainnya serta pada individu normal (Middeldorp, 2003).
Virus Epstein-Barr tidak dapat dibedakan dalam ukuran dan struktur dari
virus-virus herpes lainnya. Struktur morfologi VEB terdiri dari DNA yang
diselubungi protein inti berbentuk toroid, kapsul nukleus, protein tegumentum dan
selubung luar. Pada selubung luar terdapat tonjolan glikoprotein, yaitu Gp 350/320.
VEB merupakan virus dsDNA yang memiliki kapsid icosahedral. Virus EB
bereplikasi in vivo dalam sel-sel epitel dari orofaring, kelenjar parotis, dan serviks
uteri, juga ditemukan dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring (Grunewald et al.,
2003)
Klasifikasi:
Grup : Grup I (dsDNA)

Famili : Herpesviridae
Genus : Lymphocryptovirus
Spesies : Human herpesvirus 4 (HHV-4)
Kanker yang menyerang rongga mulut disebut karsinoma. Karsinoma
nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan
predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring, suatu area di belakang hidung
menuju dasar tengkorak (Nasional Cancer Institute, 2009). Tumor juga dapat
dijumpai pada dinding lateral di depan tuba Eusthachius, di atap nasofaring dan di
daerah tuba Eusthachius sendiri. Karsinoma nasofaring pertama kali dilaporkan oleh
Regaud dan Schmincke pada tahun 1921 (Brennan, 2006). World Health
Organization (WHO) membagi KNF atas tiga tipe. Tipe 1 WHO yaitu karsinoma sel
skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 WHO yaitu KNF tanpa keratinisasi dan tipe 3
WHO yaitu KNF tanpa diferensiasi. KNF merupakan penyakit multifaktorial.
Penelitian yang baru-baru ini dilakukan menunjukan KNF tipe 3 WHO 100 %
berhubungan dengan infeksi EBV (Wan, 2011).
Gejala KNF pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan
pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah
sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi
akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan

terisi cairan.

Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran
gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran. Gejala pada hidung adalah
epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan
dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulangulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis,
kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena
juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain -lainnya.
Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang menderita ( Kieff, 2007).
Gejala lanjut berupa pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah
samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini

merupakan

pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor

meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga
sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada
otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien
datang ke dokter (Kieff, 2007).

Kasus kanker nasofaring (bagian teratas tekak di belakang rongga hidung)


tertinggi terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan angka kejadian 6,2
per 100.000 penduduk per tahun. Pada umumnya, kasus kanker ini ditemukan pada
populasi etnis China dan Melayu, katanya. Frekuensi pasien kanker nasofaring
ditemukan hampir merata di Indonesia. Di Jakarta ditemukan 100 kasus per tahun,
Bandung 60 kasus per tahun, Makassar 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per
tahun, dan Padang serta Bukittinggi 11 kasus per tahun, ada tiga penyebab terjadinya
kanker nasofaring, yaitu faktor genetika, infeksi virus Epstein-Barr (EBV), dan
faktor lingkungan. Kebiasaan mengonsumsi ikan asin juga berkontribusi pada
munculnya kanker nasofaring kelompok (Roezin, 2010, dan American Cancer
Society, 2011)
Virus Epstein-Barr (EBV), telah menginfeksi lebih dari 90% dari populasi
global. Indikasi kanker yang terkait EBV ditandai oleh proliferasi sel EBV terinfeksi
monoklonal dengan laten ekspresi gen virus terbatas (Kieff, 2007). Sel target virus
EB adalah limposit B. Virus EB memulai infeksi sel B dengan cara berikatan dengan
reseptor. Virus EB secara langsung masuk tahap laten dalam limfosit tanpa melalui
periode replikasi virus yang sempurna. Ketika virus berikatan dengan permukaan sel,
sel-sel diaktivasi, untuk kemudian masuk ke dalam siklus sel. Lalu dihasilkanlah
beberapa gen virus EB dengan kemampuan berproliferasi tidak terbatas. Genom
virus EB lurus membentuk lingkaran, sebagian besar DNA virus dalam sel yang
kekal sebagai episom yang melingkar. Limfosit B yang dikekalkan virus EB
menampakkan fungsi yang berbeda (sekresi imunoglobulin). Produk-produk
aktivitas sel B terbentuk. Sepuluh produk sel gen virus dihasilkan dalam sel yang
kekal, termasuk enam antigen nuklear virus EB yang berbeda (EBNA 1-6) dan dua
protein membran laten (LMP1, LMP2) (Kieff, 2007).
Terdapat dua fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel
epitel di orofaring dan rest sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase

litik menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sebaliknya infeksi
primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein tanpa
produksi virion. Latensi dari sel B terinfeksi ini dinamakan sel limfoblastoid yang
bertransformasi atau immortal dan bereplikasi tanpa batas gen EBV yang
diekspresikan (Alex, 2006).
Infeksi Laten
Infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi 8 protein
tanpa produksi virion. Pada infeksi laten, hanya sedikit dari hampir 100Gen gen laten
tersebut yakni 6 EBNA, 2 LMP, 2 Eber, dan transkrip dari BamHI A region dari
genom. Hanya EBNA-1 dan LMP1 yang juga terekspresi pada fase litik. Penelitian
selanjutnya menunjukan bahwa 5 dari gen-gen di atas penting untuk transformasi sel
B (Alex, 2006). LMP adalah protein trans membran dengan 63 kDa fosfoprotein
yang terdiri dari 3 domain, yang dibutuhkan untuk mentransformasi Rat fibroblas.
Virus Epstein Barr seringkali dihubungkan dengan transformasi sel ganas, melalui
aksi onkoprotein LMP yang timbul selama infeksi virus. LMP dan EBNA 2
mengaktifasi sekresi dari molekul adhesi dari LFA1, LFA3 dan ICAM 1 dan CD23
FCR11 dan reseptor transferin pada sel limfoblastoid (Alex, 2006)
Infeksi Litik
EBV mengkodekan sekitar 90 protein yang diekspresikan selama replikasi
pada fase litik. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik menghasilkan
replikasi virus dan pelepasan virion dari sel Seperti virus herpes lain protein ini
diklasifikasikan menjadi immediate-early, early, dan late proteins. Immediate early
protein, yang ditranskripsikan segera paska infeksi dengan adanya penghambat
sintesis protein. Early protein diekspresikan dengan adanya penghambat sintesis
DNA virus, sedangkan late protein tidak ditranskripsikan. Secara umum gen
Immediate-early penting untuk mengatur ekspresi gen dalam virus, Early protein
mengkodekan enzim yang penting untuk replikasi DNA virus, dan late protein
mengkodekan protein struktural dari virion (Alex, 2006)
Induksi replikasi virus oleh gen transaktivator BZLF1 secara efisien
membutuhkan gen transaktivator lain, yaitu BRLF1 terjadi pada infeksi litik VEB.
Ekspresi gen litik immediateearly BZLF1 dan BRLF1 diperlukan untuk menginduksi
seluruh rangkaian gen-gen lain pada siklus litik, seperti gen litik fase early dan late.
BZLF1 mempunyai situs pengikatan pada beberapa promoter gen, yaitu the lytic

origin of replication (oriLyt), promoter BZLF1 sendiri (Zp) dan juga mengaktivasi
gen BRLF1. Baik BZLF1 dan BRLF1 diperlukan untuk aktivasi gen early. Setelah
BZLF1 dan BRLF1 teraktivasi, maka berlangsung serangkaian ekspresi gen litik fase
early yang berperan dalam replikasi virus dan gen litik fase late yang berperan dalam
sintesis DNA maupun komponen virion (King, 2000).
Untuk mendeteksi Gen BRLF1 pada fase litik virus EBV dilakukan beberapa
metode yaitu isolasi DNA, amplifikasi dan visualisasi dengan elektroforesis. Untuk
isolasi DNA Virus EBV, 20 L Proteinase K dimasukan ke dalam tabung eppendorf
yang berfungsi sebagai pendegradasi protein pada selubung virus, 200 L sampel
darah dimasukan juga kedalam tabung sebagai sumber virus, 200 L Lysis buffer
ditambahkan kedalam tabung yang berfungsi untuk melisiskan kapsid virus. Larutan
diinkubasi selama 15 menit dengan suhu 56oC yang bertujuan untuk mengaktifkan
larutan yang telah dimasukan sebelumnya. Setelah diinkubasi, larutan di sentrifugasi
sehingga menjadi lysate. Selanjutnya 250 L Ethanol 96% ditambahkan vortex
selama 15 detik lalu, diinkubasi selama 5 menit serta disentrifugasi. Pemberian
ethanol berfungsi untuk mengikat dan mengendapkan DNA. Lalu, 675L Blood
lysate dimasukan ke viral spin collection tube dan diinkubasi selama 1 menit dengan
kecepatan 6800 gravitasi atau 6.8 rpm. Setelah itu collection tube dilepas dan
dipasang ke wash tube yang baru. Tambahkan 500 L wash buffer dan sentrifugasi
dengan kecepatan 6800 g selama 1 menit, buang larutan yang ada pada wash tube,
dan selanjutnya sentrifugasi kembali dengan kecepatan 13.000 g. lalu, Tambahkan
wash buffer kembali serta sentrifugasi kembali dan buang larutan ada wash buffer,
Sentrifugasi dengan kecepatan 13.000 g kembali selama 1 menit. Kemudian
tambahkan 500 L RNAse free water dan di inkubasi selama 1 menit, sentrifugasi
selama 1 menit dengan kecepatan 13.000 g. Hasilnya disimpan pada suhu -80C agar
tetap stabil (Putra, 1997)
Metode selanjutnya adalah mengamplifikasi gen BRLF 1 dimana dalam fase
litik gen ini akan di ekspresikan. Amplifikasi gen BRLF1 terdapat dua tahapan.
Tahapan yang pertama yaitu memasukan bahan-bahan seperti 7,5 L larutan dream
tag PCR mastermix 2, 1 L 10 M forward primer. 1 L 10 M reverse primer. 4,5
L ddH2O. 1 L DNA template sebagai sumber gen BRLF1. Langkah berikutnya
yaitu memasukan ke dalam mesin PCR dengan ketentuan Predenaturation temperatur
94 C selama 5 menit, denaturation temperatur 94 C selama 30 detik untuk
mendenaturasi pilinan untai ganda DNA, annealing temperatur 63 C selama 30

detik untuk memotong ikatan hydrogen basa nitrogen , extension temperatur 72 C


selama 30 detik terjadi pemanjangan untai DNA yang baru yang kemudian akan
diamplifikasi, postextension temperatur 72 C selama 7 menit untuk menurunkan
temperatur secara perlahan supaya DNA tetap stabil. Pada amplifikasi tahap dua, 7.5
L Dream Tag PCR master mix dimasukan 1 L 10 L Forward primer
ditambahkan, selanjutnya 1 L 10 L reserve primer juga dtambahkan serta 5 L
ddH2O dimasukan dan 0.5 L DNA template hasil PCR pada tahap 1 dimasukan.
Lalu, masukan ke mesin PCR untuk kedua kalinya. Lalu, disimpan pada suhu -80oC,
agar hasil tersebut tetap stabil.
Metode terakhir dalam mendeteksi gen BRLF1 yaitu visualisasi dengan
menggunakan teknik elektroforesis. Elektroforesis merupakan metode untuk
memindahkan ion-ion yang relatif kecil karena pengaruh suatu medan listrik. Prinsip
dasar elektroforesis hampir sama dengan sedimentasi. Perbedaannya, pada
sedimentasi perpindahan tempat didasarkan atas molar dan massa padat, sedangkan
pada elektroforesis perpindahan tempat didasarkan pada muatan listrik yang dibawa
oleh senyawa. Tahapan visualisasi dngan menggunakan metode eektroforesis gel
agarosa pertama yaitu dengan masukan 0,6 gr agarosa ditambah 30 mL TBE buffer
ke dalam Erlenmeyer, lalu panaskan dengan microwave. Setelah itu dinginkan pada
temperatur 50-60 C, kemudian ditambahkan EtBr yang merupakan pewarna pada
DNA. Selanjutnya adalah larutan tersebut dituang ke baki yang sudah tersedia comb
(sisir) dan selotip. Tunggu hingga memadat dengan temperatur 25-45 C. Setelah itu,
gel dimasukan ke tangki elektroforesis, setelah itu DNA marka dimasukan.
Kemudian di running dengan tegangan 70 V dan arus 500 mA selama 75 menit, dan
hasilnya divisualisasikan di gel.doc 1.000 (157 base pair).
Epstein-Barr Virus (EBV) adalah salah satu human herpes virus yang telah
menginfeksi lebih dari 90% manusia dari populasi global. Virus ini bersasosiasi
dengan berbagai penyakit, termasuk Burkitts Lymphoma (BL), Hodgkins
Lymphoma, nasopharyngeal carcinoma (NPC), gastric carcinoma (GC), dan
opportunictic lymphoma. Asosiasi EBV yang menyebabkan penyakit kanker
terkarakterisasi dari proliferasi monoklonal sel EBV dengan ekspresi gen laten virus
(Iwakiri, 2014). Eksistensi DNA EBV dalam serum maupun saliva pasien KNF
diinterpretasi dari hasil elektroforesis produk nested PCR gen BRLF1. Dinyatakan
negatif (-) apabila tidak ada pita DNA yang terdeksi, positif (1+) apabila jumlah
DNA EBV sedikit ditunjukkan dengan pita (band) DNA tipis, positif (2+) apabila

jumlah DNA EBV sedang, ditunjukkan dengan pita DNA yang jelas tetapi tidak
tebal, positif (3+) apabila jumlah DNA EBV banyak sekali, ditunjukkan dengan pita
DNA yang jelas dan tebal. Visualisasi elektroforesis menunjukan bahwa baik dari
PCR tahap 1, 2 maupun PCR tahap 3 tidak menghasilkan pita, hanya terlihat DNA
smear dan pita hasil sisa primer (Putra, 1997).

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1

Langkah-langkah untuk mendeteksi gen Epstein-Barr Virus yaitu isolasi DNA


virus, amplifikasi gen BRLF1 dengan teknik PCR, dan visualisasi hasil deteksi

gen BRLF1 menggunakan elektroforesis dengan gel agarosa.


PCR tahap 1, 2 3 tidak menghasilkan pita, hanya terlihat DNA smear dan pita
hasil sisa primer.
B. Saran
Sebaiknya untuk praktikum Deteksi Gen Virus Epstein-Barr dilakukan

perkelompok, supaya semua praktikan mengetahui langkah-langkah dalam isolasi


DNA virus, cara Amplifikasi Gen BRLF1 menggunakan teknik PCR dan Visualisasi
hasil deteksi gen BRLF1 menggunakan elektroforesis gel agarosa.

DAFTAR REFERENSI

Alex, Tselis and Hal B. Jenson. 2006. Epstein-Barr Virus. New York : Taylor &
FrancisGroup
Brennan B. 2006. Carcinoma Nasopharyngeal. Orphanet journal of Rare Diseases, 1
(23) pp: 1-5.
Draborg, Anette H,. Duus, Karen, & Gunnar, Houen. 2013. Epstein-Barr Virus in
Systemic Autoimmune Diseases. Clinical and Developmental Immunology. 2
(6) pp: 1-9
Grunewald, K., Desai, P., Winkler, D. C., Heymann, J. B., Belnap, D. M.,Baumeister,
W. & Steven, A. C. (2003). Three-dimensional structure ofherpes simplex
virus from cryo-electron tomography. Science 302, pp: 13961398.
Kieff E, Knipe DM, Howley PM, Griffin DE, Lamb RA, Martin MA,Roizman B,
Straus SE Rickinson AB. 2007. Epstein-Barr virus and Its Replication, Fields
virology. 2 (5) pp: 1225-2654.
King, Roger JB. Growth. 2000. A Balance Of Proliferation, Death And
Differentiation In Cancer Biology. New York: Prentice Hall.
Middeldorp JM, Antoinette ATP. Brink, Adrian JC van den Brule, Chris JLM Meiger.
2003. Pathogenic roles for epstein-barr virus (EBV) gene product in EBV
associated proliverative disorder. Oncolhematology; 45 pp: 136.
Mendelson J, Howley PM, Israel M, liotta LA. 1995. Tumor suppressor genes In the
molecular basis of cancer. Philadelphia. Saunders Co 2(4) pp: 86100.
National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011. Nasopharyngeal
Cancer Treatment (PDQ). USA: National Cancer Institute.
Putra, ST. 1997. Biologi molekuler kedokteran. Edisi 1. Surabaya: Airlangga
University
Roezin A, Adham M. 2007. Karsinoma nasofaring. Dalam: Buku Ajar THT FKUI.
Edisi ke- 6. Jakarta: UI Press.
Soewito, Djufra. 1998. Virologi. Jakarta: Media Pustaka.
Tan, Rohmat, S. 2001. Mikrobiologi Dasar. Bandung: Gramedia Pustaka
Wan-Lun Hsu,Kelly J. Yu,Yin-Chu Chien,Chun-Ju Chiang,Yu-Juen Cheng,Jen-Yang
Chen, 2011. Familial Tendency and Risk of Nasopharyngeal Carcinoma
inTaiwan: Effects of Covariates on Risk. Am J Epidemiol . Virology. 4(2) pp:
12-23.

Anda mungkin juga menyukai