Anda di halaman 1dari 7

Bab I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries cupture)
sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang bertanggung jawab (FAO Code of conduct for
Responsible Fisheries/CCRF) maka eksploitasi sumberdaya hayati laut harus dapat dilakukan secara
bertanggung jawab (Responsible fisheries).
Data dari SOFIA (The State of World Fisheries and Aquaculture) menyatakan bahwa 5 % dari
perikanan dunia dalam status deplesi atau penurunan produksi secara terus menerus, 16 % terlah
dieksploitasi secara berlebihan dan melampaui batas optimim produksi, 52 % telah penuh eksploitasi,
23 % pada tahap moderat yang artinya produksinya masih dapat ditingkatkan meskipun dalam jumlah
yang kecil, 3 % sumberdaya ikan masih dibawah tingkat eksploitasi optimumnya dan hanya 1 % yang
dalam proses pemulihan melalui program-program konservasi.
Berdasarkan tersebut di atas, untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan perlu dikaji penggunaan
alat-alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan dari segi pengoperasian alat penangkapan ikan,
daerah penangkapan dan lain sebagainya sesuai dengan tata laksana untuk perikanan yang
bertanggungjawab atau Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud dengan Usaha Perikanan Tangkap ?
Bagaimana Pengelolaan Perikanan Tangkap ?
Apa saja Landasan Hukum Perikanan ?
Bagaimana Pelanggaran Penggunaan Alat Tangkap ?
Bagaimana Evaluasi dampak pengoperasian alat tangkap ?
1.3. Tujuan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peraturan Perikanan.
Untuk mengetahui Usaha Perikanan Tangkap ,Pengelolaan Perikanan Tangkap, Landasan Hukum
Perikanan, Pelanggaran Penggunaan Alat Tangkap, Evaluasi dampak pengoperasian alat tangkap.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Usaha Perikanan Tangkap


Usaha perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran,sedangkan usaha perikanan tangkap adalah usaha
perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan dan/atau kegiatan pengangkutan ikan.Dalam
melakukan usaha penangkapan nelayan harus memiliki surat-surat izin dalam penangkapan,yaitu
SIUP,SIPI,dan SIKPI.
Pada fase praproduksi yang dilakukan adalah persiapan alat-alat yang akan dilakukan dalam usaha
penangkapan.Misalnya dengan menyiapkan alat tangkap yang akan digunakan,pebekalan yang akan
dibawa,kapal yang akan digunakan serta persiapan bahan bakar agar bisa terpenuhi target yang
diinginkan.
Pada fase produksi,dilakukan penangkapan terhadap ikan yang ditargetkan.Pengaturan ABK agar
proses penangkapan berjalan dengan baik.
Pada fase pengolahan,ikan hasil tangkapan diolah di dalam kapal,agar nantinya bisa lebih
awet,sehingga masih bisa dipasarkan dalam kondisi yang lebih segar,dan harganya pun bisa lebih
tinggi sehingga keuntungan yang dicapai juga tinggi.
2.2. Pengelolaan Perikanan Tangkap
Dalam pengelolaan perikanan tangkap, terdapat beberapa ketentuan/peraturan yang seyogyanya
dimengerti dan dipahami untuk dapat dilaksanakan dengan benar, khususnya oleh para pelaku utama
penangkapan ikan (nelayan), pelaku usaha maupun para stakeholder perikanan tangkap lainnya.
Beberapa peraturan / ketentuan yang mengatur kegiatan penangkapan ikan tersebut adalah sebagai
berikut :Kewenangan Daerah dalam Pengelolaan Wilayah Penangkapan Ikan (Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Otonomi Daerah))
Peraturan Tentang Jalur Penangkapan (Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor : PER.02/MEN/2011 tanggal 31 Januari 2011)
Pengawasan Perikanan Tangkap (Keputusan Menteri Nomor : KEP.02/MEN/2002).
2.3. Landasan Hukum Usaha Perikanan Tangkap

Hukum yang mengatur mengenai usaha perikanan tangkap adalah mengacu pada Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan
Tangkap.
Peraturan ini bertujuan untuk lebih meningkatkan pengendalian sumber daya ikan di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) yang merupakan bagian dari kekayaan
bangsa Indonesia yang sudah semakin terbatas potensinya, dan sebagai anggota Organisasi
Pengelolaan Perikanan Regional (Regional Fisheries Management Organization/RFMO) dalam
memanfaatkan potensi di laut lepas perlu memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya serta memperhatikan persyaratan, dan/atau standar internasional.
2.4 Pelanggaran penggunaan alat tangkap
Kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang kritis.
Tekanan penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin mempercepat penurunan stok
sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan khususnya di pesisir pantai telah menyebabkan
menurunnya stok sumber daya ikan dan meningkatnya kompetisi antar alat penangkapan ikan yang
tidak jarang menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan,
nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modifikasi alat penangkapan ikan untuk menutupi
biaya operasi penangkapannya.
Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam
kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat harimau)
secara illegal di beberapa wilayah peraiaran.
Pemerintah (dalam hal ini DKP) sebenarnya tidak menutup mata atas semua kejadian pelanggaran itu.
Penegakan hukum terhadap pelanggar memang sudah dilakukan. Namun, kesulitan mengontrol
seluruh aktivitas nelayan khususnya di daerah terpencil dan perbatasan telah mendorong
meningkatnya pelanggaran .
Adapun alat analisis yang digunakan menurut FAO (1995) sesuai dengan standar Code of Conduct for
Responsible Fisheries (CCRF) yaitu terdapat 9 (sembilan ) kriteria suatu alat tangkap dikatakan ramah
terhadap lingkungan, antara lain :
Mempunyai selektifitas yang tinggi
Tidak merusak habitat
Menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi
Tidak membahayakan nelayan
Produksi tidak membahayakan konsumen

By-catch rendah
Dampak ke biodiversty rendah
Tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
Dapat diterima secara social
2.5 Evaluasi dampak pengoperasian alat tangkap
Evaluasi dampak pengoperasian alat tangkap minimal harus mampu menjawab tiga dampak utama,
yaitu :
1. Dampak terhadap lingkungan,
2. Dampak terhadap kelimpahan sumberdaya
3. Dampak terhadap target sumberdaya ikan itu sendiri.
Disamping mengevaluasi dampak pengoperasian alat tangkap, perencanaan pemanfaatan sumberdaya
juga harus mempertimbangkan aspek dinamika upaya penangkapan ikan. Kesalahan mengantisipasi
dinamika upaya penangkapan ikan akan berdampak pada apa yang dinamakan sebagai berlebihnya
kapasitas perikanan atau overcapacity.
Open access yang diterapkan sebagian besar negara pada masa lalu yang membiarkan jumlah dan
teknologi alat tangkap berkembang tanpa kontrol ditambah subsidi pemerintah dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan nelayan di negara berkembang telah mendorong percepatan
terjadinya overcapacity di sebagian besar perikanan dunia.Overcapacity yang juga dapat diartikan
sebagai berlebihnya armada penangkapan atau tingginya teknologi penangkapan yang digunakan
dalam operasi penangkapan ini telah menjadi isu hangat para pakar perikanan pada tahun-tahun
terakhir dalam upaya memperbaiki sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang ada selama ini.
Kalau selama ini pengelolaan sumberdaya ikan hanya dikonsentrasikan pada upaya bagaimana
mencapai hasil tangkapan yang maksimum, maka pengelolaan perikanan sekarang sudah
mempertimbangkan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya ikan baik secara ekonomi, ekologi dan
lingkungan.
Alat tangkap ikan sebagai sarana utama dalam pemanfaatan ikan diatur sedemikian rupa sehingga
tidak berdampak negatif baik pada pemanfaat dan pengguna sumberdaya ikan, biota, dan lingkungan
perairan serta pengguna jasa perairan lainnya.
Penggunaan alat tangkap ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan harus benar-benar memperhatikan
kesetimbangan dan meminimalkan dampak negatif bagi biota lain yang kurang termanfaatkan. Hal ini

penting dipertimbangkan mengingat hilangnya biota dalam struktur ekosistem laut akan
mempengaruhi secara keseluruhan ekosistem yang ada.
Praktisi teknologi penangkapan ikan sudah memulai mengembangkan alat tangkap yang dimaksud,
baik dengan melakukan modifikasi atau membuat rancangan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Konsep-konsep alat tangkap ikan yang selektif dan ramah lingkungan seperti Turtle Excluder
Device (TED), yang di Indonesia dimodifikasi menjadi Bycatch Excluder Device (BED) dan alat
tangkap yang selektif sudah mulai di perkenalkan.
Disamping teknologi itu sendiri, adalah penting bagi pemanfaat sumberdaya ikan untuk memahami
pengelolaan penangkapan ikan yang meliputi perencanaan, pengoperasian, dan optimalisasi
pemanfaatan ikan. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan aspek-aspek kondisi sumberdaya
ikan yang ada, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya
ikan agar supaya teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak sumberdaya ikan dan
lingkungannya.

BAB III
PENUTUP

3.1.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah mengenai Hukum Yang Mengatur Usaha
Perikanan Tangkap ini adalah :
Indonesia merupakan Negara maritime sehingga usaha dalam dunia perikanan memiliki potensi yang
sangat besar.
Salah satu usaha perikanan adalah perikanan tangkap.
Usaha perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan penangkapan ikan
dan/atau kegiatan pengangkutan ikan.
Hukum yang mengatur mengenai usaha perikanan tangkap adalah mengacu pada Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan
Tangkap.
Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam
kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl(pukat harimau)
secara illegal di beberapa wilayah peraiaran.
Disamping mengevaluasi dampak pengoperasian alat tangkap, perencanaan pemanfaatan sumberdaya
juga harus mempertimbangkan aspek dinamika upaya penangkapan ikan. Kesalahan mengantisipasi
dinamika upaya penangkapan ikan akan berdampak pada apa yang dinamakan sebagai berlebihnya
kapasitas perikanan atau overcapacity.
3.2.

Saran

Dalam melakukan usaha penangkapan ikan,diperlukan sikap yang bijaksana dari setiap pihak yang
terkait agar keberadaan sumberdaya ikan bisa tetap lestari sampai generasi selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arief S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.


Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan. 2007. Sumatera Selatan dalam Angka Tahun 2007
(halaman 222-223).
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Sistem Informasi Perhitungan Statistik Kelautan dan
Perikanan. http://statistik.dkp.go.id/index.php?start=search&mod=6
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Potensi Ekspor Lele Besar.
http://www.dkp.go.id/content.php?c=282)
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2006. Evaluasi Pembangunan Sektor Kelautan
Effendi I, Oktariza W. 2006. Manajemen Agribisnis Perikanan. Jakarta. Penebar Swadaya.
Hernowo, Rachmatun Suyanto. 2007. Pembenihan dan pembesaran lele. Jakarta. Penebar Swadaya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pecel_lele http://amperawisata digital.info/peta.php
Mubyarto 1989. Alat Tangkap Perikanan. LP3ES. Jakarta.
Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Bogor. Ghalia Indonesia.
Prihartono E.R, Rasidik J, Arie U. 2002. Pelanggaran alat tangkapBogor. Penebar Swadaya.
Singarimbun M dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta. LP3ES.
Soekartawi A. Suharjo, J. Ldillon, J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usah Tani dan Penelitian untuk
Pengembangan Petani Kecil. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia.
Suyanto R. 2007. Evaluasi Alat Tangkap. Jakarta. Penebar Swadaya. Teguh, Muhammad. 2001.
Metodologi Penelitian Ekonomi Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai