Anda di halaman 1dari 2

Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta ditanya :

"Bolehkan seorang muslim bertawasul kepada Allah dengan (perantara) para nabi
dan orang-orang shalih ? Saya telah mendengar pendapat sebagian ulama bahwa
bertawasul dengan (perantaraan) para wali tidak apa-apa karena do'a (ketika)
bertawassul itu sebenarnya ditujukkan kepada Allah. Akan tetapi, saya mendengar
ulama yang lain justru berpendapat sebaliknya. Apa sesungguhnya hukum syariat
dalam permasalahan ini ?"
Jawaban:
Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan
bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan segala yang diperintahkan oleh Nya
Subhanahu Wa Ta'ala dan meninggalkan segala yang dilarangNya. Pemimpin
mereka adalah para nabi dan rasul 'alaihimus salam.
Allah berfirman. "Artinya : Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orangorang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa" [Yunus : 62-63].
Tawassul kepada Allah dengan (perantaraan) para waliNya ada beberapa macam.
Pertama:
Seseorang memohon kepada wali yang masih hidup agar mendoakannya supaya
mendapatkan kelapangan rezeki, kesembuhan dari penyakit, hidayah dan taufiq,
atau (permintaan-permintaan) lainnya. Tawassul yang seperti ini dibolehkan.
Termasuk dalam tawassul ini adalah permintaan sebagian sahabat kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam agar beristsiqa (meminta hujan) ketika hujan lama
tidak turun kepada mereka. Akhirnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memohon kepada Allah agar menurunkan hujan, dan Allah mengabulkan doa beliau
itu dengan menurunkan hujan kepada mereka.
Begitu pula, ketika para sahabat Radhiyallahu 'anhum beristisqa dengan
perantaraan Abbas Radhiyallahu 'anhu pada masa kekhalifahan Umar Radhiyallahu
'anhu . Mereka meminta kepadanya agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan
hujan. Abbas pun lalu berdoa kepada Allah dan diamini oleh para sahabat
Radhiyallahu 'anhum yang lain. Dan kisah-kisah lainnya yang terjadi pada masa
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelahnya berupa permintaan seorang
muslim kepada saudaranya sesame muslim agar berdoa kepada Allah untuknya
supaya mendatangkan manfaat atau menghilangkan bahaya.
Kedua.
Seseorang menyeru Allah bertawassul kepadaNya dengan (perantaraan) amal
shalih, rasa cinta dan ketaatan kepada Allah Ta'ala, NabiNya, dan para wali Allah
dengan berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu agar Engkau
memberiku ini (menyebutkan hajatnya)". Tawassul yang seperti ini boleh karena
merupakan tawassul dari seorang hamba kepada Rabbnya dengan (perantaraan)
amal-amal shalihnya. Termasuk tawassul jenis ini adalah kisah yang shahih tentang
tawassul tiga orang, yang terjebak dalam sebuah goa, dengan amal-amal shalih
mereka.

[Hadits Riwayat Imam Ahmad II/116. Bukhari III/51,69. IV/147. VII/69. dan Muslim
dengan Syarah Nawawi XVII/55].
Ketiga.
Seseorang meminta kepada Allah dengan (perantaraan) kedudukan para nabi atau
kedudukan seorang wali dari wali-wali Allah, sedangkan mereka sudah wafat,
dengan berkata -misalnya- "Ya Allah, sesunguhnya aku meminta kepadaMu dengan
kedudukan nabiMu atau dengan kedudukan Husain". Tawassul yang seperti ini tidak
boleh karena kedudukan wali-wali Allah -dan lebih khusus lagi kekasih kita
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam -, sekalipun agung di sisi Allah, bukanlah
sebab yang disyariatkan dan bukan pula suatu yang lumrah bagi terkabulnya
sebuah doa.
Karena itulah ketika mengalami musim kemarau, para sahabat Shallallahu 'alaihi wa
sallam berpaling dari tawassul dengan kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ketika berdoa meminat hujan dan lebih memilih bertawassul dengan doa paman
beliau, Abbas Radhiyallahu 'anhu , padahal kedudukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam berada diatas kedudukan orang selain beliau. Demikian pula, tidak diketahui
bahwa para sahabat Radhiyallahu 'anhum ada yang bertawassul dengan
(perantaraan) Nabi setelah beliau wafat, sementara mereka adalah generasi yang
paling baik, manusia yang paling mengetahui hak-hak Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam , dan yang paling cinta kepada beliau.
Keempat.
Seorang hamba meminta hajatnya kepada Allah dengan bersumpah (atas nama)
wali atau nabiNya atau dengan hak nabi atau wali dengan mengatakan, "Ya Allah,
sesungguhnya aku meminta ini (menyebutkan hajatnya) dengan (perantaraan)
waliMu si-Fulan atau dengan hak nabiMu Fulan", maka yang seperti ini tidak boleh.
Sesungguhnya bersumpah dengan makhluk terhadap makhluk adalah terlarang,
dan yang demikian terhadap Allah Sang Khaliq adalah lebih keras lagi larangannya.
Tidak ada hak bagi makhluk terhadap Sang Khaliq (pencipta) hanya semata-mata
karena ketaatannya kepadaNya Subhanahu Wa Ta'ala sehingga dengan itu dia boleh
bersumpah dengan para nabi dan wali kepada Allah atau ber-tawassul dengan
mereka.
Inilah yang ditampakkan oleh dalil-dalil, dan dengannya aqidah Islamiyah terjaga
dan pintu-pintu kesyirikan tertutup.
Referensi:
Syaikh Ahmad Abdurrazzak Ad-Duwaisy
[Fatawa Li Al- Lajnah Ad-Da'imah 1/498-500, Fatwa no. 1328]
Majalah Fatawa edisi 3/I/Dzulqa'dah 1423H

Anda mungkin juga menyukai