DISUSUN OLEH:
Anitha. Skep, Ners
Dwi Ratnawati. AMK
Elsa Sylvia. Skep. Ners
Ika Aprilina. AMK
PEMBIMBING KLINIK:
Sondang Ida Sihite. Skep, Ners
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kelompok panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya kelompok
dapat menyelesaikan makalah ini. Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
syarat dalam menyelesaikan program pelatihan keperawatan intensif.
Kelompok menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari semua pihak, makalah ini
tidak dapat terselesaikan sehingga pada kesempatan ini kelompok
terimakasih kepada:
1. Ns. Dede. WB. Skep. Selaku Ketua panitia ICU Dewasa RSCM dan Head Nurse ICU Dewasa
RSCM
2. Ns. Serina. Skep. Selaku Koordinator Pelatihan Keperawatan intensif ICU dewasa RSCM
3. Sondang Ida Sihite, Skep, Ners. Selaku Pembimbing kelompok yang telah sabar memberikan
bimbingan dan arahan kepada kami.
4. Teman-teman Pelatihan Keperawatan intensif ICU dewasa RSCM angkatan 59 yang telah
memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan malakah ini. .
5. Semua pihak yang tidak dapat kelompok sebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan
dan bantuan moral dalam penyelesaian proposal tesis ini.
Kelompok menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu saran dan masukan yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan. Semoga makalah ini dapat
bermafaat
Kelompok
DAFTAR ISI
ii
BAB 1. PENDAHULUAN...................................................................................................
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................................
1.3 Ruang Lingkup.....................................................................................................
1.4 Metode Penulisan ..
1
1
2
2
3
4
4
4
5
7
9
11
13
16
17
17
18
19
20
21
22
34
34
34
34
37
40
40
41
50
51
51
51
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Hemostasis merupakan suatu mekanisme lokal tubuh yang secara spontan berfungsi untuk
mencegah kehilangan darah yang berlebihan ketika terjadi trauma atau luka. Sistem hemostasis pada
dasarnya terbentuk dari tiga kompartemen hemostasis yang sangat penting dan sangat berkaitan yaitu
trombosit, protein darah dan jaring-jaring fibrin pembuluh darah (Rahajuningsih,2007)
Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau disebut juga Koagulasi Intravaskular
Diseminata (KID) adalah sindrom kompleks dan merupakan gangguan serius yang terjadi pada
mekanisme pembekuan darah pada tubuh dimana homeostasis normal dan sistem fisiologik yng
mempertahankan darah agar tetap cair berubah menjadi sistem yang patologik sehingga terjadi
trombifibrin yang menyumbat mikrovaskular dari tubuh. Sistem fibrinolitik yang teraktivasi ini
mengakibatkan terjadinya perdarahan yang difus.
DIC ini dikategorikan ke dalam perdarahan, kegagalan organ, perdarahan masif, dan gejala non
simptomatik tergantung dari jumlah vektor untuk hiperkoagulasi dan hyperfibrinolysis. DIC ini dapat
terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia. Gejala-gejala DIC
umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat
trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.(Susanne, G. 2002). DIC dapat bersifat akut
maupun kronik. Banyak penyakit dengan beraneka ragam penyebab dapat menyebabkan DIC namun
bisa dipastikan penyakit yang berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis yang lebih buruk.
Kelliker, (2005) menyatakan bahwa DIC merupakan gangguan serius yang terjadi pada
mekanisme pembekuan darah pada tubuh. Secara normal tubuh membentuk bekuan darah sebagai
reaksi terhadap adanya trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor- faktor bekuan
darah. Dengan adanya DIC, tubuh akan membentuk bekuan darah kecil secara berlebihan, mengurangi
jumlah faktor pembekuan dan trombosit dalam tubuh. Bekuan-bekuan darah kecil ini berbahaya, dan
dapat mempengaruhi suplai darah ke organ tubuh lainnya, menyebabkan disfungsi dan kerusakan
organ. Perdarahan secara besar-besaran dapat terjadi karena kurangnya faktor pembekuan dan
trombosit pada tubuh.
DIC terjadi pada pasien dengan kondisi buruk yang bermanifestasi sebagai perdarahan yang
terjadi pada kulit (purpura) dan jaringan lainnya. 30-50% pasien dengan sepsis akan menderita DIC
(Yamamuto, 2014). Begitupula pernyataan dari Levi, (2016) yang menyatakan bahwa diperkirakan
sebanyak 1% pasien yang dirawat di rumah sakit akan mengalami DIC. Hal tersebut timbul sebagai
komplikasi dari berbagai penyakit serius yang bahkan mengancam nyawa. DIC ini merupakan
kelanjutan dari peristiwa yang terjadi pada jalur koagulasi. Pada permulaannya terdapat aktivasi yang
tidak terkontrol dari faktor pembekuan pada pembuluh darah, yang menyebabkan pembekuan darah
pada seluruh tubuh. Penurunan jumlah trombosit tubuh dan faktor koagulasi meningkatkan terjadinya
resiko perdarahan. DIC bukan merupakan suatu diagnosa yang spesifik, tapi biasanya merupakan
indikasi adanya penyakit yang mendasari. (Ngan, 2005).
Wada Hideo, Matsumoto Takeshi, dan Yamashita Yoshiki, (2014) Menyatakan bahwa DIC
merupakan komplikasi dari infeksi, kanker, keganasan hematologi, penyakit kebidanan, trauma,
aneurisma, dan penyakit hati, dll, yang masing-masing menyediakan karakteristik yang berhubungan
dengan gangguan yang mendasarinya. DIC ini paling sering ditemukan pada pasien dengan sepsis
berat ( severe sepsis) dan syok septik, begitu pula dengan bakteremia, termasuk kedua organisme gram
positif dan gram negatif, paling sering dikaitkan dengan DIC, organisme lain (misalnya, virus, jamur,
dan parasit) juga dapat menyebabkan DIC. Perkembangan dan keparahan dari DIC akibat sepsis berat
dapat mengakibatkan kematian. karena DIC ini dapat mengancam nyawa sehingga harus diterapi
secara cepat.
1.2.
Tujuan Penulisan
-
Diperoleh pemahaman tentang konsep dasar DIC dan asuhan keperawatan pasien dengan DIC
secara teoritis
1.3.
Ruang Lingkup
Peningkatan kesadaran akan DIC sebagai potensi komplikasi yang membahayakan terhadap
pasien dalam keadaan kritis, telah dihasilkan pada pengenalan dini tentang DIC dan intervensi yang
dilakukan perawat di unit perawatan kritis yang dilengkapi dengan pengetahuan tentang norma-norma
fisiologis dan menggunakan pendekatan sistematis dalam melakukan pengkajian terhadap pasien,
mungkin akan menjadi orang pertama yang mengidentifikasi tanda-tanda awal gangguan disfungsi
koagulasi dan kemungkinan faktor pemicu DIC.
Dengan adanya berbagai kumpulan masalah yang berpotensi untuk bertambah pada pasien DIC
maka perawat di unit perawatan kritis akan dihadapkan pada kondisi pasien yang mengalami
meanifestasi perdarahan, pasien yang terimobilisasi, karena terpasang alat invasif bahkan dengan
penggunaan ventilasi mekanik.
1.4.
Metode penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah melalui studi
kepustakaan dan buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan serta diskusi dan konsultasi
dengan pembimbing.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1.
Defenisi
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan adanya perdarahan akibat trombin bersirkulasi dalam darah hanya pada daerah tertentu.
Dasarnya ialah pembentukan bekuan darah dalam pembuluh-pembuluh darah kapiler, diduga karena
masuknya tromboplastin jaringan ke dalam darah. Akibat pembekuan ini terjadi trombositopenia,
pemakaian faktor-faktor pembekuan darah, dan fibrinolisis.(Hadaway, 2000).
Koagulasi Intravascular Diseminata (KID) atau Disseminated intravascular coagulation (DIC)
adalah sindrom yang ditandai oleh adanya aktivasi sistemik yang berlebihan dari pembekuan darah,
yang menghasilkan trombin intravaskular dan fibrin,yang dapat menyebabkan trombosis pembuluh
darah dari yang berukuran kecil sampai berukuran sedang dan akhirnya akan terjadi gangguan organ
dan perdarahan. (Wada Hideo., Matsumoto Takeshi., Yamashita Yoshiki, 2014).
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah gangguan dimana terjadi koagulasi atau
fibrinolisis (destruksi bekuan). DIC dapat terjadi pada sembarang malignansi, tetapi yang paling umum
berkaitan dengan malignansi hematologi seperti leukemia dan kanker prostat, traktus GI dan paru-paru.
Proses penyakit tertentu yang umumnya tampak pada pasien kanker dapat juga mencentuskan DIC
termasuk sepsis, gagal hepar dan Anafilaksis (Brunner & Suddarth, 2002).
2.2.
Klasifikasi DIC
Klasifikasi DIC tergantung dari gejala awal yang mendasarinya. DIC dibagi menjadi :
2.
3.
4.
5.
mempunyai mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara vasokontriksi atau vasodilatasi,
sedangkan membran basal subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari endotel seperti
kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya
trombosit dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1) adhesi
(adhesion), yaitu melekat pada dinding pembuluh darah: 2) agregasi atau saling melekat di antara
trombosit tersebut, yang kemudian menjadi dilanjutkan dengan proses koagulasi.
Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor pembekuan dan kofaktor yang berinteraksi pada
permukaan fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak untuk membentuk darah yang
stabil. Sistem ini dibagi menjadi jalur ekstrinsik yang melibatkan faktor jaringan (tissue factor) dan
faktor VII, dan jalur instrinsik (starface-contact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan, yang
diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi (sel pembuluh darah atau monosit) berkontak
dengan faktor VII aktif (a) yang bersikulasi, membentuk kompleks yang selanjutnnya akan
mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan seterusnya hingga membentuk trombus/fibrin yang stabil
(fibrin ikat silang /cross-linked fibrin).
Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan untuk mengatur dan membatasi
pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang rusak tersebut.
Sistem ini terdiri dari antirombin (AT)-III, protein S, serta heparin kofaktor II, alfa-1 antirifsin dan
alfa-2 makroglobulin. Antirombin bekerja menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa,
XIIa, Xia, Xa, dan Ixa. Tanpa adanya heparin, kecepatan inaktivasi ini relatif lambat. Heparin mengikat
dan mengubah AT dan meningkatkan kecepatan inaktivasi AT. Sedangkan protein C menghambat
faktor Va dan VIIIa, dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.
Fibrinolisis
atau
pemecahan
fibrin
merupakan
mekanisme
pertahanan
tubuh
untuk
mempertahankan patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah. Enzim yang berperan dalam
sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian akan memecah
fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen( fibrin) degradation product (FDP), sedangkan produk
pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer.
plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan
beredar dalam darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim ini
akan mengubah prekursor selanjutnya untuk menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor pembekuan darah
bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim
Proses pembekuan darah atau yang di kenal juga dengan Penggumpalan darah merupakan
proses yang kompleks untuk mencegah tibih kehilangan lebih banyak darah saat tubuh kita terjadi
luka. Proses ini meliputi pengetatan pada dinding pembuluh darah yang terluka, pelepasan zat untuk
menarik keping-keping darah ke daerah luka, dan pembentukan benang-benang fibrin. Komponen
darah yang terlibat di dalam proses penggumpalan darah merupakan keping-keping darah dengan
bantuan ion kalsium. apabila luka terjadi pada pembuluh darah yang tipis. Pengetatan dinding, dinding
pembuluh darah dapat mencegah pengeluaran darah, akan tetapi, apa bila terjadi kerusakan yang cukup
besar pada pembuluh darah, keping-keping darah akan berkumpul di sekitar luka dalam jumlah yang
cukup besar dan menempel pada pembuluh darah, yang kemudian membentuk jala fibrin yang
menahan keluarnya sel darah.
Apabila luka kita sangat besar, maka keping-keping darah akan mengirimkan zat kimia yang
bekerja sama dengan zat lainya di dalam plasma darah untuk membentuk benang-benang fibrin. Jala
atau benang-benang fibrin yang terbentuk pada permukaan luka dapat menahan keping-keping darah
serta sel-sel darah merah agar tidak menetes keluar. Luka yang besar dan tidak dapat di perbaiki sendiri
oleh tubuh kita, perlu di jahit agar bagian yang terbuka menjadi lebih sempit, sehingga fungsi benangbenang fibrin dan keping-keping darah menjadi lebih efisien.
Dalam proses pembekuan darah, keping-keping darah atau yang di kenal dengan Trombosit
yang menyentuh permukaan luka yang kasar, akan pecah dan mengeluarkan trombokinase.
Trombokinase akan mengubah protrombin menjadi trombin. Protrombin merupakan enzim yang belum
aktif, berupa senyawa globulin yang dihasilkan di hati dengan pertolongan vitamin K, sedangkan
trombin merupakan enzim yang sudah aktif. Pengubahan protrombin menjadi trombin sangat
memerlukan zat kalsium untuk mempercepat proses tersebut. Trombin mengubah fibrinogen (protein
yang larut dalam plasma darah) menjadi librin yang berbentuk benang-benang.
2.5.
Faktor I
Nama Umum
Faktor Fibrinogen
Fungsi
Dipecahkan oleh thrombin
untuk
Faktor II
membentuk
bekuan
fibrin
Diaktifkan pada permukaan
Protrombin
Faktor
jaringan
protrombinase
Ca2+ Glikoprotein
yang
distimulasi
untuk
bekerja
VIIa
Diperlukan
Kalsium
untuk
pembentukan fibrin
Suatu faktor plasma
mempercepat
Faktor VI
Proacelerin
faktor
Faktor VII
Faktro VIII
Akselerator
perubahan
yang
faktor
Via
merupakan
dalam
co
aktifasi
protombin serum
mempercepat
Globulin
protrombin
Suatu faktor plasma yang
antihemofilik(AHG)
perubahan
dan
faktor
Christmas (IX)
Faktor IX
Faktor Christmas
Mengaktifkan protrombin
Faktor
serum
yang
berkaitan dengan faktor III
trombosit dan VIII (AHG
Faktor X
Faktor Stuart-Power
Mengaktifkan protrombin)
Suatu faktor plasma dan
serum
Faktor XI
Plasma
Tromboplastin
Akselerator
protrombin
Suatu faktor plasma yang
antecedent (PTA)
diaktifkan
konversi
oleh
faktor
Hageman (XII)
Faktor XII
Faktor XIII
Faktor Hageman
Faktor
penstabil
Akselerator pembentukan
trombin
Suatu faktor plasma
Mengaktifkan faktor XI
(PTA)
fibrin Diaktifkan
(FSF), fibrinoligase
dengan
oleh
adanya
menstabilkan
thrombin
Ca2+,
bekuan fibrin
2.6.
Etiologi
Bakteri
gram
negative
(pseudomonas,
meningococcus,
salmonella,
haemophilus,
enterobacteria)
Jamur
Pada keadaan septikemia, DIC terjadi akibat endotoksin atau mantel poli-sakarida bakteri
memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan Faktor XII menjadi F XIIa, menginduksi pelepasan
reaksi trombosit, menyebabkan endotel terkelupas yang dilanjutkan aktivasi XII menjadi XIIa atau XXIa, dan pelepasan materi prokoagulan dari granulosit, dan semuanya ini dapat mencetuskan DIC
Terakhir dilaporkan bahwa organisme gram positif dapat menyebabkan DIC dengan mekanisme
seperti endotoksin yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mikropolisakarida menginduksi DIC
Viremia termasuk HIV, varisela, hepatitis, virus sitomegalo, demam berdarah dengue, dapat
disertai DIC. Mekanisme tidak jelas tetapi mungkin atas dasar antigen antibodi mengaktifkan F XII,
reaksi pelepasan trombosit atau endotel terkelupas dan terpapar kolagen subendotel dan membran
basalis.
2. Reaksi tranfusi darah :kebanyakan akibat type darah incompatibility
Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu sistem koagulasi sehingga terjadi DIC.
Akibat hemolisis, eritrosit melepaskan ADP atau membran fosfolipid eritrosit yang mengaktifkan
sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan menyebabkan DIC
Pasien dengan luka bakar yang luas sering disertai dengan DIC disebabkan mikrohemolisis
eritrosit melepaskan ADP dan fosfolipid. Selain itu nekrosis jaringan yang terbakar melepaskan
material tromboplastin dan kedua faktor tersebut akan memicu DIC. Pada trauma, nekrosis jaringan
merupakan materi tromboplastin atau material menyerupai fosfolipid masuk ke sirkulasi darah dan
mengaktifkan sistem koagulasi sehingga terjadi DIC.
5. Gangguan vascular (Aneurisma Aorta, vaskulitis, Hemangioma)
Kelainan pembuluh darah seperti sindrom Kasabach-Merrit yang disertai hemangioma cavernosa
raksasa pada + 25% kasus ditemukan DIC derajat rendah atau kompensasi yang dapat berubah menjadi
DIC fulminan tanpa ada petunjuk yang jelas. Lebih kurang 50% pasien dengan telangiektasis
hemoragik herediter disertai DIC derajat rendah yang kadang-kadang dapat menjadi fulminan.
Penyakit sistemik pembuluh darah kecil seperti fenomena vasospastik termasuk sindrom Raynaud,
angiopati diabetes berat, atau angiopati pada penyakit autoimun atau sindrom Leriche yang disertai
DIC kompensasi sering berkembang menjadi DIC fulminan. Penyakit vaskular kolagen terutama
apabila mengenai pembuluh darah kecil dapat disertai DIC. DIC kompensasi juga terlihat pada pasien
rematoid artritis berat, SLE, sindrom Sjorgen dermatosis, penyakit hati kronis dan ginjal kronis
6. Neoplasma ( Leukemia, Tumor : tumor payudara, paru, ovarium, traktus biliary)
Pada penderita keganasan, terutama yang sudah menyebar sering ditemukan DIC dengan atau tanpa
gejala klinik, dengan bukti laboratorium. Pada kasus hematologi selain keganasan, penyakit lain sering
disertai DIC derajat rendah seperti polisitemia vera, sedang pada paroksimal noktural hemoglobinuria
(PNH) ditemukan DIC yang lebih bermanifestasi sebagai thrombosis
7.
Akut pakreatitis, komplikasi obstetri, gigitan ular, heat stroke, emboli lemak, hypertermy maligna,
gangguan perfusi atau shok
8.
pemicu, kemungkinan adalah endotel terkelupas mengaktifkan F XII menjadi F XIIa, dan atau XI-XIa
dan reaksi pelepasan trombosit yang diakhiri dengan aktivasi sistem prokoagulan. Pada alkalosis
mekanismenya belum jelas.
2.7.
Patofisiologi DIC
1. Consumptive Coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara
sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang,
disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC. Karena
dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan deposisi
dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang
mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut,
akan terjadi komplikasi perdarahan.
Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik
yang menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis
(akibat pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya,
pasien dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan,
keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.
Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya
terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan darah.
Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan sistem
protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur
ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis,
akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Jadi sistem-sistem yang tidak berfungsi
secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1. Seperti yang
tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang
menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC
relatif suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan membahas lebih
dalam tentang patofisiologi DIC.
2.
Depresi Prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya.
Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula
penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan
darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.
Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia
atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk
dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan nama
jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu sendiri,
terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting dalam
pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan
sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan juga dari
sel-sel polimorfonuklear.
Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor
pembekuan darah dapat melipat gandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk
fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien DIC.
Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin, degradasi
oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi serta sintesis
yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan
mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi
terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.
Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C
sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation
trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis factoralpha (TNF-) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen pembentuk
protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan
terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C
berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.
Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi
menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor
pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan
memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah kecil,
namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan menambahkan TFPI
rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal,
ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh
senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah,
TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di masa depan.
3. Defek Fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya
endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau
endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-1).
Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III, protein C,
dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk
di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid
leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta perdarahan tetap
berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih pada pembuluh darah,
trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat
menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.
2.8.
Etiologi
Fetus mati dalam kandungan
Auto imun
Keganasan
Abortus
Syok
perdarahan
Pathway DIC
asidosis
sirkulasi extrakorporeal
hemolisis
trauma bisa ular
infeksi
Faktor instrinsik
Faktor ekstrinsik
Aktivasi faktor pembekuan darah
Kadar inhibitor
fibrinolitik PAI
Depresi system
fibrinolitik
Consumptive coagulopaty
Depresi prokoagulan
Disfungsi fisiologis
antikoagulan
Kelainan aktivasi
endotel
Fibrin >>
Deposisi fibrin
Thrombus
mikrovaskular
Bakteremia/endotoks
emia
Aktivasi
koagulan
Sel
Plasminogen
activator tipe 1
Thrombosis
Aktivasi fibrinolitik
Perdarah
an
Resti perubahan
perfusi jaringan
Aktivasi trombin
Defek
Nye
ri
Resti kerusakan
integritas kulit
Koagulasi meningkat
iskem
i
ansietas
Deficit volume
cairan
Endapan fibrin
Gang. Perfusi jaringan
Kompleks trombus
Nyeri
kehilangan
Kurang pengetahuan
Gangguan konsep
diri
Kelemahan
Intoleransi aktivitas
2.9.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dari sindrom ini beragam tergantung pada sistem organ yang terlibat dalam
thrombus/ infark atau episode perdarahan. DIC kronis bisa menimbulkan sedikit gejala, seperti mudah
memar, perdarahan lama dari tempat tusukan pungsi vena, perdarahan gusi, dan perdarahan
gastrointestinal lambat, atau tidak ada gejala yang tidak dapat diamati.
Manifestasi klinis bergantung pada penyakit dasar, akut atau kronik, dan proses patologis yang
mana lebih utama, apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis hemoragik. Kedua proses
patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam waktu yang
bersamaan.
Pada DIC terdapat keadaan yang bertentangan, yaitu trombosis dan perdarahan bersama-sama.
Perdarahan lebih umum terjadi daripada trombosis, tetapi trombosis dapat mendominasi bila koagulasi
lebih teraktivasi daripada fibrinolisis. Perdarahan dapat terjadi dimana saja. Perhatikan terutama bila
terjadi perdarahan spontan dan hematoma pada luka atau pengambilan darah vena. Trombosis
umumnya ditandai dengan iskemia jari-jari tangan dan gangreng, mungkin pula nekrosis korteks renal
dan infark adrenal hemoragik. Secara sekunder dapat mengakibatkan anemia hemolitik
mikroangiopati.
Tanda-tanda yang dapat dilihat pada penderita DIC yang disertai dengan perdarahan misalnya:
petekie, ekimosis, hematuria, melena, epistaksis, hemoptisis, perdarahan gusi, penurunan kesadaran
hingga terjadi koma yang disebabkan oleh perdarahan otak.
Sementara tanda-tanda yang dapat dilihat pada trombosis mikrovaskular adalah gangguan
aliran darah yang mengakibatkan terjadi iskemia pada organ dan berakibat pada kegagalan fungsi
organ tersebut, seperti: gagal ginjal akut, gagal nafas akut, iskemia fokal, gangren pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada DIC sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis
pada mikrovaskular yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan
organ yang menyebabkan gangguan aliran darah, iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ dan
kematian.
2.10.
Komplikasi DIC
Syok/hipoperfusi
Edema pulmoner
Konvulsi
Koma
2.11.
Diagnosis
Diagnosis DIC tidak dapat ditegakan hanya berdasarkan satu tes laboratorium, karena itu
biasanya digunakan beberapa hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berdasarkan kondisi
klinik pasien. Dalam praktik klinik diagnosis DIC dapat ditentukan atas dasar temuan sebagai berikut:
1. Adanya penyakit yang mendasari terjadinya KID.
2. Pemeriksaan trombosit kurang dari 100.000/mm3.
3. Pemanjangan waktu pembekuan (PT,APTT).
4. Adanya hasil degradasi fibrin di dalam plasma (ditandai dengan peningkatan D-dimer).
5. Rendahnya kadar penghambat koagulasi (Antitrombin III)
Rendahnya trombosit pada DIC menandakan adanya aktivasi trombin yang terinduksi dan
penggunaan trombosit. Memanjangnya waktu pembekuan menandakan menurunnya jumlah faktor
pembekuan yang tersedia seperti vitamin K. Pemeriksaan kadar penghambat pembekuan (AT III atau
protein C) berguna untuk memberikan informasi prognostik.
Pemeriksaan hasil degradasi fibrin seperti Ddimer, akan membantu untuk membedakan KID
dengan kondisi lain yang memiliki gejala serupa, pemanjangan waktu pembekuan dan turunnya
trombosit, seperti pada penyakit hati kronik.
Kriteria minimal untuk diagnosis DIC adalah didapatkan keadaan atau gambaran klinik yang dapat
menyebabkan DIC dengan manifestasi perdarahan, tromboemboli atau keduanya, disertai dengan
pemeriksaan laboratorium trombositopenia dan gambaran eritrosit sel Burr atau D-dimer positif.
Bilamana fasilitas laboratorium memungkinkan dapat digunakan criteria menurut Bick atau
berdasarkan skor DIC dari ISTH 2001.
Kriteria Laboratorium DIC menurut Bick
Diagnosis Banding
Manifestasi klinis atau kelainan laboratorium dari beberapa kondisi dapat menyerupai atau dibedakan
dari yang ada di DIC, dan penting untuk membedakan kondisi ini dari DIC akut. Empat dari kondisi
yang lebih umum adalah :
HELLP syndrome (hemolisis, tes fungsi hati yang tinggi, dan trombosit rendah).
2.12.
Pemeriksaan Laboratorium
DIC adalah suatu kondisi yang sangat kompleks dan sangat sulit untuk didiagnosa. Tidak ada
single test yang digunakan untuk mendiagnosa DIC. Dalam beberapa kasus, beberapa tes yang berbeda
digunakan untuk diagnose yang akurat.
Test yang dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC termasuk:.
1. D- Dimer
Tes darah ini membantu menetukan proses pembekuan darah dengan mengukur fibrin yang
dilepaskan. D-Dimer pada orang yang mempunyai kelainan biasanya lebih tinggi dibanding dengan
keadaan normal.
2. Prothrombin Time (PTT)
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan dalam proses
pembekuan darah .Sedikitnya ada belasan protein darah, atau faktor pembekuan yang diperlukan
untuk pembekuan darah dan menghentikan perdarahan. Protrombin atau faktor II adalah salah satu
dari faktor pembekuan yang dihasilkan oleh hati. PTT yang memanjang dapat digunakan sebagai
tanda dari DIC
3. Fibrinogen
Tes darah ini digunakan untuk mengukur berapa banyak fibrinogen dalam darah. Fibrinogen
merupakan protein yang mempunyai peran dalam proses pembekuan darah. Tingkat fibrinogen
yang rendah dapat menjadi tanda DIC. Hal ini terjadi ketika tubuh menggunakafibrinogen lebih
cepat dari yang di produksi
4. Complete Blood Count (CBC)
CBC merupakan pengambilan sampel darah dan menghitung jumlah sel darah merah dan sel darah
putih. Hasil pemeriksaan CBC tidak dapat digunakan untuk mendiagnosa DIC, namun dapat
memberikan informasi seseorang tenaga medis untuk menegakkan diagnose
5. Hapusan darah
Pada tes ini darah dioleskan pada slide dan di warnai dengan pewarna khusus. Slide ini kemudian
diperiksa dibawah mikroskop untuk jumlah ukuran dan bentuk sel darah merah sel darah putih dan
platelet dapat diidentifikasi. Sel darah sering terlihat rusak dan tidak normal pada pasien dengan
DIC.
6. Trombosit
Trombositopenia khas pada DIC, jumlah trombosit bervariasi mulai yang paling rendah 20003000/mm3 hingga >100.000/mm3 . Pada kebanyakan pasien DIC, trombosit yang diperiksa dalam
sediaan apus darah tepi pada umumnya jumlahnya rata-rata 6000/mm3 . Uji fungsi trombosit
seperti masa perdarahan, agregasi trombosit biasanya bergantung padaDIC.
Gangguan ini
disebabkan FDP menyelubungi membran trombosit. Jadi tidak ada alasan dan tidak perlu
melakukan uji trombosit pada DIC. Faktor 4 trombosit (PF4) dan beta-tromboglobulin merupakan
petanda terjadinya re-aktivitas dan pelepasan trombosit dan biasanya meningkat pada DIC. Bila
padaDIC kadar PF4 dan beta-tromboglobulin meningkat dan kemudian menurun sesudah
pengobatan, hal ini menunjukkan pengobatan berhasil. Meningkatnya PF4 dan betatromboglobulin
pada DIC selain merupakan bukti tidak langsung adanya aktivasi prokoagulan, juga bermanfaat
pada pemantauan pengobatan.
2.13.
Scoring DIC
International Society of Thrombosis and Haemostasis (ISTH) membuat sistem penilaian secara
sederhana untuk mendiagnosis DIC yaitu dilihat dari trombosit, PT, tingkat fibrinogen dan hasil FDP /
D-Dimer:adapaun parameter penilaian scoring DIC dapat dilihat pada tabel 2.1
5 :Non Overt DIC tes diulang dalam 1-2 harisetelah tes pertama
dilakukan
(diadaptasi dari Franchini, et al, 2006)
Tabel 2.1 Scoring penilaian DIC menurut ISTH
2.14.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
Jika hal ini tidak dilakukan, pengobatan terhadap DIC tidak akan berhasil.
1. Antikoagulan
Secara teoritis pemberian antikoagulan heparin akan menghentikan proses pembekuan, baik yang
disebabkan oleh infeksi maupun oleh penyebab lain. Meski pemberian heparin juga banyak yang
diperdebatkan akan menimbulkan perdarahan, namun dalam penelitian klinik pada pasien dengan DIC,
heparin tidak menunjukkan kompleks perdarahan yang signifikan.
Dosis heparin yang diberikan adalah 300-500 iu/jam dalam infuse continue
Indikasi:
a. Penyakit dasar tak dapat diatasi dalam waktu singkat
b. Terjadi tanda-tanda thrombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindroma gagal nafas
Dosis: 100iu/kgBB bolus dilanjutkan 15-25iu/kgBB/jam 9750-1250 iu/jam) continue, dosis selanjutnya
disesuaikan untuk mencapai APTT 1,5-2 kali kontrol.
2. Plasma dan trombosit
Pemberian baik plasma maupun trombosit harus bersifat selektif. Trombosit diberikan hanya
kepada pasien DIC dengan perdarahan atau pada prosedur invasive dengan kecenderungan perdarahan.
Pemberian plasma juga patut dipertimbankan, karena didalam plasma hanya berisi faktor-faktor
pembekuan tertentu saja, sementara pada pasien DIC terjadi gangguan seluruh faktor pembekuan
3. Penghambat pembekuan (AT III)
Pemberian AT III dapat bermanfaat bagi pasien DIC, meski biaya pengobatan ini cukup
mahal.Direkomendasikan sebagai terapi substitusi bila AT III <70%.
Dosis: Dosis awal 3000 iu (50 iu/kgBB) diikuti 1500 iu setiap 8 jam dengan infuse continue selama 35 hari
4. Obat-obat antifibrinolitik
Antifibrinolitik sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, tetapi pada pasien dengan DIC
pemberian antifibrinolitik tidak dianjukan. Karena obat ini akan menghambat proses fibrinolisis
sehingga fibrin yang terbentuk akan semakin bertambah, akibatnya DIC yang terjadi akan semakin
berat.
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya,
misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotic diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika karena
komplikasi obstetric, maka janin harus dilahirkan secepatnya.
Tranfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk
dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasive atau memiliki
resiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfuse ini berdasarkan pemikiran bahwa
menambahkan komponen darah relative mirip menyiram bensin dalam api kebakaran, namun pendapat
ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal.
Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk member trombosit dan komponen plasma,
untuk memperbaiki kondisi perdarahan.
Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin.
Obat ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi
fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah
terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot setelah terjadi
fibrinolisis spontan. Dengan dosis awal heparin drip 4-5 iu/kg/jam IV infuse continue, pemberian
heparin harus dipantau minimal setiap empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 iu
tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada
keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC
cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari resiko penyakit tersebut tanpa
DIC. Semakin parah kondisi DIC, semakin besar pula resiko kematian yang harus dihadapi.
2.15.
A. Pengkajian
1. Adanya faktor-faktor predisposisi :
Komplikasi obstetric
Neoplasia
Gigitan ular
Penyakit hepar
Bedah kardiopulmonal
Trauma
2. Pemeriksaan fisik
2.1. Perdarahan abnormal pada semua system dan pada sisi prosedur invasive
Bula hemorraghi
Hemorraghi subkutan
Hematoma
2.1.2. Sistem GI
Hematuria
Oliguria
Dispnea
Takipnea
Gelisah
Ketidaksadaran vasomotor
Insisi operasi
Pada sisi prosedur invasive : suntikan, IV, kateter arterial dan selang
nasogastrik atau dada, dll.
2.2.
2.2.2. Ginjal
2.2.3. Paru
2.2.4. Kulit
Defisit volume cairan berhubungan dengan hemorraghi perembesan darah dan tepat fungsi
kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersikulasi
2.
3.
Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan deficit intravascular, trombosis dan hemorrhagic
intravascular
4.
5.
6.
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok,
hemorraghi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan
7.
Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan , kehilangan beberapa aspek
kemandirian karena penyakit kronis yang di derita
8.
9.
Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata, yang akan di rasakan
C. Intervensi Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan hemorraghi perembesan darah dan tepat fungsi
kongesti jaringan dan perlambatan volume darah bersikulasi
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan status hemodinamik yang adekuat
Intervensi:
Kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam, dan kualitas nadi perifer setiap 4 jam
Rasional: Perubahan TD dan nadi dapat digunakan untuk perkiraan kasar kehilangan darah
( misalnya, TD < 90 mmHg, dan nadi > 110 x/menit di duga 25% penurunan volume atau
kurang lebih 1000. Hipotensi postural menunjukan penurunan volume sirkulasi
Evaluasi nilai-nilai hasil laboratorium Hb, Ht, Na, K, Cl, PT,PTT, jumlah platelet produk solit
fibri, fibrinogen dan massa pembekuan
Rasional: Bila jumlah trombosit kurang dari 20.000/mm (sehubungan dengan poliferasi SDM
dan atau supresi sum-sum tulang sekunder terhadap obat antineoplastik), klien cenderung
perdarahan spontan yang mengancam hidup. Penurunan HB/Ht indikatif perdarahan (mungkin
samar)
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan kehilangan faktor-faktor koagulasi yang diakibatkan
oleh perdarahan, asidosis laktat dan trombo intravascular
Kriteria hasil:
Intervensi:
Kaji status hemodinamik (TD, HR, Suhu), Tingkat kesadaran, dan produksi urine
Rasional: Dengan mengetahui status hemodinamik penanganan dapat dilakukan dengan cepat
dan komplikasi lebih lanjut dapat dicegah
Pantau status kardiovaskuler meliputi curah jantung, denyut nadi perifer, kecepatan dan irama
jantung dan dihubungkan dengan kondisi pasien
Observasi perdarahan
Observasi adanya hipotensi, , bunyi jantung lemah, denyut nadi lemah, penurunan aliran urine.
3. Perubahan pefusi jaringan berhubungan dengan deficit intravascular, trombosisi dan hemorrhagic
intravaskular
Kriteria Hasil :
a. Menunjukan tidak ada manifestasi syok
b. Menunjukan pasien tetap sadar dan berorientasi
c. Menunjukan tidak ada lagi perdarahan
d. Menunjukan nilai-nilai laboratorium normal
Intervensi :
Pantau hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital, dan perubahan sisi baru dan potensial
Rasional: Mengidentifikasi indikas-indikasi kemajuan atau penyimpangan
Kewaspadaan apabila ada resiko terhadap perdarahan (jumlah trombosit kurang dari
50.000/CUmm23)
Rasional: Indicator anemia, perdarahan aktif atau terjadinya komplikasi
Berikan transfusi darah seperti yang diminta dan sesuai dengan penatalaksanaan medis
Rasional: Mempertahankan volume sirkulasi untuk memaksimalkan perfusi jaringan
Periksaa warna dan konsistensi feses, feses hitam seperti menunjukkan perdarahan GIT
Rasional: Traktus GI (esophagus dan rectum) paling biasa untuk sumber perdarahan
sehubungan dengan mukosa yang mudah rusak dan gangguan dalam hemostasis karena sirosis
Inspeksi kulit, rongga oral dan konjungtiva setiap hari dan catat luasnya ptekie dan memar bila
ada
Gunakan pencukur jenggot listrik sebagai pengganti pisau cukur, gunakan sikat gigi berbulu
halus untuk menyikat gigi, hindari penggunaan cuci mulut komersial. Gunakan larutan salin
atau campuran natrium bikarbonat dan hydrogen peroksida
Rasional: Pada adanya gangguan factor pembekuan, trauma minimal dapat menyebabkan
perdarahan mukosaa
Kewaspadaan bila ada resiko terhadap hemoraghi spontan ( jumlah trombosit kurang dari
20.000/CUmm23)
Rasional: Indicator anemia, perdarahan aktif atau terjadinya komplikasi
Pantau tanda vital, warna kulit dan suhu, nadi, status mental dan bunyi paru setiap 4 jam
Rasional: Perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi jaringan serebral sekunder terhadap
hipovolemia, hipoksemia
Setiap 2-4 jam, anjurkan klien membalik badan, nafas dalam dan latihan gerak perlahan
Rasional: Meningkatkan sirkulasi local dan sistemik
Kaji lokasi, kualitas dan integritas nyeri, gunakan skala tingkat nyeri
Rasional: Mengetahui tingkat nyeri klien untuk mengetahui tindakan selanjutnya
Bantu memberikan perawatan ketika klien mengalami perdarahan hebat atau rasa tidak nyaman
Rasional: Mencegah bertambah parahnya kondisi klien
Berikan waktu istirahat yang cukup. Buat jadwal aktivitas dan pemeriksaan diagnostik, bila
memungkinkan sesuaikan dengan toleransi klien
Rasional: Meningkatkan istirahat dan meningkatkan kemampuan koping
Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri, contoh latihan relaksasi / nafas dalam,
bimbingan imajinasi, visualisasi, sentuhan terapeutik
Rasional: Memudahkan relaksasi, terapi farmakologis tambahan, dan meningkatkan
kemampuan koping
6. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan keadaan syok,
hemorraghi, kongesti jaringan dan penurunan perfusi jaringan
Kriteria Hasil :
a. Kulit akan tetap utuh, tanpa ada bagian yang mengalami memar atau lecet
Intervensi:
Kaji semua permukaan kulit setiap 4 jam, periksa jumlah SDP terhadap potensi infeksi, kaji
semua orificium terhadap adanya hemorraghi atau memar
Rasional: Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat dibandingkan dan
melakukan intervensi yang tepat
Angkat, periksa, dan gantikan semua balutan yang menekan , setiap 4-8 jam sesuai intruksi
Rasional: Balutan basah meningkatkan resiko kerusakan jaringan / infeksi. Catatan balutan
tekanan tidak digunakan diatas lembaran kulit, karena suplai darah mudah di pengaruhi
Gunakan aliran arterial atau akses IV pada pembuluh besar untuk pengambilan darah
Rasional: Hindari fungsi berlebihan untuk keperluan pemeriksaan laboratorium
Untuk keamanan, bantu semua gerakan untuk turun dari tempat tidur
Rasional: Menurunkan tekanan pada kulit dari istirahat lama di tempat tidur
Rasional: Mengurangi rasa tidak nyaman, meningkatkan rasa sehat dan mencegah pembentukan
asam yang dikaitkan dengan partikel makanan yang tertinggal
7. Ansietas berhubungan dengan rasa takut mati karena perdarahan , kehilangan beberapa aspek
kemandirian karena penyakit kronis yang di derita
Kriteria hasil :
a. Klien menunjukkan rileks dan melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat dapat ditangani
b. Klien menyatakan kesadaran ansietas dan cara sehat menerimanya
Intervensi:
Catat petunjuk perilaku, misalnya gelisah, peka rangsang, kurang kontak mata, perilku menarik
perhatian
Rasional : Indicator derajat ansietas/stress misalnya pasien merasa tidak dapat terkontrol di
rumah, kerja atau masalah. Stress dapat gangguan fisik juga reaksi lain
Akui bahwa masalah dengan ansietas dan masalah mirip dengan di ekspresikan orang lain,
tingkatkan perhatian mendengarkan klien
Berikan informasi yang adekuat dan nyatakan tentang apa yang akan di lakukan, misalnya tirah
baring, pembatasan masukan per oral dan prosedur tindakan yang lain
Rasional: Validasi bahwa perasaan normal dapat membantu menurunkan stress
Berikan informasi yang adekuat dan nyatakan tentang apa yang akan di lakukan, misalnya tirah
baring, pembatasan masukan per oral dan prosedur tindakan yang lain
Rasional: Keterlibatan klien dalam perencanaan keperawatan memberikan rasa control dan
membantu menurunkan ansietas
Bantu klien untuk mengidentifikasi perilaku koping yang dilakukan pada masa lalu
Rasional: Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah atau stress saat ini,
meningkatkan rasa kontrol diri klien
Bantuk klien belajar mekanisme koping paru misalnya teknik mengatasi stress dan
keterampilan berorganisasi
Rasional: Belajar cara untuk mengataasi masalah dapat membantu dalam menurunkan stress,
meningkatkan kontrol penyakit
Kolaborasi: Berikan obat sesuai indikasi sedatif, misalnya barbiturate, agen ansietas dan
diazepam
Rasional: Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan istirahat
Gunakan pendekatakn yang tenang dan dapat menerangkan kliem sewaktu member informasi.
Beri dorongan untuk bertanya
Rasional: Penjelasan yang jelas dan sederhana dan menggunakan istilah non medis datau umum
dapat mengurangi tingkat kecemasan dan rasa bingung klien. Rasa ansietas tersebut dapat
mengganggu kegiatan belajar dari persepsi pasien
Jelaskan mengenai gambaran singkat tes, tujuan tes, persiapan tes dan perawatan setelah tes
Rasional: penjelasan tentang apa yang diharapkan membantu mengurangi ansietas
9. Gangguan konsep diri berhubungan dengan kehilangan yang nyata, yang akan di rasakan
Kriteria Hasil :
a. Peningkatan partisipasi klien dalam perawatan dirinya
b. Perubahan gaya hidup
Intervensi
Hindari pemberian informasi yang bertubi-tubi selama fase awal proses berduka. Jawab
pertanyaan khusus. Masukan informasi saat klien menunjukkan kesiapan mempelajari
perawatan diri
Rasional : Interaksi terapI dapat membantu perubahan individu untuk menerima informasi
berlebihan
Beri no telepon orang yang bias dimintai dukungan oleh klien dan keluarga saat pulang.
Ingatkan klien untuk melihat dirinya dengan pandangan yang berbeda.katakan pada klien
bahwa ia harus menerima keadaannya sekarang
Rasional: Sistem pendukung kuat seperti keluarga ,sangat penting untuk kemajuan klien dalam
proses berduka
Pertahankan keluarga mendapatkan informasi tentang kemajuan klien. Libatkan keluarga secara
sering dalam perawatan klien
Rasional: membantu klien menyatukan kembali citra tubuh yang baru
Bila memungkinkan, biarkan klien untuk menentukan pilihan dalam perawatan diri atau
perawatan hygiene rutin
Rasional: Meningkatkan control diri
Bantu klien memandang penyakit kronis atau perubahan cairan tubuh sebagai tantangan untuk
pertumbuhan daripada situasi yang tidak mungkin. Gunakan istilah tantangan pertumbuhan
sebagai ganti kecacatan. Bila ada penyakit terminal, tekankan bahwa peneliatian untuk
pengobatan masih terus berlanjut dan hindari janji palsu
Rasional: Janji palsu menghambat kebutuhan individu untuk mengungkapkan perasaan
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1.
Pengkajian
3.1.1. Data Pasien :
3.2.
Nama
: TN. M. A.S
Alamat
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pekerjaan
: Karyawan
Status perkawinan
: Sudah Menikah
Tanggal pengkajian
: 2 September 2016
Riwayat penyakit :
3.2.1
Keluhan Utama :
Perut membesar kurang lebih 3 bulan disertai rasa begah
3.2.2
Pasien post operasi laparatomi unroofing kista di OK dengan riwayat perdarahan 3000cc
3.2.3
3.3.
Pemeriksaan fisik
3.3.1
Pengkajian primer
a. Airway
Terpasang Ett no 7,2
b. Breathing
On ventilator dengan modus PC 12, RR 12, PEEP + 5, Fio2 40%
c. Circulation
Hemodinamik tidak stabil dengan TD 62/42 mmHg MAP: 58 , CVP + 7, HR: 100
x/mnt, Capilary refil > 3 detik, mendapatkan topangan norepineprine 1 mikro/kg/mnt,
Dobutamin 6 mikro/kg/mnt, Epineprine 0,1 mikro/kg/mnt
d. Disability
Pasien Compos mentis dan masih dalam pengaruh sedasi
e. Exposure
Adanya luka post op laparotomi pada abdomen , terdapat massa di rgimen abdomen
kanan atas. Lingkar perut 92 Cm, terpsang drain di abdomen dengan produksi cairan
seros hemoragic + 700 cc/ 12 jam, tekanan intra abdomen 11 mmH20
3.3.2. Pengkajian sekunder
a. Muka : conjunctiva anemis, pupil : Isokor , terpasang NGT
b. Kulit dan mukosa membrane: Hematoma tangan kanan, Akral dingin, Terdapat lebam di
pinggang sebelah kanan pasien 10cm
c. Sistem ginjal
Terjadi penurunan pengeluaran urin dengan Total input/ 15 jam yang didapat pada tgl
2/8/2016: 4725,8 dan Total Output : 1400cc, Urine/ 15 jam : 500cc dengan diuresis 0,67
cc/kg/jam
d. Pemeriksaan diagnostic
Hasil USG intip tgl 2/9/2016 adalah: Susp cairan bebas intra abdomen.
spesifik,
Ascites (+)
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
Hb
Ht
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Albumin serum
PT/ Kontrol
APTT/Kontrol
Ca Ion
Ca Darah
D-Dimer
Fibrinogen
INR
AGD:
Ph
PaCo2
PaO2
Be
HCO3
SaO2
Prokalsitonin
2/9/2016
7,5
22,3
2,58
45,11
230
1,5
19,7/ 11,2
181/ 34,2
1.07
7,3
400
156,7
25
7,268
32,4
122,7
-12,2
14,9
97,5
Tanggal
3/9/2016
9,4
28,3
3,23
34,02
127
2,46
15,1/ 11,2
50,3/32,3
0,83
5,2
300
168,4
-
4/9/2016
7,2
21
2,69
27,87
63
1,63
15,9/11,4
57,0/32,9
0,99
7,0
200
158,7
-
7,34
31,7
128,5
-8,2
17,6
97,2
27,67
7,32
28,2
71,7
11,3
14,9
93
47,36
Ureum
Kreatinin
e.
3.4.
45
1,2
95
1,90
Ciprofloxacin 2 x200 Mg
Metronidazole 3 x 500 Mg
Omeprazole 2 x 40 Mg
Vit. C 2 x 200 mg
Traneksamat 3 x 500 Mg
Vit K 2 x 4 Mg
Dycinon 3 x 250 Mg
Ca Glukonas 3x1 gr
IVFD: Ringer Fundin 20 cc/jam , Nutrifleks 1250 cc/24 jam, Tramadol 100 mg/8 jam
Analisa data
No
1
DS: -
DATA
DO:
ETIOLOGI
MASALAH
Penurunan ekspansi Gangguan pola
paru
nafas
Hemorragic dan
Defisit volume
DO:
perembesan darah
cairan tubuh
CVP : +7mmHg
Akral dingin
HB: 7,5
HT:22,3
D-Dimer:400
kelemahan umum,
DO:
ketidakseimbangan
kebutuhan oksigen
CVP : +7mmHg
Intoleransi aktifitas
Akral dingin
HB: 7,5
HT:22,3
3.5.
Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan hemorraghi, perembesan darah dari luka operasi
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, tirah baring dan imobilitas
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3.6.
Intervensi keperawatan
No
Diagnosa
Intervensi
1 Gangguan pola nafas berhubungan dengan 1. Observasi pengembangan dada pasien
penurunan ekspansi paru
pemberian
obat-obat
Trombosit).
1. Kaji tingkat kemampuan pasien untuk
3.7.
Hari/Tanggal
Sabtu
DX
1
2/9/16
S:
O:
Evaluasi
PC 12, RR 12
40%
jam
tidur
S: O:
Hemodinamik belum
CVP: + 9mmHg
96 cm
500cc (diuresis:
0,67cc/KgBB/jam)
laboratorium
Terapi NE: 1
mikro/kg/mnt dan dobu
10 mikro/kg/mnt,
Epinephrine 0.1
mikro/kg/mnt, Vit K
Trombosit).
3x1amp
P:
Lanjut intervensi dan
observasi:
Pantau status
Hemodinamik
Pantau perdarahan
Tingkat ketergantungan
observasi:
ambulasi
Pantau respon oksigen
pasien terhadap aktifitas
Pantau respon
kardiorespiratori terhadap
aktifitas
Bantu setiap aktivitas dan
kebutuhan pasien
Pantau respon nutrisi
DX
1
meningkatkan aktifitas
Evaluasi
S:
O:
Sat: 100%
97,2%
tidur
S: -
jam
O:
GDS : 188mg/dl
jam
92cm
110cc/14 jam
diuresis/14 jam :
0,13cc/KgBB/jam)
IVFD: RF 20cc/jam dan
(pukul 19.00wib)
15mikro/kg/mnt,
Epinephrine 0.3
amp
laboratorium
Hasil laboratorium :
PT/ 15,1/kontrol: 11,2,
Pantau status
Hemodinamik
Pantau perdarahan
O:
Tingkat ketergantungan
pasien : Total care
P:
Hari/Tanggal
4/9/16
DX
1
O:
meningkatkan aktifitas
Evaluasi
tanda vital.
40%
SaO2 93
Observasi pengembangan
dada pasien
S: -
O:
12mmHg
520cc/14 jam
Trombosit).
diuresis/14 jam :
0,61cc/KgBB/jam)
TC : 6 bag
Hasil laboratorium :
Pantau status
Hemodinamik
Pantau perdarahan
terhadap aktifitas
terhadap aktifitas
12mmHg
A:
Masalah Belum teratasi
6.
adekuat
observasi:
BAB 4
PEMBAHASAN
Pengkajian yang dilakukan berdasarkan klasifikasi dari DIC. Pada kasus ini diagnosa pasien
berawal dari adanya hepatomegali susp malignansi. Pasien telah dilakukan operasi laparatomi unroofing
kista di OK dengan riwayat perdarahan 3000cc dengan hasil laboratorium post operasi (2/9/16) di
dapatkan HB: 7.5, HT: 22.3, Trombo: 159.000, D-Dimer 400, Fibrinogen 156,7, PT: 19,7 dan APTT:
181. Dari data yang didapatkan, kelompok mengklasifikasikan pasien tersebut kedalam DIC akut.
Dalam teori dijelaskan bahwa DIC Akut terjadi akibat perdarahan yang masive sehingga
thrombin terpapar dan meningkatkan faktor-faktor koagulasi dalam waktu yang singkat, dimana
mekanisme tubuh tidak mampu atau tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan pembekuan
darah. Salah satu parameter untuk mengetahui adanya perdarahan adalah ditemukannya peningkatan
hasil D- Dimer, fibrinogen dan pemanjangan PT, APTT , sehingga tidak ada perbedaan hasil
laboratorium teori dan praktek. Tanda dan gejala yang ditemukan pada pasien tidak sama dengan teori
karena pada pemeriksaan fisik hanya di temukan lebam di pinggang sebelah kanan 10 cm, ekimosis
dan petekie tidak ditemukan.
Diagnosa keperawatan yang diangkat pada kasus ini ada beberapa yang sesuai teori. Namun
diagnosa Gangguan pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru dan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum, tirah baring dan imobilitas,
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen tidak ditemukan didalam teori. Diagnosa ini
diangkat berdasarkan kondisi pasien yang mempunyai riwayat post operasi laparatomi unrrofing yang
lama disertai dengan perdarahan, terdapat peningkatan tekanan intra abdomen yang mengakibatkan
terjadinya penurunan dari complain paru pasien.
Penatalaksanaan DIC yang utama adalah mengobati penyakit yang mendasari terjadinya DIC.
Jika hal ini tidak dilakukan, pengobatan terhadap DIC tidak akan berhasil selain mengobati penyakit
yang mendasarinya. Pada kasus DIC yang kami bahas adalah DIC akut dimana terapinya adalah
Antifibrinolitik yang sangat efektif pada pasien dengan perdarahan, untuk menghentikan perdarahan
dan mempertahankan kadar normal dari faktor-faktor protrombin (II,VII,IX dan X).
Pemberian
Tranfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat buruk
dengan trombositopenia berat dengan perdarahan massif. Terapi yang ada di lapangan sesuai dengan
terapi di teori yaitu dengan memberikan tranfusi PRC, FFP, Cryo dan antifibrinolitik ( Vitamin K)
BAB 5
PENUTUP
5.1.
Kesimpulan
DIC adalah suatu sindrom yang ditandai dengan adanya perdarahan atau kelainan pembekuan
darah sehingga terjadi gangguan aliran darah yang menyebabkan kerusakan pada berbagai organ. DIC
dapat bersifat akut maupun kronik sehingga penanganan DIC antara akut dan kronik juga berbeda.
Dalam kasus ini DIC yang terjadi pada pasien, diklasifikasikan kedalam DIC akut yang terjadi oleh
karena perdarahan yang massif sehingga diagnosa yang muncul adalah defisit volume cairan
berhubungan dengan hemorraghic dan perembesan darah dari luka operasi. Karena DIC ini dapat
mengancam nyawa sehingga harus diterapi secara cepat.
b.
Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat membantu perawat didalam mengaplikasikan
asuhan keperawatan pada pasien dengan DIC dengan tepat sehingga dapat mencegah terjadinya
kegawat daruratan dan komplikasi yang tidak di inginkan.
Daftar pustaka
Bare, Brenda. G.dan Smeltzer., Susanne, G. (2002). Keperawatan medical bedah. Jakarta: EGC
Blackwell Publishing Ltd, British Journal of Haematology, 145, 2433 25 Guidelines for the diagnosis
and
management
of
disseminated
intravascular
coagulation.2009
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1365-2141.2009.07600.x/pdf .html
Dr.
Liza
M.Pd.I
CHt.
Koagulasi
(http://www.scribd.com/doc/6240357/KOAGULASI
Intravaskular
Dise
minata.
INTRAVASKULARDISEMINATA,
syndrome.,
http://www.msdmanuals.com/professional/hematology-and-
oncology/coagulation-disorders/disseminated-intravascular-coagulation-dic
diunduh
tgl
september 2016.
Kumar R, Gupta1 V, Disseminated Intravascular Coagulation: Current Concepts, on Indian Journal of
Pediatrics Volume 75.2008
Labelle Carrie Ann, Kitchens Craig S.Disseminated intravascular coagulation:Treat the cause, not the
lab values, on Cleaveland Clinic Journal of Medicine Volume 72 Number 5.2005.