Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

OLEH:
A A ARI NOVIA SULISTIAWATI
NIM. 1102105008

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1.

PENGERTIAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanent (PERDOSSI Pekanbaru, 2007).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Jadi, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala akibat trauma
yang terjadi secara langsung atau tidak langsung, sehingga dapat memengaruhi
kesadaran dan merusak kemampuan fisik maupun kognitif.

2.

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
cedera kepala ringan (CKR), 10% mengalami cedera kepala sedang (CKS), dan
10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB) (American College of Surgeon on
Trauma, 2004).
Data di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada
di urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan
jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi
cedera kepala. Data rumah sakit seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta pada tahun 2005 menunukkan kasus cedera kepala mencapai 750
kasus dengan mortalitas sebanyak 23 kasus. Penderita cedera kepala yang dirawat
inap terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan

CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,
sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI Pekanbaru, 2007).

3.

PENYEBAB
Menurut Corwin (2009) cedera kepala dapat disebabkan oleh:
a. Kecelakaan mobil
b. Perkelahian
c. Jatuh
d. Cedera olahraga
e. Cedera benda tumpul
f. Kecelakaan rumah tangga

4.

PATOFISIOLOGI
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu efek langsung trauma pada fungsi otak dan efek-efek lanjutan dari
sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma. Kerusakan neurologik langsung
disebabkan oleh suatu benda suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak,
kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras
bergerak dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini disebut juga cedera contrecoup
(Price & Wilson, 2005).
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya untuk mengalami cedera
terberat adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior
lobus oksipitalis, bagian atas mesenfalon. Neuron atau sel-sel fungsional dalam
otak dipengaruhi oleh suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen serta sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti.
Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk
mengatur volume darah yang beredar sehingga menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak (Price & Wilson, 2005).
Prinsip-prinsip patofisiologi menurut Price & Wilson (2005) adalah:
a. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah. Pada cedera kepala, hipoksia atau kerusakan pada otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik anaerob. Hal ini menyebabkan
timbulnya metabolik asidosis.
b. Pola pernapasan
Cedera kepala yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan gagal
napas yang mengakibatkan laju mortalitas yang tinggi diantara pasien cedera
kepala.
c. Kerusakan mobilitas fisik
Akibat terjadinya edema dari cedera kepala berat dapat mengalami perubahan
kesadaran, masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot, dan otot
spastik. Hemiparese dan hemiplegi sebagai akibat kerusakan pada area motorik
otak.
d. Keseimbangan hidrasi
Hampir semua pasien cedera kepala akan mengalami masalah dalam
mempertahankan status hidrasi yang seimbang. Kondisi ini akan mengurangi
kemampuan tubuh berespon terhadap stres. Dalam keadaan stres fisiologis,
makin banyak antidiuretik (ADH) makin banyak aldosteron diproduksi yang
mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses ini biasanya membaik dengan
sendirinya dalam satu sampai dua hari, bila diuresis terjadi.
e. Aktivitas menelan
Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak
kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut dan untuk
memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah.
f. Kemampuan komunikasi
Pasien dengan cedera kepala juga disertai kerusakan komunikasi yang terjadi
secara tersendiri melainkan akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan
kekacauan proses bahasa.

5.

KLASIFIKASI
Menurut

PERDOSSI

Pekanbaru

(2007),

cedera

kepala

bisa

diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi

akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala
serta berdasar morfologi. Klasifikasi cedera kepala, yaitu:
a. Berdasarkan mekanisme:
1) Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
2) Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tumpul.
b. Berdasarkan beratnya:
1) Ringan (GCS 14-15)
2) Sedang (GCS 9-13)
3) Berat (GCS 3-8)
c. Berdasarkan morfologi
1) Fraktura tengkorak
Kalvaria

Linear atau stelata

Depressed atau nondepressed

Terbuka atau tertutup

Dasar tengkorak

Dengan atau tanpa kebocoran CNS

Dengan atau tanpa paresis N VII

2) Lesi intrakranial
Fokal

Epidural (Hematoma Epidural)


Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di
ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering
terletak di regio temporal atau temporal parietal dan sering akibat
robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada
sepertiga kasus. Kadang-kadang hematoma epidural mungkin akibat
robeknya sinus vena, terutama di regio parietal-oksipital atau fossa
posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu

diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak


segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya
masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum
operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak
koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun dapat juga berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak. Selain itu kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

Intraserebral
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Mayoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan.

Difusa

Komosio ringan

Komosio klasik

Cedera aksonal difusa

Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut Mansjoer (2000)


dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan
sebagai berikut:
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 15
1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
6) Tidak adanya kriteria cedera kepala sedang-berat
b. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang
sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
1) Amnesia pasca trauma
2) Muntah
3) Tanda

kemungkinan

fraktur

cranium

(Battle

sign,

racoon

eyes,

hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)

c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium

6.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala cedera kepala sesuai dengan area atau tempat lesinya menurut Muttaqin
(2008) meliputi:

a. Kesadaran menurun
b. Konvulsi
c. Muntah
d. Takipnea
e. Sakit Kepala
f. Lemah
g. Akumulasi sekret di saluran pernapasan
h. Kejang

7.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala (Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan, 2005).
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih
dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik,
fungsi sensorik, dan refleks refleks (Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan, 2005).

Tabel 1. Glasgow Coma Scale (American College of Surgeon Committee on


Trauma (2004)
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
4
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
3
Buka mata bila dirangsang nyeri
2
Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik
5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan orang
4
Kata-kata tidak teratur
3

Suara tidak jelas


Tidak ada reaksi
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Melokalisir nyeri
Fleksi normal
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada reaksi

2
1
6
5
4
3
2
1

Observasi dan pemeriksaan fisik menurut Muttaqin (2008) adalah:


a. Keadaan umum: lemah, gelisah, cenderung untuk tidur
b. TTV: Suhu, nadi, tekanan darah, respiration rate, GCS
c. Body of system
1) Pernapasan (B1: Breathing)
Hidung
Dada

Inspeksi

Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Kebersihan
Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernapasan,
ronchi di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama
pernapasan, napas dangkal.
Inspirasi dan ekspirasi pernapasan, frekuensi, irama, gerakan
cuping hidung, terdengar suara napas tambahan bentuk
dada, batuk.
Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba
sama antara kanan dan kiri dinding dada.
Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup
pada batas paru dan hepar.
Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru,
suara ronchi dan weezing.

2) Kardiovaskuler (B2: Bleeding)


Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

Bentuk dada simetris kanan kiri, denyut jantung pada ictus


cordis 1 cm lateral medial (5). Pulsasi jantung tampak.
Frekuensi nadi/HR, tekanan darah, suhu, perfusi dingin,
berkeringat.
Suara pekak
Irama reguler, sistole/murmur, bendungan vena jugularis,
oedema

3) Persyarafan (B3: Brain) Kesadaran, GCS


8

Kepala
Mata
Mulut
Leher

Bentuk ovale, wajah tampak mioring ke sisi kanan


Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak icteric, pupil isokor,
gerakan bola mata mampu mengikuti perintah.
Kesulitan menelan, kebersihan penumpukan ludah dan
lendir, bibir tampak kering, terdapat afasia.
Tampak pada daerah leher tidak terdapat pembesaran pada
leher, tidak tampak perbesaran vena jugularis, tidak terdapat
kaku kuduk.

4) Perkemihan-eliminasi urine (B4: Bledder)


Inspeksi

Palpasi
Perkusi

Jumlah urine, warna urine, gangguan perkemihan tidak ada,


pemeriksaan genitalia eksternal, jamur, ulkus, lesi dan
keganasan.
Pembesaran kelenjar inguinalis, nyeri tekan.
Nyeri pada perkusi pada daerah ginjal.

5) Pencernaan-eliminasi alvi (B5: Bowel)


Inspeksi

Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Rektum

Mulut dan tenggorokan tampak kering, abdomen normal


tidak ada kelainan, keluhan nyeri, gangguan pencernaan ada,
kembung kadang-kadang, terdapat diare, buang air besar
perhari.
Hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba, anoreksia, tidak ada
nyeri tekan.
Suara timpani pada abdomen, kembung ada suara pekak
pada daerah hepar.
Peristaltik lebih cepat.
Tidak terdapat asites, turgor menurun, peristaltik usus
normal.
Rectal to see

6) Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
Kemapuan
pergerakan
sendi
Kulit

8.

Kesakitan pada kaki saat gerak pasif, droop foot, kelemahan


otot pada ekstrimitas atas dan bawah.
Warna kulit, tidak terdapat luka dekubitus, turgor baik, akral
kulit.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/ PENUNJANG


Menurut Muscari (2005), pemeriksaan penunjang pada cedera kepala meliputi:

a. CT Scan kepala
Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau
sakit kepala hebat (American College of Surgeon Committee on Trauma (2004).
Menurut Fakultas Kedokteran Universitas pelita Harapan (2005), indikasi
pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah:
1) Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
2) Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4) Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5) Sakit kepala yang hebat
6) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak
7) Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
b. Angiografi cerebral
Menggambarkan hematoma supra tentoral, intra serebral, konfusio, gambaran
tengkorak dari posterior dan anterior (Muscari, 2005).
c. Rongent kepala tiga posisi
Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak (Muscari, 2005).

9.

DIAGNOSIS/ KRITERIA DIAGNOSIS


Walaupun pengkajian fisik segera dilakukan dan evaluasi status
neurologik menunjukan lebih mengarah pada cedera kepala, namun keadaan
abnormal kurang kelihatan diperoleh pada cedera kepala, maka untuk itu deteksi
melalui pemindaian CT kepala dapat membedakan dengan jelas derajat perubahan
jaringan halus yang mengabsorpsi sinar-X. Cara ini akurat dan aman dalam
menggambarkan adanya sifat, lokasi, dan luasnya lesi dengan baik dalam
menyingkap edema serebral, kontusio, hematoma intraserebral atau extraserebral,
hemoragi intraventikular dan perubahan lambat akibat trauma (infark, hidrosefalus).
Demikian pula diagnostik dengan MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan cedera kepala (Price & Wilson, 2005).

10

Angiografi serebral dapat juga digunakan dan menggambarkan adanya


hematoma supratentoria, extraserebral, dan intraserebral serta kontusion serebral.
Dengan tindakan ini dapat diperoleh gambaran lateral dan anteroposterior
tengkorak (Price & Wilson, 2005).

10. TINDAKAN PENANGANAN


Menurut Price & Wilson (2005), otak yang mengalami cedera sangat
sensitif terhadap deviasi dalam lingkungan fisiologik. Perawatan awal pada pasien
cedera kepala ditujukan pada pengamanan jalan napas dan memberikan oksigenasi
dan ventilasi yang memadai. Penanganan medis memusatkan pada rumatan
parameter fisiologik seketat mungkin dengan keadaan normal dan segera
menangani bila terjadi deviasi. Tujuan penanganan medis adalah:
a. Mempertahankan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebesar 80 mmHg atau lebih
b. Mengobati demam secara agresif
c. Mempertahankan SaO2 yaitu 100%
d. Menghindari hiperventilasi
e. Penanganan peningkatan intracranial pressure (ICP) secara agresif dengan
drainase ICP. Drainase ICP melalui ventrikulostomi, analgesia, dan sedasi.
Manitol digunakan melalui bolus 0,251 mg/kg BB.

11. KOMPLIKASI
Menurut Smeltzer & Bare (2002), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
dengan fraktur kranium dapat berupa:
a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan TIK karena ketidakmampuan
tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh
pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.
b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau
terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan
otak irreversible dan kematian.
c. Defisit neurologic dan psikologik.
d. Infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia).
e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, abses otak)

11

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1.

PENGKAJIAN
(Terlampir)

2.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
penurunan konsentrasi
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
e. Mual berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik
g. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisik buruk
h. PK: Perdarahan
i. Risiko infeksi ditandai dengan penurunan hemoglobin, peningkatan leukosit,
pertahanan tubuh yang tidak adekuat akibat trauma

3.

RENCANA KEPERAWATAN
(Terlampir)

4.

EVALUASI
(Terlampir)

12

DAFTAR PUSTAKA

American Collage of Surgeon Committee on Trauma. (2004). Cedera kepala. Dalam:


Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.
Komisi Trauma IKABI
Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. http://www.biausa.org
(diakses pada 21 November 2014)
Corwin, J. Elizabeth. (2009). Patofisiologi: Buku saku. Jakarta: EGC
Dochterman, Joanne McCloskey & Bulechek, Gloria M. (2004). Nursing intervention
classification (NIC) (4th ed.). St. Louis Missouri: Mosby Elsevier.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. (2005). Cedera kepala. Jakarta:
Deltacitra Grafindo
Herdman, T. Heather. (2012). Diagnosa keperawatan: Definisi dan klasifikasi 20122014 oleh NANDA international. Jakarta: EGC.
Mansjoer, A. (2000). Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapis
Moorhead, Sue, et.al. (2004). Nursing Outcomes Classification (NOC) (4th ed.). St.
Louis Missouri: Mosby Elsevier
Muscari, M.E. (2005). Panduan belajar: Keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika
PERDOSSI cabang Pekanbaru. (2007). Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3
November 2007. Pekanbaru
Price & Wilson. (2005). Konsep klinis proses-proses penyakit (ed. 6, Vol. 2). Jakarta:
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2002). Keperawatan medikal bedah-brunner
& suddarth (ed. 8, Vol. 1). Jakarta: EGC.

13

Anda mungkin juga menyukai