LP Cedera Kepala
LP Cedera Kepala
OLEH:
A A ARI NOVIA SULISTIAWATI
NIM. 1102105008
PENGERTIAN
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanent (PERDOSSI Pekanbaru, 2007).
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
Jadi, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala akibat trauma
yang terjadi secara langsung atau tidak langsung, sehingga dapat memengaruhi
kesadaran dan merusak kemampuan fisik maupun kognitif.
2.
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut 10% meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai
cedera kepala ringan (CKR), 10% mengalami cedera kepala sedang (CKS), dan
10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB) (American College of Surgeon on
Trauma, 2004).
Data di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada
di urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan
jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi
cedera kepala. Data rumah sakit seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta pada tahun 2005 menunukkan kasus cedera kepala mencapai 750
kasus dengan mortalitas sebanyak 23 kasus. Penderita cedera kepala yang dirawat
inap terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan
CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,
sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI Pekanbaru, 2007).
3.
PENYEBAB
Menurut Corwin (2009) cedera kepala dapat disebabkan oleh:
a. Kecelakaan mobil
b. Perkelahian
c. Jatuh
d. Cedera olahraga
e. Cedera benda tumpul
f. Kecelakaan rumah tangga
4.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu efek langsung trauma pada fungsi otak dan efek-efek lanjutan dari
sel-sel otak yang bereaksi terhadap trauma. Kerusakan neurologik langsung
disebabkan oleh suatu benda suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak,
kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras
bergerak dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dengan benturan. Ini disebut juga cedera contrecoup
(Price & Wilson, 2005).
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya untuk mengalami cedera
terberat adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis, bagian posterior
lobus oksipitalis, bagian atas mesenfalon. Neuron atau sel-sel fungsional dalam
otak dipengaruhi oleh suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen serta sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti.
Sebagai akibat cedera, sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk
mengatur volume darah yang beredar sehingga menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak (Price & Wilson, 2005).
Prinsip-prinsip patofisiologi menurut Price & Wilson (2005) adalah:
a. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada cedera kepala, hipoksia atau kerusakan pada otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolik anaerob. Hal ini menyebabkan
timbulnya metabolik asidosis.
b. Pola pernapasan
Cedera kepala yang mengubah tingkat kesadaran biasanya menimbulkan gagal
napas yang mengakibatkan laju mortalitas yang tinggi diantara pasien cedera
kepala.
c. Kerusakan mobilitas fisik
Akibat terjadinya edema dari cedera kepala berat dapat mengalami perubahan
kesadaran, masalah dalam keseimbangan, kehilangan tonus otot, dan otot
spastik. Hemiparese dan hemiplegi sebagai akibat kerusakan pada area motorik
otak.
d. Keseimbangan hidrasi
Hampir semua pasien cedera kepala akan mengalami masalah dalam
mempertahankan status hidrasi yang seimbang. Kondisi ini akan mengurangi
kemampuan tubuh berespon terhadap stres. Dalam keadaan stres fisiologis,
makin banyak antidiuretik (ADH) makin banyak aldosteron diproduksi yang
mengakibatkan retensi cairan dan natrium. Proses ini biasanya membaik dengan
sendirinya dalam satu sampai dua hari, bila diuresis terjadi.
e. Aktivitas menelan
Gangguan area motorik dan sensorik dari hemisfer serebral akan merusak
kemampuan untuk mendeteksi adanya makanan pada sisi mulut dan untuk
memanipulasinya dengan gerakan pipi dan lidah.
f. Kemampuan komunikasi
Pasien dengan cedera kepala juga disertai kerusakan komunikasi yang terjadi
secara tersendiri melainkan akibat dari kombinasi efek-efek disorganisasi dan
kekacauan proses bahasa.
5.
KLASIFIKASI
Menurut
PERDOSSI
Pekanbaru
(2007),
cedera
kepala
bisa
diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi
akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala
serta berdasar morfologi. Klasifikasi cedera kepala, yaitu:
a. Berdasarkan mekanisme:
1) Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
2) Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan
benda tumpul.
b. Berdasarkan beratnya:
1) Ringan (GCS 14-15)
2) Sedang (GCS 9-13)
3) Berat (GCS 3-8)
c. Berdasarkan morfologi
1) Fraktura tengkorak
Kalvaria
Dasar tengkorak
2) Lesi intrakranial
Fokal
Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan
EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks
serebral dan sinus draining. Namun dapat juga berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak. Selain itu kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Intraserebral
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Mayoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam
jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh
darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada
lokasi dan luas perdarahan.
Difusa
Komosio ringan
Komosio klasik
kemungkinan
fraktur
cranium
(Battle
sign,
racoon
eyes,
c. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
6.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala cedera kepala sesuai dengan area atau tempat lesinya menurut Muttaqin
(2008) meliputi:
a. Kesadaran menurun
b. Konvulsi
c. Muntah
d. Takipnea
e. Sakit Kepala
f. Lemah
g. Akumulasi sekret di saluran pernapasan
h. Kejang
7.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan
radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah
mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan
bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem
organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting
untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala (Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan, 2005).
Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih
dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik,
fungsi sensorik, dan refleks refleks (Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan, 2005).
2
1
6
5
4
3
2
1
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Kebersihan
Bentuk simetris kanan kiri, retraksi otot bantu pernapasan,
ronchi di seluruh lapangan paru, batuk produktif, irama
pernapasan, napas dangkal.
Inspirasi dan ekspirasi pernapasan, frekuensi, irama, gerakan
cuping hidung, terdengar suara napas tambahan bentuk
dada, batuk.
Pergerakan asimetris kanan dan kiri, taktil fremitus raba
sama antara kanan dan kiri dinding dada.
Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup
pada batas paru dan hepar.
Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru,
suara ronchi dan weezing.
Kepala
Mata
Mulut
Leher
Palpasi
Perkusi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Rektum
6) Tulang-otot-integumen ( B6 : Bone )
Kemapuan
pergerakan
sendi
Kulit
8.
a. CT Scan kepala
Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila
dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau
sakit kepala hebat (American College of Surgeon Committee on Trauma (2004).
Menurut Fakultas Kedokteran Universitas pelita Harapan (2005), indikasi
pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah:
1) Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
2) Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3) Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4) Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran
5) Sakit kepala yang hebat
6) Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan
otak
7) Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral
b. Angiografi cerebral
Menggambarkan hematoma supra tentoral, intra serebral, konfusio, gambaran
tengkorak dari posterior dan anterior (Muscari, 2005).
c. Rongent kepala tiga posisi
Untuk mengetahui adanya fraktur tulang tengkorak (Muscari, 2005).
9.
10
11. KOMPLIKASI
Menurut Smeltzer & Bare (2002), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
dengan fraktur kranium dapat berupa:
a. Edema serebral dimana terjadi peningkatan TIK karena ketidakmampuan
tengkorak utuh untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh
pembengkakan otak diakibatkan dari trauma.
b. Herniasi otak adalah perubahan posisi ke bawah atau lateral otak melalui atau
terhadap struktur kaku yang terjadi menimbulkan iskemia, infark, kerusakan
otak irreversible dan kematian.
c. Defisit neurologic dan psikologik.
d. Infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia).
e. Infeksi bedah neuron (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, abses otak)
11
PENGKAJIAN
(Terlampir)
2.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
sputum
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan gangguan
penurunan konsentrasi
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
e. Mual berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik
g. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisik buruk
h. PK: Perdarahan
i. Risiko infeksi ditandai dengan penurunan hemoglobin, peningkatan leukosit,
pertahanan tubuh yang tidak adekuat akibat trauma
3.
RENCANA KEPERAWATAN
(Terlampir)
4.
EVALUASI
(Terlampir)
12
DAFTAR PUSTAKA
13