Anda di halaman 1dari 12

contoh makalah perlawanan terhadap kolonialisme Belanda

hay.. hay mau posting lagi nih, kali ini eike mau posting contoh makalah dengan judul
perlawanan rakyat Indonesia terhadap kolonialisme Belanda, mari dilihaat.. cekidooot :D

Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha
esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnya-lah maka kami bisa
menyelesaikan makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah tentang
Perlawanan Terhadap Kolonialisme Belanda, yang menurut kami
dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari
berbagai sejarah tentang cikal bakal Bangsa Indonesia dan bisa
mengetahui perjuangan dari rakyat-nya itu sendiri.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Dengan ini, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa
terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga
dapat memberikan manfaat untuk semua pihak. Amin.
Prabumulih, Oktober 2014
Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ 1
DAFTAR ISI ............................................................................................................. 2
1. Perang Tondano.........................................................................................................3
2. Patimura angkat senjata .............................................................................................5
3. Perang paderi ............................................................................................................8
KESIMPULAN................................................................................................................12

1.Perang Tondano

Latar Belakang Perang Tondano:


Bahwa hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya perang antara orang Minahasa dengan kompani
Belanda, antara lain dipengaruhi oleh sikap antipati seluruh Walak di Minahasa khususnya Walak
Tondano atas kedatangan kolonial Belanda yang dianggap sama dengan kolonial asing
sebelumnya, yakni orang Tasikela (Portugis dan Spanyol) yang telah membunuh beberapa
Tonaas, antara lain Mononimbar dan Rakian dari Tondano dan Tonaas Umboh dari Tomohon,
serta adanya pemerkosaan terhadap perempuan (Wewene) Minahasa. Hal ini menimbulkan kesan
bahwa semua orang kulit putih (kolonial) memiliki perangai yang sama alias kejam. Demikian
juga pada perang ketiga, dipicu oleh tertangkapnya Ukung Pangalila kepala Walak Tondano, dan
Ukung Sumondak kepala Walak Tompaso.

a.

Perang Tondano I
Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun perang tonando di kenal dalam dua tahap.
Perang Tondono I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Pada saat datangnya bangsa barat orang
orang spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondono) Sulawesi Utara. Orang-orang spanyol
disamping berdagang juga menyebarkan agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran
agam kristen di tanah minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan dagang orang minahas
dan spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara keduanya mulai
terganggu dengan kehadiran para pedagang VOC. Waktu itu VOC telah berhasil menanamkan
pengaruhnya di ternate. Bahkan gubernur Ternate bernama simon cos mendapatkan kepercayaan
dari batavia untuk membebaskan minahasa dari pengaruh spanyol. Simon cos kemudian
menempatkan kapalnya di selat lembeh untuk mengawasi pantai timur minahasa. Para pedagang
spanyol dan juga makasar yang bebas berdagang mulai tersungkir karena ulah VOC.
VOC berusaha memaksakan kehendak agar orang-orang minahasa menjual berasnya kepada
VOC. Oleh karena itu VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan
bebas di sulawesi utara. Orang-orang minahasa menentang usaha monopoli tersebut. Tidak ada
pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang minahasa. Untuk melemahkan orangorang minahasa, VOC membendung sungai temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan
menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang minahasa. Orang-orang minahasa
kemudian memindahkan tempat tinggalnya di danau Tondono dengan rumah-rumah apung.
Pasukan VOC kemudian mengepung kekuatan orang-orang Minahasa yang terpusat di
danau Tondono. Simon Cos kemudian memberikan ultimatum yang isinya antara lain :
(1) orang-orang Tondano harus menyerahkan para tokoh pemberintak kepada VOC,
(2) orang-orang Tondano hrus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak sebagai
ganti rugi rusaknya tanaman pdi karena genangan air sungai temberan.

Ternyata rakyat Tondano bergeming dengan ultimatum VOC tersebut. Simo Cos sangat kesal
karena ultimatumnya tidak berhasil. Pasukan VOC akhirnya ditarik mundur ke manado. Setelah
itu rakyat tondano menghadapi masalah dengan hasil pertanian yang menumpuk, tidak ada yang
membeli. Dengan terpaksa mereka kemudian mendekati VOC untuk membeli hasil-hasil
pertaniannya. Dengan demikian terbukalah tanah minahasa oleh VOC. Berakhirlah Perang
Tondano I. Orang-orang Minahasa itu kemudian memindahkan perkampungannya di danau
tondano ke perkampungan baru di daratan yang di beri nama Minawanua (ibu negeri).

b.

Perang Tondano II
Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan
kolonial belanda. Perang ini di latarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jendral Deandels yang
mendapat mandat untuk memerangi Inggris, memerlukan pasukan dalam jumlah besar. Untuk
menambah jumlah pasukan maka direkrut pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih
adalah dari suku-suku yang memiliki kebernian berperang. Beberapa suku dianggap memiliki
keberanian adalah orang-orang Madura, Dayak dan Minahasa. Atas perintah deandels
melalu Kapten Hartingh, Residen Manado Prediger segera mengumpulkan para Ukung.(Ukung
adalah pemimpin dalam suatu wilayah watak atau daerah setingkat distrik). Dari Minahasa di
terget untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan di kirim ke Jawa.
Ternyata orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program deandels untuk meregrut
pemuda-pemuda minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai
meninggalkan rumah. Mereka justru ingin mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Mereka memusatkan aktifitas perjuangannya di Tondano, Minawanoa. Salah seorang pemimpin
berlawanan itu adalah Ukung Lonto ia menegaskan rakyat minahasa harus melawan kolonial
belanda sebagai bentuk penolakan terhadap program pengiriman 2000 pemuda minahasa ke jawa
serta menolak kebijakan klonial yang memaksa agar rakyat menyerahkan beras secara CumaCuma kepada belanda.
Dalam suasana yang semakin kritis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali
mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang minahasa di tondano, minawanua.
Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung sungai temberan. Prediger juga
membentuk 2 pasukan tangguh. Pasukan yang satu disiapkan dari danau tondano dan pasukan
yang lain menyerang minawanua dari darat. Tanggal 23 oktober 1808 pertempuran mulai
berkobar. Pasukan belanda yang berpusat di danau tondano berhasil melakukan serangan dan
merusak pagar bambu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan minawanua,
sehingga menerobos pertahanan orang-orang minahasa di minawanua. Walaupun sudah malam
para pejuang tetap dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari
rumah ke rumah.pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 oktober 1808
pasukan belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus di
lakukan belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan prediger mulai
mengendorkan serangannya.
Tiba-tiba dari perkampungan itu orang-orang tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya
sehingga beberapa korban berjatuhan dari pihak belanda. Pasukan Belanda terpaksa di tarik
mundur. Seiring dengan itu sungai temberan yang di bendung mulai meluap sehingga

mempersulit pasukan belanda sendiri. Dari jarak jauh belanda terus menghujani meriam ke
kampung minawanua, tetapi tentu idak efektif. Begitu juga swrangan yang dari danau tidak
mampu mematahkan semangat jaung orang-orang tondano, Minawanua. Bahkan terpetik berita
kapal Belanda yang paling besar tenggelam di danau. Perang Tondano II berlangsung cukup
lama,bahkan sampai agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makananan mulai
ada kelompok pejuang yang memihak kepada belanda. Namun dengan kekuatan yang ada para
pejuang tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggl 4-5 Agustus 1809 benteng
pertahanan moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan.
Para pejuang itu memilih mati dair pada menyerah.

2.Pattimura angkat senjata

A.

Latar Belakang Perlawanan

Perlawanan Pattimura terjadi di Sapura, yaitu sebuah kota kecil di dekat pulau Ambon. Sebabsebab terjadinya perlawanan :
a) Kembalinya pemerintahan kolonial Belanda di Maluku dari tangan Inggris.
b) Pemerintahan kolonial Belanda memberlakukan kembali penyerahan wajib dan kerja wajib
yang sudah dihapuskan oleh Inggris.
c) Pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan uang kertas sebagai pengganti uang logam
yang sudah berlaku di Maluku, yang menambah kegelisahan rakyat.
d) Belanda mulai menggerakkan tenaga dari kepulauan Maluku untuk menjadi tentara Belanda.

B.
a)
b)
c)
d)

Tokoh-tokoh Perlawanan
Kapiten Pattimura (Thomas Mattulessi)
Rhebok
Thomas Pattiwel
Raja tiow

e)
f)

C.

Lukas Lutamahina
Johanes Mattulessi

Jalannya Perang

Sejak awal bulan Maret 1817 berbagai kelompok Maluku Tengah sudah mulai mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk membicarakan situasi baru akibat adanya rencana-rencana
pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris ke Belanda. Pada pertemuan tanggal 14 Mei 1817 di
Pulau Saparua para pemuda dan penguasa-penguasa desa (raja atau patih dan orang kaya)
memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial do Banten Duurstade yang terletak
di pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiakan ini diteruskan kepada setiap negeri di
pulau itu. Selain itu dalam musyawarah di tempat itu mereka juga memilih Thomas Mattulessi
sebagai pemimpin perang dengan julukan Pattimura.
Nyaris rencana penyerbuan Duurstede buyar karena beberapa golongan pemuda dari desa Porto
tidak sabar. Pada malam hari tanggal 14 Mei 1817, kelompok pemuda ini mendatangi dan
membongkar perahu milik pemerintah yang sedianya akan mengangkut kayu bahan bangunan
dari Porto ke Ambon. Pada malam hari hari itu juga para pemuda mulai berdatangan sekitar
benteng Duurstede dan pagi harinya tanggal 15 mei 1817 tembakan-tembakan mulai dilancarkan.
Tidak lama kemudia Kapiten Pattimura tiba untuk memimpin penyerbuan ke arah Duurstede.
Dua kali penyerbuan dilakukan tanpa hasil. Tembakan-tembakan meriam dari arah benteng tidak
dapat ditandingi para pemuda yang hanya bersenjatakan beberapa bedil, pedang, tombak, dan
lain-lain. Namun karena tembakan-tembakan mesiu itu habis dan akhirnya para serdadu yang
berada di dalam benteng menyerahkan diri. Setiap penguni benteng tersebut termasuk Residen
Van Den Berg beserta keluarganya musnah, kecuali seorang puteranya yang berumur lima tahun.
Jatuhnya Duurstede bagi Belanda merupakan suatu pukulan besar. Sebab itu tidak lama
kemudian mereka menyusun suatu kekuatan untuk merebutnya kembali. Pasukan yang dipimpin
Mayor Beetjes itu tiba di Saparua pada tanggal 20 Mei 1817. Pasukan Beetjes tiba sekitar pukul
11.00 dan mendarat di sebelah barat dari benteng Duurstede.
Sejak armada kapal Beetjes memasuki teluk Saparua, Kapitan Pattimura sudah siap dengan
strategi yang telah disusunnya. Seluruh pasuka telah disusun rapi di sepanjang pantai. Setiap
gerakan armada diikuti oleh pasukan itu dengan cermat. Sekitar 1000 orang yang bersenjatakan
bedil dan sebagian lagi bersenjatakan pedang dan tombak segera dikonsentrasikan di tempat
pendaratan Belanda. Strategi yang diterapkan oleh Pattimura berhasil menghancurkan pasukan
Beetjes pada tanggal 25 Mei 1817. setelah itu strategi selanjutnya dari Pattimura yaitu
melakukan penyerbuan ke arah benteng Zeelandia di Pulau Haruku.
Penyerbuan pertama dilakukan pada tanggal 30 Mei 1817, serangan pasukan Pattimura yang
pertama berhasil digagalkan oleh pihak Belanda. Para pasukan Pattimura tidak berani untuk
mendekati Benteng Belanda, karena tembakan meriam yang dilakukan oleh serdadu Belanda dari
arah Benteng tersebut. Sedianya keesokan harinya akan dilakukan serangan lagi dari pihak
Pattimura, tapi rencana itu tertunda, dikarenakan Belanda berhasil menangkap salah seorang
pasukan, dan disiksa sehingga terpaksa harus menceritakan rencana tersebut.

Tiga hari setelah itu, serangan dilancarkan kembali dari pukul 08.30 sampai sekitar pukul 11.30.
Serangan yang dilakukan beberapa jam ini mendapat balasan dari pihak Belanda yang
menembakkan meriam ke arah pasukan Pattimura sehingga gerombolan pasukan yang dipimpin
Pattimura menjadi buyar dan berserakkan. Setelah satu minggu setelah penyerbuan ke benteng
Zeelandia ini, muncul beberapa pihak yang mencoba untuk melakukan perundingan. Sebuah
bendera di tancapkan di tepi pantai dengan sepucuk surat yang memaklumkan gencatan senjata
24 jam untuk menjajaki usaha-usaha perundingan.
Namun Perundingan yang diprakarsai oleh Groot ternyata gagal, kecurigaan dari pihak Grootlah
yang menyebabkan perundingan ini menjadi gagal. Dengan demikian peperangan dilancarkan
kembali. Armada dan pasukan Groot kini menuju ke Duurstede yang memang sengaja dilepaskan
oleh kapitan Pattimura karena sudah sejak semula mesiu dari meriam-meriamnya telah habis.
Sekalipun pasukan-pasukan Groot berhasil menguasai benteng tersebut, namun di luar temboktemboknya pasukan Pattimura tetap berkuasa.

D. Akhir Perang
Perlawanan yang tidak kunjung reda di Saparua, Haruku dan Ambon dengan bantuan pasukanpasukan Alifuru dari Seram itu berlangsung terus dalamm bulan Agustus sampai November.
Sekalipun persenjataan Pattimura tidak lengkap karena hanya kira-kira 20% saja dari pasukannya
memiliki bedil tua yang biasanya dipakai untuk berburu, sedangkan sebagian besar hanya
memakai parang, tombak, dan perisai. Kendati demikian walau hanya dengan persenjataan yang
seadanya tetapi itu semua didukung oleh strategi yang mempuni sehingga penyerangan dapat
dilakukan secara efektif.
Dalam bulan November 1817, pasukan Belanda mendapatkan bantuan 1500 orang dari kerajaan
ternate dan tidore atas permintaan Gubernur Middelkoop, dan sebuah armada yang lebih kuat
dari jawa yang dipimpin langsung oleh Laksamana Muda A.A Buyskes yang selain menjabat
panglima armada di Hindia belanda juga menjadi Komisaris Jenderal I atau orang pertama di
Batavia.
Dengan kekuatan yang besar, Buyskes mengirimkan sebuah pasukan kecil yang terdiri dari
orang-orang ternate dan tidore untuk memotong jalan melalui hutan dan pegunungan arah ke
Ambon. Pada Desember 1817 Pasukan pimpinan Buyskes berhasil meredakan pertempuran dan
menangkap Kapitan pattimura bersama dengan tiga orang panglimanya, dan mereka dijatuhi
hukuman mati yang dijalankan di Benteng Niuew Victoria di Ambon. beberapa pemimpin yang
lain juga bernasib sama.

3. Perang Paderi

Pengertian Perang Padri


Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di daerah Minangkabau (Sumatra Barat) dan
sekitarnya terutama di kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama
sebelum
berubah
menjadi
peperangan
melawan
penjajahan.
Istilah Padri berasal dari kata Pidari atau Padre, yang berarti ulama yang selalu berpakaian putih.
Para pengikut gerakan padri biasanya memakai jubah putih. Sedangkan kaum adat memakai
pakaian hitam.
Selain itu juga ada yang berpendapat bahwa disebut gerakan Padri karena para pemimpin
gerakan ini adalah orang Padari, yaitu orang-orang yang berasal dari Pedir yang telah naik haji
ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yaitu Pedir.
Adapun tujuan dari gerakan Padri adalah memperbaiki masyarakat Minangkabau dan
mengembalikan mereka agar sesuai dengan ajaran Islam yang murni yang berdasarkan AlQuran dan Hadist. Gerakan ini mendapat sambutan baik di kalangan ulama, tetapi mendapat
pertentangan dari kaum adat. (Mawarti, Djoened PNN, 1984:169).

Sebab Awal Terjadinya Perang Padri


Pada awalnya perang Padri disebabkan pertentangan antara golongan Adat dengan golongan
Padri. Masing-masing berusaha untuk merebut pengaruh di masyarakat. Kaum adat adalah
orang-orang yang masih teguh dalam mempertahankan adat didaerahnya sehingga mereka tidak
berkenan dengan pembaharuan yang dibawa oleh kaum Padri. Agama Islam yang dijalankan
kaum adat sudah tidak murni, tetapi telah terkontaminasi atau telah terkontaminasi dengan
budaya setempat.
Kaum Padri adalah golongan yang berusaha menjalankan Agama Islam secara murni sesuai
dengan Al-Quran dan Hadist. Setealah kaum Adat mengalami kekalahan, mereka meminta
bantuan kepada Belanda yang akhirya konflik ini berkembang menjadi konflik antara kaum Padri
dengan Belanda.

Periodesasi Gerakan Padri


Secara umum perang Padri dibagi dalam dua periode yaitu :
A. Periode 1803 1821 (Perang antara Kaum Padri Melawan kaum Adat)
1. Sebab terjadinya Perang
Pada tahun 1803, Minangkabau kedatangan tiga orang yang telah menunaikan ibadah haji di
Mekah, yaitu: H. Miskin dari pantai Sikat, H. Sumanik dari Delapan Kota, dan H. Piabang dari
Tanah Datar. Di Saudi Arabia mereka memperoleh pengaruh gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang
bermaksud memurnikan agama Islam dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik. Mereka yang
hendak menyebarkan aliran Wahabi di Minangkabau menamakan dirinya golongan Paderi
(Kaum Pidari).

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki kaum
Padri terhadap kaum Adat karena kebiasaan-kebiasaan buruk yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakatdi kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan buruk yang
dimaksud sepertiperjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau,
sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan
kewajiban ritual formal agama Islam. kebiasaan ini semakin meluas dan mempengaruhi kaum
mudanya.
Ternyata aliran wahabi ini ditentang oleh Kaum Adat (ajaran Islam yang bercampur dengan adat
setempat) yang terdiri dari pemimpin-pemimpin adat dan golongan bangsawan.
Pertentangan antara kedua belah pihak itu mula-mula akan diselesaikan secara damai, tetapi
tidak terdapat persesuaian pendapat. Akhirnya Tuanku Nan Renceh menganjurkan penyelesaian
secara kekerasan sehingga terjadilah perang saudara yang bercorak keagamaan dengan nama
Perang Padri (1803 1821).
2. Jalanya Perang
Perang saudara ini mula-mula berlangsung di Kotalawas. Selanjutnya menjalar ke daerah-daerah
lain. Pada mulanya kaum Paderi dipimpin Datuk Bandaro melawan kaum Adat di bawah
pimpinan Datuk Sati. Karena Datuk Bandaro meninggal karean terkena racun, selanjutnya
perjuangan kaum Padri dilanjutkan oleh Muhammad Syahab atau Pelo (Pendito) Syarif yang
kemudian dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol karena berkedudukan di Bonjol. Tuanku
Imam merupakan anak dari Tuanku Rajanuddin dari Kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo,
daerah Lembah Alahan Pajang.
Dalam perang itu, kaum Padri mendapat kemenangan di mana-mana. Sejak tahun 18815
kedudukan kaum Adat makin terdesakkarena keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah
Datar, sehingga kaum Adat (penghulu) dan keluarga kerajaan yang masih hidup meminta
bantuan kepada Inggris (di bawah Raffles yang saat itu masih berkuasa di Sumatera Barat).
Karena Inggris segera menyerahkan Sumatera Barat kepada Belanda, maka kaum Adat meminta
bantuan kepada Belanda, dengan janji kaum Adat akan menyerahkan kedaulatan seluruh
Minangkabau (10 Februari 1821). Permintaan itu sangat menggembirakan Belanda yang
memang sudah lama mencari kesempatan untuk meluaskan kekuasaannya ke daerah tersebut.
3. Pemimipin yang terlibat
Kaum Pidari dipimpin oleh Datuk Bandaro, Datuk Malim Basa,Tuanku Imam Bonjol Tuanku
Pasaman, Tuanku Nan Renceh, dan Tuanku Nan Cerdik.
Kaum Adat dipimpin oleh Datuk Sati.
B. Periode 1821 1838 (Perang antara Kaum Padri Melawan Belanda)
Sejak disetujuinya perjanjian antar kaum adat dengan Belanda mengenai penyerahan kerajaan
Minangkabau kepada Belanda pada tanggal 10 Februari 1821, hal ini menjadi tanda dimulainya
keikutsertaan
Belanda
dalam
melawan
kaum
Padri.
Dalam perang antara kaum Padri melawan Belanda, jalanya perang dibagi menjadi tiga periode:
1. Periode I (Tahun 1821 1825)
Periode pertama ini ditandai dengan meletusnya perlawanan di seluruh daerah Minangkabau. Di
bawah pimpinan Tuanku Pasaman, kaum Paderi menggempur pos-pos Belanda yang ada di
Semawang, Sulit Air, Sipinan, dan tempat-tempat lain. Pertempuran menimbulkan banyak
korban di kedua belah pihak. Tuanku Pasaman, kemudian mengundurkan diri ke daerah Lintau,
sebaliknya Belanda yang telah berhasil menguasai lembah Tanah Datar, mendirikan benteng
pertahanan di Batusangkar ( Fort Van den Capellen) dan Benteng Fort de Kock di Bukittinggi.

Ternyata Belanda hanya dapat bertahan di benteng-benteng itu saja. Daerah luar benteng masih
tetap dikuasai oleh kaum Pidari. Belanda mengalami kekalahan di mana-mana, bahkan pernah
mengalami kekalahan total di Muara Palam dan di Sulit Air.
Untuk itu, Belanda mulai mendekati kaum Padri ntuk melakukan perdamaian dan pada tanggal
22 Januari 1824 Belanda berhasil mengadakan perdamaian dengan kaum Padri di Masang dan di
daerah VI Kota, isinya: kedua belah pihak akan mentaati batasnya masing-masing.
Adanyaperundingan ini sebenaranya hanya menguntungkan pihak Belanda untk menunda waktu
guna memperkuat diri.
Setelah berhasil memperkuat pertahannanya, Belanda tidak mau mentaati perjanjian dan dua
bulan kemudian Belanda meluaskan daerahnya.
2. Periode II (Tahun 1825 1850)
Pada periode ini ditandai dengan meredanya pertempuran. Kaum Padri perlu menyusun
kekuatan, sedangkan pihak Belanda dalam keadaan sulit, sebab baru memusatkan perhatiannya
dan pengeriman pasukan untuk menghadapi perlawanan Diponegoro di Jawa Tengah.
Belanda mencari akal agar dapat berdamai dengan kaum Padri. Dengan perantaraan seorang
bangsa Arab yang bernama Said Salima Ijafrid, Belanda berhasil mengadakan perdamaian
dengan kaum Padri tanggal 15 November 1825 di Padang, yang isinya:
Kedua belah pihak tidak akan saling serang menyerang.
Kedua belah pihak saling melindungi orang-orang yang sedang pulang kembali dari
pengungsian.
Kedua belah pihak akan saling orang-orang yang sedang dalam perjalanan dan berdagang.
Belanda akan mengakui kekuasaan Tuanku-Tuanku di Lintau, Limapuluhkota, Telawas dan
Agama.
3. Periode III (Tahun 1830-1838)
Periode ketiga ini ditandai dengan perlawanan di kedua belah pihak makin menghebat. Perang
Diponegoro di Jawa Tengah telah dapat diselesaikan Belanda dengan tipu muslihatnya.
Perhatiannya lalu dipusatkan lagi ke Minangkabau. Maka berkobarlah Perang Padri periode
ketiga.
Belanda telah mengingkari Perjanjian Padang. Pertempuran mulai berkobar di Naras daerah
Pariaman. Naras yang dipertahankan oleh Tuanku Nan Cerdik diserang oleh Belanda sampai dua
kali tetapi tidak berhasil. Setelah Belanda menggunakan senjata yang lebih lengkap di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Elout yang dibantu Mayor Michiels, Naras dapat direbut oleh Belanda.
Tuanku Nan Cerdik menyingkir ke Bonjol, selanjutnya daerah-daerah kaum Pidari dapat direbut
oleh Belanda satu demi satu, sehingga pada tahun 1832 Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda.
Pada tahun 1832, Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan Belanda. Akan tetapi ketenteraman itu
tidak dapat berlangsung lama, karena rakyat diharuskan:
Membayar cukai pasar dan cukai mengadu ayam.
Kerja rodi untuk kepentingan Belanda.
Dengan hal-hal tersebut di atas, sadarlah kaum Adat dan kaum Pidari bahwa sebenarnya mereka
itu hanya diperalat oleh Belanda. Perasaan nasionalisme mulai timbul dan menjiwai mereka
masing-masing. Selanjutnya terjadilah perang nasional melawan Belanda. Pada tahun 1833
seluruh rakyat Sumatera Barat serentak menghalau Belanda. Bonjol dapat direbut kembali dan

semua pasukan Belanda di dalamnya dibinasakan. Karena itu Belanda mulai mempergunakan
siasat adu domba (devide et empera).
Dikirimkanlah Sentot beserta pasukan-pasukannya yang menyerah kepada Belanda waktu
Perang Diponegoro ke Sumatera Barat untuk berperang melawan orang-orang sebangsanya
sendiri. Tetapi setelah Belanda mengetahui bahwa Sentot mengadakan hubungan dengan kaum
Pidari secara rahasia, Belanda menjadi curiga. Pasukan Sentot ditarik kembali ke Batavia dan
Sentot diasingkan ke Bangkahulu.
Untuk mengakhiri Perang Padri itu, Belanda berusaha menarik hati para raja di Minangkabau
dengan cara mengeluarkan Plakat Panjang (1833) yang isinya:
1. Penduduk dibebaskan dari pembayaran pajak berat dan pekerjaan rodi.
2. Perdagangan hanya dilakukan dengan Belanda saja.
3. Kepala daerah boleh mengatur pemerintahan sendiri, tetapi harus menyediakan sejumlah
orang untuk menahan musuh dari dalam atau dari luar negeri.
4. Para pekerja diharuskan menandatangani peraturan itu. Mereka yang melanggar peraturan
dapat dikenakan sanksi.

Akhir Perang Padri


Di tahun 1835 kaum Padri di Bonjol mulai mengalami kemunduran, hal tersebut disebabkan
ditutupnya jalan-jalan penghubung dengan daerah lain oleh paskan Belanda. Pada tanggal 11-16
Juni 1835 sayap kanan pasukan Belanda berhasil menutup jalan yang menghubungkan benteng
Bonjol dengan daerah barat dan menembaki benteng Bonjol.
Setelah daerah-daerah sekitar Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda,. Membaca situasi yang gawat
ini, pada tanggal 10 Agustus 1837, Tuanku Imam Bonjol menyatakan bersedia untuk berdamai.
Belanda mengharapkan bahwa perdamaian ini disertai dengan penyerahan. Tetapi Belanda
menduga bahwa ini merupakan siasat dari Tuanku Imam Bonjol guna mengulur waktu, agar
dapat mengatur pertahanan lebih baik, yaitu membuat lubang yang menghubungkan pertahanan
dalam benteng dengan luar benteng, di samping untuk mengetahui kekuatan musuh di luar
benteng.
Kegagalan perundingan ini menyebabkan berkobarnya kembali pertempuran pada tanggal 12
Agustus 1837. Belanda memerlukan waktu dua bulan untuk dapat menduduki benteng Bonjol,
yang didahului dengan pertempuran yang sengit. Meriam-meriam Benteng Bonjol tidak banyak
menolong, karena musuh berada dalam jarak dekat. Perkelahian satu lawan satu tidak dapat
dihindarkan lagi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Pasukan Padri terdesak dan benteng
Bonjol
dapat
dimasuki
oleh
pasukan
Belanda.
Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol beserta sisa pasukannya menyerah kepada
Belanda. Tuanku Imamm Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Pada tanggal 19
Januari 1839 dibuang ke Ambon, lalu pada tahun 1841 dipindahkan ke Manado hingga
meninggal dunia pada tanggal 6 November 1864.
Walaupun Tuanku Imam Bonjol telah menyerah tidak berarti perlawanan kaum Padri telah dapat
dipadamkan. Perlawanan masih terus berlangsung dipimpin oleh Tuanku Tambusi, namun
Tuanku Tambusi berhasil dikalahkan oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober 1838.
Dengan demikian, secara umum perlawanan kaum Padri dapat dipatahkan pada akhir tahun
1838. Maka kekuasaan Belanda mulai sejak itu ternanam di Sumatra Barat.

Kesimpulan :
Telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di Indonesia satu persatu jatuh ke tangan
Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat Indonesia di berbagai daerah berusaha terus untuk
bertahan. Bila semua raja-raja di Indonesia memiliki armada-armada niaga yang besar, maka
setelah kerajaannya ditundukkan oleh Belanda, maka armada-armadanya segera ditumpas oleh
Belanda. Di samping itu, peraturan Belanda yang monopolitis mengakibatkan terdesaknya ke
sudut kebebasan perdagangan rakyat Indonesia. Karena berjuang untuk kelangsungan hidupnya,
rakyat yang hidup di pantai-pantai selalu berusaha menerobos monopoli Belanda. Tindakan
seperti itu oleh Belanda disebut perdagangan gelap atau penyelundup. Namun demikian,
tindakan-tindakan rakyat Indonesia tersebut jelas merupakan bentuk perlawanan yang tak hentihentinya terhadap imperialisme Barat.

Anda mungkin juga menyukai