manusia yang lain. Jadi bahasa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan manusia.
Dengan adanya bahasa kita kita dapat berhubungan dengan masyarakat lain yang
akhirnya melahirkan komunikasi dalam masyarakat. Bahasa Indonesia mempunyai sebuah aturan
yang baku dalam pengguanaanya, namun dalam prakteknya sering terjadi penyimpangan dari
aturan yang baku tersebut. Kata-kata yang menyimpang disebut kata non baku.
Hal ini terjadi salah satu penyebabnya adalah faktor lingkungan. Faktor ini mengakibabkan
daerah yang satu berdialek berbeda dengan dialek didaerah yang lain, walaupun bahasa yang
digunakannya terhadap bahasa Indonesia.
Saat kita mempergunakan bahasa Indonesia perlu diperhatikan dan
kesempatan. Misalnya kapan kita mempunyai ragam bahasa baku dipakai apabila
pada situasi resmi, ilmiah. Tetapai ragam bahasa non baku dipakai pada situasi
santai dengan keluarga, teman, dan di pasar, tulisan pribadi, buku harian.
Ragam bahasa non baku sama dengan bahasa tutur, yaitu bahasa yang
dipakai dalam pergaulan sehari-hari terutama dalam percakapan.
Bahasa tutur mempunyai sifat yang khas yaitu:
a. Bentuk kalimatnya sederhana, singkat, kurang lengkap, tidak banyak
menggunakan kata penghubung.
b. Menggunakan kata-kata yang biasa dan lazim dipakai sehari-hari. Contoh:
bilang, bikin, pergi, biarin.
Didalam bahasa tutur, lagu kalimat memegang peranan penting, tanpa
bantuan lagu kalimat sering orang mengalami kesukaran dalam memahami
bahasa tutur.
Menurut pidato yang disampaikan oleh Mohamad Jamin pada kongres pemuda Indonesia 1 ialah
masa depan kebudayaan Indonesia akan dinyatakan dalam bahasa Melayu. Bahasa itulah yang
menjadi indentitas kebangsaan Indonesia sebagaimana dituangkan secara eksplisit dua tahun
kemudian pada 28 Oktober 1928.
Menurut bayangan Jamin, bahasa Indonesia dan budaya Indonesia akan sampai pada kepaduan
sebagai satu identitas bangsa, sebagai gaya hidup warga. Namun, hari-hari terakhir ini kita
ditantang oleh kenyataan yang berbeda. Pembakuan bahasa Indonesia dalam undang-undang
mengarah pada pembakuan dan berbahasa Indonesia dalam konteks praksis mengarah pada
pencarian identitas baru atau pencarian identitas lama.
Bahasa Indonesia baku selama ini hanya digunakan dalam konteks yang tertentu dan sangat
khusus. Bahasa baku telah menjadi bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari warga Indonesia.
Contohnya saja dlam waktu 24 jam siaran di televisi, bahasa baku hanya tampak dan terdengar
hanya dalam siaran berita yang berdurasi sekitar 90 menit per hari. Selebihnya, kita tidak
menemukan bahasa baku dalam komunikasi periklanan, pemilihan nama acara televisi, dan
praktik berbahasa di dalam siaran itu sendiri. Alasannya beragam, bahasa baku tidak bernilai
jual, tidak gaul, tidak mengangkat gengsi, dan tidak mampu meraih penghayatan pembaca.
Sangat miris memang, tetapi inilah yang tengah terjadi akhir-akhir ini. Seharusnya kita sebagai
warga negara Indonesia bangga memiliki bahasa Indonesia.
Bahasa baku ialah satu jenis bahasa yang menggambarkan keseragaman dalam bentuk dan fungsi
bahasa, menurut ahli linguistik Einar Haugen. Ia dikatakan sebagai loghat yang paling betul
bagi sesuatu bahasa. Keseragaman dalam bentuk bererti bahawa bahasa baku sudah
dikodifikasikan, baik dari segi ejaan, peristilahan, mahupun tatabahasa, walaupun kodifikasi
bahasa itu tidaklah semestinya merupakan penyeragaman kod yang mutlak. Misalnya, dalam
tatabahasa sudah ada rumus morfologi Melayu yang menetapkan bahawa konsonan k pada
sesuatu kata dasar digugurkan apabila diberi awalan meN; umpamanya kasih menjadi mengasihi,
dan ketat menjadi mengetatkan. Tetapi dengan masuknya kata asing yang mengandungi gugus
konsonan pada awal kata, rumus tersebut diberi rumus tambahan, iaitu untuk kes tersebut,
konsonan k tidak digugurkan apabila diberi awalan meNG; umpamanya kritik menjadi
mengkritik.
Dari segi fungsi, bahasa baku dapat menjadi unsur penyatu, unsur pemisah dan pemberi prestiji
karena:
* Unsur penyatu: digunakan oleh orang-orang daripada pelbagai daerah loghat;
* Unsur pemisah: memisahkan bentuk bahasa baku itu daripada loghat-loghat lain dalam bahasa
itu; dan
* Pemberi prestij: digunakan oleh segolongan orang dalam suasana tertentu, biasanya dalam
urusan rasmi; umpamanya laporan, surat, surat pekeliling, borang, radio, televisyen, dan
sebagainya.
Walau bagaimanapun, ketiga-tiga fungsi ini dianggap oleh Paul Garvin sebagai fungsi
perlambangan.
Dalam konteks pentadbiran dan pengurusan, fungsi yang harus ditekankan ialah fungsi objektif,
yaitu bahasa baku sebagai rangka rujukan untuk menentukan salah-betulnya penggunaan bahasa.
Jika fungsi objektif ini tidak ditegaskan, niscaya bahasa yang digunakan dalam pentadbiran dan
pengurusan akan berbeda-beda bentuknya. Apabila hal ini terjadi, maka kecekapan pentadbiran
dan pengurusan akan tergugat.
CIRI-CIRI BAHASA BAKU
Yang dimaksud dengan bahasa baku adalah salah satu ragam bahasa yang dijadikan pokok, yang
diajukan dasar ukuran atau yang dijadikan standar.
Ragam bahasa ini lazim digunakan dalam:
1. Komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi, surat menyurat dinas,
pengumuman-pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi,perundangundangan,penamaan dan peristilahan resmi, dan sebagainya.
2. Wacana teknis seperti dalam laporan resmi, karang ilmiah, buku pelajaran, dan
sebagainya.
3. Pembicaraan didepan umum, seperti dalam ceramah, kuliah, pidato dan
sebagainya.
4. Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya.
Pemakaian (1) dan (2) didukung oleh bahasa baku tertulis, sedangkan
pemakaian (3) dan (4) didukung oleh ragam bahasa lisan.