Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia.
Menurut WHO, negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin menggunakan obat
herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang diterima. Bahkan di Afrika,
sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer
(WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal
di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi
penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk
penyakit tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi
mengenai obat herbal di seluruh dunia (Sukandar, 2006). WHO merekomendasi
penggunaan obat tradisional dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat,
pencegahan, dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit
degeneratif, dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan
keamanan dan khasiat dari obat herbal (WHO, 2003).
Kebijaksanaan Obat Nasional (1983) menyatakan bahwa penyediaan obat
merupakan salah satu unsur yang penting dalam upaya pembangunan di bidang
kesehatan. Obat tradisional yang terbukti berkhasiat dikembangkan dan digunakan
dalam upaya kesehatan. Dalam rangka memacu perkembangan obat tradisional
tersebut, pemerintah menetapkan bahwa fitofarmaka dapat digunakan dalam
sistem pengobatan formal bersama-sama dengan obat kimia. Untuk mencapai hal

tersebut perlu dilakukan standardisasi guna menjamin mutu produk yang


dihasilkan (Ivan, 2002 cit Arini, 2004).
Standardisasi dalam kefarmasian adalah serangkaian parameter, prosedur
dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma
mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi,
dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk
kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu bahan baku berupa simplisia maupun
ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum (non spesifik) dan parameter
standar khusus (spesifik). Pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan
pengawasan serta melindungi konsumen untuk tegaknya trilogi mutu-keamananmanfaat. Pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk
akhir (obat atau produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan
dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu.
Salah satu tanaman yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional di
dalam masyarakat adalah Ficus septica (Burm.f) yang dikenal dengan nama awarawar. Tanaman awar-awar termasuk suku Moraceae. Secara empiris tanaman ini
berkhasiat untuk mengatasi infeksi kulit, radang usus buntu, bisul, gigitan ular
berbisa dan sesak nafas (Sekti et al, 2008). Penelitian tentang aktivitas
farmakologi tanaman awar-awar juga banyak dilaporkan, antara lain sebagai obat
anti-kanker yang poten. Sudah banyak penelitian saat ini melihat efek sitotoksik
terhadap sel kanker dan sebagai imunomodulator.
Ekstrak etanolik daun awar-awar terbukti memberikan efek sitotoksik
terhadap sel kanker payudara T47D dengan IC50 sebesar 13 g/ml (Nurcahya,

2007) dan dapat menghambat proliferasinya (Mubarok et al., 2008). Uji sitotoksik
juga telah diujikan pada sel kanker payudara MCF-7 dan terbukti potensial
dengan IC50 sebesar 6 g/ml (Sekti et al., 2008). Ini mengindikasikan bahwa
ekstrak tanaman tersebut bersifat poten terhadap sel kanker payudara baik sel
MCF-7 dan T47D. Di samping itu, ekstrak etanolik awar-awar juga menunjukkan
efek imunomodulator pada tikus yang dipejani doxorubicin (Setyarini et al.,
2009). Pada penelitian Nugroho et al (2011 & 2012) telah dilakukan fraksinasi
terhadap ekstrak etanolik daun awar-awar dan dilakukan uji aktivitas antikanker
(sitotoksik).

Dengan

menggunakan

metode

bioassay-guided

fractination,

ditemukan fraksi aktif yaitu fraksi larut etil asetat dan menunjukkan
penghambatan pertumbuhan sel kanker payudara (sel T47D) yang poten.
Lebih jauh dilaporkan, bahwa yang bertanggungjawab sebagai agen antikanker adalah adanya senyawa alkaloid golongan fenantroindolisidin. Alkaloid
fenantroindolisidin dalam daun awar-awar memiliki efek sitotoksik terhadap sel
kanker. Aktivitas sitotoksik komponen fenantroindolisidin menunjukkan nilai
poten yang tinggi pada cell lines carcinoma KB-VI (multidrugs resistance cell)
dan KB-3-1 (sensitive cell). Salah satu komponen fenantroindolisidin berupa 6-Odesmethylantofine dari Tylophora tanakae mempunyai IC50 7 3 nM untuk sel
KB-3-1 dan IC50 10 4 nM untuk sel KB-VI (Staerk et al., 2002). Batang awarawar yang terbukti mengandung alkaloid fenantroindolisin mempunyai aktivitas
sitotoksik terhadap sel kanker nasofaring HONE-1 (human nasopharyngeal
carcinoma) dan sel kanker lambung HUGC (human gastric cancer) (Damu et al.,
2005). Penelitian Yang et al. (2005) menyebutkan daun tanaman ini memiliki efek

anti inflamasi melalui penghambatan inducible nitic oxide synthase (iNOS) dan
enzim siklooksigenase-2 (COX-2).
Meskipun telah dilaporkan berbagai aktivitas senyawa yang terkandung
dalam tanaman awar-awar, tetapi belum dilakukan standardisasi yang menjamin
mutu penggunaan tanaman ini. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam
rangka standardisasi simplisia daun awar-awar sebagai bahan baku obat herbal,
sehingga dapat digunakan sebagai pedoman pengawasan mutu simplisia daun
awar-awar sebagai bahan baku utama. Sampel daun awar-awar diambil dari tiga
lokasi yang berbeda guna menentukan rentang dari berbagai nilai parameter
standar baik parameter spesifik maupun non spesifik. Data yang diperoleh
diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan obat tradisional dari bahan
baku daun awar-awar. Dengan demikian penggunaan daun awar-awar sebagai
bahan baku obat tradisional dapat lebih diterima terutama pada pengobatan
modern.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berapa rentang nilai parameter spesifik simplisia daun awar-awar?
2. Berapa rentang nilai parameter non spesifik simplisia daun awar-awar?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujun untuk melakukan standardisasi terhadap simplisia
daun awar-awar yang digunakan sebagai bahan baku obat tradisional sehingga
didapatkan data nilai parameter standardisasi simplisia daun awar-awar, baik
parameter spesifik maupun non spesifik.

D. Faedah yang Diharapkan


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang parameter
standar simplisia daun awar-awar yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional, sehingga dapat dikembangkan lebih jauh menjadi bahan baku obat
herbal terstandar (OHT) atau fitofarmaka.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Awar-awar (Ficus septica Burm.f)

Gambar 1. Tanaman awar-awar (Ficus septica)

a. Taksonomi
Menurut ilmu tumbuh-tumbuhan awar-awar termasuk dalam sistematika
sebagai berikut (Van Steenis, 1975):
1) Divisi

: Spermatophyta

2) Sub-divisi

: Angiospermae

3) Kelas

: Dicotyledonae

4) Bangsa

: Urticales

5) Suku

: Moraceae

6) Marga

: Ficus

7) Jenis

: Ficus septica Burm.f

8) Sinonim

: Ficus hauili Blanco, Ficus casearia F. v. Mueller ex


Benth, Ficus kaukauensis Hayata.

b. Nama daerah
Ficus septica dikenal dengan nama Kiciyat (Sunda), Awar-awar (Jawa
Tengah, Belitung), Barabar (Madura), Sirih popar (Ambon), Bei, Loloyan
(Minahasa); Tobotobo (Makasar); Dausalo (Bugis); Bobulutu (Halmahera Utara);
Tagalolo (Ternate) (Hutapea, 1991).
c. Morfologi
Pohon atau semak tinggi, tegak 1-5 meter. Batang pokok bengkokbengkok, lunak, ranting bulat silindris, berongga, gundul, bergetah bening. Daun
penumpu tunggal, besar, sangat runcing, daun tunggal, bertangkai, duduk daun
berseling atau berhadapan, bertangkai 2,53 cm. Helaian berbentuk bulat telur atau
elips, dengan pangkal membulat, ujung menyempit cukup tumpul, tepi rata, 9-30
x 9-16 cm, dari atas hijau tua mengkilat, dengan banyak bintik-bintik yang pucat,
dari bawah hijau muda, sisi kiri kanan tulang daun tengah dengan 6-12 tulang
daun samping; kedua belah sisi tulang daun menyolok karena warnanya yang
pucat. Bunga majemuk susunan periuk berpasangan, bertangkai pendek, pada
pangkalnya dengan 3 daun pelindung, hijau muda atau hijau abu-abu, diameter
lebih kurang 1,5 cm, pada beberapa tanaman ada bunga jantan dan bunga gal,
pada yang lain bunga betina. Buah tipe periuk, berdaging , hijau-hijau abu-abu,
diameter 1,5-2 cm. Waktu berbunga Januari-Desember. Tanaman ini banyak
ditemukan di Jawa dan Madura; tumbuh pada daerah dengan ketinggian 1200 m

di atas permukaan laut, banyak ditemukan di tepi jalan, semak belukar dan hutan
terbuka (Van Steenis, 1975).
d. Kandungan kimia

(1)

(2)

(3)

(5)

(4)

Gambar 2. Contoh beberapa struktur kimia senyawa kandungan Ficus septica. Kandungan
alkaloid, Tylophorine (1), Tylocrebine (2), kandungan flavonoid, kaempferitrin (3), genistin
(4), kumarin (5) (Anonim, 2010)

Daun

awar-awar

mengandung

senyawa

flavonoid

genistin

dan

kaempferitrin, kumarin, senyawa fenolik, pirimidin dan alkaloid antofin,


10S,13aR-antofin N-oxide, dehidrotylophorin, ficuseptin A, tylophorin, 2Demetoksitylophorin, 14-Hidroksiisotylopcrebin N-oxide, saponin triterpenoid,
sterol (Wu et al, 2002 cit Lanskey et al, 2008, Yang et al, 2005, Damu et al,
2005). Akar mengandung sterol dan polifenol (Hutapea, 1991). Alkaloid yang
terkandung pada batang antara lain adalah fenantroindolisidin (ficuseptin B,

ficuseptin C, ficuseptin D, 10R,13aR-tylophorin N-oxide, 10R,13aR-tylocrebrin Noxide, 10S,13aR-tylocrebrin N-oxide, 10S,13aR-isotylocrebrin N-oxide, dan
10S,13aS-isotylocrebrin N-oxide (Damu et al, 2005). Daun dan akar mengndung
stigmasterol

dan

-sitosterol.

Daun

dan

batang

mengandung

alkaloid

isotylocrebrin dan tylocrebrin (Wu et al, 2002 cit Lanskey et al, 2008).
e. Khasiat dan kegunaan
Di dalam pengobatan tradisional, awar-awar sering digunakan untuk
berbagai penyakit ringan di masyarakat. Daun digunakan untuk obat penyakit
kulit, radang usus buntu, mengatasi bisul, gigitan ular berbisa, dan sesak napas.
Akar dapat digunakan untuk penawar racun ikan dan penanggulangan asma.
(Sekti et al, 2008)
Secara tradisional perasan air dari akar awar-awar dan adas pulowaras
dapat digunakan untuk mengobati keracunan ikan, gadung (Dioscorea hispida
dennst), dan kepiting. Jika ditumbuk dengan segenggam akar alang-alang dan
airnya diperas merupakan obat penyebab muntah yang sangat manjur. Untuk obat
bisul dipakai 5 gram daun segar awar-awar, ditumbuk sampai lumat, kemudian
ditempelkan pada bisul. Getah juga dapat dimanfaatkan untuk mengatasi bengkakbengkak dan kepala pusing, sedangkan pemanfaatan buah dapat digunakan untuk
pencahar (Sekti et al, 2008).
2. Obat tradisional
Obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,


pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Anonim,
2009).
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 mendefinisikan obat tradisional
adalah bahan atau ramuan berupa bahan tanaman, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara
turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat
tradisional baik berupa jamu maupun tanaman obat keluarga masih banyak
digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Bahkan
dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan semakin meningkat,
terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) (Sinaga, 2009).
Obat tradisional awalnya digunakan berdasarkan warisan turun temurun
dari nenek moyang secara konvensional. Pemakaiannya pun berdasarkan
pengalaman dan kepercayaan secara empiris di kalangan masyarakat. Dalam
perkembangannya obat tradisional telah mulai diteliti secara ilmiah guna
membuktikan khasiatnya melalui uji praklinik dan uji klinik. Namun kedokteran
modern sekarang ini masih terasa kuat peranannya dalam menempatkan obat
tradisional sebagai pendamping obat modern.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI: 4-6), menyebutkan obat
tradisional dapat dikelompokkan enjadi 3 jenis, yaitu:
a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang
berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu
disajikan dalam bentuk serbuk seduhan, pil atau cairan, mengandung dari

10

berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-10 macam, bahkan bisa
lebih. Jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar mutu, tetapi
tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, cukup dengan bukti
empiris. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu sediaan jamu adalah:
aman, klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi
persyaratan mutu.
b. Obat herbal terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) merupakan
obat tradisional yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan
alam, baik tanaman obat, binatang, maupun mineral. Proses pembuatan obat
herbal terstandar membutuhkan peralatan yang tidak sederhana dan lebih
mahal dari jamu. Pembuktian ilmiah merupakan penunjang obat herbal
berstandar berupa penelitian praklinis yang meliputi standardisasi
kandungan senyawa berkhasiat dalam bahan penyusun, standardisasi
pembuatan ekstrak yang higienis serta uji toksisitas maupun kronis.
c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional
yang dapat disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatan fitofarmaka
telah terstandardisasi yang didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis
pada manusia. Pembuatannya diperlukan peralatan berteknologi modern,
tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit.
Menurut Suharmiati dan Handayani (2006: 2-3) dikutip oleh Sinaga
(2009), obat tradisional industri diproduksi dalam bentuk sediaan modern berupa
herbal terstandar atau fitofarmaka seperti tablet dan kapsul, juga bentuk sediaan

11

lebih sederhana seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup. Bentuk sediaan obat
tradisional seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup harus menjamin mutu yang sesuai
dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
3. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain berupa bahan yang
telah dikeringkan (Anonim, 1995).
Dalam Materia Medika Indonesia simplisia dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu: simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan (mineral).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau
eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari
tanaman atau isi sel yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau
senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan
belum berupa senyawa kimia murni (Anonim, 1995).
Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan dari tanaman
liar (wild crop) memiliki kandungan kimia yang tidak terjamin selalu konstan
karena adanya variabel bibit, temperatur tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara)
panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Variasi kandungan senyawa
dalam produk hasil panen tanaman obat disebabkan oleh beberapa aspek sebagai
berikut (Anonim, 2000) :
a. Genetik (bibit)
b. Lingkungan (tempat tumbuh, iklim)
c. Rekayasa agronomi (fertilizer, perlakuan selama masa tumbuh)

12

d. Panen (waktu dan pasca panen)


Besarnya variasi senyawa kandungan meliputi baik jenis maupun
kadarnya, sehingga timbul jenis (spesies) lain yang disebut kultivar (Anonim,
2000). Proses pemanenan dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat
menentukan mutu simplisia, yaitu komposisi senyawa kandungan, kontaminasi
dan stabilitas bahan (Anonim, 2000).
4. Ekstraksi
Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau fisika
suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman obat
(Anonim, 2000). Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan
menjadi dua cara yaitu: cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi
dua yaitu: maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi dalam empat jenis
yaitu: refluks, soxhlet, digesti, infusa, dan dekokta (Anonim, 2000).
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (suhu kamar) (Anonim, 2000). Maserasi berasal dari bahasa latin
macerase yang berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara
ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan
kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan,
ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai
waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian
dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan telah tercapai, maka proses difusi
segera berakhir (Voigt, 1994).

13

Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulangulang, upaya pengocokan ini dapat menjamin keseimbangan konsentrasi bahan
ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama
maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada
suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar
perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil
yang diperoleh (Voigt, 1994).
Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan
yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan
seterusnya (Anonim, 2000).
5. Standardisasi
Standardisasi adalah serangkaian proses yang melibatkan berbagai metode
analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan analisis fisik dan
mikrobiologi berdasarkan kriteria umum keamanan (toksikologi) terhadap suatu
ekstrak alam (Saifudin et al., 2011).
Standardisasi secara normatif ditujukan untuk memberikan efikasi yang
terukur secara farmakologis dan menjamin keamanan konsumen. Standardisasi
obat herbal meliputi dua aspek:
a. Aspek parameter spesifik: berfokus pada senyawa atau golongan senyawa
yang bertanggungjawab terhadap aktivitas farmakologis. Analisis kimia

14

yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif terhadap


senyawa aktif.
b. Aspek parameter non spesifik: berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi,
dan fisik yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas.
Misal kadar logam berat, aflatoksin, kadar air dan lain-lain.
6. Standardisasi obat herbal
Standardisasi obat herbal merupakan serangkaian proses melibatkan
berbagai metode analisis kimiawi berdasarkan data farmakologis, melibatkan
analisis fisik dan mikrobiologi berdasarkan kriteria umum kemanan (toksikologi)
terhadap suatu ekstrak alam atau tanaman obat herbal (Saifudin et al., 2011).
Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter,
prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait
paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,
biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk
kefarmasian umumnya. Dengan kata lain, pengertian standardisasi juga berarti
proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk ekstrak)
mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan dan ditetapkan terlebih dahulu.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mutu yaitu faktor biologi dari bahan asal
tanaman obat dan faktor kandungan kimia bahan obat tersebut. Standardisasi
terdiri dari parameter standar spesifik dan parameter standar non spesifik
(Anonim, 2000).

15

7. Parameter mutu standard


Parameter-paremeter mutu standar terdiri dari parameter spesifik dan
parameter non spesifik.
a. Parameter spesifik (Anonim, 2000)
Penentuan parameter spesifik meliputi:
1) Identitas: meliputi deskripsi tata nama, nama simplisia dan/atau ekstrak
(generik, dagang, paten), nama lain tanaman (sistematika botani), bagian
tanaman yang digunakan (rimpang, daun dsb), dan nama Indonesia
tanaman.
2) Organoleptis: parameter organoleptik meliputi penggunaan panca indera
mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa guna pengenalan awal yang
sederhana seobjektif mungkin.
3) Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu: melarutkan simplisia dan ekstrak
dengan pelarut (alkohol/air) untuk ditentukan jumlah larutan yang identik
dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu
dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana,
diklorometan, dan metanol. Tujuannya untuk memberikan gambaran awal
jumlah senyawa kandungan.
b. Parameter non spesifik (Anonim, 2000)
Penentuan parameter non spesifik yaitu penentuan aspek kimia,
mikrobiologi, dan fisik yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan
stabilitas (Saifudin et al., 2011). Parameter non spesifik menurut buku Parameter
Standar Umum Ekstrak Tanaman Obat, meliputi:

16

1) Bobot jenis
Parameter bobot jenis adalah masa per satuan volume yang diukur
pada suhu kamar tertentu (250C) yang menggunakan alat khusus
piknometer atau alat lainnya. Tujuannya adalah memberikan batasan
tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan parameter
khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat
dituang, bobot jenis juga terkait dengan kemurnian dari bahan dan
kontaminasi (Anonim, 2000).
2) Kadar air
Parameter kadar air adalah pengukuran kandungan air yang berada
didalam bahan yang bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau
rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Anonim, 2000).
Syarat umum yang diperbolehkan untuk kadar air di dalam bahan adalah
<10% (b/b) (Anonim, 2006).
3) Kadar abu
Parameter kadar abu adalah bahan yang dipanaskan pada temperatur
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap.
Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik, yang memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari
proses bahan baku dibuat. Parameter kadar abu ini terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi suatu bahan. Semakin sedikit kadar abu yang
terkandung menunjukkan sedikitnya mineral internal (anorganik) dalam
bahan (Anonim, 2000).

17

4) Sisa pelarut
Parameter sisa pelarut adalah penentuan kandungan sisa pelarut
tertentu yang mungkin terdapat dalam ekstrak. Tujuannya adalah
memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa
pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada (Anonim, 2000).
Pengujian sisa pelarut berguna dalam penyimpanan ekstrak dan kelayakan
ekstrak untuk formulasi (Putri, E et al., 2012).
5) Cemaran mikroba
Parameter cemaran mikroba adalah penentuan adanya mikroba yang
patogen secara analisis mikrobiologis meliputi cemaran bakteri, cemaran
kapang khamir, dan cemaran aflatoksin B1. Tujuannya adalah memberikan
jaminan bahwa bahan tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak
mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh pada stabilitas bahan dan berbahaya (toksik) bagi kesehatan
(Anonim, 2000). Syarat umum yang diperbolehkan untuk cemaran bakteri
di dalam bahan maksimal adalah 104 Cfu/g. Adapun untuk cemaran
kapang khamir yang diperbolehkan di dalam bahan maksimal adalah 103
Cfu/g (Anonim, 2006). Sedangkan aflatoksin B1 merupakan metabolit
sekunder yang dihasilkan oleh jamur Aspergilus flavus. Aflatoksin sangat
berbahaya

karena

dapat

menyebabkan

toksigenik

(menimbulkan

keracunan), mutagenik (mutasi gen), teratogenik (penghambatan pada


pertumbuhan janin), dan karsinogenik (menimbulkan kanker pada
jaringan) (Rustian, 1993 dalam Arifin, H et al., 2006). Jika bahan positif

18

mengandung aflatoksin maka pada media pertumbuhan akan menghasilkan


koloni berwarna hijau kekuningan sangat cerah (Saifudin et al., 2011).
Syarat umum yang diperbolehkan untuk cemaran aflatoksin B1 di dalam
bahan maksimal adalah 20 g/kg (Anonim, 2008).
6) Cemaran residu pestisida
Parameter cemaran residu pestisida adalah penentuan kandungan
residu golongan pestisida tertentu yang mungkin ditambahkan atau
mengkontaminasi bahan pembuat simplisia ataupun ekstrak. Uji cemaran
residu pestisida dapat memberikan jaminan bahwa bahan tidak
mengandung pestisida melebihi batas yang ditentukan karena berbahaya
(toksik) bagi kesehatan. Dalam penelitian ini dilakukan uji cemaran residu
pestisida sesuai frekuensi penggunaan jenis pestisida di Indonesia, yaitu
multiresidu pestisida karbamat, organoklorin, dan organofosfat. Syarat
umum yang diperbolehkan di dalam bahan maksimal untuk cemaran
karbamat adalah 0,10 ppm, organoklorin 0,02 ppm, sedangkan
organofosfat 0,05 ppm (Anonim, 2008).
7) Cemaran logam berat
Parameter cemaran logam berat adalah penentuan kandungan logam
berat dalam suatu bahan, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa
bahan tidak mengandung logam berat tertentu (Pb, Hg, Cd, dll) melebihi
batas yang telah ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan (Anonim,
2000). Syarat umum yang diperbolehkan di dalam bahan maksimal untuk

19

cemaran logam berat Pb adalah 10 mg/kg, Hg 0,03 mg/kg, sedangkan Cd


0,3 mg/kg (Anonim, 2006).
c. Uji kandungan kimia
1) Pola kromatogram
Pola kromatogram dilakukan sebagai analisis kromatografi sehingga
memberikan pola kromatogram yang khas. Bertujuan untuk memberikan
gambaran

awal

komposisi

kandungan

kimia

berdasarkan

pola

kromatogram (KLT, KCKT) (Anonim, 2000).


2) Kadar kandungan kimia tertentu
Suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identitas atau senyawa
kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya yang ditargetkan memiliki
efek farmakologis tertentu, maka secara kromatografi instrumental
maupun instrumen dan metode lain dapat dilakukan penetapan kadar
kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan antara lain
adalah densitometri, kromatografi gas, KCKT, spektrofotometri, atau
instrumen lain yang sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan
kimia tertentu sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga
bertanggungjawab pada efek farmakologis tertentu (Anonim, 2000).
8. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan fisikokimia.
Lapisan yang memisahkan yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam),
ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang sesuai.
Campuran atau sampel yang akan dipisahkan berupa larutan ditotolkan berupa

20

bercak atau pita di bagian awal. Setelah pelat atau lapisan diletakkan di dalam
bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak),
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Senyawa
berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).
KLT digunakan secara luas untuk analisis kualitatif senyawa organik,
isolasi senyawa tunggal dari campuran multikomponen, analisis kuantitatif, dan
isolasi skala preparatif (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). Kelebihan metode
KLT yaitu merupakan metode kromatografi yang paling sederhana dan alat yang
diperlukan lebih murah serta memungkinkan melakukan analisis kromatografi
pada beberapa cuplikan sekaligus. Selain itu hanya memerlukan sedikit pelarut
dan cuplikan (Gritter et al., 1985).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dinyatakan
dengan Rf atau hRf. Angka Rf berkisar antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat
ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h),
menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985). Nilai Rf dapat berlainan
pada percobaan tergantung pada kondisi kejenuhan di dalam bejana kromatografi,
aktivitas lapisan adsorben, dan komposisi fase gerak (WHO, 1998).
...........................................................(1)
Deteksi senyawa pada pelat KLT dibedakan untuk uji kualitatif dan
kuantitatif. Penggunaan KLT untuk tujuan uji kualitatif dapat menggunakan sinar
ultraviolet atau pereaksi kimia atau gabungan keduanya. Kromatografi lapis tipis
yang dimaksudkan untuk uji kuantitatif salah satunya dengan menggunakan

21

densitometer sebagai alat pelacak jika cara penotolannya dilakukan secara


kuantitatif (Sumarno, 2001).
9. Uraian instrumen
a. Spektrofotometri Ultraviolet-Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometri

UV-Vis

merupakan

salah

satu

teknik

analisis

Spektrofotometri yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat


(190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen
spektrofotometer (Mulja & Suharman, 1995). Spektrofotometri UV-Vis
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,
sehingga spektrofotometri UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
ketimbang kualitatif (Mulja & Suharman, 1995).
Spektrofotometer

terdiri

atas

spektrometer

dan

fotometer.

Spektrofotometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang


tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan
atau diabsorbsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu,
monokromator, sel pengabsorbsi untuk larutan sampel atau blanko, dan suatu alat
untuk mengukur perbedaan absorbsi antara sampel dan blanko ataupun
pembanding (Khopkar, 1990).
Cara kerja spektrofotometer dimulai dengan dihasilkannya cahaya
monokromatik dari sumber sinar. Cahaya tersebut kemudian menuju ke kuvet
(tempat sampel/sel). Banyaknya cahaya yang diteruskan maupun yang diserap
oleh larutan akan dibaca oleh detektor yang kemudian menyampaikan ke layar
pembaca (Sastrohamidjojo, 1992).

22

Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel


yang berupa larutan, gas, ataupun uap. Untuk sampel berupa larutan perlu
diperhatikan pelarut yang dipakai antara lain (Mulja & Suharman, 1995):
1) Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi
pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.
2) Tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.
3) Kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.
Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi (Khopkar,
1990):
1) Sumber tenaga radiasi yang stabil, sumber yang biasa digunakan adalah
lampu wolfram.
2) Monokromator untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis.
3) Sel absorbsi, pada pengukuran di daerah visibel menggunakan kuvet kaca
atau kuvet kaca corex, tetapi untuk pengukuran pada UV menggunakan sel
kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini.
4) Detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter atau pencatat.
Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya
pada berbagai panjang gelombang.
b. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
Spektrofotometri merupakan suatu metode analisis kuantitatif yang
pengukurannya berdasarkan banyaknya radiasi yang dihasilkan atau yang diserap
oleh spesi atom atau molekul analit. Salah satu bagian dari spektrofotometri
adalah Spektrofotometri Serapan Atom (SSA), merupakan metode analisis unsur

23

secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan cahaya dengan


panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas (Arifiani,
2012). Apabila cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada suatu
sel yang mengandung atom-atom bebas yang bersangkutan maka sebagian cahaya
tersebut akan diserap dan intensitas penyerapan akan berbanding lurus dengan
banyaknya atom bebas logam yang berada dalam sel (Underwood & Day, 1998).
Pada alat SSA terdapat dua bagian utama yaitu suatu sel atom yang menghasilkan
atom-atom gas bebas dalam keadaan dasarnya dan suatu sistem optik untuk
pengukuran sinyal (Willard et al., 1998).
Pada prinsipnya mekanisme kerja dari SSA ini adalah atom-atom suatu
logam diuapkan dalam suatu nyala dan serapannya pada suatu pita radiasi sempit
yang dihasilkan oleh suatu lampu katode rongga. Kemudian, dilapisi dengan
logam tertentu yang sedang ditentukan, setelah itu diukur (Watson, 2009). Dalam
metode SSA, sebagaimana dalam metode spektrometri atomik yang lain, sampel
harus diubah ke dalam bentuk uap atom. Proses pengubahan ini dikenal dengan
istilah atomisasi, pada proses ini sampel diuapkan dan didekomposisi untuk
membentuk atom dalam bentuk uap. Secara umum pembentukan atom bebas
dalam keadaan gas melalui tahapan-tahapan sebagai berikut (Basset, 1994):
1) Penguapan pelarut, pada tahap ini pelarut akan teruapkan dan meninggalkan
residu padat.
2) Penguapan zat padat, zat padat ini terdisosiasi menjadi atom-atom
penyusunnya yang mula-mula akan berada dalam keadaan dasar.

24

Pada cara emisi, interaksi dengan energi menyebabkan eksitasi atom yang
mana keadaan ini tidak berlangsung lama dan akan kembali ke tingkat semula
dengan melepaskan sebagian atau seluruh energi eksitasinya dalam bentuk radiasi.
Frekwensi radiasi yang dipancarkan bersifat karakterisitik untuk setiap unsur dan
intensitasnya sebanding dengan jumlah atom yang tereksitasi dan yang mengalami
proses de-eksitasi. Pemberian energi dalam bentuk nyala merupakan salah satu
cara untuk eksitasi atom ke tingkat yang lebih tinggi. Cara tersebut dikenal
dengan nama spektrofotometri emisi nyala (Gandjar & Rohman, 2007).
Pada cara absorbsi, jika pada populasi atom yang berada pada tingkat dasar
dilewatkan suatu berkas radiasi maka akan terjadi penyerapan energi radiasi oleh
atom-atom tersebut. Frekwensi radiasi yang paling banyak diserap adalah
frekwensi radiasi resonan dan bersifat karakteristik untuk setiap unsur.
Pengurangan intensitasnya sebanding dengan jumlah atom yang berada pada
tingkat dasar (Gandjar & Rohman, 2007).
Aplikasi dalam penetapan kadar dengan menggunakan SSA ini, terutama
sering digunakan dalam uji batas untuk logam-logam di dalam obat sebelum
dimasukkan kedalam formulasi. Sampel biasanya dilarutkan dalam asam nitrat 0,1
M untuk menghindari pembentukan hidroksida logam dari logam berat, yang
relatif non volatil dan menekan hasil bacaan SSA (Watson, 2009).
F. Keterangan Empiris yang Diharapkan
Melalui penelitian ini diharapkan nilai parameter spesifik dan non spesifik
simplisia daun awar-awar dapat ditetapkan. Kemudian dapat ditetapkan pula
rentang kadar alkaloid total dari simplisia daun awar-awar.

Anda mungkin juga menyukai