Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Tafsir Ayat Tentang Wudhu (Thoharoh)


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al Maidah: 6)
Ayat ini seperti mengharuskan (wajib) mengambil air wudhu bagi setiap orang yang
hendak mengerjakan sholat, meskipun dia tdak hadats. Demikian karena ayat ini memakai
kata perintah. Tetapi para ulama sepakat bahwa wudhu tidak diwajibkan kecuali bagi orangorang yang hadats. Dengan demikian, perintah itu hanya ditujukan kepada orang yang tidak
punya wudhu saja (muhdits). Pendapat ini ditunjang oleh sebuah hadits, bahwa Rosululloh
SAW pada waktu Futhu Makkahmenjalankan sholat lima waktu dengan satu wudhu. Lalu
Umar bertanya: Ya Rosulullloh, Anda menjalankan sesuatu yang tidak biasa dilakukan ?
2

Rosul menjawab: Saya sengaja melakukan. Yakni Rosululloh melakukan hal ini dalam rangka
memberikan penjelasan kepada umatnya bahwa satu wudhu dapat dipergunakan untuk
beberapa sholat.
Dalam hadits lain diceritakan bahwa Rosululloh dan khalifah sesudahnya melakukan
wudhu untuk setiap sholat. Rosulullloh bersabda: Barangsiapa yang mengambil air wudhu
dalam keadaan suci (tidak punya hadats) maka Alloh mencatat untuk dia sepuluh kebaikan.
Hadits ini seperti menguatkan makna ayat secaa harfiah, bahwa setiap orang yang
hendak sholat, hendaklah mengambil air wudhu, meskipun dia tidak punya hadats.



Artinya : Dan pakaianmu bersihkanlah. (Q.S : Al-Mudatsir: 4)
Melihat dua praktek Rosulullloh di atas, ada dua komentar yang muncul : 1) Ulama
yang mengatakan bahwa mengambil air wudhu untuk setiap sholat adalah wajib pada
awalnya, tetapi hukum itu diganti oleh Rosululloh dengan praktek Rosululloh pada waktu
Fathu Makkah. 2) Ulama yang mengatkan bahwa mengambil air wudhu untuk setiap kali
sholat itu terpuji (mustahab). Tetapi jika punya hadats, maka mengambil air wudhu tadi
wajib. Demikian ini pendapat yang dilakukan oleh ulama ahli fiqih dan menjadi ijma ulama
bahwa wudhu adalah menjadi persyaratan sahnya suatu sholat.
Ayat ini menjelaskan cara membersihkan hadats (wudhu) untuk sholat, yaitu mencuci
muka, mencuci kedua tangan sampai siku, mengusap kepala dengan air, dan mencuci kaki
sampai dengan dua mata kaki. Urutan seperti itu menjadi keharusan bagi setiap orang yang
berwudhu. Kemudian Al-Syafii mewajibkan niat sebelum mencuci muka, didasarkan atas
hadits Nabi SAW:

- : - -
: -
- : -
, , ,
: ,


3

Dari Umar bin Al Khaththab -radhiyallahu anhu- beliau berkata; aku telah mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatniatnya - dalam satu riwayat; tergantung niatnya-, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang
(tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya untuk memperoleh
dunia atau seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang
diniatkannya." (Shahih Bukhari, no.1, dan Shahih Muslim, no.1907)
Dengan demikian al-Syafii menetapkan bahwa wudhu menjadi sah apabila dilengkapi enam
perkara, yaitu: niat mencuci muka dan seterusnya sebagaimana diterangkan oleh ayat dan
nomor enam adalah tertib, sesuai dengan urutan ayat. Sedangkan Abu Hanifah berpendapat
bahwa niat itu tidak wajib, tetapi hanya sebagai perbuatan utama ynag membedakan antara
wudhu dan cuci muka biasa.

: - - : - -

))
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata; Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: Allah tidak akan menerima shalat yang dikerjakan oleh salah seorang
diantara kalian jika ia berhadatts sampai orang tersebut wudhu (Shahih Bukhari, no.135,
6954 dan Shahih Muslim, no.225)
Fungsi wudhu hanya untuk mensucikan hadats kecil. Sedangkan untuk mensucikan
hadats besar (junub) maka ayat itu tidak mengajarkan caranya, meskipun memberikan
perintah. Caranya diajarkan oleh Rosululloh SAW bersama para istrinya, yaitu menyiramkan
air (mandi) seluruh tubuh dari ujung rambut sampai ke telapak kaki, secara merata. Menurut
Al-Syafii, sebelum orang itu mandi, harus niat lebih dahulu berdasarkan hadits tersebut
dalam wudhu. Sedangkan menurut Abu Hanifah, niat dalam mandi junub, sama dengan niat
wudhu, yaitu hanya perbuatan utama.

Cara berwudhu, ada perbedaan pendapat antara imam madzhab yang satu dengan
imam yang lain, karena perbedaan cara membaca terhadap beberapa kata yang ada dalam
ayat ini. Menurut Jumhur Ulama kata Arjulakum dibaca fathah lamnya, digandengkan
kepada kata Aidiyakum. Maka konsekuensinya, kaki dalam berwudhu harus disiram air
seperti membasuh tangan. Sedangkan menurut Hamzah dan Abu Amir, kata: Arjulakum
dibaca kasroh lamnya digandengkan kepada kata Biru-uusikum. Maka konsekuensinya
kaki tidak harus diguyur air tetapi cukup disapu, sebagaimana mengusap kepala.
Perbedaan berikutnya tentang penafsiran kata Biru-uusikum yang diawali oleh huruf
bi konsekuensinya menurut Al-Syafii: mengusap kepala cukup sebagian kecil saja dari
kepala itu, yaitu di atas ubun-ubun. Menurut Abu Hanifah, usapan itu harus seperempat dari
kepala yaitu mengusap ubun-ubun dan sekitarnya. Sedangkan menurut Malikiyyah dan
Hanabilah, mengusap itu harus merata ke seluruh kepala untuk kehati-hatian (ihthiyath).
Perbedaan berikutnya terjadi pada penafsiran kalimat yang artinya menyentuh
wanita. Menurut Ali, Ibn Abbas, Abu Musa, Al-Hasan, Ubaidah dan Al-Syabi: Yang
dimaksud dengan menyentuh wanita adalah bersetubuh (jima). Maka bagi orang lelaki yang
bersentuhan dengan wanita yang bukan jima itu tidak mengharuskan wudhu atau tayamum.
Sedangkan menurut Umar dan Ibn Masud, yang dimaksud menyentuh wanita adalah
persentuhan tanpa dihalangi oleh suatu benda. Dengan demikian orang lelaki dan perempuan
yang bukan mahrom bersentuhan, maka wajib wudhu untuk sholatnya masing-masing.




Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati
salat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang
kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu menghampiri masjid) ketika kamu
5

dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu
mandi. Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau
sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan
kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kamu dengan debu
yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.
Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S An-Nisa :
43)
Perbedaan ini juga terjadi di kalangan imam-imam madzhab. Menurut Abu Hanifah
Abu Yusuf, Zufar, Al-Tsauri, dan Al-Auzai: orang lelaki dan perempuan yang bersentuhan
itu tidak membatalkan wudhu baik menimbulkan syahwat atau tidak. Menurut Malik, kalau
persentuhan itu merasakan kelezatan dan menimbulkan syahwat maka wajib wudhu, tetapi
kalau tidak menimbulkan syahwat maka tidak wajib wudhu. Menurut al-Syafii, jika terjadi
persentuhan antara lelaki dan wanita, menimbulkan syahwat atau tidak, merasa lezat atau
tidak, akan tetap mewajibkan wudhu.
Apabila orang yang hendak wudhu atau mandi junub itu tidak mendapatkan air atau
terhalang memakai air, maka orang itu diwajibkan tayamum, sebagai pengganti wudhu dan
mandi tadi. Menurut ayat ini tayamum dilaksanakan karena empat sebab, yaitu sakit,
bepergian, keluar dari jamban, dan bersentuhan dengan wanita. Para ahli tafsir berkomentar
bahwa bepergian pada umumnya kesulitan mendapatkan air, maka dia wajib tayamum. Tetapi
apabila dia tidak kesulitan air, maka dia harus wudhu dan tidak boleh tayamum. Begitu pula
orang sakit, diharuskan tayamum bila sakit tadi tidak boleh bersentuh air, kalau dia boleh
bersentuh air maka dia pun harus wudhu dan tidak boleh tayamum. Sedangkan yang
dimaksud keluar dari jamban atau bersentuh wanita, berarti tayamum dilakukan oleh
seseorang apabila dia mempunyai hadats baik hadats kecil atau hadats besar.
Tayamum menurut ayat ini adalah memakai debu yang baik. Tetapi ulama berbeda
pendapat tentang debu yang baik itu. Ada yang berkata bahwa itu adalah tanah yang tidak
tumbuh apabila diberi tanaman. Ada yang berpendapat bahwa itu adalah bumi yang rata. Ada
lagi yang berpendapat bahwa itu adalah debu (pasir) dan debu yang berterbangan (ghubar).
Cara tayamum diajarkan pula oleh ayat ini, yaitu mengusap muka dan dua tangan dengan
debu itu. Hanya saja ulama berbeda dalam mempraktekannya. Menurut Abu Hanifah, Malik,
Al-Syafii, Al-Tsauri dan Al-Laits bahwa tayamum itu dua kali usapan satu kali mengusap
muka, dan satu kali lagi mengusap dua tangan sampai ke siku. Demikian sesuai dengan
6

pendapat Jabir dan Ibn Umar dari kalangan sahabat Nabi. Menurut Al-Auzai: Tayamum
cukup satu kali sapuan saja, yaitu menyapu muka dan dua pergelangan tangan. Menurut AlZuhri, menyapu tangan harus sampai ke ketiak, dan banyak lagi ulama yang berpendapat
berbeda dengan pendapat di atas. Tayamum seperti ini berlaku umum, baik sebagai pengganti
wudhu atau sebagai pengganti mandi junub.

2.2

Tafsir Ayat Tentang Adzan



Artinya : Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka
menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benarbenar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (Q.S Al-Maidah: 58)
Jika Muadzin mengumandangkan adzan dan orang-orang yahudi mentertawakan dan
menjadikan senda gurau waktu orang-orang muslim rukuk dan sujud pada waktu sholat.
Orang-orang yahudi berkata: benar-benar orang muslim memulai sesuatu yang tidak pernah
mereka dengar dari umat sebelum islam. Yahudi berkata lagi dari manakah suara yang seperti
jeritan unta? Apakah ada suara yang lebih jelek dari itu. Begitulah sifat orang yahudi
menjadikan adzan sebagai senda gurau dan permainan hal itu di sebabkan karena mereka
adalah kaum yang tidak berfikir.
Dalam ayat ini menyebutkan salah satu contoh pelecehan dan olok-olok yang dilakukan
oleh kaum Nasrani dan Yahudi terhadap panggilan shalat (adzan) yang dilakukan kaum
Muslimin. Mereka menjadikannya bahan ejekan dan permainan. Mereka mengejek dan
mengolok-olok dengan tujuan mengelabui orang-orang Muslim yang hendak melaksanakan
shalat. Mereka itu disebut kaum yang tidak mau mempergunakan akal sehatnya, yakni
mereka mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan sesuatu yang baik yang
sesuai dengan akal, sebagaimana dipahami dari kata qaum, tetapi mereka pada hakikatnya
adalah kelompok yang tidak mau menggunakan akalnya.
2.2.1.

Asbab an-Nuzul QS. Al-Maidah : 58

Al-Kalabi menjelaskan : Rasulullah SAW menyerukan, ketika ada panggilan bagi


orang-orang Muslim untuk mendirikan shalat, maka dirikanlah shalat, lalu orang-orang
Yahudi berkata Berdirilah (orang-orang Muslim) melakukan berdoa dan berlutut (shalat),
(mereka berkata) dengan cara mengejek dan menertawakanmu (orang-orang Muslim). Maka
turunlah ayat ini.
As-Sudi menjelaskan mengenai ayat ini, bahwa : Dahulu ada seorang Nasrani Madinah
(di kota madinah). Jika ia mendengar muadzzin berkata : Asyhadu anna Muhammad
Rasulullah, maka ia berkata : Semoga terbakar si pendusta itu.. Lalu, tiba-tiba pada suatu
malam pelayannya masuk ke rumahnya membawa api ketika majikannya itu (orang Nasrani)
tidur, tiba-tiba percikan api itu jatuh di tengah rumah sehingga terbakarlah seisi rumah itu
bersama penghuninya. (Riwayat Ibnu Jarir dan Ibn Abi Hatim).
Diriwayatkan bahwa orang kafir Yahudi dan Nasrani ketika mendengar adzan, mereka
datang kepada Rasulullah SAW dan berkata : Engkau telah membuat satu tradisi baru yang
tidak dikenal oleh para nabi sebelummu. Seandainya engkau Nabi, tentu engkau tidak akan
melakukan itu, dan seandainya apa yang engkau lakukan ini baik, tentu para nabi terdahulu
telah melakukannya. Alangkah buruk suara panggilan unta (kafilah) ini.
Seandainya mereka menggunakan akal, niscaya mereka akan menghormati keyakinan
dan kepercayaan orang lain walu tidak seagama, apalagi ini adalah adzan, yakni seruan untuk
menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

.........
Artinya : ....yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (QS.
Maryam : 3 )
Apabila mereka mau menggunakan akal niscaya mereka akan menemukan bahwa
memanggil dengan suara merdu dan kata-kata indah yang menyentuh hati dan pikiran, jauh
lebih baik daripada memanggil dengan lonceng, atau semacamnya.
Rasulullah SAW bersabda :

:
.
..
:
8



: . :

.
.

:
. .

Artinya : Dari Nafi' dari Ibnu 'Umar, ia berkata : Dahulu kaum muslimin ketika tiba di
Madinah (dari Makkah) mereka berkumpul menunggu-nunggu waktu shalat, sedangkan tidak
ada seruan untuk shalat. Lalu pada suatu hari mereka membicarakan tentang hal itu.
Sebagian ada yang berkata, "Gunakanlah lonceng seperti loncengnya orang Nashrani". Dan
sebagian yang lain berkata, "Gunakanlah terompet seperti terompetnya orang Yahudi".
'Umar berkata, "Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang menyeru untuk shalat ?". Lalu
Rasulullah SAW bersabda, "Hai Bilal, bangkitlah, serulah untuk shalat !". [HR. Bukhari juz
1, hal. 150]

2.2.2.

Pendapat Ulama Mengenai Adzan

Ulama berbeda pendapat tentang wajibnya adzan dan iqomah. Menurut Imam Malik dan
pengikutnya adzan itu wajib dikumandangkan di masjid untuk mendirikan sholat berjamaah
agar orang-orang berkumpul. Dan pengikut Imam Malik berbeda pendapat juga tentang
wajibnya adzan menjadi dua pendapat: pendapat pertama sunnah muakkad dan diwajibkan
bagi orang yang banyak. Pendapat kedua fardhu kifayah di kota maupun di desa.
Begitu juga dengan Imam Syafii dan pengikutnya saling berbeda pendapat tentang
wajibnya adzan dan iqomah. Thobari menceritakan dari Malik: jika penduduk sengaja
meninggalkan adzan maka maka sholatnya harus diulang. Abu Umar berkata: dan tidak
diketahui perbedaan tentang wajibnya adzan oleh sebagian penduduk, karena adzan adalah
tanda yang membedakan antara umat Islam dan umat kafir.
Imam Malik dan Imam Syafii bersepakat bahwa adzan dua-dua (diulang-ulang) dan
iqomah satu-satu. Tetapi Imam Syafii pada takbir yang pertama empat kali (menurut riwayat
hadist yang tsiqoh dari hadist Abi Mahdzuroh). Imam Syafii dan Imam Malik bersepakat
pula tentang diulangnya adzan, seperti diulangnya pada: Ashdu Anla Ilahailallah dua kali,
dan Ashadu Anna Muhammadarrosullah dua kli juga. Dan tidak ada perbedaan dalam
iqomah keculi pada saat Qodqomtissholah, Imam Malik berpendapat hanya satu kali
sedangkan Imam Syafii dua kali dan kebanyakan ulama mengikuti pendapat Imam Syafii.
Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Atssauri adzan dan iqomah semuanya dua-dua, dan
9

takbir pada awal adzan dan iqomah empat kali. Menurut hadist yang diriwayatkan oleh
Abdurrohman Bin Abi Lail.
Ulama-ulama berbeda pendapat pula tentang penyebutan Assolatu khoirun
minannaum. Menurut Imam Malik, Atssauri, dan Allaitsu:

seorang mudzin harus

mengucapkan setelah Hayyaalassolah dua kali, muadzin mengucapkan assolatu khoirun


minannaum, pendapat itu sama dengan pendapat Imam Syafii di Irak, dan sewaktu Imam
Syafii di Mesir tidak berpendapat demikian. Menurut Imam Hanafi dan pengikutnya: bahwa
diucapkan setelah adzan pun tidak masalah.
Di dalam Muwattok Imam Malik: suatu ketika muadzin datang di masjid dan Umar bin
Khotob ada disitu, muadzin beradzan untuk sholat subuh dan menemui bahwa Umar sedang
tidur maka muadzin mengucapkan Assolatu Khoirun Minannaun setelah itu Umar
menyuruh menjadikan lafadz itu dimasukkan kedalam adzan.
Adzan disunnahkan bagi setiap shalat fardhu bagi orang yang mengerjakan shalat sendiri
maupun berjamaah. Kecuali pada Imam Hanafi berpendapat : diizinkan/dibolehkan bagi
orang yang mukim mendirikan shalat sendiri tanpa adzan, karena panggilan shalat cukup
baginya. Bagi orang yang musafir dibolehkan untuk mendirikan adzan dan iqamat setelahnya
dengan jarak yang pendek. Dan tidak dibolehkan jika seseorang shalat tanpa adzan dan
iqamat karena tidak ada doa serta panggilan baginya.
Diriwayatkan dari Rasulullah SAW : Barangsiapa yang shalat di atas bumi dengan adzan
dan iqamat, maka shalatnya menggantikan barisan malaikat, sedang ia tidak dapat
melihatnya, hal ini seperti orang yang shalat setahun dengan adzan.
Sedangkan adzan bagi wanita, terdapat perbedaan pendapat. Anas al-Hasan ibn Sirin anNakhi ats-Tsauri al-Malik berpendapat bahwa wanita tidak diperbolehkan melakukan adzan
dan iqamat. Seperti diriwayatkan Al-Baihaqi dari Ibnu Umar, bahwa: Tidak ada adzan dan
iqamat bagi wanita. Pendapat Imam Syafii dan Ishaq memperbolehkan, Sesungguhnya
iqamat dan adzan adalah boleh. (HR. Ahmad). Sesungguhnya jika melakukan tidak apaapa, dan jika tidak melakukan tidak apa-apa. Dan dari Aisyah r.a : Jika seorang wanita
melakukan adzan dan iqamat, maka ia berdiri di antara mereka. (HR. Baihaqi)

10

11

Anda mungkin juga menyukai