Anda di halaman 1dari 33

20 TAHUN SANGGAR SASTRA TASIK

(SST)

Sketsa Pesta
ANTOLOGI
Lomba Baca Puisi
Jawa Barat Terbuka
29 30 Oktober 2016

SKETSA PESTA
Antologi Puisi Lomba
Jawa Barat Terbuka
29 30 Oktober 2016
Pemilihan Materi Puisi: Irvan Mulyadie
Layout Sampul & Isi: Mufidz At-thoriq S.
Ilustrasi Sampul: Septia Pahlawan
Hak Cipta dilindungi undang-undang
ada pada penyair masing-masing
All rights reserved
Dicetak oleh Langgam Pustaka
Untuk kepentingan Lomba Baca Puisi Jawa Barat Terbuka
yang diselenggarakan Sanggar Sastra Tasik (SST)
2016

Kata Pengantar:

Sebuah Upaya Membumikan Puisi


LOMBA Baca Puisi Sanggar Sastra Tasik (SST) dimaksudkan untuk lebih membumikan puisi ke tengah-tengah
masyarakat. Upaya ini merupakan sebuah komitmen yang tetap
dipegang teguh oleh SST sejak permulaan berdirinya pada paruh
akhir tahun 1996 silam. SST merupakan satu-satunya komunitas
sastra di Tasikmalaya yang secara khusus bergelut di bidang
sastra, terutama puisi. Meski tidak secara khusus menggarap
pelatihan baca puisi sebab lebih cenderung menjadi laboratorium penulisan puisi bagi para peminat serius untuk menulis
puisi, SST berkepentingan untuk memetakan bibit-bibit pembaca
puisi yang baik. Salah satu upaya yang dilakukan untuk itu adalah
dengan penyeleng-garaan lomba seperti ini.
Kami melihat, selalu ada hal yang menarik dari kegiatan
lomba seperti ini. Betapa di tengah-tengah terasingnya puisi
bagi sebagian besar masyarakat kita, ternyata selalu saja terdapat
pembaca puisi yang baik bahkan sangat baik, yang tidak saja
mampu memperlihatkan interpretasi yang benar terhadap teks
puisi yang dibacanya, melainkan juga mampu menyajikan ekspresi dan gaya pembacaan yang memikat ke-tika tampil di atas
pentas lomba. Hingga karenanya, puisi terasa hidup dan sangat
menarik.
Secara teks, puisi memang hanyalah benda mati yang
mungkin sulit untuk dipahami atau dinikmati oleh sebagian besar
orang. Maka tugas pembaca puisilah untuk menghidupkan dan
menyampaikan pesan-pesan/makna yang terkandung di dalamnya
kepada pendengar atau penonton.

Lewat pembacaan yang baik, puisi seolah menjadi benda


hidup dan pentas baca puisi tentunya menjadi tontonan yang asyik
dan nikmat untuk disimak. Lebih dari pertunjukan dangdut atau
musik pop, umpamanya, menikmati pertunjukan baca puisi malah
sangat kontemplatif dan bahkan cukup inspi-ratif jadinya. Pada
gilirannya, mentalitas dan ruhani kitapun akan tercerahkan dibuatnya. Di sinilah letak efektivitas Lomba Baca Puisi sebagai
media sosialisasi, di mana hal ini akan mampu memancing
perhatian orang, yang awam sekalipun, untuk bisa tertarik lebih
jauh kepada puisi. Maka jika kegiatan semacam ini banyak
diselenggarakan oleh banyak kalangan secara terus-menerus, bisa
jadi katup alienasi puisi dalam kehidupan masyarakat kita,
perlahan namun pasti, akan ter-buka dengan sendirinya. Itulah
barangkali yang senantiasa dimimpikan oleh Sanggar Sastra Tasik
atau mungkin oleh kita semua.
Lewat Lomba Baca Puisi, kita bisa mengaji tradisi dan
membangun karakter diri. Ah, semoga saja ini tidak sekedar
sebuah obsesi atau mimpi, apalagi janji, sebab kami bukan politisi
yang kerjanya cuma bisa menebar janji tanpa bukti. Sehingga, bisa
jadi benar bahwa ketika keadaan politik suatu negara kotor, maka
puisilah yang akan membersihkannya. Demikian sebagaimana
yang, konon, pernah dikatakan oleh John F. Kennedy.
Selamat berlomba. Merdeka! (*)

SANGGAR SASTRA TASIK (SST)

Daftar Puisi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Lagu Pengantar Jenazah Saeful Badar

Di Lengking Adzan Magrib Irvan Mulyadie


Dari Bentangan Langit Emha Ainun Nadjib

2
3

Ibu Mustofa Bisri 4


Paragraf Kata dalam Amsal Sebuah Sajak Muda Wijaya
Melintasi Selat Sunda Sarabunis Mubarok
Sajak Perlawanan Nina Minareli

Sajak Seorang Pengungsi Acep Zamzam Noor


Rasinah Lintang Ismaya

10

11

Ziarah - Jun Nizami 12


Kota Sunyi Selepas Purnama Yadi Riyadi 13
Kuhamparkan Hurup-Hurup Menjadi Sajadah Juniarso
Ridwan

14

Segelas Anggur Batalipu Kidung Purnama


Yatim Romli Burhani

15

16

Perempuan Berdosa - Dorothea Rosa Herliany


Z Korrie Layun Rampan

19

Di Galeri Hijau Tua Ahmad Faisal Imron


Penambang Yusran Arifin

22

20

18

Kupahat Cahaya Bolamatamu di Keningku Eriyandi


Budiman

23

Sketsa Pesta Amang S. Hidayat

24

Pilihlah:
1 Judul untuk dibacakan pada Babak Penyisihan
1 Judul yang lain untuk dibacakan pada Babak Final

Saeful Badar

Lagu Pengantar Jenazah


Pulanglah kau karena saatnya kau harus pulang
Jangan lagi kautengok kenangan-kenangan
Yang berserak atau berderet rapi
Di sepanjang jalan ini
Pulanglah karena waktumu telah menjemput
Pulang bukan atas ketakutan dan jemu
Atau atas sebuah keterpaksaan
Pulanglah dengan tulus kepada ibu
Kepada leluhur kepada hak dan kewajiban
Yang harus sempurna kaujalani
Dengan takaran-Nya yang rapi
Pulanglah, dan jangan pernah menyesal
Atau memberati diri sendiri
Dengan hari-hari perih yang usai kaulalui
Pulanglah. Di sinipun abad kan terus mengering
Mengeras dan menjadi fosil
Sedang hidup niscaya jadi warisan indah
Bagi anak-anak, cucu-cucu, serta buyut-buyut
Pulanglah dengan gembira, karena kelak
Kau menjelma potret lama dalam alur sejarah
Yang tiada habis mereka baca
Pulanglah, karena sang kekasih
Tak lagi sabar menunggu dalam bantaian rindu
Dan rumah keabadian yang kalian punya
Penuh debar kasih....
1994

Irvan Mulyadie

Di Lengking Adzan Maghrib


Di lengking adzan maghrib, bias senja
Tak pernah lagi menyilaukanku
Matahari tropika telah menjelma anggur
Yang kau sajikan dan kureguk dalam kenangan
Lalu kita terhuyung mabuk
Bergelas-gelas peristiwa memutar lagi ingatan
Tentang burung-burung di kandang, ikan-ikan
Di lautan, anjing-anjing yang berlari dengan majikan
Juga tentangmu dalam kisah penghianatan
Lambungku bergolak, kerongkonganku terbakar
Dan kau meracaukan lagi hayalan
Tentang tuhan, persetubuhan, bahkan
Gemerlap harta di sebuah upacara pengorbanan
Yang amblas dalam kubur-kubur sejarah
Sejarah panjang sebuah bangsa yang merangkak
Menyusuri lorong gelap identitas
Mencari jati dirinya yang hilang
Di selokan kenyataan yang bergelar kekuasaan
Semua terasa limbung
Di lengking adzan maghrib, kepalaku sakit sebelah
Otak kiri seakan rontok dari tempurung
Sementara kamu masih terus mengisi
Gelas-gelas peristiwa dengan impian
Ususku perih, kelaparan
Hatiku penuh pertanyaan :
Pernyataan-pernyataan !
Singaparna, 2016

Emha Ainun Najib

Dari Bentangan Langit


Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
1997

Mustofa Bisri

IBU
Ibu
Kaulah gua
teduh
tempatku bertapa bersamamu
Sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam
Kaulah, ibu, laut dan langit
yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu
(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku

seperti Kau mengasihi


kekasih-kekasihMu
Amin).
1414

Muda Wijaya

Paragraf Kata
Dalam Amsal Sebuah Jejak
Mari mendekat
dinginkan kepala dan wajah
agar akal hati membaca raga
sebab muasal
bersumber dari amsal jiwa
dan daun daun yang tumbuh dari mata
jangan biarkan mengeruh
dipangkas angin jadi warna yang renta
setelah musim
membuatkan jaring laba laba
mari mendekat
untuk mengingat matahari
yang selalu kita panjat
pada akhir persetubuhan
yang membawa perangkap
dalam tarian ilalang
entah di mana
alamat pertemuan akhir besok
sebab di luar almanak
kabar dan penawar tak pernah membesuk
hanya jam jam membusuk
menjelma niskala
memecah setiap ziarah
yang lelah pada skala
mari mendekat
dan lihat di pusaran
angin memahat
miliar warna dari tebaran debu
telah jadi cahaya

letakan saja senandungnya


menyentuh basah kemarau sungai
sampai mengaliri
tubuh
yang lagi mengaburkan
sembilan puluh sembilan maha tanda
menuju muara sisa perjalanan
laut tuhan yang bergelora.

2005

Sarabunis Mubarok

Melintasi Selat Sunda


Sampai di Pelabuhan Merak, enam belas tahun silam,
tanganku serasa masih berlabuh di laut kegelisahan. Perjalanan masih
kuanggap suci, seperti mata kanak-kanakku yang memercikkan
kesedihan. Kucium harum pulau Jawa dengan kerinduan yang
membusakan mimpi-mimpiku. Kugandeng tangan ayahku sambil
menirukan deru kapal-kapal di pelabuhan. Tiba-tiba kudengar doa
ibuku di negeri seberang, pelan dan perlahan-lahan. Seperti segenggam
cinta yang rebah dalam cuaca negeri Andalas yang meradang.
Sampai di Pelabuhan Merak, enam belas tahun silam,
hatiku semestinya diisi puisi yang bersinar keemasan. Airmata yang
mengalir, menyuburkan daun-daun jiwaku. Kukenang ibuku
menembangkan mijil sambil mengupas helai demi helai daun jagung.
Aku menyungsangkan pikiran dalam ombak Selat Sunda yang
mengucapkan selamat datang, meski masih kudengar kawan
sepermainanku membangkitkan kesunyian menjadi sesuatu
yang paling ungu dan paling mengharukan.
Sampai di Pelabuhan Merak, enam belas tahun silam,
aku membidik cahaya ibuku dari dermaga paling sunyi. Tapi hatiku
masih saja termangu dalam lingkaran pertanyaan yang sesak. Di tanah
Jawa, aku harus membangun piramida dari seribu harapan yang
menggunung di pundakku, seperti kelak ayahku terbang melintasi masa
kanak-kanakku yang lebih sejuk dari air di telaga batinku.
2000-2001.

Nina Minareli

Sajak Perlawanan
Kali ini ingin kutuliskan sebuah sajak perlawanan
Dengan secangkir kopi pahit yang kau sediakan
Di meja makan
Meskipun roda musim tak memuat lagi angin rindu
Atau kicau burung di tengah kota itu
Tapi langit dan lautan masih tetap akan menyerap kata-kata
Di mana sebuah jembatan, pohon-pohon dan pebukitan
Akan menerjemahkan segalanya
Biarkan saja kita di sini meniti satu per satu malam
Dengan kegelisahannya yang panjang
Walau nafas-nafas di sudut kota mulai berbau bara
Walau harga luka melayang-layang di atas telunjuk dunia
Biarkan saja sebab hujan akan menjabarkan sajak-sajakmu
Sebagai kekuatan di luar badai
Dan perlawanan di dalam penjara angin
Yang bergaris pada bilik nurani kita sendiri
Mulailah kawan
Lawanlah pelan-pelan!
1998

Acep Zamzam Noor

Sajak Seorang Pengungsi


Buat Frans Nadjira

Napasku yang mengandung api selalu ingin membakar apapun


Di jantungku gedung-gedung yang tinggi sudah kukaramkan
Sedang sungai-sungai yang kotor kubiarkan menggenangi mataku
Dengan lahap aku mengucup borok-borok peradaban yang berlalat
Untuk kumuntahkan kembali lewat sajak-sajakku. Sepanjang hari
Tak habis-habisnya aku mereguk keringat dan darah negeri ini
Menyusuri lekuk tubuhnya yang molek dengan belati terhunus
Kemudian melempari gambar pemimpinnya yang nampang
Di papan iklan. Menyanyikan lagu dangdut di bawah tiang bendera
Suaraku yang memendam racun ingin menyumpahi siapapun
Ranjang-ranjang yang nyaman kusingkirkan dari ingatan
Sedang kekerasan yang terjadi di jalanan telah memaksaku
Menjadi bajingan. Kembali aku mengembara dalam kesamaran
Dalam kehampaan, kekosongan serta ketiadaan rambu-rambu
Aku mengetuk losmen, menggedor apartemen dan mendobrak
Gedung parlemen. Kemudian melolong dalam kesakitan panjang:
Sambil berjoget aku terbangkan sajak-sajakku ke planet terjauh
Karena bumi sudah tak mampu memahami ungkapanku lagi

2007

Lintang Ismaya

Rasinah
Mimi; jasadmu dikedalaman tanah,
ditemani topeng kelana
juga seperangkat kosmetik
yang sering kaukenakan kala pentas.
Wangi irisan daun pandan
pada likat gundukan tanah merah;
membawa sukmaku ke seberang hari.
Alir kenangan menderas
dalam benakku, kala ayat-ayat cahaya
didawamkan para pelayat.
Ligar melati di negeri timur adalah tanda
dan ayat pada alur kelahiran,
perkawinan dan kematian.

Cirebon, 2010

Jun Nizami

Ziarah
Akulah Eufrat, airmata
Sepanjang mesopotamia yang terluka
Juga Tigris, wahai Muharram merdu
Bagi Babylon yang habis jadi debu
Minumlah darah dari tubuhku
O Karbala yang dahaga
Sebab setiap kepala yang dilarung sungai
Dari beribu batang leher yang terpenggal
Mestinya adalah bahasa
Sejarah yang ganas
Anggur cinta yang keras
Maka tegaklah sabda dari huluhilir ziarahku ya Hurairah:
Akan terbunuhlah 99 dari tiap 100 orang yang berperang itu
Darah yang pasang, di tubuh airku yang surut

2011

Yadi Riadi

Kota Sunyi Selepas Purnama


lewat tengah malam
tak satupun pintu
dan jendela terbuka
semua menjadi dingin
diantara riuh angin
di matamu wajah kota
seperti tanpa cahaya
gelap menyekap mimpi
tanpa suara
tapi dihatimu
telah kau tanam benih harapan
tumbuh menjadi ladang bebukitan
tempat anak anak mencangkul
mimpi dan kenangan
lewat tengah malam
adakah kau dengar suara suara lapar
berteriak meratap nasib di lorong sunyi
dimanakah keadilan bermuara
bila airmata duka menjadi hujan badai
sementara kita hanya bisa berkabung
menunggu giliran di batu nisan
2010

Juniarso Ridwan

Kuhamparkan Huruf-Huruf
Menjadi Sajadah
Agus, sengaja kuhamparkan huruf-huruf ini
menjadi sajadah pada malam gelap-gulita,
saat ini aku coba pahami sebuah dunia,
dengan nyanyian granat dan lolongan sunyi.
saat ribuan bangkai ideologi terkapar di angkasa,
kita sedot dalam-dalam dendam bergentayangan,
seperti sebuah kepercayaan:
membuat kita menjadi warga masyarakat baru,
dengan gairah arak dan permusuhan.
dengan bunga ketakutan kita panjatkan doa,
sambil menanti yang lain kelaparan,
hari ini tak ada beras atau ikan asin,
bila mau kunyahlah baut, kabel, atau ban bekas,
bukankah solar dan aspal masih tersisa di kuali?
dingin ini adalah lengkingan daun-daun gugur
dan kita sujud di pojok dapur,
mengharap suara-suara tak pernah singgah.
2001

Kidung Purnama

Segelas Anggur Batalipu


Malam itu
Kau beri aku segelas anggur senyummu
Yang berkali-kali kuteguk
Aku mabuk dalam gemuruh hujan
Dan kuikuti irama langkah matamu
Tubuhku semakin gemetaran
Ketika suara gamelan memukul-mukul jantungku
Hingga keringatku berjatuhan
Di antara kaki-kaki penari
Aku tenggelam dalam kegelapan
Ketika orang-orang tertawa liar
Memecahkan gelas dan botol nuraniku
Kini tak tahu lagi siapa dihadapanku
Kau ataukah tuhanku?
Di luar dedaunan gugur sebelum mengering
Dan keletihan sempat terhuyung
Oleh kengerian-kengerian cuaca
Sementara dingin terus merapatkan kesunyianku
Malam semakin menjauh
Merebahkan potongan-potongan gerimis yang resah
Setelah perselisihan hujan
Usai diledakkan petir keangkuhan kata-katamu

1998

Romli Burhani

Yatim
Once upon a time

Anak lelaki itu,


telah ditelannya waktu
merah waktu
ia menjahit lukanya
dengan jari-jari yang remuk
sedang beku angin mengantarnya
pada amarah, lalu tiba-tiba
pergi, menyisakan ramalan tentang
tanah yang melahirkan tubuh tanpa kepala
matanya tak bulat
seperti semestinya bola mata
bulat atau lonjong
atau benar-benar berbentuk
selalu ada sisa yang terpotong
kemudian jatuh menjadi
airmata yang sakit
kepada seorang anak
telah ditinggalkannya waktu
ia menyisir rambutnya
namun helai demi helai
rambut itu pergi lalu patah
seperti pula pandangannya
barangkali tak ada yang
akan memesan mimpi ketika

langkah-langkah terbentur
ketika harapan-harapan lebur
Siapakah yang akan mengelus keningnya
Setelah ia berkelahi dengan prahara
Sedang sebuah persembahan telah padam
Ia berharap, satu ketika, ia tak pernah ada
Januari 2014

Dorothea Rosa Herliany

Perempuan Berdosa
perempuan itu memikul dosa sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebatan rusa yang diburu
segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.
perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu ia hentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.
segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur berapa leleh keringat pendakian itu.
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan ulatulat.
perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!
Februari, 2000

Korrie Layun Rampan

Z
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana
Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?

1974

Ahmad Faisal Imron

Di Galeri Hijau Tua


sebelum gerimis menetes, naya bertanya
kenapa galeri itu berwarna hijau tua?
di kota yogyakarta
di bawah gelambir langit
yang melaju ke utara
kita berjalan seakan kafilah
yang mulai kehilangan arah
aku memilih rute ke timur kota
dan kau memilih menghindar
dari gerimis yang sebentar lagi
hendak menetes di alis tipismu
di galeri hijau tua itu
tak ada apa-apa
selain kemurungan
selain jejak kegelisahan
tujuh matahari
dan seorang lelaki
yang mencintai
tubuhnya sendiri
sebelum gerimis menetes
di galeri kedua, di antara arca
dan philodendron berlubang
yang merambat ke angkasa
aku mencium semerbak akrilik
yang terlepas di atas kanvas
hingga tubuh putihnya itu
seperti menyimpan pertempuran;
cakar seribu satu serigala

aku ingin bertanya padamu, naya


kenapa kau lebih memilih bertanya?
di kota yogyakarta
gerimis yang mungkin kekal
dan gelambir langit itu
kini bergelayut di antara kata-katamu
dan seluruh penyesalan seorang penyair
yang hanya berkhotbah
tanpa mencium amis darah

2016

Yusran Arifin

Penambang
Kau yang mengundangku datang, gugusan tebing dan bukit-bukit
Lamping. Tapi hatiku cangkul juga linggis yang kasmaran
bertahun
Tahun kerinduan. Aku yang telanjang dan dadamu mengambang
Tak kubiarkan kau menunggu dalam kegelisahan yang panjang
Kubongkar kesepianmu dengan kata-kata yang telah diruncingkan
Selalu gelagapan, sebab tak kutemukan permata atau pun intan
Dadamu dipenuhi lumpur serta batu-batu kapur. Selalu kepalaku
Membenturi dinding batu. Tapi aku martil, kubelah kesepianku
Kini aku batu tambang yang terampas dari gugusnya yang keras
Musim semi aku menggosokkan diri hingga menjelma bait puisi
2015

Eriyandi Budiman

Kupahat Cahaya Bola Matamu


Di Keningku
Irama malam
lama mengendap di lintasan angin.
Sunyi mengerat arakan awan
yang sangsai merindukan tawa langit
Di lesapan gelisah
kutatap bintang di langit dan di dadaku
Di situ kau berbaring
sebagai satu dari ribuan kerlip
yang bermandi senyuman
Di hadapan doa yang terbentang hingga nirwana
kupahat cahaya bola matamu
di keningku
Dan kubarkan hujan luruh
Kau pun menjadi satu bintangku
yang bercahaya
Satu yang bercahaya
Tasikmalaya, 1997

Amang S Hidayat

Sketsa Pesta
Kepala-kepala batu berpesta air tuba
Mengalir ke setiap tenggorokan
Yang dahaga akan sumpah-serapah
Menjelma menjadi peradaban kota
Penuh nuansa pisau pencabik tulang
Demokrasi kian congkak
Menjadikan aku alas kaki
Kaki tangan,tangan kanan, bahkan otak udang
Sementara dijalanan ,
Sepasang sendok dan garpu berkarat
Menghujam dibening air mata bocah kumal
Tangannya gemetar mengakrabi rasa lapar
Datang sebagai pecundang
Kepala-kepala batu datang kembali sebagai penguasa
Mewakili sepotong roti yang engkau sisakan dijalanan
Padahal lidah-lidah mengenaskan meneteskan air liur
Kita tonton dengan menampilkan mata berkaca-kaca
Sebagai topeng kemunafikan
Aku kenali engkau politikus
Jiwa yang gelisah dalam keriangan tanpa teman
Hingga kata-kata yang mengalir dari mulut busukmu
Tak begitu indah lagi
Segera akan kusaksikan engkau
Menjadi rimba sunyi tanpa penghuni
Diselimuti kabut kelam dalam bayangan belantaramu sendiri
Tanpa istana kata-kata bersahutan lagi

Sekali lagi setelah pesta berakhir,


Akan kita reguk bersama
Ribuan nyamuk, kutu busuk!
Dalam jaring puisi
Bahwa peradaban kota telah retak
Tasikmalaya, 28 agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai