(SST)
Sketsa Pesta
ANTOLOGI
Lomba Baca Puisi
Jawa Barat Terbuka
29 30 Oktober 2016
SKETSA PESTA
Antologi Puisi Lomba
Jawa Barat Terbuka
29 30 Oktober 2016
Pemilihan Materi Puisi: Irvan Mulyadie
Layout Sampul & Isi: Mufidz At-thoriq S.
Ilustrasi Sampul: Septia Pahlawan
Hak Cipta dilindungi undang-undang
ada pada penyair masing-masing
All rights reserved
Dicetak oleh Langgam Pustaka
Untuk kepentingan Lomba Baca Puisi Jawa Barat Terbuka
yang diselenggarakan Sanggar Sastra Tasik (SST)
2016
Kata Pengantar:
Daftar Puisi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Lagu Pengantar Jenazah Saeful Badar
2
3
10
11
14
15
16
19
22
20
18
23
24
Pilihlah:
1 Judul untuk dibacakan pada Babak Penyisihan
1 Judul yang lain untuk dibacakan pada Babak Final
Saeful Badar
Irvan Mulyadie
Mustofa Bisri
IBU
Ibu
Kaulah gua
teduh
tempatku bertapa bersamamu
Sekian lama
Kaulah kawah
dari mana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam
Kaulah, ibu, laut dan langit
yang menjaga lurus horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu
(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanatMu
menyampaikan kasihsayangMu
maka kasihilah ibuku
Muda Wijaya
Paragraf Kata
Dalam Amsal Sebuah Jejak
Mari mendekat
dinginkan kepala dan wajah
agar akal hati membaca raga
sebab muasal
bersumber dari amsal jiwa
dan daun daun yang tumbuh dari mata
jangan biarkan mengeruh
dipangkas angin jadi warna yang renta
setelah musim
membuatkan jaring laba laba
mari mendekat
untuk mengingat matahari
yang selalu kita panjat
pada akhir persetubuhan
yang membawa perangkap
dalam tarian ilalang
entah di mana
alamat pertemuan akhir besok
sebab di luar almanak
kabar dan penawar tak pernah membesuk
hanya jam jam membusuk
menjelma niskala
memecah setiap ziarah
yang lelah pada skala
mari mendekat
dan lihat di pusaran
angin memahat
miliar warna dari tebaran debu
telah jadi cahaya
2005
Sarabunis Mubarok
Nina Minareli
Sajak Perlawanan
Kali ini ingin kutuliskan sebuah sajak perlawanan
Dengan secangkir kopi pahit yang kau sediakan
Di meja makan
Meskipun roda musim tak memuat lagi angin rindu
Atau kicau burung di tengah kota itu
Tapi langit dan lautan masih tetap akan menyerap kata-kata
Di mana sebuah jembatan, pohon-pohon dan pebukitan
Akan menerjemahkan segalanya
Biarkan saja kita di sini meniti satu per satu malam
Dengan kegelisahannya yang panjang
Walau nafas-nafas di sudut kota mulai berbau bara
Walau harga luka melayang-layang di atas telunjuk dunia
Biarkan saja sebab hujan akan menjabarkan sajak-sajakmu
Sebagai kekuatan di luar badai
Dan perlawanan di dalam penjara angin
Yang bergaris pada bilik nurani kita sendiri
Mulailah kawan
Lawanlah pelan-pelan!
1998
2007
Lintang Ismaya
Rasinah
Mimi; jasadmu dikedalaman tanah,
ditemani topeng kelana
juga seperangkat kosmetik
yang sering kaukenakan kala pentas.
Wangi irisan daun pandan
pada likat gundukan tanah merah;
membawa sukmaku ke seberang hari.
Alir kenangan menderas
dalam benakku, kala ayat-ayat cahaya
didawamkan para pelayat.
Ligar melati di negeri timur adalah tanda
dan ayat pada alur kelahiran,
perkawinan dan kematian.
Cirebon, 2010
Jun Nizami
Ziarah
Akulah Eufrat, airmata
Sepanjang mesopotamia yang terluka
Juga Tigris, wahai Muharram merdu
Bagi Babylon yang habis jadi debu
Minumlah darah dari tubuhku
O Karbala yang dahaga
Sebab setiap kepala yang dilarung sungai
Dari beribu batang leher yang terpenggal
Mestinya adalah bahasa
Sejarah yang ganas
Anggur cinta yang keras
Maka tegaklah sabda dari huluhilir ziarahku ya Hurairah:
Akan terbunuhlah 99 dari tiap 100 orang yang berperang itu
Darah yang pasang, di tubuh airku yang surut
2011
Yadi Riadi
Juniarso Ridwan
Kuhamparkan Huruf-Huruf
Menjadi Sajadah
Agus, sengaja kuhamparkan huruf-huruf ini
menjadi sajadah pada malam gelap-gulita,
saat ini aku coba pahami sebuah dunia,
dengan nyanyian granat dan lolongan sunyi.
saat ribuan bangkai ideologi terkapar di angkasa,
kita sedot dalam-dalam dendam bergentayangan,
seperti sebuah kepercayaan:
membuat kita menjadi warga masyarakat baru,
dengan gairah arak dan permusuhan.
dengan bunga ketakutan kita panjatkan doa,
sambil menanti yang lain kelaparan,
hari ini tak ada beras atau ikan asin,
bila mau kunyahlah baut, kabel, atau ban bekas,
bukankah solar dan aspal masih tersisa di kuali?
dingin ini adalah lengkingan daun-daun gugur
dan kita sujud di pojok dapur,
mengharap suara-suara tak pernah singgah.
2001
Kidung Purnama
1998
Romli Burhani
Yatim
Once upon a time
langkah-langkah terbentur
ketika harapan-harapan lebur
Siapakah yang akan mengelus keningnya
Setelah ia berkelahi dengan prahara
Sedang sebuah persembahan telah padam
Ia berharap, satu ketika, ia tak pernah ada
Januari 2014
Perempuan Berdosa
perempuan itu memikul dosa sendirian, seringan jeritannya
yang rahasia: berlari di antara sekelebatan rusa yang diburu
segerombolan serigala.
kautulis igaunya yang hitam, mengendap di bayang dinding
tak memantulkan cahaya.
perempuan itu melukis dosa yang tak terjemahkan
ia tulis rahasia puisi yang perih dendam dalam gesekan rebab.
lalu ia hentakkan tumit penari indian yang gelap dan mistis.
segerombolan lelaki melata di atas perutnya.
mengukur berapa leleh keringat pendakian itu.
sebelum mereka mengepalkan tinjunya
ke langit. dan membusungkan dadanya yang kosong:
mulutnya yang busuk menumpahkan ribuan belatung dan ulatulat.
perempuan itu membangun surga dalam genangan air mata.
menciptakan sungai sejarah: sepanjang abad!
Februari, 2000
Z
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana
Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
1974
2016
Yusran Arifin
Penambang
Kau yang mengundangku datang, gugusan tebing dan bukit-bukit
Lamping. Tapi hatiku cangkul juga linggis yang kasmaran
bertahun
Tahun kerinduan. Aku yang telanjang dan dadamu mengambang
Tak kubiarkan kau menunggu dalam kegelisahan yang panjang
Kubongkar kesepianmu dengan kata-kata yang telah diruncingkan
Selalu gelagapan, sebab tak kutemukan permata atau pun intan
Dadamu dipenuhi lumpur serta batu-batu kapur. Selalu kepalaku
Membenturi dinding batu. Tapi aku martil, kubelah kesepianku
Kini aku batu tambang yang terampas dari gugusnya yang keras
Musim semi aku menggosokkan diri hingga menjelma bait puisi
2015
Eriyandi Budiman
Amang S Hidayat
Sketsa Pesta
Kepala-kepala batu berpesta air tuba
Mengalir ke setiap tenggorokan
Yang dahaga akan sumpah-serapah
Menjelma menjadi peradaban kota
Penuh nuansa pisau pencabik tulang
Demokrasi kian congkak
Menjadikan aku alas kaki
Kaki tangan,tangan kanan, bahkan otak udang
Sementara dijalanan ,
Sepasang sendok dan garpu berkarat
Menghujam dibening air mata bocah kumal
Tangannya gemetar mengakrabi rasa lapar
Datang sebagai pecundang
Kepala-kepala batu datang kembali sebagai penguasa
Mewakili sepotong roti yang engkau sisakan dijalanan
Padahal lidah-lidah mengenaskan meneteskan air liur
Kita tonton dengan menampilkan mata berkaca-kaca
Sebagai topeng kemunafikan
Aku kenali engkau politikus
Jiwa yang gelisah dalam keriangan tanpa teman
Hingga kata-kata yang mengalir dari mulut busukmu
Tak begitu indah lagi
Segera akan kusaksikan engkau
Menjadi rimba sunyi tanpa penghuni
Diselimuti kabut kelam dalam bayangan belantaramu sendiri
Tanpa istana kata-kata bersahutan lagi