Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

PERILAKU DAN BUDAYA KESELAMATAN DAN


KESEHATAN KERJA PADA PEKERJA KONSTRUKSI

Ayu Nilasari H
R0014013
A

PROGRAM DIPLOMA 3 HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2016
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................

ii

BAB I........................................................................PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang .........................................................................

B. Analisis Situasi .......................................................................

C. Rumusan Masalah ....................................................................

BAB II..............................................................TUJUAN PENULISAN


7
BAB III.............................................................TINJAUAN PUSTAKA
8
A.

Perilaku dan Budaya K3 ......................................................................

B.

Tujuan Perilaku dan Budaya K3 ..........................................................

10

C.

Perundang-undangan............................................................................

10

BAB IV.................................................KESIMPULAN DAN SARAN


11
A.

Kesimpulan

11

B.

Saran

11

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................

13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) saat ini masih belum
menampakkan perubahan yang signifikan, khususnya di Indonesia. Yang
menjadi catatan adalah standar keselamatan di Indonesia ternyata paling buruk
apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini
dapat dibuktikan dengan penemuan-penemuan kasus kecelakaan di berbagai

3
sektor formal maupun informal. Namun, penyumbang kecelakaan kerja yang
paling tinggi adalah pada jasa konstruksi. Faktor penyebab tingginya
kecelakaan yang terjadi yaitu dari rendahnya budaya keselamatan kerja di
perusahaan tersebut. Kondisi lingkungan kerja yang kurang peduli terhadap
keselamatan pun mendukung rendahnya budaya keselamatan kerja.
Kecelakaan kerja disamping berdampak pada kerugian non materil juga
menimbulkan kerugian materil yang sangat besar, bahkan lebih besar bila
dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan oleh penderita penyakit-penyakit
serius. Pengusaha terkadang enggan memikirkan keselematan pekerja karena
mereka merasa biaya yang akan dikeluarkan lebih besar dari biaya produksi.
Tenaga kerja di jasa konstruksi yang bisa mencapai 4.5 juta orang, 53% di
antaranya hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah
Dasar, sekitar 1.5 % belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun.
Sebagian besar dari mereka juga berstatus tenaga kerja harian lepas atau
borongan yang tidak memiliki ikatan kerja yang formal dengan perusahaan.
Penangan ini tentu bukan hal yang mudah untuk mengubah lingkungan kerja
di jasa konstruksi menjadi lingkungan dengan keselamatan dan kesehatan
kerja yang baik.
Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba membahas terkait perilaku
dan budaya K3 di sektor jasa konstruksi.

B. Analisis Situasi
1. Keadaan sekarang
Jenis-jenis pekerjaan yang berhubungan dengan K3 yang biasa kita
temui adalah manufaktur, pertambangan, konstruksi, minyak dan gas, dan
lain-lain. Dari beberapa jenis pekerjaan tersebut, kegiatan jasa konstruksi
memang telah memeberikan kontribusi penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi di dunia termasuk di Indonesia, baik yang
diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta (Kadin, 2000). Namun,

4
konstruksi adalah pekerjaan yang berbeda dengan yang lainnya.
Konstruksi merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki risiko tertinggi
dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain. Akibat yang dapat ditimbulkan
dari pekerjaan konstruksi yaitu rusaknya peralatan di tempat kerja,
rusaknya lingkungan kerja, kecelakaan yang berdampak cedera ringan,
berat hingga kematian.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecelakaan kerja yaitu
tindakan tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman (unsafe
condition). Dari data kecelakaan yang pernah disebutkan, kecelakaan
dalam bidang konstruksi ini 80% karena human, 8% karena alat, 8%
cuaca, 2% karena nasib, dan 2% lagi karena luck. Seorang pekerja yang
melakukan tindakan tidak aman (unsafe action), memiliki latar belakang
mengapa mereka melakukan tindakan tidak aman. Perilaku manusia
merupakan refleksi dari berbagai kondisi kejiwaan seperti pengetahuan,
keinginan, minat, emosi, kehendak, berpikir, motivasi, persepsi, sikap,
reaksi, dan sebagainya (Zaenal, 2008).
Perilaku tidak aman yang dilakukan terus-menerus oleh pekerja
konstruksi tentu akan menjadikan rendahnya budaya keselamatan kerja
pada jasa konstruksi tersebut. Meskipun di tahun 2015, Indonesia telah
dicanangkan menuju masyarakat berbudaya K3, nyatanya budaya
keselematan kerja belum merata pada semua lini pekerjaan konstruksi.
Budaya keselamatan kerja di Indonesia masih sangat tertinggal jauh dari
negara-negara lain seperti Jepang, Amerika, Kanada, dan lainnya.
2. Trend dan Masalah
Dari beberapa sumber jurnal, artikel, blog yang penulis temukan
budaya keselamatan sendiri terdiri dari lima faktor yaitu: komitmen top
manajemen, peraturan dan prosedur keselamatan, komunikasi, kompetensi
pekerja, lingkungan kerja, dan keterlibatan pekerja. Berikut membahas
secara singkat faktor budaya keselamatan ini
a. Komitmen Top Manajemen
Program keselamatan harus dimulai dari top manajemen sebuah
organisasi. Namun sebaliknya, survei yang dilakukan pada pekerja

5
konstruksi, kurang adanya komitmen yang kuat dari top manajemen
mengenai keselamatan kerja. Banyak pihak top manajemen konstruksi
yang menuntut pekerja konstruksi untuk tidak fokus pada
keselamatan kerja. Top Manajemen tidak merumuskan kebijakan
yang menunjukkan komitmen untuk keselamatan. Semakin rendah
komitmen top manajemen terhadap K3 akan mengakibatkan semakin
rendah pula kinerja proyek konstruksi.
b. Peraturan dan prosedur keselamatan
Survei pada proyek-proyek konstruksi yang telah dilakukan,
ditemukan bahwa peraturan dan prosedur keselamatan yang ada di
proyek konstruksi tidak sesuai dengan peraturan dan prosedur yang
berlaku. Pun ada yang telah membuat peraturan dan prosedur
keselamatan yang sesuai, masih belum di implementasikan dengan
baik oleh pekerja konstruksi. Masalah yang sering ditemukan adalah
bahwa aturan-aturan dan prosedur-prosedur sulit untuk dipahami dan
diterapkan, dan juga tidak pantas dengan kondisi saat ini, dan terlalu
detail. Hal ini juga berhubungan dengan top manajemen. Top
manajemen tidak memiliki komitmen yang kuat.
c. Komunikasi
Komunikasi berpengaruh terhadap budaya keselamatan karena dalam
satu proyek biasanya akan ada banyak tim yang dipimpin oleh
beberapa mandor. Jika kecelakaan terjadi dalam satu tim, tim lain
mungkin tidak mendengar tentang kecelakaan itu karena wilayah kerja
itu jauh. Sehingga, kecelakaan yang telah terjadi tidak bisa menjadikan
pelajaran bagi pekerja-pekerja di proyek konstruksi.
d. Kompetensi pekerja
Umumnya pekerja di proyek konstruksi kurang memiliki pendidikan
yang cukup. Banyak dari pekerja yang menempuh pendidikan hingga
SMA, SMP, SD, dan tidak sedikit yang tidak pernah mendapatkan
pendidikan formal. Selain itu dari beberapa sumber yang didapat
menunjukkan

bahwa

pelatihan

keselamatan

tidak

diberikan

pemahaman yang jelas kepada pekerja. Bahkan ada yang tidak

6
memberikan pelatihan sama sekali terhadap tenaga kerja. Pemahaman
mereka tentang kegiatan yang berkaitan dengan keselamatan hanya
didasarkan

pada

pengalaman

pribadi

dalam

proyek-proyek

sebelumnya.
e. Keterlibatan pekerja
Budaya keselamatan tidak akan maju apabila tidak didukung dengan
keterlibatan pekerja dalam program-program keselamatan. Di beberapa
proyek konstruksi, kecelakaan yang terjadi dan diketahui oleh pekerja
terkadang tidak dilaporkan kepada pihak manajemen meskipun
kecelakaan yang terjadi adalah kecelakaann yang dianggap ringan.
Tetapi apabila dibiarkan, dikhawatirkan akan timbul kecelakaan yang
lebih parah dibandingkan kecelakaan yang telah terjadi sebelumnya.
Pekerja biasanya menutupi hal tersebut ketika manajemen atau safety
officer, atau pengawas K3 sedang melakukan inspeksi dikarenakan
untuk menimbulkan image yang baik.
3. Pencapaian target
Dari kelima faktor yang telah dipaparkan, pencapaian target pada budaya
keselamatan kerja di bidang konstruksi yaitu:
a. Komitmen Top Manajemen
Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang tertulis, jelas,
mudah dimengerti, dan diketahui

oleh seluruh pekerja. Namun,

komitmen tidak hanya dalam bentuk kebijakan tertulis saja, butuh


dukungan dan upaya nyata dari pihak manajemen atau pimpinan untuk
membuktikan bahwa perusahaan benar-benar berkomitmen terhadap
keselamatan kerja. Upaya nyata tersebut dapat ditunjukkan dengan
sikap dan segala tindakan yang berhubungan

dengan keselamatan

kerja (Ramli, 2010). Top Manajemen harus merumuskan kebijakan


yang menunjukkan komitmen untuk keselamatan. Langkah ini akan
menuntun pembuat kebijakan lainnya mengenai keselamatan. Tanpa
itu, sangat sulit untuk mencapai program keselamatan yang sukses.
Komitmen manajemen adalah ukuran yang paling signifikan untuk
menentukan dan mempengaruhi kinerja keselamatan.

7
b. Peraturan dan prosedur keselamatan
Peraturan merupakan suatu hal yang mengikat dan telah disepakati,
sedangkan prosedur merupakan rangkaian dari suatu tata kerja yang
berurutan. Kehadiran peraturan dan prosedur keselamatan dapat
meminimalkan kecelakaan yang disebabkan oleh kondisi yang tidak
aman karena mereka memberikan gambaran yang jelas dan batasan
pelaksanaan program keselamatan dalam proyek konstruksi.
c. Komunikasi
Penting dalam rangka mendukung program keselamatan kerja, untuk
menyediakan jalur informasi yang tepat dari manajemen untuk pekerja
dan sebaliknya. Informasi ini seperti kondisi tidak aman serta aturan
dan prosedur baru yang sangat penting untuk mendukung program
keselamatan. Komunikasi akan menghasilkan persepsi yang nantinya
diintepretasikan secara berbeda oleh tiap individu. Adanya persepsi
berasal dari stimulus-stimulus yang diberikan oleh organisasi ketika
berkomunikasi dengan pekerja.
d. Kompetensi pekerja
Pengetahuan pekerja yang memadai, keterampilan dan kemampuan
untuk pekerjaan mereka, terutama terhadap risiko dan bahaya dalam
pekerjaan mereka, dapat meminimalkan kecelakaan. Kompetensi ini
dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan seleksi pekerja sesuai.
e. Keterlibatan pekerja
Keterlibatan pekerja sangat penting dalam membangun kesadaran
pekerja terhadap program keselamatan. Karena budaya keselamatan
akan menjadi lebih efektif apabila komitmen manajemen dilaksanakan
secara nyata dan terdapat keterlibatan langsung dari pekerja dalam
keselamatan kerja. Bentuk keterlibatan itu bisa partisipasi pekerja
selama program pengembangan keselamatan dan kecelakaan atau
investigasi tindakan tidak aman, pelaporan, memberikan masukan
mengenai adanya kondisi berbahaya di lingkungan, menjalankan dan
melaksanakan kegiatan dengan cara yang aman, memberikan masukan
dalam penyusunan prosedur dan cara kerja aman, dan mengingatkan

8
pekerja lain mengenai bahaya K3. Dihipotesiskan bahwa tingkat yang
lebih tinggi dari keterlibatan akan memberikan pengaruh yang lebih
positif terhadap perilaku keselamatan.
C. Rumusan Masalah
1. Mengapa kecelakaan kerja tertinggi ada pada bidang jasa konstruksi?
2. Apa yang salah dari perilaku dan budaya kselamatan dan kesehatan kerja
di bidang jasa konstruksi?
3. Faktor apakah yang mendukung terciptanya perilaku dan budaya K3 di
bidang konstruksi?
4. Apa yang dapat dilakukan untuk membentuk, mengembangkan, serta
tercipta perilaku dan budaya K3 di bidang jasa konstruksi?

BAB II
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Perilaku dan Budaya Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Pada Pekerja Konstruksi adalah sebagai berikut:
A. Memberikan wawasan kepada pembaca tentang budaya K3 pada pekerja di
proyek konstruksi
B. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung perilaku dan budaya K3
C. Dapat merumuskan pencapaian target untuk perilaku dan budaya K3
pekerja di proyek konstruksi
D. BAB III
E. TINJAUAN PUSTAKA
F.
A. Perilaku dan Budaya K3

9
G.

Istilah budaya K3 (safety culture) diangkat pertama kali oleh

IAEA (the International Atomic Energy Agency), atas dasar hasil analisis
bencana reaktor nuklir di Chernobyl. Menurut Blair (2003) dan Clarke (1999),
konsep budaya K3 merupakan bagian dari budaya organisasi. Budaya
organisasi merupakan kombinasi dari perilaku, sikap, persepsi, dan
keluarannya berupa performansi, yang dapat menggerakan roda organisasi.
Budaya K3 merupakan penjelmaan dari perilaku, sikap, dan nilai secara
bersama untuk mencapai derajad performansi sehat dan selamat, yang
dipahami dan dijadikan prioritas utama dalam suatu organisasi (Blair, 2003;
Cooper, 2002; DePasquale & Geller, 1999).
H.
Budaya K3 merupakan kombinasi dari sikap-sikap, nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, norma-norma dan persepsi dari para pekerja dalam
sebuah organisasi, yang memiliki keterkaitan secara bersama terhadap K3,
perilaku selamat, dan penerapannya secara praktis dalam proses produksi
(Clarke, 2000). Definisi yang senada dikeluarkan oleh The Advisory
Committee on the Safety of Nuclear Installations (ACSNI, 1993) yang yang
kemudian diadaptasi, menyatakan bahwa budaya K3 dalam suatu organisasi
adalah produk nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola-pola perilaku
dari individu dan kelompok yang memiliki komitmen terhadap K3.
I.
Dasar utama dari budaya K3 adalah sikap dan persepsi terhadap K3
(Gadd and Collins,2002). Turner, (1994) mendefinisikan sama seperti tersebut
di atas, namun secara sosial dan teknis praktis budaya K3 ditujukan untuk
meminimalkan paparan potensi sumber resiko bahaya bagi manajer, pekerja,
pelanggan dan semua masyarakat sekitar. Konsep utama dari budaya K3
adalah pentingnya pemahaman bersama, didukung oleh persepsi yang
homogen tentang K3 dalam suatu organisasi, walaupun pasti terdapat
perbedaan persepsi dari seluruh level hirarki dalam suatu organisasi. (Bailey
& Petersen, 1989; Blair,2003; Brown et al., 2000; Carder & Ragan, 2003;
DePasquale & Geller, 1999; Flin et al.,2000; Williamson, Feyer, Cairns, &
Biancotti, 1997).

10
J.

Peningkatan pemahaman terhadap K3 di tempat kerja dapat

melalui pembandingan persepsi pekerja terhadap top manajemen, di mana


sebenarnya standard dan aturan yang relevan akan membantu top manajemen
untuk memberi arahan secara persuasive tentang faktor praktek kerja yang
beresiko kecelakaan (Brown et al.2000). Performansi K3 dapat menjadi lebih
baik, karena diawali dari persepsi yang tepat tentang perilaku selamat terkait
dengan faktor kerja yang beresiko kecelakaan tersebut. Pekerja yang memiliki
persepsi bahwa program K3 tidak akan efektif atau bahwa pengurus
perusahaan kurang memiliki perhatian terhadap K3, maka cenderung untuk
berperilaku tidak mengikuti semua prosedur, apalagi meningkatkan
peformansi K3 (Hagan, Montgomery, & O'Reilly, 2001).
K.
Budaya K3 yang positif diadopsi menurut O'Toole (2002) nampak
dalam semua level hirarki organisasi, merupakan refleksi dari hubungan antara
persepsi pekerja dan komitmen pihak manajemen (pengurus perusahaan)
terhadap K3, karena tanggung jawab utama kepala perusahaan adalah
produktivitas yang didukung oleh K3 bagi kesemuanya. Karakeristik
organisasi yang berbudaya K3 positif antara lain adalah adanya komunikasi
yang penuh saling kepercayaan, memiliki persepsi bersama tentang
pentingnya K3 berdasarkan rasa keyakinan diri terhadap usaha pencegahan
kecelakaan kerja yang terukur. Hal tersebut berdampak nyata terhadap
bagaimana mensikapi stress kerja, rasa bersalah, kelelahan, kejenuhan, dan
kebosanan, dengan dukungan jajaran manajemen yang tetap mengutamakan
K3 (Wong 2003). Termasuk bagaimana sikap, keyakinan, dan persepsi secara
kelompok dalam menjabarkan norma-norma dan nilai-nilai agar dapat
bereaksi dan bertindak atau berperilaku untuk mengontrol adanya resiko dari
sumber bahaya (Hale, 2000; Lee and Harrison, 2000)
L.
M.
B. Tujuan Perilaku dan Budaya K3

11
N.

Tujuan dari Budaya K3 itu sendiri adalah, agar para pekerja sadar

akan pentingnya K3. Bagaimanapun juga, keselamatan pekerja lebih penting


daripada apapun. Oleh karena itu setiap pekerja harus memiliki kesadaran
untuk mengikuti peraturan atau instruksi yang diberikan demi keselamatan
mereka.
O.

Tujuan selanjutnya adalah lebih mementingkan keselamatan

daripada hasil kerja. Setiap pekerja ditekankan untuk menjaga keselamatannya


saat bekerja, dan lebih mementingkan keselamatan daripada hasil produksi.
Apabila mereka berhadapan dengan proses produksi yang ber resiko, tentu
mereka harus menggunakan APD yang sesuai dengan pekerjaan yang mereka
lakukan.
P.
C. Peraturan Perundang-undangan
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 1/Men/1980 tentang K3 Konstruksi
Bangunan
d. Surat keputusan besama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan
Umum No Kep174/Men/1986 dan No 104/Kpts/1986 tentang K3 Tempat
Kegiatan Kontruksi Bangunan
Q.
R.
S.
T.
U.
V.
W.
X. BAB IV
Y. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Z.
Perilaku dan budaya K3 yang masih lemah pada pekerja konstruksi
bukan hanya mempengaruhi keselamatan dan kesehatan kerja pekerja. Namun,

12
pekerjaan pun juga akan terganggu. Sehingga apa yang telah ditargetkan bisa
jadi tidak sesuai harapan. Untuk itu, perlu adanya pendorong agar bisa
mewujudkan perilaku dan budaya K3 pekerja konstruksi yaitu dengan
komitmen manajemen, peraturan dan prosedur keselamatan, komunikasi,
kompetensi pekerja, dan keterlibatan pekerja. Apabila kelima faktor telah
terpenuhi, perilaku dan budaya K3 akan tercipta dengan sendirinya.
AA.
B. Saran
AB.
Perusahaan seharusnya menerapkan beberapa hal dibawah ini:
1. Perilaku dan budaya keselamatan kerja harus dimulai dari top manajemen
terhadap masalah keselamatan kerja. Hal ini dapat dikatakan bahwa top
manajemen merupakan pendorong penting dari budaya keselamatan.
Dengan kata lain, peningkatan budaya keselamatan harus dimulai oleh top
manajemen, untuk contoh dengan memberikan komitmen penuh pada
keselamatan
2. Selanjutnya pelaksanaan konstruksi peraturan dan prosedur keselamatan
kerja memegang peranan penting dalam meningkatkan kinerja proyek
konstruksi. Perusahaan harus membuat peraturan dan prosedur yang jelas
dan mudah dipahami oleh seluruh pkerja konstruksi.
3. Memberikan informasi yang jelas dan detail, agar komunikasi yang terjadi
anatara pekerja dan manajemen atau sebaliknya tidak mengalami
kesalahpahaman.
4. Pemberian pelatihan kepada seluruh pekerja karena tidak semua pekerja
memiliki pendidikan tinggi. pelatihan itu juga dilakukan secara rutin dan
berkala meskipun pekerja konstruksi adalah pekerja sementara.
5. Pekerja juga proaktif dalam program keselamatan yang diadakan di proyek
konstruksi. Perilaku proaktif pekerja dapat ditumbuhkan dengan member
kesadaran terhadap pekerja bahwa keselamatan itu penting.
AC.
AD.
AE.
AF.
AG.

13
AH.
AI.
AJ.
AK.
AL.
AM.
AN.
AO.
AP.
AQ.
AR.
AS.
AT.
AU.
AV.
AW.
AX.
AY.
AZ.
BA.
BB.
BC.
BD.
BE.
BF.
BG.
BH.
BI.
BJ.
BK.
BL.
BM.
BN.
BO.
DAFTAR PUSTAKA
BP.
BQ.
Andi. 2008. Construction Workers Perceptions Toward Safety
Culture. Surabaya.
BR.
BS. Baek, J, dkk. 2011. Safety climate perceptions and attitudes of supervisors
in the Korean Industry. Korea: ChungJu National University.
BT.
BU. C, Suzanne. 2002. Creating a culture of safety. USA: Harvard School of
Public Health, Boston.
BV.

14
BW. Gambatese, J, dkk. 1998. Addressing construction worker safety in the
design phase Designing for construction worker safety. USA: University of
Washington.
BX.
BY. Jatmiko, Fauzi, dkk. 2013. Budaya dan Iklim Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta. 20 Maret 2016.
BZ.
CA. NN. Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Proyek Konstruksi.
http://civil-engeneering-poliwangi.blogspot.co.id/2014/09/makalah-k3keselamatan-kerja-pada.html. 20 Maret 2016
CB.
CC. R.B, Bensar, dkk. 2012. Makalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Budaya K3. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
CD.
CE. Saidin, Mohd, dkk. 2007. Development of Safety Culture in the Construction
Industry: A Conceptual Framework. Malaysia: Universiti Teknologi
Malaysia.
CF.
CG. Yuni, Wieke, dkk. 2012. Pengaruh Budaya Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3) Terhadap Kinerja Proyek Konstruksi. Malang: Universitas
Brawijaya.
CH.
CI. Zain, Karina, dkk. 2014. Hubungan antara faktor pembentuk budaya
keselamatan kerja dengan safety behavior di PT. DOK dan perkapalan
Surabaya Unit Hill Construction. Surabaya: Universitas Airlangga.
CJ.

Anda mungkin juga menyukai