Pembimbing :
dr. P. Tepo Utomo, SpM
Disusun oleh :
Novpi Susanto
11 2000 003
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi jamur pada kornea atau keratomikosis merupakan masalah tersendiri
secara oftalmologik, karena sulit menegakkan diagnosis keratomikosis ini, padahal
keratomikosis cukup tinggi kemungkinan kejadiannya
masyarakat Indonesia yang agraris dan iklim kita yang tropis dengan kelembaban
tinggi.
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus
keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis
jamur.
Masalah keratitis jamur menyebabkan kekhawatiran dokter-dokter mata.
Penting untuk selalu siap akan kemungkinan infeksi ini dan menganjurkan
pemeriksaan laboratorium yang memadai untuk membuat diagnosis dan terapi yang
tepat. Morbiditas infeksi jamur cenderung mengingkat daripada keratitis bakteri
karena diagnosis yang tertunda.
Keratitis jamur lebih berprevalensi di Amerika Serikat bagian selatan dan barat
daya. Kenyataaan bahwa ada peningkatan jumlah kasus di Amerika Serikat sejak
tahun 1960 yang diperkirakan adanya peningkatan insidens dan mungkin juga
pengenalan keratitis jamur yang baik. Beberapa kejadian diperkirakan karena
penggunaan kortikosteroid yang berlebih mungkin memberi kontribusi pada
peningkatan insidens. Insidens musiman keratitis jamur, biasanya disebabkan karena
jamur berfilamen, sebagian karena faktor lingkungan.
Setelah diagnosis ditegakkan, masalah pengobatan juga merupakan kendala,
karena jenis obat anti jamur yang masih sedikit tersedia secara komersial di Indonesia
serta perjalanan penyakitnya yang sering menjadi kronis.
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
DEFINISI
Keratitis adalah reaksi inflamasi kornea. Keratitis jamur dapat menyebabkan
infeksi jamur yang serius pada kornea dan berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah
ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis ulseratif. Lebih dari 70 spesies
jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur.
INSIDENSI
Walaupun infeksi jamur pada kornea sudah dilaporkan pada tahun 1879 oleh
Leber, tetapi baru mulai periode 1950-an kasus-kasus keratomikosis diperhatikan dan
dilaporkan, terutama di bagian selatan Amerika Serikat dan kemudian diikuti laporanlaporan dari Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Banyak laporan menyebutkan
peningkatan
angka
kejadian
ini
sejalan
dengan
peningkatan
penggunaan
Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.
3.
Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media pembiakan
membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp,
Sporothrix sp.
Tampaknya di Asia Selatan dan Asia Tenggara tidak begitu berbeda penyebabnya,
yaitu Aspergillus sp dan Fusarium sp, sedangkan di Asia Timur Aspergillus sp.
PATOLOGI
Hifa jamur cenderung masuk stroma secara paralel ke lamella kornea.
Mungkin ada nekrosis koagulatif stroma kornea yang meluas dengan edema serat
kolagen dan keratosit. Reaksi inflamasi yang menyertai kurang terlihat daripada
keratitis bakterialis. Abses cincin steril mungkin ada yang terpisah pusat ulkus.
Mikroabses yang multipel dapat mengelilingi lesi utama. Hifa berpotensi masuk ke
membrane Descement yang intak dan menyebar ke kamera okuli anterior. Di banyak
kasus, jamur dapat tidak ditemukan dari permukaan dan stroma superfisial pada
spesimen histopatologi, yang menjelaskan kegagalan pengambilan sampel untuk
menemukan organisme pada ulkus pada tahap yang lanjut.
MANIFESTASI KLINIK
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur
dalam bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut.
Agen-agen ini dapat menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut ,
respon antigenik dengan formasi cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan
infiltrasi abu-abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang
tidak meradang tampak elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi
utama dan berhubungan dengan mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel
terhadap ulkus. Cincin imun dapat mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi
antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh. Sebagai tambahan, hipopion dan
sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi konjungtiva dan kamera okuli
anterior dapat cukup parah.
Sebenarnya gambaran yang khas pada ulkus kornea tidak ada. Infeksi awal
dapat sama seperti infiltrasi stafilokokus, khususnya dekat limbus. Ulkus yang besar
dapat sama dengan keratitis bakteri.
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut :
1.
2.
Lesi satelit.
3.
Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti
hifa di bawah endotel utuh.
4.
Plak endotel.
5.
6.
7.
DIAGNOSIS LABORATORIK
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan
diagnosis keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta
India, dengan angka keberhasilan masing-masing 20-30%, 50-60%, 60-75% dan
80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic
Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang besar. Akhir-akhir
ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk
melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan
cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar
ekstrak maltosa.
2.
Pemeriksaan laboratorik :
a)
b)
3.
4.
Berspektrum luas.
2.
3.
4.
5.
Berdaya
penetrasi
pada
kornea
setelah
pemberian
secara
topikal,
Tidak toksik.
7.
Antibiotik polyene :
a)
b)
2.
3.
4.
Halogens: Yodium.
5.
6.
Pyrimidine: Flucytosine.
7.
Antibiotik polyene :
Berdaya anti fungi karena mengganggu permeabilitas membran jamur
sehingga terjadi ketidakseimbangan intraseluler. Polyene dengan molekul kecil seperti
TERAPI
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat
komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan kreativitas dalam improvisasi
pengadaan obat, yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis
keratomikosis yang dihadapi; bisa dibagi:
1.
2.
Jamur berfilamen.
3.
Ragi (yeast).
4.
Debridement
2.
3.
Keratoplasti tembus
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria
penyembuhan antara lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari
lesi-lesi ireguler pada tepi ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya
infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik
biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek epitel yang sulit
menutup belum tentu menyatakan bahwaterapi tidak berhasil, bahkan kadang-kadang
terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan
kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Ilyas, Sidarta : Ilmu Penyakit Mata, edisi kedua, Jakarta, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002.
5.
http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/11InfeksiJamur087.pdf/11InfeksiJa
mur087.html.
6.
http://www.usmicro-solutions.com/fungi.html