Anda di halaman 1dari 4

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan menggunakan larutan garam

dengan konsentrasi 5 % dan 10 %, semua cacing tidak ada yang melalui kertas tissue.
Cacing tanah memiliki organ sensorik yang berkembang dengan baik dan memiliki
struktur sederhana. Terdapat 3 tipe organ sensorik pada cacing tanah yaitu reseptor
epidermal, reseptor pada rongga mulut (buccal), dan reseptor cahaya (Susilowati dan
Rahayu, 2007). Reseptor epidermal dan reseptor buccal merupakan organ yang
merespon stimulus kimiawi. Reseptor epidermal terdistribusi pada bagian epidermis,
terutama pada sisi lateral dan pemukaan ventral tubuh. Sedangkan reseptor buccal
terletak dirongga mulut, organ ini berfungsi untuk merespon stimulus kimia yang
berasal dari makanan (Susilowati dan Rahayu, 2007). Stimulus berupa larutan garam
diterima oleh organ sensorik cacing tanah melalui reseptor epidermal yang terletak
pada sisi ventral maupun sisi lateral tubuh cacing. Reseptor epidermal tersebut
merupakan bagian dari system saraf tepi dan stimulus yang diterima oleh reseptor
epidermal akan diteruskan ke seluruh bagian tubuh. Jadi, jika ada stimulus yang
mengenai bagian tertentu dari cacing tanah, maka respon akan dilakukan oleh semua
bagian tubuh.
Pada pengamatan respon cacing terhadap larutan garam dengan konsentrasi
5%, cacing memberikan respon yang negatif, yaitu cacing berbalik menjauhi
stimulus. Penagamatan tersebut tidak sesuai dengan teori. Menurut.menunjukkan
bahwa pada konsentrasi 5% larutan garam tidak terlalu beracun bagi cacing tanah,
konsentrasi garam yang rendah pada caicing tanah tidak akan membunuh cacing
tanah, sehingga tidak mempengaruhi kondisi tubuh cacing tanah tersebut. Jadi tidak
terjadi respon kimiawi di dalam tubuh cacing yang dapat memicu timbulnya
mekanisme homeostatis. Kesalahan pada saat pengamatan yang praktikan lakukan
menyebabkan hasil tidak sesuai dengan teori. Hal tersebut dikarenakan kesalahan
praktikan yang kurang teliti dalam pengamatan respon, dimana cacing dibiarkan
terlalu lama mendekati kertas tisu sehingga cacing berbalik arah. Sedangkan pada
pengamatan larutan garam dengan konsentrasi 10 % terjadi respon negative yaitu
cacing tanah bergerak menghindari kertas tissue. Hal ini menunjukkan bahwa pada

konsentrasi 10% larutan garam mempengaruhi kondisi tubuh cacing tanah tersebut,
sehingga terjadi respon kimiawi di dalam tubuh cacing. Hal ini terjadi karena cairan
di luar tubuh cacing lebih pekat dari pada cairan intrasel cacing sehingga, dapat
mengakibatkan cairan intrasel berdifusi keluar tubuh. Cacing tanah

tidak dapat

mentoleransi kekuatan ion yang tinggi, karena konsentrasi garam yang tinggi merusak
kulit sensitif mereka, cacing tanah tidak dapat memiliki kontrol atas regulasi osmotik.
Selain itu, sel-sel neurosecretory dalam cacing tanah memainkan peran penting dalam
keseimbangan air serta regulasi ionik dan osmotik. Garam secara signifikan
mengganggu fungsi sel-sel neurosecretory ini. Garam dapat menyebabkan kulit
cacing tanah mengering sehingga dapat menyebabkan cacing sulit bernafas. Oleh
karena itu garam seperti natrium klorida sangat beracun bagi sebagian besar spesies
cacing tanah, sehingga ketika reseptor epidermal menangkap stimulus tersebut, maka
langsung terjadi respon kimiawi negatif dari seluruh bagian tubuh cacing.
Pada pengamatan selanjutnya adalah respon cacing tanah terhadap cairan
mucus. Berdasarkan data hasil pengamatan menunjukkan respon negatif yaitu cacing
bergerak menjauhi kertas yang telah terdapat cairan mukus. Hasil pengamatan yang
telah dilakukan tidak sesuai dengan teori. Menurut Riyanto (2005) menyatakan
bahwa cacing tanah menghasilkan cairan mukus yang dihasilkan oleh kelenjar mucus
epidermal. Cairan mucus memiliki banyak fungsi, fungsi yang utama yaitu untuk
menjaga kelembaban tubuh. Pertukaran gas O2 dan CO2 pada cacing tanah terjadi
melalui difusi pada permukaan tubuhnya, kondisi permukaan tubuh yang lembab
membantu cacing tanah untuk lebih mudah mengikat oksigen dari lingkungan dan
berdifusi masuk ke dalam tubuh, sedangkan karbondioksida diikat untuk dikeluarkan
dari tubuh. Selain itu, cairan mucus juga berfungsi untuk membantu pergerakan
cacing tanah. Karena kondisi tanah yang lembab dan licin menyebabkan cacing tanah
lebih mudah untuk bergerak dan mendeteksi keadaan sekitar, misalnya kondisi pH
lingkungan. Cairan mucus pada cacing tanah juga berfungsi sebagai sarana
komunikasi cacing tanah, misalnya digunakan untuk menunjukkan suatu tempat dan
berperan ketika cacing tanah mencari pasangan untuk melakukan proses reproduksi

(Riyanto,2005).
Cairan mucus yang dikeluarkan oleh cacing tanah memiliki sifat yang spesifik.
Namun, karena setiap cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitive, maka
senyawa yang dihasilkan oleh cacing lain dapat dideteksi dengan mudah. Sehingga,
cacing yang sama spesies maupun yang berbeda spesies dapat mengikuti arah
pergerakan yang ditandai dengan cairan mucus. Ketidaksesuaian hasil yang didapat
dengan teori dikarenakan kesalahan praktikan dalam mengamati respon cacing pada
kertas yang terdapat cairan mucus yang terlalu lama sehingga cacing bergerak
menjauh.
Pengamatan selanjutnya adalah respon cacing tanah terhadap cairan celom
menunjukkan cacing tanah memberikan respon negatif, yang artinya cacing bergerak
menjauhi stimulus. Menurut Susilowati dan Rahayu (2007) menyatakan bahwa cairan
selom adalah alat komunikasi lain cacing tanah yang dihasilkan oleh korpuskula
selom. Cairan selom bersifat alkaline, tidak berwarna, mengandung air, garam, dan
beberapa protein. Diduga cairan selom ini dihasilkan oleh sel kloragogen yang
berfungsi mengekskresikan produk dari cairan selom. Senyawa kimia ini berfungsi
sebagai alat komunikasi dan dapat bertahan aktif pada suatu tempat dalam waktu
yang lama. Selain itu, sifat dari senyawa tersebut sangat spesifik dan karena setiap
cacing memiliki kemoreseptor yang sangat sensitif, maka senyawa tersebut dapat
dideteksi oleh cacing tanah jenis lain dengan mudah (Susilowati dan Rahayu, 2007).
Sifat alkali yang terdapat pada cairan selom ini berfungsi sebagai racun untuk
perlindungan diri cacing tanah ketika merasa terancam. Sehingga, cairan selom
dikeluarkan hanya pada saat cacing tanah merasa terancam atau ada gangguan yang
mengenai permukaan tubuh cacing, misalnya pada perlakuan dengan kejutan listrik.
Kejutan listrik yang diberikan tersebut merupakan stimulus yang kemudian ditangkap
oleh reseptor epidermal sebagai suatu bentuk ancaman, sehingga sel Kloragogen
dengan cepat mendistribusikan cairan selom untuk melindungi permukaan tubuh.
Ketika cairan selom dikeluarkan dari tubuh cacing tanah, cairan ini berfungsi sebagai
penanda adanya bahaya. Hal ini membuktikan bahwa terjadi respon negative pada

cacing tanah yang membuktikan adanya interaksi kimia terhadap cairan selom yang
berada didekatnya.

Anda mungkin juga menyukai