UNIVERSITAS UDAYANA
ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan
Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pembimbing
iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan
Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Penguji II
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas
berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi
Implementasi Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue) di Kota
Denpasar tahun 2015 tepat pada waktunya
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh masukan,
bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat selesai
tepat pada waktunya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain
kepada :
1. Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH.,PhD selaku Ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat atas ijin dan petunjuknya dalam penyusunan skripsi ini
2. Ibu dr. Ni Made Sri Nopiyani, MPH, selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini
3. Bapak Made Kerta Duana, SKM, MPH, selaku dosen pembimbing akademis
yang telah memberikan motivasi dan masukan selama proses kuliah hingga
penyusunan skripsi ini
4. Ibu Putu Ayu Indrayathi, SE, MPH, selaku kepala bagian peminatan AKK
yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini
5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan banyak dukungan,
semangat dan memberikan segalanya dalam proses penyusunan skripsi ini
6. Teman teman IKM angkatan 2011 yang telah banyak memberikan dukungan
dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini
v
7. Seluruh staf dan petugas di Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang telah
membantu dalam seluruh proses penyusunan skripsi ini
8. Seluruh staf dan petugas di Puskesmas I , III Denpasar Selatan dan Puskesmas
II Denpasar Barat yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini
vi
ABSTRAK
Kebijakan tentang pengadaan obat pemerintah melalui mekanisme EPurchasing berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue) merupakan kebijakan baru
yang bertujuan untuk menunjang proses pengadaan obat pemerintah pada era JKN.
Pada fase awal pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue belum pernah
dilakukan evaluasi untuk menilai implementasi kebijakan tersebut. Penelitian
bertujuan untuk mengevaluasi implementasi pengadaan obat berdasarkan ECatalogue dilihat dari ketersediaan input, proses hingga output.
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar serta
empat Puskesmas di Kota Denpasar yang dipilih secara purposive yang terdiri dari
dua Puskesmas dengan jumlah kunjungan tertinggi dan dua Puskesmas dengan jumlah
kunjungan terendah. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan
wawancara mendalam dan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
Informan penelitian berjumlah tujuh orang yang terdiri dari petugas pengelola obat
Puskesmas, Kepala Puskesmas, staf Dinas Kesehatan dan Kepala Seksi di Dinas
Kesehatan Kota Denpasar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan input dari proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue dari segi pendanaan mencukupi, telah dilengkapi
juknis pelaksanaan, SDM masih kurang dan sasaran belum mencapai 100%
Puskesmas di Kota Denpasar. Proses perencanaan kebutuhan obat lebih sistematis
disbanding sebelumnya dan sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 63
Tahun 2014. Pemesanan dan perjanjian kontrak yang dilakukan telah sesuai dengan
PMK. Distribusi obat pernah mengalami keterlambatan dan realisasi obat tidak
mencapai 100%. Faktor yang mendukung proses implementasi adalah telah dibentuk
tim pengadaan dari Puskesmas dan telah ditunjang dengan sarana. Faktor
penghambatnya adalah tim pengadaan yang dibentuk kurang efektif, kerja sama
dengan banyak rekanan dan gangguan sistem yang sering terjadi dari server pusat.
Secara keseluruhan implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
telah berjalan dengan cukup baik, namun masih ditemukan berbagai permasalahan
dari segi input,proses dan output. Sehingga untuk mencapai outcome perlu dilakukan
berbagai penyempurnaan terkait dengan kebijakan tersebut.
Kata kunci : Evaluasi, pengadaan obat, E-Catalogue
vii
ABSTRACT
Government policy on drugs procurement through E-Purchasing based on
electronic catalogs (E-Catalogue) is a new policy that aim to support government drug
procurements process in JKN era. In the initial phase, no prior study has been done to
measure policy implementation. The research aimed to evaluate implementation of
drug procurements based on e-Catalogue by observing the input availability, process,
and output.
This study uses an observational design with a qualitative approach. It was
conducted in Denpasar City Health Department and four public health centers
(Puskesmas)in Denpasar which have been chosen purposively consisting two public
health centers with the highest number of visit and two public health centers with the
lowest number of visit. Primary data collection was done by in-depth interview and
secondary data was obtained from Denpasar City Health Department. The informant
of research consist of seven people, including drug management officers, Chief Public
Health Center, Health Department staff and section head of Denpasar City Health
Department Office
The results showed that the availability of input of drug procurement process
based E-Catalogue is still lacking in terms of human resources, insufficient funding,
has been equipped with the implementation of the guidelines and objectives have not
reached 100% public health centers in the city of Denpasar. Drug demand planning
process is in conformity with the regulation (Peraturan Menteri Kesehatan No. 63
Tahun 2014) but the planning process became more systematic. Purchase order and
contractual agreements made in accordance with the PMK. Drug distribution have
experienced delays and drug realization does not reach 100%. Factors which reinforce
the implementation of E-Catalogue system are the establishment of procurement team
in Public Health Center and supported by adequate facilities. On the other hands,
inhibiting factors arise are the staff who are involve in procurement team have more
workload than before which could be less effective, cooperation with many partners
and system disorder that often occurs from a central server.
The overall implementation of drug procurement based E-Catalogue has been
running quite well. However, there are still many problems found in terms of input,
process and output. Therefore, a lot of improvements related to the policy need to be
done to achieve a better outcome.
Keywords :Evaluation, drug procurement, E-Catalogue
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ...i
Halaman Judul dengan spesifikasi.ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...............................................................................iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................................vii
ABSTRACT .............................................................................................................. viiii
DAFTAR ISI............................................................................................................... ixx
DAFTAR TABEL ........................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xivv
DAFTAR SINGKATAN/ ISTILAH............................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1
1.2
1.3
Tujuan ............................................................................................................. 5
Manfaat ........................................................................................................... 6
2.5
2.6
3.2
4.2
4.3
4.4
4.6
BAB V HASIL............................................................................................................. 39
5.1
5.2
5.3
5.4
5.4.1 Ketersediaan input dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue ...... 44
5.4.2 Proses perencanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue ............... 49
5.4.3 Proses substitusi obat yang tidak tercantum dalam daftar E-Catalogue .. 51
5.4.4 Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak............................... 52
5.4.5 Proses distribusi obat ke Puskesmas ......................................................... 53
5.4.6 Cakupan realisasi obat .............................................................................. 54
5.4.7 Faktor Pendukung dalam proses pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue....................................................................................................... 56
5.4.8 Faktor Penghambat dalam proses pelaksanaan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue .................................................................................. 57
5.4.9 Sustainabilitas kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue....... 59
x
BAB VI PEMBAHASAN............................................................................................ 61
6.1
6.3
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
6.9
Simpulan ....................................................................................................... 84
7.2
Saran ............................................................................................................. 86
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1Keaslian Penelitian 28
Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ..31
Tabel 5.1 Jumlah Kunjungan Puskesmas di Kota Denpasar Tahun 2014 41
Tabel 5.2 Daftar Obat yang Tidak Terealisasi Tahun 2014 di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar..56
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Simple Logic Model Proses Pengadaan Obat Berdasarkan
E-Catalogue 30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
Dinkes
: Dinas Kesehatan
LKPP
PBF
Pokja ULP
PPK
CPOB
DOEN
BPOM
APBD
DAK
UPT
Kepmenkes
PMK
Juknis
: Petunjuk Teknis
JKN
CDOB
LPLPO
SDM
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu aspek dalam menunjang
dimiliki untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap saat
dibutuhkan untuk operasional yang efektif dan efisien (Syair, 2008).
Untuk menjaga ketersediaan obat dan kualitas obat di instansi kesehatan
seperti Puskesmas maka hal terpenting yang harus diperhatikan selama proses
pengelolaan obat yaitu proses perencanaan dan pengadaan obat (Athijah,dkk. 2010).
Perencanaan kebutuhan obat merupakan suatu proses memilih jenis dan menetapkan
jumlah perkiraan kebutuhan obat sementara pengadaan merupakan usaha usaha dan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi
perencanaan (Seto, 2004). Proses perencanaan dan pengadaan menjadi bagian yang
begitu penting dalam pengelolaan obat dalam menunjang ketersediaan obat di
Puskesmas.
Kegiatan pengadaan obat di Puskesmas meliputi penyusunan daftar
permintaan obat yang sesuai kebutuhan, pengajuan kebutuhan permintaan obat kepada
Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II/ Gudang Obat dengan menggunakan formulir
daftar permintaan obat serta penerimaan dan pengecekan jumlah obat (Depkes RI.
2007). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang/ Jasa Pemerintah sebagaimana disebutkan bahwa pengadaan barang/ jasa di
instansi pemerintahan dilakukan secara manual. Di awal tahun 2013 Kementerian
Kesehatan melalui Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran NOMOR
KF/MENKES/337/VII/2013 tentang Pengadaan Obat Pemerintah melalui Mekanisme
E-Purchasing berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue). Kebijakan baru tersebut
bertujuan untuk menunjang proses pengadaan obat pemerintah yang harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip pemerintah yang baik dan bersih, prinsip keadilan,
transparansi, profesional dan akuntabel untuk mendapatkan produk yang berkualitas
dengan harga yang wajar baik untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional maupun
program kesehatan lainnya.
Pada fase awal pelaksanaan pengadaan obat dengan E-Catalogue di tahun
2013 Pemerintah Pusat telah melakukan sosialisasi terkait dengan kebijakan baru
tersebut. Pengadaan obat dengan E-Catalogue telah diadopsi oleh 432 Dinas
Kesehatan dan Rumah Sakit Pemerintah di seluruh Indonesia, 29 industri farmasi
yang bertindak sebagai pihak penyedia obat dan dalam katalog obat elektronik
tersebut telah mencakup 326 sediaan obat generik. Dalam prakteknya beberapa pihak
mulai dari pihak pemegang program sampai pihak penyedia obat masih beradaptasi
dalam menjalankan kebijakan baru tersebut, seehingga di tahun pertama
pelaksanaannya yang merupakan masa transisi kebijakan menyebabkan terkendalanya
pengadaan obat oleh instansi kesehatan pemerintah. Pada tahun 2014 Menteri
Kesehatan kembali mengeluarkan Surat Edaran NOMOR KF/MENKES/167/III/2014
tentang pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue). Dalam surat
edaran tersebut mengatur mengenai pengadaan obat dilaksanakan berdasarkan ECatalogue obat dengan menggunakan metode pembelian secara elektronik (EPurchasing) sebagaimana tercantum dalam katalog obat yang telah ditetapkan oleh
LKPP selaku lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam proses pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Sejak bulan Maret tahun 2014 jumlah sediaan obat
generik yang telah tercantum adalah 453 sediaan dan industri farmasi yang
berpartisipasi dalam menunjang proses pengadaan obat telah berjumlah lebih dari 100
(Kemenkes RI, 2014).
Desentralisasi di bidang kesehatan memberikan keleluasaan kepada daerah
untuk menggali potensi yang dimiliki dalam membangun daerahnya, sehingga Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota akan mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
1.2
Rumusan Masalah
Pada fase awal pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
1.3
Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengevaluasi implementasi pengadaan obat berdasarkan katalog
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui ketersediaan input yang menunjang proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015
2. Untuk mengetahui proses perencanaan pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015
3. Untuk mengetahui proses pengajuan dan perjanjian kontrak dari pihak
pemegang program dengan pihak PBF dalam pengajuan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015
1.4
Manfaat
1.4.1
Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam
Manfaat teoritis
1. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta
pengetahuan terkait dengan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
2. Bagi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan
penelitian lanjutan dari mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
1.5
E-Catalogue.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Evaluasi Implementasi
2.1.1
Pengertian Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu penilaian secara sistematis untuk menentukan atau
menilai kegunaan dan keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari
suatu program. Hal yang paling penting dalam melakukan suatu evaluasi adalah harus
memiliki tujuan evaluasi yang jelas. Evaluasi dirancang untuk memberikan nilai pada
suatu intervensi dengan mengumpulkan informasi yang valid dan reliable terhadap
intervensi tersebut yang dilakukan secara sistematis (Ovretveit, 1998). Evaluasi
terhadap suatu intervensi yang diberikan baru dapat dilakukan jika suatu intervensi
tersebut telah berjalan dalam cukup waktu. Untuk melakukan evaluasi terhadap
kebijakan yang baru diambil dapat dilakukan dalam waktu yang cukup lama untuk
mengetahui outcome atau dampak yang ditimbulkan. Semakin strategis dan semakin
terstrukturnya suatu kebijakan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengetahui outcome atau dampak dari kebijakan tersebut. Namun jika ingin
mengetahui bagaimana proses dan pelaksanaan dari suatu kebijakan yang sifatnya
lebih teknis maka dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, misalnya 2 tahun
setelah kebijakan tersebut diimplementasikan (Ervina, 2008).
2.1.2
Tujuan Evaluasi
Tujuan dari evaluasi menurut Ervina (2008) adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan.
Dengan melakukan evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan
sasaran dari kebijakan
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan
Dengan melakukan evaluasi dapat diketahui keefektifan suatu kebijakan
yang dilihat biaya, sumber daya dan manfaat dari suatu kebijakan
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan
Evaluasi digunakan untuk mengukur seberapa besar dan kualitas keluaran
dari suatu kebijakan
4. Mengukur dampak suatu kebijakan
Evaluasi dapat digunakan untuk menilai dampak dari implementasi
kebijakan yang dapat berdampak positif maupun negatif
5. Untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi
Evaluasi dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan yang mungkin
terjadi dengan membandingkan tujuan dan sasaran dengan target yang
dicapai
6. Untuk bahan masukan dalam kebijakan selanjutnya
Tujuan akhir dari suatu evaluasi adalah untuk memberikan masukan dalam
perumusan kebijakan berikutnya. Namun tujuan akhir yang merupakan tujuan yang
utama dari evaluasi adalah untuk pengambilan keputusan. Keputusan tersebut akan
berguna dalam perumusan kebijakan selanjutnya dan juga dapat digunakan untuk
menentukan keefektifan kebijakan sebelumnya.
10
2.1.3
Metode Evaluasi
Beberapa ahli menyebutkan berbagai macam metode dalam melakukan
evaluasi. Menurut Azwar (2010) dan Notoatmodjo (2011) evaluasi dapat dibedakan
menjadi empat kelompok yaitu :
1. Evaluasi terhadap input, evaluasi yang menyangkut pemanfaatan berbagai
sumber daya yang mencakup sumber daya manusia, sumber dana ataupun
sarana.
2. Evaluasi terhadap proses, evaluasi yang menitikberatkan pada pelaksanaan
program apakah sudah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak
3. Evaluasi terhadap output, evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari suatu
program. Penilaian tersebut bertujuan untuk mengetahui capaian program
apakah sudah sesuai dengan target atau kriteria yang ditetapkan
4. Evaluasi terhadap dampak, evaluasi terhadap dampak dari suatu program
yang mencakup pengaruh yang ditimbulkan atau intervensi yang diberikan
terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat
2.1.4
Implementasi Kebijakan
Implementasi suatu kebijakan sangatlah berhubungan dengan perencanaan
11
implementasi tidak bisa dilakukan dengan sempurna seperti dalam proses perumusan
kebijakan.
Banyak kebijakan yang tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, artinya
terdapat beberapa kegiatan yang gagal dalam proses implementasinya. Kegagalan
dalam implementasi kegiatan disebabkan oleh dua hal utama yaitu kebijakan yang
tidak terlaksana atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dan kebijakan yang
mengalami kegagalan saat dilaksanakan. Dalam implementasi suatu kebijakan dikenal
dengan berbagai model implementasi kebijakan. Menurut Buse (2012) dalam bukunya
yang berjudul Making Health Policy menyebutkan ada dua model teori implementasi
kebijakan, yaitu :
1. Teori Implementasi Top-Down
Merupakan suatu teori yang mengedepankan pembagian yang jelas antara
formulasi kebijakan dan implementasi, proses implementasi yang rasional
dan linier dimana tingkat tingkat di bawahnya melaksanakan praktek
berdasarkan apa yang diarahkan oleh pihak yang tingkatnya lebih tinggi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Teori Implementasi Bottom-Up
Merupakan teori yang mengakui dimana tingkatan di bawah yang lebih
rendah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam proses
implementasi, termasuk memiliki berbagai keleluasaan untuk merubah
kebijakan dalam sistem, dengan demikian dapat mencapai tujuan
kebijakan sesuai dengan yang dikehendaki atau yang tidak dibayangkan
oleh pihak di atas.
12
2.1.5
Evaluasi Implementasi
Dalam siklus kebijakan terdapat berbagai proses dalam menunjang tercapainya
tujuan dari kebijakan tersebut. Proses dalam siklus tersebut dimulai dari perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kegiatan (Buse, 2012). Implementasi
dan evaluasi merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan. Implementasi merupakan
intervensi yang diberikan dalam suatu kebijakan sedangkan evaluasi merupakan
proses untuk melakukan penilaian terhadap intervensi yang diberikan. Dalam
melakukan evaluasi implementasi, proses evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif merupakan evaluasi yang
dirancang untuk memberikan kontribusi langsung bagi pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab program sehingga membentuk wajah program yang baik dalam
perumusan sampai implementasinya. Evaluasi sumatif dirancang untuk memberikan
ruang dalam proses pengambilan keputusan, dimana berfokus kepada dampak yang
ditimbulkan dari capaian program yang telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
2.2
Pengadaan Obat
2.2.1
Pengertian Obat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia obat memiliki pengertian sebagai
bahan
yang
digunakan
untuk
mengurangi,
menghilangkan
penyakit
atau
menyembuhkan seseorang dari penyakit. Secara garis besar pengertian obat tersebut
hanya penjelasan yang spesifik mengenai obat yaitu hanya berfungsi dalam proses
penyembuhan penyakit. Namun sebenarnya obat dapat digunakan untuk mencegah
penyakit, meningkatkan kekebalan tubuh dan juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa suatu penyakit (Bahfen, 2006).
13
Pengertian obat jika dilihat dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) adalah bahan atau campuran bahan yang dibuat,
ditawarkan atau disajikan untuk digunakan dalam proses pengobatan, pencegahan,
pemulihan, atau diagnosa. Obat juga memiliki berbagai istilah dalam penggunaannya,
antara lain :
1. Obat
Pengadaan Obat
Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah proses untuk
14
dalam jumlah yang tepat, harga yang wajar dan kualitas yang sesuai dengan standar
yang diakui (Quick, 2007). Untuk memperoleh obat dapat dilakukan dengan
pembelian, sumbangan atau melalui pabrik. Dalam pengadaan obat terdapat suatu
siklus yang terdiri dari :
1. Perencanaan kebutuhan obat
Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas merupakan proses
kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis
dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas
(Dirjen Binfar, 2010). Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas
bertujuan untuk mendapatkan perkiraan jumlah dan jenis obat yang sesuai
dengan kebutuhan, meningkatkan efisiensi penggunaan obat dan
meningkatkan penggunaan obat secara rasional. Proses perencanaan
15
16
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Antonius
(2012)
tentang
2.3
2.3.1
terdistribusi
secara
adil
dan
merata
dalam
upaya
menjamin
kesehatan
masyarakat
setinggi
tingginya
(Kepmenkes
RI
No.131/Menkes/II/2004).
Prinsip dalam penyelenggaraan subsistem obat dan perbekalan kesehatan
yaitu:
1. Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia oleh
karena itu tidak dilakukan sebagai komoditas ekonomi semata
2. Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik sehingga harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkaunnya, karena itu penetapan harga
17
obat
dan
perbekalan
kesehatan
secara
nasional
18
19
jasa yang dapat dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia
barang/ jasa yang terdaftar pada sistem elektronik. Prinsip pemilihan penyedia barang/
jasa sebagaimana mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yaitu
secara efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Dengan
sistem tersebut maka proses pengadaan obat yang dilakukan oleh seluruh Satuan
Kerja di bidang kesehatan mulai dari Puskesmas, Dinas Kesehatan hingga Rumah
Sakit Pemerintah dilakukan berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue) dengan
sistem E-Purchasing.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang
Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue terdapat tata cara dalam melakukan
pengadaan obat pemerintah yang akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Persiapan
Pengadaan obat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan
Pengadaan (Pokja ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan Kerja berdasarkan
perintah dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja di Bidang
Kesehatan.
a. Satuan
Kerja
Bidang
Kesehatan
di
daerah
maupun
pusat
20
E-Purchasing
berdasarkan
Daftar
Pengadaan
Obat
21
E-Purchasing
berdasarkan
Daftar
Pengadaan
Obat
22
2.4
Dinas Kesehatan merupakan satuan kerja pemerintah daerah yang bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tentang kesehatan. Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota merupakan unsur pelaksana bidang kesehatan yang dipimpin oleh
Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah Walikota dan bertanggung jawab melalui
Sekretaris Daerah. Dalam menjalankan tugasnya Dinas Kesehatan dilakukan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pada era desentralisasi setiap daerah
memiliki peranan yang sangat menentukan dalam perencanaan upaya kesehatan.
23
24
2.5
Kota memiliki Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan untuk menunjang tercapainya
berbagai program kesehatan yang disusun untuk meningkatkan derajat kesehatan di
daerahnya. Unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan adalah Puskesmas. Mengacu
pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/SK/II/2004 mengenai pengertian
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya. Tujuan Puskesmas secara umum mengacu pada tujuan pembangunan
kesehatan yaitu meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat setinggi
tingginya dengan upaya meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang yang bermukim di wilayah kerja dari Puskesmas tersebut.
(Kemenkes RI, 2004).
25
26
2. Money
Untuk menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan baik upaya kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang menjadi fungsi utama
dari Puskesmas maka perlu ditunjang dengan ketersediaan pendanaan yang
mencukupi. Menurut Kepmenkes RI No. 128 Tahun 2004 tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas sumber pembiayaan di Puskesmas yang
utama berasal dari Pemerintah Kabupaten atau Kota yang berupa dana
APBD dan dana jaminan kesehatan. Puskesmas juga dapat menerima
sumber dana dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat (Kemenkes
RI, 2004).
3. Materials
Materials atau bahan baku merupakan suatu unsur yang merupakan objek
yang digunakan sebagai sarana yang digunakan oleh sumber daya untuk
mencapai tujuan (Satrianegara, 2009). Petunjuk teknis pelaksanaan
merupakan salah satu bahan baku yang menunjang pelaksanaan suatu
program. Berdasarkan Petunjuk Penyelenggaraan Sistem Manajemen
Kwartir No. 162A, (2011) petunjuk teknis merupakan aturan yang memuat
hal hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut
wewenang dan prosedur. Petunjuk teknis pelaksanaan suatu kegiatan
biasanya dimuat dalam Surat Keputusan yang dibuat oleh pembuat
kebijakan/ program atau pihak pemangku kebijakan. Petunjuk teknis suatu
kegiatan tidak hanya penting dalam menunjang proses pelaksanaan suatu
kegiatan, tapi juknis juga dapat menunjang tercapainya tujuan dari suatu
27
2.6
Penelitian Terkait
Belum ada penelitian terkait yang dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan
penelitian
terdahulu yang terkait dengan evaluasi proses pelaksanaan pengadaan obat. Penelitian
tersebut berbeda dengan penelitian ini yang dapat dilihat dalam tabel berikut.
28
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Indikator
Judul
penelitian
Tujuan
Tempat
Jenis
Penelitian
Unit Analisis
Subyek
Penelitian
Penelitian Ini
Evaluasi implementasi proses
pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar tahun
2014
Untuk
melakukan
evaluasi
pelaksanaan
pengadaan
obat
berdasarkan E-Catalogue di Kota
Denpasar tahun 2014
Denpasar
Deskriptif kualitatif
Proses perencanaan dan proses Input , proses sampai output yang Input, proses sampai output
pengadaan obat
dilihat dari sumber daya yang tersedia, pelaksanaan
pengadaan
obat
proses pelaksanaan hingga capaian
berdasarkan E-Catalogue yang
dilihat dari ketersediaan input,
proses perencanaan, pemesanan
dan perjanjian kontrak, distribusi
obat, realisasi obat dan hambatan
dalam pelaksanaan
Informan
penelitian
dibagi
Informan penelitian Kepala Dinas
Informan penelitian Pejabat
menjadi 2, yaitu : 1.) Kelompok
Kesehatan, Kepala Bidang Pelayanan
Pembuat Komitmen, Kepala
pengadaan yang meliputi Bappeda
Kesehatan Dinas Kesehatan, Kepala
Puskesmas, Petugas Pengelola
Provinsi, Subbag Penyusunan RS,
Puskesmas, Petugas Pengelola Obat
Obat di Puskesmas
Subbag Keuangan RS, Panitia
di Puskesmas
Pengadaan ; 2.) Kelompok
pengguna yang terdiri dari Kepala
IFRS, Ketua Komite Medik,
Petugas Farmasi, Dokter dan
Perawat Kepala Ruangan
29
Metode
pengumpulan
data
Analisis Data
Hasil
Wawancara
observasi
mendalam
Content analysis
dan
Wawancara mendalam
sekunder
dan data
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1
Kerangka Konsep
Input
Man :
- Pejabat Pembuat
Komitmen
- Kepala Puskesmas
- Petugas Pengelola
Obat Puskesmas
- PBF
Money
PMK: no. 43 th 2014
- dana DAK
- dana APBD
Materials:
- obat
- juknis E-Catalogue
Market :
- Puskesmas
Kebijakan :
- PMK no. 43 th 2014
proses
- proses perencanaan
pengadaan obat
berdasarkan ECatalogue
- proses pengajuan
pemesanan dan
perjanjian kontrak
pengadaan obat
berdasarkan ECatalogue
- proses distribusi
obat berdasarkan
pengadaan ECatalogue
- proses realisasi obat
berdasarkan
pengadaan ECatalogue
output
- perencanaan
yang sesuai
berdasarkan
PMK no. 43 th
2014
- pemesanan dan
perjanjian
kontrak yang
sesuai PMK no.
43 th 2014
- distribusi obat ke
Puskesmas yang
sesuai PMK no.
43 th 2014
- jumlah obat yang
terealisasi sesuai
dengan kebutuhan
Puskesmas
outcome
impact
- peningkatan
pelayanan
kesehatan
yang ditunjang
dengan
ketersediaan
obat dan
perbekalan
farmasi
- Meningkatkan derajat
kesehatan
masyarakat
Gambar 3.1 Simple Logic Model Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue
(diadopsi dari Basic Logic Model W.K. Kellogg Foundation. 2004)
Keterangan
- - - - - : objek yang tidak diteliti
: objek yang diteliti
30
31
3.2
a. Man
b. Money
c. Materials
Definisi Operasional
Terkait dengan sumber daya yang
menunjang proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue yang dilihat dari
konsep 6M. input tersebut meliputi
ketersediaan man, money, materials dan
market.
Merupakan ketersediaan sumber daya
manusia yang dibutuhkan dalam proses
proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue. Sumber daya manusia yang
harus dimiliki adalah Pejabat Pembuat
Komitmen dari Dinas Kesehatan, pihak
PBF dan petugas penanggung jawab obat
dari Puskesmas yang berkompeten dan
memahami teknis pelaksanaan pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue
Merupakan ketersediaan keuangan yang
menunjang proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Keuangan untuk
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
berasal dari dana APBD dan DAK
Merupakan obyek yang digunakan sebagai
sarana yang digunakan oleh sumber daya
untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini
obyek untuk melakukan suatu pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue adalah
juknis E-Catalogue dan juga obat yang
merupakan obyek utama selama proses
pengadaan obat.
Cara Ukur
Wawancara
mendalam, data
sekunder
Alat Ukur
Pedoman
wawancara
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
Wawancara
mendalam, data
sekunder
Data sekunder
32
d. Market
e. Kebijakan
2.
3.
4.
5.
Wawancara
mendalam
Pedoman wawancara
Data sekunder
Wawancara
mendalam,
Data sekunder
Pedoman
wawancara
Wawancara
mendalam,
Data sekunder
Pedoman
wawancara
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
Wawancara
mendalam,
data sekunder
Pedoman
wawancara
33
6.
Wawancara
mendalam
Pedoman
wawancara
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
Karakteristik Penelitian
Penelitian ini
menggunakan
rancangan observasional
deskriptif
dengan
pendekatan kualitatif yang berupa penelitian evaluasi dengan rancangan audit untuk
melihat implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada
tahun 2015 yang dibandingkan dengan standar pelaksanaan pengadaan obat dengan ECatalogue berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 tahun 2014. Aspek yang
diteliti dalam penelitian adalah ketersediaan input, proses sampai output. Rancangan
evaluasi audit merupakan rancangan evaluasi untuk mengevaluasi proses pelaksanaan
dari suatu program. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan capaian program dengan
standar (Ovretveit, 2002).
4.2
Peran Peneliti
Pada penelitian kualitatif metode penelitian yang digunakan berdasarkan kondisi
objek secara alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci dalam penelitian
(Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini peneliti hanya meneliti tentang proses dari
pelaksanaan pengadaan E-Catalogue di Kota Denpasar tahun 2014 untuk melihat
kesesuaian implementasi dari kebijakan tersebut yang dibandingkan dengan standar dari
Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2014. Peneliti berperan sebagai pewawancara
34
35
yang dilakukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah ditetapkan. Kemudian
peneliti melakukan analisa data dan melakukan penarikan kesimpulan.
4.3
Kota Denpasar yang dipilih secara purposive yang terdiri dari dua Puskesmas dengan
jumlah kunjungan tertinggi dan dua Puskesmas dengan jumlah kunjungan terendah.
Pemilihan berdasarkan jumlah kunjungan didasarkan asumsi bahwa tingginya kunjungan
di Puskesmas menyebabkan tingginya jumlah kebutuhan obat, begitu juga sebaliknya.
Penelitian dilakukan selama 3 bulan yang dimulai dari Bulan Maret Mei tahun 2015.
4.4
4.4.1
dokumen dan wawancara mendalam (Moleong, 2007). Cara pemilihan informan dalam
penelitian ini dilakukan secara purposive. Purposive sampling merupakan cara pemilihan
informan berdasarkan pada pertimbangan subyektif peneliti yang dianggap dapat
memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian
(Sastroasmoro, 2002). Pemilihan informan juga dilakukan dengan asas kesesuaian dan
asas kecukupan. Kesesuaian berarti pemilihan informan yang dilakukan atas dasar
pengetahuan yang memadai terkait dengan topik penelitian yang dilihat dari situasi
masalah dalam penelitian. Sementara kecukupan berarti informan yang dipilih dapat
menggambarkan keseluruhan masalah dalam penelitian tanpa memperhatikan ukuran
36
sampel yang digunakan (Notoatmodjo. 1991). Pada penelitian ini sudah sesuai dengan
asas kesesuaian dan asas kecukupan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik
wawancara mendalam kepada pihak yang telah ditentukan oleh peneliti sebagai informan
dalam penelitian. Adapun informan dalam penelitian ini adalah :
1. Kepala Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Bina
Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar selaku Pejabat Pembuat
Komitmen
2. Staf Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Yankes
Dinas Kesehatan Kota Denpasar selaku Petugas Pengelola Obat di Dinas
Kesehatan Kota Denpasar
3. Empat Kepala Puskesmas yang terpilih sebagai informan selaku Penanggung
Jawab Puskesmas
4. Empat petugas pengelola obat dari setiap Puskesmas yang terpilih sebagai
informan selaku penanggung jawab obat Puskesmas
4.4.2
sekunder yang berasal dari studi dokumentasi terkait. Data sekunder ini nantinya akan
berbentuk data kuantitatif yang juga menunjang hasil dari penelitian. Pengumpulan data
sekunder terdiri dari :
1. Jumlah kebutuhan obat dari Puskesmas yang terpilih menjadi informan
2. Jumlah realisasi kebutuhan obat di setiap Puskesmas yang terpilih menjadi
informan
37
4.5
Analisa Data
Analisis data kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan cara menggorganisasikan
data ke dalam kategori, menjabarkan berdasarkan unit, kemudian memilah data dan
kemudian menarik kesimpulan agar dapat dipahami oleh pembaca (Hartono, 2012). Pada
penelitian ini analisa data dilakukan secara tematik. Analisis data tematik merupakan
suatu proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau
indikator yang kompleks.
38
4.6
dan uji realibilitas terhadap hasil penelitian, namun pada penelitian kualitatif lebih
menekankan kepada uji validitas (Hartono, 2012). Pada penelitian ini uji validitas data
dilakukan dengan cara triangulasi sumber. Triangulasi sumber dilakukan dengan
menyesuaikan data hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam
kepada Pejabat Pembuat Komitmen beserta staf, Kepala Puskesmas dan penanggung
jawab atau pemegang program pengadaan obat di Puskesmas.
BAB V
HASIL
5.1
wilayah Propinsi Bali. Kota Denpasar memiliki empat Kecamatan yaitu Kecamatan
Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Utara dan Denpasar Selatan. Pemerintahan
Kota Denpasar secara administratif terdiri dari empat Kecamatan dan 43 Desa/Kelurahan.
Dari 43 Desa/ Kelurahan yang ada 16 buah berstatus Kelurahan dan 27 berstatus Desa.
Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2013 berjumlah 850.600 jiwa yang
terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 434.400 jiwa dan penduduk perempuan
sebanyak 416.200 jiwa. Kepadatan masyarakat Kota Denpasar tidak merata dengan
kepadatan rata rata 6.657 jiwa/km2. Wilayah dengan kepadatan paling tinggi adalah
Kecamatan Denpasar Barat yaitu 10.249
Jumlah penduduk Kota Denpasar yang tercover oleh JKN adalah 681.279 jiwa atau
42,5% dari total keseluruhan peserta di Propinsi Bali. Uraian peserta JKN di Kota
Denpasar yaitu jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 241.868 jiwa atau
35% dan jumlah peserta non PBI sebanyak 439.411 jiwa atau 64,5% (BPJS Regio IX,
2014).
39
40
41
Jumlah
Kunjungan
Rata-rata
Perbulan
1
Pusk I Denpasar Utara
2
Pusk II Denpasar Utara
3
Pusk III Denpasar Utara
4
Pusk I Denpasar Timur
5
Pusk II Denpasar Timur
6
Pusk I Denpasar Selatan
7
Pusk II Denpasar Selatan
8
Pusk III Denpasar Selatan
9
Pusk IV Denpasar Selatan
10
Pusk I Denpasar Barat
11
Pusk II Denpasar Barat
Jumlah/Total
36.559
40.199
39.412
43.287
30.713
28.051
38.528
21.240
65.300
37.172
51.567
432.028
3.047
3.350
3.284
3.607
2.559
2.338
3.211
1.770
5.442
3.098
4.298
36.004
No
Pelayanan
Kesehatan
Tingkat
Pertama
pada
era
JKN.
Semenjak
diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional, banyak terjadi perubahan dalam hal
pelayanan kesehatan di Puskesmas. Salah satu perubahan yang terjadi di Puskesmas
semenjak era JKN adalah perubahan manajemen logistik khususnya manajemen
42
5.2
Riwayat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 karena menunggu beberapa surat izin
dan rekomendasi terkait dengan penelitian. Setelah beberapa surat dan rekomendasi
penelitian diberikan maka peneliti langsung mengirimkan surat ke Puskesmas yang
menjadi informan dalam penelitian sambil memperkenalkan diri dan kemudian mulai
membuat janji untuk melakukan wawancara mendalam kepada petugas pengelola obat
dan Kepala Puskesmas. Dalam mengumpulkan data dengan melakukan wawancara
mendalam peneliti berfokus mendahulukan informan yang bertugas sebagai pengelola
obat di Puskesmas, kemudian Kepala Puskesmas dilanjutkan dengan staf Dinas
Kesehatan dan Kepala Seksi di Dinas Kesehatan.
43
44
mencari informasi dan mengembangkan pertanyaan penelitian yang dirasa masih kurang
saat wawancara berlangsung sebelumnya.
5.3
Karakteristik Informan
Informan pada penelitian ini berjumlah tujuh orang. Hal tersebut disebabkan
karena kesibukan dan kegiatan dari pihak Puskesmas sehingga informan yang terpilih
tujuh orang yang tetap dapat mewakili dan dapat memberikan informasi yang tepat dan
memadai dalam penelitian. Informan terdiri dari enam orang perempuan dan satu orang
laki - laki. Usia informan berkisar antara 28 46 tahun. Seluruh informan merupakan
Pegawai Negeri Sipil dengan golongan yang berbeda - beda. Berikut adalah jabatan dari
informan penelitian :
1. Petugas pengelola obat di Puskesmas (tiga orang)
2. Kepala Puskesmas (dua orang)
3. Staf Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Yankes
Dinkes Kota Denpasar (satu orang)
4. Kepala Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang
Yankes Dinkes Kota Denpasar (satu orang).
5.4
5.4.1
menunjukan beberapa Puskesmas masih kekurangan sumber daya manusia terkait dengan
45
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Hal tersebut ditunjukan dengan tidak
adanya staf yang khusus bertugas sebagai tim pengadaan E-Catalogue yang dibentuk di
Puskesmas. Tim pengadaan tersebut adalah staf atau petugas Puskesmas yang telah
memegang program atau sudah memiliki tupoksi masing masing. Dengan ditunjuk
sebagai tim pengadaan maka staf tersebut akan memiliki tugas tambahan.
Kalau berbicara masalah SDM di Puskesmas masih kekurangan sumber daya
karena seharusnya dibentuk petugas khusus yang mengelola JKN khususnya
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Sementara di Puskesmas petugas
yang ditunjuk adalah staf yang sudah memegang program dan bertugas di
pelayanan sehingga menambah beban kerja dan diluar dari tupoksi mereka
seharusnya (Informan 05)
Sementara di Dinas Kesehatan Kota Denpasar sumber daya manusia yang dimiliki
juga masih terbatas karena proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue yang
berpusat melalui Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Pelayanan
Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Pada Seksi Pelayanan Perijinan dan
Perbekalan Kesehatan hanya satu staf yang memiliki tugas untuk mengurus perbekalan
farmasi.
Terkait dengan SDM disini masih kekurangan karena keterbatasan staf di seksi
farmasi, walaupun pengadaan bisa dilakukan oleh seksi lain seperti seksi
pelayanan kesehatan dasar namun tetap dirasa kurang karena kebutuhan obat
rutin tetap diadakan oleh seksi farmasi. Selain itu SDM yang dimiliki juga tidak
100% memahami teknis pelaksanaan karena setiap tahun juknis E-Catalogue
berubah(Informan 06)
46
Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
menyebabkan pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas benar benar harus memanfaatkan
sumber daya yang ada agar benar benar dapat memahami teknis pelaksanaan dari
proses pengadaan tersebut.
Permasalahan yang terjadi di Puskesmas adalah kurangnya pehamanan dari
staf yang ditunjuk sebagai tim pengadaan terkait dengan teknis E-Catalogue.
Kepala Puskesmas saja masih harus banyak melalui pelatihan agar benar
benar bisa memahami teknis ini, apalagi petugas dengan pengalaman yang
sedikit jadi masih meraba raba dalam menjalankan ini. Sehingga sangat
diperlukan staf yang berkompeten khususnya dibidang IT yang akan sangat
menunjang keberhasilan dalam proses pelaksanaan(Informan 04)
2. Ketersediaan dana (money)
Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada informan di Puskesmas Kota
Denpasar ketersediaan dana telah mencukupi dalam menunjang proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Dana pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue bersumber
dari dana JKN dan dana APBD. Dana yang bersumber dari dana JKN bersifat tetap
sehingga jumlahnya sama setiap tahun sementara dana APBD Kota Denpasar bersifat
fluktuatif setiap tahunnya. Tidak ditemukan permasalahan kekurangan dana terkait
dengan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
Dana yang tersedia dirasa telah mencukupi karena terdapat dua sumber
pendanaan yaitu dari dana JKN yang langsung diserahkan kepada Puskesmas
dan dana APBD Kota Denpasar (Informan 01)
47
Permasalahan yang terjadi terkait dengan sistem pendanaan adalah dana JKN
yang dialokasikan langsung ke Puskesmas oleh Pemerintah Pusat melalui Kemenkes
harus digunakan oleh Puskesmas untuk memenuhi segala kebutuhan di Puskesmas.
Berdasarkan PMK No. 19 tahun 2014 tentang Penggunaan Dana JKN yang mengatur
alokasi dana 40% untuk menunjang operasional dalam pelayanan kesehatan dan 60%
digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan. Permasalahan yang muncul adalah
Puskesmas kebingungan untuk menggunakan 40% dana tersebut untuk memenuhi
kebutuhan sarana di Puskesmas karena setiap tahun jumlah kebutuhan Puskesmas yang
berbeda beda.
Dana JKN yang sekarang membuat Puskesmas dipusingkan dalam proses
perencanaan karena kita bingung kita harus gunakan dana tersebut untuk
membeli apa saja? Karena jika dana yang diberikan dibiarkan bisa menjadi
endapan dan bisa menjadi temuan. Sementara dana yang terus mengalir dan
tidak mungkin juga setiap tahun Puskesmas membeli banyak obat yang kalau
dibiarkan begitu akan menimbulkan penumpukan stok obat(Informan 04)
permasalahan
dalam
proses
pengadaan
obat.
Sementara
untuk
pemeliharaan sistem yang mendukung pelaksanaan proses pengadaan berdasarkan ECatalogue telah dianggarkan melalui dana APBD.
Dana kebetulan tahun ini telah dipangkas dari tahun sebelumnya jadi bisa
dibilang kurang mencukupi tapi proses pengadaan tetap bisa dilakukan seperti
biasa. Untuk pemeliharaan sistem itu ada dana dari APBD yang memang akan
48
4. Sasaran (market)
Seluruh satuan kerja di bidang kesehatan mulai dari pusat hingga daerah
merupakan sasaran dari proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Di Kota
Denpasar sasaran dari proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue adalah
Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Semenjak mulai diterapkannya
kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pada tahun 2013 seluruh satuan kerja
di bidang kesehatan meliputi Puskesmas dan Dinas Kesehatan wajib melaksanakan
proses pengadaan obat melalui mekanisme E-Purchasing. Di Kota Denpasar proses
pelaksanaan E-Catalogue telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan sejak tahun 2013,
sementara untuk Puskesmas baru dimulai pada tahun 2014. Tapi untuk Puskesmas di
Kota Denpasar proses implementasi masih belum sempurna karena baru ada satu
49
Puskesmas di setiap Kecamatan yang berperan sebagai PPK, sehingga hanya ada satu
Puskesmas dari setiap Kecamatan yang memiliki user id dan bisa melakukan pemesanan
online secara langsung.
Di tiap Kecamatan hanya ada satu Puskesmas sebagai PPK, jadi cuma mereka
yang bisa login karena sudah punya id. Sistemnya Puskesmas non PPK yang
merencanakan kemudian dikasi ke Puskesmas yang ditunjuk sebagai PPK di
Kecamatan
selanjutnya
proses
pengadaannya
di
Puskesmas
yang
PPK(Informan 05)
5.4.2
50
jenis obat yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Jika di proses pengadaan secara
manual Puskesmas mengajukan kebutuhan obat dalam satu tahun namun Puskesmas
belum tentu mendapatkan seluruh obat dengan jumlah yang sama sesuai dengan yang
direncanakan karena mekanisme distribusi obat ke Puskesmas diatur oleh Dinas
Kesehatan. Dinas Kesehatan akan memberikan obat jika Puskesmas benar benar
membutuhkan obat yang diajukan.
Untuk proses perencanaan obat berdasarkan E-Catalogue sistemnya lebih rumit
dan berbeda dari tahun sebelumnya, kalau dulu hanya merencanakan kebutuhan
obat dan tergantung Dinas yang mengalokasikan obat ke Puskesmas tapi dengan
sistem JKN ini obat yang direncanakan oleh Puskesmas memang harus benar
benar yang dibutuhkan oleh Puskesmas dan obat pasti akan datang (Informan
02)
Semenjak era JKN Puskesmas harus membuat suatu rencana kerja anggaran
dalam satu tahun ke depan yang harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Puskesmas.
Setelah memastikan kebutuhan obat tersebut tersedia maka Puskesmas akan
menyerahkan LPLPO ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Dinas Kesehatan Kota
Denpasar kemudian merekap seluruh jumlah kebutuhan obat Puskesmas dalam satu tahun
kemudian mengajukan ke Dinas Kesehatan Propinsi Bali yang akan meneruskan ke
Kementerian Kesehatan RI. Untuk perencanaan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar juga
berbeda dibanding dengan perencanaan kebutuhan obat sebelumnya yang diadakan
secara manual karena pengadaan dengan sistem ini transaksinya dilakukan dengan
distributor nasional yang melayani seluruh Indonesia jadi untuk rencana kebutuhan obat
51
tahun depan harus benar benar direncanakan dengan matang agar pihak distributor
memiliki gambaran akan rencana kebutuhan obat di setiap daerah.
Perencanaan kebutuhan obatnya berbeda karena sekarang kita jauh jauh hari
sudah menyiapkan rencana kebutuhan obat ke Dinkes Provinsi yang diteruskan
ke Kemenkes kemudian dipilih distributor yang akan melaksanakan tender obat
tersebut. Perencanaan kebutuhan obat di Dinkes tetap dilakukan perseksi yang
kemudian diajukan melalui seksi farmasi tapi dengan sistem yang ini jadi lebih
ribet (Informan 06)
5.4.3
daftar E-Catalogue yang di upload oleh LKPP. Ada beberapa jenis obat yang tidak
tercantum dalam daftar tersebut. Maka pada saat proses perencanaannya pihak dari
Puskesmas maupun Dinas Kesehatan juga merencanakan substitusi untuk obat yang tidak
tercantum dalam daftar E-Catalogue. Untuk sistem substitusi obat jika tidak tercantum
dalam daftar E-Catalogue dapat dilakukan melalui pengadaan langsung secara manual
dengan tetap mengikuti mekanisme seperti yang ditetapkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014.
Untuk obat yang tidak tercantum dalam daftar dapat diadakan secara manual
diluar E-Catalogue dengan menunjukan bukti bahwa dalam daftar E-Catalogue
obat yang dibutuhkan tidak tercantum (Informan 01)
Selain beberapa jenis obat yang tidak tercantum dalam daftar E-Catalogue
ketersediaan stok obat juga sering mengalami kekosongan. Hal itu disebabkan karena
pihak penyedia yang tidak siap untuk menyediakan obat dengan stok yang banyak dan
dalam waktu yang singkat atau bahan baku untuk membuat obat yang telah habis. Hal itu
52
juga menyebabkan perlu dilakukan substitusi jenis obat yang dibutuhkan dalam proses
perencanaan kebutuhan obat sebelumnya.
Kendala dari proses pengadaan ini adalah obat kadang muncul kadang hilang
dalam daftar. Hal tersebut disebabkan karena kekosongan stok obat/ kehabisan
bahan baku dalam produksinya. Tapi saat obat tersebut hilang standar harganya
masih tercantum jadi hal tersebut bisa digunakan untuk acuan dalam melakukan
pengadaan obat secara manual sebagai substitusi dari obat yang tidak ada dalam
daftar E-Catalogue (Informan 04)
5.4.4
Pembuat Komitmen dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Prosesnya adalah tim dari
Dinas Kesehatan membuat kerangka acuan kegiatan sebagai dasar dalam melakukan
kegiatan, menyusun paket, membuat surat pengantar ke ULP, kemudian ULP bersama
dengan PPK melakukan proses pengadaan. Setelah diverifikasi oleh tim dari Sekretariat
Daerah kemudian dilakukan perjanjian kontrak dengan distributor obat yang telah
memenangkan tender. Dalam hal ini pihak dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar tidak
bisa menentukan siapa rekanan yang diajak melakukan kerja sama karena pihak rekanan
telah dipilih oleh pusat yang telah memenangkan tender dari pengadaan obat tersebut.
Untuk rekanan itu tidak bisa milih karena dari pusat telah menentukan pihak
penyedia mana yang memenangkan tender jadi dari kita hanya menerima
hasilnya saja, misal obat A yang disediakan oleh distributor A maka langsung
diajukan kontrak dan menunggu kedatangan obatnya, kalau seandainya terjadi
pelanggaran kontrak misal obatnya telat datang atau stoknya habis melapornya
ke LKPP(Informan 07)
53
5.4.5
dilakukan melalui Unit Pelaksana Teknis Pengawasan Makanan dan Farmasi Kota
Denpasar. Sebelum obat didistribusikan ke Puskesmas tim pemeriksa dari Dinas
Kesehatan melakukan beberapa proses agar dapat mendistribusikan obat dengan baik ke
Puskesmas. Proses pertama adalah saat obat datang dari pihak distributor, saat obat
datang obat langsung diperiksa oleh tim pemeriksa untuk memeriksa fisik obat, jenis
obat, tanggal kadaluarsa obat dan kesesuaian obat dengan yang ada di faktur. Setelah itu
tim pemeriksa bersama PPK harus membuat berita acara terkait dengan pemeriksaan, jika
telah dibuat berita acara tersebut maka obat baru bisa didistribusikan ke Puskesmas. Pada
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pernah terjadi kekosongan stok obat
namun tidak dalam jumlah yang besar. Kekosongan stok obat di gudang obat disebabkan
karena dari pihak distributor yang terlambat mengirimkan.
Saat obat datang harus dicek dulu kelengkapannya dari jenis, jumlah dan ednya
kalau memang sesuai baru diambil dan disimpan. Kalau ada obat belum datang/
terlambat memang dari pihak distributornya yang bermasalah mungkin karena
kehabisan stok atau bahan baku obatnya habis. Respon dari setiap rekanan juga
berbeda beda ya makanya obat tidak bisa datangnya bersamaan (Informan
06)
54
jika terjadi kekosongan obat tidak menutup kemungkinan untuk kembali meminta obat
melalui mekanisme yang sama.
Kalau untuk distribusi obat tetap dilakukan dengan menyerahkan LPLPO
kepada Dinas dan gudang farmasi baru obat bisa diambil. Pengambilannya
dilakukan setiap dua bulan sekali tapi jika stok habis bisa diambil kapan saja
asal tetap menyerahkan LPLPO dan telah disetujui. Kalau obat yang
dibutuhkan belum datang ya harus ditunggu (Informan 03)
5.4.6
melalui UPT Pengawasan Makanan dan Farmasi Kota Denpasar kepada Puskesmas maka
Puskesmas akan melakukan pemeriksaan terhadap obat yang telah berhasil terealisasi.
Dalam realisasi obat ditemukan berbagai kendala dimana kedatangan obat yang
terlambat, kemudian pihak penyedia yang tidak memiliki banyak stok obat karena harus
55
melayani banyak konsumen. Hal tersebut menyebabkan realisasi obat melalui proses
pengadaan E-Catalogue tidak bisa terealisasi 100%.
Sebenarnya sistem JKN melalui E-Catalogue ini bagus, obat yang dibutuhkan
langsung datang ke Puskesmas. Tapi selama ini ada beberapa obat yang datang
terlambat mungkin karena banyaknya permintaan sama obat itu atau stoknya
belum ada (Informan 05)
Data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar terkait dengan cakupan
realisasi obat di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar menunjukkan bahwa 24
jenis obat tidak mampu direalisasikan oleh pihak distributor pada tahun 2014.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, presentase obat yang tidak terealisasi sekitar
60% pada tahun 2014. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah obat
yang tidak terealisasi pada tahun 2013. Jenis obat yang tidak terealisasi tersebut beragam.
56
Rincian jenis obat dan jumlah obat yang yang tidak terealisasi di Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar dapat dilihat pada tabel 5.2 di bawah.
Tabel 5.2 Daftar Obat yang Tidak Terealisasi Tahun 2014 di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar
No
Nama Obat
Total (Satuan)
1
Alopurinol tablet 100 mg
25.600
2
Aminofilin injeksi 24 mg/ml
5
3
Antifungi DOEN Kombinasi
504
4
Asam Asetilsalisilat tablet 100 mg (Asetosal)
1900
5
Asam Askorbat (Vitamin C) tablet 250 mg
31.650
6
Asam Folat tablet 1 mg
26.700
7
Bisoprolol tablet 5 mg
200
8
Dekstrometorfan tablet 15 mg (HBr)
460.600
9
Diazepam tablet 2 mg
19.100
10
Digoksin tablet 0,25 mg
700
11
Dimenhidrinat tablet 50 mg
2.200
12
Fenobarbital tablet 30 mg
23.600
13
Fenobarbital tablet 100 mg
5.300
14
Furosemid tablet 40 mg
500
15
Haloperidol tablet 0,5 mg
200
16
Hidroklorotiazida tablet 25 mg
6.900
17
Kalium Diklofenak tablet 50 mg
9.850
18
Kalsium Lactat 500 mg
134.000
19
Loratadin tablet 10 mg
16.650
20
Metformin HCl tablet 500 mg
97.200
21
Nistatin vaginal tablet 100.000 IU/ g
5.900
22
Papaverin tablet 40 mg
17.400
23
Piridoksin (Vitamin B6)tablet 10 mg
118.000
24
Prednison tablet 5 mg
128.500
Sumber: Seksi Perbekalan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2014)
5.4.7
E-Catalogue
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue terdapat faktor faktor
yang dapat mendukung dan juga dapat menghambat proses pelaksanannya. Faktor yang
menjadi faktor pendukung dalam proses pelaksanaan kebijakan ini baik di Puskesmas
57
maupun di Dinas Kesehatan Kota Denpasar adalah telah dibentuknya tim khusus yang
fokus untuk mengurus JKN yang menggunakan sistem E-Catalogue. Walaupun tim
tersebut merupakan staf dengan tupoksi berbeda dan staf dengan rangkap jabatan tetapi
petugas yang dipilih menjadi tim JKN tersebut memang memiliki kompeten dan telah
diberikan sosialisasi maupun pelatihan.
Faktor pendukungnya ya sudah dibentuknya tim JKN, jadi dari proses
perencanaan, pengadaan dan penerimaan sudah dihandel oleh orang orang
yang berkompeten. Mudah mudahan dengan dibentuknya tim ini proses
pengadaan berdasarkan E-Catalogue mampu mengcover seluruh kebutuhan obat
dari Puskesmas (Informan 05)
Selain telah dibentuknya tim pengadaan oleh setiap Puskesmas yang juga dapat
menunjang implementasi kebijakan ini adalah sudah tersedianya akses internet dan
perangkat komputer yang dimiliki oleh setiap Puskesmas di Kota Denpasar. Selain itu
ketersediaan dana yang besar juga menunjang setiap Puskesmas untuk mampu
meningkatkan sarana dalam menunjang proses pengadaan.
Kalau disini sudah dilengkapi dengan akses internet dan didukung juga dengan
perangkat komputer yang memadai jadi dapat menunjang selama proses
pengadaan, sementara dana yang ada juga bisa digunakan untuk menambah
perangkat jadi setiap petugas di tim bisa bekerja dengan lebih optimal
(Informan 03)
5.4.8
E-Catalogue
Selain faktor faktor yang mendukung selama implementasi proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue juga terdapat beberapa faktor yang menghambat dalam
58
Hal yang dapat dikategorikan sebagai faktor penghambat adalah tidak efektifnya
tim pengadaan yang dibentuk oleh setiap Puskesmas terkait dengan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Hal tersebut disebabkan karena tim pengadaan yang dibentuk
dengan keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas. Staf dan
petugas Puskesmas yang ditunjuk sebagai tim pengadaan adalah staf yang telah memiliki
tupoksi sebagai petugas di bidang pelayanan.
Dengan adanya tim pengadaan memang kerjanya bisa jadi lebih baik, tapi dari
segi kuantitas mereka yang sebagai tim pengadaan adalah staf yang bertugas di
pelayanan dan telah memiliki tupoksi sendiri sehingga mereka memiliki rangkap
jabatan. Hal ini bisa saja menghambat proses pengadaan kalau mereka sedang
sibuk dalam pelayanan atau sedang menjalankan sebuah program (Informan
05)
59
Faktor lain yang menjadi faktor penghambat dalam proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue adalah permasalahan sistem dari LKPP. Jika sistem dari pusat
mengalami gangguan maka pihak di bawah harus menunggu sampai sistem sudah tidak
gangguan baru bisa melakukan pengadaan. Sistem yang cakupannya nasional ini juga
menyebabkan terkendalanya kedatangan obat. Tidak semua daerah bisa mendapatkan
obat yang dibutuhkan karena pihak penyedia yang menaungi seluruh wilayah di
Indonesia jadi kemungkinan akan kesulitan dalam melakukan produksi obat dalam
jumlah yang besar.
Kalau sistem lagi rusak atau gangguan ya kita harus menunggu sampai sistem
benar benar kembali lagi baru bisa melihat obat apa saja yang sudah di
upload. Selain itu juga obat yang kita butuhkan kadang tidak ada atau kadang
kita kehabisan stok karena penyedia sudah over kuota (Informan 07)
5.4.9
diimplementasikan oleh seluruh Satuan Kerja di bidang Kesehatan baik di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Kebijakan pengadaan ini patut dipertahankan dan
ditingkatkan karena kebijakan ini sangat baik dan dapat menunjang terciptanya derajat
kesehatan masyarakat yang lebih baik dengan peningkatan pelayanan kesehatan di bidang
logistik dan perbekalan kefarmasian. Walaupun terdapat berbagai permasalahan di awal
pelaksanaannya tapi hal tersebut bisa diatasi dengan melakukan berbagai pertemuan
dengan pihak pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan kebijakan ini.
Sehingga masih perlu beberapa penyempurnaan dalam implementasi kebijakan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
60
Kebijakan ini amat sangat baik dan untuk maintenancenya memang perlu
dilakukan suatu pemeliharaan yang baik. Banyak masalah yang penting bisa
dicarikan solusi dan jalan keluarnya maka kebijakan ini akan sangat baik
Kebijakan ini juga bersifat sangat terbuka jadi setiap masyarakat dapat ikut
bersaing dalam hal tenderisasi. Dengan ditunjang input yang baik, proses yang
sesuai maka output yang diharapkan akan menciptakan outcome yang baik dan
jika tercapai UHC di Indonesia kebijakan ini dapat menjadi suatu modal yang
penting (Informan 04)
Ya, sistem ini sangat baik untuk dilanjutkan dan perlu disempurnakan.
Pengadaan obat dengan sistem seperti ini membuat harga jadi lebih pasti
sehingga tidak perlu susah susah lagi untuk mencari harga termurah dan tidak
perlu lagi mencari banyak pembanding. Tapi dalam perjalanannya memang
banyak terjadi masalah, mungkin karena baru jadi memang harus banyak
penyempurnaan lagi. Mungkin kedepannya perlu banyak pelatihan lagi dan
penyempurnaan di sistem pusat karena itu yang selama ini jadi kendala terberat
dalam pelaksanaan (Informan 07)
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1
mengumpulkan informasi yang valid dan reliable terhadap intervensi tersebut yang
dilakukan secara sistematis (Ovretveit, 1998). Evaluasi dapat dilakukan untuk mengukur
input, proses, output, outcome hingga dampak dari suatu intervensi. Untuk mengukur
input dari suatu program atau kebijakan maka dapat dilihat dari konsep 6 M yang terdiri
dari man, money, method, materials, market dan machine (Muninjaya, 2004).
Ketersediaan input yang menunjang dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar dapat dilihat dari faktor man, money, materials, market dan
kebijakan.
6.1.1
organisasi. Dalam suatu organisasi manusia yang membuat tujuan dan manusia yang
melakukan proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja,
sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, tercapainya tujuan
organisasi disebabkan oleh kerja sama sumber daya manusia di dalamnya (Iskandar,
2011). Pada era JKN diperlukan suatu perencanaan akan kebutuhan sumber daya manusia
di bidang kesehatan. Hal tersebut tertuang dalam buku yang berjudul Pengembangan dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan dalam Persiapan Pelaksanaan JKN. Menurut Keputusan
61
62
Menteri Kesehatan No. 857 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Kinerja SDM
Kesehatan di Puskesmas, pengertian SDM Kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi
termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta tenaga
pendukung atau penunjang kesehatan yang terlibat serta bekerja mengabdikan dirinya
seperti dalam upaya dan manajemen kesehatan. Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan
pada era JKN sangat penting dilakukan untuk memberikan gambaran dan informasi bagi
setiap pemangku kebijakan di daerah untuk dapat memperkirakan jumlah kebutuhan
SDM Kesehatan, merencanakan distribusi SDM Kesehatan termasuk meningkatkan
kompetensi SDM Kesehatan melalui pendidikan, pelatihan, pembinaan dan pengawasan
untuk menunjang pelayanan kesehatan (Badan PPSDM Kesehatan RI, 2013).
Sumber daya manusia yang bertugas dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar adalah tim pengadaan yang dibentuk oleh Puskesmas,
petugas pengelola obat di Puskesmas, Kepala Puskesmas, Staf Dinkes beserta Pejabat
Pembuat Komitmen. Ketersediaan SDM terkait dengan pengadaan obat berdasarkan ECatalogue dapat dilihat dari dua aspek yaitu dari kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas
jumlah sumber daya baik yang dimiliki Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kota
Denpasar masih kurang terkait dengan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
Tim pengadaan khusus yang dibentuk oleh setiap Puskesmas adalah staf dan petugas
Puskesmas yang telah memegang program atau sudah memiliki tupoksi masing masing.
Dengan ditunjuk sebagai tim pengadaan maka staf tersebut akan memiliki tugas
tambahan. Keterbatasan sumber daya di Puskesmas dari segi kuantitas menyebabkan
penumpukan beban kerja yang dialami oleh petugas di Puskesmas. Dalam penelitian yang
dilakukan Nopiyani (2014) menyebutkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia di
63
Puskesmas menyebabkan terjadinya beban kerja ganda dari setiap petugas. Pihak
Puskesmas sebenarnya sudah melakukan perencanaan kebutuhan sumber daya, namun
sistem rekrutmen sumber daya manusia di Puskesmas diatur oleh pihak Badan
Kepegawaian Daerah sehingga Puskesmas tidak bisa langsung memenuhi kebutuhan
sumber daya manusianya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani
(2009) menunjukkan bahwa cukup banyak petugas di Puskesmas yang melakukan tugas
tambahan di samping tugas pokok. Dalam hasil penelitian tersebut 56,6 % informan
menyebutkan bahwa pemberian tugas tambahan diluar tupoksi menyebabkan
terganggunya tugas pokok yang seharusnya dikerjakan. Hal tersebut dapat berdampak
pada penurunan pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Peningkatan dan pengembangan kualitas dari SDM Kesehatan yang dimiliki
instansi kesehatan akan mampu menunjang tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien pada era JKN (Badan PPSDM Kesehatan RI, 2013). Secara kualitas,
sumber daya yang dimiliki oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar sudah
cukup memiliki kompetensi terkait dengan proses pengadaan namun pemahaman
mengenai teknis masih kurang. SDM Kesehatan yang dimiliki oleh Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar adalah SDM dengan keterampilan dan pendidikan yang sesuai
dengan tugas yang diberikan yaitu dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue. Hasil penelitian oleh Handayani (2009) menunjukkan bahwa kesesuaian
keterampilan dan pendidikan yang dimiliki oleh petugas Puskesmas dengan tugas pokok
dapat menunjang tercapainya pelayanan kesehatan yang efektif. Namun SDM di
Puskesmas dan Dinas Kesehatan masih belum 100% memahami tugas tambahan yang
diberikan karena minimnya pelatihan dan pembinaan terkait dengan proses implementasi
64
kebijakan tersebut. Jadi secara kuantitas ketersediaan sumber daya manusia terkait
dengan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar dirasa masih
kurang, sementara secara kualitas sudah dirasa cukup namun masih perlu berbagai
pelatihan dan pembinaan.
6.1.2
Ketersediaan dana
Biaya operasional merupakan keseluruhan biaya yang dibutuhkan dalam
65
pengadaan yang dilakukan dua kali dalam setahun dinilai masih kurang dalam menunjang
ketersediaan obat, sementara banyak ditemukan penumpukan stok obat dan banyak obat
yang sudah kadaluarsa. Hal tersebut disebabkan karena dalam proses perencanaan
kebutuhan obat tidak dilakukan dengan efektif dan efisien. Pengadaan obat di Kota
Denpasar dengan dana yang bersumber dari APBD telah direncanakan dengan baik dan
dilakukan dengan mekanisme yang sesuai sehingga untuk pengadaan obat dengan dana
bersumber dari APBD tidak ditemukan permasalahan walaupun dana APBD yang
bersifat tidak tetap. Dana APBD Kota Denpasar yang bersifat fluktuatif menuntut pihak
Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kota Denpasar untuk menentukan skala prioritas
akan kebutuhan obat (Dinkes Kota Denpasar, 2014).
Untuk dana pengadaan yang bersumber dari dana JKN menimbulkan
permasalahan di Puskesmas karena dana dialokasikan langsung ke Puskesmas oleh
Pemerintah Pusat melalui Kemenkes yang harus digunakan oleh Puskesmas untuk
memenuhi segala kebutuhan di Puskesmas. Berdasarkan PMK No. 19 tahun 2014 tentang
Penggunaan Dana JKN yang mengatur alokasi dana 40% untuk menunjang operasional
dalam pelayanan kesehatan dan 60% digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan.
Permasalahan yang muncul adalah Puskesmas kebingungan untuk menggunakan 40%
dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sarana di Puskesmas karena setiap tahun
jumlah kebutuhan Puskesmas yang berbeda beda. Jika dana JKN dalam satu tahun tidak
dihabiskan maka dana tersebut dapat menjadi dana endapan. Mekanisme sisa penggunaan
dana JKN di Puskesmas selaku FKTP yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN dibedakan berdasarkan dana
kapitasi dan dana non kapitasi. Untuk dana kapitasi jika ada sisa maka dana disetorkan ke
66
kas daerah, untuk dapat kembali menggunakan dana tersebut maka harus mengikuti
aturan dan prosedur sesuai dengan yang tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan JKN.
Sementara untuk dana non kapitasi, sisa dana juga disetor ke kas daerah jika ingin
digunakan kembali Pemerintah Daerah harus mengeluarkan aturan terkait dengan
penggunaan dana tersebut (Kemenkes RI, 2014).
Secara garis ketersediaan dana dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue sudah mencukupi untuk menunjang segala proses pengadaan obat tersebut ,
namun dana JKN yang diberikan langsung ke Puskesmas masih perlu dikaji agar alokasi
dana tersebut dapat dialihkan untuk hal yang diperlukan oleh setiap Puskesmas sehingga
tidak terjadi penumpukan dana. Sementara untuk dana pemeliharaan terkait dengan
sistem yang menunjang proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota
Denpasar bersumber dari APBD Kota Denpasar.
6.1.3
digunakan sebagai sarana yang digunakan oleh sumber daya untuk mencapai tujuan
(Satrianegara, 2009). Pada prose pengadaan obat dengan E-Catalogue di Kota Denpasar
objek utamanya adalah obat dan ditunjang dengan petunjuk teknis pelaksanaan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Berdasarkan Petunjuk Penyelenggaraan
Sistem Manajemen Kwartir No. 162A, (2011) petunjuk teknis merupakan aturan yang
memuat hal hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut wewenang
dan prosedur. Petunjuk teknis pelaksanaan suatu kegiatan biasanya dimuat dalam Surat
Keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan/ program atau pihak pemangku
kebijakan. Petunjuk teknis suatu kegiatan tidak hanya penting dalam menunjang proses
67
pelaksanaan suatu kegiatan, tapi juknis juga dapat menunjang tercapainya tujuan dari
suatu program.
Petunjuk teknis pelaksanaan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 Tahun 2013
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat Dengan Prosedur E-Purchasing
Berdasarkan E-Catalogue Obat. Petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue juga sudah disebarkan ke seluruh satuan kerja di bidang kesehatan dan telah
dilakukan sosialisasi mengenai juknis tersebut. Pelaksanaan pengadaan obat melalui ECatalogue di Kota Denpasar telah ditunjang dengan petunjuk teknis pelaksanaan, namun
di tahun pertama pada tahun 2013 petunjuk teknis tersebut datang terlambat sehingga
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue menjadi terhambat. Sementara di tahun
2015 petunjuk teknis pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue sedikit mengalami
perubahan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Perubahan juknis setiap tahun menyebabkan ketidakpahaman SDM yang
berdampak pada terhambatnya implementasi dari suatu kebijakan seperti pada penelitian
yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011) mengenai implementasi BOK di Kabupaten
Bandung menyebutkan bahwa implementasi yang sesuai dengan pedoman pelaksanaan
akan menunjang meningkatnya cakupan program lain. Implementasi BOK di Kabupaten
Bandung tidak berjalan dengan baik karena keterbatasan sumber daya manusia dan
ketidakpahaman mengenai petunjuk pelaksanaan. Ketidahpahaman sumber daya yang
dimiliki mengenai teknis pelaksanaan BOK tersebut menyebabkan pelaksanaan suatu
kebijakan menjadi formalitas saja. Hal tersebut menyebabkan terkendalanya proses
implementasi yang berdampak pada tidak tercapainya beberapa cakupan program di
68
Sasaran
Market atau pasar merupakan sasaran atau tempat dimana organisasi
69
suatu kebijakan di Puskesmas selaku sasaran kebijakan karena keterbatasan sumber daya
yang dimiliki Puskesmas. Hal lain yang berpengaruh dalam kegagalan implementasi
kebijakan
di
Puskesmas
selaku
sasaran
karena
suatu
kebijakan
yang baru
70
6.2
karena dengan perencanaan akan menentukan fungsi manajemen lainnya terutama dalam
pengambilan keputusan. Fungsi perencanaan merupakan dasar dari seluruh fungsi
manajemen lainnya. Proses perencanaan merupakan proses paling awal dalam
manajemen yang dapat menentukan bagaimana pelaksanaan suatu program. Jadi proses
perencanaan merupakan suatu pedoman dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien
(Muninjaya, 2004).
Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas merupakan proses kegiatan
seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam
rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas (Dirjen Binfar, 2010). Proses
perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas bertujuan untuk mendapatkan perkiraan
jumlah dan jenis obat yang sesuai dengan kebutuhan, meningkatkan efisiensi penggunaan
obat dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional. Dalam proses perencanaan
kebutuhan obat pertahun, setiap Puskesmas menyediakan data pemakaian obat dengan
menggunakan Lembar Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO), selanjutnya
dari bagian Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota akan
melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah
kerjanya (Dirjen Binfar, 2010).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuliastini (2014) mengenai analisis
perencanaan obat di RSUD Pahuwato menyebutkan bahwa ketidaktepatan dalam
menentukan jenis obat dan kekosongan stok obat disebabkan karena lemahnya proses
perencanaan kebutuhan obat di RS tersebut. Hal tersebut menunjukkan pentingnya proses
71
obat
berdasarkan
E-Catalogue menjadi
lebih sistematis
72
benar menentukan dengan matang kebutuhan obat dalam satu tahun ke depan. Hal
tersebut disebabkan karena dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
Puskesmas akan benar benar mendapatkan jumlah dan jenis obat yang sesuai dengan
apa yang direncanakan. Jika di proses pengadaan secara manual Puskesmas mengajukan
kebutuhan obat dalam satu tahun namun Puskesmas belum tentu mendapatkan seluruh
obat dengan jumlah yang sama sesuai dengan yang direncanakan karena mekanisme
distribusi obat ke Puskesmas diatur oleh Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan akan
memberikan obat jika Puskesmas benar benar membutuhkan obat yang diajukan.
Proses perencanaan obat yang dibuat dengan sistematis memang sangat
membantu dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Puskesmas dituntut
untuk melakukan perencanaan secara matang matang dalam memenuhi kebutuhan obat
selama satu tahun. Namun dalam prosesnya Puskesmas mengalami berbagai kesulitan
dalam proses perencanaan. Hal itu disebabkan dengan alokasi dana JKN yang harus
digunakan oleh Puskesmas 40% untuk menunjang sarana pelayanan termasuk untuk
memenuhi kebutuhan obat. Puskesmas dengan kunjungan relatif rendah menemui
permasalahan dalam merencanakan penggunaan alokasi dana tersebut karena kebutuhan
obat mereka berbeda dengan kebutuhan obat dari Puskesmas dengan kunjungan yang
tinggi sehingga diperlukan suatu proses perencanaan kebutuhan obat dengan matang agar
tidak terjadi penumpukan stok obat.
6.3
digunakan apabila dalam proses pelaksanaan atau dalam proses perencanaan terdapat
73
berbagai kendala. Salah satu asas dalam perencanaan adalah asas alternatif, yang
merupakan penentuan dari alternatif kegiatan yang tidak bisa terlaksana dalam proses
mencapai tujuan (Hasibuan, 2003). Dalam proses perencanaan kebutuhan obat, alternatif
yang perlu diperhatikan adalah mekanisme substitusi jenis obat. Dalam merencanakan
kebutuhan akan obat di Puskesmas atau Rumah Sakit tidak semua obat yang dibutuhkan
tersedia di pasaran sehingga sangat penting untuk merencakanan mekanisme substitusi
jenis obat (Hartono, 2012).
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue beberapa obat generik
yang dibutuhkan oleh Puskesmas tidak masuk dalam daftar katalog. Daftar jenis obat
yang dibutuhkan oleh Puskesmas juga bisa hilang dari daftar karena kekosongan stok
obat/ pihak produsen kehabisan bahan baku dalam membuat obat. Maka dalam proses
perencanaan sebelum dilakukan pengajuan kepada Dinas Kesehatan pihak Puskesmas
harus benar benar menyiapkan substitusi obat yang tidak masuk dalam daftar katalog.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2013 tentang Pengadaan Obat
Berdasarkan E-Catalogue telah diatur bagaimana melakukan pengadaan obat secara
manual jika aplikasi sedang mengalami gangguan atau jika obat yang dibutuhkan
Puskesmas tidak tercantum atau hilang dari daftar katalog.
Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar telah melakukan beberapa
substitusi obat yang tidak tercantum dalam daftar katalog. Proses pengadaan obat
dilakukan secara manual dengan tetap mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.
63 Tahun 2013. Pengadaan langsung secara manual dilakukan dengan mengikuti
prosedur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan E-Catalogue dengan menunjukan bukti
bahwa obat memang benar tidak tercantum dalam daftar katalog dan menunjukkan
74
standar harga yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengadaan obat
secara manual.
6.4
terlibat dalam setiap proses berlangsungnya kegiatan tersebut. Menurut Sauwir (2013)
diperlukan suatu kerja sama yang efektif dengan beberapa pihak yang memiliki tujuan
yang sama. Dalam hal ini kerja sama beberapa pihak diperlukan guna mencapai tujuan
bersama. Beberapa pihak tersebut akan bekerja bersama secara efektif dalam
menciptakan hubungan kemitraan yang baik dan tercapainya tujuan bersama. Kerja sama
yang terjadi tidak hanya ada pada sektor swasta, melainkan pemerintah daerah atau pusat
pun sudah menciptakan berbagai kemitraan bersama dengan sektor swasta. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Sauwir (2013) tentang kerja sama Pemerintah Kota
Surabaya dengan pihak swasta menyebutkan bahwa pemerintah daerah perlu melakukan
suatu kerja sama dengan pihak swasta guna menunjang aset dan mengembangkan
fasilitas pelayanan umum. Sementara untuk permasalahan yang terjadi terkait dengan
kerja sama dengan pihak swasta yang memiliki banyak rekan kerja yaitu semakin luas
wilayah kerja semakin besar juga kendala yang dihadapi. Hal tersebut menuntut pihak
swasta untuk mampu mencakup seluruh mitranya di setiap daerah yang menyebabkan
penurunan kualitas kerja sama terhadap pihak tersebut.
Proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue melibatkan pihak pemerintah
dari pusat hingga daerah dengan pihak swasta. Pihak swasta yang terlibat kerja sama dan
perjanjian kontrak yang paling mendukung suksesnya proses implementasi kebijakan
75
tersebut adalah pihak distributor atau penyedia obat. Kemampuan pihak distributor dalam
proses pengadaan merupakan ujung tombak terlaksananya seluruh proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Kerja sama dengan pihak distributor dimulai dari pengajuan
pemesanan terhadap obat yang disiapkan oleh PBF selaku distributor. Setelah melakukan
pemesanan maka akan ada perjanjian kontrak bersama dengan pihak distributor. Sebelum
diimplementasikan kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pemilihan
rekanan/ pihak distributor bisa ditentukan langsung oleh Puskesmas, namun setelah
implementasi pihak distributor ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) selaku lembaga yang bertanggung jawab
dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah telah menentukan pihak distributor
yang memenangkan tender dalam proses pengadaan.
Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh Pejabat
Pembuat Komitmen beserta Pokja ULP di Kota Denpasar telah sesuai dengan ketentuan
pelaksanaan yang diatur dalam petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue. Proses dimulai dari pengajuan kebutuhan obat oleh Puskesmas yang
selanjutnya ditindak oleh PPK di setiap Kecamatan. Kemudian Dinas Kesehatan Kota
Denpasar membuat suatu kerangka acuan kegiatan yang diserahkan ke ULP setelah itu
baru bisa melakukan pemesanan. Untuk perjanjian kontrak telah sesuai dengan petunjuk
teknis dan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2013 tentang
Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue. Sanksi bagi pelanggaran kontrak yang terjadi
telah ditetapkan oleh LKPP selaku lembaga pemerintah yang bertanggung jawab selama
proses pengadaan. Pihak dari Puskesmas maupun Dinas Kesehatan hanya dapat
76
melaporkan pelanggaran kontrak yang terjadi kepada pihak LKPP yang selanjutnya akan
ditindak oleh LKPP (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
6.5
penyerahan obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan obat dari
Puskesmas (Dirjen Binfar, 2010).
penting dalam menunjang ketersediaan kebutuhan obat di Puskesmas selaku FKTP pada
era JKN. Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai cara distribusi obat yang baik
yang diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. H.K. 03.1.34.11.12.2517 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik (CDOB).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Antonius (2012) tentang Implementasi Cara
Distribusi Obat yang Baik pada Pedagang Besar Farmasi di Yogyakarta menunjukkan
bahwa belum semua aspek CDOB dilakukan oleh PBF secara baik. Terdapat beberapa
penanggung jawab PBF yang belum mengikuti pelatihan CDOB, terdapat PBF yang
belum memiliki SOP, terdapat beberapa PBF yang belum memiliki struktur organisasi
dan terdapat pihak PBF yang belum melakukan dokumentasi dan inspeksi. Pada
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pihak PBF masih dinilai kurang layak dalam
melakukan pendistribusian obat ke Puskesmas dalam menunjang ketersediaan kebutuhan
obat di Puskesmas.
Mekanisme pengambilan obat yang dilakukan Puskesmas adalah dengan
menyerahkan LPLPO kepada pihak dari gudang farmasi dan Dinas Kesehatan kemudian
dilakukan pengecekan kembali terhadap obat, setelah sesuai baru obat bisa diambil oleh
77
Puskesmas. Proses pengambilan obat dari gudang farmasi dilakukan setiap dua bulan
sekali, namun jika terjadi kekosongan obat tidak menutup kemungkinan untuk kembali
meminta obat melalui mekanisme yang sama.
Proses distribusi obat dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar menuju ke Puskesmas
di Kota Denpasar telah sesuai dengan prosedur cara pendistribusian obat yang baik.
Distribusi obat ke Puskesmas dilakukan melalui Unit Pelaksana Teknis Pengawasan
Makanan dan Farmasi Kota Denpasar. Pada proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue pernah terjadi keterlambatan distribusi obat sehingga terjadi kekosongan stok
obat namun tidak dalam jumlah yang besar. Kekosongan stok obat di gudang obat
disebabkan karena dari pihak distributor yang terlambat mengirimkan. Hal tersebut
disebabkan karena respon dari setiap distributor yang berbeda beda, jadi tidak semua
obat bisa datang tepat pada waktunya. Keterlambatan distribusi obat dari distributor tidak
hanya terjadi di Kota Denpasar. Berdasarkan studi pustaka, terdapat keterlambatan
distribusi obat dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Aceh dan
Papua. Hal tersebut disebabkan karena pihak distributor yang tidak ingin dibebankan
biaya pengiriman dalam mendistribusikan obat ke daerah (Alabaspos.com, 2014).
Keterlambatan distribusi obat di Kota Denpasar tidak berdampak buruk pada ketersediaan
obat di Puskesmas karena Dinas Kesehatan Kota Denpasar telah membagi kebutuhan
obat ke Puskesmas berdasarkan skala kebutuhan prioritas.
6.6
78
79
tidak akan mampu melayani seluruh permintaan akan obat karena keterbatasan bahan
baku yang dimiliki. Permasalahan lain yang muncul dalam realisasi obat adalah beberapa
obat yang datang tidak sesuai dengan obat yang tercantum dalam daftar yang diunggah
oleh LKPP.
6.7
80
manusia, sarana dan prasarana yang cukup menunjang proses implementasi EProcurement di Pemerintah Kota Surabaya.
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue yang dapat dikategorikan
sebagai faktor yang mendukung dari segi sumber daya adalah telah dibentuknya tim
khusus yang fokus untuk mengurus JKN yang menggunakan sistem E-Catalogue. Tim
pengadaan tersebut merupakan tim yang khusus mengelola sistem pengadaan ECatalogue dimulai dari proses perencanaan, pengajuan hingga penerimaan. Dengan
dibentuknya tim pengadaan khusus dari setiap Puskesmas di Kota Denpasar maka
pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue akan lebih efektif dan efisien
sehingga mampu memenuhi kebutuhan obat di setiap Puskesmas. Selain telah
dibentuknya tim pengadaan oleh setiap Puskesmas yang juga dapat menunjang
implementasi kebijakan ini adalah sudah tersedianya akses internet dan perangkat
komputer yang dimiliki oleh setiap Puskesmas di Kota Denpasar. Ketersediaan dana yang
besar juga menunjang setiap Puskesmas untuk mampu meningkatkan sarana dalam
melakukan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar.
6.8
Catalogue
Dalam proses implementasi suatu kebijakan banyak faktor yang dapat
mempengaruhi proses implementasi kebijakan tersebut. Faktor faktor tersebut dapat
berupa faktor pendukung dan faktor penghambat. Menurut Agustino (2004) terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan yang bisa menunjang
implementasi kebijakan maupun dapat menghambat proses implementasi. Dalam
81
penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011) tentang Implementasi Dana BOK di
Kabupaten Bandung Barat menunjukkan faktor faktor penghambat dalam proses
implementasi suatu kebijakan dimulai dari faktor input yang akan mempengaruhi proses
pelaksanaan kebijakan. Selain itu faktor penunjang kebijakan seperti petunjuk teknis dan
kesiapan pihak pihak yang terlibat dalam proses dapat menghambat proses
implementasi karena petunjuk teknis dalam kebijakan BOK masih tidak jelas sementara
untuk pihak pihak yang terlibat dalam implementasi masih belum berperan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi yang seharusnya.
Faktor penghambat selama proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di
Kota Denpasar adalah kerja sama yang dilakukan dengan banyak pihak dan banyak
rekanan, sementara respon yang diberikan oleh setiap rekanan berbeda beda. Kemudian
sistem administrasi dari proses pengadaan ini yang dibuat secara sistematis sehingga
menyebabkan proses pelaksanaan yang seharusnya menjadi mudah tapi terkesan menjadi
lebih rumit. Hal yang dapat dikategorikan sebagai faktor penghambat adalah tidak
efektifnya tim pengadaan yang dibentuk oleh setiap Puskesmas terkait dengan pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue. Hal tersebut disebabkan karena tim pengadaan yang
dibentuk dengan keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas. Staf
dan petugas Puskesmas yang ditunjuk sebagai tim pengadaan adalah staf yang telah
memiliki tupoksi sebagai petugas di bidang pelayanan. Faktor lain yang menjadi faktor
penghambat dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue adalah permasalahan
sistem dari LKPP. Jika sistem dari pusat mengalami gangguan maka pihak di bawah
harus menunggu sampai sistem sudah tidak gangguan baru bisa melakukan pengadaan.
Sistem yang cakupannya nasional ini juga menyebabkan terkendalanya kedatangan obat.
82
Tidak semua daerah bisa mendapatkan obat yang dibutuhkan karena pihak penyedia yang
menaungi seluruh wilayah di Indonesia jadi kemungkinan akan kesulitan dalam
melakukan produksi obat dalam jumlah yang besar.
6.9
terjadi dengan hasil yang diharapkan (De Leon, 1999). Dalam menunjang
keberlangsungan kebijakan maka perlu dilakukan suatu implementasi kebijakan yang
efektif dan efisien. Menurut Sabatier dan Mazmanian (1979) untuk menunjang
implementasi kebijakan yang efektif dan efisien maka perlu menentukan tujuan tujuan
yang konsisten secara logis dan jelas, memiliki teori kausal yang jelas, suatu proses
implementasi yang terstruktur, pelaku kebijakan yang berkompeten dan terampil serta
dukungan
dari
berbagai
pihak
yang
menunjang
keberlangsungan
kebijakan.
Sustainabilitas atau keberlanjutan dari suatu kebijakan publik sangat diharapkan dapat
memberikan outcome bahkan impact yang merupakan tujuan dari suatu kebijakan
(Sherlya, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sherlya (2012) tentang Evaluasi EProcurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah Kota Surabaya
menunjukkan bahwa kebijakan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan
mekanisme online tersebut telah dapat memberikan dampak dampak sesuai dengan
tujuan implementasi dari kebijakan tersebut. Outcome dari kebijakan tersebut adalah
telah berkurangnya kecurangan dalam pengadaan, proses pengadaan dan pelelangan
menjadi lebih transparan. Sehingga mampu memberikan impact menciptakan proses
83
pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Surabaya yang memiliki kriteria
transparan, adil, bertanggung jawab efektif, efisien dan berhati hati dalam
pelaksanaannya. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa kebijakan harus
dilanjutkan dan disempurnakan agar dapat mencapai impact yang diharapkan.
Kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue masih terbilang baru
diimplementasikan oleh seluruh Satuan Kerja di bidang Kesehatan baik di Puskesmas
maupun Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Kebijakan pengadaan ini patut dipertahankan
dan disempurnakan karena kebijakan ini sangat baik dan dapat menunjang terciptanya
derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik dengan peningkatan pelayanan kesehatan di
bidang logistik dan perbekalan kefarmasian. Walaupun terdapat berbagai permasalahan di
awal pelaksanaannya tapi hal tersebut bisa diatasi dengan melakukan berbagai pertemuan
dengan pihak pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan kebijakan ini. Dalam
proses ke depan kebijakan ini akan sangat baik karena dapat melakukan suatu
pengawasan yang baik terkait dengan permasalahan yang terjadi dari pusat sampai
daerah, karena dengan sistem yang berlaku secara nasional akan menimbulkan
transparansi dalam proses pengadaan. Kebijakan ini juga bersifat sangat terbuka jadi
setiap masyarakat dapat ikut bersaing dalam hal tenderisasi. Dengan ditunjang input yang
baik, kemudian proses yang sesuai maka output yang diharapkan akan menciptakan
outcome yang baik sehingga dampak baik dari kebijakan pengadaan obat berdasarkan ECatalogue akan dirasa dalam terciptanya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien
yang ditunjang dengan sistem yang baik dalam bidang perbekalan kefarmasian.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan
1.
84
85
4. Proses distribusi obat dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar menuju ke Puskesmas
di Kota Denpasar telah sesuai dengan prosedur cara pendistribusian obat yang
baik. Pada proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pernah terjadi
keterlambatan distribusi obat sehingga terjadi kekosongan stok obat namun tidak
dalam jumlah yang besar.
5. Pada proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar cakupan
realisasi obat tidak mencapai 100% melainkan hanya 60%. Permasalahan dalam
realisasi obat disebabkan karena pada saat sudah mengajukan pemesanan melalui
E-Catalogue kuota sudah habis atau produsen yang sudah tidak bisa memproduksi
jenis obat yang sama karena sudah over kuota.
6. Faktor yang mendukung proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue adalah
telah dibentuknya tim pengadaan khusus di setiap Puskesmas, sudah tersedianya
akses internet dan perangkat komputer yang dimiliki oleh setiap Puskesmas di
Kota Denpasar dan ketersediaan dana yang besar. Sementara faktor penghambat
selama proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar adalah
kerja sama yang dilakukan dengan banyak pihak dan banyak rekanan, sistem
administrasi yang sistematis, tidak efektifnya tim pengadaan di Puskesmas dan
permasalahan gangguan sistem dari LKPP.
86
7.2
Saran
1. Dinas Kesehatan Kota Denpasar perlu melakukan beberapa sosialisasi dan
pembinaan bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses implementasi pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar.
2. Sebaiknya Puskesmas di Kota Denpasar dalam membentuk tim pengadaan
memilih petugas yang tidak bertugas di pelayanan poliklinik dan staf yang tidak
memegang program yang besar sehingga tidak memberikan beban kerja berlebih
kepada petugas yang ditunjuk selaku tim pengadaan
3. Pemerintah Pusat sebaiknya meninjau kembali efektifitas penggunaan 40%
alokasi dana JKN yang dianggarkan untuk memenuhi kebutuhan sarana termasuk
untuk membeli kebutuhan obat karena kebutuhan obat setiap Puskesmas yang
berbeda beda sehingga Puskesmas dengan kunjungan relatif rendah akan
bermasalah dalam menggunakan dana tersebut.
4. Pemerintah Pusat dalam memilih pihak PBF selaku distributor agar lebih selektif
sehingga pihak distributor yang ditunjuk sebagai penyedia obat dapat melayani
seluruh kebutuhan obat yang mencakup skala nasional.
5. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar mencakup seluruh Puskesmas yang
telah 100% melakukan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue agar dapat
menguji efektifitas dan dampak dari kebijakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
http://alabaspos.com/view/kebijakan-menkes-soal-e-katalog-perlu-
88
Dunn, N.W. (1994). Public Policy Analysis. An Introduction. (edisi kedua). Engelwood
Cliff. Terjemahan dari Gajah Mada University Press.
Ervina, R. (2008). Evaluasi Pelaksanaan Program P2DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur Tahun 2007. Skripsi FKM UI, Depok.
Handayani, L. (2009). Peran Tenaga Kesehatan sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Puskesmas. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 13(1) : 12-20.
Hartono, J. (2012). Analisis Perencanaan Proses Kebutuhan Obat Publik untuk Pelayanan
Kesehatan Dasar di Puskesmas se Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Tasikmalaya, Available : http://eprints.undip.ac.id (Accessed : 2015, January 28).
Hasibuan, M. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Toko Gunung Agung,
Jakarta.
Iskandar, R. (2011). Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah, Available :
www.academia.edu/Ridwan-Iskandar-Pemecahan-Masalah/.../ (Accessed : 2015,
May 18).
Istinganah, et al. (2006). Evaluasi Sistem Pengadaan Obat dari APBD tahun 2001 2003
terhadap Ketersediaan dan Efisiensi Obat. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 9(1): 31-41.
Kellog, W.K. (2004, January last update). Logicmodelguide (Logic Model
Development Guide), Available : http://wkkf.org (Access ed : 2015, January 21)
Kemenkes RI (1988). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 43/Menkes/SK/II/1988
tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Jakarta.
89
90
91
92
Sherlya (2012). Evaluasi E-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa di
Pemerintah Kota Surabaya.
Sugiyono (2009). Penelitian Kualitatif. Dalam : Kusuma Jati Ibrahim. 2010. Pelaksanaan
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang.
Syair (2008). Manajemen Pengelolaan Obat di Puskesmas Ahuhu Kabupaten Konawe
Tahun 2008, Available : http://script.com (Accessed : 2015, January 21).
Wirdah, W, et al. (2013). Evaluasi Pengelolaan Obat dan Strategi Perbaikan Dengan
Metode Hanlon di Instalasi Farmasi RSUD Karel Sadsuitubun Kabupaten Maluku
Tenggara Tahun 2012. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains
Farmasi dan Klinik. ISSN: 2339-2592
Yuliastini (2014). Studi Perencanaan dan Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi RSUD
Pohuwato, Available : http://eprints.ung.ac.id (Accessed : 2015, May 22),