Anda di halaman 1dari 107

UNIVERSITAS UDAYANA

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGADAAN OBAT


BERDASARKAN KATALOG ELEKTRONIK (E-CATALOGUE)
DI KOTA DENPASAR TAHUN 2015

IDA BAGUS WISNU ADYAKSA

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

UNIVERSITAS UDAYANA

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGADAAN OBAT


BERDASARKAN KATALOG ELEKTRONIK (E-CATALOGUE)
DI KOTA DENPASAR TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai


salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

IDA BAGUS WISNU ADYAKSA


NIM. 1120025068

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui dan diperiksa dihadapan
Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 22 Juni 2015

Pembimbing

dr. Ni Made Sri Nopiyani, MPH.


NIP. 198311042008012005

iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan
Tim Penguji Skripsi
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 22 Juni 2015

Tim Penguji Skripsi


Penguji I

Rina Listyowati, S.SiT, M.Kes


NIP. 197105292008122001

Penguji II

Putu Ayu Indrayathi, SE., MPH


NIP. 19770331 200501 2 001

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas
berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Evaluasi
Implementasi Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue) di Kota
Denpasar tahun 2015 tepat pada waktunya
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh masukan,
bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat selesai
tepat pada waktunya. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain
kepada :
1. Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH.,PhD selaku Ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat atas ijin dan petunjuknya dalam penyusunan skripsi ini
2. Ibu dr. Ni Made Sri Nopiyani, MPH, selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi dan masukan dalam
penyusunan skripsi ini
3. Bapak Made Kerta Duana, SKM, MPH, selaku dosen pembimbing akademis
yang telah memberikan motivasi dan masukan selama proses kuliah hingga
penyusunan skripsi ini
4. Ibu Putu Ayu Indrayathi, SE, MPH, selaku kepala bagian peminatan AKK
yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini
5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan banyak dukungan,
semangat dan memberikan segalanya dalam proses penyusunan skripsi ini
6. Teman teman IKM angkatan 2011 yang telah banyak memberikan dukungan
dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini
v

7. Seluruh staf dan petugas di Dinas Kesehatan Kota Denpasar yang telah
membantu dalam seluruh proses penyusunan skripsi ini
8. Seluruh staf dan petugas di Puskesmas I , III Denpasar Selatan dan Puskesmas
II Denpasar Barat yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini

Denpasar, Mei 2015


Penulis

Ida Bagus Wisnu Adyaksa

vi

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
PEMINATAN ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
MEI 2015
Ida Bagus Wisnu Adyaksa

EVALUASI IMPLEMENTASI PENGADAAN OBAT


BERDASARKAN KATALOG ELEKTRONIK (E-CATALOGUE)
DI KOTA DENPASAR TAHUN 2015

ABSTRAK
Kebijakan tentang pengadaan obat pemerintah melalui mekanisme EPurchasing berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue) merupakan kebijakan baru
yang bertujuan untuk menunjang proses pengadaan obat pemerintah pada era JKN.
Pada fase awal pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue belum pernah
dilakukan evaluasi untuk menilai implementasi kebijakan tersebut. Penelitian
bertujuan untuk mengevaluasi implementasi pengadaan obat berdasarkan ECatalogue dilihat dari ketersediaan input, proses hingga output.
Penelitian ini menggunakan rancangan observasional deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar serta
empat Puskesmas di Kota Denpasar yang dipilih secara purposive yang terdiri dari
dua Puskesmas dengan jumlah kunjungan tertinggi dan dua Puskesmas dengan jumlah
kunjungan terendah. Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan
wawancara mendalam dan data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar.
Informan penelitian berjumlah tujuh orang yang terdiri dari petugas pengelola obat
Puskesmas, Kepala Puskesmas, staf Dinas Kesehatan dan Kepala Seksi di Dinas
Kesehatan Kota Denpasar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan input dari proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue dari segi pendanaan mencukupi, telah dilengkapi
juknis pelaksanaan, SDM masih kurang dan sasaran belum mencapai 100%
Puskesmas di Kota Denpasar. Proses perencanaan kebutuhan obat lebih sistematis
disbanding sebelumnya dan sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 63
Tahun 2014. Pemesanan dan perjanjian kontrak yang dilakukan telah sesuai dengan
PMK. Distribusi obat pernah mengalami keterlambatan dan realisasi obat tidak
mencapai 100%. Faktor yang mendukung proses implementasi adalah telah dibentuk
tim pengadaan dari Puskesmas dan telah ditunjang dengan sarana. Faktor
penghambatnya adalah tim pengadaan yang dibentuk kurang efektif, kerja sama
dengan banyak rekanan dan gangguan sistem yang sering terjadi dari server pusat.
Secara keseluruhan implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
telah berjalan dengan cukup baik, namun masih ditemukan berbagai permasalahan
dari segi input,proses dan output. Sehingga untuk mencapai outcome perlu dilakukan
berbagai penyempurnaan terkait dengan kebijakan tersebut.
Kata kunci : Evaluasi, pengadaan obat, E-Catalogue

vii

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH


FACULTY OF MEDICINE UDAYANA UNIVERSITY
ADMINSTRATION AND HEALTH POLICY
MAY 2015
Ida Bagus Wisnu Adyaksa

EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION DRUG PROCUREMENT


BASED ON ELECTRONIC CATALOGS (E-CATALOGUE)
IN DENPASAR CITY 2015

ABSTRACT
Government policy on drugs procurement through E-Purchasing based on
electronic catalogs (E-Catalogue) is a new policy that aim to support government drug
procurements process in JKN era. In the initial phase, no prior study has been done to
measure policy implementation. The research aimed to evaluate implementation of
drug procurements based on e-Catalogue by observing the input availability, process,
and output.
This study uses an observational design with a qualitative approach. It was
conducted in Denpasar City Health Department and four public health centers
(Puskesmas)in Denpasar which have been chosen purposively consisting two public
health centers with the highest number of visit and two public health centers with the
lowest number of visit. Primary data collection was done by in-depth interview and
secondary data was obtained from Denpasar City Health Department. The informant
of research consist of seven people, including drug management officers, Chief Public
Health Center, Health Department staff and section head of Denpasar City Health
Department Office
The results showed that the availability of input of drug procurement process
based E-Catalogue is still lacking in terms of human resources, insufficient funding,
has been equipped with the implementation of the guidelines and objectives have not
reached 100% public health centers in the city of Denpasar. Drug demand planning
process is in conformity with the regulation (Peraturan Menteri Kesehatan No. 63
Tahun 2014) but the planning process became more systematic. Purchase order and
contractual agreements made in accordance with the PMK. Drug distribution have
experienced delays and drug realization does not reach 100%. Factors which reinforce
the implementation of E-Catalogue system are the establishment of procurement team
in Public Health Center and supported by adequate facilities. On the other hands,
inhibiting factors arise are the staff who are involve in procurement team have more
workload than before which could be less effective, cooperation with many partners
and system disorder that often occurs from a central server.
The overall implementation of drug procurement based E-Catalogue has been
running quite well. However, there are still many problems found in terms of input,
process and output. Therefore, a lot of improvements related to the policy need to be
done to achieve a better outcome.
Keywords :Evaluation, drug procurement, E-Catalogue
viii

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul ...i
Halaman Judul dengan spesifikasi.ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ...............................................................................iii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................................vii
ABSTRACT .............................................................................................................. viiii
DAFTAR ISI............................................................................................................... ixx
DAFTAR TABEL ........................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xivv
DAFTAR SINGKATAN/ ISTILAH............................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1

Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2

Rumusan Masalah ........................................................................................... 5

1.3

Tujuan ............................................................................................................. 5

1.3.1 Tujuan Umum............................................................................................. 5


1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................................................ 5
1.4

Manfaat ........................................................................................................... 6

1.4.1 Manfaat praktis ........................................................................................... 6


1.4.2 Manfaat teoritis ........................................................................................... 6
1.5

Ruang Lingkup Penelitian.............................................................................. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 8


2.1

Evaluasi Implementasi .................................................................................... 8

2.1.1 Pengertian Evaluasi .................................................................................... 8


2.1.2 Tujuan Evaluasi .......................................................................................... 9
2.1.3 Metode Evaluasi ....................................................................................... 10
2.1.4 Implementasi Kebijakan ........................................................................... 10
2.1.5 Evaluasi Implementasi .............................................................................. 12
2.2

Pengadaan Obat ............................................................................................ 12

2.2.1 Pengertian Obat ........................................................................................ 12


ix

2.2.2 Pengadaan Obat ........................................................................................ 13


2.2.3 Proses Pengadaan Obat ............................................................................ 14
2.3

Kebijakan Pengadaan Obat ........................................................................... 16

2.3.1 Dasar Kebijakan Umum Obat .................................................................. 16


2.3.2 Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue .............................................. 18
2.4

Kedudukan Dinas Kesehatan ........................................................................ 22

2.5

Implementasi Kebijakan E-Catalogue di Puskesmas ................................... 24

2.6

Penelitian Terkait .......................................................................................... 27

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........................ 30


3.1

Kerangka Konsep .......................................................................................... 30

3.2

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................................... 31

BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................................. 34


4.1

Karakteristik Penelitian ................................................................................. 34

4.2

Peran Peneliti ................................................................................................ 34

4.3

Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................... 35

4.4

Strategi Pengumpulan Data........................................................................... 35

4.4.1 Pengumpulan Data Primer ........................................................................ 35


4.4.2 Pengumpulan Data Sekunder ................................................................... 36
4.5

Analisa Data .................................................................................................. 37

4.6

Strategi Validasi Data ................................................................................... 38

BAB V HASIL............................................................................................................. 39
5.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................. 39

5.2

Riwayat Penelitian ........................................................................................ 42

5.3

Karakteristik Informan .................................................................................. 44

5.4

Hasil Wawancara Penelitian ......................................................................... 44

5.4.1 Ketersediaan input dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue ...... 44
5.4.2 Proses perencanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue ............... 49
5.4.3 Proses substitusi obat yang tidak tercantum dalam daftar E-Catalogue .. 51
5.4.4 Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak............................... 52
5.4.5 Proses distribusi obat ke Puskesmas ......................................................... 53
5.4.6 Cakupan realisasi obat .............................................................................. 54
5.4.7 Faktor Pendukung dalam proses pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue....................................................................................................... 56
5.4.8 Faktor Penghambat dalam proses pelaksanaan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue .................................................................................. 57
5.4.9 Sustainabilitas kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue....... 59
x

BAB VI PEMBAHASAN............................................................................................ 61
6.1

Ketersediaan Input dalam Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


...61

6.1.1 Ketersediaan sumber daya manusia .......................................................... 61


6.1.2 Ketersediaan dana ..................................................................................... 64
6.1.3 Ketersediaan bahan baku .......................................................................... 66
6.1.4 Sasaran...................................................................................................... 68
6.2

Proses Perencanaan Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue ................. 70

6.3

Proses Substitusi Obat yang Tidak Tercantum dalam Daftar E-Catalogue.. 72

6.4

Proses Pengajuan Pemesanan dan Perjanjian Kontrak ................................. 74

6.5

Proses Distribusi Obat ke Puskesmas ........................................................... 76

6.6

Cakupan Realisasi Obat ................................................................................ 77

6.7

Faktor Pendukung dalam Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


...79

6.8

Faktor Penghambat dalam Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


...80

6.9

Sustainabilitas Kebijakan Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue ........ 82

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 84


7.1

Simpulan ....................................................................................................... 84

7.2

Saran ............................................................................................................. 86

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 87

xi

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1Keaslian Penelitian 28
Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ..31
Tabel 5.1 Jumlah Kunjungan Puskesmas di Kota Denpasar Tahun 2014 41
Tabel 5.2 Daftar Obat yang Tidak Terealisasi Tahun 2014 di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar..56

xii

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Simple Logic Model Proses Pengadaan Obat Berdasarkan
E-Catalogue 30

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar informasi wawancara mendalam


Lampiran 2. Lembar persetujuan (informed consent)
Lampiran 3. Pedoman wawancara mendalam kepada Kasi Pelayanan Perijinan dan
Perbekalan Kesehatan Bidang Yankes Dinkes Kota Denpasar
Lampiran 4. Pedoman wawancara mendalam kepada Staf Seksi Pelayanan Perijinan
dan Perbekalan Kesehatan Bidang Yankes Dinkes Kota Denpasar
Lampiran 5. Pedoman wawancara mendalam kepada Kepala Puskesmas
Lampiran 6. Pedoman wawancara mendalam kepada petugas Puskesmas
Lampiran 7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2014 tentang
Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik
Lampiran 8. Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 167 Tahun 2014 tentang
Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik
Lampiran 9. Daftar Realisasi Obat di Puskesmas dan Dinkes Kota Denpasar tahun
2014
Lampiran 10. Daftar Kebutuhan Obat di Puskesmas dan Dinkes Kota Denpasar tahun
2014
Lampiran 11. Surat - surat

xiv

DAFTAR SINGKATAN/ ISTILAH


E-Catalogue : Katalog Elektronik
Puskesmas

: Pusat Kesehatan Masyarakat

Dinkes

: Dinas Kesehatan

LKPP

: Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah

PBF

: Pedagang Besar Farmasi

Pokja ULP

: Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan

PPK

: Pejabat Pembuat Komitmen

CPOB

: Cara Pembuatan Obat yang Baik

DOEN

: Daftar Obat Esensial Nasional

BPOM

: Badan Pengawasan Obat dan Makanan

APBD

: Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

DAK

: Dana Alokasi Khusus

UPT

: Unit Pelaksana Teknis

Kepmenkes

: Keputusan Menteri Kesehatan

PMK

: Peraturan Menteri Kesehatan

Juknis

: Petunjuk Teknis

JKN

: Jaminan Kesehatan Nasional

CDOB

: Cara Distribusi Obat yang Baik

LPLPO

: Lembar Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat

SDM

: Sumber Daya Manusia

xv

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu aspek dalam menunjang

pembangunan secara nasional. Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan


meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan bagi setiap individu untuk hidup
sehat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Derajat
kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator yang ditetapkan secara
nasional yaitu angka harapan hidup, angka kesakitan, angka kematian, dan status gizi
masyarakat (Dinkes Kota Denpasar, 2013). Salah satu upaya yang dapat dilakukan
dalam menunjang tercapainya pembangunan nasional di bidang kesehatan adalah
dengan melakukan suatu manajemen, pengelolaan dan pelayanan kesehatan yang
sebaik-baiknya (Melen, 2013).
Dalam meningkatkan pelayanan kesehatan agar dapat berjalan lebih efektif
dan efisien perlu dilakukan suatu manajemen dan pengelolaan yang baik di bidang
obat obatan dan perbekalan farmasi. Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian
kegiatan yang mencakup perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat yang dikelola secara optimal untuk menjamin tercapainya ketepatan jumlah dan
jenis perbekalan farmasi dan alat kesehatan (Mangindra, dkk. 2012). Tujuan
manajemen obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik mengenai jenis,
jumlah maupun kualitas secara efisien, dengan demikian manajemen obat dapat
dipakai sebagai proses penggerakan dan pemberdayaan semua sumber daya yang

dimiliki untuk dimanfaatkan dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap saat
dibutuhkan untuk operasional yang efektif dan efisien (Syair, 2008).
Untuk menjaga ketersediaan obat dan kualitas obat di instansi kesehatan
seperti Puskesmas maka hal terpenting yang harus diperhatikan selama proses
pengelolaan obat yaitu proses perencanaan dan pengadaan obat (Athijah,dkk. 2010).
Perencanaan kebutuhan obat merupakan suatu proses memilih jenis dan menetapkan
jumlah perkiraan kebutuhan obat sementara pengadaan merupakan usaha usaha dan
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan dalam fungsi
perencanaan (Seto, 2004). Proses perencanaan dan pengadaan menjadi bagian yang
begitu penting dalam pengelolaan obat dalam menunjang ketersediaan obat di
Puskesmas.
Kegiatan pengadaan obat di Puskesmas meliputi penyusunan daftar
permintaan obat yang sesuai kebutuhan, pengajuan kebutuhan permintaan obat kepada
Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II/ Gudang Obat dengan menggunakan formulir
daftar permintaan obat serta penerimaan dan pengecekan jumlah obat (Depkes RI.
2007). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Barang/ Jasa Pemerintah sebagaimana disebutkan bahwa pengadaan barang/ jasa di
instansi pemerintahan dilakukan secara manual. Di awal tahun 2013 Kementerian
Kesehatan melalui Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Edaran NOMOR
KF/MENKES/337/VII/2013 tentang Pengadaan Obat Pemerintah melalui Mekanisme
E-Purchasing berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue). Kebijakan baru tersebut
bertujuan untuk menunjang proses pengadaan obat pemerintah yang harus
dilaksanakan sesuai dengan prinsip pemerintah yang baik dan bersih, prinsip keadilan,
transparansi, profesional dan akuntabel untuk mendapatkan produk yang berkualitas

dengan harga yang wajar baik untuk Program Jaminan Kesehatan Nasional maupun
program kesehatan lainnya.
Pada fase awal pelaksanaan pengadaan obat dengan E-Catalogue di tahun
2013 Pemerintah Pusat telah melakukan sosialisasi terkait dengan kebijakan baru
tersebut. Pengadaan obat dengan E-Catalogue telah diadopsi oleh 432 Dinas
Kesehatan dan Rumah Sakit Pemerintah di seluruh Indonesia, 29 industri farmasi
yang bertindak sebagai pihak penyedia obat dan dalam katalog obat elektronik
tersebut telah mencakup 326 sediaan obat generik. Dalam prakteknya beberapa pihak
mulai dari pihak pemegang program sampai pihak penyedia obat masih beradaptasi
dalam menjalankan kebijakan baru tersebut, seehingga di tahun pertama
pelaksanaannya yang merupakan masa transisi kebijakan menyebabkan terkendalanya
pengadaan obat oleh instansi kesehatan pemerintah. Pada tahun 2014 Menteri
Kesehatan kembali mengeluarkan Surat Edaran NOMOR KF/MENKES/167/III/2014
tentang pengadaan obat berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue). Dalam surat
edaran tersebut mengatur mengenai pengadaan obat dilaksanakan berdasarkan ECatalogue obat dengan menggunakan metode pembelian secara elektronik (EPurchasing) sebagaimana tercantum dalam katalog obat yang telah ditetapkan oleh
LKPP selaku lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam proses pengadaan
barang dan jasa pemerintah. Sejak bulan Maret tahun 2014 jumlah sediaan obat
generik yang telah tercantum adalah 453 sediaan dan industri farmasi yang
berpartisipasi dalam menunjang proses pengadaan obat telah berjumlah lebih dari 100
(Kemenkes RI, 2014).
Desentralisasi di bidang kesehatan memberikan keleluasaan kepada daerah
untuk menggali potensi yang dimiliki dalam membangun daerahnya, sehingga Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota akan mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam

perencanaan upaya kesehatan. Dinas Kesehatan Kota Denpasar mempunyai


kewajiban membuat perencanaan berbasis wilayah atau evidence based planning,
yaitu perencanaan yang dibuat secara terpadu dan benar-benar didasarkan pada
besarnya masalah, kondisi daerah serta kemampuan sumber daya. Terkait dengan
kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue, Dinas Kesehatan Kota Denpasar
serta Puskesmas di Kota Denpasar selaku Unit Pelaksana Teknis Dinas melakukan
pengadaan obat dengan mekanisme E-Purchasing berdasarkan katalog elektronik (ECatalogue).
Pada fase awal pelaksanaannya banyak ditemukan permasalahan yang terjadi
namun pelaporan terkait permasalahan yang dihadapi oleh Puskesmas hanya
dilakukan saat ada pertemuan dengan Dinas Kesehatan setiap 3 bulan sehingga tidak
dilakukan pencatatan yang baik terkait dengan permasalahan yang terjadi di
Puskesmas terkait dengan pengadaan obat dengan E-Catalogue. Permasalahan yang
terjadi baik di Dinas Kesehatan maupun di Puskesmas terkait dengan pengadaan obat
dengan E-Catalogue masih belum dilakukan pembahasan secara mendalam untuk
menemukan solusi atau pemecahan yang dapat diambil dalam permasalahan tersebut.
Sehingga penting untuk melakukan evaluasi terkait dengan pengadaan obat dengan ECatalogue tersebut yang dapat dijadikan acuan dalam pengadaan obat oleh Puskesmas
di tahun berikutnya yang dilakukan dengan mekanisme E-Purchasing berdasarkan
katalog elektronik (E-Catalogue). Kebijakan pengadaan obat dengan E-Catalogue
sudah berjalan selama 2 tahun sehingga dirasa sudah tepat untuk dinilai prosesnya.

1.2

Rumusan Masalah
Pada fase awal pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue

diindikasi muncul berbagai permasalahan. Dalam prosesnya pelaksanaan pengadaan


obat berdasarkan E-Catalogue dilakukan di seluruh Satuan Kerja di Bidang Kesehatan
yang meliputi Rumah Sakit Pemerintah, Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/ Kota
dan Puskesmas. Dalam dua tahun pelaksanaan kebijakan tersebut belum pernah
dilakukan evaluasi untuk menguji efektifitas dari pelaksanaan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue, sehingga penelitian bertujuan untuk menjawab pertanyaan
penelitian yaitu bagaimana implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di
Kota Denpasar tahun 2015 ?

1.3

Tujuan

1.3.1

Tujuan Umum
Untuk mengevaluasi implementasi pengadaan obat berdasarkan katalog

elektronik (E-Catalogue) di Kota Denpasar tahun 2015


1.3.2

Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui ketersediaan input yang menunjang proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015
2. Untuk mengetahui proses perencanaan pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015
3. Untuk mengetahui proses pengajuan dan perjanjian kontrak dari pihak
pemegang program dengan pihak PBF dalam pengajuan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015

4. Untuk mengetahui proses distribusi obat kepada Puskesmas melalui


proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada
tahun 2015
5. Untuk mengetahui cakupan realisasi obat dalam proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada tahun 2015
6. Untuk mengetahui faktor pendukung dan faktor penghambat dalam
implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar
pada tahun 2015

1.4

Manfaat

1.4.1

Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam

implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue bagi Dinas Kesehatan Kota


Denpasar beserta Puskesmas se Kota Denpasar di tahun berikutnya.
1.4.2

Manfaat teoritis
1. Bagi Mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta
pengetahuan terkait dengan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
2. Bagi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan
penelitian lanjutan dari mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

1.5

Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian yang terkait dengan manajemen logistik

dalam kesehatan dengan melihat sistem pengadaan obat melalui

E-Catalogue.

Penelitian dilakukan di Puskesmas di Kota Denpasar untuk melihat implementasi dari


proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pada tahun 2015 dengan melihat
input sampai output dari implementasinya. Waktu penelitian dimulai dari Bulan
Maret-Mei tahun 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Evaluasi Implementasi

2.1.1

Pengertian Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu penilaian secara sistematis untuk menentukan atau

menilai kegunaan dan keefektifan sesuatu yang didasarkan pada kriteria tertentu dari
suatu program. Hal yang paling penting dalam melakukan suatu evaluasi adalah harus
memiliki tujuan evaluasi yang jelas. Evaluasi dirancang untuk memberikan nilai pada
suatu intervensi dengan mengumpulkan informasi yang valid dan reliable terhadap
intervensi tersebut yang dilakukan secara sistematis (Ovretveit, 1998). Evaluasi
terhadap suatu intervensi yang diberikan baru dapat dilakukan jika suatu intervensi
tersebut telah berjalan dalam cukup waktu. Untuk melakukan evaluasi terhadap
kebijakan yang baru diambil dapat dilakukan dalam waktu yang cukup lama untuk
mengetahui outcome atau dampak yang ditimbulkan. Semakin strategis dan semakin
terstrukturnya suatu kebijakan maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengetahui outcome atau dampak dari kebijakan tersebut. Namun jika ingin
mengetahui bagaimana proses dan pelaksanaan dari suatu kebijakan yang sifatnya
lebih teknis maka dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat, misalnya 2 tahun
setelah kebijakan tersebut diimplementasikan (Ervina, 2008).

2.1.2

Tujuan Evaluasi
Tujuan dari evaluasi menurut Ervina (2008) adalah sebagai berikut :
1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan.
Dengan melakukan evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan
sasaran dari kebijakan
2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan
Dengan melakukan evaluasi dapat diketahui keefektifan suatu kebijakan
yang dilihat biaya, sumber daya dan manfaat dari suatu kebijakan
3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan
Evaluasi digunakan untuk mengukur seberapa besar dan kualitas keluaran
dari suatu kebijakan
4. Mengukur dampak suatu kebijakan
Evaluasi dapat digunakan untuk menilai dampak dari implementasi
kebijakan yang dapat berdampak positif maupun negatif
5. Untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi
Evaluasi dapat digunakan untuk mengukur penyimpangan yang mungkin
terjadi dengan membandingkan tujuan dan sasaran dengan target yang
dicapai
6. Untuk bahan masukan dalam kebijakan selanjutnya
Tujuan akhir dari suatu evaluasi adalah untuk memberikan masukan dalam

perumusan kebijakan berikutnya. Namun tujuan akhir yang merupakan tujuan yang
utama dari evaluasi adalah untuk pengambilan keputusan. Keputusan tersebut akan
berguna dalam perumusan kebijakan selanjutnya dan juga dapat digunakan untuk
menentukan keefektifan kebijakan sebelumnya.

10

2.1.3

Metode Evaluasi
Beberapa ahli menyebutkan berbagai macam metode dalam melakukan

evaluasi. Menurut Azwar (2010) dan Notoatmodjo (2011) evaluasi dapat dibedakan
menjadi empat kelompok yaitu :
1. Evaluasi terhadap input, evaluasi yang menyangkut pemanfaatan berbagai
sumber daya yang mencakup sumber daya manusia, sumber dana ataupun
sarana.
2. Evaluasi terhadap proses, evaluasi yang menitikberatkan pada pelaksanaan
program apakah sudah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak
3. Evaluasi terhadap output, evaluasi terhadap hasil yang dicapai dari suatu
program. Penilaian tersebut bertujuan untuk mengetahui capaian program
apakah sudah sesuai dengan target atau kriteria yang ditetapkan
4. Evaluasi terhadap dampak, evaluasi terhadap dampak dari suatu program
yang mencakup pengaruh yang ditimbulkan atau intervensi yang diberikan
terhadap peningkatan status kesehatan masyarakat
2.1.4

Implementasi Kebijakan
Implementasi suatu kebijakan sangatlah berhubungan dengan perencanaan

kebijakan. Keberhasilan dari implementasi suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh


bagaimana sebuah desain kebijakan mampu merumuskan secara komperehensif aspek
pelaksanaan sekaligus metode evaluasi yang akan dilaksanakan. Implementasi
kebijakan merupakan intervensi yang diberikan pada suatu kebijakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Mazmanian & Sabatier.1986). Setelah proses
implementasi kebijakan berjalan diharapkan akan muncul suatu keluaran (output)
hingga dampak akhir (impact). Dalam perjalanannya tidak semua kebijakan dapat
diimplementasikan dengan baik untuk mencapai tujuannya karena dalam proses

11

implementasi tidak bisa dilakukan dengan sempurna seperti dalam proses perumusan
kebijakan.
Banyak kebijakan yang tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna, artinya
terdapat beberapa kegiatan yang gagal dalam proses implementasinya. Kegagalan
dalam implementasi kegiatan disebabkan oleh dua hal utama yaitu kebijakan yang
tidak terlaksana atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya dan kebijakan yang
mengalami kegagalan saat dilaksanakan. Dalam implementasi suatu kebijakan dikenal
dengan berbagai model implementasi kebijakan. Menurut Buse (2012) dalam bukunya
yang berjudul Making Health Policy menyebutkan ada dua model teori implementasi
kebijakan, yaitu :
1. Teori Implementasi Top-Down
Merupakan suatu teori yang mengedepankan pembagian yang jelas antara
formulasi kebijakan dan implementasi, proses implementasi yang rasional
dan linier dimana tingkat tingkat di bawahnya melaksanakan praktek
berdasarkan apa yang diarahkan oleh pihak yang tingkatnya lebih tinggi
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Teori Implementasi Bottom-Up
Merupakan teori yang mengakui dimana tingkatan di bawah yang lebih
rendah dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam proses
implementasi, termasuk memiliki berbagai keleluasaan untuk merubah
kebijakan dalam sistem, dengan demikian dapat mencapai tujuan
kebijakan sesuai dengan yang dikehendaki atau yang tidak dibayangkan
oleh pihak di atas.

12

2.1.5

Evaluasi Implementasi
Dalam siklus kebijakan terdapat berbagai proses dalam menunjang tercapainya

tujuan dari kebijakan tersebut. Proses dalam siklus tersebut dimulai dari perumusan
kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kegiatan (Buse, 2012). Implementasi
dan evaluasi merupakan proses yang tidak dapat dipisahkan. Implementasi merupakan
intervensi yang diberikan dalam suatu kebijakan sedangkan evaluasi merupakan
proses untuk melakukan penilaian terhadap intervensi yang diberikan. Dalam
melakukan evaluasi implementasi, proses evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif merupakan evaluasi yang
dirancang untuk memberikan kontribusi langsung bagi pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab program sehingga membentuk wajah program yang baik dalam
perumusan sampai implementasinya. Evaluasi sumatif dirancang untuk memberikan
ruang dalam proses pengambilan keputusan, dimana berfokus kepada dampak yang
ditimbulkan dari capaian program yang telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

2.2

Pengadaan Obat

2.2.1

Pengertian Obat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia obat memiliki pengertian sebagai

bahan

yang

digunakan

untuk

mengurangi,

menghilangkan

penyakit

atau

menyembuhkan seseorang dari penyakit. Secara garis besar pengertian obat tersebut
hanya penjelasan yang spesifik mengenai obat yaitu hanya berfungsi dalam proses
penyembuhan penyakit. Namun sebenarnya obat dapat digunakan untuk mencegah
penyakit, meningkatkan kekebalan tubuh dan juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa suatu penyakit (Bahfen, 2006).

13

Pengertian obat jika dilihat dari peraturan yang dibuat oleh pemerintah yaitu
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara
Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) adalah bahan atau campuran bahan yang dibuat,
ditawarkan atau disajikan untuk digunakan dalam proses pengobatan, pencegahan,
pemulihan, atau diagnosa. Obat juga memiliki berbagai istilah dalam penggunaannya,
antara lain :
1. Obat

jadi, adalah obat dalam keadaan murni atau campuran dalam

berbagai bentuk obat yang mempunyai nama teknis sesuai dengan


Farmako Indonesia
2. Obat paten, merupakan obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas
nama si pembuat atau yang dikuasakan dan dijual dalam bentuk bungkus
asli dari pabrik yang memproduksinya
3. Obat baru, adalah obat yang terdiri atau berisi suatu zat baik sebagai
bagian yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat misalnya lapisan,
pengisi, pelarut atau komponen lain yang tidak dikenal sehingga belum
dikenal
4. Obat esensial, adalah obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang meliputi diagnose, profilaksis
terapi dan rehabilitasi
5. Obat generik, merupakan obat esensial yang tercantum dalam Daftar Obat
Esensial Nasional (DOEN) dan mutunya terjamin karena diproduksi
dengan CPOB dan diuji ulang oleh BPOM.
2.2.2

Pengadaan Obat
Pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan adalah proses untuk

menyediakan kebutuhan obat di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat publik

14

dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan


Kabupaten/ Kota sesuai dengan ketentuan ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan
Barang dan Jasa Instansi Pemerintah. Dalam melakukan pengadaan obat perlu
memperhatikan beberapa kriteria diantaranya kriteria obat publik dan perbekalan
kesehatan, persyaratan pemasok, penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat,
penerimaan dan pemeriksaan obat dan pemantauan status pesanan.
Tujuan dari melakukan pengadaan obat adalah :
1. Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan
2. Menjamin mutu sediaan obat
3. Obat dapat diperoleh pada saat dibutuhkan
2.2.3

Proses Pengadaan Obat


Proses pengadaan obat yang efektif akan menjamin ketersediaan obat yang baik

dalam jumlah yang tepat, harga yang wajar dan kualitas yang sesuai dengan standar
yang diakui (Quick, 2007). Untuk memperoleh obat dapat dilakukan dengan
pembelian, sumbangan atau melalui pabrik. Dalam pengadaan obat terdapat suatu
siklus yang terdiri dari :
1. Perencanaan kebutuhan obat
Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas merupakan proses
kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis
dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas
(Dirjen Binfar, 2010). Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas
bertujuan untuk mendapatkan perkiraan jumlah dan jenis obat yang sesuai
dengan kebutuhan, meningkatkan efisiensi penggunaan obat dan
meningkatkan penggunaan obat secara rasional. Proses perencanaan

15

kebutuhan obat sangat penting karena dapat menunjang ketersediaan obat


dalam pelayanan sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
(Yuliastini, 2014). Dalam proses perencanaan kebutuhan obat, alternatif
yang perlu diperhatikan adalah mekanisme substitusi jenis obat. Dalam
merencanakan kebutuhan akan obat di Puskesmas atau Rumah Sakit tidak
semua obat yang dibutuhkan tersedia di pasaran sehingga sangat penting
untuk merencakanan mekanisme substitusi jenis obat (Hartono, 2012).
2. Proses pemesanan dan perjanjian kontrak
Proses pengadaan obat melibatkan pihak pemerintah dari pusat hingga
daerah dengan pihak swasta. Pihak swasta yang terlibat kerja sama dan
perjanjian kontrak yang paling mendukung suksesnya proses implementasi
kebijakan tersebut adalah pihak distributor atau penyedia obat (Sauwir,
2013). Kemampuan pihak distributor dalam proses pengadaan merupakan
ujung tombak terlaksananya seluruh proses pengadaan obat. Kerja sama
dengan pihak distributor dimulai dari pengajuan pemesanan terhadap obat
yang disiapkan oleh PBF selaku distributor. Setelah melakukan pemesanan
maka akan ada perjanjian kontrak bersama dengan pihak distributor.
3. Proses distribusi obat
Proses distribusi obat ke Puskesmas merupakan kegiatan pengeluaran dan
penyerahan obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan
obat dari Puskesmas (Dirjen Binfar, 2010). Proses distribusi merupakan
proses yang sangat penting dalam menunjang ketersediaan kebutuhan obat
di Puskesmas selaku FKTP pada era JKN. Pemerintah telah mengeluarkan
aturan mengenai cara distribusi obat yang baik yang diatur dalam

16

Peraturan Kepala BPOM No. H.K. 03.1.34.11.12.2517 Tahun 2014


tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik (CDOB).
Pada

penelitian

yang

dilakukan

oleh

Antonius

(2012)

tentang

Implementasi Cara Distribusi Obat yang Baik pada Pedagang Besar


Farmasi di Yogyakarta menunjukkan bahwa belum semua aspek CDOB
dilakukan oleh PBF secara baik.

2.3

Kebijakan Pengadaan Obat

2.3.1

Dasar Kebijakan Umum Obat


Dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa subsistem obat dan

perbekalan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan,


pemenuhan kebutuhan serta pemanfaatan dan pengawasan obat dan perbekalan
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat setinggi tingginya. Tujuan utama dalam pelaksanaan subsistem obat dan
perbekalan kesehatan yaitu tersedianya obat dan perbekalan kesehatan yang
mencukupi,

terdistribusi

secara

adil

dan

merata

dalam

upaya

menjamin

terselenggaranya pembangunan nasional di bidang kesehatan guna meningkatkan


derajat

kesehatan

masyarakat

setinggi

tingginya

(Kepmenkes

RI

No.131/Menkes/II/2004).
Prinsip dalam penyelenggaraan subsistem obat dan perbekalan kesehatan
yaitu:
1. Obat dan perbekalan kesehatan adalah kebutuhan dasar manusia oleh
karena itu tidak dilakukan sebagai komoditas ekonomi semata
2. Obat dan perbekalan kesehatan sebagai barang publik sehingga harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkaunnya, karena itu penetapan harga

17

obat dan perbekalan kesehatan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar


melainkan melalui pemerintah
3. Pengadaan obat, yang mengutamakan obat generik bermutu, serta
penyediaan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara adil dan merata
4. Pengadaan dan pemanfaatan obat di sarana pelayanan kesehatan mengacu
pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
5. Pemanfaatan obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan secara
rasional dengan mempelajari aspek mutu, manfaat, harga, kemudahan
diakses serta keamanan bagi masyarakat dan lingkungannya.
Bentuk pokok dari subsistem obat dan perbekalan kesehatan yang diatur oleh
pemerintah yaitu :
1. Perencanaan

obat

dan

perbekalan

kesehatan

secara

nasional

diselenggarakan oleh pemerintah


2. Perencanaan obat merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
yang ditetapkan oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi
3. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan kesehatan yang dibutuhkan oleh
pembangunan kesehatan menjadi tanggung jawab pemerintah
4. Pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan diselenggarakan melalu
Pedagang Besar Farmasi (PBF)
5. Pemerataan obat dan perbekalan kesehatan diarahkan pada pemakaian obat
obat esensial generik
6. Peningkatan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan dilaksanakan
melalui kajian dan penetapan harga secara berkala oleh pemerintah
bersama pengusaha dengan menggunakan harga obat produksi industri
farmasi pemerintah sebagai acuan

18

7. Pengawasan mutu produksi obat dan perbekalan kesehatan pada tahap


pertama dilakukan oleh industri yang bersangkutan sesuai CPOB yang
ditetapkan oleh pemerintah
8. Pengawasan distribusi, promosi serta pemanfaatan obat dan perbekalan
kesehatan, termasuk efek samping serta pengendalian harganya dilakukan
oleh pemerintah bekerja sama dengan kalangan pengusaha, organisasi
profesi dan masyarakat.
2.3.2

Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue


Pengadaan secara elektronik atau E-Procurement merupakan pengadaan

barang/ jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan


transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
Kemajuan teknologi informasi mempermudah dan mempercepat proses pengadaan
barang/ jasa, karena penyedia barang/jasa tidak perlu lagi datang ke Kantor Kelompok
Kerja Unit Layanan Pengadaan (Pokja ULP) untuk melihat, mendaftar dan mengikuti
proses pelelangan tetapi cukup melakukannya secara online melalui website
pelelangan elektronik.
Penerapan sistem pengadaan secara elektronik bertujuan untuk :
1. Meningkatkan transparansi/ keterbukaan dalam proses pengadaan barang/
jasa
2. Meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka penyediaan pelayanan
publik dan penyelenggaraan pemerintah yang baik
3. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan proses
pengadaan barang/ jasa.
Pengadaan barang/ jasa secara elektronik dapat dilakukan dengan sistem EPurchasing. Sistem E-Purchasing merupakan tata cara pemilihan penyedia barang/

19

jasa yang dapat dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia
barang/ jasa yang terdaftar pada sistem elektronik. Prinsip pemilihan penyedia barang/
jasa sebagaimana mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 yaitu
secara efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Dengan
sistem tersebut maka proses pengadaan obat yang dilakukan oleh seluruh Satuan
Kerja di bidang kesehatan mulai dari Puskesmas, Dinas Kesehatan hingga Rumah
Sakit Pemerintah dilakukan berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue) dengan
sistem E-Purchasing.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang
Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue terdapat tata cara dalam melakukan
pengadaan obat pemerintah yang akan dijabarkan sebagai berikut :
1. Persiapan
Pengadaan obat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Unit Layanan
Pengadaan (Pokja ULP) atau Pejabat Pengadaan Satuan Kerja berdasarkan
perintah dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satuan Kerja di Bidang
Kesehatan.
a. Satuan

Kerja

Bidang

Kesehatan

di

daerah

maupun

pusat

menyampaikan rencana kebutuhan obat kepada PPK


b. PPK melihat E-Catalogue obat dalam Portal Pengadaan Nasional yang
memuat nama, provinsi, nama obat, nama penyedia, kemasan, harga
satuan terkecil, distributor dan kontrak payung penyediaan obat.
c. PPK menetapkan Daftar Pengadaan Obat sesuai kebutuhan dan
ketersediaan anggaran yang terdiri atas
1) Daftar Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue
2) Daftar Pengadaan Obat diluar E-Catalogue

20

d. Daftar Pengadaan Obat berdasarkan E-Catalogue ditandatangani oleh


PPK selanjutnya diteruskan kepada Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan
untuk diadakan dengan metode E-Purchasing
e. Daftar Pengadaan Obat diluar E-Catalogue ditandatangani oleh PPK
selanjutnya diteruskan kepada Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan untuk
diadakan dengan metode lain sesuai Peraturan Presiden Nomor 70
tahun 2012.
2. Pengadaan obat dengan E-Purchasing
Pengadaan obat dengan E-Purchasing berdasarkan E-Catalogue dilakukan
oleh PPK dan Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan melalui aplikasi EPurchasing pada website Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).
Untuk dapat menggunakan aplikasi tersebut PPK dan Pokja ULP/ Pejabat
Pengadaan harus memiliki kode akses (user id dan password) dengan cara
melakukan pendaftaran sebagai pengguna kepada LPSE setempat. Adapun
tahapan E-Purchasing adalah sebagai berikut :
a. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam
aplikasi

E-Purchasing

berdasarkan

Daftar

Pengadaan

Obat

sebagaimana tercantum dalam formulir yang diberikan oleh PPK


b. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan
pembelian kepada penyedia obat/ industri farmasi yang termasuk
dalam kelompok paket pengadaan
c. Penyedia obat/ industri farmasi yang telah menerima permintaan
pembelian obat melalui E-Purchasing dari Pokja ULP/ Pejabat
Pengadaan memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat

21

dan menunjuk distributor/ PBF. Apabila menolak harus menyampaikan


alasan penolakan
d. Persetujuan penyedia obat/ industri farmasi kemudian oleh Pokja ULP/
Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti
e. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/ kontrak jual beli terhadap obat
yang telah disetujui dengan distributor/ PBF yang ditunjuk penyedia
obat/ industri farmasi
f. Distributor/ PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai
dengan isi perjanjian/ kontrak jual beli
g. PPK selanjutnya mengirim perjanjian pembelian obat serta melengkapi
riwayat pembayaran dengan cara mengunggah pada aplikasi EPurchasing.
h. PPK melaporkan item dan jumlah obat yang ditolak atau tidak
dipenuhi oleh penyedia obat/ industri farmasi kepada Kepala Lembaga
Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP).
Dalam hal aplikasi E-Purchasing mengalami kendala operasional/ offline
(gangguan daya listrik, gangguan jaringan atau kerusakan aplikasi) maka pembelian
dapat dilakukan secara manual dengan tetap melalui koordinasi PPK dan Pokja ULP/
Pejabat Pengadaan beserta pihak penyedia obat/ industri farmasi. Tahapan yang
dilakukan dalam pengadaan obat secara manual yaitu :
1. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan membuat paket pembelian obat dalam
aplikasi

E-Purchasing

berdasarkan

Daftar

Pengadaan

sebagaimana tercantum dalam formulir yang diberikan oleh PPK

Obat

22

2. Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan selanjutnya mengirimkan permintaan


pembelian kepada penyedia obat/ industri farmasi yang termasuk
dalam kelompok paket pengadaan
3. Penyedia obat/ industri farmasi yang telah menerima permintaan
pembelian obat melalui dari Pokja ULP/ Pejabat Pengadaan
memberikan persetujuan atas permintaan pembelian obat dan
menunjuk distributor/ PBF. Apabila menolak harus menyampaikan
alasan penolakan
4. Persetujuan penyedia obat/ industri farmasi kemudian oleh Pokja ULP/
Pejabat Pengadaan kepada PPK untuk ditindaklanjuti
5. PPK selanjutnya melakukan perjanjian/ kontrak jual beli terhadap obat
yang telah disetujui dengan distributor/ PBF yang ditunjuk penyedia
obat/ industri farmasi
6. Distributor/ PBF kemudian melaksanakan penyediaan obat sesuai
dengan isi perjanjian/ kontrak jual beli

2.4

Kedudukan Dinas Kesehatan


Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 tahun 2004 tentang Puskesmas,

Dinas Kesehatan merupakan satuan kerja pemerintah daerah yang bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan tentang kesehatan. Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota merupakan unsur pelaksana bidang kesehatan yang dipimpin oleh
Kepala Dinas yang berkedudukan dibawah Walikota dan bertanggung jawab melalui
Sekretaris Daerah. Dalam menjalankan tugasnya Dinas Kesehatan dilakukan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pada era desentralisasi setiap daerah
memiliki peranan yang sangat menentukan dalam perencanaan upaya kesehatan.

23

Dalam upaya mewujudkan pembangunan kesehatan di Kabupaten/ Kota, telah


ditetapkan visi dan misi dalam bidang kesehatan yang disusun oleh Walikota.
Pada era desentralisasi setiap daerah memiliki rencana pembangunan sendiri
atas daerahnya, dalam program kerja di bidang kesehatan terkait dengan pengelolaan
obat di daerah Dinas Kesehatan Kota Denpasar melakukan berbagai kegiatan
pengelolaan obat dan farmasi, antara lain :
1. Perencanaan, kegiatannya meliputi :
a. Perencanaan Obat Pelayanan Kesehatan Dasar
b. Perencanaan Obat Penunjang
c. Perencanaan Obat Klinik Praja Husada
d. Perencanaan Bahan Laboratorium
2. Pengadaan
Dana pengadaan obat untuk unit pelayanan kesehatan di Kota Denpasar
berasal dari berbagai sumber dana dari dana DAK (Dana Alokasi Khusus)
dan dana APBD II.
3. Pendistribusian.
Obat-obat untuk unit pelayanan kesehatan di Kota Denpasar baik yang
diadakan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar maupun yang diterima dari
Dinas Kesehatan Propinsi Bali dan Departemen Kesehatan R.I
pengelolaannya diserahkan kepada UPT Pengawasan Farmasi dan
Makanan Kota Denpasar dengan ,menerapkan sistem pengelolaan obat
satu pintu. Selanjutnya obat-obatan tersebut didistribusikan ke Puskesmas
setiap bulan sesuai dengan permintaan dari masing-masing puskesmasdan
disesuaikan dengan stok obat yang ada di UPT Pengawasan Farmasi dan
Makanan.

24

4. Pencatatan dan Pelaporan


Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Farmasi merekap
semua Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) yang
dikirim oleh Puskesmas setiap bulan. Rekapan laporan tersebut dilaporkan
pertriwulan ke Dinas Kesehatan Provinsi.
5. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan pengelola obat di puskesmas dilaksanakan
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Pelaksanaannya dengan
mengadakan pembinaan dan pengawasan langsung ke Puskesmas yang ada
di Kota Denpasar yang berjumlah 11 Puskesmas setiap triwulan.

2.5

Implementasi Kebijakan E-Catalogue di Puskesmas


Dalam menjalankan peranan dan fungsinya, Dinas Kesehatan Kabupaten/

Kota memiliki Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan untuk menunjang tercapainya
berbagai program kesehatan yang disusun untuk meningkatkan derajat kesehatan di
daerahnya. Unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan adalah Puskesmas. Mengacu
pada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/SK/II/2004 mengenai pengertian
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota yang
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya. Tujuan Puskesmas secara umum mengacu pada tujuan pembangunan
kesehatan yaitu meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat setinggi
tingginya dengan upaya meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang yang bermukim di wilayah kerja dari Puskesmas tersebut.
(Kemenkes RI, 2004).

25

Puskesmas memiliki tiga fungsi utama yaitu sebagai pusat penggerak


pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat
pelayanan kesehatan strata pertama. (Kemenkes RI, 2004). Dalam menjalankan fungsi
fungsi tersebut setiap Puskesmas memiliki sumber daya dan beberapa aspek aspek
yang dapat menunjang keberhasilan dari ketiga fungsi tersebut. Aspek penunjang di
Puskesmas dapat dilihat dari konsep 6 M yang terdiri dari man, money, method,
materials, market dan machine (Muninjaya, 2004).
1. Man
Sumber daya manusia merupakan faktor penentu tercapainya suatu tujuan
organisasi. Oleh karena itu, tercapainya tujuan organisasi disebabkan oleh
kerja sama sumber daya manusia di dalamnya (Iskandar, 2011). Pada era
JKN diperlukan suatu perencanaan akan kebutuhan SDM di bidang
kesehatan. Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan pada era JKN sangat
penting dilakukan untuk memberikan gambaran dan informasi bagi setiap
pemangku kebijakan di daerah untuk dapat memperkirakan jumlah
kebutuhan SDM Kesehatan, merencanakan distribusi SDM Kesehatan
termasuk meningkatkan kompetensi SDM Kesehatan melalui pendidikan,
pelatihan, pembinaan dan pengawasan untuk menunjang pelayanan
kesehatan (Badan PPSDM Kesehatan RI, 2013). Sumber daya manusia di
Puskesmas pada era JKN masih kurang secara kuantitas, hal tersebut
dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nopiyani (2014) dan
Handayani (2009) menunjukkan bahwa petugas di Puskesmas memiliki
beban kerja ganda.

26

2. Money
Untuk menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan baik upaya kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang menjadi fungsi utama
dari Puskesmas maka perlu ditunjang dengan ketersediaan pendanaan yang
mencukupi. Menurut Kepmenkes RI No. 128 Tahun 2004 tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas sumber pembiayaan di Puskesmas yang
utama berasal dari Pemerintah Kabupaten atau Kota yang berupa dana
APBD dan dana jaminan kesehatan. Puskesmas juga dapat menerima
sumber dana dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat (Kemenkes
RI, 2004).
3. Materials
Materials atau bahan baku merupakan suatu unsur yang merupakan objek
yang digunakan sebagai sarana yang digunakan oleh sumber daya untuk
mencapai tujuan (Satrianegara, 2009). Petunjuk teknis pelaksanaan
merupakan salah satu bahan baku yang menunjang pelaksanaan suatu
program. Berdasarkan Petunjuk Penyelenggaraan Sistem Manajemen
Kwartir No. 162A, (2011) petunjuk teknis merupakan aturan yang memuat
hal hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut
wewenang dan prosedur. Petunjuk teknis pelaksanaan suatu kegiatan
biasanya dimuat dalam Surat Keputusan yang dibuat oleh pembuat
kebijakan/ program atau pihak pemangku kebijakan. Petunjuk teknis suatu
kegiatan tidak hanya penting dalam menunjang proses pelaksanaan suatu
kegiatan, tapi juknis juga dapat menunjang tercapainya tujuan dari suatu

27

program sehingga juknis harus disosialisasikan kepada setiap petugas yang


menjalankan program.
4. Market
Setiap kebijakan dibuat pasti memiliki sasaran untuk mencapai tujuan dari
kebijakan tersebut.). Puskesmas sebagai FKTP pada era JKN merupakan
salah satu sasaran dari kebijakan yang diambil oleh Kementerian
Kesehatan RI. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011)
menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi suatu kebijakan di
Puskesmas ditopang dari ketersediaan sumber daya yang mendukung dan
menjalankan kebijakan sesuai dengan petunjuk teknis.

2.6

Penelitian Terkait
Belum ada penelitian terkait yang dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan

pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue, namun terdapat beberapa

penelitian

terdahulu yang terkait dengan evaluasi proses pelaksanaan pengadaan obat. Penelitian
tersebut berbeda dengan penelitian ini yang dapat dilihat dalam tabel berikut.

28
Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
Indikator
Judul
penelitian

Tujuan

Tempat
Jenis
Penelitian
Unit Analisis

Subyek
Penelitian

Penelitian Istinganah dkk.


Evaluasi sistem pengadaan obat
dari dana APBD tahun 2001-2003
terhadap ketersediaan dan efisiensi
obat
Untuk melakukan evaluasi terhadap
sistem pengadaan obat yang berasal
dari dana APBD Pemerintah DIY
tahun 2001-2003 di RS Grhasia
Yogyakarta
Deskriptif kualitatif

Penelitian Sri Purwaningsih dkk.


Evaluasi penerapan Peraturan Daerah
Kabupaten Gunung Kidul No. 14/2000
terhadap
ketersediaan
obat
di
Puskesmas
untuk melihat pengaruh diterapkannya
Perda Kabupaten Gunung Kidul no.
14/2000 terhadap ketersediaan obat di
Puskesmas
Gunung Kidul
Cross Sectional kuantitatif

Penelitian Ini
Evaluasi implementasi proses
pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar tahun
2014
Untuk
melakukan
evaluasi
pelaksanaan
pengadaan
obat
berdasarkan E-Catalogue di Kota
Denpasar tahun 2014
Denpasar
Deskriptif kualitatif

Proses perencanaan dan proses Input , proses sampai output yang Input, proses sampai output
pengadaan obat
dilihat dari sumber daya yang tersedia, pelaksanaan
pengadaan
obat
proses pelaksanaan hingga capaian
berdasarkan E-Catalogue yang
dilihat dari ketersediaan input,
proses perencanaan, pemesanan
dan perjanjian kontrak, distribusi
obat, realisasi obat dan hambatan
dalam pelaksanaan
Informan
penelitian
dibagi
Informan penelitian Kepala Dinas
Informan penelitian Pejabat
menjadi 2, yaitu : 1.) Kelompok
Kesehatan, Kepala Bidang Pelayanan
Pembuat Komitmen, Kepala
pengadaan yang meliputi Bappeda
Kesehatan Dinas Kesehatan, Kepala
Puskesmas, Petugas Pengelola
Provinsi, Subbag Penyusunan RS,
Puskesmas, Petugas Pengelola Obat
Obat di Puskesmas
Subbag Keuangan RS, Panitia
di Puskesmas
Pengadaan ; 2.) Kelompok
pengguna yang terdiri dari Kepala
IFRS, Ketua Komite Medik,
Petugas Farmasi, Dokter dan
Perawat Kepala Ruangan

29
Metode
pengumpulan
data
Analisis Data
Hasil

Wawancara
observasi

mendalam

Content analysis

dan

Wawancara mendalam
sekunder

dan data

Data disajikan dalam bentuk tabel


dengan presentase
Sistem pengadaan obat dari dana Stok obat yang tersedia cukup dan
APBD
waktunya
lama, harga obat relatif menjadi lebih mahal
frekuensinya kecil dan prosedurnya
melewati beberapa tahapan baku.
Ketersediaan obat tidak efektif dan
tidak
efisien
karena
terjadi
penumpukan stok obat

Wawancara mendalam dan data


sekunder
Analisis tematik
-

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1

Kerangka Konsep
Input

Man :
- Pejabat Pembuat
Komitmen
- Kepala Puskesmas
- Petugas Pengelola
Obat Puskesmas
- PBF
Money
PMK: no. 43 th 2014
- dana DAK
- dana APBD
Materials:
- obat
- juknis E-Catalogue
Market :
- Puskesmas
Kebijakan :
- PMK no. 43 th 2014

proses
- proses perencanaan
pengadaan obat
berdasarkan ECatalogue
- proses pengajuan
pemesanan dan
perjanjian kontrak
pengadaan obat
berdasarkan ECatalogue
- proses distribusi
obat berdasarkan
pengadaan ECatalogue
- proses realisasi obat
berdasarkan
pengadaan ECatalogue

output
- perencanaan
yang sesuai
berdasarkan
PMK no. 43 th
2014
- pemesanan dan
perjanjian
kontrak yang
sesuai PMK no.
43 th 2014
- distribusi obat ke
Puskesmas yang
sesuai PMK no.
43 th 2014
- jumlah obat yang
terealisasi sesuai
dengan kebutuhan
Puskesmas

outcome

impact

- peningkatan
pelayanan
kesehatan
yang ditunjang
dengan
ketersediaan
obat dan
perbekalan
farmasi

- Meningkatkan derajat
kesehatan
masyarakat

Gambar 3.1 Simple Logic Model Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue
(diadopsi dari Basic Logic Model W.K. Kellogg Foundation. 2004)
Keterangan
- - - - - : objek yang tidak diteliti
: objek yang diteliti
30

31
3.2

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Tabel 3.1 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional


No
Variabel Penelitian
1. Ketersediaan input yang menunjang
proses pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue

a. Man

b. Money

c. Materials

Definisi Operasional
Terkait dengan sumber daya yang
menunjang proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue yang dilihat dari
konsep 6M. input tersebut meliputi
ketersediaan man, money, materials dan
market.
Merupakan ketersediaan sumber daya
manusia yang dibutuhkan dalam proses
proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue. Sumber daya manusia yang
harus dimiliki adalah Pejabat Pembuat
Komitmen dari Dinas Kesehatan, pihak
PBF dan petugas penanggung jawab obat
dari Puskesmas yang berkompeten dan
memahami teknis pelaksanaan pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue
Merupakan ketersediaan keuangan yang
menunjang proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Keuangan untuk
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
berasal dari dana APBD dan DAK
Merupakan obyek yang digunakan sebagai
sarana yang digunakan oleh sumber daya
untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini
obyek untuk melakukan suatu pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue adalah
juknis E-Catalogue dan juga obat yang
merupakan obyek utama selama proses
pengadaan obat.

Cara Ukur
Wawancara
mendalam, data
sekunder

Alat Ukur
Pedoman
wawancara

Wawancara
mendalam

Pedoman
wawancara

Wawancara
mendalam, data
sekunder

Data sekunder

32
d. Market

e. Kebijakan

2.

Proses perencanaan pengadaan obat


berdasarkan E-Catalogue

3.

Proses pengajuan pemesanan dan


perjanjian kontrak pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue

4.

Proses distribusi obat ke Puskesmas

5.

Cakupan realisasi obat berdasarkan


pengadaan E-Catalogue

Puskesmas merupakan sasaran dari proses


pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
untuk menunjang segala kebutuhan obat
Puskesmas
Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 tahun
2014 merupakan aturan yang digunakan
sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
Proses perencanaan kebutuhan obat yang
dilakukan oleh setiap Puskesmas yang
kemudian
diajukan
kepada
Dinas
Kesehatan Kabupaten/ Kota
Proses pemesanan obat yang dilakukan
oleh PPK dan Pokja ULP/ Pejabat
Pengadaan.
Perjanjian kontrak
yang kemudian
dilakukan perjanjian/ kontrak jual beli
terhadap obat yang telah disetujui dengan
distributor/ PBF yang ditunjuk penyedia
obat/ industri farmasi
Merupakan proses pendistribusian obat
kepada Puskesmas yang dilakukan oleh
Dinas Kesehatan melalui UPT Pengawasan
Makanan dan Farmasi yang disesuaikan
dengan perencanaan dan pengajuan
kebutuhan obat dari Puskesmas untuk
menjaga ketersediaan obat di Puskesmas
Berupa jumlah obat
yang dapat
direalisasikan baik di Dinas Kesehatan
maupun di Puskesmas berdasarkan
pengadaan E-Catalogue yang telah
ditetapkan berdasarkan perjanjian kontrak
jual beli dengan pihak distributor/ PDF

Wawancara
mendalam

Pedoman wawancara

Data sekunder

Wawancara
mendalam,
Data sekunder

Pedoman
wawancara

Wawancara
mendalam,
Data sekunder

Pedoman
wawancara

Wawancara
mendalam

Pedoman
wawancara

Wawancara
mendalam,
data sekunder

Pedoman
wawancara

33
6.

Faktor pendukung dan penghambat


dalam pelaksanaan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue

Faktor faktor yang menghambat dan


mendukung selama proses pelaksanaan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
baik dari tahap perencanaan hingga
realisasi obat

Wawancara
mendalam

Pedoman
wawancara

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1

Karakteristik Penelitian
Penelitian ini

menggunakan

rancangan observasional

deskriptif

dengan

pendekatan kualitatif yang berupa penelitian evaluasi dengan rancangan audit untuk
melihat implementasi pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar pada
tahun 2015 yang dibandingkan dengan standar pelaksanaan pengadaan obat dengan ECatalogue berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 tahun 2014. Aspek yang
diteliti dalam penelitian adalah ketersediaan input, proses sampai output. Rancangan
evaluasi audit merupakan rancangan evaluasi untuk mengevaluasi proses pelaksanaan
dari suatu program. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan capaian program dengan
standar (Ovretveit, 2002).

4.2

Peran Peneliti
Pada penelitian kualitatif metode penelitian yang digunakan berdasarkan kondisi

objek secara alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci dalam penelitian
(Sugiyono, 2009). Pada penelitian ini peneliti hanya meneliti tentang proses dari
pelaksanaan pengadaan E-Catalogue di Kota Denpasar tahun 2014 untuk melihat
kesesuaian implementasi dari kebijakan tersebut yang dibandingkan dengan standar dari
Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2014. Peneliti berperan sebagai pewawancara

34

35

yang dilakukan sesuai dengan pedoman wawancara yang telah ditetapkan. Kemudian
peneliti melakukan analisa data dan melakukan penarikan kesimpulan.

4.3

Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar serta empat Puskesmas di

Kota Denpasar yang dipilih secara purposive yang terdiri dari dua Puskesmas dengan
jumlah kunjungan tertinggi dan dua Puskesmas dengan jumlah kunjungan terendah.
Pemilihan berdasarkan jumlah kunjungan didasarkan asumsi bahwa tingginya kunjungan
di Puskesmas menyebabkan tingginya jumlah kebutuhan obat, begitu juga sebaliknya.
Penelitian dilakukan selama 3 bulan yang dimulai dari Bulan Maret Mei tahun 2015.

4.4

Strategi Pengumpulan Data

4.4.1

Pengumpulan Data Primer


Pada penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dilakukan dengan analisa

dokumen dan wawancara mendalam (Moleong, 2007). Cara pemilihan informan dalam
penelitian ini dilakukan secara purposive. Purposive sampling merupakan cara pemilihan
informan berdasarkan pada pertimbangan subyektif peneliti yang dianggap dapat
memberikan informasi yang memadai untuk menjawab pertanyaan penelitian
(Sastroasmoro, 2002). Pemilihan informan juga dilakukan dengan asas kesesuaian dan
asas kecukupan. Kesesuaian berarti pemilihan informan yang dilakukan atas dasar
pengetahuan yang memadai terkait dengan topik penelitian yang dilihat dari situasi
masalah dalam penelitian. Sementara kecukupan berarti informan yang dipilih dapat
menggambarkan keseluruhan masalah dalam penelitian tanpa memperhatikan ukuran

36

sampel yang digunakan (Notoatmodjo. 1991). Pada penelitian ini sudah sesuai dengan
asas kesesuaian dan asas kecukupan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik
wawancara mendalam kepada pihak yang telah ditentukan oleh peneliti sebagai informan
dalam penelitian. Adapun informan dalam penelitian ini adalah :
1. Kepala Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Bina
Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar selaku Pejabat Pembuat
Komitmen
2. Staf Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Yankes
Dinas Kesehatan Kota Denpasar selaku Petugas Pengelola Obat di Dinas
Kesehatan Kota Denpasar
3. Empat Kepala Puskesmas yang terpilih sebagai informan selaku Penanggung
Jawab Puskesmas
4. Empat petugas pengelola obat dari setiap Puskesmas yang terpilih sebagai
informan selaku penanggung jawab obat Puskesmas
4.4.2

Pengumpulan Data Sekunder


Selain pengumpulan data secara primer, juga dilakukan pengumpulan data

sekunder yang berasal dari studi dokumentasi terkait. Data sekunder ini nantinya akan
berbentuk data kuantitatif yang juga menunjang hasil dari penelitian. Pengumpulan data
sekunder terdiri dari :
1. Jumlah kebutuhan obat dari Puskesmas yang terpilih menjadi informan
2. Jumlah realisasi kebutuhan obat di setiap Puskesmas yang terpilih menjadi
informan

37

4.5

Analisa Data
Analisis data kualitatif merupakan proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan cara menggorganisasikan
data ke dalam kategori, menjabarkan berdasarkan unit, kemudian memilah data dan
kemudian menarik kesimpulan agar dapat dipahami oleh pembaca (Hartono, 2012). Pada
penelitian ini analisa data dilakukan secara tematik. Analisis data tematik merupakan
suatu proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau
indikator yang kompleks.

Menurut Poerwandari (2005) langkah langkah dalam

melakukan analisis data tematik yaitu:


1. Familiarisasi data dengan mendengarkan hasil wawancara
2. Transkripsi yaitu mengubah hasil wawancara yang berbentuk suara menjadi
suatu tulisan yang bersifat narasi
3. Coding yaitu membaca hasil transkrip tersebut lalu menganalisis tema tema
yang muncul dari hasil wawancara dan memberikan kode khusus dari setiap
tema
4. Melakukan analisa secara deduktif yaitu menggolongkan hasil coding ke
dalam kategori kategori tema yang telah ditetapkan sebelumnya tanpa
menutup kemungkinan munculnya kategori tema baru yang terkait dengan
penelitian.
Sementara untuk data yang berbentuk angka yang didapatkan dari hasil data
sekunder akan diasjikan dalam secara deskriptif dan juga disajikan langsung dalam
jumlah absolutnya.

38

4.6

Strategi Validasi Data


Untuk menguji keabsahan data dalam penelitian biasanya dilakukan uji validitas

dan uji realibilitas terhadap hasil penelitian, namun pada penelitian kualitatif lebih
menekankan kepada uji validitas (Hartono, 2012). Pada penelitian ini uji validitas data
dilakukan dengan cara triangulasi sumber. Triangulasi sumber dilakukan dengan
menyesuaikan data hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam
kepada Pejabat Pembuat Komitmen beserta staf, Kepala Puskesmas dan penanggung
jawab atau pemegang program pengadaan obat di Puskesmas.

BAB V
HASIL

5.1

Gambaran Umum Lokasi Penelitian


Luas wilayah Kota Denpasar sebesar 12.778 Ha atau 2,18 persen dari luas

wilayah Propinsi Bali. Kota Denpasar memiliki empat Kecamatan yaitu Kecamatan
Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar Utara dan Denpasar Selatan. Pemerintahan
Kota Denpasar secara administratif terdiri dari empat Kecamatan dan 43 Desa/Kelurahan.
Dari 43 Desa/ Kelurahan yang ada 16 buah berstatus Kelurahan dan 27 berstatus Desa.
Jumlah penduduk Kota Denpasar pada tahun 2013 berjumlah 850.600 jiwa yang
terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 434.400 jiwa dan penduduk perempuan
sebanyak 416.200 jiwa. Kepadatan masyarakat Kota Denpasar tidak merata dengan
kepadatan rata rata 6.657 jiwa/km2. Wilayah dengan kepadatan paling tinggi adalah
Kecamatan Denpasar Barat yaitu 10.249

jiwa/km2 dan kepadatan paling rendah di

Kecamatan Denpasar Selatan yaitu 5.359

jiwa/km2 (Dinkes Kota Denpasar, 2014).

Jumlah penduduk Kota Denpasar yang tercover oleh JKN adalah 681.279 jiwa atau
42,5% dari total keseluruhan peserta di Propinsi Bali. Uraian peserta JKN di Kota
Denpasar yaitu jumlah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebanyak 241.868 jiwa atau
35% dan jumlah peserta non PBI sebanyak 439.411 jiwa atau 64,5% (BPJS Regio IX,
2014).

39

40

Dalam menjalankan berbagai program kesehatan di Kota Denpasar guna


menunjang tercapainya derajat kesehatan di Denpasar, Dinas Kesehatan Kota Denpasar
memiliki 11 Puskesmas selaku Unit Pelaksana Teknis yang tersebar di seluruh
Kecamatan Wilayah Kota Denpasar. Kecamatan Denpasar Utara memiliki tiga
Puskesmas diantaranya Puskesmas I, II dan III Denpasar Utara. Denpasar Timur
memiliki dua Puskesmas diantaranya Puskesmas I dan II Denpasar Timur. Denpasar
Selatan dengan jumlah penduduk paling padat memiliki empat Puskesmas yaitu
Puskesmas I, II, III dan IV Denpasar Selatan. Sementara Kecamatan Denpasar Barat
memiliki dua Puskesmas yaitu Puskesmas I dan II Denpasar Barat. Dalam membantu
pekerjaan Puskesmas di setiap wilayah kerjanya agar lebih efektif, Puskesmas di Kota
Denpasar memiliki 25 Puskesmas Pembantu (Pustu) yang tersebar di setiap Kecamatan
Kota Denpasar. Sementara untuk jumlah Posyandu yang dimiliki oleh Puskesmas Kota
Denpasar berjumlah 485 Posyandu.
Jumlah kunjungan Puskesmas di Kota Denpasar bervariasi di setiap Kecamatan.
Terdapat beberapa Puskesmas dengan kunjungan yang relatif tinggi dan Puskesmas
dengan kunjungan yang relatif rendah dalam satu tahun. Hal tersebut disebabkan karena
perbedaan jumlah penduduk dan ketidakmerataan kepadatan penduduk di Kota Denpasar.
Berikut adalah jumlah kunjungan ke Puskesmas di Kota Denpasar pada tahun 2014.

41

Tabel 5.1 Jumlah Kunjungan Puskesmas di Kota Denpasar Tahun 2014


Nama Puskesmas

Jumlah
Kunjungan

Rata-rata
Perbulan

1
Pusk I Denpasar Utara
2
Pusk II Denpasar Utara
3
Pusk III Denpasar Utara
4
Pusk I Denpasar Timur
5
Pusk II Denpasar Timur
6
Pusk I Denpasar Selatan
7
Pusk II Denpasar Selatan
8
Pusk III Denpasar Selatan
9
Pusk IV Denpasar Selatan
10
Pusk I Denpasar Barat
11
Pusk II Denpasar Barat
Jumlah/Total

36.559
40.199
39.412
43.287
30.713
28.051
38.528
21.240
65.300
37.172
51.567
432.028

3.047
3.350
3.284
3.607
2.559
2.338
3.211
1.770
5.442
3.098
4.298
36.004

No

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2014)

Berdasarkan tabel 5.1 di atas, dua jumlah kunjungan tertinggi di Puskesmas


berada pada Puskesmas IV Denpasar Selatan dengan jumlah kunjungan 65.300 dan
Puskesmas II Denpasar Barat dengan jumlah kunjungan 51.567 pada tahun 2014.
Sementara dua Puskesmas dengan jumlah kunjungan terendah berada pada Puskesmas III
Denpasar Selatan dengan jumlah kunjungan 21.240 dan Puskesmas I Denpasar Selatan
dengan jumlah kunjungan 28.051. Dari data tersebut maka dapat dipilih informan
penelitian yang berasal dari Puskesmas I, III, IV Denpasar Selatan serta Puskesmas II
Denpasar Barat yang terdiri dari Kepala Puskesmas dan petugas penanggung jawab obat
di Puskesmas.
Puskesmas selaku Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Kesehatan merupakan
Fasilitas

Pelayanan

Kesehatan

Tingkat

Pertama

pada

era

JKN.

Semenjak

diberlakukannya Sistem Jaminan Sosial Nasional, banyak terjadi perubahan dalam hal
pelayanan kesehatan di Puskesmas. Salah satu perubahan yang terjadi di Puskesmas
semenjak era JKN adalah perubahan manajemen logistik khususnya manajemen

42

pengelolaan obat di Puskesmas. Semenjak diberlakukannya JKN proses pengelolaan obat


khususnya mekanisme pengadaan obat telah diatur oleh Pemerintah Pusat. Pada tahun
2013 Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan kebijakan mengenai pengadaan obat yang
dilakukan berdasarkan katalog elektronik (E-Catalogue) yang wajib dilaksanakan oleh
seluruh satuan kerja di bidang kesehatan termasuk Puskesmas dan Dinas Kesehatan.
Dalam pelaksanaan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar, proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue telah dilaksanakan pada tahun 2013, sementara di Puskesmas
Kota Denpasar baru dilaksanakan pada tahun 2014. Mekanisme pelaksanaan pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue di Puskesmas dilakukan dengan merencanakan kebutuhan
obat yang masuk dalam daftar JKN, sementara untuk kebutuhan obat rutin di Puskesmas
proses pengadaan berdasarkan E-Catalogue dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota
Denpasar.

5.2

Riwayat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 karena menunggu beberapa surat izin

dan rekomendasi terkait dengan penelitian. Setelah beberapa surat dan rekomendasi
penelitian diberikan maka peneliti langsung mengirimkan surat ke Puskesmas yang
menjadi informan dalam penelitian sambil memperkenalkan diri dan kemudian mulai
membuat janji untuk melakukan wawancara mendalam kepada petugas pengelola obat
dan Kepala Puskesmas. Dalam mengumpulkan data dengan melakukan wawancara
mendalam peneliti berfokus mendahulukan informan yang bertugas sebagai pengelola
obat di Puskesmas, kemudian Kepala Puskesmas dilanjutkan dengan staf Dinas
Kesehatan dan Kepala Seksi di Dinas Kesehatan.

43

Dalam proses pelaksanaan penelitian peneliti menemui berbagai permasalahan


terutama terkait dengan jadwal untuk bisa melakukan wawancara, sehingga informan
penelitian jumlahnya berkurang dari yang ditetapkan di awal penelitian. Namun hal
tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap kelengkapan informasi yang didapat karena
informasi yang diperoleh dari informan yang berhasil diwawancara telah sesuai dengan
asas kecukupan dan kesesuaian dalam mendukung kelengkapan data hasil wawancara.
Wawancara dilakukan pada tanggal 22 April sampai 12 Mei 2015. Sebelum
memulai wawancara mendalam peneliti menjelaskan terlebih dahulu mengenai lembar
informasi kepada informan yang terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian,
manfaat serta risiko yang dapat diterima oleh informan. Setelah itu informan
menandatangani informed consent dan telah bersedia untuk direkam suaranya selama
proses wawancara berlangsung.
Secara keseluruhan proses wawancara mendalam berlangsung baik dan kondusif
dengan rentang waktu 29 menit sampai 44 menit. Informan yang diwawancara sangat
kooperatif dan mampu memberikan informasi yang jelas terkait dengan pertanyaan
penelitian. Wawancara mendalam dilakukan di pagi hari dan siang hari di saat informan
sedang tidak ada kesibukan dan pada saat jam pelayanan sudah selesai. Namun terdapat
wawancara yang sempat terputus karena kesibukan informan sehingga wawancara
dilanjutkan kembali saat informan sudah tidak ada kesibukan. Setelah wawancara
mendalam berlangsung kepada seluruh informan peneliti masih ingin menggali beberapa
informasi dari informan, namun karena keterbatasan waktu yang dimiliki oleh informan
sehingga tidak bisa dilakukan wawancara mendalam secara langsung melainkan
dilakukan dengan telepon dan e-mail. Proses tersebut sangat membantu peneliti dalam

44

mencari informasi dan mengembangkan pertanyaan penelitian yang dirasa masih kurang
saat wawancara berlangsung sebelumnya.

5.3

Karakteristik Informan
Informan pada penelitian ini berjumlah tujuh orang. Hal tersebut disebabkan

karena kesibukan dan kegiatan dari pihak Puskesmas sehingga informan yang terpilih
tujuh orang yang tetap dapat mewakili dan dapat memberikan informasi yang tepat dan
memadai dalam penelitian. Informan terdiri dari enam orang perempuan dan satu orang
laki - laki. Usia informan berkisar antara 28 46 tahun. Seluruh informan merupakan
Pegawai Negeri Sipil dengan golongan yang berbeda - beda. Berikut adalah jabatan dari
informan penelitian :
1. Petugas pengelola obat di Puskesmas (tiga orang)
2. Kepala Puskesmas (dua orang)
3. Staf Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Yankes
Dinkes Kota Denpasar (satu orang)
4. Kepala Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang
Yankes Dinkes Kota Denpasar (satu orang).

5.4

Hasil Wawancara Penelitian

5.4.1

Ketersediaan input dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue


1. Ketersediaan sumber daya manusia (man)
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan di Puskesmas Kota Denpasar

menunjukan beberapa Puskesmas masih kekurangan sumber daya manusia terkait dengan

45

proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Hal tersebut ditunjukan dengan tidak
adanya staf yang khusus bertugas sebagai tim pengadaan E-Catalogue yang dibentuk di
Puskesmas. Tim pengadaan tersebut adalah staf atau petugas Puskesmas yang telah
memegang program atau sudah memiliki tupoksi masing masing. Dengan ditunjuk
sebagai tim pengadaan maka staf tersebut akan memiliki tugas tambahan.
Kalau berbicara masalah SDM di Puskesmas masih kekurangan sumber daya
karena seharusnya dibentuk petugas khusus yang mengelola JKN khususnya
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Sementara di Puskesmas petugas
yang ditunjuk adalah staf yang sudah memegang program dan bertugas di
pelayanan sehingga menambah beban kerja dan diluar dari tupoksi mereka
seharusnya (Informan 05)

Sementara di Dinas Kesehatan Kota Denpasar sumber daya manusia yang dimiliki
juga masih terbatas karena proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue yang
berpusat melalui Seksi Pelayanan Perijinan dan Perbekalan Kesehatan Bidang Pelayanan
Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Pada Seksi Pelayanan Perijinan dan
Perbekalan Kesehatan hanya satu staf yang memiliki tugas untuk mengurus perbekalan
farmasi.
Terkait dengan SDM disini masih kekurangan karena keterbatasan staf di seksi
farmasi, walaupun pengadaan bisa dilakukan oleh seksi lain seperti seksi
pelayanan kesehatan dasar namun tetap dirasa kurang karena kebutuhan obat
rutin tetap diadakan oleh seksi farmasi. Selain itu SDM yang dimiliki juga tidak
100% memahami teknis pelaksanaan karena setiap tahun juknis E-Catalogue
berubah(Informan 06)

46

Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
menyebabkan pihak Dinas Kesehatan dan Puskesmas benar benar harus memanfaatkan
sumber daya yang ada agar benar benar dapat memahami teknis pelaksanaan dari
proses pengadaan tersebut.
Permasalahan yang terjadi di Puskesmas adalah kurangnya pehamanan dari
staf yang ditunjuk sebagai tim pengadaan terkait dengan teknis E-Catalogue.
Kepala Puskesmas saja masih harus banyak melalui pelatihan agar benar
benar bisa memahami teknis ini, apalagi petugas dengan pengalaman yang
sedikit jadi masih meraba raba dalam menjalankan ini. Sehingga sangat
diperlukan staf yang berkompeten khususnya dibidang IT yang akan sangat
menunjang keberhasilan dalam proses pelaksanaan(Informan 04)
2. Ketersediaan dana (money)
Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada informan di Puskesmas Kota
Denpasar ketersediaan dana telah mencukupi dalam menunjang proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Dana pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue bersumber
dari dana JKN dan dana APBD. Dana yang bersumber dari dana JKN bersifat tetap
sehingga jumlahnya sama setiap tahun sementara dana APBD Kota Denpasar bersifat
fluktuatif setiap tahunnya. Tidak ditemukan permasalahan kekurangan dana terkait
dengan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
Dana yang tersedia dirasa telah mencukupi karena terdapat dua sumber
pendanaan yaitu dari dana JKN yang langsung diserahkan kepada Puskesmas
dan dana APBD Kota Denpasar (Informan 01)

47

Permasalahan yang terjadi terkait dengan sistem pendanaan adalah dana JKN
yang dialokasikan langsung ke Puskesmas oleh Pemerintah Pusat melalui Kemenkes
harus digunakan oleh Puskesmas untuk memenuhi segala kebutuhan di Puskesmas.
Berdasarkan PMK No. 19 tahun 2014 tentang Penggunaan Dana JKN yang mengatur
alokasi dana 40% untuk menunjang operasional dalam pelayanan kesehatan dan 60%
digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan. Permasalahan yang muncul adalah
Puskesmas kebingungan untuk menggunakan 40% dana tersebut untuk memenuhi
kebutuhan sarana di Puskesmas karena setiap tahun jumlah kebutuhan Puskesmas yang
berbeda beda.
Dana JKN yang sekarang membuat Puskesmas dipusingkan dalam proses
perencanaan karena kita bingung kita harus gunakan dana tersebut untuk
membeli apa saja? Karena jika dana yang diberikan dibiarkan bisa menjadi
endapan dan bisa menjadi temuan. Sementara dana yang terus mengalir dan
tidak mungkin juga setiap tahun Puskesmas membeli banyak obat yang kalau
dibiarkan begitu akan menimbulkan penumpukan stok obat(Informan 04)

Sementara di Dinas Kesehatan Kota Denpasar ketersediaan dana dalam proses


pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue berkurang dibandingkan dengan tahun
pengadaan sebelumnya. Namun pengurangan dana dari tahun sebelumnya tidak
menimbulkan

permasalahan

dalam

proses

pengadaan

obat.

Sementara

untuk

pemeliharaan sistem yang mendukung pelaksanaan proses pengadaan berdasarkan ECatalogue telah dianggarkan melalui dana APBD.
Dana kebetulan tahun ini telah dipangkas dari tahun sebelumnya jadi bisa
dibilang kurang mencukupi tapi proses pengadaan tetap bisa dilakukan seperti
biasa. Untuk pemeliharaan sistem itu ada dana dari APBD yang memang akan

48

dialokasikan untuk sistem seperti komputer maupun jaringan internet


(Informan 07)
3. Ketersediaan bahan baku (materials)
Petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan merupakan material utama dalam menunjang
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar. Keterlambatan
kedatangan juknis dapat menghambat proses pengadaan karena tim pengadaan kurang
memahami teknis mengenai pengadaan yang masih bersifat baru. Perubahan juknis juga
dapat menghambat selama proses pengadaan diimplementasikan.
Pada tahun pertama juknis datangnya terlambat sehingga benar benar
menghambat proses pengadaan, karena waktu itu belum ada tim jadi hanya bisa
online terus untuk mendapatkan info dan berkoordinasi terus dengan kabid.
Kalau tahun ini juknisnya beda dari tahun lalu jadi sedikit bingung tapi secara
umum sih masih sama teknis pelaksanaan pengadaannya (Informan 06)

4. Sasaran (market)
Seluruh satuan kerja di bidang kesehatan mulai dari pusat hingga daerah
merupakan sasaran dari proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Di Kota
Denpasar sasaran dari proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue adalah
Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Semenjak mulai diterapkannya
kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pada tahun 2013 seluruh satuan kerja
di bidang kesehatan meliputi Puskesmas dan Dinas Kesehatan wajib melaksanakan
proses pengadaan obat melalui mekanisme E-Purchasing. Di Kota Denpasar proses
pelaksanaan E-Catalogue telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan sejak tahun 2013,
sementara untuk Puskesmas baru dimulai pada tahun 2014. Tapi untuk Puskesmas di
Kota Denpasar proses implementasi masih belum sempurna karena baru ada satu

49

Puskesmas di setiap Kecamatan yang berperan sebagai PPK, sehingga hanya ada satu
Puskesmas dari setiap Kecamatan yang memiliki user id dan bisa melakukan pemesanan
online secara langsung.
Di tiap Kecamatan hanya ada satu Puskesmas sebagai PPK, jadi cuma mereka
yang bisa login karena sudah punya id. Sistemnya Puskesmas non PPK yang
merencanakan kemudian dikasi ke Puskesmas yang ditunjuk sebagai PPK di
Kecamatan

selanjutnya

proses

pengadaannya

di

Puskesmas

yang

PPK(Informan 05)

5.4.2

Proses perencanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue


Proses perencanaan kebutuhan obat yang dilakukan oleh Puskesmas terkait

dengan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue dilakukan dengan mekanisme


perencanaan yang lebih sistematis dan matang. Kebutuhan obat di Puskesmas dibedakan
menjadi kebutuhan obat rutin dan kebutuhan obat JKN, untuk perencanaan kebutuhan
obat rutin dilakukan oleh petugas gudang obat sementara untuk obat JKN dilakukan oleh
tim pengadaan yang dibentuk oleh Puskesmas. Mekanisme proses perencanaan
kebutuhan obat yang akan diadakan dengan E-Catalogue disusun dengan RKO (Rencana
Kebutuhan Obat) yang dibuat setahun sekali pada bulan Januari. Kemudian disusun
perencanaan kebutuhan obat berdasarkan pemakaian obat satu tahun yang diambil dari
LPLPO (Lembar Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat) selama satu tahun. Saat
melakukan perencanaan kebutuhan obat, tim perencanaan dari Puskesmas harus online
terlebih dahulu untuk memastikan apakah obat yang dibutuhkan oleh Puskesmas
tercantum dalam daftar E-Catalogue yang diupload oleh LKPP. Dalam proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue Puskesmas akan benar benar mendapatkan jumlah dan

50

jenis obat yang sesuai dengan apa yang direncanakan. Jika di proses pengadaan secara
manual Puskesmas mengajukan kebutuhan obat dalam satu tahun namun Puskesmas
belum tentu mendapatkan seluruh obat dengan jumlah yang sama sesuai dengan yang
direncanakan karena mekanisme distribusi obat ke Puskesmas diatur oleh Dinas
Kesehatan. Dinas Kesehatan akan memberikan obat jika Puskesmas benar benar
membutuhkan obat yang diajukan.
Untuk proses perencanaan obat berdasarkan E-Catalogue sistemnya lebih rumit
dan berbeda dari tahun sebelumnya, kalau dulu hanya merencanakan kebutuhan
obat dan tergantung Dinas yang mengalokasikan obat ke Puskesmas tapi dengan
sistem JKN ini obat yang direncanakan oleh Puskesmas memang harus benar
benar yang dibutuhkan oleh Puskesmas dan obat pasti akan datang (Informan
02)

Semenjak era JKN Puskesmas harus membuat suatu rencana kerja anggaran
dalam satu tahun ke depan yang harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Puskesmas.
Setelah memastikan kebutuhan obat tersebut tersedia maka Puskesmas akan
menyerahkan LPLPO ke Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Dinas Kesehatan Kota
Denpasar kemudian merekap seluruh jumlah kebutuhan obat Puskesmas dalam satu tahun
kemudian mengajukan ke Dinas Kesehatan Propinsi Bali yang akan meneruskan ke
Kementerian Kesehatan RI. Untuk perencanaan di Dinas Kesehatan Kota Denpasar juga
berbeda dibanding dengan perencanaan kebutuhan obat sebelumnya yang diadakan
secara manual karena pengadaan dengan sistem ini transaksinya dilakukan dengan
distributor nasional yang melayani seluruh Indonesia jadi untuk rencana kebutuhan obat

51

tahun depan harus benar benar direncanakan dengan matang agar pihak distributor
memiliki gambaran akan rencana kebutuhan obat di setiap daerah.
Perencanaan kebutuhan obatnya berbeda karena sekarang kita jauh jauh hari
sudah menyiapkan rencana kebutuhan obat ke Dinkes Provinsi yang diteruskan
ke Kemenkes kemudian dipilih distributor yang akan melaksanakan tender obat
tersebut. Perencanaan kebutuhan obat di Dinkes tetap dilakukan perseksi yang
kemudian diajukan melalui seksi farmasi tapi dengan sistem yang ini jadi lebih
ribet (Informan 06)

5.4.3

Proses substitusi obat yang tidak tercantum dalam daftar E-Catalogue


Tidak semua obat generik yang dibutuhkan oleh Puskesmas tercantum dalam

daftar E-Catalogue yang di upload oleh LKPP. Ada beberapa jenis obat yang tidak
tercantum dalam daftar tersebut. Maka pada saat proses perencanaannya pihak dari
Puskesmas maupun Dinas Kesehatan juga merencanakan substitusi untuk obat yang tidak
tercantum dalam daftar E-Catalogue. Untuk sistem substitusi obat jika tidak tercantum
dalam daftar E-Catalogue dapat dilakukan melalui pengadaan langsung secara manual
dengan tetap mengikuti mekanisme seperti yang ditetapkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014.
Untuk obat yang tidak tercantum dalam daftar dapat diadakan secara manual
diluar E-Catalogue dengan menunjukan bukti bahwa dalam daftar E-Catalogue
obat yang dibutuhkan tidak tercantum (Informan 01)

Selain beberapa jenis obat yang tidak tercantum dalam daftar E-Catalogue
ketersediaan stok obat juga sering mengalami kekosongan. Hal itu disebabkan karena
pihak penyedia yang tidak siap untuk menyediakan obat dengan stok yang banyak dan
dalam waktu yang singkat atau bahan baku untuk membuat obat yang telah habis. Hal itu

52

juga menyebabkan perlu dilakukan substitusi jenis obat yang dibutuhkan dalam proses
perencanaan kebutuhan obat sebelumnya.
Kendala dari proses pengadaan ini adalah obat kadang muncul kadang hilang
dalam daftar. Hal tersebut disebabkan karena kekosongan stok obat/ kehabisan
bahan baku dalam produksinya. Tapi saat obat tersebut hilang standar harganya
masih tercantum jadi hal tersebut bisa digunakan untuk acuan dalam melakukan
pengadaan obat secara manual sebagai substitusi dari obat yang tidak ada dalam
daftar E-Catalogue (Informan 04)

5.4.4

Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak


Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak dilakukan oleh Pejabat

Pembuat Komitmen dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Prosesnya adalah tim dari
Dinas Kesehatan membuat kerangka acuan kegiatan sebagai dasar dalam melakukan
kegiatan, menyusun paket, membuat surat pengantar ke ULP, kemudian ULP bersama
dengan PPK melakukan proses pengadaan. Setelah diverifikasi oleh tim dari Sekretariat
Daerah kemudian dilakukan perjanjian kontrak dengan distributor obat yang telah
memenangkan tender. Dalam hal ini pihak dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar tidak
bisa menentukan siapa rekanan yang diajak melakukan kerja sama karena pihak rekanan
telah dipilih oleh pusat yang telah memenangkan tender dari pengadaan obat tersebut.
Untuk rekanan itu tidak bisa milih karena dari pusat telah menentukan pihak
penyedia mana yang memenangkan tender jadi dari kita hanya menerima
hasilnya saja, misal obat A yang disediakan oleh distributor A maka langsung
diajukan kontrak dan menunggu kedatangan obatnya, kalau seandainya terjadi
pelanggaran kontrak misal obatnya telat datang atau stoknya habis melapornya
ke LKPP(Informan 07)

53

5.4.5

Proses distribusi obat ke Puskesmas


Proses distribusi obat dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar menuju ke Puskesmas

dilakukan melalui Unit Pelaksana Teknis Pengawasan Makanan dan Farmasi Kota
Denpasar. Sebelum obat didistribusikan ke Puskesmas tim pemeriksa dari Dinas
Kesehatan melakukan beberapa proses agar dapat mendistribusikan obat dengan baik ke
Puskesmas. Proses pertama adalah saat obat datang dari pihak distributor, saat obat
datang obat langsung diperiksa oleh tim pemeriksa untuk memeriksa fisik obat, jenis
obat, tanggal kadaluarsa obat dan kesesuaian obat dengan yang ada di faktur. Setelah itu
tim pemeriksa bersama PPK harus membuat berita acara terkait dengan pemeriksaan, jika
telah dibuat berita acara tersebut maka obat baru bisa didistribusikan ke Puskesmas. Pada
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pernah terjadi kekosongan stok obat
namun tidak dalam jumlah yang besar. Kekosongan stok obat di gudang obat disebabkan
karena dari pihak distributor yang terlambat mengirimkan.
Saat obat datang harus dicek dulu kelengkapannya dari jenis, jumlah dan ednya
kalau memang sesuai baru diambil dan disimpan. Kalau ada obat belum datang/
terlambat memang dari pihak distributornya yang bermasalah mungkin karena
kehabisan stok atau bahan baku obatnya habis. Respon dari setiap rekanan juga
berbeda beda ya makanya obat tidak bisa datangnya bersamaan (Informan
06)

Mekanisme pengambilan obat yang dilakukan Puskesmas adalah dengan


menyerahkan LPLPO kepada pihak dari gudang farmasi dan Dinkes kemudian dilakukan
pengecekan kembali terhadap obat, setelah sesuai baru obat bisa diambil oleh Puskesmas.
Proses pengambilan obat dari gudang farmasi dilakukan setiap dua bulan sekali, namun

54

jika terjadi kekosongan obat tidak menutup kemungkinan untuk kembali meminta obat
melalui mekanisme yang sama.
Kalau untuk distribusi obat tetap dilakukan dengan menyerahkan LPLPO
kepada Dinas dan gudang farmasi baru obat bisa diambil. Pengambilannya
dilakukan setiap dua bulan sekali tapi jika stok habis bisa diambil kapan saja
asal tetap menyerahkan LPLPO dan telah disetujui. Kalau obat yang
dibutuhkan belum datang ya harus ditunggu (Informan 03)

Setelah obat didistribusikan ke Puskesmas maka gudang obat Puskesmas juga


akan mendistribusikan obat ke setiap sub unit yang ada di Puskesmas. Unit unit tersebut
terdiri dari Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Poliklinik dan Apotek Puskesmas.
Setiap subunit dari Puskesmas untuk meminta obat juga harus menyerahkan LPLPO ke
gudang obat. Pengajuan permintaan kebutuhan obat dari setiap sub unit dilakukan setiap
satu bulan sekali kepada gudang obat tapi jika stok habis tidak menutup kemungkinan
jika pengajuan dilakukan sebelum satu bulan.
Pas obat datang di Puskesmas dicek oleh tim pemeriksa Puskesmas lalu obat
akan disimpan dalam gudang. Alur distribusinya ke setiap sub unit dengan
LPLPO dari setiap sub unit yang diajukan setiap satu bulan sekali(Informan 02)

5.4.6

Cakupan realisasi obat


Setelah obat yang diajukan didistribusikan oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar

melalui UPT Pengawasan Makanan dan Farmasi Kota Denpasar kepada Puskesmas maka
Puskesmas akan melakukan pemeriksaan terhadap obat yang telah berhasil terealisasi.
Dalam realisasi obat ditemukan berbagai kendala dimana kedatangan obat yang
terlambat, kemudian pihak penyedia yang tidak memiliki banyak stok obat karena harus

55

melayani banyak konsumen. Hal tersebut menyebabkan realisasi obat melalui proses
pengadaan E-Catalogue tidak bisa terealisasi 100%.
Sebenarnya sistem JKN melalui E-Catalogue ini bagus, obat yang dibutuhkan
langsung datang ke Puskesmas. Tapi selama ini ada beberapa obat yang datang
terlambat mungkin karena banyaknya permintaan sama obat itu atau stoknya
belum ada (Informan 05)

Permasalahan dalam realisasi obat baik di Puskesmas maupun di Dinas Kesehatan


Kota Denpasar disebabkan karena pada saat sudah mengajukan pemesanan melalui ECatalogue kuota sudah habis atau produsen yang sudah tidak bisa memproduksi jenis
obat yang sama karena sudah over kuota. Beberapa obat yang datang juga kadang tidak
sesuai dengan obat yang tercantum dalam daftar yang diupload oleh LKPP sehingga
realisasi obat masih ditemukan berbagai permasalahan.
Pada saat obat datang kan langsung dilakukan pemeriksaan oleh tim pemeriksa,
pada saat pemeriksaan itu obat yang kita ajukan misalnya obat A 50gr tapi yang
datang obat A 100gr, entah itu kesalahan dari pihak distributornya atau pihak
LKPP yang salah upload di daftarnya. Selain itu juga ada obat yang dekat
dengan ed [expired date] (Informan 07)

Data sekunder dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar terkait dengan cakupan
realisasi obat di Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar menunjukkan bahwa 24
jenis obat tidak mampu direalisasikan oleh pihak distributor pada tahun 2014.
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, presentase obat yang tidak terealisasi sekitar
60% pada tahun 2014. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan dengan jumlah obat
yang tidak terealisasi pada tahun 2013. Jenis obat yang tidak terealisasi tersebut beragam.

56

Rincian jenis obat dan jumlah obat yang yang tidak terealisasi di Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar dapat dilihat pada tabel 5.2 di bawah.

Tabel 5.2 Daftar Obat yang Tidak Terealisasi Tahun 2014 di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar
No
Nama Obat
Total (Satuan)
1
Alopurinol tablet 100 mg
25.600
2
Aminofilin injeksi 24 mg/ml
5
3
Antifungi DOEN Kombinasi
504
4
Asam Asetilsalisilat tablet 100 mg (Asetosal)
1900
5
Asam Askorbat (Vitamin C) tablet 250 mg
31.650
6
Asam Folat tablet 1 mg
26.700
7
Bisoprolol tablet 5 mg
200
8
Dekstrometorfan tablet 15 mg (HBr)
460.600
9
Diazepam tablet 2 mg
19.100
10
Digoksin tablet 0,25 mg
700
11
Dimenhidrinat tablet 50 mg
2.200
12
Fenobarbital tablet 30 mg
23.600
13
Fenobarbital tablet 100 mg
5.300
14
Furosemid tablet 40 mg
500
15
Haloperidol tablet 0,5 mg
200
16
Hidroklorotiazida tablet 25 mg
6.900
17
Kalium Diklofenak tablet 50 mg
9.850
18
Kalsium Lactat 500 mg
134.000
19
Loratadin tablet 10 mg
16.650
20
Metformin HCl tablet 500 mg
97.200
21
Nistatin vaginal tablet 100.000 IU/ g
5.900
22
Papaverin tablet 40 mg
17.400
23
Piridoksin (Vitamin B6)tablet 10 mg
118.000
24
Prednison tablet 5 mg
128.500
Sumber: Seksi Perbekalan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2014)

5.4.7

Faktor Pendukung dalam proses pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan

E-Catalogue
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue terdapat faktor faktor
yang dapat mendukung dan juga dapat menghambat proses pelaksanannya. Faktor yang
menjadi faktor pendukung dalam proses pelaksanaan kebijakan ini baik di Puskesmas

57

maupun di Dinas Kesehatan Kota Denpasar adalah telah dibentuknya tim khusus yang
fokus untuk mengurus JKN yang menggunakan sistem E-Catalogue. Walaupun tim
tersebut merupakan staf dengan tupoksi berbeda dan staf dengan rangkap jabatan tetapi
petugas yang dipilih menjadi tim JKN tersebut memang memiliki kompeten dan telah
diberikan sosialisasi maupun pelatihan.
Faktor pendukungnya ya sudah dibentuknya tim JKN, jadi dari proses
perencanaan, pengadaan dan penerimaan sudah dihandel oleh orang orang
yang berkompeten. Mudah mudahan dengan dibentuknya tim ini proses
pengadaan berdasarkan E-Catalogue mampu mengcover seluruh kebutuhan obat
dari Puskesmas (Informan 05)

Selain telah dibentuknya tim pengadaan oleh setiap Puskesmas yang juga dapat
menunjang implementasi kebijakan ini adalah sudah tersedianya akses internet dan
perangkat komputer yang dimiliki oleh setiap Puskesmas di Kota Denpasar. Selain itu
ketersediaan dana yang besar juga menunjang setiap Puskesmas untuk mampu
meningkatkan sarana dalam menunjang proses pengadaan.
Kalau disini sudah dilengkapi dengan akses internet dan didukung juga dengan
perangkat komputer yang memadai jadi dapat menunjang selama proses
pengadaan, sementara dana yang ada juga bisa digunakan untuk menambah
perangkat jadi setiap petugas di tim bisa bekerja dengan lebih optimal
(Informan 03)

5.4.8

Faktor Penghambat dalam proses pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan

E-Catalogue
Selain faktor faktor yang mendukung selama implementasi proses pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue juga terdapat beberapa faktor yang menghambat dalam

58

proses implementasi kebijakan tersebut. Faktor penghambat selama proses pengadaan


obat berdasarkan E-Catalogue adalah kerja sama yang dilakukan dengan banyak pihak
dan banyak rekanan, sementara respon yang diberikan oleh setiap rekanan berbeda
beda. Kemudian sistem administrasi dari proses pengadaan ini yang dibuat secara
sistematis sehingga menyebabkan proses pelaksanaan yang seharusnya menjadi mudah
tapi terkesan menjadi lebih rumit.
Mungkin yang jadi penghambat adalah kerja sama dengan banyak rekanan,
kemudian respon rekanan yang beda beda juga membuat setiap pengadaan kita
tidak bisa datang bersamaan. Selain itu kalau kerja sama dengan satu rekanan
kita bisa membuat banyak perjanjian kontrak karena administrasinya tidak bisa
dibuat sekali (Informan 06)

Hal yang dapat dikategorikan sebagai faktor penghambat adalah tidak efektifnya
tim pengadaan yang dibentuk oleh setiap Puskesmas terkait dengan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Hal tersebut disebabkan karena tim pengadaan yang dibentuk
dengan keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas. Staf dan
petugas Puskesmas yang ditunjuk sebagai tim pengadaan adalah staf yang telah memiliki
tupoksi sebagai petugas di bidang pelayanan.
Dengan adanya tim pengadaan memang kerjanya bisa jadi lebih baik, tapi dari
segi kuantitas mereka yang sebagai tim pengadaan adalah staf yang bertugas di
pelayanan dan telah memiliki tupoksi sendiri sehingga mereka memiliki rangkap
jabatan. Hal ini bisa saja menghambat proses pengadaan kalau mereka sedang
sibuk dalam pelayanan atau sedang menjalankan sebuah program (Informan
05)

59

Faktor lain yang menjadi faktor penghambat dalam proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue adalah permasalahan sistem dari LKPP. Jika sistem dari pusat
mengalami gangguan maka pihak di bawah harus menunggu sampai sistem sudah tidak
gangguan baru bisa melakukan pengadaan. Sistem yang cakupannya nasional ini juga
menyebabkan terkendalanya kedatangan obat. Tidak semua daerah bisa mendapatkan
obat yang dibutuhkan karena pihak penyedia yang menaungi seluruh wilayah di
Indonesia jadi kemungkinan akan kesulitan dalam melakukan produksi obat dalam
jumlah yang besar.
Kalau sistem lagi rusak atau gangguan ya kita harus menunggu sampai sistem
benar benar kembali lagi baru bisa melihat obat apa saja yang sudah di
upload. Selain itu juga obat yang kita butuhkan kadang tidak ada atau kadang
kita kehabisan stok karena penyedia sudah over kuota (Informan 07)

5.4.9

Sustainabilitas kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue


Kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue masih terbilang baru

diimplementasikan oleh seluruh Satuan Kerja di bidang Kesehatan baik di Puskesmas dan
Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Kebijakan pengadaan ini patut dipertahankan dan
ditingkatkan karena kebijakan ini sangat baik dan dapat menunjang terciptanya derajat
kesehatan masyarakat yang lebih baik dengan peningkatan pelayanan kesehatan di bidang
logistik dan perbekalan kefarmasian. Walaupun terdapat berbagai permasalahan di awal
pelaksanaannya tapi hal tersebut bisa diatasi dengan melakukan berbagai pertemuan
dengan pihak pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan kebijakan ini.
Sehingga masih perlu beberapa penyempurnaan dalam implementasi kebijakan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.

60

Kebijakan ini amat sangat baik dan untuk maintenancenya memang perlu
dilakukan suatu pemeliharaan yang baik. Banyak masalah yang penting bisa
dicarikan solusi dan jalan keluarnya maka kebijakan ini akan sangat baik
Kebijakan ini juga bersifat sangat terbuka jadi setiap masyarakat dapat ikut
bersaing dalam hal tenderisasi. Dengan ditunjang input yang baik, proses yang
sesuai maka output yang diharapkan akan menciptakan outcome yang baik dan
jika tercapai UHC di Indonesia kebijakan ini dapat menjadi suatu modal yang
penting (Informan 04)
Ya, sistem ini sangat baik untuk dilanjutkan dan perlu disempurnakan.
Pengadaan obat dengan sistem seperti ini membuat harga jadi lebih pasti
sehingga tidak perlu susah susah lagi untuk mencari harga termurah dan tidak
perlu lagi mencari banyak pembanding. Tapi dalam perjalanannya memang
banyak terjadi masalah, mungkin karena baru jadi memang harus banyak
penyempurnaan lagi. Mungkin kedepannya perlu banyak pelatihan lagi dan
penyempurnaan di sistem pusat karena itu yang selama ini jadi kendala terberat
dalam pelaksanaan (Informan 07)

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1

Ketersediaan Input dalam Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


Evaluasi dirancang untuk memberikan nilai pada suatu intervensi dengan

mengumpulkan informasi yang valid dan reliable terhadap intervensi tersebut yang
dilakukan secara sistematis (Ovretveit, 1998). Evaluasi dapat dilakukan untuk mengukur
input, proses, output, outcome hingga dampak dari suatu intervensi. Untuk mengukur
input dari suatu program atau kebijakan maka dapat dilihat dari konsep 6 M yang terdiri
dari man, money, method, materials, market dan machine (Muninjaya, 2004).
Ketersediaan input yang menunjang dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar dapat dilihat dari faktor man, money, materials, market dan
kebijakan.
6.1.1

Ketersediaan sumber daya manusia


Sumber daya manusia merupakan faktor penentu tercapainya suatu tujuan

organisasi. Dalam suatu organisasi manusia yang membuat tujuan dan manusia yang
melakukan proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja,
sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, tercapainya tujuan
organisasi disebabkan oleh kerja sama sumber daya manusia di dalamnya (Iskandar,
2011). Pada era JKN diperlukan suatu perencanaan akan kebutuhan sumber daya manusia
di bidang kesehatan. Hal tersebut tertuang dalam buku yang berjudul Pengembangan dan
Pemberdayaan SDM Kesehatan dalam Persiapan Pelaksanaan JKN. Menurut Keputusan

61

62

Menteri Kesehatan No. 857 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Kinerja SDM
Kesehatan di Puskesmas, pengertian SDM Kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi
termasuk tenaga kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta tenaga
pendukung atau penunjang kesehatan yang terlibat serta bekerja mengabdikan dirinya
seperti dalam upaya dan manajemen kesehatan. Perencanaan kebutuhan SDM Kesehatan
pada era JKN sangat penting dilakukan untuk memberikan gambaran dan informasi bagi
setiap pemangku kebijakan di daerah untuk dapat memperkirakan jumlah kebutuhan
SDM Kesehatan, merencanakan distribusi SDM Kesehatan termasuk meningkatkan
kompetensi SDM Kesehatan melalui pendidikan, pelatihan, pembinaan dan pengawasan
untuk menunjang pelayanan kesehatan (Badan PPSDM Kesehatan RI, 2013).
Sumber daya manusia yang bertugas dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue di Kota Denpasar adalah tim pengadaan yang dibentuk oleh Puskesmas,
petugas pengelola obat di Puskesmas, Kepala Puskesmas, Staf Dinkes beserta Pejabat
Pembuat Komitmen. Ketersediaan SDM terkait dengan pengadaan obat berdasarkan ECatalogue dapat dilihat dari dua aspek yaitu dari kuantitas dan kualitas. Secara kuantitas
jumlah sumber daya baik yang dimiliki Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kota
Denpasar masih kurang terkait dengan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue.
Tim pengadaan khusus yang dibentuk oleh setiap Puskesmas adalah staf dan petugas
Puskesmas yang telah memegang program atau sudah memiliki tupoksi masing masing.
Dengan ditunjuk sebagai tim pengadaan maka staf tersebut akan memiliki tugas
tambahan. Keterbatasan sumber daya di Puskesmas dari segi kuantitas menyebabkan
penumpukan beban kerja yang dialami oleh petugas di Puskesmas. Dalam penelitian yang
dilakukan Nopiyani (2014) menyebutkan bahwa keterbatasan sumber daya manusia di

63

Puskesmas menyebabkan terjadinya beban kerja ganda dari setiap petugas. Pihak
Puskesmas sebenarnya sudah melakukan perencanaan kebutuhan sumber daya, namun
sistem rekrutmen sumber daya manusia di Puskesmas diatur oleh pihak Badan
Kepegawaian Daerah sehingga Puskesmas tidak bisa langsung memenuhi kebutuhan
sumber daya manusianya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Handayani
(2009) menunjukkan bahwa cukup banyak petugas di Puskesmas yang melakukan tugas
tambahan di samping tugas pokok. Dalam hasil penelitian tersebut 56,6 % informan
menyebutkan bahwa pemberian tugas tambahan diluar tupoksi menyebabkan
terganggunya tugas pokok yang seharusnya dikerjakan. Hal tersebut dapat berdampak
pada penurunan pelayanan kesehatan di Puskesmas.
Peningkatan dan pengembangan kualitas dari SDM Kesehatan yang dimiliki
instansi kesehatan akan mampu menunjang tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien pada era JKN (Badan PPSDM Kesehatan RI, 2013). Secara kualitas,
sumber daya yang dimiliki oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar sudah
cukup memiliki kompetensi terkait dengan proses pengadaan namun pemahaman
mengenai teknis masih kurang. SDM Kesehatan yang dimiliki oleh Puskesmas dan Dinas
Kesehatan Kota Denpasar adalah SDM dengan keterampilan dan pendidikan yang sesuai
dengan tugas yang diberikan yaitu dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue. Hasil penelitian oleh Handayani (2009) menunjukkan bahwa kesesuaian
keterampilan dan pendidikan yang dimiliki oleh petugas Puskesmas dengan tugas pokok
dapat menunjang tercapainya pelayanan kesehatan yang efektif. Namun SDM di
Puskesmas dan Dinas Kesehatan masih belum 100% memahami tugas tambahan yang
diberikan karena minimnya pelatihan dan pembinaan terkait dengan proses implementasi

64

kebijakan tersebut. Jadi secara kuantitas ketersediaan sumber daya manusia terkait
dengan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar dirasa masih
kurang, sementara secara kualitas sudah dirasa cukup namun masih perlu berbagai
pelatihan dan pembinaan.
6.1.2

Ketersediaan dana
Biaya operasional merupakan keseluruhan biaya yang dibutuhkan dalam

menyelenggarakan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yang bertujuan


untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi tingginya dan memelihara
kesehatan serta mencegah berbagai penyakit (Azwar, 2010). Untuk menyelenggarakan
berbagai upaya kesehatan baik upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan
masyarakat yang menjadi fungsi utama dari Puskesmas maka perlu ditunjang dengan
ketersediaan pendanaan yang mencukupi. Menurut Kepmenkes RI No. 128 Tahun 2004
tentang Kebijakan Dasar Puskesmas sumber pembiayaan di Puskesmas yang utama
berasal dari Pemerintah Kabupaten atau Kota yang berupa dana APBD dan dana jaminan
kesehatan. Puskesmas juga dapat menerima sumber dana dari Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Pusat (Kemenkes RI, 2004).
Sumber pendanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar
berasal dari dua sumber, dana APBD Kota Denpasar dan dana Jaminan Kesehatan
Nasional. Dana dari APBD Kota Denpasar yang diberikan kepada Puskesmas bersifat
fluaktuatif setiap tahunnya, jadi dana setiap tahun jumlahnya berbeda beda. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Istinganah (2006) tentang Evaluasi Sistem Pengadaan
Obat dari Dana APBD Pemerintah Propinsi DIY banyak ditemukan berbagai
permasalahan terkait dengan ketersediaan dan efisiensi obat di Rumah Sakit. Frekuensi

65

pengadaan yang dilakukan dua kali dalam setahun dinilai masih kurang dalam menunjang
ketersediaan obat, sementara banyak ditemukan penumpukan stok obat dan banyak obat
yang sudah kadaluarsa. Hal tersebut disebabkan karena dalam proses perencanaan
kebutuhan obat tidak dilakukan dengan efektif dan efisien. Pengadaan obat di Kota
Denpasar dengan dana yang bersumber dari APBD telah direncanakan dengan baik dan
dilakukan dengan mekanisme yang sesuai sehingga untuk pengadaan obat dengan dana
bersumber dari APBD tidak ditemukan permasalahan walaupun dana APBD yang
bersifat tidak tetap. Dana APBD Kota Denpasar yang bersifat fluktuatif menuntut pihak
Puskesmas maupun Dinas Kesehatan Kota Denpasar untuk menentukan skala prioritas
akan kebutuhan obat (Dinkes Kota Denpasar, 2014).
Untuk dana pengadaan yang bersumber dari dana JKN menimbulkan
permasalahan di Puskesmas karena dana dialokasikan langsung ke Puskesmas oleh
Pemerintah Pusat melalui Kemenkes yang harus digunakan oleh Puskesmas untuk
memenuhi segala kebutuhan di Puskesmas. Berdasarkan PMK No. 19 tahun 2014 tentang
Penggunaan Dana JKN yang mengatur alokasi dana 40% untuk menunjang operasional
dalam pelayanan kesehatan dan 60% digunakan untuk pembayaran jasa pelayanan.
Permasalahan yang muncul adalah Puskesmas kebingungan untuk menggunakan 40%
dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sarana di Puskesmas karena setiap tahun
jumlah kebutuhan Puskesmas yang berbeda beda. Jika dana JKN dalam satu tahun tidak
dihabiskan maka dana tersebut dapat menjadi dana endapan. Mekanisme sisa penggunaan
dana JKN di Puskesmas selaku FKTP yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN dibedakan berdasarkan dana
kapitasi dan dana non kapitasi. Untuk dana kapitasi jika ada sisa maka dana disetorkan ke

66

kas daerah, untuk dapat kembali menggunakan dana tersebut maka harus mengikuti
aturan dan prosedur sesuai dengan yang tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan JKN.
Sementara untuk dana non kapitasi, sisa dana juga disetor ke kas daerah jika ingin
digunakan kembali Pemerintah Daerah harus mengeluarkan aturan terkait dengan
penggunaan dana tersebut (Kemenkes RI, 2014).
Secara garis ketersediaan dana dalam proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue sudah mencukupi untuk menunjang segala proses pengadaan obat tersebut ,
namun dana JKN yang diberikan langsung ke Puskesmas masih perlu dikaji agar alokasi
dana tersebut dapat dialihkan untuk hal yang diperlukan oleh setiap Puskesmas sehingga
tidak terjadi penumpukan dana. Sementara untuk dana pemeliharaan terkait dengan
sistem yang menunjang proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota
Denpasar bersumber dari APBD Kota Denpasar.
6.1.3

Ketersediaan bahan baku


Materials atau bahan baku merupakan suatu unsur yang merupakan objek yang

digunakan sebagai sarana yang digunakan oleh sumber daya untuk mencapai tujuan
(Satrianegara, 2009). Pada prose pengadaan obat dengan E-Catalogue di Kota Denpasar
objek utamanya adalah obat dan ditunjang dengan petunjuk teknis pelaksanaan
pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Berdasarkan Petunjuk Penyelenggaraan
Sistem Manajemen Kwartir No. 162A, (2011) petunjuk teknis merupakan aturan yang
memuat hal hal yang berkaitan dengan teknis kegiatan, tidak menyangkut wewenang
dan prosedur. Petunjuk teknis pelaksanaan suatu kegiatan biasanya dimuat dalam Surat
Keputusan yang dibuat oleh pembuat kebijakan/ program atau pihak pemangku
kebijakan. Petunjuk teknis suatu kegiatan tidak hanya penting dalam menunjang proses

67

pelaksanaan suatu kegiatan, tapi juknis juga dapat menunjang tercapainya tujuan dari
suatu program.
Petunjuk teknis pelaksanaan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
telah diatur dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 48 Tahun 2013
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Obat Dengan Prosedur E-Purchasing
Berdasarkan E-Catalogue Obat. Petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue juga sudah disebarkan ke seluruh satuan kerja di bidang kesehatan dan telah
dilakukan sosialisasi mengenai juknis tersebut. Pelaksanaan pengadaan obat melalui ECatalogue di Kota Denpasar telah ditunjang dengan petunjuk teknis pelaksanaan, namun
di tahun pertama pada tahun 2013 petunjuk teknis tersebut datang terlambat sehingga
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue menjadi terhambat. Sementara di tahun
2015 petunjuk teknis pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue sedikit mengalami
perubahan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Perubahan juknis setiap tahun menyebabkan ketidakpahaman SDM yang
berdampak pada terhambatnya implementasi dari suatu kebijakan seperti pada penelitian
yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011) mengenai implementasi BOK di Kabupaten
Bandung menyebutkan bahwa implementasi yang sesuai dengan pedoman pelaksanaan
akan menunjang meningkatnya cakupan program lain. Implementasi BOK di Kabupaten
Bandung tidak berjalan dengan baik karena keterbatasan sumber daya manusia dan
ketidakpahaman mengenai petunjuk pelaksanaan. Ketidahpahaman sumber daya yang
dimiliki mengenai teknis pelaksanaan BOK tersebut menyebabkan pelaksanaan suatu
kebijakan menjadi formalitas saja. Hal tersebut menyebabkan terkendalanya proses
implementasi yang berdampak pada tidak tercapainya beberapa cakupan program di

68

Puskesmas. Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue, petunjuk teknis


pelaksanaan merupakan suatu bahan yang akan sangat menunjang keberhasilan dari
seluruh proses pengadaan. Di Kota Denpasar secara garis besar seluruh tim pengadaan
yang melakukan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue telah memiliki dan memahami
terkait dengan petunjuk teknis yang diberikan, namun perubahan juknis setiap tahunnya
menyebabkan sedikit terhambatnya proses pengadaan karena perlu dilakukan sosialisasi
kepada tim pengadaan agar memahami petunjuk teknis yang baru tersebut.
6.1.4

Sasaran
Market atau pasar merupakan sasaran atau tempat dimana organisasi

menyebarluaskan atau memasarkan produknya (Satrianegara, 2009). Setiap kebijakan


dibuat pasti memiliki sasaran untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut. Dalam
proses implementasi suatu kebijakan terdapat tiga hal yang dapat menunjang keberhasilan
suatu implementasi, yaitu menentukan tujuan yang hendak dicapai dan menentukan
sasaran yang spesifik (MIP UNY, 2011). Puskesmas sebagai Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Tingkat Pertama pada era JKN merupakan salah satu sasaran dari kebijakan
yang diambil oleh Kementerian Kesehatan RI. Terdapat beberapa kebijakan terkait
dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang dilakukan di Puskesmas.
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue yang menjadi sasarannya
adalah seluruh satuan kerja di bidang kesehatan yang meliputi Puskesmas dan Dinas
Kesehatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011) menyebutkan
bahwa keberhasilan implementasi suatu kebijakan di Puskesmas ditopang dari
ketersediaan sumber daya yang mendukung dan menjalankan kebijakan sesuai dengan
petunjuk teknis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan kegagalan dari implementasi

69

suatu kebijakan di Puskesmas selaku sasaran kebijakan karena keterbatasan sumber daya
yang dimiliki Puskesmas. Hal lain yang berpengaruh dalam kegagalan implementasi
kebijakan

di

Puskesmas

selaku

sasaran

karena

suatu

kebijakan

yang baru

diimplementasikan sehingga masih perlu beberapa sosialisasi terkait dengan petunjuk


teknis dan masih perlu beberapa penyempurnaan dalam proses implementasi kebijakan.
Pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar telah dilaksanakan
mulai tahun 2013 oleh Dinas Kesehatan Kota Denpasar, sementara Puskesmas baru
melakukan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pada tahun 2014. Dinas
Kesehatan dan Puskesmas di Kota Denpasar sebagai sasaran dari kebijakan pengadaan
obat tersebut telah memiliki sumber daya dan petunjuk teknis dalam menunjang
implementasi kebijakan. Namun tidak seluruh Puskesmas dapat melakukan proses
pelelangan/ pengadaan obat berdasarkan aplikasi E-Purchasing. Di setiap Kecamatan
hanya ada satu Puskesmas yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen sehingga setiap
Puskesmas di masing masing Kecamatan tetap melakukan seluruh proses mulai dari
perencanaan hingga penerimaan namun yang bisa melakukan transaksi online baru satu
Puskesmas di masing masing Kecamatan. Sementara di Dinas Kesehatan semua jenis
pengadaan obat yang dilakukan telah melalui aplikasi E-Purchasing. Hal tersebut
menunjukkan kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar
belum dilaksanakan secara 100% di Puskesmas selaku sasaran dari kebijakan.

70

6.2

Proses Perencanaan Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


Perencanaan merupakan salah satu proses paling penting dalam manajemen,

karena dengan perencanaan akan menentukan fungsi manajemen lainnya terutama dalam
pengambilan keputusan. Fungsi perencanaan merupakan dasar dari seluruh fungsi
manajemen lainnya. Proses perencanaan merupakan proses paling awal dalam
manajemen yang dapat menentukan bagaimana pelaksanaan suatu program. Jadi proses
perencanaan merupakan suatu pedoman dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien
(Muninjaya, 2004).
Proses perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas merupakan proses kegiatan
seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam
rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas (Dirjen Binfar, 2010). Proses
perencanaan kebutuhan obat di Puskesmas bertujuan untuk mendapatkan perkiraan
jumlah dan jenis obat yang sesuai dengan kebutuhan, meningkatkan efisiensi penggunaan
obat dan meningkatkan penggunaan obat secara rasional. Dalam proses perencanaan
kebutuhan obat pertahun, setiap Puskesmas menyediakan data pemakaian obat dengan
menggunakan Lembar Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO), selanjutnya
dari bagian Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota akan
melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah
kerjanya (Dirjen Binfar, 2010).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yuliastini (2014) mengenai analisis
perencanaan obat di RSUD Pahuwato menyebutkan bahwa ketidaktepatan dalam
menentukan jenis obat dan kekosongan stok obat disebabkan karena lemahnya proses
perencanaan kebutuhan obat di RS tersebut. Hal tersebut menunjukkan pentingnya proses

71

perencanaan kebutuhan obat dalam menunjang ketersediaan jumlah obat dalam


pelayanan kesehatan. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Istinganah (2006)
menunjukkan bahwa kegagalan dalam melakukan perencanaan kebutuhan obat dapat
mengakibatkan kekosongan stok obat di Rumah Sakit. Walaupun ditunjang dengan dana
yang besar tapi proses perencanaan merupakan proses yang sangat menentukan dalam
proses pemenuhan kebutuhan obat baik di Rumah Sakit maupun di Puskesmas.
Proses perencanaan obat yang dilakukan di Puskesmas setelah dikeluarkan
kebijakan pengadaan

obat

berdasarkan

E-Catalogue menjadi

lebih sistematis

dibandingkan dengan pengadaan obat secara manual di tahun sebelumnya. Proses


perencanaan obat berdasarkan E-Catalogue di Puskesmas dilakukan dengan menyusun
rencana kebutuhan obat di Puskesmas dalam satu tahun yang kemudian diajukan ke
Dinas Kesehatan melalui LPLPO. Namun saat melakukan perencanaan obat, tim
perencanaan dari Puskesmas harus online terlebih dahulu untuk memastikan apakah obat
yang dibutuhkan oleh Puskesmas tercantum dalam daftar E-Catalogue yang diunggah
oleh LKPP. Setelah memastikan kebutuhan obat tersebut tersedia maka Puskesmas akan
menyerahkan LPLPO ke Dinas Kesehatan.
Pada fase awal pelaksanaan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di
Kota Denpasar pada tahun 2014 seluruh Puskesmas di Kota Denpasar telah mengikuti
seluruh prosedur proses pengadaan terutama dalam melakukan perencanaan kebutuhan
obat. Proses perencanaan dimulai dari menentukan jumlah kebutuhan obat di Puskesmas
dalam satu tahun kemudian menyusun LPLPO yang diajukan ke Dinas Kesehatan Kota
Denpasar. Namun perbedaan yang terjadi dibandingkan dengan proses perencanaan
sebelumnya saat pengadaan obat dilakukan secara manual adalah Puskesmas harus benar

72

benar menentukan dengan matang kebutuhan obat dalam satu tahun ke depan. Hal
tersebut disebabkan karena dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue
Puskesmas akan benar benar mendapatkan jumlah dan jenis obat yang sesuai dengan
apa yang direncanakan. Jika di proses pengadaan secara manual Puskesmas mengajukan
kebutuhan obat dalam satu tahun namun Puskesmas belum tentu mendapatkan seluruh
obat dengan jumlah yang sama sesuai dengan yang direncanakan karena mekanisme
distribusi obat ke Puskesmas diatur oleh Dinas Kesehatan. Dinas Kesehatan akan
memberikan obat jika Puskesmas benar benar membutuhkan obat yang diajukan.
Proses perencanaan obat yang dibuat dengan sistematis memang sangat
membantu dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue. Puskesmas dituntut
untuk melakukan perencanaan secara matang matang dalam memenuhi kebutuhan obat
selama satu tahun. Namun dalam prosesnya Puskesmas mengalami berbagai kesulitan
dalam proses perencanaan. Hal itu disebabkan dengan alokasi dana JKN yang harus
digunakan oleh Puskesmas 40% untuk menunjang sarana pelayanan termasuk untuk
memenuhi kebutuhan obat. Puskesmas dengan kunjungan relatif rendah menemui
permasalahan dalam merencanakan penggunaan alokasi dana tersebut karena kebutuhan
obat mereka berbeda dengan kebutuhan obat dari Puskesmas dengan kunjungan yang
tinggi sehingga diperlukan suatu proses perencanaan kebutuhan obat dengan matang agar
tidak terjadi penumpukan stok obat.

6.3

Proses Substitusi Obat yang Tidak Tercantum dalam Daftar E-Catalogue


Dalam melakukan suatu perencanaan diperlukan berbagai alternatif yang dapat

digunakan apabila dalam proses pelaksanaan atau dalam proses perencanaan terdapat

73

berbagai kendala. Salah satu asas dalam perencanaan adalah asas alternatif, yang
merupakan penentuan dari alternatif kegiatan yang tidak bisa terlaksana dalam proses
mencapai tujuan (Hasibuan, 2003). Dalam proses perencanaan kebutuhan obat, alternatif
yang perlu diperhatikan adalah mekanisme substitusi jenis obat. Dalam merencanakan
kebutuhan akan obat di Puskesmas atau Rumah Sakit tidak semua obat yang dibutuhkan
tersedia di pasaran sehingga sangat penting untuk merencakanan mekanisme substitusi
jenis obat (Hartono, 2012).
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue beberapa obat generik
yang dibutuhkan oleh Puskesmas tidak masuk dalam daftar katalog. Daftar jenis obat
yang dibutuhkan oleh Puskesmas juga bisa hilang dari daftar karena kekosongan stok
obat/ pihak produsen kehabisan bahan baku dalam membuat obat. Maka dalam proses
perencanaan sebelum dilakukan pengajuan kepada Dinas Kesehatan pihak Puskesmas
harus benar benar menyiapkan substitusi obat yang tidak masuk dalam daftar katalog.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2013 tentang Pengadaan Obat
Berdasarkan E-Catalogue telah diatur bagaimana melakukan pengadaan obat secara
manual jika aplikasi sedang mengalami gangguan atau jika obat yang dibutuhkan
Puskesmas tidak tercantum atau hilang dari daftar katalog.
Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Denpasar telah melakukan beberapa
substitusi obat yang tidak tercantum dalam daftar katalog. Proses pengadaan obat
dilakukan secara manual dengan tetap mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.
63 Tahun 2013. Pengadaan langsung secara manual dilakukan dengan mengikuti
prosedur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan E-Catalogue dengan menunjukan bukti
bahwa obat memang benar tidak tercantum dalam daftar katalog dan menunjukkan

74

standar harga yang akan digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengadaan obat
secara manual.

6.4

Proses Pengajuan Pemesanan dan Perjanjian Kontrak


Dalam melakukan suatu program atau kegiatan terdapat beberapa pihak yang akan

terlibat dalam setiap proses berlangsungnya kegiatan tersebut. Menurut Sauwir (2013)
diperlukan suatu kerja sama yang efektif dengan beberapa pihak yang memiliki tujuan
yang sama. Dalam hal ini kerja sama beberapa pihak diperlukan guna mencapai tujuan
bersama. Beberapa pihak tersebut akan bekerja bersama secara efektif dalam
menciptakan hubungan kemitraan yang baik dan tercapainya tujuan bersama. Kerja sama
yang terjadi tidak hanya ada pada sektor swasta, melainkan pemerintah daerah atau pusat
pun sudah menciptakan berbagai kemitraan bersama dengan sektor swasta. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Sauwir (2013) tentang kerja sama Pemerintah Kota
Surabaya dengan pihak swasta menyebutkan bahwa pemerintah daerah perlu melakukan
suatu kerja sama dengan pihak swasta guna menunjang aset dan mengembangkan
fasilitas pelayanan umum. Sementara untuk permasalahan yang terjadi terkait dengan
kerja sama dengan pihak swasta yang memiliki banyak rekan kerja yaitu semakin luas
wilayah kerja semakin besar juga kendala yang dihadapi. Hal tersebut menuntut pihak
swasta untuk mampu mencakup seluruh mitranya di setiap daerah yang menyebabkan
penurunan kualitas kerja sama terhadap pihak tersebut.
Proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue melibatkan pihak pemerintah
dari pusat hingga daerah dengan pihak swasta. Pihak swasta yang terlibat kerja sama dan
perjanjian kontrak yang paling mendukung suksesnya proses implementasi kebijakan

75

tersebut adalah pihak distributor atau penyedia obat. Kemampuan pihak distributor dalam
proses pengadaan merupakan ujung tombak terlaksananya seluruh proses pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue. Kerja sama dengan pihak distributor dimulai dari pengajuan
pemesanan terhadap obat yang disiapkan oleh PBF selaku distributor. Setelah melakukan
pemesanan maka akan ada perjanjian kontrak bersama dengan pihak distributor. Sebelum
diimplementasikan kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pemilihan
rekanan/ pihak distributor bisa ditentukan langsung oleh Puskesmas, namun setelah
implementasi pihak distributor ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) selaku lembaga yang bertanggung jawab
dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah telah menentukan pihak distributor
yang memenangkan tender dalam proses pengadaan.
Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh Pejabat
Pembuat Komitmen beserta Pokja ULP di Kota Denpasar telah sesuai dengan ketentuan
pelaksanaan yang diatur dalam petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan
E-Catalogue. Proses dimulai dari pengajuan kebutuhan obat oleh Puskesmas yang
selanjutnya ditindak oleh PPK di setiap Kecamatan. Kemudian Dinas Kesehatan Kota
Denpasar membuat suatu kerangka acuan kegiatan yang diserahkan ke ULP setelah itu
baru bisa melakukan pemesanan. Untuk perjanjian kontrak telah sesuai dengan petunjuk
teknis dan mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 63 Tahun 2013 tentang
Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue. Sanksi bagi pelanggaran kontrak yang terjadi
telah ditetapkan oleh LKPP selaku lembaga pemerintah yang bertanggung jawab selama
proses pengadaan. Pihak dari Puskesmas maupun Dinas Kesehatan hanya dapat

76

melaporkan pelanggaran kontrak yang terjadi kepada pihak LKPP yang selanjutnya akan
ditindak oleh LKPP (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

6.5

Proses Distribusi Obat ke Puskesmas


Proses distribusi obat ke Puskesmas merupakan kegiatan pengeluaran dan

penyerahan obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan obat dari
Puskesmas (Dirjen Binfar, 2010).

Proses distribusi merupakan proses yang sangat

penting dalam menunjang ketersediaan kebutuhan obat di Puskesmas selaku FKTP pada
era JKN. Pemerintah telah mengeluarkan aturan mengenai cara distribusi obat yang baik
yang diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. H.K. 03.1.34.11.12.2517 Tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat Yang Baik (CDOB).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Antonius (2012) tentang Implementasi Cara
Distribusi Obat yang Baik pada Pedagang Besar Farmasi di Yogyakarta menunjukkan
bahwa belum semua aspek CDOB dilakukan oleh PBF secara baik. Terdapat beberapa
penanggung jawab PBF yang belum mengikuti pelatihan CDOB, terdapat PBF yang
belum memiliki SOP, terdapat beberapa PBF yang belum memiliki struktur organisasi
dan terdapat pihak PBF yang belum melakukan dokumentasi dan inspeksi. Pada
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pihak PBF masih dinilai kurang layak dalam
melakukan pendistribusian obat ke Puskesmas dalam menunjang ketersediaan kebutuhan
obat di Puskesmas.
Mekanisme pengambilan obat yang dilakukan Puskesmas adalah dengan
menyerahkan LPLPO kepada pihak dari gudang farmasi dan Dinas Kesehatan kemudian
dilakukan pengecekan kembali terhadap obat, setelah sesuai baru obat bisa diambil oleh

77

Puskesmas. Proses pengambilan obat dari gudang farmasi dilakukan setiap dua bulan
sekali, namun jika terjadi kekosongan obat tidak menutup kemungkinan untuk kembali
meminta obat melalui mekanisme yang sama.
Proses distribusi obat dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar menuju ke Puskesmas
di Kota Denpasar telah sesuai dengan prosedur cara pendistribusian obat yang baik.
Distribusi obat ke Puskesmas dilakukan melalui Unit Pelaksana Teknis Pengawasan
Makanan dan Farmasi Kota Denpasar. Pada proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue pernah terjadi keterlambatan distribusi obat sehingga terjadi kekosongan stok
obat namun tidak dalam jumlah yang besar. Kekosongan stok obat di gudang obat
disebabkan karena dari pihak distributor yang terlambat mengirimkan. Hal tersebut
disebabkan karena respon dari setiap distributor yang berbeda beda, jadi tidak semua
obat bisa datang tepat pada waktunya. Keterlambatan distribusi obat dari distributor tidak
hanya terjadi di Kota Denpasar. Berdasarkan studi pustaka, terdapat keterlambatan
distribusi obat dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Aceh dan
Papua. Hal tersebut disebabkan karena pihak distributor yang tidak ingin dibebankan
biaya pengiriman dalam mendistribusikan obat ke daerah (Alabaspos.com, 2014).
Keterlambatan distribusi obat di Kota Denpasar tidak berdampak buruk pada ketersediaan
obat di Puskesmas karena Dinas Kesehatan Kota Denpasar telah membagi kebutuhan
obat ke Puskesmas berdasarkan skala kebutuhan prioritas.

6.6

Cakupan Realisasi Obat


Cakupan realisasi obat merupakan jumlah obat yang diterima oleh Puskesmas

maupun Dinas Kesehatan setelah melakukan pengadaan. Realisasi kebutuhan obat

78

merupakan suatu proses yang menunjang ketersediaan obat di Puskesmas untuk


memenuhi kebutuhan obat Puskesmas. Dalam manajemen pengelolaan logistik obat perlu
dilakukan proses yang matang dari proses perencanaan hingga penerimaan. Maka perlu
dilakukan suatu manajemen pengelolaan obat yang baik sehingga realisasi dari kebutuhan
obat dapat bermanfaat dalam rangka menunjang kebutuhan jumlah obat (Hartono, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wirdah (2013) tentang Evaluasi Pengelolaan
Obat di RSUD Karel Sadsuitubun Kabupaten Maluku Tenggara dan Strategi Perbaikan
dengan Metode Hanlon menunjukkan bahwa permasalahan dalam pengadaan obat
disebabkan karena proses pengadaan tidak dilakukan oleh tim farmasi rumah sakit
melainkan panitia yang dibentuk oleh pemerintah, kemudian perlu dilakukan pengadaan
langsung agar dapat menunjang ketersediaan obat jika terdapat obat yang tidak mampu
terealisasi, dan permasalahan keterlambatan kedatangan obat.
Pada proses pengadaan obat yang dilakukan secara manual pada tahun 2012
cakupan realisasi obat lebih tinggi daripada setelah diimplementasikan kebijakan ECatalogue . Hal itu menunjukkan pada fase awal proses pengadaan obat berdasarkan ECatalogue cakupan realisasi obat menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada
proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar cakupan realisasi obat
tidak mencapai 100% melainkan hanya 60%. Permasalahan dalam realisasi obat baik di
Puskesmas maupun di Dinas Kesehatan Kota Denpasar disebabkan karena pada saat
sudah mengajukan pemesanan melalui E-Catalogue kuota sudah habis atau produsen
yang sudah tidak bisa memproduksi jenis obat yang sama karena sudah over kuota. Hal
tersebut disebabkan karena produsen obat yang melayani seluruh kebutuhan obat di
instansi kesehatan yang mencakup nasional. Pihak yang ditunjuk sebagai produsen obat

79

tidak akan mampu melayani seluruh permintaan akan obat karena keterbatasan bahan
baku yang dimiliki. Permasalahan lain yang muncul dalam realisasi obat adalah beberapa
obat yang datang tidak sesuai dengan obat yang tercantum dalam daftar yang diunggah
oleh LKPP.

6.7

Faktor Pendukung dalam Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


Dalam suatu kebijakan terdapat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap

kebijakan tersebut. Faktor faktor yang mempengaruhi kebijakan publik dapat


dikelompokkan menjadi enam faktor yaitu ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya,
karakteristik agen pelaksana, kecenderungan sikap pelaksana, komunikasi antar
organisasi pelaksana dan lingkungan (Agustino, 2004). Faktor faktor tersebut dapat
berupa faktor pendukung dan faktor penghambat dalam proses implementasi kebijakan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sherlya (2012) tentang Evaluasi E-Procurement
dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah Kota Surabaya menunjukkan
hasil bahwa hal hal yang menunjang implementasi dari kebijakan E-Procurement
dalam sistem pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Surabaya adalah sistem
yang sudah dikelola dengan baik. Hal itu ditunjukkan dengan sistem registrasi online
yang dilakukan dan dengan respon balasan yang cepat dari server pusat sehingga cepat
saat mengakses cepat mendapatkan informasi saat melakukan akses informasi. Beberapa
keunggulan lain dari sistem tersebut adalah ketersediaan informasi yang sangat lengkap
dalam situs lelang tersebut dan pemantauan sistem yang dilakukan dengan baik oleh
petugas. Hal tersebut menunjukkan ketersediaan sumber daya dari segi sumber daya

80

manusia, sarana dan prasarana yang cukup menunjang proses implementasi EProcurement di Pemerintah Kota Surabaya.
Dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue yang dapat dikategorikan
sebagai faktor yang mendukung dari segi sumber daya adalah telah dibentuknya tim
khusus yang fokus untuk mengurus JKN yang menggunakan sistem E-Catalogue. Tim
pengadaan tersebut merupakan tim yang khusus mengelola sistem pengadaan ECatalogue dimulai dari proses perencanaan, pengajuan hingga penerimaan. Dengan
dibentuknya tim pengadaan khusus dari setiap Puskesmas di Kota Denpasar maka
pelaksanaan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue akan lebih efektif dan efisien
sehingga mampu memenuhi kebutuhan obat di setiap Puskesmas. Selain telah
dibentuknya tim pengadaan oleh setiap Puskesmas yang juga dapat menunjang
implementasi kebijakan ini adalah sudah tersedianya akses internet dan perangkat
komputer yang dimiliki oleh setiap Puskesmas di Kota Denpasar. Ketersediaan dana yang
besar juga menunjang setiap Puskesmas untuk mampu meningkatkan sarana dalam
melakukan proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar.

6.8

Faktor Penghambat dalam Proses Pengadaan Obat Berdasarkan E-

Catalogue
Dalam proses implementasi suatu kebijakan banyak faktor yang dapat
mempengaruhi proses implementasi kebijakan tersebut. Faktor faktor tersebut dapat
berupa faktor pendukung dan faktor penghambat. Menurut Agustino (2004) terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan yang bisa menunjang
implementasi kebijakan maupun dapat menghambat proses implementasi. Dalam

81

penelitian yang dilakukan oleh Nurcahyani (2011) tentang Implementasi Dana BOK di
Kabupaten Bandung Barat menunjukkan faktor faktor penghambat dalam proses
implementasi suatu kebijakan dimulai dari faktor input yang akan mempengaruhi proses
pelaksanaan kebijakan. Selain itu faktor penunjang kebijakan seperti petunjuk teknis dan
kesiapan pihak pihak yang terlibat dalam proses dapat menghambat proses
implementasi karena petunjuk teknis dalam kebijakan BOK masih tidak jelas sementara
untuk pihak pihak yang terlibat dalam implementasi masih belum berperan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi yang seharusnya.
Faktor penghambat selama proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di
Kota Denpasar adalah kerja sama yang dilakukan dengan banyak pihak dan banyak
rekanan, sementara respon yang diberikan oleh setiap rekanan berbeda beda. Kemudian
sistem administrasi dari proses pengadaan ini yang dibuat secara sistematis sehingga
menyebabkan proses pelaksanaan yang seharusnya menjadi mudah tapi terkesan menjadi
lebih rumit. Hal yang dapat dikategorikan sebagai faktor penghambat adalah tidak
efektifnya tim pengadaan yang dibentuk oleh setiap Puskesmas terkait dengan pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue. Hal tersebut disebabkan karena tim pengadaan yang
dibentuk dengan keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh Puskesmas. Staf
dan petugas Puskesmas yang ditunjuk sebagai tim pengadaan adalah staf yang telah
memiliki tupoksi sebagai petugas di bidang pelayanan. Faktor lain yang menjadi faktor
penghambat dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue adalah permasalahan
sistem dari LKPP. Jika sistem dari pusat mengalami gangguan maka pihak di bawah
harus menunggu sampai sistem sudah tidak gangguan baru bisa melakukan pengadaan.
Sistem yang cakupannya nasional ini juga menyebabkan terkendalanya kedatangan obat.

82

Tidak semua daerah bisa mendapatkan obat yang dibutuhkan karena pihak penyedia yang
menaungi seluruh wilayah di Indonesia jadi kemungkinan akan kesulitan dalam
melakukan produksi obat dalam jumlah yang besar.

6.9

Sustainabilitas Kebijakan Pengadaan Obat Berdasarkan E-Catalogue


Implementasi dari suatu kebijakan merupakan suatu proses melihat apa yang

terjadi dengan hasil yang diharapkan (De Leon, 1999). Dalam menunjang
keberlangsungan kebijakan maka perlu dilakukan suatu implementasi kebijakan yang
efektif dan efisien. Menurut Sabatier dan Mazmanian (1979) untuk menunjang
implementasi kebijakan yang efektif dan efisien maka perlu menentukan tujuan tujuan
yang konsisten secara logis dan jelas, memiliki teori kausal yang jelas, suatu proses
implementasi yang terstruktur, pelaku kebijakan yang berkompeten dan terampil serta
dukungan

dari

berbagai

pihak

yang

menunjang

keberlangsungan

kebijakan.

Sustainabilitas atau keberlanjutan dari suatu kebijakan publik sangat diharapkan dapat
memberikan outcome bahkan impact yang merupakan tujuan dari suatu kebijakan
(Sherlya, 2012).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sherlya (2012) tentang Evaluasi EProcurement dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Pemerintah Kota Surabaya
menunjukkan bahwa kebijakan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan dengan
mekanisme online tersebut telah dapat memberikan dampak dampak sesuai dengan
tujuan implementasi dari kebijakan tersebut. Outcome dari kebijakan tersebut adalah
telah berkurangnya kecurangan dalam pengadaan, proses pengadaan dan pelelangan
menjadi lebih transparan. Sehingga mampu memberikan impact menciptakan proses

83

pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kota Surabaya yang memiliki kriteria
transparan, adil, bertanggung jawab efektif, efisien dan berhati hati dalam
pelaksanaannya. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bahwa kebijakan harus
dilanjutkan dan disempurnakan agar dapat mencapai impact yang diharapkan.
Kebijakan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue masih terbilang baru
diimplementasikan oleh seluruh Satuan Kerja di bidang Kesehatan baik di Puskesmas
maupun Dinas Kesehatan Kota Denpasar. Kebijakan pengadaan ini patut dipertahankan
dan disempurnakan karena kebijakan ini sangat baik dan dapat menunjang terciptanya
derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik dengan peningkatan pelayanan kesehatan di
bidang logistik dan perbekalan kefarmasian. Walaupun terdapat berbagai permasalahan di
awal pelaksanaannya tapi hal tersebut bisa diatasi dengan melakukan berbagai pertemuan
dengan pihak pihak yang terkait dengan proses penyelenggaraan kebijakan ini. Dalam
proses ke depan kebijakan ini akan sangat baik karena dapat melakukan suatu
pengawasan yang baik terkait dengan permasalahan yang terjadi dari pusat sampai
daerah, karena dengan sistem yang berlaku secara nasional akan menimbulkan
transparansi dalam proses pengadaan. Kebijakan ini juga bersifat sangat terbuka jadi
setiap masyarakat dapat ikut bersaing dalam hal tenderisasi. Dengan ditunjang input yang
baik, kemudian proses yang sesuai maka output yang diharapkan akan menciptakan
outcome yang baik sehingga dampak baik dari kebijakan pengadaan obat berdasarkan ECatalogue akan dirasa dalam terciptanya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien
yang ditunjang dengan sistem yang baik dalam bidang perbekalan kefarmasian.

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN

7.1

Simpulan

1.

Ketersediaan input dalam proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue dilihat


dari segi SDM, dana, bahan baku dan sasaran. Secara kuantitas SDM yang
menunjang proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar
masih kurang namun secara kualitas sudah mencukupi. Ketersediaan dana sudah
mencukupi. Bahan baku yang berupa petunjuk teknis sudah dipahami namun
petunjuk teknis mengalami perubahan setiap tahun. Untuk sasaran masih belum
mencakup 100% Puskesmas di Kota Denpasar yang melakukan pengadaan obat
berdasarkan E-Catalogue

2. Proses perencanaan kebutuhan obat berdasarkan E-Catalogue sudah sesuai


dengan PMK No. 63 Tahun 2013, namun mekanisme perencanaan menjadi lebih
sistematis sehingga diperlukan suatu perencanaan kebutuhan obat yang matang
agar tidak terjadi penumpukan stok obat.
3. Proses pengajuan pemesanan dan perjanjian kontrak yang dilakukan oleh Pejabat
Pembuat Komitmen beserta Pokja ULP di Kota Denpasar telah sesuai dengan
ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam petunjuk teknis pelaksanaan pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue

84

85

4. Proses distribusi obat dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar menuju ke Puskesmas
di Kota Denpasar telah sesuai dengan prosedur cara pendistribusian obat yang
baik. Pada proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue pernah terjadi
keterlambatan distribusi obat sehingga terjadi kekosongan stok obat namun tidak
dalam jumlah yang besar.
5. Pada proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar cakupan
realisasi obat tidak mencapai 100% melainkan hanya 60%. Permasalahan dalam
realisasi obat disebabkan karena pada saat sudah mengajukan pemesanan melalui
E-Catalogue kuota sudah habis atau produsen yang sudah tidak bisa memproduksi
jenis obat yang sama karena sudah over kuota.
6. Faktor yang mendukung proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue adalah
telah dibentuknya tim pengadaan khusus di setiap Puskesmas, sudah tersedianya
akses internet dan perangkat komputer yang dimiliki oleh setiap Puskesmas di
Kota Denpasar dan ketersediaan dana yang besar. Sementara faktor penghambat
selama proses pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar adalah
kerja sama yang dilakukan dengan banyak pihak dan banyak rekanan, sistem
administrasi yang sistematis, tidak efektifnya tim pengadaan di Puskesmas dan
permasalahan gangguan sistem dari LKPP.

86

7.2

Saran
1. Dinas Kesehatan Kota Denpasar perlu melakukan beberapa sosialisasi dan
pembinaan bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses implementasi pengadaan
obat berdasarkan E-Catalogue di Kota Denpasar.
2. Sebaiknya Puskesmas di Kota Denpasar dalam membentuk tim pengadaan
memilih petugas yang tidak bertugas di pelayanan poliklinik dan staf yang tidak
memegang program yang besar sehingga tidak memberikan beban kerja berlebih
kepada petugas yang ditunjuk selaku tim pengadaan
3. Pemerintah Pusat sebaiknya meninjau kembali efektifitas penggunaan 40%
alokasi dana JKN yang dianggarkan untuk memenuhi kebutuhan sarana termasuk
untuk membeli kebutuhan obat karena kebutuhan obat setiap Puskesmas yang
berbeda beda sehingga Puskesmas dengan kunjungan relatif rendah akan
bermasalah dalam menggunakan dana tersebut.
4. Pemerintah Pusat dalam memilih pihak PBF selaku distributor agar lebih selektif
sehingga pihak distributor yang ditunjuk sebagai penyedia obat dapat melayani
seluruh kebutuhan obat yang mencakup skala nasional.
5. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar mencakup seluruh Puskesmas yang
telah 100% melakukan pengadaan obat berdasarkan E-Catalogue agar dapat
menguji efektifitas dan dampak dari kebijakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agustino, L. (2008). Dasar Dasar Kebijakan Publik. CV Alfabeta, Bandung : 140-144.


Alabaspos.com (2014). Kebijakan Menkes Soal E-Katalog Perlu Ditinjau Ulang,
Available

http://alabaspos.com/view/kebijakan-menkes-soal-e-katalog-perlu-

ditinjau-ulang.html (Accesed : 2015, May 26).


Antonius, A. (2012). Implementasi Cara Distribusi Obat yang Baik pada Pedagang Besar
Farmasi di Yogyakarta. Jurnal Farmasi Indonesia, 6(1): 48-54.
Athijah, U, et al. (2010). Perencanaan dan Pengadaan Obat di Puskesmas Surabaya Timur
dan Selatan. Jurnal Farmasi Indonesia, 5(1): 15-23.
Azwar, A. (2010). Pengantar Administrasi Kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta.
Bahfen, F. (2006). Peraturan dalam Produksi dan Peredaran Obat. (edisi pertama). PT
Hecca Metra Utama, Jakarta. 56-60.
Buse, K. (2012). Making Health Police. (second edition). Open University Press, United
Kingdom. 115-131.
Departemen Kesehatan RI (2007). Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal
Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2014). Profil Dinas Kesehatan Kota Denpasar Tahun
2013, Denpasar.
Dinas Kesehatan Kota Denpasar (2014). Renstra Dinas Kesehatan Kota Denpasar Tahun
2010-2015, Denpasar.
87

88

Dunn, N.W. (1994). Public Policy Analysis. An Introduction. (edisi kedua). Engelwood
Cliff. Terjemahan dari Gajah Mada University Press.
Ervina, R. (2008). Evaluasi Pelaksanaan Program P2DBD di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur Tahun 2007. Skripsi FKM UI, Depok.
Handayani, L. (2009). Peran Tenaga Kesehatan sebagai Pelaksana Pelayanan Kesehatan
Puskesmas. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 13(1) : 12-20.
Hartono, J. (2012). Analisis Perencanaan Proses Kebutuhan Obat Publik untuk Pelayanan
Kesehatan Dasar di Puskesmas se Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota
Tasikmalaya, Available : http://eprints.undip.ac.id (Accessed : 2015, January 28).
Hasibuan, M. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. PT Toko Gunung Agung,
Jakarta.
Iskandar, R. (2011). Pengambilan Keputusan dan Pemecahan Masalah, Available :
www.academia.edu/Ridwan-Iskandar-Pemecahan-Masalah/.../ (Accessed : 2015,
May 18).
Istinganah, et al. (2006). Evaluasi Sistem Pengadaan Obat dari APBD tahun 2001 2003
terhadap Ketersediaan dan Efisiensi Obat. Jurnal Manajemen Pelayanan
Kesehatan, 9(1): 31-41.
Kellog, W.K. (2004, January last update). Logicmodelguide (Logic Model
Development Guide), Available : http://wkkf.org (Access ed : 2015, January 21)
Kemenkes RI (1988). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 43/Menkes/SK/II/1988
tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Jakarta.

89

Kemenkes RI (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.131/Menkes/II/2004 tentang


Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.
Kemenkes RI (2004). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 75 tahun 2004 tentang
Puskesmas, Jakarta.
Kemenkes RI (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 128 tahun 2004 tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas, Jakarta.
Kemenkes RI (2009). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 857/Menkes/SK/IX/2009
tentang Pedoman Penilaian Kinerja Sumber Daya Kesehatan di Puskesmas,
Jakarta.
Kemenkes RI (2010). Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta.
Kemenkes RI (2013). Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan dalam
Persiapan Pelaksanaan JKN. Badan PPSDM Kemenkes RI, Jakarta : 4-6
Kemenkes RI (2013). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.48 Tahun
2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Obat dengan Prosedur E-Purchasing
Berdasarkan E-Catalogue, Jakarta.
Kemenkes RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2014 tentang
Penggunaan Dana Kapitasi JKN, Jakarta.
Kemenkes RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 28 Tahun
2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN, Jakarta.

90

Kemenkes RI (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 63 Tahun


2014 tentang Pengadaan Obat berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue),
Jakarta.
Kemenkes RI (2014). Surat Edaran NOMOR KF/MENKES/167/III/2014 tentang
Pengadaan Obat Berdasarkan Katalog Elektronik (E-Catalogue), Jakarta.
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (2011). Keputusan Kwartir Nasional Gerakan
Pramuka N0. 162A Tahun 2011 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Sistem
Administrasi Kwartir, Jakarta.
Mangindra, et al. (2012). Analisis Pengelolaan Obat di Puskesmas Kampala Kecamatan
Sinjai Timur Kabupaten Sinjai tahun 2011. Jurnal AKK, 1(1): 31-40.
Mazmanian, D & Sabatier, P (1986). Implementation and Public Policy . Dalam :
Presentasi MIP UMY. (2001). Implementasi Kebijakan Publik.
Mellen, C. R., & Pudjirahardjo, W. J. (2013). Faktor Penyebab dan Kerugian Akibat
Stock Out dan Stagnant Obat di Unit Logistik RSU Haji Surabaya. Jurnal
Administrasi Kesehatan Indonesia, 1(1): 99-107.
Moleong, J. L. (2002). Metode Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Muninjaya, A.A.G. (2004). Manajemen Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta : 220-234.
Nopiyani, N.M.S. (2014). Analisis Kapasitas Subsistem SDM Kesehatan untuk
Implementasi Treatment as Prevention pada Pekerja Seks Perempuan di Propinsi
Bali Menggunakan WISN dan Studi Kualitatif. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia, Denpasar.

91

Nurcahyani, R. (2011). Implementasi Kebijakan Bantuan Operasional Kesehatan di


Kabupaten Bandung Barat Tahun 2011. Universitas Padjadjaran, Bandung..
Ovretveit, J, Ed. (2002). Action Evaluation of Health Programmes and Changes: A
handbook for a user focused approach, Oxon. Radcliffe Medical Press.
Poerwandari (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Manusia. Fakultas Psikologi
UI, Jakarta.
Purwaningsih, S, et al. (2003). Evaluasi Penerapan Peraturan Daerah Kabupaten Gunung
Kidul Nomor 14/2000 terhadap Ketersediaan Obat di Puskesmas. Jurnal
Manajemen Pelayanan Kesehatan, 6(1): 29-34
Quick, J,D., Rankin & J.R.R., O Connor, R.W. (2007). Managing Drug Supply, The
Selection, Procurement, Distribution and Use of Pharmaceutical. (second edition).
Kumari Press, USA. 164-185
Sastroasmoro, S. (2002). Dasar Dasar Metode Penelitian Klinis. (edisi kedua). Sagung
Seto, Jakarta. 70-76.
Satrianegara, M. (2009). Dasar Dasar Manajemen. Salemba Medika, Jakarta.
Sauwir, R.P. (2013). Efektifitas Implementasi Pemerintah Kota Surabaya Melaksanakan
Kerja Sama Sister City dengan Busan. Universitas Pembangunan Nasional, Jawa
Timur.
Seto,S, et al. (2004). Manajemen Farmasi Lingkup : Apotek, Farmasi Rumah Sakit,
Pedagang Besar Farmasi, Industri Farmasi. Edisi Pertama. Airlangga University
Press, Surabaya.

92

Sherlya (2012). Evaluasi E-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa di
Pemerintah Kota Surabaya.
Sugiyono (2009). Penelitian Kualitatif. Dalam : Kusuma Jati Ibrahim. 2010. Pelaksanaan
Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro, Semarang.
Syair (2008). Manajemen Pengelolaan Obat di Puskesmas Ahuhu Kabupaten Konawe
Tahun 2008, Available : http://script.com (Accessed : 2015, January 21).
Wirdah, W, et al. (2013). Evaluasi Pengelolaan Obat dan Strategi Perbaikan Dengan
Metode Hanlon di Instalasi Farmasi RSUD Karel Sadsuitubun Kabupaten Maluku
Tenggara Tahun 2012. Prosiding Seminar Nasional Perkembangan Terkini Sains
Farmasi dan Klinik. ISSN: 2339-2592
Yuliastini (2014). Studi Perencanaan dan Penyimpanan Obat di Instalasi Farmasi RSUD
Pohuwato, Available : http://eprints.ung.ac.id (Accessed : 2015, May 22),

Anda mungkin juga menyukai