Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Dekade 1990-an sering disebut-sebut sebagai awal dari era atau jaman
globalisasi. Beberapa pakar mengartikan bahwa era globalisasi adalah era dimana
berkat kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi yang
semakin pesat dan canggih, orientasi pemikiran--kepentingan--maupun segala
daya upaya manusia untuk mewujudkan pemikiran dan mencapai kepentingannya
itu cakupannya meliputi kawasan yang semakin mendunia atau global.
Fenomena era globalisasi dewasa ini tidak saja mulai dirasakan,
melainkan sudah menjadi kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap bangsa dan
negara. Proses interaksi dan saling pengaruh-mempengaruhi, bahkan pergesekan
kepentingan antar bangsa terjadi dengan cepat dan mencakup masalah yang
semakin kompleks. Batas-batas teritorial negara tidak lagi menjadi pembatas bagi
upaya mengejar kepentingan masing-masing bangsa dan negara. Di bidang
ekonomi terjadi persaingan yang semakin ketat, sementara itu terjadi pula
perubahan atau perkembangan nilai maupun ukuran dalam aspek-aspek
kehidupan manusia, baik di bidang sosial, ekonomi, politik dan keamanan.
Sudah barang tentu dampak era globalisasi ini merupakan tantangan yang
sangat berat bagi negara-negara berkembang, karena kekuatan ekonomi maupun
penguasaan teknologi masih terbatas bila dibandingkan atau dihadapkan kepada
kemampuan ekonomi dan teknologi negara-negara maju. Dalam kondisi yang
demikian, faktor kualitas sumberdaya manusia dalam kaitannya dengan
penguasaan teknologi dan manajemen, serta kejelian dan kepandaian
memanfaatkan peluang dan mengatasi kendala merupakan faktor-faktor dominan
bagi bangsa-bangsa didalam menjamin kepentingan nasionalnya masing-masing.

BAB II
GLOBALISASI EKONOMI : TANTANGAN DAN ANCAMAN

2.1.

Globalisasi Ekonomi Dan Perdagangan Bebas


Berbagai perkembangan perekonomian dunia yang terjadi dewasa ini telah
mendorong perkembangan pasar, mengubah hubungan produksi, finansial,
investasi dan perdagangan sehingga kegiatan ekonomi dan orientasi dunia usaha
tidak terbatas pada lingkup nasional tetapi telah bersifat internasional atau global.
Dampak dari padanya timbul perubahan dalam hubungan ekonomi dan
perdagangan antar bangsa di dunia.
Issu mengenai globalisasi ekonomi semakin marak setelah disetujui dan
ditandatanganinya kesepakatan GATT-Putaran Uruguay oleh 122 negara anggota
di Marrakesh, Maroko pada tanggal 15 April 1994 (Marrakesh Meeting). Pada
pertemuan tersebut disetujui pula perubahan nama GATT (General Agreement on
Tariff and Trade) menjadi WTO (World Trade Organization) atau Organisasi
Perdagangan Dunia/Internasional.
Tujuan utama dibentuknya GATT/WTO adalah :
(1) liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan dunia
sehingga produksi meningkat;
(2) memperjuangkan penurunan dan bahkan penghapusan hambatan-hambatan
perdagangan baik dalam bentuk hambatan tarif bea masuk (tariff barrier)
maupun hambatan lainnya (non tariff barrier);
(3) mengatur perdagangan jasa yang mencakup tentang Intellectual Property
Rights dan investasi. Dengan meningkatnya produksi akan terjadi
peningkatan investasi yang sekaligus akan menciptakan lapangan kerja dan
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
Namun demikian, karena adanya kekhawatiran akan kegagalan
perundingan GATT-Putaran Uruguay, padahal banyak negara yang sudah merasa
semakin pentingnya perdagangan bebas antar negara, maka negara-negara yang
berada pada suatu kawasan dengan kesamaan potensi dan kebutuhan maupun

hubungan geografis dan tradisional terdorong untuk membentuk


kelompok/kawasan perdagangan bebas (free trade area). Sehubungan dengan itu
pada dekade 1990-an terbentuk beberapa kawasan perdagangan bebas seperti :
AFTA (Asean Free Trade Area) yang mencakup negara-negara anggota
ASEAN;
NAFTA (North America Free Trade Area) yang mencakup Amerika Serikat,
Kanada dan Meksiko;
APEC (Asia Pacific Economic Community) yang mencakup negara-negara di
kawasan Asia Pasifik, dan
Uni Eropa (European Union) yang mencakup negara-negara di kawasan
Eropa Barat.
Dengan terbentuknya beberapa kawasan perdagangan bebas tersebut maka
untuk beberapa kawasan, liberalisasi perdagangan akan berlangsung lebih cepat
dari yang dijadualkan oleh WTO yaitu mulai tahun 2010 untuk negara maju dan
tahun 2020 untuk negara berkembang. Sementara itu, AFTA akan mulai
diberlakukan secara efektif pada tanggal 1 Januari 2003 dan perdagangan bebas
sesama negara anggota APEC direncanakan akan dimulai tahun 2005.
Sebagai bagian dari tatanan perekonomian dunia, Indonesia yang
menganut sistem ekonomi terbuka mau tidak mau harus ikut melaksanakan
perdagangan bebas. Komitmen mengenai hal itu dimanifestasikan dalam bentuk
keikutsertaan Indonesia dalam AFTA, APEC dan WTO.
2.2.

Fenomena Globalisasi Ekonomi


Proses globalisasi ekonomi adalah perubahan perekonomian dunia yang
bersifat mendasar atau struktural dan proses ini akan berlangsung terus dengan
laju yang akan semakin cepat mengikuti perubahan teknologi yang juga akan
semakin cepat dan peningkatan serta perubahan pola kebutuhan masyarakat
dunia. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling
ketergantungan ekonomi dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak
hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam investasi, keuangan,
dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-

batas geografi dari kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional,
tetapi semakin mengglobal menjadi satu proses yang melibatkan banyak
negara. Globalisasi ekonomi biasanya dikaitkan dengan proses internasionalisasi
produksi,2perdagangan dan pasar uang. Globalisasi ekonomi merupakan suatu
proses yang berada diluar pengaruh atau jangkauan kontrol pemerintah, karena
proses tersebut terutama digerakkan oleh kekuatan pasar global, bukan oleh
kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah secara
individu.
Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor
produksi (seperti tenaga kerja dan modal) lintas negara atau regional akan
selancar lintas kota di dalam suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan.
Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Surakarta atau Jawa
Tengah setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa
halangan, baik dalam logistik maupun birokrasi yang berkaitan dengan urusan
administrasi seperti izin usaha dan sebagainya.
Sekarang ini tidak relevan lagi dipertanyakan negara mana yang
menemukan atau membuat pertama kali suatu barang. Orang tidak tau lagi apakah
lampu neon merek Philips berasal dari Belanda, yang orang tau hanyalah bahwa
lampu itu dibuat oleh suatu perusahaan multinasional yang namanya Philips, dan
pembuatannya bukan di Belanda melainkan di Tangerang. Banyak barang yang
tidak lagi mencantumkan bendera dari negara asal melainkan logo dari
perusahaan yang membuatnya. Banyak produk dari Disney bukan lagi dibuat di
AS melainkan di Cina, dan dicap made in China. Sekarang ini semakin banyak
produk yang komponen-komponennya di buat di lebih dari satu negara (seperti
komputer, mobil, pesawat terbang, dll.). Banyak perusahaan-perusahaan
multinasional mempunyai kantor pusat bukan di negara asal melainkan di pusatpusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York, atau di
negara-negara tujuan pasar utamanya.
Semakin menipisnya batas-batas geografi dari kegiatan ekonomi secara
nasional maupun regional yang berbarengan dengan semakin hilangnya

kedaulatan suatu pemerintahan negara muncul disebabkan oleh banyak hal,


diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang
semakin canggih dan murah, lalu lintas devisa yang semakin bebas, ekonomi
negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan
dengan organisasi manajemen yang semakin efisien, dan semakin pesatnya
perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu,
penyebab-penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat
footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi pemakaian sumber daya
alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya
tingkat pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua
bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk dunia.
Derajat globalisasi dari suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat
dilihat dari dua indikator utama :
1. Rasio dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dari negara tersebut
sebagai suatu persentase dari jumlah nilai atau volume perdagangan dunia,
atau besarnya nilai perdagangan luar negeri dari negara itu sebagai suatu
persentase dari PDB-nya. Semakin tinggi rasio tersebut menandakan semakin
mengglobal perekonomian dari negara tersebut. Sebaliknya, semakin terisolasi
suatu negara dari dunia, seperti Korea Utara, semakin kecil rasio tersebut.
2. Kontribusi dari negara tersebut dalam pertumbuhan investasi dunia, baik
investasi langsung atau jangka panjang (penanaman modal asing; PMA)
maupun investasi tidak langsung atau jangka pendek (investasi portofolio).
Sebagai suatu negara pengekspor (pengimpor) modal neto, semakin besar
investasi dari negara itu (negara lain) di luar negeri (dalam negeri), semakin tinggi
derajat globalisasinya. Derajat keterlibatan dari suatu negara (negara lain) dalam
investasi di negara lain (dalam negeri) bisa diukur oleh sejumlah indikator.
Misalnya, untuk investasi langsung oleh rasio dari PMA dari negara tersebut
(negara asing) di dalam pembentukan modal tetap bruto di negara lain (dalam
negeri). Sedangkan dalam investasi portofolio diukur oleh antara lain nilai

investasi portofolio dari negara tersebut (negara asing) sebagai suatu persentase
dari nilai kapitalisasi dari pasar modal di negara tujuan investasi (dalam negeri),
atau sebagai persentase dari jumlah arus masuk modal jangka pendek di dalam
neraca modal dari negara tujuan investasi (dalam negeri).
Sebenarnya proses globalisasi ekonomi telah terjadi sejak dahulu kala dan
akan berlangsung terus, walaupun prosesnya berbeda: dulu sangat lambat
sedangkan sekarang ini sangat pesat dan di masa depan akan jauh lebih cepat lagi.
Perbedaan ini disebabkan terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menghasilkan alat-alat komunikasi dan transportasi yang semakin
canggih, aman dan murah. Jadi dapat dikatakan bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan faktor pendorong atau kekuatan utama
dibalik proses globalisasi ekonomi. Karena adanya satelit, hand phone, fax,
Internet dan email maka komunikasi atau arus informasi antarnegara menjadi
sangat lancar dan murah. Juga, adanya pesawat terbang yang semakin cepat
terbangnya dengan kapasitas penumpang yang semakin besar membuat mobilisasi
dari pelaku-pelaku ekonomi (konsumen, produsen, investor, dan bankir)
antarnegara menjadi semakin cepat dan murah. Ini semua meningkatkan arus
transaksi ekonomi antarnegara dalam laju yang semakin pesat.
Peran dari kemajuan teknologi terhadap proses globalisasi juga diakui
oleh Friedman yang mendapat penghargaan atas bukunya mengenai globalisasi
(2002) yang menyatakan berikut ini: era globalisasi dibangun seputar jatuhnya
biaya telekomunikasi berkat adanya mikrochip, satelit, serat optik dan internet/
Teknologi informasi yang baru ini mampu merajut dunia bersama-sama bahkan
menjadi lebih erat. . Teknologi ini juga dapat memungkinkan perusahaan
untuk menempatkan lokasi bagian produksi di negara yang berbeda, bagian riset
dan pemasaran di negara yang berbeda, tetapi dapat mengikat mereka bersama
melalui komputer dan komperensi jarak jauh seakan mereka berada disatu
tempat. Demikian juga berkat kombinasi antara komputer dan telekomunikasi
yang murah, masyarakat sekarang dapat menawarkan pelayanan perdagangan
secara global - dari konsultasi medis sampai penulisan data perangkat lunak ke

proses data pelayanan yang sesungguhnya tidak pernah dapat diperdagangkan


sebelumnya. Dan mengapa tidak? Sambungan telepon untuk 3 menit pertama
(dalam dolar, thn 1986) antara New York dan London biayanya adalah 300 dolar
di tahun 1930. Sekarang hal itu hampir bebas biaya melalui Internet (20a).
Friedman mengatakan bahwa globalisasi memiliki definisi teknologi sendiri:
komputerisasi, miniaturisasi, digitalisasi, komunikasi satelit, serat optik dan
internet.
Besarnya pengaruh dari kemajuan teknologi terhadap perubahan
kehidupan manusia di dunia yang mendorong proses globalisasi ekonomi semakin
pesat sebenarnya sudah diduga sebelumnya oleh sejumlah orang, diantaranya
adalah Alvin Toffler (1980). Menurutnya, akibat progres teknologi, akan terjadi
kejutan-kejutan masa depan yang melahirkan revolusi baru. Kehidupan manusai
atau kegiatan ekonomi dunia tidak lagi dipimpin oleh industri, namun informasi
akan muncul sebagai penggerak pendulum. Revolusi informasi yang sarat dengan
teknologi akan membawa perubahan-perubahan di dalam kehidupan manusia
sehari-hari yang jauh lebih radikal daripada revolusi industri yang memerlukan
waktu, biaya, lahan, dan pasar yang besar. Toffler mengatakan bahwa revolusi
informasi yang dipicuh oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi,
akan membawa wajah baru, yakni masyarakat global lantaran kaburnya batasbatas wilayah dan negara.
Pada tahun 1990-an, muncul seorang futurolog baru bernama John
Naisbitt yang lebih rinci dalam memetakan wajah dunia ke depan dalam
publikasinya yang sangat terkenal: Megatrend Asia 2000. Naisbitt meramalkan
bahwa akibat perubahan-perubahan super cepat di Asia, yang didorong oleh
kemajuan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) di kawasan tersebut, pada
abad ke 21 akan terjadi pergeseran dalam pusat kegiatan ekonomi dunia dari AS
dan Eropa ke Asia, khususnya Asia Tenggara dan Timur. Walaupun dalam
kenyataannya, pergeseran tersebut tidak terjadi, atau paling tidak tertunda untuk
sementara waktu akibat terjadinya krisis ekonomi di Asia pada tahun 1997/98.

Secara garis besar, Toffler dan Naisbitt mempunyai beberapa kesamaan


dalam meramal dunia di masa depan, diantaranya adalah bahwa kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahun merupakan motor penggerak utama proses
globalisasi ekonomi. Perubahan radikal pada teknologi juga telah menciptakan
perubahan pada politik, sosial dan budaya. Mereka juga sependapat bahwa
masyarakat dunia dewasa ini sedang memasuki era masyarakat informasi yang
beralih dari masyarakat industri. Artinya adalah bahwa masyarakat tidak bisa lagi
menutup diri dari luar karena teknologi informasi mampu menembus batas-batas
wilayah kekuatan negara Pengaruh radikal dari kemajuan teknologi terhadap
kehidupan masyarakat saat ini terutama sangat ketara sekali pada kegiatan bisnis
sehari-hari atau produk-produk yang dihasilkan. Misalnya, fitur hand phone (HP)
hampir setiap saat berganti sehingga HP menjelma menjadi alat bertukar
informasi melalui teknologi Internet ataupun SMS, berfungsi sebagai games,
kamera digital dan fungsi-fungsi lainnya. Kemampuan komputer beserta programprogramnya semakin canggih. Perubahan teknologi yang sangat pesat sekarang
ini juga telah mempengaruhi agro industri yang semakin tumbuh kencang dengan
varian-varian hasil produk, baik melalui rekayasa genetika maupun akibat
penemuan-penemuan varietas unggul. Demikian juga dalam sektor kesehatan,
produk-produknya juga mengalami revolusi dengan banyak ditemukan jenis-jenis
obat (supplement) baru yang memungkinkan manusia lebih sehat atau lebih
panjang usianya (Halwani, 2002).
Pada gilirannya, perubahan di sisi suplai (produksi) tersebut telah
membuat perubahan di sisi permintaan sesuai fenomena supply creates its own
demand: perilaku konsumen semakin bervariatif mengikuti pilihan produk yang
semakin kompetitif. Perubahan pola konsumen telah terjadi tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di NSB; tidak hanya di daerah perkotaan tetapi juga di
daerah perdesaan atau pedalaman. Walaupun tidak ada data empiris yang bisa
mendukung, tetapi dapat diduga bahwa jumlah penduduk di perdesaan di
Indonesia yang sudah pernah minum coca cola sekarang ini jauh lebih banyak
dibandingkan pada awal tahun 1970an; demikian juga jumlah penduduk di

perdesaan yang memiliki HP saat ini jauh lebih banyak dibandingkan pada awal
tahun 1990-an. Bahkan banyak orang yang membeli HP atau rutin menggantinya
dengan seri baru bukan karena perlu tetapi karena mengikuti trend yang sangat
dipengaruhi oleh reklame dan pergaulan. Jadi benar apa yang dikatakan oleh
Anthony Giddens (2001) bahwa globalisasi saat ini telah menjadi wacana baru
yang menelusup ke seluruh wilayah kehidupan baik di perkotaan maupun
perdesaan. Globalisasi telah memberi perubahan yang radikal dalam semua aspek
kehidupan, mulai dari sosial, budaya, politik, ekonomi, hingga gaya hidup seharihari.
Dalam komunikasi juga sangat nyata sekali pengaruh dari kemajuan
teknologi yang jangkauannya sudah menyebar dan melewati batas-batas negara
yang semakin mempersempit dunia. Seiring dengan kemajuan teknologi
komunikasi, semakin mudah pula masyarakat untuk mengaksesnya. Misalnya,
dapat diduga bahwa saat ini jumlah orang di Indonesia yang bisa akses ke siaran
CNN atau FOX jauh lebih banyak dibandingkan pada akhir dekade 80-an. Jumlah
orang yang bisa melihat siaran langsung perang Irak II pada pertengahan tahun
2003 diperkirakan jauh lebih banyak dibandingkan pada saat perang Irak I
(Perang Teluk) pada awal tahun 1990-an. Contoh lainnya, menurut Giddens
(2001), sebelum ada teknologi Internet, diperlukan waktu 40 tahun bagi radio di
AS untuk mendapatkan 50 juta pendengar. Sedangkan dalam jumlah yang sama
diraih oleh komputer pribadi (PC) dalam 15 tahun. Setelah ada teknologi Internet,
hanya diperlukan waktu 4 tahun untuk menggaet 50 juta warga AS.
Faktor pendorong kedua yang membuat semakin kencangnya arus
globalisasi ekonomi adalah semakin terbukanya sistem perekonomian dari
negara-negara di dunia baik dalam perdagangan, produksi maupun
investasi/keuangan. Fukuyama (1999) menegaskan bahwa dewasa ini baik
negara-negara maju maupun NSB cenderung mengadopsi prinsip-prinsip liberal
dalam menata ekonomi dan politik domestik mereka. Seperti yang dapat dikutip
dari Friedman (2002), Ide dibelakang globalisasi yang mengendalikannya adalah
kapitalisme bebas semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan

semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan


kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat.
Globalisasi berarti penyebaran kapitalisme pasar bebas ke setiap negara di
dunia. Karenanya globalisasi juga memiliki aturan perekonomian tersendiri
peraturan yang bergulir seputar pembukaan, deregulasi, privatisasi
perekonomian Anda, guna membuatnya lebih kompetitif dan atraktif bagi
investasi luar negeri. (halaman 9). Menurut catatan dari Friedman (2002), pada
tahun 1975, di puncak Perang Dingin, hanya 8% dari negara di seluruh dunia
yang mempunyai rezim kapitalis pasar bebas. Sampai tahun 1997, jumlah negara
dengan rezim perekonomian liberal menjadi 28%.
Jadi, dapat dikatakan bahwa faktor pendorong kedua ini dipicu, kalau
tidak bisa dikatakan dipaksa oleh penerapan liberalisasi perdagangan dunia dalam
konteks WTO atau pada tingkat regional seperti AFTA, UE dan NAFTA. Dalam
kata lain, liberalisasi perdagangan dunia mempercepat laju dari proses globalisasi
ekonomi. Dapat diprediksi bahwa pada tahun 2020 nanti, tahun di mana semua
negara di dunia sudah harus menerapkan kebijakan tarif impor dan subsidi ekspor
nol, derajat dari globalisasi ekonomi akan jauh lebih tinggi daripada saat ini.
Faktor pendorong ketiga adalah mengglobalnya pasar uang yang
prosesnya berlangsung berbarengan dengan keterbukaan ekonomi dari negaranegara di dunia (penerapan sistem perdagangan bebas dunia). Sebenarnya faktor
ketiga ini dengan faktor kedua di atas saling terkait, atau tepatnya saling
mendorong satu sama lainnya: semakin mengglobal pasar finansial membuat
semakin mudah dan semakin besar volume kegiatan ekonomi antarnegara;
sebaliknya semakin liberal sistem perekonomian dunia semakin mempercepat
proses globalisasi finansial karena semakin besar kebutuhan pendanaan bagi
kegiatan-kegiatan produksi dan investasi.

2.3.

Empat Dampak Besar dari Globalisasi

Dampak dari globalisasi ekonomi terhadap perekonomian suatu negara


bisa positif atau negatif, tergantung pada kesiapan negara tersebut dalam
menghadapi peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang muncul dari
proses tersebut. Secara umum, ada empat (4) wilayah yang pasti akan
terpengaruh, yakni :
1. Ekspor.
Dampak positifnya adalah ekspor atau pangsa pasar dunia dari suatu
negara meningkat; sedangkan efek negatifnya adalah kebalikannya: suatu
negara kehilangan pangsa pasar dunianya yang selanjutnya berdampak negatif
terhadap volume produksi dalam negeri dan pertumbuhan produk domestiik
bruto (PDB) serta meningkatkan jumlah pengangguran dan tingkat
kemiskinan. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada kecenderungan bahwa
peringkat Indonesia di pasar dunia untuk sejumlah produk tertentu yang
selama ini diunggulkan Indonesia, baik barang-barang manufaktur seperti
tekstil, pakaian jadi dan sepatu, maupun pertanian (termasuk perkebunan)
seperti kopi, cokelat dan biji-bijian, terus menurun relatif dibandingkan
misalnya Cina dan Vietnam. Ini tentu suatu pertanda buruk yang perlu segera
ditanggapi serius oleh dunia usaha dan pemerintah Indonesia. Jika tidak,
bukan suatu yang mustahil bahwa pada suatu saat di masa depan Indonesia
akan tersepak dari pasar dunia untuk produk-produk tersebut.
2. Impor.
Dampak negatifnya adalah peningkatan impor yang apabila tidak
dapat dibendung karena daya saing yang rendah dari produk-produk serupa
buatan dalam negeri, maka tidak mustahil pada suatu saat pasar domestik
sepenuhnya akan dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri. Dalam
beberapa tahun belakangan ini ekspansi dari produk-produk Cina ke pasar
domestik Indonesia, mulai dari kunci inggris, jam tangan tiruan hingga sepeda
motor, semakin besar. Ekspansi dari barang-barang Cina tersebut tidak hanya
ke pertokoan-pertokoan moderen tetapi juga sudah masuk ke pasar-pasar
rakyat dipingir jalan.
3. Investasi.

Liberalisasi pasar uang dunia yang membuat bebasnya arus modal


antarnegara juga sangat berpengaruh terhadap arus investasi neto ke
Indonesia. Jika daya saing investasi Indonesia rendah, dalam arti iklim
berinvestasi di dalam negeri tidak kondusif dibandingkan di negara-negara
lain, maka bukan saja arus modal ke dalam negeri akan berkurang tetapi juga
modal investasi domestik akan lari dari Indonesia yang pada aknirnya
membuat saldo neraca modal di dalam neraca pembayaran Indonesia negatif.
Pada gilirannya, kurangnya investasi juga berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan produksi dalam negeri dan ekspor. Seperti telah di bahas
sebelumnya, sejak krisis ekonomi 1997/98, arus PMA ke Indonesia relatif
berkurang dibandingkan ke negara-negara tetangga; bahkan di dalam
kelompok ASEAN, Indonesia menjadi negara yang paling tidak menarik
untuk PMA karena berbagai hal, mulai dari kondisi perburuan yang tidak lagi
menarik investor asing, masalah keamanan dan kepastian hukum, hingga
kurangnya insentif, terutama insentif fiskal bagi investasi-investasi baru.
Sebaliknya, Vietnam, sebagai suatu contoh, menjadi sangat menarik bagi
investor asing karena tidak hanya tenaga kerjanya sangat disiplin dan murah,
juga pemerintah Vietnam memberikan tax holiday bagi investasi-investasi
baru.
4. Tenaga kerja.
Dampak negatifnya adalah membanjirnya tenaga ahli dari luar di
Indonesia, dan kalau kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia tidak
segera ditingkatkan untuk dapat menyaingi kualitas SDM dari negara-negara
lain, tidak mustahil pada suatu ketika pasar tenaga kerja atau peluang
kesempatan kerja di dalam negeri sepenuhnya dikuasai oleh orang asing.
Sementara itu, tenaga kerja Indonesia (TKI) semakin kalah bersaing dengan
tenaga kerja dari negara-negara lain di luar negeri. Juga tidak mustahil pada
suatu ketika TKI tidak lagi diterima di Malaysia, Singapura atau Taiwan dan
digantikan oleh tenaga kerja dari negara-negara lain seperti Filipina, India dan
Vietnam yang memiliki keahlian lebih tinggi dan tingkat kedisiplinan serta
etos kerja yang lebih baik dibandingkan TKI.

Keempat jenis dampak tersebut secara bersamaan akan menciptakan


suatu efek yang sangat besar dari globalisasi ekonomi dunia terhadap
perekonomian dan kehidupan sosial di setiap negara yang ikut berpartisipasi di
dalam prosesnya, termasuk Indonesia. Lebih banyak pihak yang berpendapat
bahwa globalisasi ekonomi akan lebih merugikan daripada menguntungkan
negara sedang berkembang (NSB) seperti Indonesia. Seperti misalnya pendapat
yang pesimis mengenai globalisasi dari Khor (2002) sebagai berikut: Globalisasi
adalah suatu proses yang sangat tidak adil dengan distribusi keuntungan
maupun kerugian yang juga tidak adil. Ketidakseimbangan ini tentu saja akan
menyebabkan pengkutuban antara segelintir negara dan kelompok yang
memperoleh keuntungan, dan negara-negara maupun kelompok yang kalah atau
termajinalisasi. Dengan demikian, globalisasi, pengkutuban, pemusatan
kesejahteraan dan marjinalisasi merupakan rentetan peristiwa menjadi saling
terkait melalui proses yang sama. Dalam proses ini, sumber-sumber investasi,
pertumbuhan dan teknologi moderen terpusat pada sebagian kecil (terutama
negara-negara Amerika Utara, Eropa, Jepang dan negara-negara industri baru
(NICs) di Asia Timur). Majoritas NSB tidak tercakup dalam proses globalisasi
atau ikut berpartisipasi namun dalam porsi yang sangat kecil dan acapkali
berlawanan dengan kepentingannya, misalnya liberalisasi impor dapat menjadi
ancaman bagi produsen-produsen domestik mereka dan liberalisasi moneter
dapat menyebabkan instabilitas moneter dalam negeri (hal.18). Masih menurut
Khor, Manfaat dan biaya liberalisasi perdagangan bagi NSB menimbulkan
persoalan yang kian kontroversial. Pandangan kontroversial bahwa liberalisasi
perdagangan merupakan sesuatu yang penting dan secara otomatif atau pada
umumnya memiliki dampak-dampak positif bagi pembangunan dipertanyakan
kembali secara empiris maupun analitis. Kini saatnya meneliti sejarahnya dan
merumuskan berbagai pendekatan yang tepat bagi kebijakan perdagangan di
NSB. (hal.32).
Dengan demikian, Khor (2002) berpendapat bahwa globalisasi ekonomi
mempengaruhi berbagai kelompok negara secara berbeda. Secara umum,

menurutnya, dampak dari proses ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup
negara. Grup pertama adalah sejumlah kecil negara yang mempelopori atau yang
terlibat secara penuh dalam proses ini mengalami pertumbuhan dan perluasan
kegiatan ekonomi yang pesat, yang pada umumnya adalah negara-negara maju.
Grup kedua adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang
sedang dan fluktuatif, yakni negara-negara yang berusaha menyesuaikan diri
dengan kerangka globalisasi ekonomi atau liberalisasi perdagangan dan investasi.
Misalnya negara-negara dari kelompok NSB yang tingkat
pembangunan/kemajuan industrinnya sudah mendekati tingkat dari negaranegara industri maju. Grup ketiga adalah negara-negara yang termarjinalisasikan
atau yang sangat dirugikan karena ketidakmampuan mengatasi tantangantantangan yang muncul dari proses tersebut dan persoalan-persoalan pelik yang
terkait langsung maupun tidak langsung dengan globalisasi ekonomi seperti
harga-harga komoditas primer yang rendah dan fluktuatif serta hutang luar
negeri. Grup ini didominasi oleh NSB terutama di Afrika, Asia Selatan
(terkecuali India) dan beberapa negara di Amerika Latin (tidak termasuk negaranegara yang cukup berhasil seperti Brazil, Argentina, Chile dan Meksiko).
Perkiraan bahwa sebagian besar dari NSB, terutama di tiga wilayah
tersebut di atas termarjinalisasikan dalam proses globalisasi ekonomi bukan
sesuatu tanpa alasan kuat. Data deret waktu dari UNCTAD menunjukkan bahwa
dalam empat (4) dekade terakhir, pangsa NSB di dalam ekspor dunia menurun
secara konstan dari 3,06% pada tahun 1954 ke 0,42% pada tahun 1998. Laju
penurunannya lebih dalam periode 1960-an dan 1970-an. Data UNCTAD tidak
hanya membedakan antara negara-negara maju (developed countries) dengan
NSB, tetapi di dalam kelompok NSB itu sendiri dibedakan antara yang sudah
maju (developing countries) seperti NICs, Thailand, Malaysia, Indonesia, India,
Cina, Pakistan, Israel di Asia dan Brasil, Argentina, Chile dan Meksiko di
Amerika Latin, dan negara-negara yang terbelakang dalam tingkat
pembangunan/industrialisasinya (least developed countries) yang didominasi
terutama oleh negara-negara miskin di Afrika dan Asia Selatan. NSB dari katetori

least developed countries paling kecil pangsa pasar dunianya, dan dalam 4
dekade terakhir ini menunjukkan suatu tren yang menurun yang mengindikasikan
bahwa kelompok ini semakin termarjinalisasikan.
2.4.

Daya Saing dari Beberapa Produk Utama Nasional


Keberhasilan Indonesia dalam menghadapi globalisasi ditentukan oleh
tingkat daya saingnya. Dalam hal ekspor, Selama ini Indonesia sangat
mengandalkan faktor-faktor keunggulan komparatif dalam sebagai penentu utama
daya saingnya, terutama daya saing harga, seperti upah buruh murah dan SDA
berlimpah sehingga murah biaya pengadaannya. Namun, dalam era perdagangan
bebas nanti teknologi, know-how dan keahlian khusus, yang merupakan tiga
faktor keunggulan kompetitif semakin dominan dalam penentuan daya saing.
Selain itu, dengan tuntutan masyarakat dunia yang semakin kompleks
menyangkut masalah-masalah lingkungan hidup, kelestarian alam bersama isinya,
kesehatan, keamanan, dan hak asasi manusia (HAM) membuat faktor-faktor
keunggulan komparatif semakin tidak penting dibandingkan faktor-faktor
keunggulan kompetitif.
Perubahan faktor-faktor penentu daya saing tersebut membuat produkproduk ekspor tradisional Indonesia semakin terancam di pasar regional maupun
global. Ancaman ini semakin nyata dengan munculnya negara-negara pesaing
baru yang memiliki baik faktor-faktor keunggulan komparatif maupun faktorfaktor keunggulan kompetitif seperti Cina dan Vietnam di pasar Asia dan negaranegara Eropa Timur di pasar Uni Eropa (UE). Di pasar Asia, dalam 5 tahun
belakang ini barang-barang buatan Cina mulai dari tekstil dan produk-produknya
(TPT) sampai dengan motor semakin membanjiri pasar di negara-negara Asia,
termasuk Indonesia. Demikian juga, Vietnam sudah mulai menandingi Indonesia
dalam ekspor beberapa komoditas traditional seperti kopi dan tekstil. Di pasar
UE, peluang pasar ekspor Indonesia di wilayah tersebut terancam oleh 8 negara
Eropa Timur yang akan menjadi anggota UE pada awal Mei 2004.3 Kedelapan
negara tersebut lebih mampu menembus pasar UE karena mendapat fasilitas

pembebasan bea masuk (BM). Sementara itu, barang-barang ekspor Indonesia


masih dikenai BM dan hambatan-hambatan non-tarif (NTB) lainnya, seperti dari
segi kesehatan dan lingkungan hidup. Selain itu, setidaknya ada 10 produk ekspor
Indonesia yang dikenai tuduhan dumping oleh UE. Misalnya, bahan baku produk
tekstil (polyester staple fibre), bahan pemanis (sodium cyclamate), dan ring
penjilid (ring binders).4 Selain itu, jarak yang lebih dekat sehingga biaya
transportasi dan harga produk dari para pesaing tersebut lebih murah. Proses
penyerahan barang pun singkat. Pendek kata, karena jarak yang lebih dekat
membuat para pesaing dari Eropa Timur itu lebih efisien dalam memasuki pasar
UE.
Ada sejumlah indikator atau metode yang digunakan untuk mengukur
tingkat daya saing. Salah satunya adalah Revealed Comparative Advantage
(RCA), Nilai indeks RCA adalah antara 0 dan lebih besar dari 0. Nilai 1 dianggap
garis pemisah antara keunggulan dan ketidakunggulan komparatif. Lebih besar
dari 1 berarti daya saing dari negara bersangkutan untuk produk yang diukur di
atas rata-rata (dunia), sedangkan lebih kecil dari 1 berarti daya saingnya buruk (di
bawah rata-rata).6Sebagai suatu ilustrasi empiris, berdasarkan data ekspor dari
Depperindag, Tabel 1 menyajikan hasil hitungan RCA untuk sejumlah produk
ekspor unggulan Indonesia. Dapat dilihat bahwa keunggulan Indonesia masih
didominasi oleh jenis-jenis produk berbasis SDA dan tenaga kerja murah seperti
bubur kertas, pupuk, kayu lapis, barang-barang dari kayu, kertas dann karton,
TPT, dan sepatu. Nilai RCA paling tinggi adalah dari kayu lapis, dan memang
Indonesia sangat unggul sejak lama untuk jenis produk ini di pasar dunia;
walaupun ancaman persaingan semakin besar dari beberapa negara lain terutama
Malaysia.
Tabel 1 RCA dari sejumlah Produk Ekspor Indonesia: 1996-2000

Sumber: Depperindag (database)


Tekstil dan pakaian jadi (TPT) merupakan salah satu produk ekspor
unggulan atau produk ekspor tradisional Indonesia selama ini. Banyak negara
pesaing Indonesia termasuk dari ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan
Singapura. Selain itu, negara pesaing Indonesia lainnya untuk produk ini yang
sangat agresif dalam ekspor adalah Cina, yang daya saing TPT-nya lebih baik
dibandingkan buatan Indonesia (nilai RCA-nya lebih tinggi daripada RCA
Indonesia).
Alat-alat listrik juga merupakan produk ekspor unggulan Indonesia, dan
juga mendapat persaingan ketat dari negara-negara ASEAN lainnya. Berdasarkan
data ekspor dari sejumlah negara ASEAN untuk periode 1996-2000, indeks RCA
untuk mesin-mesin listrik dari Indonesia di bawah 1, berarti tidak memiliki
keunggulan komparatif atau daya saingnya relatif rendah. Sedangkan produk
yang sama dari Malaysia, Singapura dan Thailand di atas satu, berarti daya
saingnya di atas tingkat rata-rata dunia. Tingkat daya saing dari Filipina juga
rendah, relatif sama dengan Indonesia.

Cukup banyak studi mengenai perkembangan RCA Indonesia di pasar


ekspor. Diantaranya dari dari Bank Dunia yang dikutip oleh Tambunan (2000)
mengenai perdagangan internasional dan perkembangan pola spesialisasi dalam
ekspor komoditi-komoditi tertentu dari negara-negara industri maju tergabung
dalam OECD yang terdiri antara lain dari AS, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis
dan Jepang, negara-negara industri baru (NICs) seperti Taiwan, Korea Selatan,
dan Singapura, negara-negara transisi (Eropa Timur), empat negara besar dari
kelompok NSB, yakni Cina, India, Brazil dan Indonesia, dan NSB lainnya.
Dalam studi ini pola spesialisasi diukur dengan indeks RCA. Studi ini
menunjukkan bahwa pada awal dekade 90-an, tingkat daya saing ekspor
komoditi pertanian Indonesia tinggi dengan indeks RCA secara keseluruhan 50%
lebih di atas 1 (Tabel 2). Penemuan ini mencerminkan bahwa Indonesia memiliki
keunggulan komparatif untuk produk-produk pertanian. Namun, jika
dibandingkan dengan India, Brazil dan Cina yang juga merupakan negara-negara
agraris besar, atau dibandingkan dengan rata-rata NSB, derajat daya saing
pertanian Indonesia masih tergolong rendah.
Untuk pakaian jadi yang bahan baku utamanya (kapas) juga merupakan
output dari sektor pertanian, tingkat daya saing Indonesia jauh lebih baik,
walaupun masih di bawah Brasil dan Cina. Sedangkan untuk barang-barang
modal, seperti mesin dan alat-alat transportasi yang kandungan teknologi dan
SDM-nya jauh lebih tinggi dibandingkan dua jenis produk sebelumnya,
kedudukan Indonesia sangat buruk. Di dalam studi ini, Bank Dunia
memperkirakan pada tahun 2020, indeks RCA Indonesia untuk komoditikomoditi pertanian dan mesin serta alat-alat transportasi akan mengalami sedikit
perbaikan, sedangkan untuk pakaian jadi mengalami penurunan.
Indeks RCA ini juga bisa digunakan untuk mengukur apakah Indonesia
memproduksi dan mengekspor barang-barang yang pasar luar negerinya sedang
berkembang pesat (permintaan dunia meningkat) atau sedang mengalami
stagnasi (permintaan dunia menurun). Salah satu studi yang ada mengenai in
adalah dari Banerjee (2002), yang menganalisa perubahan struktur keunggulan

komparatif dari ekspor manufaktur dari 7 negara di Asia yakni Indonesia, Cina,
Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa barang-barang manufaktur buatan Indonesia yang pangsa
pasar dunianya meningkat selama periode yang diteliti didominasi oleh produkproduk berteknologi sederhana seperti tekstil, kulit, kayu dan karet; sedangkan
Cina, sebagai suatu perbandingan, semakin unggul di produk-produk seperti
mesin-mesin elektronik, alat-alat komunikasi dan semi-konduktor , atau Malaysi,
Taiwan, Korea Selatan, Singapura dan Thailand antara lain dalam komputer
(Tabel 3).
Tabel 2 Pola Spesialisasi berdasarkan indeks RCA untuk produk-produk
tertentu dari Indonesia dan sejumlah negara lain, 1992-2020

Sumber: Bank Dunia, dikutip dari Tambunan (2000).


Tabel 3 Perubahan Struktur Keunggulan Komparatif dari Ekspor Manufaktur
di 7 Negara Asia

Sumber: Banerjee (2002).


2.5.
Cina Sebagai Salah Satu Pesaing Besar Indonesia

Pertanyaan ini tidak mengada-ngada, karena dalam satu tahun belakangan


ini dampak dari munculnya Cina sebagai sebuah negara kompetitor baru di dunia
terhadap banyak negara lain, termasuk AS, Jepang dan UE menjadi suatu
pembicaraan publik yang hangat. Bahkan hal ini menjadi salah satu topik penting
dalam majalah Times, terbitan Desember 12, 2003: China emerged as a global
trade power 10 years ago, when it knocked off Taiwan and South Korea as the
biggest exporter of sneakers to the U.S. Last year it surpassed Japan and Mexico
as Americas biggest single source of consumer electronics. That came at some
cost to American jobs but at a big cost to countries that compete directly with
China, such as its Asian neighbors and Mexico. Along the way, China became a
vital link in the global supply chain. Some Dell notebook computers from China
are made by a Taiwan-owned company called Compal using Taiwanese circuitry,
a U.S.-made Intel chip and a screen from Korea. All those imported parts explain
why, despite a projected trade surplus with the U.S. of between $120 billion and
$130 billion for this year, Chinas worldwide surplus will be a slim $15 billion. As
Americas imports from China have risen, its imports from Taiwan, Singapore and
Japan have declined (hal.30).
2.5.1. Kinerja Ekspor
Tentu, pertanyaan di atas tersebut juga mempunyai arti yang sangat
penting bagi Indonesia, karena hal ini sangat terkait dengan prospek
perkembangan ekspor Indonesia baik di pasar regional (misalnya ASEAN dan
APEC) maupun di pasar global. Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu
dilihat terlebih dahulu kinerja ekspor dan perkembangan tingkat daya saing
Cina di dalam perdagangan dunia selama ini. Berdasarkan laporan dari
UNCTAD tahun 2002, Tabel 4 menyajikan data mengenai tiga hal penting
yang berkaitan dengan posisi Cina di pasar dunia, yakni pangsa pasar dunia
menurut kelompok produk, struktur ekspor juga menurut kelompok barang,
dan 10 produk ekspor unggulan Cina. Data di tabel tersebut menunjukkan
bahwa pangsa pasar dunia dari ekspor Cina mengalami suatu peningkatan
yang sangat pesat dari 1,6% tahun 1985 ke 6,1% tahun 2000. Sedangkan

menurut tingkat teknologi, pangsa pasar dunia dari produk-produk Cina


berteknologi tinggi juga meningkat sangat pesat dari hanya 0,4% tahun 1985
ke 6% tahun 2000. Memang, selama ini struktur ekspor Cina mengalami suatu
perubahan yang relatif cepat, yang mana proporsi dari produk-produk berbasis
teknologi tinggi seperti alat-alat telekomunikasi dan komputer (PCs) di dalam
nilai ekspor total Cina semakin besar.
Tabel 4 Kinerja Ekspor Cina di dalam Perdagangan Dunia, 1985-2000 (%)

Sumber: UNCTAD (2002).


Dengan pangsa 6,1% itu (lihat Tabel 4), Cina sebagai negara yang
berpenduduk terbesar di dunia memposisikan dirinya sebagai negara terbesar
keempat yang menguasai perdagangan dunia. Negara yang berada di atas
peringkat Cina adalah AS, Jepang, dan Jerman (Gambar 1). Tetapi, dalam hal

pertumbuhan pangsa ekspor, Cina unggul atas negara-negara lain di dunia.


Selama periode 1985-2000, pangsa ekspor Cina tumbuh sebesar 4,5%, disusul
kemudian oleh AS yang berada pada posisi kedua dengan laju pertumbuhan
hanya 1,7%. Dari negara-negara ASEAN yang masuk dalam kelompok 10
negara dengan pertumbuhan pangsa ekspor terbesar hanya Malaysia, Thailand
dan Singapura; sedangkan Indonesia tidak masuk. Pangsa pasar dunia untuk
ekspor dari kedua negara tersebut selama periode yang sama tercatat masingmasing 0,8%, 0,7% dan 1,5% (Gambar 2).
Gambar 1 Sepuluh (10) Negara di Dunia dengan Pangsa Pasar Ekspor Terbesar,
2000(%)

Sumber: UNCTAD (2002).


Selanjutnya, berdasarkan data dari Bank Dunia, Tabel 5 menunjukkan
bahwa rasio ekspor-PDB Cina lebih rendah daripada Indonesia, namun
demikian pertumbuhannya lebih pesat, lebih dari 200% dibandingkan
pertumbuhan rasio Indonesia. Laju pertumbuhan nilai ekspor rata-rata per
tahun dari Cina juga jauh lebih tinggi daripada Indonesia. Yang paling
menarik dari tabel ini adalah menyangkut nilai ekspor dari produk-produk
manufaktur yang juga merupakan andalan Cina di dalam perdagangan
internasionalnya. Data yang ada menunjukkan bahwa nilai ekspor manufaktur
dari Cina jauh melewati nilai ekspor manufaktur dari Indonesia.

Gambar 2 Sepuluh (10) Negara di Dunia dengan Pertumbuhan Pangsa Pasar


Ekspor Terbesar, 2000(%)

Sumber: UNCTAD (2002).


Tabel 5 Kinerja Ekspor Barang dan Jasa Cina dan Indonesia: 1981-2001

Keterangan: * = tidak ada data; 1) 1981-91; 2) 1991-01; 3) 1982-92; 4) 1992-02; 5)


2001; 6) 2002; 7) miliar dollar AS; 8) 1992; 9) 2001; 10) 2002
Sumber: Bank Dunia (database)
Masih dari laporan UNCTAD (2002) tersebut, Cina masuk ke dalam
kelompok 10 negara eksportir terbesar di Asia (termasuk Australia),
sedangkan Indonesia tidak masuk. Misalnya pada tahun 1999, dengan nilai
ekspornya mencapai 23,7 miliar dollar AS, Cina berada pada posisi ke empat,
dengan pangsa pasar Asia-nya naik cukup signifikan dari 4,4% tahun 1990 ke
9,0% tahun 1999. Pertumbuhan ekspornya juga tinggi, rata-rata per tahun
17% selama dekade 90-an; walaupun tahun 1998 dan 1999 mengalami
pertumbuhan negatif; tetapi itupun jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
negara-negara eksportir lainnya yang juga mengalami pertumbuhan ekspor
yang negatif selama periode yang sama. Selama periode 1985-2000, pangsa
ekspor Cina terhadap total perdagangan dunia meningkat 4,5%.

Khusus untuk ekspor barang, dengan data dari WTO, Gambar 3


menunjukkan keunggulan Cina atas Indonesia dengan laju pertumbuhan nilai
ekspornya rata-rata per tahun yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia.
Tahun 2003, diperkirakan nilai ekspor barang Cina akan tumbuh 10%
dibandingkan Indonesia yang hanya sekitar 3%, dan untuk tahun 2004
diprediksi akan lebih tinggi lagi yakni 12% dan Indonesia hanya 5,5%.
Selanjutnya, data WTO menunjukkan pertumbuhan rata-rata per tahun dari
nilai dan volume ekspor barang Cina dibandingkan Indonesia selama dekade
80-an dan 90-an dapat dilihat di Tabel 6. Sementara, berdasarkan laporan dari
UNCTAD (2003), di Tabel 7 dapat dilihat keunggulan Cina di dunia dalam
laju pertumbuhan volume ekspor barang dan jasa untuk periode 2000-2001.
Gambar 3 Realisasi dan Prediksi Pertumbuhan Nilai Ekspor Barang Cina dan
Indonesia, 1997-2004 (%)

Sumber: WTO
Tabel 6 Rata-rata per Tahun Pertumbuhan Volume dan Nilai Ekspor Barang
Cina dan Indonesia, 1980-90 dan 1990-00 (%)

Sumber: WTO

Tabel 7 Laju Pertumbuhan Volume Ekspor, 2000-2002 (% dari tahun


sebelumnya)

Sumber: UNCTAD (2003).


2.5.2. Daya Saing dan Faktor-Faktor Penentu Utama
Prestasi Cina ini didorong oleh semakin baiknya tingkat daya saing
Cina di pasar global. Daya saing relatif Cina dibandingkan Indonesia untuk
sejumlah komoditi tertentu dapat dilihat di Tabel 8, yang dihitung berdasarkan
data yang ada dari Depperindag. Tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk
sebagian besar dari produk-produk tersebut, Cina cenderung lebih unggul
daripada Indonesia; terutama untuk TPT dan mesin peralatan perkantoran,
perbedaan RCA antara Cina dan Indonesia cukup besar. Untuk sepatu dan
sepeda motor dan sepeda lainnya, perbedaan RCA antar kedua negara tersebut
cenderung membesar. Keunggulan Indonesia atas Cina yang sangat signifikan
hanya pada produk-produk dari kayu seperti bubur kertas, kayu lapis dan
barang-barang dari kayu. Hal ini menunjukkan bahwa keunggulan Indonesia
masih pada produk-produk tradisional yang sangat tergantung pada SDA,
tenaga kerja murah, dan teknologi rendah hingga menengah.

Tabel 8 RCA Cina dan Indonesia untuk sejumlah Produk: 1996-2000

Sumber: Depperindag (database) dan UNIDO (database)


Peringkat Cina dibandingkan dengan Indonesia dalam daya saing
internasional dapat juga diukur dengan indikator-indikator statis, disebut
Indeks yang Berlaku (CI), poin persentase dari perubahan dalam pangsa pasar
dunia, dan indikator-indikator dinamis, disebut Indeks Perubahan (IP). CI
dihitung dari beberapa variabel seperti ekspor neto, ekspor per kapita, pangsa
pasar dunia, dan diversifikasi produk dan pasar. Sedangkan, IP adalah
perubahan dalam pangsa pasar dunia, cakupan ekspor/impor, diversifikasi
produk dan pasar, dan korelasi dengan dinamika-dinamika dari permintaan
internasional. Hasil perhitungan dari dua indeks ini disajikan di Tabel 9. Dapat
dilihat bahwa untuk produk-produk yang tidak terlalu tergantung pada SDA
tetapi lebih pada teknologi dan skill, Cina jauh lebih unggul dibandingkan
Indonesia. Bahkan dalam tekstil dan pakaian jadi yang merupakan salah satu
produk unggulan ekspor Indonesia, kinerja Cina di pasar dunia lebih baik
daripada Indonesia. Dalam kata lain untuk produk-produk ini Indonesia
mendapat persaingan sangat ketat dari Cina (masalah persaingan Indonesia
dengan Cina untuk tekstil dan pakaian jadi di pasar dunia akan dibahas lebih
lanjut lagi). Juga untuk produk-produk unggulan lainnya, Indonesia mendapat

persaingan ketat dari Cina, misalnya produk-produk dari kayu yang mana
posisi Cina dalam perubahan di pasar dunia berada pada peringkat ke dua
sedangkan Indonesia di atas 100 dari 184 negara. Juga untuk produk-produk
dari kulit, Cina berada pada peringkat pertama (1), sedangkan Indonesia pada
posisi ke sembilan (9).
Tabel 9 CI dan IP Indonesia (RI) dan Cina untuk Beberapa Produk: 2001*

Keterangan: * = peringkat pertama (satu) berarti kinerjanya paling bagus diantara 184
negara ; ** = 2000; *** = CI
Sumber: WTO.
Basri (2003) membuat suatu studi yang menarik. Dengan
menggunakan data dari UN COMTRADE Statistics untuk periode 1985-2001,
pertumbuhan ekspor dari Cina, Indonesia dan beberapa negara lainnya di
dekomposisikan ke tiga sumber, yakni faktor permintaan, faktor kompetitif
dan faktor diversifikasi. Penelitiannya dibagi dalam dua periode, yakni 19952001 dan 1985-2001. Hasilnya di Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan
ekspor Indonesia selama periode 1995-2001 terutama lebih disebabkan oleh
faktor permintaan, dan bukan daya saing; sedangkan kalau dianalisis dari
tahun 1985 hingga 2001, sumber utama pertumbuhan ekspor Indonesia adalah
perbaikan daya saing, namun jauh lebih rendah dibandingkan Cina.
Sedangkan pertumbuhan ekspor Cina sebagian besar bersumber dari tingkat
daya saing yang tinggi.

Tabel 10. Dekomposisi dari Pertumbuhan Ekspor Menurut Sumber dari


Sejumlah Negara Asia Tenggara dan Timur, 1985-2001 (juta dollar AS).

Keterangan: * = faktor permintaan mengisolasi efek-efek dari peningkatan atau


penurunan dalam permintaan global untuk ekspor dari negara-negara lain. Faktor ini
memperlihatkan peningkatan atau penurunan ekspor yang akan terjadi apabila tidak
ada perubahan dalam pangsa pasar dari negara bersangkutan dari tahun 1985 atau
1995 sebagai periode basis; ** = faktor ini menunjukkan perubahan ekspor, melebihi
atau kurang dari perubahan yang berkaitan dengan perubahan permintaan, yang
disebabkan oleh perubahan dalam pangsa pasar ekspor dari negara bersangkutan.
Setiap perbedaan; *** = setiap perbedaan antara perubahan dalam total ekspor dan
jumlah dari faktor permintaan dan faktor daya saing adalah disebabkan oleh faktor
diversifikasi.
Sumber: Basri (2003) (data dari UN COMTRADE Statistics).
Selain indikator-indikator di atas, kuatnya tekanan persaingan dari
Cina terhadap ekspor Indonesia dan negara-negara Asia lainnya dapat juga
dilihat dari semakin besarnya bagian dari total ekspor Cina dibandingkan
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya tersebut ke tiga pasar besar di
dunia, yaitu Jepang, AS dan Uni Eropa. Semakin besar porsi dari total ekspor
dari suatu negara ke tiga pasar tersebut, berarti semakin tinggi daya saing dari
produk-produk ekspor dari negara tersebut di dunia, karena ketiga negara
tersebut merupakan pasar paling penting di dunia, sehingga dapat dikatakan
sebagai barometer perekonomian dan perdagangan dunia. Data yang ada
menunjukkan bahwa selama dekade 90an, porsi dari total ekspor Indonesia ke
pasar Jepang mengalami suatu penurunan yang drastis, sementara dari Cina
mengalami suatu peningkatan, walaupun persentase pertumbuhannya kecil.

Cina juga cenderung lebih kuat dibandingkan Indonesia di pasar AS. Pada
awalnya pangsa Cina jauh lebih kecil daripada Indonesia, namun selama 10
tahun tersebut pangsa Cina mengalami suatu kenaikan lebih dari 100%,
sedangkan kenaikan pangsa Indonesia sangat kecil. Demikian juga di pasar
UE, awalnya Indonesia unggul, namun pada akhirnya Cina melampaui
Indonesia (Tabel 11).
Tabel 11 Pangsa Ekspor Barang dari Cina, Indonesia dan Beberapa Negara Asia
lainnya di tiga pasar besar: Jepang, AS dan UE (% dari total ekspor)

Sumber: Bank Dunia (database)


Khusus untuk pasar AS, Tabel 12 memperlihatkan perkembangan
impor AS dari Cina dan negara-negara pesaing lainnya dari Asia untuk ekspor
barang selama periode 1987-2001. Pada tahun awal dari periode tersebut,
pangsa pasar AS dari Cina masih lebih kecil dibandingkan dengan porsi dari
negara-negara lainnya tersebut. Namun pada tahun-tahun berikutnya, Cina
mulai mengalahkan negara-negara pesaingnya, dan pada tahun 2001 Cina
sudah menguasai sekitar 10,4% dari impor AS, sedikit di bawah Jepang yang
tercatat sekitar 10,6%; sedangkan ASEAN dan Korea Selatan lebih rendah,
yakni masin-masing 6,4% dan 3,1%.
Tabel 12 Pangsa Pasar AS dari Cina dan Beberapa Negara Asia Lainnya (%
dari total impor AS)

Sumber: dari Tabel 2 di Quang (2003).

Banyak faktor yang membuat Cina semakin jauh lebih unggul dari
Indonesia dan banyak negara lainnya di arena perdagangan internasional
dalam beberapa tahun belakangan ini. Diantaranya adalah tingkat
produktivitas tenaga kerjanya yang lebih tinggi dan upah per pekerja yang
lebih rendah daripada di Indonesia. Tabel 13 menyajikan hasil proyeksi dari
van der Mensbrugghe (1998) mengenai posisi keunggulan komparatif dari
Cina dan Indonesia berdasarkan pertumbuhan rasio output-tenaga kerja
sebelum krisis ekonomi 1997, dengan menggunakan model proyeksi
LINKAGE. Pertumbuhan produktivitas tenaga kerja di Cina diprediksi lebih
tinggi daripada di Indonesia.
Tabel 13 Pertumbuhan Produktivitas Tenaga Kerja di Cina dan Indonesia, 20002020

Sumber: van der Mensbrugghe (1998).


Keunggulan Cina atas Indonesia (dan banyak negara lain) dalam
produktivitas tenaga kerja menjadi tambah kuat lagi karena didukung oleh
keunggulannya dalam tingkat upah per pekerja. Data dari UNIDO
menunjukkan bahwa rata-rata upah per pekerja per tahun (dalam dollar AS) di
Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan di Cina (dan Vietnam sebagai
pesaing baru Indonesia setelah Cina); terkecuali pada tahun 1998 karena
merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Gambar 4). Gabungan dari
kedua faktor keunggulan ini membuat suatu tekanan yang kuat terhadap harga
dari produk-produk ekspor Cina, sehingga Cina akan semakin unggul dalam
persaingan harga.

Gambar 4 Rata-rata Upah per Pekerja per Tahun di Indonesia, Cina dan
Vietnam, 1994-1998

Sumber: UNIDO & MPL (1999).


Secara keseluruhan, dengan semakin baiknya SDM (tidak hanya
teknisi tetapi juga keterampilan dalam manajemen) dan perkembangan
teknologi yang semakin pesat, yang semua ini mendorong peningkatan
produktivitas dan penurunan struktur biaya produksi, ditambah lagi dengan
bergabungnya Cina dengan WTO, dapat diprediksi bahwa di tahun-tahun
mendatang tren pertumbuhan dari pangsa Cina di pasar dunia akan
berlangsung terus dengan laju kecepatan yang semakin tinggi. Jika memang
prediksi tersebut menjadi suatu kenyataan, tidak mustahil produk-produk
ekspor Indonesia akan tergusur dari pasar di Jepang, AS dan UE, atau bahkan
di dunia.
2.5.3. Diversifikasi Ekspor
Keunggulan Cina atas Indonesia juga dicerminkan oleh tingkat
diversifikasi produk ekspor Cina yang jauh lebih tinggi dibandingkan
Indonesia, mulai dari berbagai macam produk makanan hingga alat-alat
elektronik dan otomotif. Misalnya, pada pertengahan dekade 90-an, komoditi
ekspor Cina yang memiliki saham pasar dunia yang cukup besar adalah
tekstil, alas kaki, elektronik dan utilitas. Saham pasar dunia dari produkproduk ini diprediksi akan naik pesat pada tahun-tahun mendatang, sebagai
konsukwensi dari masuknya Cina ke WTO. Kenaikan saham dari produkproduk tersebut bisa menjadi suatu tanda adanya ancaman serius atau
tantangan berat bagi ekspor Indonesia untuk produk-produk yang sama.

Tabel 14 menyajikan data mengenai pertumbuhan nilai ekspor


Indonesia dan Cina menurut beberapa komoditas utama ke AS selama periode
1998-2002.Dapat dilihat jelas bahwa desakan Cina di pasar tradisional ini
terhadap ekspor Indonesia semakin kuat. Misalnya untuk ikan dan olahannya,
pertumbuhan total ekspor dari Cina ke AS selama periode tersebut sangat
tinggi, yakni 167,5% dibandingkan Indonesia yang hanya 29,3%. Yang paling
parah lagi adalah kayu lapis: pertumbuhan ekspor Indonesia negatif,
sementara dari Cina tumbuh positif di atas 300%! Hal ini bisa mengancam
kelangsungan ekspor kayu lapis Indonesia ke pasar AS. Juga, Cina sangat
unggul atas Indonesia untuk memasok kebutuhan TV dan perlengkapannya di
AS, yang laju total pertumbuhan ekspornya mencapai di atas 500%,
dibandingkan Indonesia yang hanya sekitar 44%.
Tabel 14 Beberapa Komoditas Impor AS dari Indonesia dan Cina, 1998 dan
2002 (juta dollar AS)

Keterangan: * = pertumbuhan 1998-2002


Sumber: Lubis (2003) (data diolah dari Foreign Trade Statistics, Department of
Commerce, US).
Persaingan ketat dari Cina terhadap Indonesia salah satunya adalah
dalam perdagangan produk-produk elektronik, mulai dari elektronik
konsumen hingga alat-alat telekomunikasi, mesin dan peralatan kantor.
Hingga saat ini Cina sudah memproduksi seperempat dari kebutuhan dunia
untuk televisi dan mesin cuci dan setengah dari permintaan pasar dunia untuk

kamera dan mesin foto copy. Saat ini Cina juga merupakan negara pembuat
perangkat televisi terbesar dunia dengan nilai ekspor mencapai sekitar 18,8
juta yuan (sekitar 2 miliar dollar AS). Salah satu perusahaan Cina terbesar,
TCL International Holdings, telah menandatangani kesepakatan dengan
Thomson dari Perancis yang memberikan hak bagi perusahaan Cina tersebut
memasarkan televisi buatan Cina di bawah label RCA. Ekspansi televisi
buatan Cina ke pasar dunia, termasuk AS, yang dalam beberapa tahun
belakangan ini semakin gencar sampai memaksa Departemen Perdagangan
AS pada bulan November 2003 mengumumkan rencana pengenaan kenaikan
tarif atas impor perangkat televisi dari Cina sebesar 28% hingga 46%.
Dilihat dari perkembangan ekspor Cina selama ini, porsi dari ekspor
produk-produk elektronik mengalami suatu peningkatan yang sangat
signifikan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada tahun 1987 nilai ekspor
elektronik baru sekitar 2,5% dari total ekspor Cina, dan setiap tahun naik terus
hingga mencapai hampir 20% pada tahun 2001. Jika tren pertumbuhan ekspor
ini dipakai sebagai dasar untuk membuat prediksi ke depan, dapat dipastikan
bahwa persentase dari produk-produk elektronik di dalam total ekspor Cina
akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.
Menurut data Depperindag, selama periode Januari-Maret 2002, total
nilai ekspor produk-produk elektronik konsumsi dari Indonesia mencapai
543,8 juta dollar AS; turun dibandingkan tahun 1997 yang mencapai 1,5
miliar dollar AS. Pasar terbesar untuk produk-produk elektronik konsumsi
Indonesia adalah AS dan Jepang, disusul kemudian oleh Singapura dan
sejumlah negara di Eropa. Sedangkan total nilai ekspor produk-produk
elektronika untuk keperluan bisnis/industri dari Indonesia untuk jangka waktu
yang sama mencapai 321,7 juta dollar AS; juga lebih kecil dibandingkan
tahun 1997 sebanyak 688 juta dollar AS, dengan komposisi negara-negara
pengimpor besar yang sama. Namun dibandingkan Cina dan negara-negara
Asia lainnya yang juga mengekspor produk-produk elektronik, Indonesia
termasuk negara kecil. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 15, nilai ekspor dari

China hampir 11 kali lebih besar dibandingkan nilai ekspor dari Indonesia
untuk barang-barang elektronik. Fakta ini memberi kesan bahwa daya saing
ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut masih lebih rendah daripada
Cina (dan negara-negara Asia lainnya di Tabel 15).
Tabel 15 Beberapa Negara Pengekspor Produk Elektronika di Asia, 2001

Sumber: Depperindag
AS, Jepang dan UE merupakan tiga pasar penting bagi ekspor
elektronik Cina selama ini. Dalam memasok ketiga pasar ini, Cina bersaing
ketat dengan 5 negara eksportir lainnya dari Asia, yakni Korea Selatan,
Malaysia, Singapura, Hong kong dan Taiwan. Data yang ada menunjukkan
bahwa pada tahun 2000, dari total ekspor elektronik Cina, sekitar 21,5%-nya
disuplai ke tiga pasar tersebut. Memang, porsi ini masih rendah jika
dibandingkan dengan ke 5 negara tersebut, terkecuali Hong Kong. Namun
demikian, ekspor produk-produk elektronik Cina ke AS, Jepang dan UE dapat
dipastikan akan meningkat pesat, terutama sejak Cina bergabung dengan
WTO.
Persaingan ketat antara Indonesia dan Cina juga terjadi dalam ekspor
tekstil dan produk-produknya (TPT), terutama dalam memasok ke pasar AS.
Data Depperindag menyebutkan, nilai ekspor TPT Cina ke AS tahun 2002
sebesar 8,74 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu naik 33,78% dibandingkan
tahun 2001 yang tumbuh sebesar 6,53 miliar dollar AS. Sedangkan nilai
ekspor TPT Indonesia ke AS tahun 2002 justru mengalami penurunan sekitar
8,78% dibandingkan nilai ekspornya tahun 2001. Nilai ekspor TPT Indonesia
ke AS tahun 2002 tercatat 2,23 miliar dollar AS, dan pada tahun 2001 sebesar
2,55 miliar dollar AS. Untuk periode Januari-September 2003, nilai ekspor
TPT Cina ke pasar AS sudah mencapai 8,3 miliar dollar AS, sedangkan nilai

ekspor TPT Indonesia ke pasar dan untuk periode yang sama hanya 1,7 miliar
dollar AS (Gambar 5). Perbedaan yang besar ini membuat Indonesia semakin
sulit merebut posisi Cina sebagai negara pengekspor terbesar TPT ke AS.
Nilai ekspor Cina pada periode 2003 tersebut lebih besar dibandingkan
dengan periode yang sama tahun 2002, dan bahkan lebih besar dari nilai
ekspornya selama setahun pada tahun 2001 dan sebelumnya.
Gambar 5 Nilai ekspor TPT Cina dan Beberapa Negara Asia lainnya ke AS,
Januari-September 2003 (miliar dollar AS).

Sumber: WTO
Selanjutnya, Tabel 16 menyajikan beberapa indeks yang dapat
digunakan untuk membandingkan tingkat daya saing Indonesia dan Cina
dalam ekspor pakaian jadi dan asesorisnya, dan tekstil dari serat/serabut,
tekstil pabrik, dan tekstil khusus. Untuk pakaian jadi dan asesorisnya, dilihat
dari tren pertumbuhan dan perubahan ekspor, kinerja Indonesia lebih baik
dibandingkan Cina; tetapi dilihat dari nilai ekspornya, pangsa di dalam ekspor
nasional, dan indeks-indeks berlaku, ada kesan bahwa daya saing Indonesia
jauh lebih rendah dibandingkan Cina. Sedangkan untuk beberapa indeks
perubahan, Indonesia lebih unggul daripada Cina. Namun secara keseluruhan,
kesimpulan yang bisa diambil dari tabel ini berdasarkan nilai gabungan dari
indeks berlaku dan indeks perubahan adalah bahwa daya saing Indonesia
relatif lebih rendah dibandingkan Cina dalam ekspor pakaian jadi dan
asesorisnya.

Tabel 16 Daya Saing dan Peringkat Dunia Indonesia dan Cina dalam Ekspor
Pakaian Jadi dan Asesoriesnya

Sumber: WTO (TradeMap).


Untuk tekstil dari serat, pabrik dan produk khusus, untuk sejumlah
indikator, posisi Indonesia lebih baik dibandingkan Cina. Tetapi, untuk dua
indikator lain, yakni nilai ekspor dan pangsa pasar dunia, kinerja ekspor Cina
jauh lebih bagus daripada Indonesia. Nilai ekspor Cina tercatat mencapai 13
miliar dollar AS lebih sedangkan Indonesia hanya sekitar 3 miliar dollar AS,
dan produk Indonesia hanya menguasai sekitar 2%, sedangkan Cina 10%
lebih dari pasar dunia. Hal ini membuat Cina berada pada posisi terdepan di
dunia, sedangkan Indonesia pada peringkat 13. Posisi Indonesia juga lemah
dalam hal diversifikasi produk. Produk yang dihasilkan Cina untuk kategori
tekstil ini juga jauh lebih bervariasi dibandingkan produk buatan Indonesia.
Juga, untuk penyebaran produk, Cina lebih baik dibandingkan Indonesia.
Untuk itu, pada tingkat internasional, Cina berada pada peringkat 5,
sedangkan Indonesia 18. Tetapi, dilihat dari perubahannya, kinerja Indonesia
relatif lebih baik dibandingkan Cina. Secara keseluruhan, seperti yang

ditunjukkan oleh perbedaan dalam indeks komposisi, Indonesia relatif lebih


kuat daripada Cina dalam ekspor produk tekstil dari kategori ini.
Berikut, Tabel 17 menunjukkan bahwa impor Jepang untuk pakaian
jadi yang dirajut dari serabut/serat di dominasi oleh produk dari Cina. Tahun
1996 porsi dari negara panda ini di pasar Jepang tercatat sekitar 59% dan
meningkat tajam menjadi lebih dari 80% pada tahun 2001. Sedangkan, ekspor
produk yang sama dari negara-negara ASEAN ke Jepang mengalami
penurunan dengan derajat yang bervariasi menurut negara anggota selama
periode yang sama. Porsi Indonesia sendiri sangat rendah, yakni hanya 1,5%
tahun 1996 dan turun menjadi di bawah 1% tahun 2001.
Tabel 17 Pangsa dari ASEAN dan Cina di Pasar Jepang untuk Pakaian Jadi
yang dirajut dari serabut, 1996 dan 2001 (% dari total impor Jepang)

Sumber: Morgan Stanley Research


Dengan tetap lebih unggul dalam produktivitas tenaga kerja
dikombinasikan dengan tingkat upah per pekerja yang relatif lebih rendah, dan
didorong oleh pengembangan teknologi yang pesat serta dukungan
sepenuhnya dari pemerintahnya, dapat dipastikan TPT (dan produk-produk
ekspor lainnya) Cina akan semakin menggeser produk-produk yang sama
buatan Indonesia di pasar ekspor, bahkan di pasar tradisional seperti AS,
Jepang dan UE.
Diversifikasi produk juga bisa dilihat menurut kandungan teknologi.
Laporan dari UNCTAD tahun 2000 menyajikan peringkat dari 20 besar
negara-negara di dunia dengan laju pertumbuhan ekspor manufaktur paling
tinggi menurut intensitas pemakaian jenis teknologi. Ternyata, untuk semua
kategori teknologi, yakni teknologi rendah (LT), teknologi menengah (MT)
dan teknologi tinggi (HT), Cina unggul atas negara-negara lain di dunia,

termasuk negara-negara industri maju seperti AS, Jerman, Inggris, dan


lainnya. Laporan UNCTAD tersebut juga membuat peringkat menurut barangbarang berbasis SDA dan tidak, dan yang terakhir ini termasuk barang-barang
berbasis teknologi. Tabel 18 menyajikan hanya peringkat dari negara-negara
Asia, termasuk Cina, yang masuk di dalam kelompok 20 besar tersebut.
Tabel 18 Peringkat (P) dari 20 Besar Negara-negara di Asia dengan Laju
Pertumbuhan Pangsa Pasar Terbesar Menurut Kategori Teknologi, 1985-2000

Keterangan: * = peringkat dalam 20 besar.


Sumber: UNCTAD (2002) 22
2.6.

Ringtangan-rintangan Utama Peningkatan Daya Daing di Indonesia


Kemampuan Indonesia untuk menembus pasar global atau meningkatkan
ekspornya ditentukan oleh suatu kombinasi dari sejumlah faktor keunggulan
relatif yang dimiliki masing-masing perusahaan di dalam negeri atas pesaingpesaingnya dari negara-negara lain. Dalam konteks ekonomi/perdagangan
internasional pengertian daripada keunggulan relatif dapat didekati dengan
keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Suatu negara memiliki
keunggulan bisa secara alami (natural advantages) atau yang dikembangkan
(acquired advantages). Keunggulan alami yang dimiliki Indonesia adalah jumlah
tenaga kerja, khususnya dari golongan berpendidikan rendah dan bahan baku
yang berlimpah. Kondisi ini membuat upah tenaga kerja dan harga bahan baku di
Indonesia relatif lebih murah dibandingkan di negara-negara lain yang
penduduknya sedikit dan miskin SDA. Keunggulan alamih ini sangat mendukung
perkembangan ekspor komoditas-komoditas primer Indonesia seperti minyak dan

pertanian dan sebagian besar ekspor manufaktur khususnya yang padat karya dan
berbasis SDA (seperti produk-prduk dari kulit, bambu, kayu dan rotan) hingga
saat ini. Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan yang dikembangkan
adalah misalnya tenaga kerja yang walaupun jumlahnya seidkit memiliki
pendidikan atau keterampilan yang tinggi dan penguasaan teknologi sehingga
mampu membuat bahan baku sintesis yang kualitasnya lebih baik daripada bahan
baku asli, atau berproduksi secara lebih efisien dibandingkan negara lain yang
kaya SDA.
Inti daripada paradigma keunggulan kompetitif adalah bahwa keunggulan
suatu negara atau industri di dalam persaingan global selain ditentukan oleh
keunggulan komparatif yang dimilikinya, yang diperkuat dengan proteksi atau
bantuan dari pemerintah, juga sangat ditentukan oleh keunggulan kompetitifnya.
Faktor-faktor keungggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap
perusahaan/pengusaha nasional dan Brebes pada khususnya untuk dapat unggul
dalam persaingan di pasar dunia adalah diantaranya yang paling penting:
1) Penguasaan teknologi dan know-how;
2) SDM (pekerja, manajer, insinyur, saintis) dengan kualitas tinggi, dan memiliki
etos kerja, kreativitas dan motivasi yang tinggi, dan inovatif;
3) Tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi dalam proses produksi;
4) Kualitas serta mutu yang baik dari barang yang dihasilkan;
5) Promosi yang luas dan agresif;
6) Sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik;
7) Pelayanan teknikel maupun non-teknikel yang baik (service after sale);
8) Adanya skala ekonomis dalam proses produksi;
9) Modal dan sarana serta prasarana lainnya yang cukup;
10) Memiliki jaringan bisnis di dalam dan terutama di luar negeri yang baik;
11) proses produksi yang dilakukan dengan sistem just in time;
12) tingkat entrepreneurship yang tinggi, yakni seorang pengusaha yang sangat
inovatif, inventif, kreatif dan memiliki visi yang luas mengenai produknya
dan lingkungan sekitar usahanya (ekonomi, sosial, politik, dll.), dan
bagaimana cara yang tepat (efisien dan efektif) dalam menghadapi persaingan
yang ketat di pasar global.
13) Pemerintahan yang solid dan bersih, serta sistem pemerintahan transparan dan
efisien.

Secara teoritis (hipotesis), faktor-faktor yang diduga punya pengaruh


langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja ekspor Indonesia dapat
dibedakan antara faktor-faktor dari sisi permintaan dan faktor-faktor dari sisi
penawarannya. Dari sisi permintaan pasar adalah terutama pendapatan dan selera
masyarakat dunia (atau negara tujuan ekspor), yang merupakan dua faktor
eksternal yang tidak dapat dipengaruhi oleh pengusaha itu sendiri (negara
eksportir), Sedangkan dari sisi penawaran, sebagian adalah faktor-faktor yang
hingga tingkat tertentu dapat dipengaruhi oleh pengusaha bersangkutan seperti
dalam hal peningkatan SDM, penyediaan modal, dan penguasaan atau
pengembangan teknologi.

BAB III
KESIMPULAN
Pada prinsipnya, setiap perubahan dalam semua aspek kehidupan, termasuk
perubahan dalam pengertian proses globalisasi ekonomi dunia (termasuk di dalamnya
liberalisasi perdagangan) yang sedang berlangsung saat ini dan akan terus
berlangsung dalam kecepatan yang semakin tinggi, akan muncul tantangan dan
ancaman. Jika tantangan bisa dihadapi dengan baik, maka tantangan tersebut berubah
menjadi peluang; sebaliknya jika tantangan tersebut tidak bisa dihadapi dengan baik,
maka akan muncul ancaman.
Tantangan yang dihadapi semua pelaku ekonomi atau pengusaha nasional
pada umumnya adalah menghadapi atau menyesuaikan perubahan-perubahan yang
terjadi yang berkaitan dengan proses globalisasi ekonomi dunia. Paling tidak ada 4
perubahan utama yang pasti (bahkan sedang) terjadi akibat globalisasi dan dan
masing-masing tantangannya, yakni:
1. Perubahan selera pembeli di dalam maupun di luar negeri antara lain akibat
peningkatan pendapatan.
Tantangannya: mampukah pengusaha nasional mengikuti atau menyesuikan
diri terhadap perubahan tersebut dengan laju yang lebih cepat dari pesaing
lainnya, misalnya membuat produk baru, menyediakan pelayanan yang lebih
baik, menyempurnakan atau memodifikasi produk yang sudah ada, merubah
sistem distribusi yang lebih efisien atau sistem promosi yang lebih efektif dan
agresif, dst.nya
2. Kemajuan teknologi, misalnya teknologi nano dalam bidang kimia, fisika,
elektronika, bioteknologi, medis, mechanical engineering, dan penemuan
material-material baru dalam skala/ukuran nano (1 nano meter =
1/1000,000,000 meter atau 1/50,000 tebal rambut) yang dapat digunakan
untuk produksi sebagai hasil dari kemajuan/penemuan teknologi nano tersebut
seperti bahan baku-bahan baku sintetik dari hasil manipulasi dari interaction
antar atom atau molekul, atau akibat perubahan struktur molekul dengan
komposisi penggabungan atom yang berbeda yang menimbulkan

sifat/fungsi/manfaat yang berbeda. Misalnya, bahan tekstil yang tahan bocor


dan tahan kotor (ultra thin molecular coating), logam tahan gores dan abrasi,
atau saringan yang dibuat dengan molekul zeolite yang memiliki lubanglubang dan saluran-saluran dalam ukuran nano yang sangat berguna bagi
petroleum refinery dan oxygen separation dari udara.
Tantangan: siapkah pengusaha nasional mengikuti perubahan terknologi dan
penemuan material-material baru tersebut dalam bentuk inovasi produk atau
proses produksi atau melakukan inventif (memunculkan produk yang betulbetuk baru).
3. Munculnya pesaing baru baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor
antara lain akibat penerapan liberalisasi perdagangan.
Tantangan: mampukah pengusaha nasional bersaing dengan pesaing baru
dalam segala front.
4. Munculnya peraturan-peraturan baru misalnya dalam konteks WTO, ASEAN
(AFTA) atau APEC yang sebenarnya merupakan rintangan-rintangan baru
yang bukan tarif (non-tarif barriers) seperti persyaratan-persyaratan yang
semakin ketat dalam ekspor udang dan lainnya yang dikaitkan dengan
standarisasi internasional (seperti ISO), keselamatan konsumen, HAM
(termasuk hak buruh), keselamatan kerja, pelestarian lingkungan, kebijakan
anti-dumping, peraturan-peraturan yang berkaitan dengan anti-terorisme, dll.
Tantangan: mampukah pengusaha nasional memenuhi semua persyaratan
tersebut.
Seperti telah dikatakan di atas, jika tantangan-tantangan tersebut tidak dapat
dihadapi dengan baik karena tidak ada kesiapan, maka tantangan-tantangan tersebut
akan berubah menjadi ancaman, yakni pangsa pasar di dalam maupun di luar negeri
menurun atau bahkan tergeser sepenuhnya dari pasar. Satu contoh yang konkrit: sejak
beberapa tahun belakangan ini, produk-produk dari Cina semakin menguasai pasar
Indonesia, dan ini menjadi ancaman serius bagi produk-produk yang sama buatan
pengusaha nasional. Juga di pasar ekspor, misalnya TPT di AS, di mana ekspor TPT
Cina semakin jauh mengungguli TPT Indonesia.

Daftar Pustaka

Asian Productivity Organization, 2002. Quality Control in Fish Processing. Asian


Productivity Organization, Tokyo, Japan.
Aziz, M. Amin, 1993. Pasar Global Agroindustri Prospek Pengembangan pada
PJPT II. Bangkit, Jakarta.
Banerjee, Shuvojit (2002), Recovery and Growth in Indonesia Industry. Elements of
a Future Policy Framework" Working Paper Series No.02/08, September,
Jakarta: UNSFIR.
Basri, M. Chatib (2003), Ekspor Manufaktur Indonesia dan Hambatan Sisi
Penawaran, makalah dalam Kongres ISEI, 13-15 Juli, Malang.
Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun,
Penerbit ITB.
Fukuyama, Francis (1999), The End of History and The Last Man. Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal, Edisi Baru, Penerbit Qalam.
Giddens, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi,
Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Khor, Martin(2002), Globalisasi & krisis Pembangunan Berkelanjutan, Seri Kajian
Global, Yogyakarta, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Lubis, Hamsar (2003), Ekspor Nonmigas Alami Kesulitan. Desakan Cina di Pasar
Tradisional, Business Indonesia, Kebijakan Publik, Kamis, 4 Desember,
Halaman T3.
Naisbitt, John (1997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing.
Quang, Doan Hong (2003), Improving Competitiveness in the Framework of an
ASEAN Economic Community: Challenges and Opportunities, makalah
dalam the 28th FAEA Conference, 19-21 December, Batam.
Tambunan, Tulus (2004), Globalisasi dan Perdagangan Internasional, Jakarta:
Ghalia Indonesia.

Tambunan, Tulus T.H. (2000), Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran.


Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: LP3ES.
Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd.
UNCTAD (2002), Trade and Development Report 2002, Geneva: United Nations
Conference on Trade and Development
UNCTAD (2003), Trade and Development Report 2003, Geneva: United Nations
Conference on Trade and Development
UNIDO & MPL (1999), General View in Vietnam Industrial Competition, National
Politics Press.
Van der Mensbrugghe, D. (1998), Trade, Employment and Wages: What Impact
from 20 More Years of Rapid Asian Growth, dalam Foy, C., F. Harrigan dan
D.OConnor (ed.), The Future of Asia in the World Economy, OECD & ADB.
Yamazawa, Ippei, 2000. Developing Economies in The Twenty-First Century The
Challenges of Globalization, Institute of Developing Economies, Japan
External Trade Organization, Chiba, Japan

Anda mungkin juga menyukai