Anda di halaman 1dari 47

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fitoplankton adalah organisme yang bersifat autotrof , yang


mampu menyediakan atau mensintesis makanannya sendiri
berupa bahan organik dan bahan anorganik dengan bantuan
energi dari sinar matahari dan faktor kimia. Komponen autotrof
ini berfungsi sebagai produsen yang dalam ekosistem merupakan
dasar dari rantai makanan di perairan, dan juga berperan sebagai
balance system suatu perairan dalam mendukung usaha
budidaya (Dawes, 1981).

Keberhasilan suatu usaha budidaya dalam bidang perikanan


berhubungan erat dengan tersedianya makanan yang cukup
seperti pakan alami. Salah satu pakan alami yang saat ini banyak
dikultur di antaranya adalah Isochrysis sp. Mikroalga ini biasanya
diberikan kepada larva moluska dan krustase, termasuk kerang
mutiara, abalone dan turbo selama awal stadia larva (Handayani,
2001). Namun, pemberian pakan alami ini dalam jumlah besar

tidak memungkinkan dilakukan melalui penangkapan atau


penyaringan air laut karena ketersediaannya di alam yang
terbatas dan membutuhkan waktu cukup lama sehingga tidak
efisien. Oleh karena itu perlu dilakukan budidaya atau kultur
untuk mendapatkan Isochrysis dalam jumlah besar (Marabessy,
2011).

Selain Isochrysis sp. fitoplankton yang sering digunakan sebagai


pakan alami pada unit-unit pembenihan adalah Chaetoceros sp.
karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 35 %
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Namun, akhir-akhir ini timbul
masalah sulitnya memproduksi Chaetoceros sp. dalam jumlah
besar karena kualitas Chaetoceros sp. yang tidak sama untuk
setiap periode kultur, sehingga perlu dilakukan kultur
Chaetoceros sp dengan menyeleksi induk-induk Chaetoceros sp.

Dalam kerja praktik ini dilakukan untuk meningkatkan


pengetahuan dan ketrampilan tentang teknik kultur fitoplankton
seperti Isochrysis sp dan Chaetoceros sp agar dapat mencukupi
kebutuhan pakan alami bagi pembenihan ikan maupun non-ikan
(Jusai, 2003).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari kegiatan kerja praktik ini adalah untuk mengetahui


teknik kultur pakan alami fitoplankton Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp. pada skala laboratorium di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung.

C. Manfaat Kerja Praktik

Manfaat dari kerja praktik adalah :


1. Dapat memberikan informasi tentang teknik kultur pakan
alami fitoplankton Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. yang
akhir-akhir ini banyak kendala pada kualitas induknya.
2. Memberikan ketrampilan pada penulis dan menambah
pengetahuan untuk melangkah ke dunia kerja.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Profil Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung


a. Sejarah Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung
Balai Budidaya Laut didirikan berdasarkan keputusan Presiden
no.23 tahun 1982 tentang Budidaya Laut Indonesia.
Pelaksanaanya tertuang dalam SK Menteri Pertanian No.
473/KPTS/UM/1982 tanggal 08 Juli 1982 yang dirintis pada
awal tahun 1982/1983 dalam bentuk bantuan proyek
pengembangan teknik budidaya laut, yang mendapat bantuan
4

teknis selama 6 tahun dari FAO/UNDP melalui Seafarming


Development Project INS/81/008 dengan lokasi di desa Hanura
Kecamatan Padang Cermin, kabupaten Pesawaran.

Berdasarkan syarat keputusan pertanian NO.


437/KPTS/.DT.201/8/1986 dan SK Menteri No.
347/KPTS/DT.201/5/94 tanggal 06 Mei 1994. Proyek
pengembangan teknik budidaya laut diganti menjadi Balai
Budidaya Laut yang merupakan Unit Pelaksanaan Teknik (UPT)
Direktorat Jendral Perikanan dan Kelautan. Kemudian
disempurnakan lagi dengan terbitnya SK Menteri Kelautan dan
Perikanan No. KEP. 26 F/MEN/2001. Oleh karena itu, Balai
Budidaya Laut Lampung secara resmi dibentuk pada tanggal
05 Agustus 1986. Kemudian Balai Budidaya Laut diganti
menjadi Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung
berdasarkan peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan nomer.
Per.07/MEN/2006. Tentang organisasi dan tata kerja Balai Besar
Pengembangan Budidaya Laut Lampung ditetapkan pada
tanggal 1 Januari 2006. Setelah itu, atas dikeluarkannya
Keputusan Menteri KP No.6/PERMEN-KP/2014 tanggal 03
Februari 2014 maka Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut
berubah nama menjadi Balai Besar Perikanan Budidaya Laut.

b. Tugas dan Fungsi


Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
06/PERMEN-KP/2014 tanggal 07 Februari 2014 Balai Besar
Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) adalah Unit Pelaksana Teknis
di bidang pengembangan budidaya laut yang berada dibawah
dan bertanggung jawab kepada Direktorat Jendral Perikanan
Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan BBPBL
mempunyai tugas melaksanakan uji terap teknis dan
kerjasama, pengelolaan produksi, pengujian laboratorium,
mutu pakan, residu, kesehatan ikan dan lingkungan, serta
bimbingan teknis perikanan budidaya laut.
Fungsi :
1. Identifikasi dan penyusunan rencana program teknis dan
anggaran, pemantauan, dan evaluasi serta laporan.
2. Pelaksanaan uji terap teknik perikanan budidaya laut.
3. Pelaksanaan penyiapan bahan standardisasi perikanan
budidaya laut.
4. Pelaksaan sertifikasi sistem perikanan budidaya laut.
5. Pelaksanaan kerjasama teknis perikanan laut.
6. Pengelolaan dan pelayanan sistem informasi, dan publikasi
perikanan budidaya laut.

7. Pelaksanaan layanan pengujian laboratorium persyaratan


kelayakan teknis perikanan budidaya laut.
8. Pelaksanaan pengujian mutu pakan, residu serta kesehatan
ikan dan lingkungan budidaya laut.
9. Pelaksanaan bimbingan teknis laboratorium pengujian.
10. Pengelolaan produksi induk unggul, benih bermutu, dan
sarana produksi perikanan budidaya laut.
11. Pelaksanaan bimbingan teknis perikanan budidaya laut,
dan
12. Pelaksanaan urusan dan tata usaha dan rumah tangga.

c. Visi dan Misi


Visi
BBPBL pada pembangunan sektor perikanan adalah
mewujudkan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL)
Lampung sebagai institusi rujukan nasional utama dalam
pengembangan teknologi budidaya laut.

MISI
Misi BBPBL Lampung adalah menghasilakn teknologi budidaya
laut yang adaptif guna mendukung peningkatan produksi
perikanan budidaya.

d. Struktur Organisasi Balai Besar Perikanan Budidaya


Laut Lampung
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
06/PERMEN-KP/2014, struktur organisasi BBPBL adalah sebagi
berikut :

Balai Besar
Perikanan
Budidaya Laut
Bagian Tata
Usaha
Sub
Bagian
Kepegawa

Bidang Uji
Terap Teknik
dan Kerja
Sama
Seksi Uji
Terap
Teknik

Seksi
Kerja
Sama
Teknik dan

Sub
Bagian
Keuanga

Bidang
Pengujian
dan
Dukungan
Seksi
Produksi
dan
Pengujia

Seksi
Dukunga
n Teknis

Kelompok Jabatan Fungsional


(Perekayasa/Litkayasa/Pengawas/PH
PI/Analis Kepegawaian/Pranata
Humas/Pustakawan)
Gambar 1. Struktur Organisasi BBPBL
B. Biologi Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.
a. Deskripsi Plankton
Plankton adalah setiap organisme hanyut ( hewan atau
tumbuhan) yang menempati zona pelagik samudera, laut, atau
air tawar. Mereka menyediakan sumber makanan penting bagi
organisme akuatik seperti ikan dan cetacean (Sidiq. 2008).
Meskipun berukuran relatif sangat kecil plankton memiliki
peranan ekologis sangat penting dalam menunjang kehidupan
di perairan. Sebab berkat fitoplankton yang dapat
memproduksi bahan organik melalui proses fotosintesis,
kehidupan di perairan dimulai dan terus berlanjut ke tingkat
kehidupan yang lebih tinggi dari tingkatan zooplankton sampai
ikan-ikan yang berukuran besar, dan tingkatan terakhir
sampailah pada ikan paus atau manusia yang memanfaatkan
ikan sebagai bahan makanan.
Menurut Boney dalam Krebs (1985), plankton tersusun atas jasad fotosintetik
(Phytoplankton) dan jasad-jasad hewani (Zooplankton) yang terdapat di laut

maupun air tawar, hidup bebas terapung dan pergerakannya bersifat pasif
tergantung adanya arus dan angin.

b. Fitoplankton atau Mikroalga


Fitoplankton atau mikroalga merupakan komponen utama
pada ekosistem perairan dan berfungsi sebagai produsen
primer bersama tumbuhan hijau lain diperairan. Peranan
mikroalga tersebut adalah sebagai pakan alami bagi biota laut
yang lain, khususnya biota laut herbivora (Hutagalung dan
Sutomo, 1983).
Kelimpahan mikroalga di suatu perairan tidak lepas dari proses
deposit sejumlah zat-zat organic melalui proses fotosintesis
yang terjadi pada tumbuhan yang mengandung klorofil.
Keberhasilan proses fotosintesis tersebut akan mendukung
proses reproduksi dan menghasilkan kelimpahan fitoplankton
yang cukup tinggi (Boney, 1974).

c. Isochrysis sp.
1. Klasifikasi Isochrysis sp.
Klasifikasi Isochrysis sp. memurut Lewine (1962) adalah
sebagai berikut :
Divisi

: Crysophyta

10

Class

: Haptophyceae

Ordo

: Isochrysisdales

Famili

: Isochrysidaceae

Genus

: Isochrysis

Spesies

: Isochrysis sp.

2. Morfologi Isochrysis sp.


Isochrysis sp. merupakan miroalga yang berbentuk unisel,
bersifat motil, memiliki panjang 5-6 m dan lebar 2-4 m
dengan bentuk yang elips. Organisme ini memiliki 2 flagela
dengan panjang yang sama atau lebih panjang yaitu sekitar
7 m yang disebut haptonema. Flagela digunakan sebagai
alat gerak sehingga spesies ini dapat berenang walaupun
lambat. Kloroplasnya berbentuk mangkuk dan terlihat
mengisi 2/3 bagian selnya, sedangkan ruangan sisanya
terlihat kosong ( Natasya, 2008) seperti gambar 2.

11

Gambar 2. Sel
Isochrysis sp.
( Ifremer, 2016)

3. Reproduksi Isochrysis sp.


Menurut Rusyani (2001) reproduksi dari spesies Isochrysis
galbana dilakukan melalui pembelahan sederhana yakni
pembelahan sel melalui zoospora (statospore), dimana sel
induk membelah diri menjadi dua sel anak betina. Ukeless
(1961) dalam Fulks dan Main (1991) menambahkan bahwa
Isochrysis dapat tumbuh optimal pada suhu 14o-22oC,
pertumbuhan agak lambat pada suhu 12oC dan 24oC - 25oC,
serta tidak tumbuh pada suhu 8o 9oC dan 27oC. Intensitas
cahaya yang digunakan untuk kultur Isochrysis sp. berkisar
antara 1.000 - 6.000 lux. Periode penyinaran minimum

12

untuk penyinaran fitoplankton secara umum adalah 16 jam


terang dan 8 jam gelap, sedangkan periode penyinaran yang
maksimum adalah 24 jam terang (Chen dan Long, 1991).

d. Chaetoceros sp.
1. Klasifikasi Chaetoceros sp.
Menurut Yamaji (1986), klasifikasi dari Chaetoseros sp.
sebagai berikut :
Filum

: Bacillariophyceae

Ordo

: Centrales

Class

: Chaetoceraceae

Famili

: Chaetocerataceae

Genus

: Chaetoceros

Species

: Chaetoceros sp.

2. Morfologi Chaetoceros sp.


Chaetoceros sp. merupakan miroalga yang memiliki dua
bentuk yang berbeda yaitu bulat dengan diameter 4-6 m
dan juga segi empat dengan ukuran 8-12 m x 7-18 m.
Dinding sel terbentuk dari silika yang mempunyai peranan
penting dalam pembentukan cangkang baru. Reproduksi
Chaetoceros sp. dapat secara aseksual dan seksual.

13

Kandungan gizi dari Chaetoceros meliputi protein 35 %,


lemak 6,9 %, karbohidrat 6,6 % dan kadar abu 28 %
( Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Pigmen yang dominan yaitu karotenoid dan diatomin yang
menyebabkan warna fitoplankton ini menjadi kuning
keemasan hingga coklat, jika diamati dengan menggunakan
mikroskop perbesaran 10x dan 40x warna yang terlihat
kehijauan, hal ini karena fitoplankton mengandung klorofil
tetapi hanya sedikit, seperti gambar 3.

Gambar 3. sel Chaetoceros sp. (Leadingtec, 2013)

3. Reproduksi Chaetocheros sp.

14

Menurut Djarijah (2006) Chaetoceros sp. bereproduksi


secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual dilakukan
dengan pembelahan sel, sedangkan reproduksi seksual
dengan pembentukan auxospora. Silikat yang terkandung
dalam Chaetoceros sp. mempunyai peranan penting untuk
proses reproduksi yaitu sebagai bahan pembentuk
cangkang. Pembelahan sel dari sel induk Chaetoceros
menghasilkan dua sel anak. Sel anak yang mendapatkan
dasar kotak (hipoteka) akan tumbuh lebih kecil dari sel
induk, sedangkan sel anak yang mendapatkan tutup kotak
(epiteka) akan berkembang menyerupai ukuran sel
induknya.
Pembelahan sel Chaetoceros sp. yang dilakukan secara
terus menerus akan meyebabkan ukuran sel menjadi kecil.
Pembelahan sel ini akan berhenti sampai batas ukuran
tertentu dan kemudian sel ini mengalami reproduksi seksual
dengan cara pembentukan auxospora dimana isi sel (sel
anak) akan keluar dari cangkang dan akan membesar
sehingga ukurannya sama dengan ukuran sel induk awal,
dan sel ini akan melakukan reproduksi secara aseksual
kembali yaitu melalui pembelahan sel ( Isnansetyo dan
Kurniastuty, 1995).

15

III.

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Kerja praktik ini dilaksanakan di Balai Besar Perikanan Budidaya
Laut (BBPBL) Lampung yang beralamat di Jalan Yos Sudarso,
Desa Hanura Kecamatan Teluk Pandan, Pesawaran, Lampung

16

selama 40 hari dimulai pada tanggal 18 Januari 2016 sampai


dengan tanggal 29 Februari 2016.

B. Alat dan Bahan


Dalam penelitian ini, alat yang digunakan adalah sebagai
berikut: Botol sampel untuk tempat kultur mikroalga, beaker
glass untuk mengukur larutan, erlenmeyer untuk tempat kultur,
pipet tetes untuk memidahkan larutan, kertas saring untuk
menyaring sampel fitoplankton, kompor untuk memanaskan air
media, aerator untuk penyuplai udara, selang aerasi untuk
penghubung antara blower dengan batu aerasi, pH meter untuk
mengukur pH, DO meter untuk mengukur kadar DO, Lampu UV
untuk sumber cahaya, Mikroskop untuk mengamati fitoplankton,
Magnetic Stirer untuk menghomogenkan larutan,plankton Net
untuk menyaring fitoplankton, dan Haemocytometer untuk
menghitung kepadatan populasi.

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu air laut
untuk media kultur, air tawar untuk mencuci alat kultur,
mikroalga Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. untuk sampel
kultur. Kemudian kaporit 60 ppm untuk sterilisasi, Alkohol 70 %

17

untuk sterilisasi, Pupuk Conwy untuk sumber hara dalam kultur,


dan silica untuk pupuk Chaetoceros.

C. Prosedur Percobaan
Langkah kerja dalam melakukan kultur fitoplankton Isochrysis sp.
dan Chaetoceros sp. adalah sebagai berikut :
1. Sterilisasi Alat
Dalam melakukan kultur fitoplankton skala laboratorium,
terlebih dahulu dilakukan sterilisasi agar tidak terjadi
kontaminasi. Sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi
tempat, alat dan bahan. Sterilisasi alat yang digunakan dalam
penelitian ini dilakukan dengan cara merendamnya dalam air
kaporit terlebih dahulu selama 24 jam. Untuk alat-alat yang
terbuat dari gelas seperti tabung kaca atau toples, pipet tetes,
gelas ukur, dan gelas beker dicuci menggunakan air tawar dan
sabun hingga bersih, lalu disemprot dengan menggunakan
alcohol 70% kemudian diletakkan di rak yang telah disiapkan
hingga kering. Sedangkan untuk alat-alat seperti selang aerasi,
batu aerasi, corong dan tutup toples setelah dicuci, lalu
direbus dengan menggunakan air tawar hingga mendidih lalu
dikeringkan.

18

2. Sterilisasi Bahan
Media kultur fitoplankton skala laboratorium yang digunakan
berupa air laut yang telah disterilisasi menggunakan UV
Sterilizer kemudian diozonisasi selama kurang lebih 15 menit.
Air laut yang telah diUV dan diozonisasi tadi dilakukan
perebusan hingga mendidih lalu didinginkan kemudian direbus
kembali. Perebusan sebanyak dua kali ini dilakukan untuk
mematikan protozoa. Air laut yang telah direbus tadi
kemudian ditempatkan di wadah erlenmeyer atau toples
tertutup dan dilakukan perebusan lagi selama 30 menit agar
air benar-benar dalam keadaan steril. Air yang telah dikukus
tadi kemudian diletakkan di rak yang berada di dalam
laboratorium.

3. Pembuatan Larutan Media


a. Pembuatan Larutan Pupuk Conwy PA (Pro Analis)
Dalam pemeliharaan kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros
sp. perlu diberikan pupuk Conwy PA (Pro Analis). Pupuk
Conwy PA ini terdiri dari unsur makro dan mikro. Komposisi
unsur makro yang digunakan pada pupuk Conwy dapat
dilihat pada tabel 1.

19

Tabel 1. Komposisi unsur makro pada pembuatan pupuk


Conwy PA
No
1

Nama Unsur
Na2EDTA

Berat (g)
45

FeCl36H2O

1,50

H3BO3

33,6

NaH2PO4.2H2O

20

MnCl2.4H2O

0,50

NaNo3 / KNO3

84,148 / 100

Trace Metal

1 ml

Unsur-unsur tersebut kemudian ditambahkan larutan Trace


Metal Solution yang merupakan unsur mikronya.

b. Pembuatan Larutan Trace Metal Solution


Larutan Trace Metal Solution merupakan larutan pelengkap
pupuk Conwy PA. Komposisi unsur yang digunakan dalam
pembuatan Larutan Trace Metal Solution dapat dilihat pada
tabel 2. Larutan Trace Metal Solution dibuat dengan
menggunakan aquabides / aquades sebanyak 100 ml yang
dicampurkan dengan masing-masing unsur.
Tabel 2. Komposisi unsur yang digunakan dalam larutan
Trace Metal Solution

20

No
1

Nama Unsur
ZnCl2

Berat (g)
2.10

CuSO4.5H2O

2.00

CoCl2. 6 H2O

2.00

(NH4)6 Mo7 O24.4H2O

0,90

Dalam pembuatan larutan Trace Metal Solution, larutan


tidak dicampur menjadi satu melainkan dibuat masingmasing.
c. Pembuatan Larutan Silikat
Larutan silikat dibuat dengan mencampurkan Sodium Silikat
Solution 20 ml dengan aquabides 1000 ml. Selanjutya
larutan tersebut diaduk hingga tercampur rata kemudian
ditempatkan pada botol gelap untuk menghindari reaksi
bahan kimia apabila terpapar sinar matahari.

4. Kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.


Kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. skala laboratorium
dilakukan dalam wadah berupa toples bervolume 2 liter yang
telah diisi dengan air laut yang telah disterilisasi dengan UV
sterilizer, diozonisasi, serta dilakukan perebusan sebanyak dua
kali hingga benar-benar steril. Bibit Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp. diamati terlebih dahulu di bawah mikroskop
untuk mengetahui kualitas bibit. Bibit ini kemudian diamati

21

menggunakan haemocytometer di bawah mikroskopdengan


perbesaran 100 kemudian dicari bidang yang memiliki kotak.
Untuk mengetahui kepadatan fitoplankton dengan cara
menghitung bagian bujur sangkar yang mempunyai sisi 1 mm.
Apabila jumlah yang didapat adalah N, maka kepadatan
fitoplankton adalah N x 104 sel/ml. Menurut (Mudjiman, 2007)
penghitungan fitoplankton dapat dilakukan beberapa kotak
saja bila kepadatannya tinggi. Untuk menentukan volume
dalam penebaran awal, masing-masing tahapan kultur
menggunakan rumus :
V1N1 = V2N2
Keterangan :
V1 = Volume air yang dikehendaki dalam penebaran awal
N1 = Kepadatan kultur yang dikehendaki
V2 = Volume stok media
N2 = Kepadatan stok

Bibit Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. yang digunakan pada


kultur ini adalah sebanyak 250 x 104 ind/l. Bibit Isochrysis sp.
dan Chaetoceros sp. dicampurkan pada air laut steril dalam
wadah toples hingga volumenya mencapai 2 liter. Setelah

22

mengetahui kepadatan awalnya Isochrysis sp. dan Chaetoceros


sp. kemudian diletakkan di rak kultur kemudian diberi aerasi.

Dalam pemeliharaan dan pengkulturan skala laboratorium,


Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. diberi pupuk Conwy PA
sebanyak 1ml/l. Selain itu, Chaetoceros sp. juga diberikan
pupuk silikat dengan dosis yang sama yaitu 1ml/l.

5. Perhitungan dan Pengamatan


a. Kepadatan populasi
Kepadatan populasi dalam mengkultur Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp. dihitung setiap harinya. Perhitungan
kepadatan populasi dilakukan hingga terjadi penurunan
kepadatan populasi. Sampel Isochrysis sp. dan Chaetoceros
sp. diambil menggunakan pipet tetes kemudian dihitung
menggunakan haemocytometer di bawah mikroskop dan
menggunakan alat bantu handcounter. Pipet tetes, cover
glass dan haemocytometer terlebih dahulu dibersihkan
menggunakan alkohol 70 %. Setelah diteteskan diatas
haemocytometer, kemudian ditutup dengan cover glass agar
tidak ada ruang udara. Pengamatan menggunakan
mikroskop menggunakan perbesaran yang terlebih kecil

23

dahulu kemudian keperbesaran yang lebih besar. Pada alat


haemocytometer, terdapat 25 kotak besar dimana pada 1
kotak besar tersebut terdapat 16 kotak kecil. Adapun rumus
kepadatan sel menurut Mudjiman (2007) adalah sebagai
berikut :

Sel / ml = N x 104
Keterangan :
N

Jumlah rata-rata sel

b. Laju Pertumbuhan
Setelah mengetahui jumlah kepadatan, kita dapat
menghitung laju pertumbuhan. Laju pertumbuhan Isochrysis
sp. dan Chaetoceros sp. dihitung dengan menggunakan
rumus modifikasi (Becker, 1994) yaitu :

LnNt LnNo
x 100
t

Keterangan :
No

: Kepadatan awal populasi (sel/ml)

Nt

: Kepadatan puncak populasi (sel/ml)

: Waktu ( hari)

24

: Laju Pertumbuhan sel (% / hari )

c. Parameter Kualitas Air


Pengujian kualitas air pada kultur Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp. dilakukan pada awal dan akhir pengkulturan.
Pengujian kualitas air ini dilakukan sebagai parameter
kualitas air yang diamati adalah secara fisika dan kimia
seperti suhu, pH, salinitas, DO, nitrat, nitrit, amoniak, dan
phospat.

6. Parameter
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kepadatan
sel Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp., laju pertumbuhan
Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp., dan kualitas air.

7. Objek Pengamatan
Objek pengamatan pada kerja praktek ini adalah untuk
mengetahui teknik kultur pakan alami Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp. di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut
(BBPBL) Lampung dan dibagi dalam matrix kerja seperti pada
tabel 3 berikut :

25

Tabel 3. Matrix Objek Pengamatan Kegiatan

No
1

Kegiatan
Pengenalan lingkungan

Minggu
3 4 5

kerja, observasi tugas


tugas yang berhubungan
2

dengan objek pekerjaan


Training dan pembelajaran
yang berhubungan dengan
tugas yang akan
dikerjakan dan
pengumpulan bahan

3
4

bahan
Implementasi tugas
Evaluasi, laporan akhir
kerja praktek dan
kesimpulan

26

8. Pelaksanaan
Kegiatan kerja praktik mengenai kultur Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp.di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut
Lampung ini dilaksanakan dengan tahap-tahap yang dapat
dilihat padagambar 4.

Mensterilkan alat dan bahan

Mensterilkan media kultur

Mengkultur dan menghitung


kepadatan awal Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp

Menghitung kepadatan akhir dan


laju pertumbuhan Isochrysis sp. dan
Chaetoceros sp
Gambar 4. Diagram alir pelaksanaan kegiatan

27

IV.

HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan
Pengkulturan Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. dilakukan
untuk mengetahui jumlah kepadatan sel dan laju
pertumbuhan kultur dari kedua jenis fitoplankton tersebut.
Hasil perhitungan kepadatan populasi Isochrysis sp. skala
laboratorium dapat dilihat pada tabel 4 :

Tabel 4. Kepadatan sel Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.


Lama Kutur

Kepadatan Sel x 104 (sel/ml)

(Hari)

Isochrysis sp.

Chaetoceros sp.

253

242

2
3
4
5

320
552
698
707

295
343
418
488

28

6
7
8
9

733
1257
994
915

555
734
617
535

Perhitungan kepadatan kultur Isochrysis sp. skala


laboratorim dilakukan selama 9 hari dengan kepadatan awal
sekitar 2.530.000 sel/ml. Peningkatan terus terjadi dari
pengkulturan awal, hari ke 2, hingga hari ke 7. Fase ini
merupakan fase lag atau fase awal dimana terjadi
penyesuaian terhadap lingkungan. Selanjutnya pada hari ke
7, kepadatan sel Isochrysis sp. mencapai 12.570.000 sel/ml
yang merupakan kepadatan puncak atau fase eksponensial
pada pengkulturan Isochrysis sp. kemudian pada hari ke 8
memasuki fase stasioner, mikroalga mulai mengalami
penurunan menjadi 994 sel/ml dan hari ke 9 terus menurun
menjadi 915 sel/ml yang merupakan fase kematian.

Perhitungan selanjutnya yakni kultur Chaetoceros sp. skala


laboratorium, sama halnya dengan pengkulturan Isochrysis
sp. peningkatan kepadatan sel terus terjadi dari hari ke 2
sampai puncaknya hari ke 7. Namun, puncak kepadatan sel
Chaetoceros sp. tidak setinggi kepadatatan sel Isochrysis sp.
Puncak kepadatan sel Chetoceros sp. yaitu sebesar

29

7.340.000 sel/ml dan pada hari ke 8 mengalami penurunan


kepadatan sampai hari ke 9.

Grafik kepadatan populasi Isochrysis sp. dan Chaetoceros


sp. skala laboratorium data dilihat di gambar 5 :

1500
1000
500
0

Lama
Kepad
Kutur
atan
(Hari)
Sel
(s el/m
l)
Isochr
Chaet
ysis o
ocer
sp.
s
sp.

Gambar 5. Grafik kepadatan sel Isochrysis sp. dan Chaetoceros


sp.

Perhitungan laju pertumbuhan kepadatan sel Isochrysis sp.


dan Chaetoceros sp. dilakukan setelah mengetahui jumlah
kepadatan sel. Hasil pengukuran laju pertumbuhan
kepadatan sel Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. dapat dilihat
di tabel 5.

Tabel 5. Laju pertumbuhan kepadatan sel Isochrysis sp. dan


Chaetoceros sp.
Laju pertumbuhan kepadatan sel
No
Isochrysis. sp

(%/hari)
Chaetoceros sp.

30

1.

17,89

12,33

Penghitungan laju pertumbuhan hasil kultur ke dua mikroalga


ini dilakukan pada hari terakhir kultur. Laju pertumbuhan
kepadatan sel Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. dihitung
dengan menggunakan rumus modifikasi laju pertumbuhan
untuk plankton. Laju pertumbuhan sel Isochrysis sp. adalah
17,89 %/hari lebih tinggi dibandingkan dengan laju
pertumbuhan Chaetoceros sp. yang hanya 12,33 %/hari.

Parameter fisika berupa suhu, salinitas. Selain parameter


fisika, diamati juga parameter kimia berupa pH, DO, Nitrit,
Nitrat, Amonia, dan Phospat. Pengukuran kualitas air ini
dilakukan untuk mengetahui apakah air yang digunakan
dalam pengukuran sesuai dengan baku mutu yang telah
ditetapkan atau tidak. Pengukuran kualitas air dilakukan dua
kali yaitu pada awal pengkulturan dan akhir pengkulturan.
Pengukuran kualitas air dilakukan di Laboratorium Kualitas Air
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Lampung dan dapat
dilihat ditabel 6 dan 7.
Tabel 6. Hasil Pengukuran Kualitas Air Isochrysis sp.
N

Paramet

er

Satuan

Kultur Awal

Kultur akhir

Baku mutu

31

Suhu

28,3

28.0

25-30

Salinitas

ppt

28

29

20-30

pH

7,74

7,33

6.5-8.5

DO

mg/l

5,84

7,09

5.45-7.00

Nitrit

mg/l

2,06

2,38

0.05

(NO2)

mg/l

2,78

2,68

0,6

Nitrat

mg/l

0,256

0,575

<1

Amoniak

mg/l

1,66

3,350

0.27-5.51

Phospat

Tabel 7.Hasil Pengukuran Kualitas Air Chaetoceros sp.


N

Paramete

o
1

r
Suhu

Satuan

Kultur Awal

28,5

Kultur akhir

Baku mutu

28.0

25-30

28

20-30

Salinitas

ppt

27

pH

7.85

7.58

6.5-8.5

DO

mg/l

6.57

6.90

5.45-7.00

Nitrit

mg/l

2.62

2.38

0.05

(NO2)

mg/l

2.75

2.68

0,6

Nitrat

mg/l

0.219

0.482

<1

Amoniak

mg/l

1.68

3.550

0.27-5.51

Phospat

Suhu awal pada kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.


adalah 28.3 oC dan 28.5 oC sedangkan suhu akhir kultur
adalah 28.0 oC nilai ini masih berada pada kisaran baku mutu
untuk pertumbuhan alga yaitu 25-30 oC (Isnansetyo dan

32

kurniastuty 1995). Salinitas atau kadar garam dari kedua


kultur yaitu berkisar antara 27-29 ppt masih tergolong pada
kisaran baku mutu menurut Haryati (1980) yaitu antara 20-30
ppt. pH awal kultur pada Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.
adalah 7.74 dan 7.85 sedangkan pada akhir kultur yaitu 7.33
dan 7.58 masih berada pada kisaran baku mutu untuk pH
menurut Amini (1990) yaitu 6.5-8.5. DO pada awal kultur
Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. adalah 5.84 mg/l dan 6.57
mg/l, sedangkan pada akhir kultur sebesar 7.09 mg/l dan 6.90
mg/l, nilai DO dari kedua kultur tersebut masih berada pada
kisaran baku mutu DO menurut Sanusi (2004) yaitu 5.45-7.00
mg/l. Nitrit pada kultur awal Isochrysis sp. dan Chaetoceros
sp. adalah 2.06 mg/l dan 2.38 mg/l, pada akhir kultur menjadi
2.38 mg/l dan 2.62 mg/l, nilai tersebut melebihi baku mutu
untuk nitrit menurut Boyd (1990) yaitu 0.05 mg/l. Nitrat pada
awal kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. yaitu sebesar
2.78 mg/l dan 2.75 mg/l, untuk akhir kultur menjadi 2.68 mg/l,
nilai ini melebihi baku mutu untuk nitrat menurut Goddar
(1996) yaitu 0.6 mg/l. Amonia pada kultur awal Isochrysis sp.
dan Chaetoceros sp. adalah 0.256 mg/l dan 0.219 mg/l,
sedangkan akhir kultur sebesar 0.575 mg/l dan 0.482, masih
berada pada kisaran baku mutu amonia menurut Pescod

33

(1973) yaitu dibawah 1mg/l. Phospat pada awal kultur


Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. adalah 1.66 mg/l dan 1.68
mg/l, sedangkan pada akhir kultur menjadi 3.350 mg/l,
perubahan ini masih berada pada kisaran baku mutu untuk
phospat menurut Wardana (2004) yaitu 0.27-5.51 mg/l.

B. Pembahasan
Kultur fitoplankton skala laboratorium yang dilakukan yaitu
dengan menggunakan dua jenis mikroalga coklat yang
berbeda yaitu Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp. Kultur
dilakukan selama 9 hari pada masing-masing jenis
fitoplankton. Pada kultur fitoplankton skala laboratorium ini,
setiap harinya dilakukan penghitungan kepadatan sel dengan
menggunakan alat haemocytometer pada waktu yang sama
setiap harinya yaitu pada pukul 10.00 WIB. Pada awal
pengkulturan yaitu hari ke 2 hingga ke 5 terjadi kenaikan
kepadatan populasi. Kenaikan terus terjadi namu tidak terlalu
signifikan. Fase ini merupakan lag phase atau fase awal
dimana terjadi penyesuaian fitoplankton dengan lingkungan
sekitarnya (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Kepadatan
terus meningkat setiap harinya hingga hari ke 7 yang
merupakan fase eksponensial atau logaritmik dimana terjadi

34

puncak kepadatan sel. Pada fase ini, sel membelah dengan


cepat dan optimum. Pada fase eksponensial ini, kultur
fitoplankton Isochrysis sp. mencapai 12 juta sel, sementara
kultur Chaetoceros sp. hanya mencapai 7 juta sel.
Perbedaan ini
dikarenakan ukuran sel dari kedua jenis mikroalga tersebut
berbeda. Mikroalga Isochrysis sp. mempunyai ukuran sel
dengan panjang sekitar 5-6 m dan lebar 2-4 m (Natasya,
2008), sementara mikroalga Chaetoceros sp. mempunyai
ukuran sel yang lebih besar yaitu 8-12 m x 7-18 m
(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Perbedaaan ukuran sel
inilah yang menyebabkan kepadatan sel dari keduanya
berbeda. Ukuran sel yang lebih kecil mengakibatkan
kepadatan yang lebih tinggi pada kultur Isochrysis sp.
dibandingkan kultur Chaetocheros sp.
Pada kultur hari ke 8, kapadatan kedua jenis fitoplankton
telah mengalami penurunan. Penurunan ini terjadi karena
fitoplankton telah masuk fase stasioner. Penurunan pada fase
ini diakibatkan sel telah mencapai titik jenuh, nutrisi pada
media yang sudah berkurang, penurunan pH, serta
berkurangnya penggunaan cahaya akibat dari kultur yang
terlalu padat. Fase stasioner ini merupakan fase dimana laju

35

pertumbuhan dan laju kematian relatif seimbang sehingga


penurunan dan penambahan kepadatan dalam kutur
fitoplankton ini relatif statis (Fogg, 1975).

Selanjutnya pada kultur hari ke 9 kepadatan sel kedua


fitoplankton terus mengalami penurunan. Penurunan yang
terjadi ini menunjukkan bahwa kultur hari ke 9 fitoplankton
mulai memasuki death phase atau fase kematian. Pada fase
kematian ini laju kematian lebih tinggi dibandingkan laju
pertumbuhan. Jumlah nutrient yang sudah mulai habis, serta
kurangnya cahaya dan menurunnya pH, membuat
fitoplankton tidak mampu mentoleransi buangan metabolit
yang berlebihan serta tidak mampu melanjutkan
kehidupannya (Vey, 1995). Faktor-faktor inilah yang
menyebabkan fitoplankton mengalami kematian sehingga
kepadatan selnya semakin berkurang.

Pada kultur ini, laju pertumbuhan sel mikroalga Isochrysis sp.


sebesar 17,89 % / hari sementara mikroalga Chaetoceros sp.
hanya sebesar 12,33 % / hari. Laju pertumbuhan Isochrysis
sp. lebih tinggi dibandingkan dengan Chaetoceros sp. karena
Isochrysis sp. memiliki kepadatan puncak yang lebih tinggi

36

daripada Chaetoceros sp. Seperti yang sudah dijelaskan


sebelumnya, Isochrysis sp mempunyai ukuran sel yang lebih
kecil dibandingkan dengan Chaetoceros sp., semakin kecil
ukuran sel maka luas permukaan sel akan semakin besar
sehingga masuknya nutrient kedalam sel lebih cepat terjadi
dan menyebabkan pertumbuhan sel Isochrysis sp. menjadi
lebih tinggi dibandingkan Chaetoceros sp. (Rizky, 2013).

Pada parameter fisika, yang diukur adalah suhu dan salinitas.


Suhu pada awal pengkulturan Isochrysis sp. adalah 28.1 oC
dan akhir kultur yaitu 28.0 oC. Sedangkan untuk pada
Chaetoceros sp. suhu awal pengkulturan yaitu 28.5oC dan
akhir pengkulturan yaitu 27.0 oC. Suhu kedua kultur
fitoplankton ini masih masuk kedalam standar baku mutu
untuk suhu menurut Isnansetyo dan kurniastuty (1995) yaitu
berkisar 25-30 oC. Fulks dan Main (2002) menambahkan
bahwa suhu dibawah 19 oC dan lebih besar dari 32 oC dapat
menyebabkan penurunan densitas alga. Salinitas pada awal
pengkulturan Isochrysis sp. adalah 28 ppt dan akhir kultur
yaitu 29 ppt. Sedangkan untuk pada Chaetoceros sp. salinitas
awal pengkulturan yaitu 27 ppt dan akhir pengkulturan yaitu
30 ppt. Salinitas dari kedua kultur fitoplankton ini tidak

37

melebihi standar baku mutu menurut Haryati (1980) yaitu


berkisar antara 20-30 ppt. Salinitas yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah dapat mengakibatkan depresi fotosintesa
sehingga menghambat pertumbuhan mikroalga (Rusyani,
2001).

Parameter kimia yang diukur meliputi pH, DO, nitrit, nitrat,


amonia dan phospat. pH pada awal pengkulturan Isochrysis
sp. adalah 7,74 dan akhir kultur yaitu 7,33. Sedangkan untuk
pada Chaetoceros sp. pH awal pengkulturan yaitu 7,85 dan
akhir pengkulturan yaitu 7,58. Pengukuran pH dari kedua
kultur ini masih layak untuk pertumbuhan mikroalga, sesuai
dengan pernyataan Amini (1990), bahwa mikroalga Isochrysis
sp. dapat tumbuh pada pH 6,5-8,5. Perubahan pH yang terjadi
pada masa kultur masih tergolong layak untuk pertumbuhan
mikroalga.
Pengukuran Dissolved Oxyde atau DO berguna untuk
mengetahui kadar oksigen terlarut dalam suatu perairan.
Pada pengkulturan awal Isochrysis sp. didapatkan nilai DO
sebesar 5,84 mg/l dan akhir kultur yaitu 7,09 mg/l. Sedangkan
untuk pada Chaetoceros sp. DO awal pengkulturan yaitu 6,57
mg/l dan akhir pengkulturan yaitu 6,90 mg/l. Pengukuran DO

38

ini masih berada pada kisaran baku mutu menurut Sanusi


(2004) yaitu 5.45 mg/l-7.00 mg/l. Bertambahnya nilai DO
pada akhir pengkulturan disebabkan oleh adanya penggunaan
aerasi yang merupakan sumber oksigen serta aktifitas
fotosintesis dari mikroalga itu sendiri. Menurut Rusyani (2001)
Dalam proses fotosintesa fitoplankton memperoleh oksigen
lebih banyak dari yang digunakan, selain itu oksigen dari
aerasi sudah melebihi kebutuhan fitoplankton tersebut.
Nitrit pada awal pengkulturan Isochrysis sp. adalah 2.06 mg/l
dan akhir kultur yaitu 2.38 mg/l. Sedangkan pada
Chaetoceros sp. nitrit awal pengkulturan yaitu sebesar 2,62
mg/l dan akhir pengkulturan yaitu 2, 38 mg/l. Jumlah nitrit
pada awal dan akhir pengkulturan kedua jenis fitoplankton
melebihi standar baku mutu menurut Boyd (1990) yaitu 0.05
mg/l. Hal ini mungkin karena pemberian pupuk pada media
kultur menyebabkan jumlah nitrit menjadi tinggi.
Jumlah nitrat pada awal pengkulturan Isochrysis sp. adalah
2.78 mg/l dan akhir kultur yaitu 2.68 mg/l. Sedangkan pada
Chaetoceros sp. jumlah nitrar awal pengkulturan yaitu 2.75
mg/l dan akhir pengkulturan yaitu 2.68 mg/l. Sama halnya
dengan nitrit, jumlah nitrat pada pengkulturan ini melebihi
baku mutu untuk nitrat menurut Goddar (1996) yaitu 0.6 mg/l.

39

Nitrat ini berfungsi sebagai bahan sintesis protein bagi


fitoplankton. Bertambahnya kepadatan sel mengakibatkan
semakin tinggi pemanfaatan nitrat sehingga kadarnya di
dalam media kultur semakin berkurang (Rusyani, 2001).
Amoniak dalam kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.
meningkat pada akhir pengkulturan. Amoniak pada awal
pengkulturan Isochrysis sp. adalah 0,256 mg/l dan akhir
kultur yaitu 0,575 mg/l. Sedangkan pada Chaetoceros sp. nilai
amoniak awal pengkulturan yaitu 0,219 mg/l dan akhir
pengkulturan yaitu 0,482. Nilai amoniak pada kultur kedua
jenis fitoplankton ini masih layak untuk kehidupan
fitoplankton, karena fitoplankton dapat tumbuh dan hidup
dengan baik pada kandungan amoniak dibawah 1 mg/l
(Pescod 1973)

Parameter kimia terakhir yang diukur adalah phospat. Pada


awal pengkulturan Isochrysis sp. nilai phospat yang didapat
adalah 1,66 mg/l dan akhir kultur yaitu 3,350 mg/l.
Sedangkan untuk Chaetoceros sp. nilai phospat awal
pengkulturan yaitu 1,68 mg/l dan akhir pengkulturan yaitu
sebesar 3.550 mg/l. Pengukuran dari kedua kultur mikroalga
ini tergolong memenuhi baku mutu untuk phospat menurut

40

Wardana (2004) yaitu 0.27mg/l-5.51 mg/l. Fungsi phospat


bagi fitoplankton adalah sebagai bahan sintesis protein dan
pembentuk energi. Peningkatan nilai phospat diakibatkan
adanya pemupukan yang mengandung senyawa phospat
(Perkins, 1974).

V.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat


ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Puncak kepadatan pada kultur Isochrysis sp. dan Chaetoceros sp.


adalah hari ke 7 yaitu sekitar1257 x 104 untuk Isochrysis sp., dan
734 x 104 untuk Chaetoceros sp.
2. Laju pertumbuhan sel pada kultur Isochrysis sp. adalah 17,89
%/hari sementara Chaetoceros sp. hanya sebesar 12,33 %/hari.
3. Kualitas air pada pengkulturan Isochrysis sp. dan Chaetoceros
sp. secara umum masih tergolong baik dilihat dari baku mutu
kualitas air untuk budidaya.

41

DAFTAR PUSTAKA

Amini, S. 1990. The Biochemical Composition of Isochrysis galbana, clone Tahiti (TIso). Juru Penerangan Budidaya Pantai. Vol. 6 hal : 53-62
Boney, A. D.,1974. Phytoplankton. The Institute of Biologys Studies In Biology
No. 52 University of Glasgow.
Boyd,C.E.1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama
Agricultural.
Experiment Station, Auburn.University. Alabama, 482p
Dawes, C. J. 1981. Marine Botany. Jhon Wiley & Sons, Inc.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan Alami. Kanisius. Yogyakarta.
Fogg, G.E. 1975. Alga Culture and Phytoplankton Ecology. Second
Edition. The University of Wisconsin Press, Madison.
London. 175 pp
Fulk and Main. 1991. Review of the Research Status of Zooplankton.
Proceeding of a U.S- Asia Workshop. Honolulu. Hawai

42

Goddard, Stephen. 1996. Feed Management in Intensive


Aquaculture. Fisheries and Marine Institute Memorial
University Newfoundland, Canada.
Hutagalung, H.P. dan Sutomo. 1996. Kandungan Pb, Cd, Cu Zn
dalam Air,
Sedimen dan Kerang Darah di Perairan Teluk Banten,
Jawa Barat.
Inventarisasi dan Evaluasi Lingkungan Pesisir. Pusat
Penelitian dan
Pengembangan Oseanografi. Jakarta.
Ifremer. 2016. Les microalgues source dnergie durable. (internet)
http://www.docsciences.fr/Les-microalgues-source-d-energiedurable.html. diakses pada 21 Februari 2016 pukul 20.32 WIB
Handayani, D. 2001. Pengaruh Intensitas Cahaya yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Populasi Isochrysis galbana klon Tahiti.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/14147 . diakses pada 26
April 2016 pukul 22.32 WIB
Haryati. 1980. Percobaan Penggunaan Beberapa Macam Komposisi Media Terhadap
Pertumbuhan Populasi Monokultur Skeletonema costatum Greville.
FakultasPeternakan dan Perikanan. UNDIP
Semarang.Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan
Zooplankton; Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut.
Kanisius. Yogyakarta.
Jusadi,D. 2003. Budidaya Pakan Alami Air Tawar Modul Budidaya Chlorella.
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
Jakarta
Leadingtec. 2013. Chaetoceros Gracilis/ Ceratoparus.
http://www.leadingtec.cn/product/gy-h29 Diakses pada
tanggal 7 April 2016 pukul 20.00 WIB
Marabessy, M.D. 2011. Kultur Laboratoris Diatom (Isochrysis sp)
dengan Berbagai Macam Media. PPPM-STP
Mudjiman, A. 2007. Makanan Ikan Edisi Revisi. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta

43

Nattasya, G. Y. 2009. Skripsi. Pengaruh Sedimen Berminyak


Terhadap Pertumbuhan Mikroalga Isochrysis sp. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor:
Bogor
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. PT Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan ekologis (Terjemahan oleh
Muh. Edman, Koesoebiono, Dietrich G.B., Malikusworo H., Sukristijono
S.). PT Gramedia. Jakarta
Plancdeux. 2016. Diatomes planctoniques 2. (internet)
http://www.diatomloir.eu/Siteplancton/Planctdeux.html
diakses pada 21 Februari 2016 pukul 20.45 WIB
Rizky, YA. 2013. PENENTUAN LAJU PERTUMBUHAN SEL
FITOPLANKTON
Chaetoceros calcitrans, Chlorella vulgaris, Dunaliella
salina, DAN Porphyridium cruentum. Unhas.Makassar.
Rusyani, E. 2001. Pengaruh Dosis Zeolit Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan Isochrysis galbana klon Tahiti Skala
Laboratorium Dalam Media Komersial. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor: Bogor
Sanusi H. 2004. Karekteristik kimia dan kesuburan perairan Teluk Pelabuhan Ratu
pada musim barat dan timur. J. Ilmu-ilmu Perairan Dan Perikanan
Indonesia II.
Sidiq. 2008. Fungsi plankton [online]. http://my.opera.com diakses pada 21 Februari
2016 pukul 20.16 WIB
Vey, J.P.M. 1995. Hatchery Techniques for Penaeid Shrimp Utilized by Texas A & M.
CRC Handbook of Marikultur. Crustacean Aquakultur. Florida
Wardhana WA. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.
Yogyakarta.459 hlm.
Yamaji. 1996. Illustrations of The Marine of Japan. Hoikusha Osaka. Japan

44

Proses Sterilisasi

Gambar L 1. Filter Uv

Gambar L2. Alat Ozonisasi

45

Gambar L3. Perebusan air

Gambar L4.Air telahyang steril

Proses Pembuatan Pupuk

Gambar L.5 Bahan-bahan

Gambar L.6 Penimbangan bahan


pembuatan pupuk

Gambar L7. Penghomogenan


Pengkulturan

Gambar L.8 Pupuk sudah jadi

Gambar L.9 Penyaringan

Gambar L.10 Awal kultur

46

Gambar L11. Akhir kultur

Gambar L12. Haemocytometer

Gambar L13. Pengamatan

Gambar L14. Dilihat dari


mikroskop

47

Anda mungkin juga menyukai