Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kehidupan masyarakat di dunia saat ini tidak terlepas dari kebutuhan pangan.
Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi kesejahteraan suatu bangsa,
salah satunya kebutuhan protein hewani. Praktikum ini merupakan suatu penjelasan secara
aplikatif dalam penerapan teknologi untuk membantu menganalisa berbagai jenis kandungan
dalam daging berbagai produk olahannya. Kemajuan pengetahuan dan teknologi yang
berkembang dalam masyarakat berdampak pula pada produk-produk daging. Berbagai jenis
olahan daging telah banyak beredar dalam masyarakat seperti bakso, sosis, daging asap dan
lain-lain.
Praktikum ini akan membahas berbagai pengujian untuk menentukan nilai dari uji pH
daging, uji Daya Mengikat Air (DMA), uji susut masak daging, dan hasil keempukan daging.
Setiap pengujian mengalami perlakuan yang berbeda- beda dalam percobaanya. Praktikan
pun harus mengamati dengan seksama perubahan yang terjadi pada setiap perlakuan tersebut.
Hal ini untuk menunjukkan hasil yang sesuai dan jelas, sehingga dapat sesuai dengan literatur
dan tujuan praktikum, serta menambah kemampuan praktikan dalam menganalisa sifat fisik
daging.
Tujuan
Menganalisa efek pengolahan daging terhadap kandungan dan kualitas protein secara
kualitatif.
TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Praktikum teknik pengolahan daging ini menganalisa pengolahan daging dan kualitas
proteinnya, oleh karena itu perlu standar prosedur penanganan dari Badan Standardisasi
Indonesia (SNI) dalam pengujiannya. Daging menurut SNI-01-3947-1995 adalah urat daging
yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang
berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Menurut
Gaman dan Sherrington (1992), daging merupakan bahan makanan berprotein yang berharga
serta sumber penting vitamin B (terutama asam nikotinat) dan zat besi. Komposisi daging
sangat bervariasi. Kadar lemak berkisar antara 10% sampai 50%. Kadar air berbanding
terbalik dengan kadar lemak, artinya daging dengan kadar lemak tinggi mempunyai kadar air
yang rendah. Selain itu, penggunaan daging gandik atau nama asingnya Silver Side yang
merupakan bagian paha belakang sapi paling luar dan paling dasar, berbentuk menyerupai
tabung, bulat, panjang dengan ujungnya melancip yang menyebabkan bakso mempunyai
kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak
terendah (Indarmono, 1987).

Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang
ditambahkan ke dalam adonan fisikokimia bakso sapi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gaman P.M, dan Sherrington, 1994, Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah
Mada University Press : Yogyakarta.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Daging. SNI 01-3947-1995. Jakarta : Badan
Standardisasi Nasional.
Susut Masak
Pendapat Soeparno (1994), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi
bervariasi antara 1,554,5% dengan kisaran 1540%. Daging bersusut masak rendah
mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar,
karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak
merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu
banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya ikat air (WHC) yang rendah akan
mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging.
Menurut Soeparno (1994) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik
daging (5,05,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.
pH
Menurut Forest et al. (1975), pH daging pada ternak hidup berkisar antara 6,8-7,2,
sedangkan menurut Buckle et al. (1987) pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4.
Pada beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat
tercapainya rigormortis. Rigor mortis atau kaku mayat adalah salah satu tanda fisik
kematian. Rigor Mortis dapat dikenali dari adanya kekakuan yang terjadi secara bertahap
sesuai dengan lamanya waktu pasca kematian hingga 24 jam setelahnya. Pada saat itu nilai
pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5-6,8, namun ada juga yang mengalami
penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,4-5,6. Peningkatan pH dapat terjadi akibat
pertumbuhan mikroorganisme. Nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi
asam
laktat
berhenti
berkisar
antara
5,1-6,2
(Buckle
et
al.,1987).
Nilai pH otot pascamerat akan menurun pada saat pembentukan asam laktat akan
menurunkan DMA dan akan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot yang bebas
meninggalkan searbut otot. Pada titik isolektrik protein myofibril, filamen myosin dan
filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen menjadi kecil.
Daya mengikat air akan menurun pada saat pemecahan dan habisnya ATP serta pada saat
terbentuknya rigormortis. Bouton et al. (1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan
bahwa daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun
dari pH tinggi sekitar 7 10 sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara
5,0 5,1. Pada pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif
sama
dengan
jumlah
muatan
negatif)
dan
solubilitasnya
minimal.

Daya mengikat Air


Daya ikat air oleh protein daging atau disebut dengan Water Holding Capacity
(WHC), didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara
spontan
dari
lingkungan
yang
mengandung
cairan
(water
absorption).
Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan
pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat
protein
daging
mengalami
denaturasi
(Wismer-Pedersen,
1971).
Otot-otot dengan proporsi ekstrem tinggi dalam mengikat air adalah firm (keras), mempunyai
struktur ketat, dan mempunyai tekstur kering atau lengket. Sebaliknya jaringan dengan
kemampuan mengikat air yang rendah adalah lunak (soft) mempunyai struktur yang terbuka
(renggang), dan teksturnya basah atau berbiji/berurat. Pemerataan air intraseluler pada kasus
yang pertama dan air ekstraseluler pada kasus yang terakhir menjelaskan perbedaanperbedaan ini yang berhubungan dengan kemampuan mengikat air.
Faktor-Faktor Penyebab Variasi Daya Ikat Air Oleh Protein Daging
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh
daging diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor
biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor
pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan
sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Penurunan daya mengikat air dapat diketahui
dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum
dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada
daging masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno,
2005).
Keempukan Daging
Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya
pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak
bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan
menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung
kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno,
1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau pencegahan
terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging, karena panjang sarkomer
miofibril meningkat. Penggantungan karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot
sehingga daging menjadi empuk. Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur
daging. Semakin halus teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).
MATERI DAN METODE
Materi
Praktikum uji analisis fisik ini meliputi beberapa indikator, diantaranya adalah
pengukuran pH, keempukan, susut masak dan daya mengikat air (DMA). Alat dan bahan

yang digunakan dalam uji pH adalah daging, pH meter, larutan Buffer 4 da 7, tissue dan
aquadest.
Pengujian keempukan alat yang digunakan adalah kompor, panci, air, termometer
bimetal, correr, dan warner blatzer. Pada pengujian susut masak alat yang digunakan adalah
timbangan digital, kompor, panci, air, termometer bimetal, sedangkan pengujian pengujian
daya mengikat air (DMA) alat yang digunakan adalah pisau, talenan, timbangan analitik,
kertas saring, corperpress, dan planimeter.
Prosedur
1) Pengukuran pH Daging
Alat pH meter daging (meat pH meter Hanna) dikalibrasi terlebih dahulu pada buffer
pH 7 dan 4, lalu tusukan pH meter pada sampel daging sebanyak tiga titik tusukan
membentuk segitiga. Besarnya pH daging akan muncul secara digital di layar pH meter
Hanna.
2) Daya Mengikat Air (DMA)
Pengujian daya mengikat air daging dilakukan dengan dipotongnya sampel kecil
hingga beratnya mencapai 0,3 gram, agar mendapatkan hasil yang akurat timbang potongan
daging pada timbangan analaitik. Daging 0,3 gram tersebut ditaruh di antar dua kertas saring
jenis whatman, lalu di press di alat corperpess hingga tekanan 35 kg/m2 selama 5 menit.
Setelah daging dalam tumpukan kertas saring sudah menjadi cetakan seperti lempengan ukur
luasan daging tersebut menggunakan planimeter. Ukur luas area basah daging dengan cara :
Luas Area Basah =

LD
100

Setelah mendapatkan luas area basah, ukur mgH2O

yang terkandung :
Luas areabasah (cm2) 8,0
mg H2O =
0,0948
Persen air bebas yang ada menunjukan daya mengikat air (DMA) dalam daging, menghitung
persen air bebas :
mg H 2O X 100
% air bebas =
300
3) Susut Masak Daging
Sampel daging yang tersedia ditimbang (berat awal) pada timbangan digital sebelum
direbus dalam air yang mendidih. Daging direbus hingga suhu dalam daging mencapai 81C.
Setelah mencapai suhu tersebut dinginkan daging dan timbang kembali pada timbang digital
(berat akhir). Susut masak daging didapatkan dari hasil hitung :
% Susut masak = Berat sebelum pemasakan Berat setelah pemasakan x 100
4) Keempukan Daging
Pengujian keempukan daging, dimulai dengan Sampel direbus sampai suhu dalamnya

mencapai 81C, Ditusukkan termometer bimetal pada sampel daging untuk mengukur suhu
internal daging, kemudian daging didinginkan. Dibuat 2-3 core daging. Uji setiap core
dengan menggunakan warner bratzler. Anak panah berwarna merah pada warner blatzer
diamati saat memotong daging, nilai yang tertera merupakan nilai dari keempukan daging.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Berikut ini adalah hasil praktikum pengujian Uji Daya Mengikat Air (DMA), Susut
Masak, dan Keempukan daging terhadap nilai pH pada kelompok G1. Penetapan nilai pH
daging disebabkan nilai perubahan ada yang tetap tinggi namun ada juga yang mengalami
penurunan. Peningkatan pH ini dapat terjadi akibat pertumbuhan mikroorganisme. Nilai pH
daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2
(Buckle et al.,1987). Penjelasan mengenai hasil lebih lanjut akan disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Uji daging terhadap pH pada Kelompok G1
Kelompok

pH

1
2
3
4
5
6

5,54
5,38
5,46
5,44
5,4
5,41

DMA
28,63%
38,16%
24,32%
22,96%
17,75%
17,97%

Uji
Susut Masak
42,05%
42,12%
43%
42,59%
44,36%
40,83%

Keempukan
3,5
4
4,87
3,83
3,1
6,4

Pembahasan
Hasil yang diperoleh dari tabel 1 menunjukkan bahwa nilai pH yang paling tinggi
diperoleh oleh kelompok 1 dengan nilai pH 5,54. Peningkatan pH ini dapat terjadi akibat
pertumbuhan mikroorganisme. Sedangkan, nilai pH yang paling rendah adalah kelompok 2,
yaitu 5,38. Pada beberapa ternak, penurunan pH dapat terjadi satu jam setelah ternak
dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis. Hasil ini sesuai dengan literatur, nilai pH
daging sapi setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2
(Buckle et al.,1987). Saat nilai pH meningkat, nilai Daya Mengikat Air (DMA) akan
bertambah, seiring dengan pertambahan nilai pH. Hal ini merupakan korelasi saat
pembentukan asam laktat yang berasosiasi dengan protein otot bebas yang meninggalkan
serabut otot (Bouton et al., 1971). Selain itu, daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi
oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sampai pada pH titik isoelektrik proteinprotein daging di kisaran nilai pH 5 (Wismer-Pedersen, 1971). Hal ini dapat terlihat pada
kelompok 1, kelompok 3, kelompok 4, kelompok 5 dan 6. Hasil yang diperoleh dari setiap

kelompok tersebut menunjukkan nilai yang sesuai dengan literatur bahwa setiap nilai
pertambahan pH akan meningkatkan DMA.
Pengujian selanjutnya, mengenai uji susut masak daging. Umumnya nilai susut masak
daging sapi bervariasi antara 1,554,5% dengan kisaran 1540%. Daging bersusut masak
rendah mempunyai kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak
besar, karena resiko kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak
merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu
banyaknya air yang terikat didalam dan di antara otot. Daya Mengikat Air (DMA) yang
rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang tinggi. DMA sangat dipengaruhi oleh
nilai pH daging (Soeparno, 1994). Hal ini dapat dibuktikan pada tabel 1, melalui
perbandingan antara kelompok 5 dan 6. Pada kelompok 5 nilai pH 5,4 dengan DMA 17,75%
dan nilai susut masak 44,36%. Sedangkan pada kelompok 6, nilai pH 5,41 dengan DMA
17,97% dan nilai susut masak 40,83%.
Pengujian terakhir mengenai hasil keempukan daging. Penyebab utama kealotan
daging adalah karena terjadinya pemendekan otot pada saat proses rigormortis, sebagai akibat
dari ternak yang terlalu banyak bergerak pada saat pemotongan (Lawrie, 1995). Menurut
Soeparno (1994), peregangan otot atau pencegahan terhadap pengerutan otot akan
meningkatkan keempukan daging, karena panjang sarkomer miofibril meningkat.
Penggantungan karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot sehingga daging menjadi
empuk. Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur daging. Semakin halus
teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005). Berdasarkan tabel dan literatur
yang diperoleh, nilai dari keempukan tergantung dari pH, yaitu peningkatan pH dapat
meningkatkan keempukan daging. Contohnya, nilai pH pada kelompok 2, 3, 4, dan 5
meningkat dan diimbangi dengan keempukan daging 3,5 yang sesuai.
KESIMPULAN
Nilai dari pH sangat mempengaruhi hasil pengujian daging, mulai dari uji Daya
Mengikat Air (DMA), susut masak daging, dan keempukan. Hal ini dapat disebabkan karena
nilai dari suatu pH merupakan indikator dari pertumbuhan mikroorganisme, semakin tinggi
nilai pH pada suatu daging, maka semakin banyak jumlah mikroorganisme yang
dikandungnya. Contohnya daya ikat air oleh protein daging dipengaruhi oleh pH, karena
mikroorganisme membutuhkan berbagai nutrien untuk mempertahankan hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1972. The effects of cooking temperature and time on
some mechanical properties of meat. J. Food Sci. 97: 140-144.
Buckle, K.A., R.A. Edwards,G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan:
Hari
Purnomo
Adiono.
UI
Press:
Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan


dan
Gizi.
Institut
Pertanian
Bogor.
Bogor.
Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A Merkel. 1975. Principles of
Meat
Science.
Freeman,
London.
Lawrie, R.A. 1998. Lawries Meat Science. 6th Edition. Woodhead Publishing Ltd.,
Cambridge.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gajah Mada University
Press,
Yogyakarta.
Wismer-Pedersen, J. 1971. Pada The Science of Meat and Meat Products. 2nd Ed. J.F. Price
and B.S. Schweigert, W.H. Frreeman and Co., San Fransisco.

Anda mungkin juga menyukai