Anda di halaman 1dari 9

KASUS HUKUM TERORIS BERKAITAN DENGAN

SOSIOLOGI HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A.
Latar
Belakang
Masalah
Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling mendasar bagi seluruh manusia. Hak
untuk hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat tidak dapat di tawar lagi (non
derogable rights).1 Artinya, hak ini mutlak harus di miliki setiap orang, karena tanpa adanya hak
hidup, maka tidak ada lagi hak-hak asasi lainnya. Hak tersebut juga menandakan setiap orang
memiliki hak untuk hidup dan tidak ada lagi orang lain yang berhak untuk mengambil hak hidup
orang lain. Dalam hal ini terdapat beberapa pengecualian seperti untuk tujuan penegakan hukum,
sebagaimana yang di atur dalam Article Eropean Convention On Human Rights yang
menyatakan: Protection the right of every person to their life. The article contains exceptions for
the cases of lawful executions, and deaths as result of the use of force which is no more than
absolutely necessary in defending ones self or others, arresting a suspect or fugitive, and
supressing
riots
or
insurections.2
Pengecualian terhadap penghilangan hak hidup tidak mencakup pada penghilangan hak hidup
seseorang oleh orang lainnya tanpa ada alas hak yang mendasar ketentuan perundang-undangan
yang berlaku. Salah satu contoh penghilangan hak hidup tanpa alas hak adalah pembunuhan
melalui aksi teror. Aksi teror jelas melecehkan nilai kemanusian, martabat, dan norma agama.
Teror juga telah menunjukkan gerakannya sebagai tragedi hak asasi manusia.3
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah
satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan
kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian
dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara
berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.4
Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan bangsa Indonesia yang termaktub dalam UndangUndang Dasar 1945 yaitu, Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia.5
Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban untuk melindungi harkat dan
martabat manusia. Demikian pula dalam hal perlindungan warga negara dari tindakan terorisme.
Salah satu bentuk perlindungan negara terhadap warganya dari tindakan atau aksi terorisme
adalah melalui penegakan hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum
yang sesuai. Upaya ini diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Pembuatan Undang-undang ini agar membuat pelaku teror ini menjadi jera dan mendapatkan

hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya tentunya sesuai dengan undang-undang dan
peraturan yang berlaku. Agama Islam jelas mengajarkan moderasi. Dalam Islam juga diajarkan,
Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan, mengajarkan rahmat dan
salam, bukan teror dan perang. Maka dari itu Islam sangat mendukung tindakan pemerintah
Negara Republik Indonesia yang menginstruksikan kepada Polri dan TNI untuk meningkatkan
keseriusan dalam upaya menumpas para teroris tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan pada latar belakang penulisan ini, maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Mengapa kasus hukum berkenaan teroris dapat muncul di Indonesia ?
2. Bagaimana kasus hukum berkenaan dengan teroris dilihat dari aspek sosiologi hukum ?
3. Untuk mengetahui upaya apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi kasus hukum teroris
di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mengapa kasus hukum berkenaan teroris dapat muncul di Indonesia ?
2. Untuk mengetahui bagaimana kasus hukum berkenaan dengan teroris dilihat dari aspek
sosiologi hukum ?
3. Untuk mengetahui upaya apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi kasus hukum teroris
di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN
Sosiologi hukum yang dikemukakan oleh Soejono Soekanto adalah suatu cabang ilmu
pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal
balik antara hukum dan gejala sosial lainnya.6 Kemudian menurut Satjipto Raharjo, Sosiologi
hukum adalah pengetahuan hukum terhadap pola prilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.7
Bahkan R. Otje Salman mengemukakan bahwa sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari
hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya secara empiris dan analitis.8
Berdasarkan pengertian diatas, penulis berpendapat bahwa segala aktivitas sosial manusia yang
dilihat
dari
aspek
hukumnya
disebut
sosiologi
hukum.9
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum itu dalam masyarakat. Fungsi
hukum dimaksud, dapat diamati dari beberapa sudut pandang , yaitu : 1) Fungsi hukum sebagai
sosial kontrol didalam masyarakat; 2) Fungsi hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat;
3) Fungsi hukum sebagai simbol pengetahuan, 4) Fungsi hukum sebagai instrumen politik; 5)
Fungsi
hukum
sebagai
alat
integrasi.
Fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis dari kehidupan sosial masyarakat
atau dapat disebut pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya
seperti larangan-larangan, perintah-perintah, pemidanaan dan ganti rugi. Sebagai alat pengendali
sosial, hukum dianggap berfungsi untuk menetapkan tingkah laku yang baik dan tidak baik atau
perilaku yang menyimpang dari hukum dan sanksi hukum terhadap orang yang mempunyai

perilaku
yang
tidak
baik,
seperti
halnya
pada
kasus
hukum
teroris.
Terorisme adalah strategi untuk mencapai suatu tujuan dengan menggunakan cara kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah, penguasa dan rakyat dengan menimbulkan rasa
takut. Strategi ini digunakan oleh kelompok yang hanya memperoleh dukungan cara ini.
Berbagai tujuan terorisme yaitu menarik perhatian dunia, mengacaukan stabilitas pemerintahan,
mendukung revolusi, dan balas dendam. Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar
biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan
cara-cara
luar
biasa
(Extraordinary
Measure)karena
berbagai
hal:
10
a. Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger)
terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan
hak
asasi
untuk
bebas
dari
rasa
takut.
b. Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orangorang
tidak
bersalah.
c. Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan memanfaatkan
teknologi
modern.
d. Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional dengan
organisasi
internasional.
e. Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi
baikyang
bersifat
nasional
maupun
transnasional.
f.
Dapat
membahayakan
perdamaian
dan
keamanan
internasional.
Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara. Kejahatan yang terjadi di
dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim
termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita dalam
perkembangannya kemudian dapat menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu
hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam menangani kasuskasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas teritorial.11 Kejahatan terorisme
menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas batas negara yang sangat mengancam
ketentraman
dan
perdamaian
dunia.
Berikut adalah beberapa kejadian terorisme yang telah terjadi di Indonesia dan instansi Indonesia
di
luar
negeri
yaitu
sebagai
berikut
:12
1. Tahun 1981, Garuda Indonesia Penerbangan 206, 28 Maret 1981. Sebuah penerbangan
maskapai Garuda Indonesia dari Palembang ke Medan pada Penerbangan dengan pesawat DC-9
Woyla berangkat dari Jakarta pada pukul 8 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke
Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut
dibajak oleh 5 orang teroris yang menyamar sebagai penumpang. Mereka bersenjata senapan
mesin dan granat, dan mengaku sebagai anggota Komando Jihad; 1 kru pesawat tewas; 1 tentara
komando
tewas;
3
teroris
tewas.
2. Tahun 1985, Bom Candi Borobudur 1985, 21 Januari 1985. Peristiwa terorisme ini adalah
peristiwa
terorisme
bermotif
jihad
kedua
yang
menimpa
Indonesia.
3. Tahun 2000, Bom Kedubes Filipina, 1 Agustus 2000. Bom meledak dari sebuah mobil yang
diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21
orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
4. Tahun 2000, Bom Kedubes Malaysia, 27 Agustus 2000. Granat meledak di kompleks
Kedutaan Besar Malaysia di Kuningan, Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
5. Bom Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung
Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak

ringan.
6. Bom malam Natal, 24 Desember 2000. Serangkaian ledakan bom pada malam Natal di
beberapa kota di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta
mengakibatkan
37
mobil
rusak.
7. Tahun 2001, Bom Gereja Santa Anna dan HKBP, 22 Juli 2001. di Kawasan Kalimalang,
Jakarta
Timur,
5
orang
tewas.
8. Bom Plaza Atrium Senen Jakarta, 23 September 2001. Bom meledak di kawasan Plaza
Atrium,
Senen,
Jakarta.
6
orang
cedera.
9. Bom restoran KFC, Makassar, 12 Oktober 2001. Ledakan bom mengakibatkan kaca, langitlangit, dan neon sign KFC pecah. Tidak ada korban jiwa. Sebuah bom lainnya yang dipasang di
kantor
MLC
Life
cabang
Makassar
tidak
meledak.
10. Bom sekolah Australia, Jakarta, 6 November 2001. Bom rakitan meledak di halaman
Australian
International
School
(AIS),
Pejaten,
Jakarta.
11. Tahun 2002, Bom Tahun Baru, 1 Januari 2002. Granat manggis meledak di depan rumah
makan ayam Bulungan, Jakarta. Satu orang tewas dan seorang lainnya luka-luka. Di Palu,
Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja. Tidak ada korban jiwa.
12. Bom Bali, 12 Oktober 2002. Tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas
warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan, di Manado,
Sulawesi Utara, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.
13. Bom restoran McDonalds, Makassar, 5 Desember 2002. Bom rakitan yang dibungkus wadah
pelat baja meledak di restoran McDonalds Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.
14. Tahun 2003, Bom Kompleks Mabes Polri, Jakarta, 3 Februari 2003, Bom rakitan meledak di
lobi Wisma Bhayangkari, Mabes Polri Jakarta. Tidak ada korban jiwa.
15. Bom Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, 27 April 2003. Bom meledak dii area publik di
terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat
dan
8
lainnya
luka
sedang
dan
ringan.
16. Bom JW Marriott, 5 Agustus 2003. Bom menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott.
Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.
17. Tahun 2004, Bom Palopo, 10 Januari 2004. Menewaskan empat orang. (BBC).
18. Bom Kedubes Australia, 9 September 2004. Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar
Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan
beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI. (Lihat
pula:
Bom
Kedubes
Indonesia,
Paris
2004)
19. Ledakan bom di Gereja Immanuel, Palu, Sulawesi Tengah pada 12 Desember 2004.
20. Tahun 2005, Dua Bom meledak di Ambon pada 21 Maret 2005
21.
Bom
Tentena,
28
Mei
2005.
22
orang
tewas.
22. Bom Pamulang, Tangerang, 8 Juni 2005. Bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan
Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat.
Tidak
ada
korban
jiwa.
23. Bom Bali, 1 Oktober 2005. Bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang
tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJAs Bar dan Restaurant, Kuta
Square,
daerah
Pantai
Kuta
dan
di
Nyoman
Caf
Jimbaran.
24. Bom Pasar Palu, 31 Desember 2005. Bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah
yang
menewaskan
8
orang
dan
melukai
sedikitnya
45
orang.
25. Tahun 2009, Bom Jakarta, 17 Juli 2009. Dua ledakan dahsyat terjadi di Hotel JW Marriott
dan Ritz-Carlton, Jakarta. Ledakan terjadi hampir bersamaan, sekitar pukul 07.50 WIB.

26.
Tahun
2010,
Penembakan
warga
sipil
di
Aceh
Januari
2010
27.
Perampokan
bank
CIMB
Niaga
September
2010
Terorisme adalah musuh bersama bangsa Indonesia, musuh kemanusiaan, musuh rakyat
Indonesia dan musuh dunia. Ada 2 alasan penting mengapa terorisme menjadi musuh bersama
bangsa
Indonesia
,
yakni
:
1. Demokrasi dan kebebasan politik tidak lengkap jika tidak merasa aman. Padahal gerakan
reformasi bertujuan membuat kita semua merasa lebih aman di rumah sendiri dan lebih nyaman
dalam kehidupan bernegara. Kita semua mengambil tanggung jawab memerangi terorisme yang
ingin
mengambil
rasa
aman.
2. Terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk gerakan yang terorganisasi.
Dewasa ini terorisme mempunyai jaringan yang luas dan bersifat global yang mengancam
perdamaian
dan
keamanan
nasional
maupun
internasional.
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extra Ordinary crime) yang membutuhkan pula
penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extra Ordinary Measure).13
Sehubungan dengan hal tersebut Muladi mengemukakan : Setiap usaha untuk mengatasi
terorisme, sekalipun dikatakan bersifat domestik karena karakteristiknya mengandung
elemenEtno Socio or Religios Identity, dalam mengatasinya mau tidak mau harus
mempertimbangkan standar-standar keluarbiasaan tersebut dengan mengingat majunya teknologi
komunikasi, informatika dan transportasi modern. Dengan demikian tidaklah mengejutkan
apabila terjadi identitas terorisme lintas batas negara (transborder terorism identity). Sejalan
dengan itu Romly Atmasasmita mengatakan bahwa dari latar belakang sosiologis, terorisme
merupakan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat baik nasional maupun internasional,
bahkan sekaligus merupakan perkosaan terhadap hak asasi manusia. Masyarakat Indonesia yang
bersifat multietnik dan multi agama, terdiri dari ratusan suku pulau dan terletak di antara dua
benua (Asia dan Australia) merupakan sasaran yang sangat srategis kegiatan terorisme. Dalam
menghadapi
terorisme
di
Indonesia
Romly
Atmasasmita
mengemukakan : . dengan mempertimbangkan latar belakang filosofis, sosiologis dan yuridis
diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang memiliki visi dan misi serta terkandung
prinsip-prinsip hukum yang memadai sehingga dapat dijadikan penguat bagi landasan hukum
bekerjanya sistem peradilan pidana di mulai dari tingkat penyidikan sampai pada pemeriksaan di
sidang
pengadilan.
Undang-undang
tersebut
harus
dapat
mencerminkan
nilai-nilai yang berkembang dan diperlukan masyarakat dan bangsa Indonesia baik pada masa
kini maupun pada masa mendatang, dan sekaligus juga dapat mencerminkan nilai-nilai yang
berlaku
universal
dan
diakui
masyarakat
internasional.14
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah
antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan pada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang
karena: Pertama, masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dengan beragam agama
resmi yang diakui pemerintah dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah
nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan negara lain. Kedua, dengan karakteristik
masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara
dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak
pidana terorisme yang bersifat internasional. Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini
sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban
dan dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat
internasional baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh
orang asing. Dari ketiga alasan tersebut merupakan penyebab utama munculnya kasus hukum

teroris di Indonesia. 15 Usaha pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan
tersebut di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi
peradaban umat manusia dan memiliki cita perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta
memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan
dunia.
Didalam setiap masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan sosial (social forces ) yang dapat
berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan dimaksud dapat bersifat baik dan
tidak baik bagi masyarakat.16 Bagi hukum, Kasus teroris ini sangat penting untuk diperhatikan,
karena kasus ini menggunakan kekuatan sosial yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
Kekuatan sosial yang mendukung aksi terorisme ini yaitu kekuatan uang dan kekuatan teknologi
baru. Kedua kekuatan ini saling berpengaruh satu sama lain. Dengan kekuatan uang, dapat
mendukung
kekuatan
teknologi,
demikian
pula
sebaliknya.
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia bukan merupakan masalah hukum dan
penegakan hukum semata karena juga terkait masalah sosial kenegaraan, budaya, ekonomi dan
juga keterkaitannya dengan pertahanan negara terdapat banyak cara atau upaya yang dapat
dilakukan oleh masyarakat maupun negara untuk melakukan pemberantasan terorisme dan
penaggulangan terhadap kejahatan lainnya. Namun usaha tersebut tidak dapat menghapuskan
secara tuntas kejahatan yang ada, mungkin hanya dapat mengurangi kuantitasnya.
Salah satu cara menanggulangi terorisme adalah dengan menggunakan hukum pidana (Penal
Policy). Menurut Marc Ancel, Penal Policy didefinisikan sebagaisuatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik yang dimaksud dengan peraturan hukum positif adalah peraturan
perundang-undangan pidana. Dengan demikian istilah penal policy menurut Marc Ancel
adalah sama dengan istilah kebijakan atau politik hukum pidana. 17 Menurut Sudarto kebijakan
hukum pidana mengandung arti bagaimana Mengusahakan atau merumuskan suatu peraturan
perundang-undangan yang baik yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan
untuk masa yang akan datang.18 Pemberantasan tindak pidana terorisme dari segi pengaturan
hukum internasional terdapat tiga konvensi pokok yang berkaitan dengan terorisme, yaitu:19
1. International Convention and Suppression of Terorism 1937 (Konvensi tentang Penegakan dan
Pemberantasan
Terorisme);
2. International Convention For the Suppression of Terrorist Bombing 1997 (Konvensi
Internasional tentang Pemberantasan Pengeboman oleh Terorisme) disahkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 Tanggal 5 April 2006;
3. International Convention For the Suppression of Financing of Terorism 1999 (Konvensi
International Tentang Pemberantasan Pendanaan untuk Terorisme) disahkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dengan Undang undang Nomor 6 Tahun 2006 Tanggal 5 April 2006.
Indonesia pada saat ini sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme
sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Pembuat undang-undang menempatkan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 ini sebagai peraturan payung dan bersifat koordinatif yang
berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya
yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. Pembentukan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan
kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehati-hatian

dan bersifat jangka panjang, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi etnik dan
mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, letaknya ada yang
berbatasan dengan negara lain dan oleh karenanya seluruh komponen bangsa Indonesia
berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan akan adanya segala bentuk kegiatan
tindak pidana terorisme, disamping itu konflik yang sering terjadi di berbagai daerah di
Indonesia berakibat sangat merugikan kehidupan bangsa Indonesia yang menyebabkan
kemunduran peradaban yang pada akhirnya akan dapat menjadi tempat subur berkembangnya
terorisme baik yang dilakukan orang Indonesia sendiri maupun orang asing. Materi UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari 47 (empat puluh tujuh) pasal yang antara lain
mengatur masalah ketentuan umum, lingkup berlakunya, kualifikasi tindak pidana terorisme,
tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme di sidang pengadilan, kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi serta kerjasama internasional. Ditinjau dari optik yuridis, Undang-Undang Nomor 15
Tahun
2003
mempunyai
kekhususan
meliputi
:20
1. Sebagai ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana terorisme juga bersifat ketentuan khusus yang diperkuat
sanksi pidana dan sekaligus koordinatif dan berfungsi memperkuat ketentuan peraturan
perundangundangan;
2. Adanya perlindungan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa yang disebutsafe guarding
rules
3. Adanya pengecualian bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik
atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga
pemberantasannya dalam wadah kerja sama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara
lebih
efektif;
4. Ketentuan undang-undang ini memberi kemungkinan Presiden membentuk satuan tugas anti
teror dengan berlandaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sun shine principle) dan
atau
prinsip
pembatasan
waktu
efektif
(sunset
principle).
5. Adanya kualifikasi bahwa pendanaan untuk kegiatan terorisme sebagai tindak pidana
terorisme;
6. Dikenal, diakui dan dipertahankannya ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk
memperkuat fungsi penjeraan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Adapun jumlah
minimum khusus dan maksimum khusus yang diancamkan adalah : Minimum khusus terhadap
pidana penjara bervariasi meliputi 2 (dua) tahun, 3 (tiga) tahun dan 4 (empat) tahun.
Maksimum khusus terhadap pidana penjara bervariasi meliputi 7 (tujuh) tahun, 15 (lima belas)
tahun, 20 (dua puluh) tahun dan pidana seumur hidup. Maksimum 20 (dua puluh) tahun
digunakan sebagai ancaman maksimum untuk delik pokok yang berdiri sendiri, tetapi selalu
dirumuskan sebagai alternatif dari pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
Penyebab utama munculnya kasus hukum teroris di Indonesia yakni : Pertama, masyarakat
Indonesia adalah masyarakat multi etnik dengan beragam agama resmi yang diakui pemerintah
dan mendiami ratusan ribu pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang
letaknya berbatasan dengan negara lain. Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia
tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan
kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak pidana terorisme yang
bersifat internasional. Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan
kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan
tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional baik yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing.
Di tinjau dari aspek sosiologi bahwa didalam setiap masyarakat terdapat kekuatan-kekuatan
sosial (social forces ) yang dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Tujuan
dimaksud dapat bersifat baik dan tidak baik bagi masyarakat. Bagi hukum, Kasus teroris ini
sangat penting untuk diperhatikan, karena kasus ini menggunakan kekuatan sosial yang dapat
merugikan negara dan masyarakat. Kekuatan sosial yang mendukung aksi terorisme ini yaitu
kekuatan uang dan kekuatan teknologi baru. Kedua kekuatan ini saling berpengaruh satu sama
lain. Dengan kekuatan uang, dapat mendukung kekuatan teknologi, demikian pula sebaliknya.
Salah satu cara menanggulangi terorisme adalah dengan menggunakan hukum pidana (Penal
Policy). Menurut Sudarto kebijakan hukum pidana mengandung arti bagaimana Mengusahakan
atau merumuskan suatu peraturan perundang-undangan yang baik yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang, diantaranya dengan dibuatnya
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Pembuat undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini sebagai
peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di
dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak
pidana terorisme. Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang
bersifat proaktif yang di landaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang.
B.SARAN
1. Peran serta masyarakat hendaknya dimasukkan di dalam Rencana PerubahanUndang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003, hal ini mengingat sulitnya upaya mendeteksi kejahatan terorisme dan di
dalam kenyataannya pihak Kepolisian memasang gambar-gambar atau foto tokoh-tokoh teroris
yang
dicari
dengan
meminta
bantuan
masyarakat.
2. Kerjasama Internasional dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

terorisme, yang dilakukan pemerintah dengan negara lain baik di bidang intelijen, kerjasama
teknis maupun aparat kepolisian yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, hendaknya
dijelaskan dan diatur dengan terbuka sehingga masyarakat dapat mengetahui dan tidak
menimbulkan rasa curiga adanya campur tangan pihak asing terhadap aparat hukum Negara
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin . Sosiologi hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Ali,Zainudin . Sosiologi Hukum. Jakarta : Sinar grafika, 2005.
Atmasasmita , Romli. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung : PT Rafika Aditama,
2000.
Atmasasmita , Romly. Kasus Terorisme Di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Materi Seminar Penanganan
Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus. Jakarta: 28 Juni 2004.
Barda Nawawi Arief, Loc Cit.
Eropen convention on Humanright, http//en.wikipedia.org/Eropean Convention on Human
RightFiles ( 26 Desember 2006 )
Ibid, hlm 1
Ibid,hlm 2.
Muladi. Penanganan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus (Extra Ordinary Crime), Materi
Seminar di Hotel Ambara. Jakarta, 28 Juni 2004.
Muladi. Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus, bahan seminar Pengamanan
Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus. Jakarta: 28 Januari 2004.
Mulyadi, Lilik. Peradilan Bom Bali Perkara Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron dan Ali Imron
alias Alik. Jakarta : Penerbit Jambatan, 2007.
RepublikI ndonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Alinea ke-4.
Republik Indonesia, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme UU No 1 Tahun
2002, Paragraf dua. (a).
Republik Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penjelasan
Umum Peraturan Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 .
Salman, R. Otje . Sosiologi hukum : Suatu Pengantar. Bandung : Armico, 1992.
Soeharto. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Dalam Tindak Pidana Terorisme.
Bandung : PT. Refika Media Aditama, 2007.
Sriyanto dan Desiree Zuraida. Modul Instrumen HAM Nasional Hak untuk hidup, hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan serta hak mengembangkan diri. Jakarta : Departemen
Hukum dan HAM RI, direktur Jenderal Perlindungan HAM, 2001.
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung : Alumni, 1981.
Sumantri, Suryadi. Teroris di Indonesia dan instansi Indonesia di luar negeri. Jakarta : Kompas,
( 08 Oktober 2005 ).
Sunardi , Abdul Wahid dan Mohammad Imam Sidik, Kejahatan terorisme perspektif Agama,
HAM dan Hukum . Bandung : PT Refika Aditama, 2004 .
Tentang iklan-iklan ini

Anda mungkin juga menyukai