Download-fullpapers-Artikel Jurnal - Angga Pradana 070517608 (C)
Download-fullpapers-Artikel Jurnal - Angga Pradana 070517608 (C)
logis dan rasional. Sebaliknya, malah lebih banyak menghadirkan ilusi, anganangan, fantasi, khayalan sehingga tidak akan meningkatkan kecerdasan anak.
Namun, tidak semua tayangan televisi dapat merusak perkembangan jiwa anak,
masih banyak tayangan televisi yang mendidik anak, di antaranya adalah kuis-kuis
cerdas cermat atau tayangan-tayangan di TVeducation.
Program1 televisi untuk anak-anak adalah program yang khusus dibuat
untuk anak-anak, baik dalam bentuk sandiwara anak, kartun, tarian dan lagu anak,
permainan anak, dongeng, boneka, majalah udara, dan sebagainya. Salah satu
program acara anak-anak yang banyak ditayangkan oleh televisi adalah film
kartun.
Tokoh Crayon Shinchan sendiri adalah tokoh yang anti sosial, cenderung
melawan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang anak. Film kartun yang
seharusnya untuk konsumsi anak usia 15 tahun ke atas, telah bergeser menjadi
tontonan segala usia termasuk juga anak-anak di bawah usia tersebut.
Penayangan film kartun Crayon ShinChan dengan karakter anak yang lucu
tersebut menghadirkan opini pro dan kontra, di mana sebagian mendukung
kelucuan Shinchan, dan sebagian lainnya mengkritisi karakter negatif dalam tokoh
ShinChan.2.
Melihat fenomena tersebut maka dalam penelitian ini akan dianalisa
mengenai pengaruh tayangan Crayon Shinchan terhadap perilaku anak dan
orang tua. Pemilihan tayangan Crayon Shincan adalah karena Crayon Shincan
merupakan tayangan yang banyak menuai protes, terutama dari para orang tua dan
para pemerhati anak, namun di sisi lain tayangan ini juga merupakan tayangan
yang banyak digemari oleh anak-anak, seperti yang dikemukakan oleh Murdjadi
Ichsan, Humas RCTI , tayangan ini memiliki rating yang cukup tinggi, yaitu
dengan rating 9 hingga 11. Hal tersebut berarti bahwa Crayon Shincan
disaksikan oleh sembilan hingga sebelas persen dari setiap 100 penonton
1
Program anak itu sendiri terdiri atas beragam format, seperti berita, kuis, variety show, film
kartun, sinetron, tayangan olahraga, musik, dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan oleh
Goonasekera (dalam Sunarto, 2009:96)
2
Sebagaimana disebutkan oleh Solihin (2002:55) bahwa apapun alasannya, Crayon ShinChan
membahayakan perkembangan kepribadian anak-anak. Tokoh Shinchan digambarkan sebagai
sosok anak Taman Kanak-kanak yang nakal, bandel, juga porno.
Selain berlandaskan fenomena di atas, penelitian ini juga dilandasi oleh beberapa
penelitian terdahulu, yang menyatakan bahwa tayangan film kartun Crayon
Shincan memilki pengaruh yang signifikan terhadap pribadi anak-anak yang
menontonnya. Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah penelitian yang
dilakukan oleh3. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa fungsi hiburan dari film
kartun tersebut telah bergeser mempengaruhi affektif anak-anak, sehingga timbul
rasa tertarik dan kemudian timbul rasa ingin memiliki dan menirukan tokoh dalam
film kartun tersebut, yaitu Crayon Shinchan, dan ketertarikan anak pada tokoh
tersebut mampu mengalahkan tingkat ketertarikan anak pada produk yang
diiklankan di sela-sela tayangan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah, untuk mengetahui apa saja karakter penonton
tayangan film kartun Crayon Shinchan. Serta untuk mengetahui bagaimana
pengaruh tayangan film kartun Crayon ShinChan terhadap perilaku siswa SD
Yayasan Wisma Semen Gresik kepada orang tua. Manfaat dari penelitian ini untuk
memberikan data awal mengenai ada tidaknya pengaruh film kartun Crayon
ShinChan pada perilaku atau interaksi antara anak dengan orang tuanya.
Televisi dan Anak-Anak
Televisi dan anak-anak merupakan fenomena hidup yang melanda seluruh
dunia. Mereka merupakan salah satu konsumen media teleivisi yang populasinya
besar sekali. Sebagai komunitas yang berjumlah besar dan heterogen, anak-anak
patut mendapat perhatian serius.
Pada umumnya anak-anak senang sekali menonton film-film yang
menampilkan aksi atau film-film yang menampilkan gerakan-gerakan cepat
disertai efek suara yang dahsyat. Itulah sebabnya mereka senang sekali menonton
film-film kartun yang banyak menampilkan gerakan-gerakan spektakuler.4
Untuk menjangkau segmen penonton yang luas, semua penyelanggara
siaran televisi tampaknya saling bersaing mencoba merancang berbagai program
siaran yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak. Pertimbangan sosialnya adalah
komunitas anak-anak juga berhak mendapatkan hiburan atau informasi
3
Listia Natadjaja (2002), dengan judul Pengaruh Iklan untuk Anak Dibandingkan dengan film
kartun televisi terhadap Affektif Anak.
4
Hal ini seringkali memicu perilaku agresif anak-anak (Huston, dalam Surbakti, 2008:43
bagi pemirsa, karena melalui media televisi, pemirsa akan mengalami proses
belajar. Berdasarkan taksonominya, belajar adalah belajar untuk mengetahui
(learning how to know), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do),
belajar untuk belajar (learning how to learn), belajar untuk memecahkan masalah
(learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to
live together), dan yang paling esensial adalah belajar untuk kemajuan kehidupan
diri dan lingkungannya (learning to be) (FIP-UPI, 2007:18).
Semiawan (2008:23) menyatakan bahwa dalam sistem pendidikan, selain
sebagai media belajar, televisi juga sebagai media hiburan yang programnya tidak
selalu bersifat mendidik, karena program siarnya yang kurang bermutu. Oleh
karena itu, dengan semakin banyaknya stasiun televisi dewasa ini, maka setiap
stasiun televisi akan bersaing untuk memberikan yang terbaik dan menarik bagi
pemirsa melalui penayangan program tayangan yang bervariasi. Beberapa
program tersebut meliputi, infotainment, sport, berita, reality show, variety show,
dan lain-lain.
1. Konflik, yaitu adanya benturan kepentingan atau benturan karakter di antara
tokoh yang terlibat. Dalam hal ini, konflik bukan hanya harus ada dalam
program tayangan film atau drama, tetapi hampir setiap program harus
menyertakan elemen ini. Seorang programmer harus memiliki tujuan untuk
membangun acara yang menyediakan adanya benturan atau konflik. Dalam
program yang
berformat
berita,
pengelola
dituntut
untuk
berusaha
pemirsa. Dengan demikian ide cerita yang dibangun harus diiringi dengan
inovasi dan kebaruan cerita.
3. Kesukaan, yaitu kesukaan pemirsa terhadap pembawa acara atau bintang tamu
yang hadir dalam suatu program ikut menentukan keberhasilan program.
PEMBAHASAN
Bagian ini menyampaikan gambaran tentang profil responden yang terdiri
atas usia responden, kelas responden, dan jenis kelamin responden.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Usia Responden
Usia Responden
9 tahun
10 tahun
11 tahun
Jumlah
Jumlah (anak)
35
39
29
103
Persentase (%)
34,0
37,9
28,2
100,0
Jumlah (anak)
36
40
27
103
Persentase (%)
35,0
38,8
26,2
100,0
Jumlah (anak)
31
60
12
103
Persentase (%)
30,1
58,3
11,7
100,0
Hal ini, didukung oleh pendapat Yoici Nishimoto (dalam Natadjaja, 2002) bahwa proses belajar
dan mengajar dengan menggunakan sarana audio visual mampu meningkatkan efisiensi
pengajaran 20%-50%. Pengalaman itu dapat menambah pengetahuan, karena pengetahuan
manusia 75% didapatkan melalui indera pengelihatan dan 25% didapatkan dengan indera
pendengaran.
itu sendiri adalah belajar untuk mengetahui (learning how to know), belajar untuk
mengerjakan sesuatu (learning how to do), dan belajar untuk belajar (learning
how to learn) (FIP-UPI, 2007:18). Dengan demikian, melalui melihat tayangan
film kartun Crayon ShinChan, anak-anak akan belajar untuk melakukan sesuatu
sebagaimana yang ditayangkan dalam film kartun Crayon ShinChan.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Perasaan Responden jika Ucapan atau
Perbuatan Responden Membuat Orangtua Jengkel
Jenis Kelamin Responden
Jumlah (anak) Persentase (%)
Sangat menyesal
64
62,1
Menyesal
14
13,6
Biasa saja
15
14,6
Senang
9
8,7
Sangat senang
1
1,0
Jumlah
103
100,0
Tabel 6 menunjukkan bahwa mayoritas responden yang menonton film
kartun Crayon ShinChan sangat menyesal jika ucapan atau perbuatan responden
membuat orangtua merasa jengkel, yaitu sebanyak 62,1%. Artinya, mayoritas
anak-anak Sekolah Dasar merasa sangat menyesal dan tidak ingin mengulangi
ucapan atau perbuatan yang membuat orangtua menjadi jengkel. Hasil di atas
menunjukkan
bahwa
meskipun
anak-anak
melakukan
tindakan
yang
Laki-laki
Perempuan
Usia
9 tahun
10 tahun
11 tahun
Total
Frekuensi menonton
Durasi menonton
Atensi menonton
Frekuensi menonton
Durasi menonton
Atensi menonton
0,502
0,456
0,438
0,481
0,476
0,467
0,005
0,030
0,004
0,077
0,084
0,014
Frekuensi menonton
Durasi menonton
Atensi menonton
Frekuensi menonton
Durasi menonton
Atensi menonton
Frekuensi menonton
Durasi menonton
Atensi menonton
Frekuensi menonton
Durasi menonton
Atensi menonton
0,611
0,496
0,508
0,401
0,463
0,322
0,408
0,188
0,495
0,480
0,449
0,444
0,008
0,180
0,016
0,279
0,101
0,211
0,215
0,587
0,009
0,000
0,001
0,000
orangtua. Anak
perempuan
akan
cenderung
berperilaku
ShinChan, maka semakin tinggi tingkat peniruan (kata-kata dan perbuatan) dan
perilaku menjengkelkan pada diri anak ketika sedang berbicara dengan orangtua.
Semakin tinggi frekuensi anak menonton tayangan film kartun Crayon
Shinchan terdapat perilaku anak yang menyimpang terhadap orang tua.
Karakter anak laki-laki lebih sering menonton tayangan film kartun Crayon
Shinchan di bandingkan anak perempuan. Dampak frekuensi, durasi, dan atensi
pada anak laki-laki dan perempuan terhadap interaksi orangtua dengan anak
perempuan tidak berbeda, tetapi anak laki-laki memiliki kecenderungan untuk
berperilaku menjengkelkan daripada anak perempuan.
Anak yang berusia 9 tahun akan cenderung menirukan kata-kata dan
perbuatan ShinChan ketika berbicara dengan orangtua serta menjengkelkan
orangtua, jika frekuensi dan atensi menonton semakin sering dan serius.
Sedangkan durasi menonton tidak berdampak pada peniruan kata-kata dan
perbuatan serta perilaku menjengkelkan. Anak yang lebih tua akan menunjukkan
kecenderungan dampak positif tersebut apabila frekuensi menontonnya semakin
sering, meskipun tidak harus dengan durasi yang lama dan perhatian yang serius.
DAFTAR PUSTAKA
Adhim, Mohammad Fauzil. 2007. Membuat Anak Gila Membaca. Bandung: PT
Mizan Bandung.
Adi, Rianto. 2005. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Ardianto, Elvinaro & Erdinaya, Lukiati Komala. 2004. Komunikasi Massa: Suatu
Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
DeVito, Joseph A. 2007. The interpersonal communication book (eleventh
edition). New York: Pearson International Inc.
FIP-UPI. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan:
Ilmu Pendidikan Praktis. Jakarta: PT Imperial Bhakti Utama.
Herwibowo, Yudhi., Hendroyono Toni. Internet For Kids: Panduan Mengajar
Internet Pada Anak. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kumar, Vijaya. 2004. All you wanted to know about body language. Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer.
Morissan. 2008. Media penyiaran: Strategi mengelola radio dan televisi. Jakarta:
Prenada Media Group.
Muhammad, Arni. 2004. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Mulyana, Deddy. 2004. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nazir, Muhammad. 2005. Metode penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.