Disusun Oleh :
Muhamad Lutfil Hakim
C2A215012
sanggupan
manusia
untuk
mendefinisikan
agama
karena
dan
tidak
dapat ditawar-tawar
lagi,
karena
itu
tidak
karena
pandangan-pandangan,
ajaran-ajaran,
seruan-seruan
pemuka agama meskipun diluar Kitab Sucinya, tetapi oleh pengikutpengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka
agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat
melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu
dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata Agama pada
umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan
manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A
berarti tidak dan GAM berarti pergi atau berjalan, sedangkan akhiran
A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian agama: berarti
pedoman hidup yang kekal.
Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah;
AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A
berarti awang-awang, kosong atau hampa, GA berarti genah atau
sebagai
ajaran untuk
menguak
rahasia
misteri
Tuhan,
kitab
SADARIGAMA
dari
bahasa
sansekerta
balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan kata din
dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja)
Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan
sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad- diinu nashiihah
(agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi teologi, din
diartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan
mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia
maupun akhirat."
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan
(akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi
tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain lain saling
berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan Antara satu dengan yang lainnya.
Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan
teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din
dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi
agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan
mengimani beberapa
perkara
dengan
kokoh
dan
kuat,
sehingga
seseorang
untuk
mengindahkan
norma-norma
dan
lainnya,
termasuk
malaikat. Karena,
manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan
unsur ruhani/immateri. Memang dari unsur hewani manusia tidak lebih dari
binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak di antara binatang
yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang
memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada
pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari
penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang
dimiliki selain manusia.
Sehubungan ini Allah Swt berfirman : "Dan manusia diciptakan
dalam keadaan lemah" (QS An-Nisa, 4 : 28); "Allah telah menciptakan
kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi
lemah dan tua." (QS Rum : 54). Masih banyak ayat lainnya yang
menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga
dengan penampilan fisiknya, di samping itu penampilan fisik adalah wahbi
sifatnya (semata-mata penberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati
dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah
secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di
atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit
dan di bumi untuk manusia (lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu
ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami muliakan anak-anak, Kami
berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta Kami
anugerahi mereka rezeki. Dan sungguh Kami utamakan mereka di atas
kebanyakan
makhluk
Kami
lainnya."
(QS
Al-Isra,
17
70).
dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada
manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut
diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut
ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang
berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian,
manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya
untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang
menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun
untuk menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah
bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat
menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus
beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah
Taala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus,
sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan." (QS. Rum: 30).
C. Teori-teori Kemunculan Agama.
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan
agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena
kebodohan manusia. August Comte peletak dasar aliran positivism
menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari
kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya.
Pada mulanya periode primitive karena manusia tidak mengetahui
rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam
kepada Dzat yang ghaib.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai
pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka
keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di
tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin
seperti
harus
bahwa agama
hanyalah
suatu
perisai yang
mereka
ingin
menghapus
agama
dan
mereka
sendiri.
Atau
dengan
kata
lain,
mereka
seseorang
rela
mereka
ogah.
Bahkan
demi
Pengaruh
Ilmu
berlainan
dengan
tumbuh-tumbuhan
dan
binatang-binatang.
Ini
kedua
11
tahun
1895
di-Universitas
Wina
diberikan
(18821936),
mengumpulkan
beberapa
seorang
dosen
akhli
fisika.
dari jurusan
Schlick
lain. Setiap
12
von Witgenstein
dan
Karl Popper
dan/atau
falsifikasi
dapat
seleksi
teori-teori
maju
dengan
pesat,
sangat
pesat,
dari
positivisme
logis
adalah
metafisiska.
13
daripada
metafisika
dari
Aristoteles.
Seorang metafisikus
mula
sebelum
(preassumptions,
ia menyelidiki
presuposition)
sesuatu.
Saya
yang
telah
14
beberapa
rohaniwan
Katolik
lain
termasuk
Paus
dapat
diverifikasi
dan/atau
teori
sama
sekali
falsifikasi. seperti
15
Manusia butuh
umumnya
tidak
dapat
adalah
kepercayaan
yang
tidak
dapat
16
dapat diamati
dengan
cermat
dan dapat
F. Revitalisasi
Pendidikan
Agama
Dalam
Mengembangkan
Moral
17
memang
dalam
18
yang berarti harga. Nilai inilah yang dikatakan Newcomb (1985) sebagai
suatu keyakinan yang mendorong seseorang untuk bertindak atas dasar
pilihannya. Sedangkan Kupperman (1983) menyatakan nilai sebagai
patokan normatif yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan
pilihannya di antara berbagai alternatif untuk bertindak. Oleh karena itu,
keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah
psikologis merupakan hasil dari serangkaian proses psikis yang
mengarahkan seseorang pada suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai
dengan keyakinannya. Moral Thought adalah bagaimana remaja berpikir
tentang standar benar dan salah. Piaget mengatakan bahwa anak berpikir
dengan dua cara yang berkaitan dengan moral, tergantung pada
kematangan perkembangannya.
Moral Feelings adalah perasaan moral, konsep ini dikembangkan
oleh psycho-analytic theorists, teknik aturan pengasuhan anak, empati, dan
peran emosi dalam perkembangan moral. Moral Behavior adalah
bertingkah
laku
secara
aktual dalam
keadaan
tertentu
dengan
19
dengan
itu,
Kleinberger
(1982)
seorang
filosof,
ketiga,
perbuatan
seseorang
terutama
dikendalikan
oleh
seseorang
bertindak
selaran
dengan
apa
yang
Pendi-dikan
adalah
segala
situasi
hidup
yang
semua
mengalihkan
perbuatan
atau
(melimpahkan)
usaha
dari
generasi
pengetahuannya,
tua untuk
pengalamannya,
21
alasan-alasan
moral
(moral
sebagai
bagian
dari
masyarkaat
mereka
hidup
selalu
22
beriman, bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.
Tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan misi Islam itu
sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat
akhlak al-karimah. Tujuan itu sama dan sebangun dengan target yang
terkandung dalam tugas kenabian yang diemban oleh Rasul Allah SAW,
yang terungkap dalam pernyataan beliau: Sesung-guhnya aku diutus
adalah untuk membimbing manusia mencapai akhlak yang mulia
(hadis). Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai
23
tidak
menjadikan
jin
dan
manusia
melainkan
supaya
dengan
ikhlas
beragama
dikatakan
pembinaan
kepribadian
disamping
pembinaan
24
tanggungjawab pendidikan
di
Mengapa
kamu
suruh
orang
lain
yang
akan
menjadi
pengendali
perbuatannya.
Dengan
25
atau
seutuhnya,
mulai
dari
pemberian
pengetahuan,
26