Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

AGAMA ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN

PENTINGNYA AGAMA BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

Disusun Oleh :
Muhamad Lutfil Hakim
C2A215012

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK MESIN LINTAS JALUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2016

A. Pengertian Agama Secara Umum


Merumuskan pengertian agama bukan suatu perkara mudah, dan
ketidak

sanggupan

manusia

untuk

mendefinisikan

agama

karena

disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan


mutlak

dan

tidak

dapat ditawar-tawar

lagi,

karena

itu

tidak

mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara


apriori menyatakan bahwa agama tertentu saja sebagai satu-satunya agama
samawi, meskipun dalam waktu yang bersamaan menyatakan bahwa agama
samawi itu meliputi Islam, Kristen dan Yahudi.
Sumber terjadinya agama terdapat dua katagori, pada umumnya
agama Samawi dari langit, agama yang diperoleh melalui Wahyu Illahi
antara lain Islam, Kristen dan Yahudi. dan agama Wadi atau agama bumi
yang juga sering disebut sebagai agama budaya yang diperoleh berdasarkan
kekuatan pikiran atau akal budi manusia antara lain Hindu, Buddha, Tao,
Khonghucu dan berbagai aliran keagamaan lain atau kepercayaan.
Dalam prakteknya, sulit memisahkan antara wahyu Illahi dengan
budaya,

karena

pandangan-pandangan,

ajaran-ajaran,

seruan-seruan

pemuka agama meskipun diluar Kitab Sucinya, tetapi oleh pengikutpengikutnya dianggap sebagai Perintah Illahi, sedangkan pemuka-pemuka
agama itu sendiri merupakan bagian dari budaya dan tidak dapat
melepaskan diri dari budaya dalam masa kehidupannya, manusia selalu
dalam jalinan lingkup budaya karena manusia berpikir dan berperilaku.
Beberapa acuan yang berkaitan dengan kata Agama pada
umumnya; berdasarkan Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan
manusia berdasarkan Wahyu Illahi dari kata A-GAM-A, awalan A
berarti tidak dan GAM berarti pergi atau berjalan, sedangkan akhiran
A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian agama: berarti
pedoman hidup yang kekal.
Berdasarkan kitab, SUNARIGAMA yang memunculkan dua istilah;
AGAMA dan UGAMA, agama berasal dari kata A-GA-MA, huruf A
berarti awang-awang, kosong atau hampa, GA berarti genah atau

tempat dan MA berarti matahari, terang atau bersinar, sehingga agama


dimaknai

sebagai

ajaran untuk

menguak

rahasia

misteri

Tuhan,

sedangkan istilah UGAMA mengandung makna, U atau UDDAHA yang


berarti tirta atau air suci dan kata GA atau Gni berarti api, sedangkan
MA atau Maruta berarti angin atau udara sehingga dalam hal ini
agama berarti sebagai upacara yang harus dilaksanakan dengan sarana air,
api, kidung kemenyan atau mantra.
Berdasarkan

kitab

SADARIGAMA

dari

bahasa

sansekerta

IGAMA yang mengandung arti I atau Iswara, GA berarti Jasmani atau


tubuh dan MA berarti Amartha berarti hidup, sehingga agama berarti
Ilmu guna memahami tentang hakikat hidup dan keberadaan Tuhan.
B. Mengapa Kita Beragama ?? (by : Ust. Husein Al-Kaff)
"Dasar pertama agama (din) adalah mengenal-Nya."
Perkataan di atas sangat tepat dan pada tempatnya, mengingat
banyak orang yang beragama, tetapi tidak mengenal agamanya dengan
baik. Padahal, mengenai agama seharusnya berada pada tahapan awal
sebelum mengamalkan ajarannya. Tetapi secara realita, keberagamaan
sebagian besar dari mereka tidak sebagaimana mestinya. Nah, dalam
kesempatan ini kami akan memberikan penjelasan tentang mengapa kita
beragama dan bagaimana seharusnya kita beragama. Sehingga kita
beragama atas dasar bashirah (pengetahuan, pengertian, dan bukti).
Allah Taala berfirman : "Katakanlah (wahai Muhammad). Inilah
jalan-Ku. Aku mengajak kepada Allah dengan bashirah (hujjah yang
nyata)" (QS Yusuf, 12 : 108).
Namun sebelum menjawab dua pertanyaan di atas, ada baiknya
kami terlebih dulu membicarakan tentang din itu sendiri. Apa itu Din ?
Din berasal dari bahasa Arab dan dalam Alquran disebutkan
sebanyak 92 kali. Menurut arti bahasa (etimologi), din diartikan sebagai

balasan dan ketaatan. Dalam arti balasan, Alquran menyebutkan kata din
dalam surat Al-Fatihah ayat 4, Maliki Yaumiddin (Dialah Pemilik (Raja)
Hari Pembalasan)." Demikian pula dalam sebuah hadis, din diartikan
sebagai ketaatan. Rasulullah Saww bersabda : "Ad- diinu nashiihah
(agama adalah ketaatan)." Sedangkan menurut terminologi teologi, din
diartikan sebagai : "sekumpulan keyakinan, hukum, norma yang akan
mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan manusia, baik di dunia
maupun akhirat."
Berdasarkan hal di atas, din mencakup tiga dimensi : (1) keyakinan
(akidah); (2) hukum (syariat); dan (3) norma (akhlak). Ketiga dimensi
tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga satu sama lain lain saling
berkaitan, dan tidak bisa dipisahkan Antara satu dengan yang lainnya.
Dengan menjalankan din, kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan akan
teraih di dunia dan di akhirat. Seseorang dikatakan mutadayyin (ber-din
dengan baik), jika dia dapat melengkapi dirinya dengan tiga dimensi
agama tersebut secara proporsional, maka dia pasti berbahagia.
Dalam dimensi keyakinan atau akidah, seseorang harus meyakini dan
mengimani beberapa

perkara

dengan

kokoh

dan

kuat,

sehingga

keyakinannya tersebut tidak dapat digoyahkan lagi. Keyakinan seperti itu


akan diperoleh seseorang dengan argumentasi (dalil aqli) yang dapat
dipertahankan. Keyakinan ini pada intinya berkisar kepada Allah dan Hari
Akhirat.
Adapun syariat adalah konsekuensi logis dan praktis dari
keyakinan. Mengamalkan syariat merupakan representasi dari keyakinan.
Sehingga sulit dipercaya jika seseorang mengaku beriman kepada Allah
dan Hari Akhirat, tetapi tidak mengindahkan syariat-Nya. Karena syariat
merupakan kewajiban dan larangan yang datang dari-Nya.
Sedangkan akhlak adalah tuntunan akal budi (aqal amali) yang
mendorong

seseorang

untuk

mengindahkan

norma-norma

dan

meninggalkan keburukan- keburukan. Seseorang belum bisa dikatakan


mutadayyin selagi tidak berakhlak, la diina liman la akhlaqa lahu.

Demikian pula, keliru sekali jika seseorang terlalu mementingkan akhlak


daripada syariat.
Dari ketiga dimensi din tersebut, akidah menduduki posisi yang
paling prinsip dan menentukan. Dalam pengertian bahwa yang menentukan
seseorang itu mutadayyin atau tidak adalah akidahnya. Dengan kata lain,
yang memisahkan seseorang yang beragama dari yang tidak beragama
(ateis) adalah akidahnya. Lebih khusus lagi, bahwa akidahlah yang
menjadikan orang itu disebut Muslim, Kristiani, Yahudi atau yang lainnya.
Mengapa Kita Beragama ?
Marilah kita kembali pada pertanyaan semula : "mengapa kita
beragama? Manusia adalah satu spesies makhluk yang unik dan istimewa
dibanding makhluk- makhluk

lainnya,

termasuk

malaikat. Karena,

manusia dicipta dari unsur yang berbeda, yaitu unsur hewani/materi dan
unsur ruhani/immateri. Memang dari unsur hewani manusia tidak lebih dari
binatang, bahkan lebih lemah darinya. Bukankah banyak di antara binatang
yang lebih kuat secara fisik dari manusia ? Bukankah ada binatang yang
memiliki ketajaman mata yang melebihi mata manusia ? Bukankah ada
pula binatang yang penciumannya lebih peka dan lebih tajam dari
penciuman manusia ? Dan sejumlah kelebihan-kelebihan lainnya yang
dimiliki selain manusia.
Sehubungan ini Allah Swt berfirman : "Dan manusia diciptakan
dalam keadaan lemah" (QS An-Nisa, 4 : 28); "Allah telah menciptakan
kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi
lemah dan tua." (QS Rum : 54). Masih banyak ayat lainnya yang
menjelaskan hal serupa.
Karena itu, sangatlah tidak pantas bagi manusia berbangga
dengan penampilan fisiknya, di samping itu penampilan fisik adalah wahbi
sifatnya (semata-mata penberian dari Allah, bukan hasil usahanya).
Kelebihan manusia terletak pada unsur ruhani (mencakup hati
dan akal, keduanya bukan materi). Dengan akalnya, manusia yang lemah
secara fisik dapat menguasai dunia dan mengatur segala yang ada di

atasnya. Karena unsur inilah Allah menciptakan segala yang ada di langit
dan di bumi untuk manusia (lihat surat Luqman ayat 20). Dalam salah satu
ayat Alquran ditegaskan : "Sungguh telah Kami muliakan anak-anak, Kami
berikan kekuasaan kepada mereka di darat dan di laut, serta Kami
anugerahi mereka rezeki. Dan sungguh Kami utamakan mereka di atas
kebanyakan

makhluk

Kami

lainnya."

(QS

Al-Isra,

17

70).

Unsur akal pada manusia, awalnya masih berupa potensi (bilquwwah)


yang perlu difaktualkan (bilfili) dan ditampakkan. Oleh karena itu, jika
sebagian manusia lebih utama dari sebagian lainnya, maka hal itu sematamata karena hasil usahanya sendirinya. Karenanya, dia berhak bangga atas
yang lainnya.
Sebagian mereka ada pula yang tidak berusaha memfaktualkan
dan menampakkan potensinya itu, atau memfaktualkannya hanya untuk
memuaskan tuntutan hewaninya, maka orang itu sama dengan binatang,
bahkan lebih hina dari binatang (QS Al-Araf, 7 : 170; Al-Furqan : 42).
Termasuk ke dalam unsur ruhan adalah fitrah. Manusia memiliki
fitrah yang merupakan modal terbesar manusia untuk maju dan
sempurna. Din adalah bagian dari fitrah manusia.
Dalam kitab Fitrat (edisi bahasa Parsi), Syahid Muthahhari
menyebutkan adanya lima macam fitrah (kecenderungan) dalam diri
manusia yaitu mencari kebenaran (hakikat), condong kepada kebaikan,
condong kepada keindahan, berkarya (berkreasi), dan cinta (isyq) atau
menyembah (beragama). Sedangkan menurut Syeikh Jafar Subhani,
terdapat empat macam kecenderungan pada manusia, dengan tanpa
memasukkan kecenderungan berkarya seperti pendapat Syahid Muthahhari
(kitab Al-Ilahiyyat, juz 1).
Kecenderungan beragama merupakan bagian dari fitrah manusia.
Manusia diciptakan oleh Allah dalam bentuk cenderung beragama ,
dalam arti manusia mencintai kesempurnaan yang mutlak dan hakiki serta
ingin menyembah Pemilik kesempurnaan tersebut. Syeik Taqi Mishbah
Yazdi, dalam kitab Maarif al-Quran juz 1 hal. 37, menyebutkan adanya

dua ciri fitrah, bik fitrah beragama maupun lainnya, yang terdapat pada
manusia, yaitu pertama kecenderungan-kecenderungan (fitrah) tersebut
diperoleh tanpa usaha atau ada dengan sendirinya, dan kedua fitrah tersebut
ada pada semua manusia walaupun keberadaannya pada setiap orang
berbeda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Dengan demikian,
manusia tidak harus dipaksa beragama, namun cukup kembali pada dirinya
untuk menyebut suara dan panggilan hatinya, bahwa ada Sesuatu yang
menciptakan dirinya dan alam sekitarnya.
Meskipun kecenderungan beragama adalah suatu yang fitri, namun
untuk menentukan siapa atua apa yang pantas dicintai dan disembah
bukan merupakan bagian dari fitrah, melainkan tugas akal yang dapat
menentukannya. Jadi jawaban dari pertanyaan mengapa manusia harus
beragama, adalah bahwa beragama merupakan fitrah manusia. Allah
Taala berfirman, "Maka hadapkanlah wajahmu kepada din dengan lurus,
sebagai fitrah Allah yang atasnya manusia diciptakan." (QS. Rum: 30).
C. Teori-teori Kemunculan Agama.
Kaum materialis memiliki sejumlah teori tentang kemunculan
agama, antara lain:
1. Agama muncul karena kebodohan manusia
Sebagian mereka berpendapat, bahwa agama muncul karena
kebodohan manusia. August Comte peletak dasar aliran positivism
menyebutkan, bahwa perkembangan pemikiran manusia dimulai dari
kebodohan manusia tentang rahasia alam atau ekosistem jagat raya.
Pada mulanya periode primitive karena manusia tidak mengetahui
rahasia alam, maka mereka menyandarkan segala fenomena alam
kepada Dzat yang ghaib.
Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan (sains) sampai
pada batas segala sesuatu terkuat dengan ilmu yang empiris, maka
keyakinan terhadap yang ghaib tidak lagi mempunyai tempat di
tengah-tengah mereka. Konsekuensi logis teori di atas, adalah makin

pandai seseorang akan makin jauh ia dari agama bahkan akhirnya


tidak beragama, dan makin bodoh seseorang maka makin kuat
agamanya. Padahal, betapa banyak orang pandai yang beragama,
seperti Albert Einstein, Charles Darwin, Hegel dan lainnya.
Demikian sebaliknya, alangkah banyak orang bodoh yang tidak
beragama
2. Agama muncul karena kelemahan jiwa (takut)
Teori ini mengatakan, bahwa munculnya agama karena perasaan
takut terhadap Tuhan dan akhir kehidupan. Namun, bagi orang-orang
yang berani keyakinan seperti itu tidak akan muncul. Teori ini
dipelopori oleh Bertnart Russel. Jadi, menurut teori ini agama adalah
indikasi dari rasa takut. Memang takut kepada Tuhan dan hari akhirat,
merupakan ciri orang yang beragama. Tetapi agama muncul bukan
karena faktor ini, sebab seseorang merasa takut kepada Tuhan setelah
ia meyakini adanya Tuhan.

Jadi,takut merupakan akibat dari

meyakini adanya Tuhan (baca: beragama).


3. Agama adalah produk penguasa
Karl Marxbapak aliran komunis-sosialismengatakan, bahwa
agama merupakan produk para penguasa yang diberlakukan atas
rakyat yang tertindas, sebagai upaya agar mereka tidak berontak dan
menerima keberadaan sosial- ekonomi. Mereka (rakyat tertindas)
diharapkan terhibur dengan doktrin-doktrin agama,

seperti

harus

sabar, menerima takdir, jangan marah dan lainnya.


Namun, ketika tatanan masyarakat berubah menjadi masyarakat
sosial yang tidak mengenal perbedaan kelas sosial dan ekonomi,
sehingga tidak ada lagi (perbedaan antara) penguasa dan rakyat yang
tertindas dan tidak ada lagi (perbedaan antara) si kaya dan si miskin,
maka agama dengan sendirinya akan hilang. Kenyataannya, teori di
atas gagal. Terbukti bahwa negara komunis-sosialis sebesar Uni Soviet
pun tidak berhasil menghapus agama dari para pemeluknya,
sekalipun dengan cara kekerasan.

4. Agama adalah produk orang-orang lemah.


Teori ini berseberangan dengan teori-teori sebelumnya. Teori
ini mengatakan,

bahwa agama

hanyalah

suatu

perisai yang

diciptakan oleh orang- orang lemah untuk membatasi kekuasaan


orang-orang kuat. Norma-norma kemanusiaan seperti kedermawanan,
belas kasih, kesatriaan, keadilan dan lainnya sengaja disebarkan oleh
orang-orang lemah untuk menipu orang-orang kuat, sehingga mereka
terpaksa mengurangi pengaruh kekuatan dan kekuasaannya. Teori ini
diperoleh Nietzche, seorang filsuf Jerman.
Teori di atas terbantahkan jika kita lihat kenyataan sejarah,
bahwa tidak sedikit dari pembawa agama adalah para penguasa dan
orang kuatmisalnya Nabi Daud dan Nabi Sulaimankeduanya
adalah raja yang kuat.
Sebenarnya,

mereka

ingin

menghapus

agama

dan

menggantikannya dengan sesuatu yang mereka anggap lebih


sempurna (seperti, ilmu pengetahuan menurut August Comte,
kekuasaan dan kekuatan menurut Nietszche, komunis-sosialisme
menurut Karl Marx dan lainnya). Padahal mencintai dan menyembah
kesempurnaan adalah fitrah.
Perbedaan kaum agamawan dengan mereka, adalah bahwa kaum
agamawan mendapatkan kesempurnaan yang mutlak hanya pada
Tuhan. Jadi, sebenarnya mereka (kaum Atheis) beragama dengan
pikiran

mereka

sendiri.

Atau

dengan

kata

lain,

mereka

mempertuhankan diri mereka sendiri.


D. Pentingnya Agama Bagi Kehidupan Manusia
Kita hidup di lingkungan beragama. Pernahkah kita menyadari akan
pentingnya bagi kemanusiaan ? Tidakkah selama ini kita tahu bahwa atas
nama agama manusia sering melakukan tindakan yang tidak semestinya.
Selalu merasa dirinyalah yang benar dan tahu tentang agama. Tidak
sedikit orang yang memaksakan fahamnya terhadap orang lain, dan main

hakim sendiri. Dari sinilah kemudian timbul pertanyaan: Masikah agama


digunakan untuk nilai moral ? Tampaknya tidak, penilaian moral telah
bergeser dari rumusan agama ke rumusan humanisme universal. Sekatrang
orang tidak memerlukan rumusan-rumusan agama untuk menilai apakah
seseorang bermoral atau tidak, apakah suatu tindakan dinilai bermoral atau
amoral. Orang cukup menyandarkan pegangan pada apakah seseorang
itu merugikan orang lain atau tidak. Suatu tindakan dikatakan tidak
bermoral hanya jika tindakan itu merugikan orang lain.
Hal tersebut membuktikan bahwa saat ini agama sedang mengalami
dekadensi penafsiran. Mungkin hal ini disebabkan oleh berkembangnya
teknologi dan mode barat yang banyak dikonsumsi oleh pemuda kita.
Maka wajar jika kita tak banyak orang yang tahu apa arti agama itu
sebenarnya, dan berbagai penyelewengan arti yang tidak pada tempatnya.
Sebagian menyangka bahwa karakteristik zaman modern adalah
segala sesuatu untuk manusia atu humanisme, termasuk agama untuk
manusia. Padahal dalam pandangan tradisional, manusia untuk agama.
Mereka mengatakan, dalam penafsiran klasik terhadap agama, kedudukan
manusia lebih rendah dari agama dan akidah. Dengan dasar ini, manusia
berkhidmat pada agama dan jiwa manusia menjadi tidak bernilai, serta
dengan mudah mereka akan mengorbankan jiwanya demi agama. Adapun
di masa modern, manusia menepatkan dirinya lebih tinggi dari agama,
dan ini berarti bahwa manusia tidak mengorbankan diri demi agama dan
membunuh seseorang atas nama agama. Inilah yang disebut dekadensi
penafsiran manusia terhadap agama.
Maka, dengan demikian tak dapat disangkal lagi bahwa saat ini
manusia telah mulai merubah pandangan medreka dari agama kepada halhal yang bersifat materi. Jangankan mengindahkan norma-normanya
melaksanakan kewajibannya saja
materi

seseorang

rela

mereka

ogah.

Bahkan

demi

mengorbankan kehormatannya. Seperti kasus

natalian Dylan, sarjana dari Sacramento State University.

Gadis ini melelang keperawanannya di situs lelang eBay dan


uangnya akan digunakan untuk membayar biaya sekolah yang belum lunas.
Memang melelang keperawatan tidak akan menyelesaikan seluruh masalah
saya, tetapi paling tidak akan membuat keuangan saya stabil, kata gadis
22 tahun kepada Insider, 12 September lalu. (kompas,16 septermber 2008).
Ini sebabnya kenapa agama begitu penting bagi manusia. Agar
kehidupan manusia serba teratur. Seandainya tak ada satupun agama
didunia ini yang mengatur segala seluk-beluk kehidupan manusia,
mungkin kita akan pernah tahu siapa Bapak-Ibu kita. Karena tidak ada
halangan bagi manusia mau berbaur dengan siapa saja untuk melampiaskan
nafsu seksualnya. Sungguh berbahagialah kita semua karena memiliki
agama dan Tuhan tempat kita memohon dan meratap.
Tentunya berbicara manusia adalah berbicara bagaimana itu, seperti
apa manusia dan apakah manusia itu????
Pendekatan pertama adalah bahwa manusia itu makhluk hidup
yang unik, yang memiliki kelebihan akal, sehingga manusia itu ketika
mampu mempergunakan akalnya secara maksimal dia bahkan bias lebih
baik dari malaikat (dalam pemahaman agama malaikat adalah makhluk
yang selalu taat dan patuh, tidak pernah membantah)
Namun ada satu sudut pandang lain yaitu bila manusia tidak mampu
mempergunakan akalnya manusia lebih hina dari binatang. Oleh karena
itu, kita sebagai manusia harus maksimal UNTUK MENGGUNAKAN
AKAL DAN PIKIRAN kita yaitu mencari sebuah prinsip dasar kehidupan.
Singkat kata, satu pondasi dasar untuk memaksimalkan penggunaan
akal kita (walaupun banyak keterbatasan tentunya (karena satu sisi manusia
makhluk lemah yang suka berkeluh kesah, mudah putus asa dll)
E. Pengaruh Iman Pada Ilmu Pengetahuan Dan

Pengaruh

Ilmu

Pengetahuan Pada Iman


Sejak awal sejarah umat manusia, manusia telah memperhatikan alam
semesta, dan dirinya sendiri dan bertanya-tanya akan banyak hal. Ini
10

berlainan

dengan

tumbuh-tumbuhan

dan

binatang-binatang.

Ini

menghasilkan ilmu pengetahuan, agama dan kebudayaan.


1. Pengaruh Iman Pada Ilmu Pengetahuan
Ilmu Pengetahuan bermula dari filsafat Yunani kuno. Pada
abad ke-6 sebelum Kristus, Thales dari Milletos mengamati alam
semesta ini dan mengatakan: Semua adalah air. Seorang filsuf
lainnya Anaximandros berpendapat bahwa: Semua adalah yang tak
terbatas (to apeiron). Filsuf lainnya lagi, Anaximenes mengatakan:
Semua adalah udara. Kemudian timbul filsuf- filsuf lain dan
yang paling berpengaruh pada ilmu pengetahuan alam manusia ialah
Aristoteles yang hidup diabad ke-4 sebelum Kristus. Pengetahuan
ilmu pengetahuan alam praktis dikembangkan oleh Archimedes.
Silahkan baca buku Filsafat Yunani untuk detail lebih lanjut.
Yang mau saya tekankan disini ialah pengaruh iman pada ilmu
pengetahuan Setelah Thales mengamati alam semesta ini ia mulai
kembangkan pikiran dan kesimpulan-kesimpulannya. Mengapa ia
lakukan itu? Karena ia percaya bahwa alam semesta ini dapat
dimengerti oleh otaknya. Tanpa kepercayaan ini ia tidak akan
buat kesimpulan-kesimpulan dan teori-teori atau filsafat-filsafat.
Bahwa alam semesta dapat dimengerti akal manusia tidak dapat
dibuktikan tetapi harus diterima dengan iman.
Ini iman pertama yang paling mendasar dari ilmu pengetahuan
alam. Thales sangat terkesan akan air. Ia tentu sering melihat hujan.
Pulau Miletos dikelilingi laut. Air kalau dipanaskan jadi uap air.
Uap air kalau mendingin jadi air kembali. Thales menambah iman
kedua ialah bahwa semua adalah air. Anaximandros setuju dengan
Thales bahwa alam ini dapat dimengerti oleh otak manusia. Tetapi
ia tidak setuju dengan iman Thales yang kedua bahwa semua
adalah air. Ia masukkan dalam filsafatnya iman keduanya sendiri
ialah bahwa semua adalah ketidak terbatasan. Iman

kedua

11

Anaximenes adalah udara. Filsuf-filsuf berikutnya memasukkan


imannya sendiri dalam filsafatnya. Makin lama makin banyak
dan makin kompleks.
Kepercayaan atau iman ini: ialah bahwa alam semesta
dapat dimengerti oleh manusia diteruskan dari generasi kegenerasi.
Kemudian Galileo dan Newton mengambil alih iman ini begitu saja
dan menambah iman baru: Apa yang berlaku kemarin, juga berlaku
hari ini dan besok. Mereka kembangkan rumus-rumus yang mereka
percaya berlaku selamanya. Ini iman kedua. Para ilmuwan
selanjutnya mengambil alih iman ini dan dalam perkembangan ilmu
pengetahuan sampai sekarang sesungguhnya ilmu pengetahuan
manusia dipengaruhi oleh iman tambahan mereka sampai sekarang.
Makin lama makin besar pengaruh iman pada ilmu pengetahuan.
Pengaruh iman pada teori-teori manusia ditunjukkan a.l. oleh
Alfred North Whitehead dan Albert Einstein. Iman ini dalam ilmu
pengetahuan disebut juga presupostions, preassumptions (asumsi
mula) atau axioms. Kalau ada satu saja asumsi mula yang salah,
maka salahlah seluruh teori atau filsafat yang dibangun diatasnya.
Apakah ada cara untuk menguji teori-teori ilmiah dengan cara yang
lebih dapat diandalkan? Menurut saya ada, ialah dengan prinsip
verifikasi dan/atau falsifikasi.
a. Prinsip Verifikasi Dan Falsifikasi.
Pada

tahun

1895

di-Universitas

Wina

diberikan

matapelajaran filsafat ilmu pengetahuan induktif. Kehormatan


mengajar diberikan kepada seorang akhli fisika Ernst Mach
(1838-1916). Dengan demikian ilmu pengetahuan mulai disoroti
secara filosofis. Sejak 1922 pelajaran diberikan oleh Moritz
Schlick

(18821936),

mengumpulkan

beberapa

seorang
dosen

akhli

fisika.

dari jurusan

Schlick

lain. Setiap

minggu mereka jumpa untuk membahas secara filosofis

12

jurusan masing- masing. Diantaranya terdapat akhli matematika


Kurt Goedel, Hans Hahn, Rudolf Carnap dll . Diantara akhliakhli ilmu exakta tersebut ada seorang sosiolog Otto Neurath
(1882-1945). Ludwig

von Witgenstein

dan

Karl Popper

mempunyai pengaruh yang besar, tetapi tidak pernah jadi


anggota kelompok ini. Mula-mula filsafat yang dikeluarkan
kelompok ini bernama filsafat dari lingkungan Wina (der
Wiener Kreis). Tetapi kini lebih dikenal sebagai positivisme
logis (logical positivism). Banyak sekali makalah makalah dan
buku-buku yang ditulis kelompok ini. Yang paling menyolok
ialah bahwa mereka sangat tekankan prinsip verifikasi. Mereka
katakan: Suatu ucapan yang tidak dapat diverifikasi ialah
ucapan yang tidak bermakna. Karl Popper menunjukan bahwa
sebuah teori tidak pernah dapat diverifikasi (dibuktikan benar)
tetapi teori yang bermakna seharusnya dapat difalsifikas
(dibuktikan salah).
Positivisme Logis kemudian mempunyai pengaruh yang
sangat besar pada perkembangan ilmu pengetahuan pada
umumnya dan ilmu pengetahuan alam khususnya., diseluruh
Eropah Barat bahkan diseluruh dunia sampai sekarang. Prinsip
verifikasi

dan/atau

falsifikasi

dapat

seleksi

teori-teori

yang benar dan teori-teori yang salah. Yang benar


diteruskan dan dikembangkan, sampai ia terbukti salah. Yang
salah masuk tong sampah atau maksimal sejarah masa lampau.
Buah dari ilmu pengetahuan alam ialah Teknologi dan
kedokteran. Keduanya

maju

dengan

pesat,

sangat

pesat,

makin lama makin pesat.


b. Metafisika
Lawan

dari

positivisme

logis

adalah

metafisiska.

Metafisika disini mungkin mempunyai arti yang sedikit lain

13

daripada

metafisika

dari

Aristoteles.

Seorang metafisikus

percaya bahwa apa yang masuk keakalnya adalah juga benar


walaupun tidak dapat diverifikasi dan/atau falsifikasi. Albert
Einstein menunjukkan bahwa berapa positifnyapun seorang
ilmuwan mengaku, kalau ia buat teori, maka didalam teorinya
ada unsur-unsur metafisis. Einstein mengakui bahwa dalam teoriteorinya sendiri ada unsur metafisis. Seorang ilmuwan lain yang
juga sangat terkenal Wernher von Heisenberg menunjukkan
betapa miskinnya ilmu pengetahuan manusia bila hanya yang
dapat diverifikasi/falsifikasi saja yang dianggap bermakna.
Saya mengakui apa yang ditunjukkan kedua ilmuwan
besar itu

adalah benar. Tetapi saya juga tunjukkan bahwa

sebuah teori yang masuk akal menurut seorang, belum tentu


masuk akal untuk orang lain. Hal itu sangat tergantung pada
asumsi-asumsi
diambilnya

mula

sebelum

(preassumptions,
ia menyelidiki

presuposition)
sesuatu.

Saya

yang
telah

tunjukkan bahwa Thales dari Milletospun telah mempunyai


mempunyai asumsi mula bahwa alam semesta ini dapat
dimengerti sebelum ia mulai filsafatnya.
Contoh: Persoalan Teori Evolusi versus Teori Kreasi:
Kalau seorang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, maka tidak
masuk keakalnya bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan.
Baginya lebih masuk keakalnya kalau alam semesta ini
selamanya ada, atau berevolusi perlahan-lahan dari sebuah
gumpalan masa yang sangat padat. Ini adalah hakekat dari The
Big Bang Theory. Inilah hakekat dari teori evolusi.
Kalau seorang percaya bahwa Tuhan itu ada, maka masuk
keakalnya bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam semesta.
Kalau seorang percaya Tuhan yang mempunyai kesanggupan
tak terbatas, masuk keakalnya bahwa Tuhan dapat menciptakan

14

alam semesta dalam waktu sekejap. Tetapi kalau asumsi


mulanya ialah bahwa Tuhan hanya lebih besar sedikit dari
manusia, maka hal itu tidak masuk keakalnya. Yang lebih
masuk keakalnya ialah kalau Tuhan menciptakan alam semesta
sedikit, sedikit dalam waktu sangat lama. Kalau ia percaya ada
Tuhan seperti disaksikan Alkitab, maka masuk keakalnya bila
Tuhan ciptakan alam semesta dalam waktu enam hari seperti
disaksikan Alkitab. Inilah hakekat dari teori kreasi.
Seorang yang percaya pada Tuhan Alkitab, tetapi percaya
juga teori evolusi akan berusaha untuk mengkompromikan
keduanya. Inilah yang dilakukan a.l. oleh seoarang rohaniwan
Katolik Pater Tijlhard de Chardin S.J. Kompromi ini diambil alih
oleh

beberapa

rohaniwan

Katolik

lain

termasuk

Paus

Yohannes Paulus II, dan (sayangnya) juga oleh beberapa teolog


protestan.
Baik teori evolusi, maupun teori kreasi tidak dapat
diverifikasi atau difalsifikasi. Keduanya hanya soal lebih masuk
akal yang mana menurut Anda. Sebelum Anda mengambil
keputusan tanya dahulu apa asumsi-asumsi mula Anda?
Sesungguhnya perdebatan evolusi/kreasi adalah perdebatan
ilmiah atau perdebatan agama?
Kesimpulan pasal I:
Sebuah teori ilmiah seharusnya dapat diverifikasi dan/atau
difalsifikasi, walaupun dalam teori yang manapun ada unsur
metafisik dan unsur iman. Kalau sebuah
tidak

dapat

diverifikasi

dan/atau

teori

sama

sekali

falsifikasi. seperti

umpamanya teori evolusi/kreasi, maka sesungguhnya ia sudah


keluar dari bidang ilmiah dan masuk bidang agama atau
kepercayaan atau filsafat.

15

2. Pengaruh Ilmu Pengetahuan Pada Iman.


Sejak semula manusia sudah penuh pertanyaan mengenai alam
semesta dan dirinya sendiri. Siapakah sesungguhnya saya ini?
Mengapa saya ada disini? Setelah mati kemana saya? Manusia
membutuhkan ilmu pengetahuan, tetapi banyak pertanyaan manusia
tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan.

Manusia butuh

jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Manusia butuh agama yang


dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia ini. Manusia tidak
puas dengan ilmu pengetahuan saja. Pernyataan-pernyataan agama
pada

umumnya

tidak

dapat

diverifikasi dan/atau falsifikasi.

Umpama mengenai keberadaan Tuhan. Inipun sesungghunya tidak


dapat dibuktikan, tidak dapat diverifikasi /falsifikasi. Argumen
kosmologis teleologis dsb dari Thomas Aquinas telah dibantah oleh
filsuf-filsuf lain.
Bertrand Russel membahas soal ini dengan cara yang
sederhana sekali. Siapa yang ciptakan alam semesta?. Tuhan!
Siapa yang ciptakan Tuhan? Tuhan selamanya ada. Kalau ada yang
selamanya ada, mengapa harus Tuhan? Mengapa bukan alam
semesta saja? Keduanya sama logis atau sama onlogisnya.
Keduanya sama-sama tidak dapat diverifikasi/falsifikasi. Karena
Tuhan tidak kelihatan tetapi materi nyata, maka lebih masuk akal
untuk mengatakan materi selamanya ada.
Agama

adalah

kepercayaan

yang

tidak

dapat

diverifikasi/falsifikasi, jadi adalah kepercayaan non-ilmiah. Luther


dan Calvin tidak pernah berpretensi bahwa teologi mereka ilmiah.
Apalagi teolog-teolog sebelum mereka seperti Agustinus dan
Thomas Aquinas, walaupun mereka mungkin terpengaruh filsuffilsuf seperti Plato dan Aristoteles.

16

Agama pada hakekatnya adalah iman. Ilmu pengetahuan pada


hakekatnya adalah pengamatan- pengamatan dan penyelidikanpenyelidikan yang

dapat diamati

dengan

cermat

dan dapat

diulangi. Apa yang disebut studi kritis alkitab oleh beberapa


teolog dikira adalah ilmiah. Tetapi kesimpulan-kesimpulan studi
kritis tidak dapat diverifikasi atau falsifikasi. Sesungguhnya studi
kritis alkitab bukan agama dan bukan ilmu. Jadi apa? Tidak lain
daripada spekulasi-spekulasi metafisis yang tidak bermakna, alias
omong kosong.
Firman A llah berada jauh diatas spekulasi-spekulasi metafisis
manusia. Metode ilmiah sangat cocok untuk menaklukan alam
(kejadian 1:28), tetapi sama sekali tidak dapat dipakai untuk
mengritik firman Allah.

F. Revitalisasi

Pendidikan

Agama

Dalam

Mengembangkan

Moral

Anak (Perspektif Psikologi Perkembangan tentang Moral)


Berbicara tentang moral atau etika berarti berbicara tentang sesuatu
yang bertkaitan dengan baik buruknya perilaku manusia. Ketika moral
dikaitkan dengan subjeknya yaitu manusia, maka akan semakin terasa
derajat

urgensi atau kepentingannya, apalagi ketika moralitas manusia

cenderung mengarah ke perilaku amoral. Perlu usaha proaktif dan inovatif


untuk mengembangkan dan membentuk perilaku yang bermoral. Moral
manusia tidak berkembang dengan sendirinya. Moral berkembang seiring
dengan berkembangnya kemampuan biologis, psikologis dan sosial.
Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan moral baik intern
maupun ekstern. Pendidikan adalah salah satu faktor ekstern yang dapat
mempengaruhi perkembangan moral. Tulisan ini mencoba menawarkan
sebuah solusi dalam membangun moralitas manusia melalui pendidikan
agama.

17

Fenomena keseharian yang terjadi di masa kini khususnya di


kalangan remaja, problem sosial moral itu antara lain berwujud semakin
meningkatnya hubungan seks pranikah, meningkatnya perkelahian antar
pelajar (tawuran), meningkatnya penyalah-gunaan narkoba, merosotnya
penghargaan siswa terhadap guru dan orang tua, rendahnya kepedulian
sosial. Munculnya perilaku yang meyimpang dikalangan remaja (juvenile
deliquence) yang membahayakan ini, ternyata juga dilakukan oleh orang
dewasa yang sebenarnya justru lebih membahayakan, tindakan pencurian
dan perampokan tidak hanya dilakukan oleh orang miskin, namun banyak
pula dilakukan oleh orang kaya (korupsi), kolusi, nepotisme, tindak
kekerasan, terror, yang semuanya itu menggambarkan indikasi kegagalan
tercapainya tujuan pendidikan.
Semakin merosot dan bobroknya moralitas masyarakat sekarang, tentu
saja menimbulkan suatu pertanyaan. Bisakah pendidikan digunakan sebagai
instrumen bagi upaya mengembangkan moral anak? Tentu secara teoritik
jawabnya bisa. Pendidikan, yang salah satu kegiatannya terletak pada
persekolahan, dalam jangka panjang, tentu dapat dimanfaatkan sebagai
instrument untuk mengembangkan moral anak sebagai-mana Ballantine
memiliki keyakinan bahwa sekolah dapat dijadikan sebagai tempat untuk
melatih anak-anak dalam memahami nilai-nilai sosial yang penting agar
tatanan sosial dapat ditegakkan.
Kalau

memang

pendidikan mampu menjadi instrumen

dalam

mengembangkan moral anak, mengapa pendidikan yang telah berlangsung


sekian lama ini menunjukkan indikasi kegagalan dalam membangun
moralitas masyarakatnya? Lantas apa kesalahan pendidikan selama ini?
Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah alternatif pendidikan yang dapat
mengembangkan moralitas anak.
1. Konsep dan Perkembangan Moral Anak
Dari segi etimologi, moral berasal dari kata mores (latin) yang
berarti dapat kebiasaan atau cara hidup, sedangkan nilai dari kata value

18

yang berarti harga. Nilai inilah yang dikatakan Newcomb (1985) sebagai
suatu keyakinan yang mendorong seseorang untuk bertindak atas dasar
pilihannya. Sedangkan Kupperman (1983) menyatakan nilai sebagai
patokan normatif yang mempengaruhi seseorang dalam menentukan
pilihannya di antara berbagai alternatif untuk bertindak. Oleh karena itu,
keputusan benar-salah, baik-buruk, indah-tidak indah pada wilayah
psikologis merupakan hasil dari serangkaian proses psikis yang
mengarahkan seseorang pada suatu tindakan atau perbuatan yang sesuai
dengan keyakinannya. Moral Thought adalah bagaimana remaja berpikir
tentang standar benar dan salah. Piaget mengatakan bahwa anak berpikir
dengan dua cara yang berkaitan dengan moral, tergantung pada
kematangan perkembangannya.
Moral Feelings adalah perasaan moral, konsep ini dikembangkan
oleh psycho-analytic theorists, teknik aturan pengasuhan anak, empati, dan
peran emosi dalam perkembangan moral. Moral Behavior adalah
bertingkah

laku

secara

aktual dalam

keadaan

tertentu

dengan

mempertimbangkan proses dasar munculnya tingkah laku dan altruism


(mementingkan kepentingan orang lain).
Persoalan konseptual pun muncul mengenai tindakan atau tingkah
laku moral (moral behavior). Apakah suatu tindakan dapat dipandang
sebagai tindakan moral, jika tindakan tersebut tidak pernah dipikirkan
oleh pelakunya? Banyak ahli filsafat moral ataupun mereka yang
menganalisis bahasa moral, kompetensi tentang pertimbangan moral
merupakan suatu keharusan (atau mungkin dipandang cukup) bagi
lahirnya tindakan moral. Sebelum suatu tindakan dapat dipandang
sebagai suatu tindakan moral, alasan atau motivasi si pelaku melakukan
tindakan tersebut harus terlebih dahulu diuji. Sokrates bertanya,
Bilamana menyelam di sungai dapat dinilai sebagai suatu per-buatan
yang berani atau perbuatan konyol? Apabila seseorang melompat ke
sungai untuk menyelamatkan seseorang yang hendak tenggelam, akan

19

tetapi motifnya adalah untuk mendapatkan hadiah, apakah tindakan


tersebut dapat dipandang sebagai tindakan moral atau tidak?
Berkenaan

dengan

itu,

Kleinberger

(1982)

seorang

filosof,

mengidentifikasi tiga tipe dari teori etika (ethical) dalam hubungannya


dengan masalah ini. Tipe pertama ialah tipe rasionalis, yaitu seorang etis
murni, yang menurut Kleinberger diwakili oleh Immanuel Kant dan
Kohlberg. Tipe ini memandang penalaran moral itu sebagai suatu keharus
serta mencukupi bagi lahirnya suatu tindakan moral. Tipe kedua adalah
tipe naturalistis, yaitu seorang etis yang bertanggung jawab yang
menurut Kleinberger diwakili oleh Aristoteles dan John Dewey. Tipe
ini berpandangan bahwa penalaran moral itu memang merupakan suatu
keharusan, akan tetapi tidak mencukupi untuk melahirkan suatu tindakan
moral. Tipe ketiga ialah tipe behavioristik sosial, yang memandang
perbuatan yang lahir sejalan dengan nilai moral yang telah diterima,
sebagai suatu kondisi yang mencukupi bagi lahirnya moralitas suatu
tindakan atau badan (Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz 1993:
89)
Kita dapat membedakan empat tahapan perbuatan (moral), yang
masing- masing dilalui setiap orang sebelum ia dapat meraih tahapan
berikutnya yang lebih tinggi. Keempat tahapan tersebut ialah: (1) tahapan
perilaku naluriah, yang hanya dapat dipengaruhi oleh rasa sakit dan
senang yang dialami seseorang secara kebetulan, dalam rangka kegiatan
naluriahnya; (2) dalam tahapan kedua ini cara beroperasinya gejolak
naluriah dimodifikasi melalui pengaruh hadiah dan hukuman yang kurang
lebih secara sistematis dialaminya dari lingkungan sosialnya; (3) dalam
tahapan

ketiga,

perbuatan

seseorang

terutama

dikendalikan

oleh

antisipasi akan kemungkinan mendapatkan pujian dan celaan; (4) dalam


tahapan tertinggi ini perbuatan diatur oleh suatu pengaturan ideal yang
memungkinkan

seseorang

bertindak

selaran

dengan

apa

yang

dipandangnya benar, lepas dari persoalan, apakah ia akan mendapatkan


pujian atau celaan dari lingkungan sosial yang terdekat.
20

Berkembangnya moral seseorang dari suatu tahap ke tahap


berikutnya sangat tergantung dari perkembangan fisiknya atau biologis,
psikologis (kognisi dan emosi), dan sosialnya, yang disebut faktor intern.
Selain itu dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, misalnya keluarga,
teman sebaya, sekolah, budaya/adat istiadat, media massa, lingkungan
sosial yang disebut faktor ekstern. Faktor ekstern ini terjadi baik secara
sengaja melalui proses sosialisasi, ataupun tidak sengaja melalui proses
enkulturisasi dan akulturasi.

2. Pendidikan Agama: Sebuah Harapan


Ada dua istilah yang hampir sama dan sering digunakan dalam
dunia pendidikan, yaitu: Paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie
berarti pendidikan sedangkan paedagogiek artinya ilmu pendidikan.
Paedagogiek atau ilmu pengetahuan ialah yang menyelidiki, merenungkan
tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dari kata
Paedagogia (Yunani) berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan
yang sering digunakan istilah paedagogog, yaitu seorang pelayan
(bujang) pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaannya mengantar dan
menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Paedagogos berasal dari kata
paedos (anak) dan agoge (saya mem-bimbing, memimpin). (Purwanto,
1985: 1).
Dalam definisi maha luas pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah
segala pengalaman yang berlangsung dalam segala lingkungan dan
sepanjang hidup.

Pendi-dikan

adalah

segala

situasi

hidup

yang

mempengaruhi pertumbuhan individu. Definisi sempit pendidikan adalah


sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan di sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahadjo, 2001: 3-6). Pendidikan
meliputi

semua

mengalihkan

perbuatan

atau

(melimpahkan)

usaha

dari

generasi

pengetahuannya,

tua untuk

pengalamannya,

kecakapan serta ketrampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha

21

untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik


jasmaniah maupun rohaniah.
Pendidikan juga merupakan salah satu usaha mengembangkan
moral anak yang mencakup dua proses sengaja dan tidak sengaja.
Dalam hal ini ada empat pilar pendidikan UNESCO (Delor, 1997) yang
dapat dijadikan pedoman dalam mendidik moral; meliputi learning to
know (belajar mengetahui), learning to do (belajar berbuat), learning to
be (belajar menjadi diri sendiri) dan learning live together (belajar
hidup bersama) merupakan pijakan yang kuat bagi orang tua untuk
mengajarkan dan mendidik moral anak (Andayani, 2004: 3). Dari empat
pilar pendidikan tersebut maka pendidik memiliki peran penting sebaga
berikuti: (1) memperluas wawasan pengetahuan anak tentang nilai-nilai,
sehingga mereka dapat memberikan

alasan-alasan

moral

(moral

reasoning) yang tepat sebelum mereka mewujudkannya dalam tindakan;


(2) membimbing anak agar terampil melakukan suatu tindakan dari apa
yang diyakininya sebagai nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan; (3)
mengarahkan anak agar memiliki sifat-sifat baik yang melekat, agar
konsistensi, intensitas, dan frekuensi dalam melakukan hal-hal yang terpuji
menjadi satu kebiasaan sebagai wujud adanya internalisasi nilai moral;
(4) membimbing anak untuk selalu harmonis dengan lingkungannya,
karena

sebagai

bagian

dari

masyarkaat

mereka

hidup

selalu

bersinggungan dengan orang lain. Oleh karena itu, untuk menjaga


keharmonisan itu anak perlu dibiasakan untuk menampilkan perilakuperilaku yang baik dan benar, sehingga dapat hidup bahagia bersama
dengan orang yang lain tanpa merugikan.
Oleh karena itu pendidikan harus diarahkan untuk membangun
kesadaran kritis peserta didik tentang berbagai hal, termasuk nilai-nilai
moral, hak asasi manusia, kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Dengan
demikian, peserta didik akan menyadari bahwa menyontek, tawuran, dan
menganiaya orang lain itu tidak baik.

22

Mengingat pentingnya penanaman moral bagi peserta didik, ada


beberapa usulan agenda pendidikan bermuatan moral yang harus segera
direalisasikan: Pendidikan harus berdasarkan nilai-nilai agama, budaya,
dan adat istiadat bangsa yang bernilai luhur. Nilai-nilai ini ditanamkan
(diinternalisasikan) ke dalam diri peserta didik harus secara komprehensif
dan melekat dalam setiap mata pelajaran. Dalam setiap mata pelajaran
seharusnya ada pesan nilai dan moral tersebut untuk kemudian dihayati
dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Islam selalu mendorong umatnya untuk menggunakan akal dan
menuntut ilmu pengetahuan, agar dengan demikian mereka dapat
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dapat menyelami
hakekat alam. Islam mewajibkan kepada umatnya untuk melaksanakan
pendidikan. Karena menurut ajaran Islam, pendidikan adalah juga
merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu untuk mencapai tingkat takwa atau manusia
yang berkepribadian muslim menghendaki adanya pendidikan. Pendidikan
itu harus dilakukan sedemikian rupa sehingga sampai ketingkat yang
dikehendaki Allah SWT. sendiri, yang sebenar-benarnya takwa, seperti
firmannya dalam Surah Ali Imran: 102;

Hai orang-orang yang

beriman, bertakwalah kamu kepada Allah sebenar-benar takwa kepadaNya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam.
Tujuan pendidikan Islam yang sejalan dengan misi Islam itu
sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat
akhlak al-karimah. Tujuan itu sama dan sebangun dengan target yang
terkandung dalam tugas kenabian yang diemban oleh Rasul Allah SAW,
yang terungkap dalam pernyataan beliau: Sesung-guhnya aku diutus
adalah untuk membimbing manusia mencapai akhlak yang mulia
(hadis). Faktor kemuliaan akhlak dalam pendidikan Islam dinilai sebagai

23

faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan, yang menurut


pandangan Islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu
menata kehidupan yang sejahtera di dunia dan kehidupan akhirat
(Jalaluddin & Usman Said, 1994: 38).
Dengan demikian tujuan akhir pendidikan yang dikehendaki
Islam adalah terbentuknya manusia yang sempurna yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa atau berkepribadian muslim. Kepribadian muslim
adalah suatu istilah yang abstrak dan sulit untuk menentukan siapa dan
kapan seseorang telah mencapai keadaan itu, karena penentuan siapa-siapa
diantara hambanya yang mencapai kesempurnaan itu merupakan hak
Allah. Namun demikian tujuan pendidikan islam adalah identik dengan
tujuan hidup manusia, seperti tercantum dalam Al-Qur'an: Dan aku
(Allah)

tidak

menjadikan

jin

dan

manusia

melainkan

supaya

menyembahKu(QS. Adz-Dzariyat: 56). Dan mereka tidak disuruh


melainkan agar menyembah Allah dan

dengan

ikhlas

beragama

kepadanya. (QS. Bayyinah ayat : 5) Dengan demikian jelaslah bahwa


tujuan hidup manusia adalah untuk menjadi hamba Allah yaitu
mempercayai dan menyerahkan diri hanya kepadaNya. Kepribadian
seperti inilah yang disebut kepribadian muslim (taqwa) dan ke sinilah
arah dan tujuan terakhir dari pendidikan Islam. Hal tersebut berarti juga
bahwa pendidikan tidak hanya menyangkut aspek kognitif, tetapi juga
aspek afektif dan psikomotor. Oleh karenanya, beban tanggungjawab
yang diberikan kepada guru agama lebih berat, sehingga dalam rangka
terwujudnya tujuan pendidikan yang dikehandaki maka perlu adanya
kerjasama antara guru agama dengan guru lain. Zakiyah Daradjat
(1991: 112) dalam bukunya ilmu jiwa agama, menyatakan bahwa
pendidikan agama sesungguhnya jauh lebih berat daripada pengajaran
pengetahuan umum apapun. Beratnya tidak terletak pada ilmiahnya, akan
tetapi pada isi dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama
ditujukan kepada pembentukan sikap, pembinaan akhlak, atau dengan
ringkas

dikatakan

pembinaan

kepribadian

disamping

pembinaan
24

pengetahuan agama anak. Dengan demikian pendidikan yang ditujukan


kepada anak adalah secara keseluruhan atau seutuhnya, mulai dari
pemberian pengetahuan, pembinaan sikap, dan pribadinya, sampai kepada
pembinaan tingkah laku (akhlak) sesuai dengan ajaran agama. Dalam
agama Islam,

tanggungjawab pendidikan

tidak hanya terletak

di

pundak guru atau pendidik formal di sekolah, tetapi merupakan


tanggungjawab bersa-ma antara orang tua, guru dan masyarakat. Ini berarti
bahwa yang dimaksud pendidik itu adalah orang tua, guru dan orang
dewasa lainnya yang harus dapat membawa anak kearah kehidupan yang
sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam kaitan ini Allah SWT, dalam surah al-Baqarah: 44
dengan tegas menyatakan;

Mengapa

kamu

suruh

orang

lain

(mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban)mu


sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (taurat)? Maka tidakkah kamu
berfikir ?
Jadi melalui pendidikan agama kita dapat mengembangkan moral
anak dan akhirnya dimana segala sikap, tindakan, perbuatan, dan
perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi yang terbina didalamnya nilai
agama,

yang

akan

menjadi

pengendali

perbuatannya.

Dengan

pengembangan moral melalui pendidikan maka akan tercipta suatu


manifestasi riil dan tercermin dalam perilaku. Sayyid Sabiq (1981: 52)
dalam bukunya Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, mengatakan bahwa
orang yang berpegang teguh pada agama, senantiasa menjaga hatinya
untuk tidak menuruti hawa nafsu, senantiasa cenderung terhadap sesuatu
yang diridahi Tuhan; bersih dari noda dan dapat membawa dirinya
kepada lebih takwa. Lebih jauh Zakiyah Daradjat (1977: 15) dalam
bukunya Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia berpendapat bahwa
apabila keyakinan beragama itu betul-betul telah menjadi bagian
integral dari kepribadian seseorang, maka keyakinan itulah yang akan
mengawasi segala tindakan, perkataan bahkan perasaannya. Hal ini

25

menunjukkan bahwa pendidikan agama sangat perlu dan penting diberikan


kepada anak dalam rangka mengembangkan moral.
Jadi, Sekarang merupakan saat yang tepat untuk memulai
memformat kembali pola pendidikan yang sudah berjalan. Rencana dan
realisasinya bukan semata-mata beroritentasi pada materi pelajaran dan
kognisi, melainkan juga perhatian dan stimulasi terhadap asfek non
kongnisi antara lain berupa, kecerdasan moral, emosi dan spiritual.
Pendidikan agama yang diberikan kepada anak hendaklah secara
keseluruhan

atau

seutuhnya,

mulai

dari

pemberian

pengetahuan,

pembinaan, sikap, dan kepribadi-annya sampai kepada pembinaan tingkah


laku (akhlak) sesuai dengan ajaran agama. Dengan pendidikan agama
ini diharapkan tercipta suatu menifestasi riil yang tercermin dalam
perilaku bermoral. Agama menjadi kepribadian anak dimana segala sikap,
tindakan, perbuatan, dan perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi yang
terbina didalamnya nilai agama,

yang akan menjadi pengendali

perbuatannya. Inilah yang dinamakan insan yang bertaqwa.

26

Anda mungkin juga menyukai