Anda di halaman 1dari 10

1.

Obat Hipoglikemia Oral


Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral Menurut Pedoman PERKENI 2006 (PERKENI ,2006)

Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral Menurut AACE Guidelines 2007 (AACE, 2007)
Nama Obat, Generik
(Brand)
Pioglitazon (Actos)

Dosis awal
Thiazolidindione
15 atau 30 mg 1 X sehari

Pioglitazon+Metformin
(ActoPlusMet)

a)

Rosiglitazon (Avandia)

4 mg 1 X sehari atau
2 mg 2 X sehari

Rosiglitzon+Metformin
(Avandamet)

2 mg/ 500 mg 2 X sehari

Komentar

45 mg 1 X
sehari

Diberikan dengan atau


tanpa makanan
- Diindikasikan untuk
pasien:
(a) Dengan DM tipe 2
dg terapi
kombinasi
pioglitazon +
metformin,
(b) Dengan glikemia
tidak mampu
dikontrol
metformin sendiri,
(c) Pada awal
pioglitazon
memberi respon
sendiri tetapi
dibutuhkan
kontrol glikemik
- Penjadwalan dosis
berdasarkan dosis
dari masing-masing
komponen
- Mempertimbangkan
pemberian dosis
harian terbagi dg
makanan untuk
mengurangi efek
samping
gastrointestinal jika
digunakan dengan
metformin
Diberikan dengan atau
tanpa makanan

Jika terapi
tunggal dengan
metformin tidak cukup
terkontrol salah dengan
dosis 15 mg/ 500 mg
atau 15 mg/ 850 mg 1 X
sehari/ 2 X sehari
b)
Jika dosis awal
memberikan respon
pada terapi tunggal
pioglitazon atau diganti
kombinasi terapi
pioglitazon +
metformin: 15 mg/ 500
mg 2 X sehari atau 15
mg/ 850 mg 1 X sehari /
2 X sehari

Nama Obat, Generik


Dosis awal
(Brand)
Rosiglitazon+ Glimepirid 4 mg/ 1 mg atau 4 mg/ 2
(Avandaryl)
mg 1 X sehari
Biguanides
Metformin (Glucophage)

Dosis
Maximum

500 mg 2 X sehari atau


850 mg 1 X sehari pada

8mg 1 X
sehari / 4 mg 2
X sehari
4 mg/ 1000 mg Penjadwalan dosis
2 X sehari
berdasarkan dosis dr
masing-masing
komponen
Diberikan dg makanan
Dosis
Komentar
Maximum
8 mg
Diberikan dengan
rosiglitazon
makanan pertama
dan 4 mg
glimepirid
2550 mg
terbagi 3 dosis

Diberikan dengan
makanan. Dosis efektif

pagi hari
Metformin
extended 500 mg 1 X sehari di
release
(Glucophage malam hari
XR)

Gliburid+Metformin
(Glucovance)

Gliburid
(Micronase)

1,25 mg/ 250 mg 1 X


sehari atau 2 X sehari

Sulfonilurea
Generasi
(DiaBeta) 1,25-5 mg 1 X sehari

2000 mg 1 X
sehari

20 mg/ 2000
mg terbagi
sehari

Kedua
20 mg terbagi
1-2 dosis 1 X
sehari atau 2 X
sehari

Glipizid (Glucotrol)

5mg 1 X sehari; 2,5 mg 1


X sehari pada pasien usia
lanjut

40 mg terbagi
2 dosis

Glimepirid (Amaryl)

1-2 mg 1 X sehari

8 mg 1 X
sehari

Glinides (Short-acting
Repaglinid (Prandin)

Secretagogues)
c) Pasien usia lanjut dan
pasien yg sebelumnya
belum melakukan
terapi OHO atau
pasien dengan HbA1c
< 8%: diberi 0,5 mg 3
X sehari

Nama Obat,
Generik
Dosis awal
(Brand)

16 mg/ hari

Dosis
Maximum
d) Pasien yang
sebelumnya terapi dg
OHO atau dengan
HbA1c > 8%: diberi 1-

maximum 2000 mg/hari


Peningkatan dosis 500
mg/ hari setiap minggu
Jika kontrol glikemik
tidak ketat,diganti
regimen 2 X sehari
Kemungkinan toleransi
gastrointestinal lebih
baik daripada
immediate-release
metformin
Dosis awal seharusnya
tidak melebihi dosis
harian gliburide atau
metformin;
Peningkatan dosis
dapat dibuat interval 2
minggu

Dosis diberikan 1 X
sehari pada saat
sarapan atau pada saat
pertama makan
Dosis > 10 mg/ hari
sebaiknya dibagi dan
diberikan 2 X sehari
Dosis diberikan 1 X
sehari pada 30 menit
sebelum sarapan atau
setelah saat pertama
makan
Dosis >15 mg/ hari
sebaiknya dibagi dan
diberikan 2 X sehari
Diberikan pada saat
sarapan atau pertama
kali makan
Diberikan 15-30 menit
sebelum setiap makan

Komentar

Nateglinid (Starlix)

2 mg 3 X sehari
120 mg 3 X sehari; 60 mg 120 mg 3 X
3 X sehari pada pasien usia sehari
lanjut

-Glucosidase Inhibitors
Acarbose (Precose)
25 mg 3 X sehari

Miglitol (Glyset)

25 mg 3 X sehari

100 mg 3 X
sehari

100 mg 3 X
sehari

Diberikan 15-30 menit


sebelum setiap makan

Diberikan dengan
suapan pertama setiap
makan
Dosis seharusnya
ditingkatkan secara
gradual selama
toleransi lebih dari
beberapa minggu
Diberikan dengan
suapan pertama setiap
makan
Dosis boleh
ditingkatkan secara
gradual selama
toleransi lebih dari
beberapa minggu

2. Diagnosis PAP dari ABI


Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada pembuluh
darah non sindroma koroner akut setelah keluar dari jantung dan aortailiaka sehingga
pembuluh yang dapat menjadi lokasi terjadinya PAP adalah pembuluh pada keempat
ekstremitas, arteri karotis, arteri renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis, dan semua

pembuluh cabang yang keluar dari aortailiaka. Namun demikian, secara klinis PAP
merupakan gangguan pada arteri yang memperdarahi ekstremitas bawah.
PAP dapat terjadi oleh karena adanya perubahan struktur ataupun fungsi dari
pembuluh darah. PAP sering kali merupakan bagian dari proses penyakit sistemik yang
berpengaruh terhadap kelainan arteri multipel. Adanya PAP pada satu arteri menjadi
prediktor kuat adanya PAP pada arteri lainnya, termasuk pada pembuluh darah koroner,
karotis dan serebral.
Keluhan PAP yang paling umum adalah sensasi sakit pada kaki saat sedang
berolahraga/aktivitas fisik, ini dikenal sebagai klaudikasio intermiten. Sensasi sakit, sensasi
terbakar, sensasi berat atau sesak pada otot-otot kaki ini biasanya dimulai setelah berjalan
pada jarak tertentu, berjalan menaiki bukit, atau menaiki tangga dan akan hilang setelah
beristirahat selama beberapa menit. Pasien dengan klaudikasio intermiten memiliki aliran
darah yang normal pada saat istirahat, oleh karena itu, tidak ada gejala nyeri/sakit pada kaki
saat istirahat. Dengan berolahraga, aliran darah pada arteri otot-otot kaki dapat dibatasi oleh
sumbatan aterosklerosis. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidaksesuaian antara suplai
oksigen dan otot permintaan metabolik, sehingga memunculkan gejala klaudikasio.
Pasien dengan PAP yang parah dapat mengalami klaudikasio setelah berjalan
walaupun hanya dalam jarak yang pendek atau mengalami sensasi sakit di kaki ketika
istirahat atau ketika berbaring di tempat tidur di malam hari. Pada kasus yang parah, pasien
juga dapat mengalami ulkus yang tidak dapat sembuh dengan sendirinya atau kulit yang
menghitam (gangren) pada kaki atau jari kaki.
Dampak dan Faktor Risiko PAP
Pasien dengan PAP kemungkinan mengalami banyak masalah, seperti klaudikasio
intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat inap berulang,
revaskularisasi dan amputasi anggota tubuh. Hal ini menyebabkan kualitas hidup pasien
menjadi buruk dan meningkatkan kejadian depresi pada pasien. Pasien dengan PAP juga
memiliki kemungkinan lebih besar mengalami infark miokard (MI), stroke, dan kematian
akibat penyakit jantung.
Penyebab terbesar PAP adalah adanya aterosklerosis, sehingga dapat dikatakan
bahwa faktor risiko aterosklerosis juga menjadi faktor risiko PAP. Faktor risiko klasik PAP
adalah :

Usia tua
Hipertensi
Dislipidemia
Diabetes mellitus
Merokok
Riwayat penyakit jantung
Jenis kelamin dan ras.

Faktor risiko potensial lainnya adalah peningkatan kadar c-reactive protein,


fibrinogen, homosistein, apolipoprotein b, lipoprotein a dan viskositas plasma.

Gambar 1. Perkiraan odds rasio untuk setiap faktor risiko PAP simptomatik

Patofisiologi PAP
PAP
multipel

merupakan
yang

proses

disebabkan

sistemik

oleh

yang

karena

berpengaruh

terhadap sirkulasi arteri

adanya aterosklerosis, penyakit degeneratif,

kelainan displasia, inflamasi vaskuler (arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli. Dari
sekian proses patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang paling banyak
di dunia adalah aterosklerosis. Aterosklerosis biasanya didahului oleh adanya disfungsi

endotel. Endotelium sehat, normalnya berfungsi untuk mempertahankan homeostasis


pembuluh darah dengan menghambat kontraksi sel otot polos, proliferasi tunika intima,
trombosis, dan adhesi monosit. Endotel memiliki peranan penting dalam meregulasi proses
inflamasi dalam pembuluh darah yang normal, yakni menyediakan permukaan antitrombotik
yang menghambat agregasi platelet dan memfasilitasi aliran darah. Endothelium normal
mengatur proses trombosis melalui pelepasan oksida nitrat, yakni NO, yang menghambat
aktivasi trombosit, adhesi, dan agregasi, serta mediator lain dengan kegiatan antitrombotik.
Disfungsi endotel berhubungan dengan sebagian besar faktor risiko penyakit
kardiovaskular, yang terkait dengan terjadinya mekanisme sentral pembentukan lesi
aterosklerotik. Penurunan kemampuan endotel untuk bervasodilatasi juga dikaitkan dengan
faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Zat yang diperdebatkan sebagai zat paling penting yang berperan dalam proses
relaksasi pembuluh darah adalah Nitrat Oksida (NO). NO tidak hanya terlibat dalam relaksasi
otot polos pembuluh darah, tetapi juga memediasi penghambatan aktivasi trombosit, adhesi,
dan agregasi; mencegah proliferasi otot polos pembuluh darah; dan mencegah adhesi leukosit
pada endotel. Aktivitas biologis NO ternyata terganggu pada pasien dengan penyakit vaskular
aterosklerotik koroner dan pembuluh darah perifer.
Diagnosis PAP dari ABI
Ankle Brachial Index (ABI) adalah tes skrining vaskular non invasif untuk
mengidentifikasi penyakit arteri perifer.ABI adalah rasio yang berasal dari tekanan darah
sistolik pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibialis posterior) setiap kaki kanan dan kiri
dibandingkan dengan lengan brakialis. Jika aliran darah normal di ekstremitas bawah,
tekanan pada pergelangan kaki harus sama atau sedikit lebih tinggi dengan di lengan, maka
ABI akan bernilai 1,0 atau lebih. ABI yang bernilai 0,9 menunjukkan adanya PAP.
Tabel Interpretasi Nilai ABI
American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Nilai ABI

Interpretasi

>1,4

Dugaan kalsifikasi arteri

1 1,4

Normal

0,91 0,99

Borderline

0,90

Abnormal

Gambar Ankle Brachial Index

ABI memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi, serta akurasi yang baik untuk
menetapkan diagnosis PAP. ABI telah digunakan dalam banyak studi cross sectional untuk
mendeteksi adanya PAP. Alat ini merupakan alat yang paling hemat biaya untuk mendeteksi
PAP.
ACC / AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya dilakukan pada :
a. Individu yang diduga menderita gangguan arteri perifer karena adanya gejala
exertional leg atau luka yang tidak sembuh.
b. Usia 65 tahun.
c. Usia 50 yang mempunyai riwayat DM atau merokok.

Sebagai tambahan, American Diabetes Associaton (ADA) menyarankan skrining ABI


dilakukan pada penderita DM dengan usia < 50 tahun yang mempunyai faktor risiko penyakit
arteri perifer seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, dan lamanya menderita DM >10
tahun.
Keterbatasan ABI
a. ABI adalah pemeriksaan yang menyimpulkan lokasi anatomi dari oklusi atau stenosis
secara tidak langsung. Lokasi pasti dari stenosis atau oklusi tidak bisa ditentukan
hanya dengan menggunakan ABI.
b. ABI dapat meningkat (>1,3) karena adanya kalsifikasi arteri pada pergelangan kaki
pasien yang memiliki penyakit diabetes, gagal ginjal dan rheumatoid arthritis; dan
pada keadaan ini, tes vaskular lainnya seperti TBI (Toe Brachial Index) perlu
dilakukan.
c. Studi yang melakukan evaluasi vaskular pada 1.762 subyek, melaporkan bahwa ABI
meningkat pada 8,4% individu dan prevalensi PAP pada individu ini adalah 62,2%.
d. Beberapa individu dengan stenosis arteri dapat mengalami gejala klaudikasio saat
beraktivitas namun memiliki tekanan pergelangan kaki yang normal saat istirahat,
pada kasus ini diperlukan evaluasi vaskular lainya.

Gambar Alogaritma untuk mendiagnosis PAP


Kontraindikasi untuk ABI
1
2

Apabila terdapat rasa sakit luar biasa di kaki bagian bawah / kaki.
Pada kondisi terdapat trombosis vena dalam, yang dapat menyebabkan lepasnya trombus,

sebaiknya dirujuk untuk dilakukan tes duplex ultrasound


Nyeri berat terkait dengan luka pada ekstremitas bawah.

Daftar Pustaka

1. AACE. 2007. Medical Guidelines for Clinical Practice for the Management of Diabetes
Mellitus.American Assosiation of Clinical Endocrinologists. America
2. Alexis Le Faucheur and Bndicte Noury-Desvaux. 2010. AnkleBrachial Index and
Peripheral Arterial Disease. N Engl J Med 2010; 362:470-472
3. Emile R. Mohler III. 2012. Screening for Peripheral Artery Disease.American Heart
Association
4. PERKENI. 2006. Konsensus Pencegahan dan Pengelolaan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia.
Jakarta

5. S. Marlene Grenon., Joel Gagnon and York Hsiang. 2009. AnkleBrachial Index for
Assessment of Peripheral Arterial Disease. N Engl J Med 2009; 361:e40

Anda mungkin juga menyukai