Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KLASIFIKASI NEGARA
Seperti telah dikatakan di atas dalam Bab 1, pokok pembicaraan dalam klasifikasi
negara ini adalah masalah-masalah mengenai kemungkinan-kemungkinan daripada bentuk
negara artinya sesuatu yang dinamakan negara itu mempunyai kemungkinan bentuk apa saja.
Jadi tegasnya tidak akan dibicarakan bentuk-bentuk negara yang telah ada, dalam beberapa
hal hanya diambil sebagai contoh untuk menjelaskan, tetapi yang pokok yang akan
dibicarakan adalah kemungkinan-kemungkinan bentuk daripada sesuatu yang dinamakan
negara itu. Jadi lebih tegas lagi bahwa yang akan dibicarakan adalah ajaran-ajaran, yaitu
ajaran-ajaran mengenai klasifikasi bentuk-bentuk negara.
Disamping hal-hal yang telah dibicarakan di muka antara lain: asal mula negara,
hakekat negara, tujuan negara, legitimasi kekuasaan, maka teori tentang bentuk-bentuk
negara dan bentuk-bentuk pemerintahan wajib mendapatkan perhatian seperlunya, karena hal
ini adalah penting sekali. Pentingnya itu karena hal tersebut dapat menolong dalam
mengartikan dan menempatkan tiap tiap gejala baru yang disebut negara yang ditemui di
dalam penyelidikan selanjutnya.
Maka dari itu, hal ini adalah merupakan salah satu tugas pokok daripada ilmu negara.
Sejak timbulnya pemikiran tentang negara dan hukum orang telah membicarakan
kemungkinan-kemungkinan daripada bentuk negara, akan tetapi perlu diketahui bahwa hal ini
sampai sekarang belum mendapatkan kesatuan pendapat dari para ahli pemikir tersebut. Hal
ini antara lain disebabkan:
a. Negara itu sebenarnya adalah merupakan suatu proses yang setiap waktu dapat
mengalami perubahan, perubahan mana adalah sesuai dengan keadaan. Kita ingat
misalnya kepada teori-teori yang telah kira bicarakan, antara lain teori-teori tentang
bentuk negara dari Plato, Aristoteles, dan Polybius. Yang pada pokoknya menyatakan
bahwa tidak ada satu bentuk negarapun yang mempunyai sifat kekal. Malahan dalam
teori Polybius tadi dikatakan bahwa perubahan dari bentuk-bentuk negara itu berjalan
sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya akan kembali ke bentuknya yang semula, ingat
Cyclus theory. Maka akibatnya hingga sekarang inipun untuk mengadakan klarifikasi
yang tetap dan bersifat umum serta yang berlaku untuk selama-lamanya adalah tidak
mungkin lagi pula karena perubahan jaman itu telah menimbulkan tipe-tipe baru dalam
pemikiran tentang negara dan hukum, maupun dalam praktek kenegaraan. Misalnya saja
dengan adanya formasi baru yang disebut Perserikatan Bangsa-bangsa, ini menimbulkan
bentuk baru dalam Ilmu Negara.
b. Di dalam perkembangan pemikiran tentang negara dan hukum peristilahan di dalam ilmu
kenegaraan sering mengalami perubahan pengertian. Hal ini disebabkan karena kurang
cepatnya perubahan istilah-istilah itu kalau dibandingkan dengan perubahan-perubahan
pengertian. Ingat saja dalam hal ini misalnya konsekuensi daripada ajaran Rousseau,
yang telah dibicarakan. Pula, misalnya istilah monarki, mono artinya satu, dan archien
artinya pemerintahan, maka monarki mendapatkan pengertian negara di mana
pemerintahannya itu hanya dipegang oleh satu orang tunggal, sepertinya dikemukakan
oleh Plato, Aristoteles, Polybius.
Tetapi kemudian pada jaman modern ini, pengertian monarki itu telah mengalami
perubahan. Yaitu menjadi negara dimana kepala negaranya itu ditunjuk atau diangkat
berdasarkan sistem atau stelses pewarisan, artinya jabatan atau kedudukan kepala negara
itu dapat diwariskan. Ini dikemukakan oleh Leon Duguit, yang nantinya ajarannya akan
kita bicarakan di bawah. Juga misalnya ajaran dari Georg Jellinek, istilah monarki
mendapatkan pengertian yang lain lagi.
c. Di dalam mengadakan klasifikasi bentuk-bentuk negara, para sarjana itu mengemukakan
atau mempergunakan kriteria atau dasar atau ukuran yang berbeda-beda. Ingat bahwa
yang kita bicarakan disini adalah suatu klasifikasi, bukan pembagian. Di dalam
mengklasifikasikan sesuatu itu harus mempergunakan suatu kriteria, tanpa kriteria hal itu
tidaklah mungkin, lain halnya dengan suatu pembagian.
d. Bahkan mengenai apa yang disebut negara itu saja para sarjana, khususnya para ahli
pemikir tentang negara dan hukum telah memberikan pengertian yang berbeda-beda,
menurut sudut pandangannya atau filsafatnya masing-masing, serta selalu menyesuaikan
dengan keadaan dan kebutuhan jamannya.
e. Sedangkan sesuatu istilah saja kadang-kadang mempunyai pengertian yang bermacammacam. Misalnya istilah monarki itu kadang-kadang mempunyai pengertian monarki
absolute, monarki terbatas, monarki konstitusionil.
1. Klasifikasi Negara Klasik-tradisional:
Monarki, Aristokrasi, Demokrasi
Telah dikatakan di atas bahwa sejak timbulnya pemikiran tentang negara dan
hukum, para ahli pemikir itu telah membicarakan kemungkinan-kemungkinan daripada
bentuk negara. Pada umumnya mereka itu mengklasifikasikan bentuk-bentuk negara
menjadi tiga golongan, dan yang dipergunakan sebagai kriteria pada umumnya dapat
dikatakan sama. Hanya saja mereka itu kadang-kadang mempergunakan cara atau sistem
serta istilah-istilah yang berbeda-beda. Periksa kembali misalnya ajaran-ajaran dari Plato,
Aristoteles, dan Thomas van Aquinas yang telah dibicarakan di atas. Mereka ini
mengklasifikasikan negara dalam tiga bentuk yaitu monarki, aristokrasi, dan demokrasi.
Sedangkan yang dipergunakan sebagai kriteria dalah :
a. Susunan dari pada pemerintahnnya. Artinya, kalah yang dimaskud adalah jumlah
orang yang memegang pemerintahan, pemerintahan itu dipegang atau dilaksanakan
oleh satu orang tunggal, beberapa atau segolongan orang, ataukah pada prinsipnya
pemerintahan itu ada pada rakyat.
b. Sifat dari pemerintahan. Artinya pemerintahan itu ditujukan untuk kepentingan
umum, ini yang baik: ataukah hanya untuk kepentingan mereka yang memegang
pemerintahan itu saja, ini yang buruk. Jadi pada azasnya mengakui bahwa mereka
tidak
melaksanakan
kekuasaan-kekuasaannya,
atau
tidak
menjalankan
dari negara itu. Sebab sebagai cara terbentuknya undang-undang itu adalah demikian
juga cara terbentuknya kemauan negara.
Menurut Jellinek ada dua macam cara mengenai terbentuknya kemauan negara itu.
a. Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam jiwa seseorang yang
mempunyai wujud atau bentuk fisik. Artinya kemauan negara itu hanya ditentukan
oleh satu orang tunggal, tiada orang atau badan lain yang dapat ikut campur dalam
pembentukan kehendak negara itu, kemauan negara yang terbentuk secara demikian
ini disebut kemauan fisik, dan negara yang mempunyai kemauan fisik itu disebut
monarki. Jadi tegasnya, di dalam monarki ini undang-undang negara itu hanya
ditentukan atau dibuat oleh satu orang tunggal.
b. Kemauan negara itu terbentuk atau tersusun di dalam suatu dewan. Dewan itu adalah
suatu pengertian yang adanya hanya di dalam hukum, dan sifatnya abstrak, serta
berbentuk yuridis. Memang sebenarnya anggota-anggota daripada dewan itu, yaitu
orang, masing-masing adalah merupakan kenyataan dan mempunyai bentuk fisik,
msaing-masing adalah merupakan kenyataan dan mempunyai bentuk fisik, tetapi
dewannya itu sendiri adalah merupakan kenyataan yuridis, karena dewan itu adalah
merupakan konstruksi hukum, jadi yang adanya ini justru sebagai akibat ditetapkan
oleh peraturan hukum, di mana beberapa orang merupakan suatu kesatuan, dan
dianggap sebagai suatu person. Kehendak negara yang terbentuk atau tersusun
secara demikian ini disebut kehendak atau kemauan yuridis dan negara yang
memiliki kemauan yuridis ini disebut Republik.
Kemauan negara itu sendiri tidak dapat kita lihat, karena sifatnya adalah abstrak.
Maka kalau kita ingin mengetahui dengan cara bagaimanakah kemauan negara itu
terbentuk kita harus melihat atau mempelajari undang-undang negara itu sendiri, sebab,
seperti tadi telah dikatakan, undang-undang itu adalah merupakan penjelmaan atau
bentuk konkrit daripada kemauan negara. Oleh karena itu dapatlah dikatakan apabila
dalam suatu negara itu undang-undangnya merupakan hasil karya dari satu orang tunggal
saja, maka negara itu disebut monarki. Sedangkan sebaliknya apabila undang-undangnya
merupakan hasil karya daripada suatu dewan, negara itu disebut Republik.
Bagaimanakah konsekuensi daripada pendapat Jellinek ini terhadap hukum
kebiasaan? Menurut Jellinek kebiasaan itu hanyalah merupakan hukum, apabila negara
menghendaki dan menetapkannya sebagai hukum.
Sesuai dengan sistem ajarannya, Jellinek menggolongkan negara yang disebut
Wahl-monarchie ke dalam bentuk negara monarki. Yang demikian ini disetujui pula oleh
Kranenburg tetapi sementara itu nanti di lain hal, yaitu terhadap pendapat Jellinek
mengenai perbedaan antara monarki dengan republik, Kranenburg tidak dapat
menerimanya, terutama monarki yang dipergunakan oleh Jellinek. Tetapi baiklah
sebelumnya kira membicarakan hal ini, dibicarakan dahulu apakah yang dimaksud
dengan Wahl-monarchie itu.
Wahl-monarchie itu adalah suatu negara di mana kepala negaranya itu dipilih atau
diangkat oleh suatu organ atau badan khusus, Kekhususannya itu dalam arti, bahwa meal
organ tersebut terbatas pada pemilihan atau pengangkatan itu saja; jadi sesudah
mengadakan pemilihan atau pengangkatan kepala negara, tugas organ tersebut adalah
sudah selesai. Hanya istimewanya, dan ini yang merupakan kekhususan pula, organ
tersebut tidak lalu dibubarkan, karena organ tersebut lalu menjadi bawahan daripada
kepala negara yang baru saja mereka pilih atau mereka angkat itu tadi.
Tegasnya, kepala negara tadi, yaitu monarki, menjadi kepala daerah, atau
pemimpin daripada organ tersebut. Jadi raja atau monarki tidaklah merupakan wakil
daripada para pemilih tadi. Dengan demikian kekuasaaannya lalu menjadi besar atau luas
sekali, karena tidak saja berkuasa dalam lapangan pemerintahan, tetapi juga dalam
lapangan perundang-undangan. Sebagai contoh daripada apa yang disebut Wahlmonarchie ini adalah: Kerajaan Jerman, di mana raja Romawi dipilih oleh raja-raja
pemilih. Juga misalnya negeri Polandia, yang sebenarnya bukan monarki, melainkan
adalah republik aristokrat, yang kepala negaranya dipilih oleh raja-raja pemilih, dan
bergelar raja.
Di atas telah dikatakan bahwa Kranenburg tidak dapat menerima ajaran atau
pendapat Jellinek mengenai perbedaan antara monarki dengan republik dan ini terutama
ditujukan terhadap kriteria yang dipergunakan oleh Jellinek di dalam pembedaan
tersebut. Karena di dalam ajarannya itu ada kelemahan atau keberatannya.
Kelemahan atau keberatan daripada pendapat Jellinek ini antara lain ternyata,
bahwa setelah Jellinek menetapkan kriterianya seperti tersebut di atas, yaitu cara
terbentuknya kemauan negara, maka adalah aneh sekali apabila ia, Jellinek,
menggolongkan negara Inggris ke dalam monarki, sebab kalau Jellinek konsekuen
dengan teorinya, seharusnya ia menyebut negara Inggris ke dalam golongan republik.
Karena di Inggris pembentukan kemauan negara yang berwujud undang-undang itu tidak
terjadi secara fisik, artinya tidak hanya dibuat, atau ditentukan oleh satu orang tunggal,
tetapi terjadi secara yuridis, yaitu bahwa pembentukan undang-undang di Inggris
dilakukan oleh King in Parliament, oleh Mahkota bersama-sama dengan parlemen,
sedang dimaksud dengan Mahkota itu adalah raja dan para menterinya.
untuk memperlakukan undang-undang karena meskipun betul isi atau materi undangundang itu yang menetapkan adalah Mahkota bersama-sama dengan perlemen, tetapi
perintah untuk memperlakukan undang-undang tetap ada pada tangga raja. Jadi proses
pembentukan undang-undang di Inggris itu dimulai dari raja dan diakhiri oleh raja pula.
Kalau seandainya raja tidak mau berbuat demikian, artinya raja tidak mau
mempergunakan versammlungsrecht yaitu mengundang parlemen untuk bersidang, dan
terlebih raja tidak mau memberikan royal assent atau royal proclamatian, maka tidak ada
suatu kekuasaaanpun di dunia ini yang dapat memaksanya. Oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa Inggris adalah tetap monarki, sebab undang-undangnya, jadi berarti
juga kehendak negaranya, terjadi atau tersusun di dalam pisik raja dengan pisiknya.
Demikian pendapat Jelliinek.
Tetapi terhadap pendapat Jellinek ini Kranenburg tetap tidak dapat menerima dan
mempertahankan keberatan yang telah dianjurkan dengan mengatakan:
Bahwa kalau raja itu menjadi pusat pembentukan undang-undang, menjadi titik
awal dan titik akhit pembentukan undang-undang. Jadi merupakan faktor yang
menentukan. Kalau begitu keadaanya mestinya raja sendiri dapat membuat undangundang tanpa parlemen. Tetapi kenyataannya tidak demikian, raja tidak dapat membuat
undang-undang sendrian saja, tanpa turut sertanya parlemen, karena dengan satu royal
proclamatian saja, raja tidak dapat membuat dan memperlakukan undang-undang.
Karena yang menentukan itu adalah raja bersama-sama menteri dan perlemen, jadi yang
menentukan ini bukanlah raja yang sendirian. Maka kehendaknya, yaitu yang berupa
undang-undang, bukanlah kehendak negara bersifat fisik melainkan kehendak negara
yang bersifat yuridis, karena dalam pembentukan undang-undang ini raja, menteri dan
parlemen bertindak bersama-sama dalam arti adalah persesuaian kehendak dan
merupakan suatu dewan.
Selain daripada itu yang dikemukakan oleh Jellinek bahwa raja itu wenang
menolak undang-undang yang telah ditetapkan oleh parlemen dalam arti raja tidak mau
memberikan royal proclamation dan tidak ada satu kekuasaan pun di dunia ini yang
dapat memaksa raja, ini adalah tidak betul. Sebab hingga sekarang di dalam sejarah
ketatanegaraan Inggris, menurut convention, raja itu tidak pernah menolak suatu usul
undang-undang yang telah ditetapkan oleh parlemen. Dengan demikian ajaran Jellinek
tersebut bertentangan dengan kenyataan sejarah.
Memang demikianlah keadaannya, bahwa
pendapat
Jellinek
itu
sangat
bertentangan dengan keadaan yang senyatanya. Karena kenyataanya jauh sekali berbeda
dengan apa yang dikemukakan oleh Jelink, apabila kriterianya itu diterapkan secara
Sedangkan suatu negara itu disebut republik, apabila kepala negaranya itu ditunjuk
atau diangkat tidak berdasarkan sistem pewarisan, jadi misalnya dapat dengan cara
pemilihan, perampasan, penunjukan, dan sebagainya.
Kalau kita bandingkan antara teori dari Jellinek dengan teori dari Leon Duguit,
maka untuk keadaan sekarang, teori dari Leon itulah yang lebih sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, walaupun harus diakui pula bahwa dalam kenyataanya yang terjadi itu
tidaklah semudah sebagaimana digambarkan oleh Leon Duguit seperti tersebut di atas.
Karena kenyataanya banyak hal-hal yang merupakan postulate tambahan atau attribute
dari seseorang kepala negara dari negara yang disebut monarki itu.
Tegasnya seseorang itu dapat menjadi kepala negara tidak saja karena itu
mendapatkan kedudukannya karena pewarisan, tetapi di samping itu masih ada beberapa
syarat-syarat, yang itu sudah menjadi suatu konvention, yang semuanya itu harus
dipenuhi di dalam suatu negara monarki. Tetapi bagaimanapun juga kiranya ajaran dari
Leon Duguit ini khususnya mengenai kriterianya, dapatlah dipergunakan sebagai dasar
perbedaaan antara monarki dan republik.
Perlu juga diperhatikan di sini bahwa Leon Duguit dalam urainnya itu
mempergunakan istilah bentuk pemerintahan, forme de gouverment, jadi bukannya
mempergunakan istilah bentuk negara, forme de staat. Dengan demikian beliau
mempergunakan istilah monarki dan republik ini adalam artian pemerintahan monarki
dan pemerintahan republik. Jadi menurut Leon Duguit monarki dan republik itu bukanya
bentuk negara, melainkan itu adalah bentuk pemerintahan. Sedangkan pada umumnya,
demikian pula menurut ajaran Jellinek, yang dimaksud dengan bentuk negara itu adalah
monarki dan republik. Kalau yang dimaskuddengan bentuk pemerintahan itu adalah
mengenai sistem bukunya yang lebih lanjut, yang didaptkan baik di dalam negara
monarki maupun di dalam negara republik
Misalnya bentuk Pemerintahan dari negara republik itu adalah :
1. Republik dengan sistem pemerintahan rakyat secara langsung, atau dengan sistem
referendum.
2. Republik dengan sistem pemerintahan perwakilan rakyat, atau dengan sistem
parlementer.
3. Republik dengan sistem pemisahan kekuasaan, atau dengan sistem presidensil
Sedangkan bentuk-bentuk atau sistem pemerintahan daripada negara yang
berbentuk monarki, adalah :
1. Monarki dengan sistem pemerintahan absolutisme
2. Monarki terbatas
3. Monarki konsittusionil
Lalu apakah sekarang yang dimaskud oleh Leon Duguit dengan bentuk negara itu?
Yang dimaksud dengan itu adalah
1. Negara kesatuan
2. Negara serikat
3. Perserikatan Negara-negara
Diatas telah diuraikan ajaran dua orang sarjana, Georg Jellick dan Leon Duguit,
yang masing-masing telah mengemukakan perbedaaan antara republik dan monarki,
menurut sistemnya masing-masing yang berbeda itu. Pada ajaran Jellinek terang
memasukan dengan tegas ke dalam golongan monarki negara di mana rajanya atau
kepala negaranya dipilih, yang kemudian disebut Wahl-monarchi
Tetapi pada ajaran Leon Duguit, negara di mana raja atau kepala negaranya
diangkat dengan sistem pemilihan bukanlah monarki, padalah kenyataanya negara
tersebut adalah terang suatu kerajaan, sepertinya menyebutnya dengan pasti suatu negara
republik, maka disebutlah Republik Aristokrat yang kepala negaranya bergelar Raja.
Tetapi bagaimanapun juga kiranya untuk keadaan pada jaman modern ajaran Leon
Duguit-lah yang agak sesuai dan mendekati keadaan yang senyatanya. Namun demikian
kita janganlah terlalu berpedoman pada sistem klasifikasi tersebut secara fundamental
untuk setiap jaman dan dalam setiap perubahan yang selalu terjadi, sepertinya dalam
sistem alata yang selalu mengalami perubahan fungsi. Maksudnya kepala negara
misalnya, itu tugasnya atau fungsinya dari jamur ke jamur telah mengalami perubahanperubahan besar.
3. Autoritaren Fuhrerstaat
Di samping penjenisan negara dalam dua bentuk, yaitu republik dan monarki,
seperti yang diajukan oleh Georg Jelinnk dan oleh Leon Duguit tersebut diatas, Prof Ono
Koellreutter yang sifat ajarannya adalah berdasarkan nasional-sosialisme menyebutkan
adanya spesis atau jenis ketika yaitu yang disebut negara autokrasi terpimpin, atau
Autoritaren Fuhrerstaat, atau autorithire Leiderstat.
Dalam permulaan uraiannya ia menyebutkan adanya bentuk republik dan monariki,
dan untuk ini ia agak condong kepada ajaran Leon Dugeon dan dalam pada itu ia
mengatakan bahwa sebagai kesimpulannya bahwa baik dalam bentuk republik maupun
monarki dikuasai oleh suatu azas, yaitu bahwa sifat hakekat daripada monarki terletak
pada negara yang diperintah oleh suatu dinasti, jadi dengan sendirinya penunjukan atau
pengangkatan kepala negaranya memakai stelsel atau sistem pewarisan, turun temurun,
maka dari itu monarki dikuasai oleh azas pewarisan turun temurun, maka dari itu
monarki dikuasai oleh azas ketidaksamaan, dalam arti bahwa yang dapat dan berhak
menduduki jabatan kepala negara itu hanya keluarga dari suatu kerutunan raja.
Sedangkan pada negara republik dikuasai oleh azas kesamaan, sebab penunjukkan
atau pengangkatan kepada kepala negaranya di sini tidak mempergunakan sistem atau
stelsel pewarisan, ini berarti bahwa pada azasnya setiap orang berhak menduduki jabatan
kepala negara.
Sedangkan pada negara republik dikuasai oleh azas kesamaan, sebab penunjukan
atau pengangkatan kepala negaranya di sini tidak mempergunakan sistem atau stelsel
pewarisan. Ini berarti bahwa pada azasnya setiap orang berhak menduduki jabatan kepala
negara.
Kemudian sekarang apakah yang disebut negara autoritaren Fuhrerstat itu? Ini
adalah suatu negara yang dipimpin oleh kekuasaaan negara, yang berdasarkan atas
pandangan autoritet negara. Jadi dalam negara ini juga sedikit banyak dikuasai azas
ketidaksamaan, tetapi di samping itu atau dikuasai oleh azas kesamaan, oleh karena itu
yang dapat memegang kekuasaan pemerintah negara itu bukan hanya orang-orang dari
suatu dinasti saja.
Jadi kiranya dapatlah dikatakan bahwa negara ini merupakan bentuk campuran
antara monarki dan republik, dan mempunyai sifat-sifat monarki dan republik. Dikatakan
mempunyai sifat monarki dalam arti bahwa negara autoritaren-Fuhrestaat ini juga
dikuasai oleh azas ketidaksamaan, hanya saja bedanya bahwa azas ketidaksamaan dalam
negara
autoritaren-Fuhrestaat
ini
maksudnya
ialah
bahwa
penunjukkan
atau
pengangkatan kepala negaranya tidak memakai azas seperti yang biasanya dipakai dalam
pengangkatan atau penunjukkan kepala negara pada negara republik.
Sedang di samping itu dikatakan juga mempunyai sifat republik dalam arti bahwa
negara autoritaren Fuhrerstaat ini juga dikuasai olh azas kesamaan, hanya saja bedanya
bahwa azas kesamaan dalam negara autoritaren Fuhrerstaat ini maksudnya ialah bahwa
penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya itu tidak memakai azas seperti yang
biasanya dipakai dalam penunjukan atau pengangkatan kepala negara pada negara
monarki
Jadi sekali lagi penunjukan atau pengankatan kepala negara autoritaren Fuhrerstaat
ini tidak sama dengan penunjukan atau pengangkatan kepala negara pada negara monarki
maupun pada negara republik, melainkan berdasarkan pada pandangan autoritet negara,
berdasarkan pada kemampuan memerintah serta kemampuan menguasai rakyatnya.
Dengan demikian maka dalam negara autoritaren fuhrerstaat ini perbedaan antara
bentuk monarki dan bentuk republik tidak mempunyai arti yang pokok atau penting,
dalam arti bahwa baik azas ketidaksamaan maupun azas kesamaan dikesampingkan jauhjauh. Lalu kalau demikian memakai azas apakah, atau memakai sistem apakah dalam
penunjukan atau pengangkatan kepala negaranya itu? Kiranya Otto Koellreutter dalam
masalah ini tidak memberikan penjelasan secara tegas, juga dasar kekuasaaan daripada
negara ini.
Dalam hal ini Otto Koellreutter hanya menunjukan Adolph Hitler dalam bukunya
Mein Kamft, yaitu yang antara lain Adolph Hitler mengatakan bahwa, tujuan gerakan
nasional-sosialis tidak terletak dalam mendirikan monarki atau menegakan republik,
melainkan dalam menciptakan negara Jerman.
Tetapi meskipun demikian, dengan keterangan itu tadi belum membuat terang
masalahnya, karena tidak dikatakan pembentukan negara Jerman yang mana
dimaksudkan itu. Sedangkan dulu ada beberapa negara Jerman. Kalau toh yang
dimaksud itu adalah negara Jerman pada jamanya Hitler, Hitler sendiri pada waktu itu
akhirnya memilih semcam plebisit sebagai cara atau sistem penunjukan atau
pengangkatan kepala negara sesudah menjatuhkan kepala negara yang lama, yaitu
Hinderburg, dalam suatu Coup detat.
4. Klasifikasi Negara menurut Prof. Mr. R. Kranenburg
Teori Kekelompokan
Prof Mr. R. Kraenburg dengan bukunya yang termasyu yaitu Algemeine Staatsleer,
yang diterbitkan pada tahun 1937, dapatlah dikatakan bahwa ia menganut aliran historissociologist, dalam arti bahwa beliau mendasarkan teorinya atas dasar: bagaimanakah
sejarah pertumbuhan masyarakat itu, yaitu yang semula hidup dengan bebas, tanpa
terikat oleh sesuatu aturan apapun, menjadi suatu negara di mana berlaku beraneka
peraturan-peraturan hukum yang mempunyai sifat mengikat, serta ada sanksinya apabila
peraturan-peraturan hukum itu tidak ditaati. Yang kesemuanya ini akibatnya adalah
membatasi kebebasan para warga negaranya. Sedangkan kebebasan adalah merupakan
suatu hal yang mempunyai nilai pokok dalam negara.
Seperti telah kita katakan bahwa menurut Kranenburg negara itu pada hakekatnya
adalah suatu organiasi kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang
disebut bangsa, dengan tujuan untuk menyelenggarakan kepentingan mereka bersama.
Maka di sini yang primer adalah kelompok manusianya, sedangkan organisasinya, yaitu
negara bersifat sekunder.
Dengan demikian Kranenburg menolah hipotesa yang dikemukakan oleh teori
hukum alam. Dan dengan pendapatnya itu Kranenburg yang hidup dalam pelbagi jenis
kelompok, atau
Maka baiklah teori kekelompokan ini kita bicarakan terlebih dahulu. Dalam
membicarakan kelompok manusia ini, atau tegasnya dalam membicarakan penjenisan
atau klasifinkasi kelompok manusia ini Kranenburg mempergunakan dua macam kriteria.
a. Sifat kesempatan, artinya kelompok masnusia itu mempunyai sifat setempat ataukah
tidak setempat.
b. Sifat keteraturan, artinya kelompok manusia itu sifatnya teratur ataukah tidak teratur.
Dengan mempergunakan dua macam kriteria tersebut di atas. Kranenburg
mengklasifikasikan kelompok manusia menjadi empat jenis kelompok, yaitu
1) Kelompok manusia yang sifatnya setempat tetapi tidak teratur. Kelompok ini
misalnya kelompok orang-prang yang berkerumun atau berkumpul pada suatu
tempat untuk melihat atau menyaksikan suatu kejadian, kecelakaan misalnya, yang
terjadi itu dengan secara tiba-tiba. Orang-orang tersebut berkumpulnya pada suatu
tempat tadi tidak mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama. Karena di antara
orang-orang tadi ada yang hanya mau melihat-lihat saja, tetapi ada pula yang akan
memberikan pertolongan. Ada pula yang datangnya ke tempat itu dengan tujuan
mendapatkan keterangan-keterangan seperlunya, atau ada pula orang yang datang ke
tempat itu akan mempergunakan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan
pribadi, dan sebgainya, pokoknya orang-orang yang berkumpul dalam kelompok itu
tidak mempunyai tujuan yang sama. Pula sifat daripada kelompok itu adalah
insidentil, serta orang-orang padakeompok itu saling tidak mengenal, dalam arti
tidak ada hubungan, dan sifatnya tidak teratur:
Ciri yang istimewa atau khusus daripada kelompok ini adalah sifatnya sangat
suggestif, mudah dipengaruhi dan mudah menimbulkan ekses atau perbuatanperbuatan yang menimbulkan akibat kurang baik, karena kesadaran mereka telah
menjadi sempit, sehingga berubah atau berganti menjadi suatu emosi sebgai akibat
daripada banyaknya kesan-kesan pendengan serta penglihatan mereka. Contoh untuk
ini oleh Kranenburg dikemukakan masa, Crowd, la foule.
2) Kelompok manusai yang sifatnya setempat dan teratur. Ini adalah kelompok orangorang yang berkumpul pada suatu tempat, dan yang mempunyai tujuan yang sama,
dan tujuan ini hanya dapat dicapai kalau mereka itu, kelompok tersebut, sifatnya
teratur. Contoh daripada kelompok ini misalnya para mahasiswa yang sedang
mengikuti kuliah, penonton-penonton pertunjukan dalam sebuah gedung, sesuatu
rapat dan sebgainya.
Jadi pada kempok ini ada unsur baru, yaitu keadaan yang teratur, yang timbulnya
karena adanaya tujuan yang sama, yang mereka terima dengan radar, karena tanpa
adanya sifat setempat dan teratur tujuan mereka tidak akan dapat tercapai.
3) Kelompok manusia yang sifatnya tidak setempat dan tidak teratur. Timbulnya
kelompok ini karena adanya persamaan-persamaan yang bersifat objektif. Contoh
daripada kelompok ini misalnya: para mahasiswa, para petani, para pedagang, yang
kesemuanya itu apabila tidak terikat oleh sesutu perkumpulan atau organisasi.
Mereka ini merupakan suatu kelompok oleh karena mempunyai persamaanpersamaan yang bersifat objektif atau lahiriah. Tetapi tentang keinsyafannya atau
kesadaranya akan persamaan-persamaan tersebut misalnya persamaan kepentingan,
nasib, tujuan, dan sebgainya, yang kesemuanya bersifat objektif atau lahiriah tadi
belum tentu kalau sama. Kelompok ini disebut juga kelompok objektif.
Persamaan yang bersifat objektif ini mudah menimbulkan suasana golongan,
kerjasama golongan, kepentingan golongan, dan sebgainya, yang kesemuanya itu
bersifat golongan. Serta mereka itu mempunyai kepentingan bersama yang amat
kuat dirasakan, misalnya kalau mereka melihat adanya bahaya yang mengancam
salah seorang anggota mereka, lebih-lebih bahaya itu mengancam mereka bersama
atau kemlompok mereka, mereka itu tentu segera mengambil indakan bersama, demi
keselamatan golongan atau kelompok mereka.
4) Kelompok manusia sifatnya tidak setempat tetapi teratur. Kelmpok ini adalah
merupakan kelompok yang tertinggi dan disebut juga kelompok subyektif, karena
mereka sudah mempunyai keisyafan dan kesadaran akan kekelompokannya. Yang
merupakan faktor pokok daripada kelompok ini adalah kelompoknya itu sendiri,
yang karena adanya kepentingan bersama, timbul suatu kehendak bersama untuk
mengadakan tata terti, yang akan mengatur kelompok itu sendiri, untuk tercapai
serta melaksanakan tujuan kelompok itu sendiri, untuk tercapai serta melaksanakan
tujuan kelompok itu. Ini menurut Kranenburg antara lain terbukti dari nama-nama
yang dipakai dalam penyebutan organisasi-organisasi internasional, misalnya
perserikatan bangsa-bangsa. Juga termasuk kelompok ini misalnya: keluarga atau
family, perkumpulan, partai politik. Yang diorganisir, negara, perserikatan negarnegara, dan negara serikat.
Kelompok yang ketiga tadi erat hubunganya dengan kelompok keempat, dalam arti
bahwa kemlompok obyekrif itu pada suatu saat dapat berubah menjadi kelompok
suyektif. Kelompok obyektif itu bila akan berubah menjadi kelompok suyektif selain
dibutuhkanya suatu unsur baru, yaitu harus ada kesadaran akan kekelompokannya,
tugasnya adalah:
Pertama. Pertama-tama tugasnya ialah mengatur kelompoknya itu dengan
mengadakan peraturan-peraturan. Ini disebabkan karena orang ingin memperoleh
kepastian tentang sikap. Tingkah laku dan perbuatannya yang harus diambil dan
dilakukannya di dalam oergaulan dengan orang lain. Demi untuk ini ditentukan di dalam
peraturan-peraturan yang akan dan harus dibuat,
Jadi pokok pertama, di dalam kelompok keempat adanya tugas atau fungsi
membuat peraturan, dan kalau ada tugas atau fungsi maka juga harus ada petugas atau
fungsionarisnya. Jadi harus ada petugas yang tugasnya itu membuat peraturan untuk
mengatur kehidupan bersama di dalam kelompok tersebut, agar tujuan daripada
kelompok tersebut dapat tercapai dan terlaksana.
Lalu siapakah petugas yang diserahi tugasa ini ? tugas tersebut diserhkan kepada
petugas yang disebut badan pembuat oeraturan-peraturan umum, atau badan perundangundangan, atau badan legislatif. Apa artinya peraturan umum? Peraturan umum adalah
peraturan yang dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang, dan sifat kekuasaannya
itu adalah umum, artinya kekuasannya itu meliputi seluruh wilayah negara.
Kalau sudah ada peraturannya, tentu ada maksud supaya peraturan-peraturan
tersebut dilaksanakan, dan untuk ini harus ada petugasnya. Jadi pokok kedua, di dalam
kelompok keempat ini adalah tugas untuk melaksanakan peraturan-peraturanm, dan tugas
ini diserahkan kepada suatu - badan yang disebut pemerintah atau badan eksekutif.
Kemudian meskipun segala sesuatunya di dalam kelompok itu sudah diatur, tetapi
mungkin masih ada perbuatan-perbuatan yang menyimpang atau melanggar peraturanperaturan tersebut, dan ini harus dibetulkan. Jadi harus ada sifat pengawasan terhadap
pelaksanaan daripada peraturan-peraturan tersebut. Dengan demikian pokok ketiga di
dalam kelompok keempat tersebut ialah adanya tugas mengawasi pelaksanaan daripada
peraturan-peraturan tersebut, ini adalah tugas pengawasan, atau pengadilan atau
yudikatif. Dan unutk tugas ini harus ada petugasnya, petugasnya adalah badan
pengadilan atau badan yudikatif.
Petugas-petugas tersebut diatas merupakan alat-alat perlengkapan negara, atau
organ-organ negara, sedangkan tugas-tugas itu tadi namanya fungsi negara atau
kekuasaaan negara. Dan selanjutnya menurut Kranenburg, bahwa menurut sejarah, baik
tidaknya sesuatu negara itu sebetulnya tergantung daripada hubungan antara fungsi atau
kekuasaaan negara itu sebetulnya tergantung daripada hubungan antara fungsi atau
kekuasaaan negar itu s=dengan organnya, dan hubungan antara organ-organ itu satu sama
lain.
Dalam hubungan ini maka ternyatalah dapat dibenarkan adanya pendapat
sementara sarjana yang menyatakan bahwa apabila ketiga fungsi negara ini dipusatkan
pada satu tangan atau satu organ, akan menyebabkan organ ini menjadi maha kuasa, dan
dapat menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh karena organ itu membuat perturan sendiri,
kemudian
masing-masing
kekuasaan
itu
diserahkan
atau
didistribusikan kepada beberapa organ. Sedangkan dalam hal ini yang penting atau
yang menentukan adalah bagaimanakah sifat hubungan organ-organ itu satu sama
lai. Khususnya sifat hubungan antara organ perundanh-undangan dengan organ
pelaksanaan yaitu pemerintah (sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan
eksekutif);
Oleh
karena
tergantung
daripada
inilah
sifat
atau
sistem
yang lain, badan tersebut dapat dibubarkan. Negara ini disebut negara dengan
sistem Parlementer.
c. Negara yang melakukan sistem pemisahan kekuasaan, tetapi pada prisnipnya
badan eksekutif itu hanya bersifat sebagai badan pelaksanaan atau badan pekerja
saja dari pada apa yang telah diputuskan oleh badan legislatif. Dan disertai
dengan pengawasan atau kontrol secara langsung dari rakyat, yaitu dengan
sistem referendum. Negara ini disebut negara dengan sistem referendum.
Uraian lebih lanjut dari pada sistem-sistem pemerintahan terserbut akan
dibicarakan nanti pada pembicaraan demokrasi modern.
II. Kriteria kedua yang dipergunakan atau dikemukakan oleh Kranenburg di dalam
mengkalsifkasikan bentuk negara ialah berdarkan perkembangan sejarah, dan
penjenisan negara modern yang timbul sebagai hasil atau akibat dari pada
perkembagan
politik
jaman
modern.
Berdasarkan
ini
negara
dapat
m=diklasifikasikan menjadi L
a. Negara dalam bentuk-bentuk historis. Ini misalnya
1. Federasi negara-negara dari jaman kuno.
2. Sistem provincia Romawi.
3. Negara-negara dengan sistem foedal.
b. Negara-negara dalam bentuk modern, atau dari jaman modern
1. Perserikatan negara-negara atau Staatenbund.
2. Negara serikat atau Bundesstaat.
3. Negara Kesatuan atau Negara Unitaris.
4. Negara Kesemakmuran Bersama Inggris atau British Commonwealth of
Nations
Terhadap klasifikasi negara dari Kranenburg tersebut dapatlah dikatakan bahwa
ajaran dari Aristoteles tentang bentuk-bentuk negara sangat besar pengaruhnya.
Demikian pula ajaran tentang pemisahan kekuasaan dari Montesquieu. Sedangkan
terhadap penjenisan negara yang berdasarkan perkembangan sejarah, dapatlah dikatakan
tidak berdasarkan ilmu pengetahuan, serta tidak bersifat sistematis.
Oleh karena dalam hal ini Kranenburg kurang jelas mengatakan bentuk negaranegara ,modern, dan yang mana pulakah yang merupakan hasil dari pada perkembangan
sejarah serta politik pad jaman modern ini.
Dalam uraian diatas telah tersinggung pula ajaran tentang pemisahan kekuasana
dari Montesquieu. Ajaran ini dalam banyak hal dipengaruhi oelh ajaran pembagian
kekuasaan dari John Locke. Hanya oleh karena keadian serta susunan negara pada waktu
hidupnya John Locke berbeda sekali dengan jamannya Montesquieu hidup maka
pembatasan kebebasan warga negara itu bersifat maksimum, maka akibatnya kebebasan
warga negaranya adalah bersifat minimum. Dan sebaliknya, apabila derajad pembatasan
kebebasan warga negara itu bersifat minimum, maka akibatnya kebebesan warga
negaranya akan bersifat maksimum.
Soalnya sekarang ialah, apakah yang menentukan sifat derajad pembatasan
kebebasan warga negara itu. Menurut Hans Kelsen, sifat kebebasan warga negara itu
ditentukan oleh dua hal, yaitu:
1. Sifat mengikatnya peraturan-peraturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh
penguasa yang berwenang.
2. Sifat keleluasan penguas atau pemerintah dalam mencampuri atau mengatur peri
kehidupan daripada para warga negaranya.
Inilah yang kemudian dipakai sebgai kriteria oleh Hans Kelsen di dalam
mengklasifikasikan
negara.
Dan
berdasarkan
kriteria
tersebut,
negara
dapat
diklasifikasikan menjadi:
1. Dengan kriteria pertama, yaitu sifat mengikatnya peraturan-peraturan hukum yang
dibuat atau dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang. Berdasarkan ini maka:
a. Pada azasnya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh pneguasa yang
berwenang itu hanya mengikat atau berlaku terhadap rakyat atau warga negara
saja, jadi tidak berlaku atau mengikat penguasa yang membuat dan
mengeluarkan peraturan-peraturan hukum tersebut. Maka apabila dalam suatu
negara si pembuat peraturan-peraturan hukum itu tidak dikenai atau tidak terikat
oleh peraturan-peraturan hukum yang dibuatnya itu, jadi hanya mengikat, atau
hanya ditujukan terhadap para warga negaranya saja, peraturan-peraturan
hukum itu seakan-akan lalu berasal dari luar pribadi mereka yang dikenai oleh
peraturan-peraturan hukum. Maka akibatnya si penguasa lalu mempunyai
kecenderungan untuk membuat atau mngeluarkan peraturan-peraturan hukum
sebanyak mungkin. Konsekuensi daripada ini adalah bahwa derajad pembatasan
kebebasan pribadi warga negaranya bersifat maksimum, sedangkan kebebasan
pribadi warga bersifat minimum. Diaktakan oleh Hans Kelsen negara yang
demikian ini memakai sistem heteronomi, dan negara heteronom
b. Pada azasnya peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh Penguasa yang
berwenang itu kecuali mengikat warga negaranya atau rakyatnya juga mengikat
si pembuat peraturan-peraturan hukum itu sendiri. Maka dalam hal ini terdapat
adanya suatu kesamaan antara si penguasa dengan warga negaranya, jadi
seakan-akan peraturan-peraturan hukum yang berlaku itu berasal dan
memakai sitem autonom, yaitu negara di mana si penguasa yang membuat itu
mengeluarkan peraturan-peraturan hukum itu ikut terikat atau tekena juga oleh peraturanperaturan hukum hukum yang dibuatnya, ada kecenderungan untuk merubah sistemnya
itu ke arah system liberalisme, sebab orang itu tidak begitu senang kalau sangat terikat,
atau kebebsannya sangat dibatai. Mengapa ada kecendrungan untuk merubah sistemnya
tersebut? Karena dalam kedua negara tersebut dapatolah dikatakan bahwa azas yang
dipakai adalah sama, gejalanyapun adalah sama.
Sebaliknyu, pada negara-nedara yang memakai sitem atau alas heteronom, ada
kecenderungan untuk berubah ke arah negara totaliter. Mengapa demikian? Tidak lain
azas yang dipakai dapat dikatakan ada persamaannya, gejalanya pun demikian pula ada
persamaannya. Dan pada negara-negara ini ada kemungkinan bahwa kekuasaan penguasa
itu bersifat absolut.
Kalau kita bandingkan ajaran klasifikasi negar dari Hans Kelsen tersebut di atas
dengan ajaran dari Aristoteles dan Epicurus mengenai sifat susunan negara atau
masyarakat, maka dapatlah dikatakan bahwa di situ pihak kalsifikasi negara Hans
Kelsen, yaitu negara heteronom dan negara totaliter, mempunyai persamaan dengan
ajaran Aristoteles mengenai sifat susunan negara atau masyarakat, yaitu yang menytakan
bahwa negara itu pada hakekatnya merupakan suatu organisme
Sedangkan pihak lain, klasifikasi negara Hans Kelsen, yaitu negara autonom dan
liberal, mempunyai perasamaan dengan ajaran Epicurus mengenai sifat susunan daripada
negara atau masyarakat, yaitu yang menyatakan bahwa susunan masyarakat atau negara
bersifat atomistis. Tetapi meskipun demikian janglanlah sekali-kali dicampur adukan
ajaran-ajaran tersebut, karena ajaran-ajaran tersebut masing-masing mengenai segi-segi
yang berlainan, walaupun ada hubungannya satu lam lain, serta pula yang mempunyai
kecenderungan untuk berubah ke arah yang lain. Misalnya susunan masyarakat yang
bersifat organistis seoerti faham Aristoteles, lambat laun dapat berubah menjadi negara
totaliter. Ataupun juga susunan masyarakat yang bersifat atomis dari faham epicurus
dapat berubah menjadi negara liberal.
Tegasnya adalah sebagai berikut, bahwa organisme, sebagai lawannya adalah
atomisme, itu adalah suatu faham atau ajaran mengenai masalah atau sifat susunan
masyarakat atau negara, yaitu pendangan bagaimanakah masyarakat atau negara itu
tersusun jadi pokoknya mengenai sifat susunan masyarakat atau negara.
Sedangkan totaliterisme dan liberalisme itu adalah faham atau ajaran mengenai
masalah bagaimanakah sifat kebebasan penguasa dalam mencampuri sego-segi peri
kehidupan warga negara atau masyarakat.
Ada faham lain lagi yang hampir sama dengan hal-hal tersebut di atas terutama
dengan istilah-istilah yang dipergunakan dalam klasifikasi negara Hans Kelsen, yaitu
faham individualisme dan faham kolektisisme. Tetapi ini sebetulnya mengenai masalah
yang lain lagi. Yaitu bahwa indidualisme dan kolektivisme itu adalah faham atau ajaran
mengenai mengutamaan sifatnya mengutamakan kepentingan individu, jadi kepentingan
individu itualh yang primer bila dibandingkan dengan kepentingan umum atau
masyarakat yang sifatnya sekunder. Sedangkan kolektivisme adalah faham atau ajaran
yang sifatnya mengutamakan kepentingan umum atau masyarakat keseluruhannya. Jadi
yang primer disni adalah kepentingan umum atau masyarkat, sedangkan kepentingan
individu adalah bersifat sekunder.
Tetapi jangan dilupakan, bahwa masing-masing itu mempunyai hubungan yang
erat, karena memang prinsipnya adalah dapat dikatakan sama. Konsekuenasinya ialah
bahwa yang satu dapat meleburkan diri atau berubah ke arah yang lain.
Kembali keajaran klasifikasi negara menurut Hans Kelsen. Tadi di atas dikatakan
bahwa menurut Hans Kelsen ada empat jenis negara. Yaitu: heteronom, autonom,
totaliter dan lueral. Ini secara teoritis dapatlah disusun suatu sistem kombinasi.
1. Negara yang memanakai sistem kombinasi autonom-liberal, atau negara yang
memakai sistem kombinasi autonom-totaliter.
2. Negara yang memakai sistem kombinasi heteronom-liberal, atau negara yang
memakai sistem kombinasi heteronom-totaliter.
Tetapi sistem kombinasi ini dalam hal-hal tertentu adalah kurang tepat juga, karena
kadang-kadang mengalami kesukaran. Kesukarannya ialah, apabila pada negara-negara
tersebut azas yang dianutnya adalah bberlawanan. Sebgai contoh misalnya negara yang
memakai sistem kombinasi autonom-totaliter, ini praktis tidak mungkin, karena disini
terdapat adanya dua azas atau gejala yang berlawanan, yaitu azas atau gejala pada sistem
autonom adalah kebebasan, sedangkan azas atau gejala pada sistem totaliter adalah
pembatasan kebebasan sekeras-kerasnya.
Pula pada negara yang memakai sitem kombinasi heteromi-liberak, ini tidak
mungkin, karena azas atau gejalanya juga berlawanan. Yaitu azas atau negaranya sekeras
mungkin, sedangkan azas atau gejala pada sistem loberal adalah memebrikan kebebasan
seluas mungkin kepada warga negaranya.
Sedangkan sistem kombinasi lainya secara teoritis dapatlah kita pikirkan yaitu
bahwa negara autonom mempuinyai kecenderungan untuk berubah ke arahliberal, tadi
sistem kombinasi autonom-liberal ada kemungkinannya dapat terjadi, karena memang
azas atau gejalanya adalah sama, yaitu derajad pembahsan kebebasan pribadi warga
kepada para warga negaranya secara maksmimum
Atau mungkin juga dapat terjadi, sistem kombinasi antara sistem heteronomi
dengan sitem-totaliter, karena pada kedua sistem ini gejalanya adalah sama, ialah bahwa
derajat pembatasan kebebasan pribadi warga negaranya bersifat maksimum, jadi dengan
demikian hanya memberikan kebebasan kepada para warga negaranya secara minimum.
Bahkan dari negara yang satu ada kecenderungan untuk berubha ke araah negara yang
lain.
6. Klasifikasi Negara menurut R.M. Mac Iver
R.M. Mac Iver adlah seorang sarjana Amerika, dxalam ilmu kenegaraan ia menulis
ajarannya dalam bukunya The Web of Government dan dalam bukunya yang lain, The
Modern State.
Dalam bukunya yang disebutkan pertama, Mac Iver antara lain tentang terjadinya
negara ia mengatakan bahwa, negara itu terjadi dari pertumbuhan suatu keluarga atau
family. Bagamankah pertumbuhan keluarga itu sehingga menjadi negara? Pertumbuhan
atau perkembangan ini secara bertingkat, melalui beberapa phase.
Tingkatan atau phase pertama adalah keluarga atau family tersebut. Dalam
keluarga tersebut, meskipun sifatnya masih sangat sederhana, namun authority, yang
tidak dapat terlepasdari kebiasan-kebiasan tersebut. Dalam keluarga tersebut ada pula
kepala keluarganya, yang biasanya disebut Pater-familias atau Patriach.
Phase atau tingkatan selanjutnya dalah bahwa family atau keluarga itu berkembang
menjadi besar dan disebut klan yang dikepaklai oelh seorang primus inter pares. Primus
inter pares ini lama kelamaan menjadi pemimpin sungguh-sunguh daripada klan tersebut,
serta mempunyai kekuasaan yang nyata. Dan tidaklah mengherankan kalau beliau ini
kemudian menunjuk keturunannya untuk menggantikan memegang kekuasan. Maka
dengan demikian lalu timbulah sistem jabatan yang sifatnya turun-temurun (hereditary
office). Dan akibatnya keluarga pemimpin ini lalu menjadi keluarga yang memimpin atau
memerintah suatu jabatan yang sifatnya turun-temurun yang disebut raja.
Dalam pertumbuhan serta perkembangan dari family sehingga menjadi negara, di
sini peranan perang tidak boleh dilupakan, karena memang dengan jalan peperanganlah
keluarga itu menjadi bertambah besar, tetapi tentunya di samping itu juga ada cara-cara
lain, misalnya karena ekspansi, karena adanya perkawinan dari seorang anggota keluarga
yang satu dengan seorang anggota keluarga yang lain, dan kemudian kedua keluarga itu
bergabung.
Dalam uraiannya itu Mac Iver baru menyebut hasil perkembangan keluarga
tersebut sebagai suatu negara setelah tercapai territorial-state. Dan ini bari terjadi stelah
sebenarnya
bentuk-bentuk
pemerintahan
itu
sangatlah
sukar
untuk
diklasifikasikan, hal ini disebakan bahwa sistem pemerintahan yang pernah ada dalam
sejarah ketatanegaaraan, itu tidaklah banyak yang dapat mempertahankan dirinya agak
lama, karena sistem itu mesti mendaptakan pengaruh dari kekuatan-kekuatan baru, oelh
karenanya secara cepat ataupun secara perlahan-lahan tentu mengalami perubahan.
Akibatnya meskipun namanya itu masih tetap, tetapi pengertiannya telah mengalami
perubahan-perubahan. Sebagai contoh misalnya nama atau sitilah demokrasi, ini
pengertiannya adalah berlainan sekali apabila kita bandingkan pengertian demokrasi
kuna, misalya yang berkembang pada jaman Yunani kuno, dengan pengertian demokrasi
pada jaman modern.
Jadi kesimpulannya, tidaklah ada satu betuk pemerintahan pun yang dapat bertahan
secara kekal, meskipun ada beberapa tipe bentuk pemerintahan yang utama, yang
kadang-kadang secara relatif dapat bertahan agak lama
tri
partite
classification,
disebut
pula
sistem
tradisional-clasification,
atau sosialis, meskipun kadang-kadang namanya atau istlahnya itu sama, misalnya
republik.
Dasar atau kriteria daripada sistem klasifikasi ini adalah dasar atau alasan yang
bersifat praktis, yaitu mempergunakan dasar konstirtusional, yang meliputi pertanyaanpertanyaan :
1. Bagaimanakah sifat hubungan antara satu orang yang memegang pucuk pimpinan
pemerintahan daripada negara itu, the one, dengan beberapa orang yang memegang
kekuasaan pemerintah negara sebagai pendukungnya, the few, the one itu
menggambarkan atau menunjuk kepada kepala negaranya, sedangkan the few itu
menunjukkan kepada atau menggambarkan ruling-clas-nya.
2. Bagaimanakah sifat hubungan antara beberapa orang yang memegang kekuasaan
pemerintah negara itu, the few, dengan rakyat yang diperintahnyua, the many. Ini
adalah pertanyaan yang lebih penting daripada pertanyaan pertama tersebut diatas,
karena yang dipersoalkan di sini adalah soal pertanggung jawab, yaitu adakah
pertanggungan jawab atau tidak antara the few, beberapa orang yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara, dengan the many, rakyat yang diperintah.
Kedua pertanyaan tersebut di atas, karena pertanyaan yang pertama tidak penting
karena tidak menentukan bentuk negaranya, karena tidak membutuhkan jawaban.
Sedangkan pertanyaan yang kedua mendapatkan dua macam jawaban, yaitu :
1. Apabila beberapa orang yang memegang kekuasaan pemerintah negara itu sebagai
pendukung daripada satu orang yang memegang pucuk pimpinan pemerintahan
negara atau the few, dengan rakyat yang diperintahnya yaitu the many jadi tegasnya
bahwa antara beberapa orang yang merupakan ruling-clas dengan rakyat yang
diperintah itu ada hubungan pertanggung-jawab maka negara tersebut adalah negara
demokrasi.
2. Sedangkan kalau antara the few dengan the many itu tidak terdapatkan hubungan
pertanggung-jawab, maka negara tersebut adalah negara oligarki
Jadi penggolongan negara dengan sistem bi partite classification ini, menghasilkan
dua golongan besar negara, yaitu : demokrasi dan oligarki.
Bagaimanakah sekarang pendapat Mac Iver?
Sesuai dengan kritikan atau kelemahan yang dikemukakan oleh Mac Iver terhadap
pemakaian sistem tri prtite classification atau sistem tradisionil, terutama kritikannya
yang ketiga, tersebut di atas, maka Mac Iver menyatakan bahwa adalah perlu untuk
diketahui, bahwa dalam proses perubahan politik pada setiap bentuk pemerintahan atau
negara yang ada pada suatu waktu, sering didapatkan ciri-ciri yang sesuai atau sama
daripada beberapa bentuk negara, yaitu bila bentuk negara itu sedang berkembang ke
suatu arah tertentu.
Maka agar dalam mengklasifikasikan negara berdasarkan ciri-ciri dalam
perkembangannya itu dapat pula dilaksanakan, Mac Iver mengemukakan kriteria-kriteria
lain di samping dasar konstitusionil tadi. Jadi tegasnya menurut Mac Iver dalam
mengklasifikasikan negara itu belumlah cukup kalau hanya mempergunakan satu kriteria
saja.
Pendapat Mac Iver ini kiranya dapatlah dipahami, sebab misalnya kita
menggolongkan negara A dalam golongan negara demokrasi, negara B juga dalam
golongan demokrasi. Jadi keduanya adalah sama yaitu negara demokrasi. Tetapi dengan
demikian ini saja, sesungguhnya kita belum dapat mengatakan bahwa negara A dan
negara B itu sama, sebab di samping itu ada pula cir-ciri tertentu yang membedakan
antara negara A dengan negara B tersebut. Misalkan berdasarkan sistem ekonominy,
negara A adalah negara kapitalis, sedangkan negara B adalah negara sosialis, sepertinya
lagi misalnya negara A adalah negara kesatuan, sedangkan negara B adalah negara
federal.
Maka dari itu untuk dapat mencakup semua ciri-ciri terutama ciri-ciri yang utama,
di dalam mengklasifikasikan negara Mac Iver mengajukan conspectus daripada bentukbentuk negara berdasarkan empat macam kriteria, dan berdasarkan kriteria itu secara
skematis bentuk-bentuk negara itu adalah sebagai berikut:
A
Constitutinal Basis
B
Economic Basis
C
Communal Basis
D
Sovereignity
Structure
I. Oligarchy
a1 Monarchy
b1 Folk Economy
c1 Tribal Goverment
d1
a2 Dictatirship
Primitiv Goverment
b2 Feudal Government
c2 Polis Goverment
Goverment
d2 Empire Colony
a3 Theocracy
b3 Capitalis
c3
a4 Plural Headship
Government
Goverment
Goverment
b4
Socialis c4
National
Government
Country d3
Unitary
Goverment
Federal
Goverment
II. Democracy
a5 Limited
-------------
c5 Multi-National
-------------------------
Monarchy
a6 Republic
-------------
Goverment
c6 Werid Goverment
-------------
Catatan : kalau misalnya kita akan menentukan sesuatu negara itu masuk golonga yang
mana, maka dengan dasar atau kriteria yang dikemukakan oleh Mac Iver tersebut di atas,
kita dapat mencarinya dengan mempergunakan dasar-dasar tersebut satu persatu.
Misalnya saja Indesia, itu dengan kriteria yang diajukan Mac Iver tadi masuk golongan
mana, dapatlah dicarinya sebgai berikut :
A.
B.
C.
D.
Demikianlah menurut tabel atau skema yang dikemukakan oleh Mac Iver,
dalam
mengklasifikasikan negara.
7. Klasifikasi Negar menurut Maurice Duverger
Maurice Duverger mengatakan bahwa dalam semua kelompok manusia, dari yang
paling kecil sampai yang paling besar, dari yang paling primitif sampai yang paling
modern, dari yang terlemah sampai yang terkuat, tentu terdapat perbedaan-perbedaan
yang bersifat prinsipal antara orang-orang yang berkuasa, atau yang memerintah dengan
orang-orang atau rakyat yang dikuasai atau diperintah. Dan besar kecilnya perbedaan ini
tergantung daripada sistem pemerintahnnya. Demikian pula dalam semua ikatan atau
perkumpulan, perbedaan yang demikian itu selalu ada.
Tetapi ada sementara sosiolog, yaitu aliran Durkhen, yang membenarkan adanya
pendapat bahwa semasa permulaan kebangunan peradaban manusia perbedaan antara
penguasa atau pemerintah dengan orang-orang yang diperintah itu tidak ada. Mereka ini
mengatakan bahwa dalam suatu kelompok manusia kekuasaan itu tidaklah hanya
dijalankan oleh beberapa orang tertentu saja, tetapi merata dalam kelompok tersebut, itu
tunduk pada norma-norma umum yang ditetapkan oleh kelompok tersebut. Jadi pada
waktu itu sesungguhnya semua orang diperintah dan tidak ada yang memerintah.
Tetapi kemudaian lalu ada beberapa orang yang menyatukan diri dan mengangkat
dirinya sebagai penjelmaan daripada norma-norma umum tersebut serta memerintah
kelompok tadi. Dengan demikian lalu timbul pemribadian kekuasaan, dan terjadilah
perbedaan-perbedaan antara yang memerintah dengan yang diperintah.
Menurut Maurice Duverger, teori ini mungkin betul dan mungkin pula sesuai
dengan kenyataannya. Akan tetapi kita akan sukar mengetahuinya, oleh karena dalam
kelompok tadi yang paling primitf sampai yang termodern, yang sudah kita kenal dan
dapat kita pelajari, tentu kita akan mendapatkan tanda-tanda pemribadian kekuasaan dan
orang dapat menyebutnya: pendeta, wali, ketua, kepala keluarga, kepala suku, atau
sebutan lain lagi. Jadi pendeknya dalam setiap kelompok manusia, yang memerintah.
Adapun baik buruknya memerintah itu sangat tergantung pada bijaksanaan orang-orang
yang duduk dalam memrintah, dan dalam hal ini cara atau sistem pengangkatan orangorang yang akan duduk dalam pemerintahan dan memegang kekuasaan, itu merupakan
sendi pokok dalam sistem pemerintahan dalam suatu negara.
Selanjutnya oleh Maurice Duverger dikatakan bahwa dari luar nampaknya seakanakan doktrin atau ajaran demokrasi menentang dan menolak keadaan umum ini, sebab
bukankah demokrasi yang dirumuskan sebgai pemerintah dan, oleh dan untuk rakyat
itu malahan menolak adanya perbedaan antara pemerintah dengan rakyat yang
diperintah? Sebagai contoh misalnya republik kota Yunani dulu, juga Romawi, juga pada
jaman modern, misalnya keadaan di Swiss, dan negara-negara demokrasi lainnya.
Bukankah disitu dikatakan bahwa rakyat memegang kekuasaan, rakyat menjadi baik
yang memerintah maupun yang diperintah. Sesungguhnya itu tidak lain daripada
merupaka khayalan serta permainan kata-kata belaka, bicara tentang pemerintah dan
oleh, dan untuk rakyat adalah bicara omong kosong.
Dalam republik kota Yunani dulu, juga romawi begitu pula dalam kanton-kanton
Swiss dewasa ini urusan-urusan kolektif diatur oleh bebrapa orang, dan jangan mengira
mereka itu tidak memerintah. Dewan Rakyat tidak terus menerus bersidang melainkan
berselang dalam waktu lama atau pendek, dan sesungguhnya mereka hanya dapat
mengurus beberapa hal yang luar biasa saja. Tambahan pula, di dalam tubuh dewan itu
sendiri selalu terjadi suatu fraksi, suatu minoritet gesit yang menguasai masa, orangorang yang memerintah pula, yang berkedudukan lain daripada orang-orang yang
diperintah.
Menurut Aristoteles, demikian Maurice Duverger selanjutnya, pembesar Athena
yang paling penting tidak disebut dalam undang-undang dasar, jabatan itu diduduki oleh
ketua fraksi, yang sesungguhnya memimpin dewan, lagipula selalu mendekatkan
putusan-putusannya. Aristoteles menamakannya menteri perdana, atau Prostates, dari
rakyat.
Teoritikus demokrasi yang paling terkemuka sekalipun yaitu Jean Jacques
Rousseau menunjukkan secara tegas, bahwa perbedaan antara yang memerintah dan
yang diperintah itu tidak dapat ditiadakan, dalam hal ini Rousseau mengatakan: Kalau di
pegang arti kata sperti diartikan umum, maka demokrasi yang sungguh-sungguh tidak
pernah ada, dan ia tidak akan ada. Adalah berlawanan dengan kodrat alam, bahwa yang
berjumlah besar memerintah, sedang yang paling sedikit jumlahnya harus diperintah.
perbandingan
untuk
mengurangi
kekuasaan
para
oenguasa,
sehingga
pemerintah
lama
untuk
menggunlingkan
dan
kemudian
menggantikannya.
c. Pronunciamiento, cara ini adalah semacam coup detat, tetapi dengan
mempergunakan kekuatan militer.
Menurut Maurice Duverger yang paling banyak terjadi adalah bentuk kombinasi dari
berbagai bentuk cara tersebut di atas.
2. Sistem keturunan. Ini adalah merupakan bentuk pemerintahan autokratis yang paling
banyak kita dapatkan. Dan pada umumnya sistem ini hanya berlaku terhadap satu
orang raja digantikannya oleh keturunannya yang berhak. Tetapi di samping itu ada
pula suatu badan atau organ yang haknya turun-temurun.
Kalau ditinjau dari sejrahnya sistem keturunan ini sering datang menyusul pada
sistem perebutan kekuasaan, yaitu si pemegang menyerahkan kekuasaanya kepada
keturunannya. Atau kadang-kadang sistem ini timbul sebgai deformasi, perubahan
bentuk ke aras keburukan, daripada kooptasi, atau malahan daripada sistem
pemilihan.
3. Kooptasi. Ini adalah penunjukan calon-calon penguasa oleh penguasa lama yang
kemudian akan menggantikannya. Jadi di sini penguasa yang akan digantikan itu
telah menunjuk penggantinya, sebelum mereka itu digantikan. Seperti dalam hal
sistem keturunan, sistem ini dapat berlaku unutk satu orang tunggal, atau untuk suatu
dewan.
4. Sistem pengundian. Sistem ini pernah dilaksanakan di bebrapa kota Yunani kuno
untuk mengangkat magistrat- magistrat. Untuk masa sekarang sistem pengundian ini
hanya terdapat sebgai hipotesa saja, di lapangan administratif atau pengadilan,
teristimewa untuk mengangkat anggauta-anggauta yuri.
5. Ada lagi suatu sistem, yaitu bahwa pengangkatan penguasa yang akan menggantikan
itu dilakukan oleh penguasa lain. Jadi yang mengangkat atau memilih itu bukanya
penguasa ang akan menggantikannya, melainkan adalah penguasa lain, maka cara ini
tidaklah murni autokratis karena segala sesuatunya akan tergantung kepada penguasa
yang melakukan pengangkatan tersebut. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan,
pengangkatan itu dapat dilakukan dengan sistem pemilihan, jika demikian maka
akan mempunyai sifat demokratis. Tetapi dapat juga pengangkatan itu dilakukan
dengan cara bukan pemilihan, jika demikian ini akan mempunyai sifat autokratis.
Biasanya para penguasa yang diangkat dengan sistem ini kedudukannya agak lebih
rendah daripada penguasa yang mengangkat para pembesar administratif, dan jarang
dilakukan dalam pengangkatan para pembesar pemerintahan dalam arti kata yang
namanya saja, tetapi kenyataannya? Oleh karena pada jaman Yunani kuni itupun
kenyataannya yang berhak ikut memikirkan jalannya pemerintahan, lebih-lebih yang ikut
memerintah, itu hanyalah orang-orang yang tertentu saja, yaitu orang-orang yang
merdeka. Jadi misalnya: budak-budak belian, orang-orang yang sakit ingatan, anak-anak
yang dianggap belum dewasa, orang-orang yang tidak mampu membayar pajak, bahkan
juga orang-orang perempuan, itu tidak mempunyai hak kenegaraan sama sekali.
Baru kemudian pada abad ke XVIII timbul suatu sistem demokrasi baru, yang
memberikan kemungkinan untuk dapat dilaksankan dalam negara-negara yang besar
serta berkembang ke arah peradaban modern, karena dalam sistem demokrasi ini tidaklah
semua orang warga negara diikutsertakan secara langsung dalam pemerintahan,
melainkan mereka itu memilih wakil-wakil mereka di antara itu sendiri, yang kemudian
duduk dalam badan-badan perwakilan. Inilah sebabnya juga demokrasi perwakilan. Dan
di sinilah demokrasi itu mendapatkan pengertian yang sebenarnya, dalam arti bahwa para
penguasa itu dipilih oleh rakyat. Adapun tentang bagaimana cara pemilihannya wakilwakil rakyat yang akan duduk dalam pemerintahan, dan pelaksanaannya ada berbagai
macam cara. Lagi pula mengenai jumlah dan susunan daripada badan perwakilan itu
masing-masing negara tidaklah sama. Tetapi pokoknya di mana ada pemilihan secara
bebas dan rahasia serta beres di situlah ada sistem demokrasi. Dan dalam bentuk inilah
sistem demokrasi sedikit demi sediit meluas ke hampir semua negara-negara modern.
Semenjak timbulnya sistem do=emokrasi perwakilan, sejak itu pulalah lahir dua
mcam keadaan baru, ialah : penerimaan sistema pemilihan umum, dan partai-partai
politik yang teroganisir. Memang, semula sistem demokrasi perwakilan ini kurang
mendapatkan kesempurnaan dalam pelaksanaannya, hal ini disebabkan karena dalam hal
pemilihan para penguasa itu tidak beres, yaitu bahwa para penguasa itu hanya dipilih
oleh segolongan orang-orang saja, dan golongan ini hanya terdiri daripada orang-orang
tertentu saja, dan golongan ini hanya terdiri daripada orang-orang tertentu saja, yang
biasanya ini adalah golongan orang-orang kaya. Tetapi kemudian secara berangsurangsur jumlah pemilih ini bertambah benar, disebabkan karena desakan-desakan daripada
prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Teristimew ketika pada tahun 1848, yaitu ketika
Prancis menghapuskan perbedaan tingkat kekayaan sebagi syarat untuk dapat memiliki
hak suara dalam pemilihan. Tetapi, ini sayangnya, perbedaan hak antara orang laki-laki
dengan orang wanita belum dapat dihapuskan pada wakti itu. Bagi kaum wanita ini, di
kebanyakan negara baru pada abad ke XX dapat diikut-sertakan dalam pemilihan, dan
sistem
pemerintahan
dimana
orang-orang
yang
memegang
kekuasaan
pemerintahan negara itu dipilih atau diangkat dengan cara-cara yang merupakan bentuk
peralihan dari cara autokrasi ke cara demokrasi. Dan sistem pemerintahan campuran ini
menurut beliau dapat dibedakan dalam tiga jenis bentuk, dan untuk dapat membedakan
ini orang harus melihat dengan cara bagaimanakah prinsip-prinsip autokrasi dan prinsipprinsip demokrasi itu bercampur, yaitu:
1. Sistem pemerintahan campuran menurut juxtaposition
Dalam sistem ini kita ketemukan adanya dua organ pemerintahan, yang satu sifatnya
autokratis, sedang yang lain sifatnya demokratis, dan yang keduanya itu
kedudukannya berdampingan, ini masih dapat dibedakan lagi menjadi :
a. Juxtaposition antara seorang raja atau monarki yang sifatnya autokratis, dengan
badan perwakilan atau, parlemen yang sifatnya demokratis. Ini misalnya negara
yang diperintah oelh seorang raja yang sifatnya urun temurun atau oleh seorang
diktator yang berhadapan atau dihadapi oleh sebuah badan perwakilan atau
parlemen yang anggauta- anggautanya pengangkatannya dengan memakai
sistem pemilihan oleh rakyat yang diperintah.
b. Juxtaposition antara unsur-unsur, autokratis dengan unsur-unsur demokratis
dalam suatu badan perwakilan rakyat atau parlemen. Jadi di sini terdapat
juxtaposition dalam parlemen, artinya badan perwakilan rakyat itu terdiri
daripada dua kamar, yang satu pengangkatan anggauta- anggautanya dengan
cara pemilihan oleh rakyat yang diperintah, jadi sifatnya adalah demokratis,
sedangkan yang lain diperintah, jadi sifatnya adalah demokratis, sedangkan
yang lain pengangkatan anggauta- anggautanya ditentukan secara autokratis,
sepertinya dengan cara ketuunan, kooptasi, atau benuman. Ini misalnya terjadi
di Inggris, di mana House of Commons itu sifatnya demokratis, karena
pengangkatannya dengan cara pemilihan; berhadapan dengan House of Lords
yang sifatnya autokratis, karena keanggotaannya itu bersifat turun-temurun.
c. Juxtaposition antara unsur-unsur autokratis dengan unsur-unsur demokratis
dalam satu badan perwakilan rakyat atau parlemen. Maksudnya di sini dalam
negara itu hanya ada satu badan perwakilan rakyat yang pengangkatan
anggauta-anggautanya sebagian bersifat demokratis, sedangkan sebagian
lainnya bersifat autokratis. Ini sangat jarang terjadi, salah satu contoh type
daripada bentuk ini ialah parlemen Prancis, atau senat Prancis yag terjadi pada
tahun 1875. Di sini di samping dua ratus dua puluh lima anggauta senator yang
pengangkatannya
dengan
cara
pemilihan,
jadi
dengan
sistem
keanggautanya
tidak
dapat
diganggu-gugat
atau
dipecat,
yang
Ini adlah suatu negara di mana kekuasaan pemerintahannya itu hanya dipegang atau
dilaksanakan oleh satu organ saja. Di mana organ tersbut pengangkatannya
dilakukan dengan cara baik secata demokratis maupun secara autokratis. Sebgai
contoh misalnya sistem itu semula dilakukan dengan secara autokratis, mi misalnya
dapat dengan : perebutan kekuasaan, kooptasi, keturunan. Tetapi penguasa itu belum
dapat melakukan fungsi-fungsi pemerintahan sebulum suara rakyat meratifisir, atau
mengesyahkan pemilihan atau pengangkatan yang dilakukan sebelumnya itu, jadi di
sini lalu terjadi semacam plesbisit, sedangkan plesbisit mi sesungguhnya bukanlah
merupakan pemilihan dalam arti kata yang sesungguhnya. Sistem ini pernah terjadi
di Perancis.
3. Sistem pemerintahan campuran secara berfusi atau berpadu
Ini adalah suatu sistem di mana para pengusaha itu pengangkatannya tidak dapat
dikatakan secara autokratis ataupun secara demokratis yang murni, ataupun secara
beringkat seperti dalam sistem pemerintahan campuran secara kombinasi atau sistem
campuran menurut juxtaposition, di mana yang satu, atau tingkat pertama bersifat
autokratis, sedang selanjutnya bersifat demokratis. Tetapi dalam sistem campuran
secara berfusi dan usur-unsur autokratis dan unsur-unsur demokratis sekaligus
berfusi atau berpadu. Sistem mi misalnya terjadi dalam pengangkatan para penguasa
dalam m=negara oligarki.
Dalam negara oligarki ini para penguasa hanya dipilih oleh segolongan rakyat yang
diperintah. Jadi di sini memang di satu pihak mendekati cara demokratis, oleh
karena para penguasa itu dipilih oleh rakyat yang diperintah. Tetapi di lain pihak
cara mi mendekati sistem autokratis, ini mengingat kecilnya jumlah rakyat yang
diperintah yang dapat ikut serta dalam pemilihan. Jadi di sini unsur-unsur
demokratis dan unsur-unsur autokratis bercampur menjadi satu, berfusi, atau
berpadu, yang tidak dapat dipisahkan.
Bentuk pemerintahan negara seperti tersebut di atas, terakhir, banyak kita jumpai,
dan ini sebetulnya adalah merupakan bentuk peralihan, yaitu bentuk peralihan dari
autokrasi ke demokrasi. Hanya saja dalam hal ini pelaksanaannya mengalami berbagaibagai macam variasi. Variasi mana dapat dilihat di dalam pemberian hak bersuara di
dalam pemilihan.
Jarang sekali di sini terjadi peralihan dari keadaan yang tidak mengenal pemilihan,
yaitu negara-negara autokrasi, ke keadaan penyelenggaraan hak suara umum atau
pemilihan, yaitu pada negara-negara demokrasi. Jadi terlebih dahulu harus mengenal
proto-type daripada sistem-sistem pemilihan, atau penyelenggaraan hak suara umum.
Hak bersuara ini mula-mula hanya diberikan kepada segolongan kecil orang-orang yang
berkedudukan istimewa, malahan semula ada negara yang tidak mau memberikan hak
suara ini kepada kaum wanita. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, lebih-lebih
dalam negara-negara yang sudah modern jumlah orang yang berhak bersuara di dalam
suatu pemilihan ini maikin diperbesar, dan akhirnya semua orang warga negara yang ada
di dalam negara itu mempunyai hak suata di dalam suatu pemilihan dengan syarat-syarat
tertentu. Jadi, dengan kata lain, semua warga negara itu pada prinsipnya mempunyai hak
suara dalam pemilihan.
Demikianlah akhirnya terjadi bahwa autokrasi itu harus terleb ih dahulu membuka
serta mengosongkan dirinya untuk memberikan tempat kepada oligarki yang tertutup,
oligarki ini kemudian dengan secara pelahan-lahan dan berangsur-angsur juga membuka
dirinya serta mengosongkan tempat unutk demokrasi. Di sinilah terjadi peralihan dari
autokrasi ke demokrasi.
Sedangkan dalam sistem pemerintahan campuran secara kombinasi, agak jarang
terjadi peralihan dari autokrasi ke demokrasi, melinkan yang hanya mengambil bebrapa
tanda lahir saja, tetapi menolak dengan keras hakekat demokrasi. Cara inilah yang
kebanyakan dilaksanakn di beberapa negara modern untuk melumpuhkan sistem
demokrasi sambil secara berpura-pura menyanjung-nyanjungnya.
8. Klasifikasi Negara menurut Harold J. Laski
H.J. Laski terhadap bentuk-bentuk negara mengatakan bahwa yang menjadi inti
soal dalam organisasi negara adalah hubungan atau relasi antara rakyat dengan undangundang. Maksudnya dalam negara itu rakyat dapat atau tegasnya wenang ikut campur
dalam pembuatan undang-undang, ataukah tidak. Berdasarkan kriterja ini maka negara
dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Bila rakyat dapat atau mempunyai wewenang ikut campur dalam pembuatan
undang-undang, maka dalam hal ini bentuk negara tersebut sedikit banyak adalah
demokrasi.
2. Bila rakyat tidak dapat atau tidak mempunyai wewenang untuk ikut campur dalam
pembuatan undang-undang, maka dalam hal ini bentuk negara tersebut sedkit
banyak adalah autokrasi.
Tetapi dalam kenyataannya tiada satu daripada kedua bentuk organisasi negara
tersebut dapat berada dalam bentuknya yang semurni-murninya. Sebab suatu demokrasi
murni haruslah meminta pendapat rakyat seluruhnya mengenai segala soal-soal yang
harus dipecahkan, terutama dalam pengaturannya; sedangkan suatu autokrasi murni
haruslah merencanakan serta melaksanakan sendiri suatu autokrasi murni haruslah
3. Satu keadaan lagi, yaitu di Amerika Serikat, di mana kekuasaan badan perundangundangan dan kekuasaan badan pemerintahan dapat ditetapkan pula oleh hakim,
yang kekuasaannya tunduk pda amandemen-amandemen atas konstitusi.
Seterusnya dikatakan oleh H.J. laski bahwa bentuk-bentuk daripada tiap-tiap
negara yang ada ditentukan oleh adat kebiasaan hasil sejarahnya. Perbedaan kecil
mengenai arah titik beratnya, yang dimasukkan oleh pengalaman rakyatnya kedalamnya,
tidak memungkinkan kita untuk terus mempertahankan, bahwa sistem standard yang satu
lebih baik daripada yang lain. Kita hanya dapat mengemukakan atas dasar umum, bahwa
sistem demokrasi itu lebih baik daripada sistem autokrasi. Inipun kalau ditinjau dari adat
kebiasaan peradaban barat, aygn meskipun kedua sistem tersebut tidak terlepas daripada
kelemahan-kelemahan tertentu.
Bagaimanakah pendapat H.J. Laski tentang adanya kenyataan bahwa pad setiap
negara itu dibutuhkan adanya tiga badan yang masing-masing mempunyai kekuasaan
tersendiri serta yang satu terlepas daripada yang lain, dikatakan olehnya bahwa, tidak
dapat disangksikan lagi, bahwa sudah semenjak jamannya Aristoteles Ilmu Negara
Umum itu menghendaki, supaya di dalam tiap-tiap negara yang teratur ketiga jenis
kekuasaan itu mesti harus terpisah satu sama lainnya, baik yang mengenai tugas yang
harus dilakukannya, maupun badannya itu sendiri satu sama lain.
Malahan beberapa ahli pemikir besar tentang negara dan hukum sepertinya John
Locke dan Montesquieu, sampai sedemikian jauh jalan pemikirannya, sehingga
mengatakan bahwa pemisahan itu adalah rahasia daripada seluruh kemerdekaan
kenegaraan.
Lain halnya dengan pandangan H.J. Laski tentang hal tersebut yang tidak setegas
itu betul. Terangnya H.J. Laski tidak dapat menerima ajaran tentang pemisahan
kekuasaan aspertinya dikemukakan oleh Aristotele, John Locke, dan kemudian
disempurnakan serta dipercaya oleh Montesquieu. Mengapa demikian? Hal ini
dikemukakan dengan alasan
1. Dilihat dari sudut teori semata-mata pengadilan itu adalah barang yang sudah
sewajarnya benar menjadi bagian daripada badan pembuat undang-undang, karena
tentu tidak ada satu badanpun yang dapat mengetahui betul-betul tentang undangundang itu, selain daripada badan yan membuatnya.
2. Dalam praktek, tidaklah mungkin ditetapkan adanya pemisahan yang tegas benarbenar. Satu badan pembuat undng-undang tidak akan dapat memnuhi tugasnys
dengan sempurna, bilaman ia tidak boleh turut campur tangan dalam pelaksanaan
undang-undang itu, dan bila ia sewaktu-waktu tidak boleh mengadakan undangundang baru untuk mengubah putusan hakim, yang oleh umum dianggap kurang
memuaskan. Bilamana badan pelaksanaan undang-undang melaksanakan undangundang, maka dasar-dasar umumnya mesti diisi denga, hal-hal yang khusus; Tugas
yang demikian itu sebegitu luasnya di dalam negara di masa kita ini, sehingga sering
kali sukar untuk membedakannya dari perbuatan undang-undangg.
3. Kekuasaan pengadilan, yang mengambil putusan tentak hak kekuasaan badan
pelaksanaan undang-undang, dalam hal ini ia menetapkan isi kemauan badan
pembuat undang-undang, atau memutuskan dalam perselisihan antara dua warga
negara, dalam hal ini ia memperluas lapangan undang-undang negara, atau
memutuskan bahwa satu lapangan yang tertentu malahan tidak termasuk lingkungan
undang-undang.
Menurut hemat saya, pandanganH. J. Laski ini agak kurang dapat diterima, sebab
engan demikian, pertama tidak ada gunanya diselenggarakannya pemisahan kekuasaan,
toh segala-galanya sesungguhnya terpusat pada badan perundang-undang. Kedua,
keadaan yang demikian itu malahan akan menimbulkan sistem absolutise, apakah ini
tidak bertentangan dengan pendapatnya yang mengatakan bahwa sistem demokrasi itu
lebih baik daripada sistem autokrasi. Memang menurut Dr. E. Utrecht S.H. pun dikatakan
bahwa ajaran tentang pemisahan kekuasaan, yaitu trias politika, terutama yang
dikemukakan oleh Montesquieu, tidaklah ddapat dilaksanakan secara konsekuen,
terutama pada negara-negara modern. Tetapi dengan alasan yang berbeda degan alasan
yang dikemukakan oleh H.J.Laski tersebut.
Ajaran tentang pemisahan kekuasaan, maksudnya ajaran Trias Politika dari
Montesquieu, tidaklah dapat dilaksanakan padaa negara-negara modern, adapun
alasannya:
1. Pemisahan kekuasaan secara mutlak seperti yang dikemukakan oleh montesquieu,
mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak dapat ditempatkan di bawah
pengawasan dari suatu badan kenegaraan yang lain. Tidak adanya pengawasan itu
berarti adanya kemungkinan bagi sesuatu badan untuk melampaui batas kekuasaan
atau wewenangnya, dan oleh sebab itu kerjasama antara masing-masing badan
kenegaraan dipersulit.
Jadi pemisahan kekuasaan secara mutlak sperti yang dikemukakan oleh
Montesquieu yang tujuan utamanya adalah untuk memberantas kekuasaan mutlak
serta tindakan yang sewenang-wenang dari raja, tetapi malahan hanya akan
mengakibatkan pemindahan saja sifat mutlak itu dari raja kepada tiap-tiap badan
yang memegang kekuasaan tersebut, sebab, badan-badan tersebut satu sama lain lalu
tidak dapat saling mengaawasi. Jadi akibatnya, sekarang yang dapat bertindak
sewenang-wenang bukanlah raja melainkan badan-badan kenegaraan tersebut.
Pada negara-negara hukum modern, alat-alat perlengkapan negaranya selalu dapat
saling mengawasi, dan mempunyai susunan yang bersifat hierarchies. Hal inilah
yang sesungguhnya merupakan corak daripada sistem permeintahan modern.
kelemahan daripada ajaran pemisahan kekuasaan, atau ajaran Trias Politika, seperti
dikemukakan di atas sesungguhnya telah diketahui dan disadari oelh Montesquieu
sendiri, tetapi secara sengaja beliau memang tidak membuat atau memikirkan
bagaimana cara pemecahannya, dan hal tersebut diserhkan saja dalam praktek di
mana perlu. Demikianlah kemudian timbul penafsiran-penafsiran terhadap
pelaksanaan ajaran Trias Poitika
Di Amerika Serikat misalnya, kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada
Kongres, yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. Kemudian
pelaksanaan atau pemerintahan diserahkan kepada Presiden. Sedangkan kekuasaan
pengawasan, atau pengadilan diserahkan kepada Supreme Court. menurut teori
ketiga kekuasaan serta bdan-badan kenegaraan yang diserahi memegang kekuasaan
tersebut adalah terpisah, memang Amerika Serikat-lah negara modern yang paling
konsekueb melaksanakan ajaran pemisahana kekuasaan.
Tetapi dalam praktek ketiga badan kenegaraan tersebut dapat saling mengawasi.
Sistem pengawasan yang dilaksanakan serta dikembangkan dalam praktik ini disebut
Checks dan Balances, dengan tujuan agar di antara ketiga kekuasaan tersebut selalu
terdapat keseimbangan dalam keadaan-keadaan tertentu. Jadi pengawasan tersebut
tidaklah dilaksanakan secarqa terus menerus, tetapi hanya pada keadaan-keadaan
tertenu di mana dipandang perlu, jadi pengawasan tersebut bersifat kasuistik.
Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan sistem pemerintahan presidensil.
Di negara-negara eropa Barat, sepertinya di Inggris, kekuasaan perundang-undangan
diserhakan kepada badan perwakilan rakyat bersama-sama dengan badan
pemerintahan. Sedang kalau menurut ajaran Trias Politika kekuasaan perundangundangan hanya diserahkan kepada badan perwakilan rakyat. Kekuasaan
pelaksanaan atas pemerintahan diserhkan kepada pemerintah, yang harus
bertanggungjawab kepada badan perwakilan rakyat. sedangkan kekuasaan
pengawasan diserahkan kepada badan pengadilan yang mandiri. Jadi dalam sistem
ini terdapat pengawasan yang lebih ketat. Keadaan ini kemudaian menimbulkan
sistem pemerintahan parlementer.
Lain keadaanya adalah di Swiss. Di mana sistem pengawasannya lebih ketat lagi,
karena dilakukan secaara langsung oleh rakyat, yang kemudian lebih terkenal
dengan sistem referendum.
2. Ajaran Trias Politika Montesquieu yang mengemukakan ajaran tentang pemisahan
kekuasaan secara mutlak, tidak dapat disesaikan atau berdampingan dengan ajaran
kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh Rousseau, yang beberapa dalilnya
menjadi dasar daripada sistem pemerintahan langsung atau direct gouvernment, dan
sistem Echo
3. Pada negara-negara hukum modern, moderne rechtsstaat, ajaran Trias Politika
Montesquieu tidak mungkin dapat dilaksanakn secara konsekuen, dalam arti bahwa
satu badan kenegaraan, atau satu organ itu hanya diserahu satu fungsi atau
kekuasaan saja seperti diajarkan oleh Montesquieu. Sebab pada negara-negara
hukum modern satu organ itu tidak hanya diserahi satu fungsi atau kekuasaan saja,
tetapi kadang-kadang lebih dari pada itu. Atau mungkin juga selabiknya, bahwa satu
fungsi atau kekuasaan itu tidak hanya diserahkan kepadasatu organ saja, tetapi
kadang-kdang diserahkan kepada dua atau lebih organ.
Ajaran Trias Politika Montesquieu kiranya hanya mungkin dapat dilaksanakn
secara konsekuen pada negara hukum dalam pengertian sempit, seperi yang pernah
dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Fichte, yaitu negara di mana tugasnya itu hanya
membuat serta mempertahankan hukum, lain tidak. Negara dan masyarakat dipisahkan
sama sekali, negara tidak boleh mengurusi soal-soal kemasyarakat, terutama soal-soal
perkonomian.
Hal demikian kiranya sesauai dengan jaman pada waktu itu, yaitu sedang
berkembangnya aliran liberalisme, di mana berlaku azass : laissez flaire, laissez aller,
negara hanya melindungi golongan yang berkuasa saja.
Tetapi dalam negar hukum modern, dalam abad ke XX, tugas pemerintah atau
negara adalah asngat luas, yaitu mengusahakan kesejahteraan bagi rakyatnya, dan
menjaga kemanan dalam ari seluas-luasnya. Dengan demikian negara hukum modern
disebut juga Wlfare State. Dan dalam hal ini banyak tugas-tugas yang dahulu dipegang
oleh partikelir, sekarang diambil alih oleh pemerintahan atau negara, dengan demiian
tugas pemerintah atau negara semakin luas.
Menurut isitilah Dr. Lemaire, dalam hal ini pemerintah disertai tugas bestuurszorg,
yaitu penyelenggaraan kesejahteraan umum yang dilakukan oleh pemerintah. Jadi
bestuurszorg menjadi tugas pemerintah pada negara hukum modern, dan ini merupakan
ciri daripada adanya Welfare State. Dan dalam hal ini yaitu agar pemerintah dapt
melakukan apa saja demi kesejahteraan rakyat, maka pemerintah memrlukan
kemerdekaan untuk berbuat atas inisiatif sendri, terutama dalam penyelesaian soal-soal
genting yang timbul dengan sekonyong-konyonng, dan yang peraturan penyelesaiannya
belum ada , karena belum dibuat atau dikeluarkan sendirilah yang memuat peraturannya.
Kemerdekaan pemerintah seperti diuraikan diatas disebut freies Ermenssen (Jerman),
atau pouvoir decritionnaire (Perancis)
9. Klasifikasi Negara menurut Sir John A.R. Marriott
Sir John A.R. Marriot adalah seorang sarjana Inggris ajaran-ajaran beliau dapat
kiita ketahui dalam bukunya yang berjudul : The Mechanism of the modern State. Dalam
bukunya tersebut beliau mengkritik klasifikasi Aristoteles. oleh karena menurut beliau ,
klasikasi Aristoteles tersebut meskipun meruapakan klasifikasi yang fundamentil, namun
tidak dapat memnuhi tuntutan bentuk-bentuk negara modern, dalam arti bahwa ada
beberapa bentuk negara modern yang tidak dapat dimasukkan ke dalam klasfikasinya
tersebut.
Maka dari itu Marriot lalu mengajukan klasifikasi baru, dengan maksud agar dapat
mecakup semua bentuk-bentuk negara-negara modern. Dalam klasifikasinya tersebut
beliau mempergunakan dasar atau kriteria sistem kenegaraannya. Dan yang dimaksud
dengan sistem kenegaraan ini ada tiga hal pokok, yaitu
1. Mengenai susunan perintahnya.
2. Mengenai sifat konsititusina, atau undang-undang dasarnya.
3. mengenai sistem pemerintahannya.
ad.1. Mengenai susunan pmerintahannya. Dengan memeprgunakan krieteria ini
beliau menggolong-olongkan negara kembali menjadi dua goongan besar, yaitu :
1. Negara kesatuan
2. Negara federasi
ad.2. Mengenai sifat konstitusinya, atau undang-undang dasarnya. Berdasarkan
kriteria ini negara dapatdigolongkan menjadi dua golongan besar yaitu :
a. Negara yang konstitusinya, atau saya kira lebih tepat bila memakai undang-undang
dasar bersifat rigid, atau kaku, artinya undang-undang dasar tersebut mempunyai
sifat-sifat istimewa, keistimewaanny itu ialah terletak dalam hal perubahannya, atau
apabila akan mengandir undang-undang dasar tersebut. Dalam hal ini diperlukan
syarat-syarat yang sifatnya sangat berat. Hal ini yang demikian ini memperngaruhi
pula fungsi atau outoritas badan legislatif, yaitu bahwa badan legislatif di sini hanya
Negara-negara modern
1. Despotis
2. Demokratis
1.Republik
:1. Federal
: 1. Tidak
2. Kesatuan
berparlemen
2. Berparlemen
: 1. Tidak
:1. Federal
berparlemen
2. Berparlemen
: 1. Tidak
2. Kesatuan
berparlemen
2. Berparlemen
: 1. Tidak
2.Kerajaan Terbatas
berparlemen
2. Berparlemen
11. Klasifikasi Negara menurut H.N. Sinha.
H.N. Sinha. adalah seorang sarjana berkebangsaan India, dalam bukunya yang
bernama Outlines of Political Science, antara lain mengatakan bahwa klasifikasi dari
Leacock itu sebenarnya kurang sempurna, meskipun pada prinsipnyua H.N. Sinha. dapat
menerimanya. Dikatakan kurang sempurna oleh karena ke dalam klasifikasinya itu tidak
dapat dimasukkan bentuk-bentuk negara totaliter atau otoriter yang tibul sesudah Perang
Dunia Pertama, sepertinya negara-negara : fascist Italia, Nazi-Jerman, dan negara Uni
Sovyet, bentuk-bentuk pemerintahan dari ketiga negara tersebut bersifat totaliter atau
otoriter atau proletar dan anti demokratis.
Sekalipun demikian, masih juga diakui oleh H.N. Sinha. bahwa klasifikasi Leacock
yang telah diperbaiki ini belum juga sempurna, karena tidak dapat juga menempatkan
negara-negara demokrasi modern, ataupun demokrasi kuno. Maka setelah H.N. Sinha.
menambah kekurangan-kekurangan klasifikasi Leacock dengan bentuk pemerintahn
yang totaliter atau otoriter dan bersidat anti demokratis itu, kemudaian memberikan
skema sebgai berikut
Negara-negara modern
1. Demokratis
:1.Republik
2.Kerajaan Terbatas
:1. Kesatuan
: 1. Berparlemen
2. Tidak
2. Federal
Berparlemen
: 1. Berparlemen
2. Tidak
:1. Kesatuan
Berparlemen
: 1. Berparlemen
2. Tidak
2. Federal
Berparlemen
: 1. Berparlemen
2. Tidak
Berparlemen
2. Anti-
:1.Republik
:1. Kesatuan
2. Federal
Demokratis
(Totaliter atau
Autoriter)
2.Kerajaan Terbatas
:1. Kesatuan
2. Federal
4. Negara-negara Despotis.
Demikianlah secara skematis ajaran klasifikasi negara dari H.N. Sinha, yang ternyata
belum sempurna. Juha mengapa tidak disebutkan bahwa oada Negara-negara antidemokratis pun sesungguhnya ada yang berparlemen meskipun sifatnya lain daripad
parlemen pada negara-negara demokratis. Untuk ini periksa urain kami pada autokrasi
modern.
BAB VIII
SUSUNAN NEGARA
Negara apabila dilihat dari segi susunannya, akan menghasilkan dua kemungkinan
bentuk susunan negara yaitu :
1. Negara yang bersusunan tunggal, yang disebut Negara Kesatuan.
2. Negara yang bersusunan jamak, yang disebut Negara Federasi.
1. Negara Kesatuan
Negara Kesatuan disebut Negara Unitaris. Negara ini susunannya bersifat tunggal
maksudnya Negara Kesatuan ini adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,
melainkan hanya terdiri dari satu negara, sehingga tidak ada negara di dalam negara.
Dengan demikian dalam negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah,yaitu pemerintah
pusat yang memiliki kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintah
negara, menetapkan kebijakksanaan pemerintah dan melaksanakan pemerintahan baik di
pusat maupun di daerah- daerah.
Ditinjau dari segi sejarah ketatanegaraan serta Ilmu Negara, pada permulaan
perkembangannya, yaitu dari jaman purba, jaman kuma, jaman abad pertengahan, jaman
renaissance, kemudian memasuki jaman hukum alam baik abad XVIII,maupun para
penguasa itu pada umumnya bersifat absolut, dan masih dilaksanakannya azas
sentralisasi dan azas konsentrasi.
Kedua azas itu secara singkat pengertiannya dapatlah dikemukakan sebagai
berikut:
1. Azas S entralisasi, adalah azas yangmenghendaki bahwa segala kekusaan serta
urusan pemerintahan itu milik Pemerintah Pusat.
2. Azas Konsentrasi, adalah azas yang menghendaki bahwa segalakekuasaan serta
urusan pemerintahan itu dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Pusat, baik yang ada
di Pusat maupun yang ada di daerah-daerah.
Memang sesungguhnyalah setelah memasuki abad perkembangan hukum alam,
abad XVIII, lahir dan berkembanglah usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan para
penguasa negara, yang antara lain didukung oleh:
1. John Locke dengan ajarannya hak asasi manusia.
2. Montesquieu dengan ajarannya trias politika.
3. J.J Rousseeau dengan ajarannya kedaulatan rakyat.
Suatu ikatan kerja sama itu dapat bersifat erat, tetapi dapat pula bersifat agak
renggang, yang hampir menyerupai perjanjian multilateral, karena pada hakikatnya
hubungan antar negara-negara bagian dalam negara federasi itu pada prinsipnya
berdasarkan perjanjian saja, yang pada suatu sat dapat saja diputuskan, dalam arti bahwa
negara itu keluar dari iaktan kerja samanya atau negara federasinya. Dengan demikian
putus pula hubungan antara negara bagian itu dengan negara federasi.
Berdasarkan sifat hubungan ikatan kerja sama antara Pemerintah Negara Federasi
dengan Pemerintah Negara-negara Bagian tersebut, maka Negara Federasi itu dapat
dibedakan menjadi du macam jenis, yaitu :
1) Negara Serikat; dan
2) Perserikatan Negara
Mengenai perbedaan antara Negara Serikat degan Perserikatan Negara telah ada
beberapa ahli pemikir besar tentang negara dan hukum yang mengemukakn pendaptnya,
dengan kriterianya masing-masing sehingga mereka mencapai hasil atau kesimpulan
yang berbeda-beda pula. Hal inilah yang menyebabkan adanya kekayaan ajaran atau teori
dalam pemikiran tentang negara dan hukum.
3. Perbedaan Antara Negara Serikat dengan Perserikatan Negara menurut Georg
Jellinek
Georg Jellinek mengemukakan perbedaan antara negara serikat dengan perserikatan
negara-negara tersebut. Lama sudah Jellinek meninjau dari berbagai sudut untuk mencari
perbedaan tersebut. dan kiranya beliausamapai pada kesimpulan yang sesuai dengan
pendapatnya bahwa negara itu pada hakekatnya adalah meruapakan suatu organisme,
yang mempunyai kehendak atau kemauan, yang kemudian menjelma dalam bentuknya
yang konkrit berupa peraturan-peraturan negara, atau undang-undang atau hukum. Jadi
hukum adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak negara, dengan demikian
negaralah yang berdaulat.
Sekarang persoalannya, di dalam negara federal itu pada siapakah kedaulatan itu, ada
pada negara federalnya, ataukah ada pada negara-negara bagian? Inilah kriteria Jellinek
di dalam membedakan antara negara serikat dengan perserikatan negara-negara tersebut.
Apabila kedaulatan itu ada pada negara federal, jadi yang memegang kedaulatan
itu adalah pemerintah federal, atau pemerintah gabungannya, maka negara federal itu
disebut negara serikat.
Sedangkan kalau kedaulatan itu masih tetap ada negara-negara bagian maka negara
federal yang demikian ini disebut perserikatan negara.
Jadi seakan-akan sudah tegas, tinggal melihat saja, ada pada siapa-kah kedaulatan
itu, ada pada negara federalnya, ataukah ada pada negara-negara bagian. Tetapi meskipun
pengertian
kedaulatan
atau
souvereinitet
itu
di
dalam
sejarahnya
perkembangannya mengalami tiga phase, demikian pendapat Mac. Iver dalam bukunya :
The Web of Government, beliau membagai sejarah perkembangan souvereinitet itu
dalam tiga phase :
1) Comparative. Phase ini menunjuk pada jaman foedal, yaitu dalam abad-abad
pertengahan, karena pada jaman itu kedaulatan ada pada raja, kadang-kadang
sebagai leenheer, dan pada Baron atau leenman.
2) Absolute. Phase ini menunjuk pada jaman raja-raja yang mempunyai kekuasaan
absolute.
3) Relative. Phase ini menunjuk pada jaman modern di mana kedaulatan negara yang
satu adalah relatif apabila dihadapkan dengan kedaulatan negara-negara lain dalam
lapangan internasional.
Menurut hemat saya, pendapat Kranenburg tersebut di atas, yatu yang menyatakan
bahwa kedaulatan itu tidak dapat dipakai segai kriteria, di dalam membedakan antara
negara serikat dengan perserikatan negara, seperti pendapat Jellinek tersebut, karena
pengertian kedaulatan itu masih kabur, itu adalah benar, dalam arti bahwa terhadap
istilah kedaulatan itu belum ada kesatuan pendapat, dan nyatanya meang demikian,
misalnya saja pengertian kedaulatan dari Jellinek itu sendiri, sudah berbeda dengan
pengertian kedaulatan yang dikemukakan oleh Jean Bodin.
tetapi disamping itu, sesungguhnya tidaklah benar apabila Kranenburg itu
mengatakan bahwa kedaulatan atau souvereinitet itu tidak dapat dipakai sebgai kriteria,
sebgaimana halnya Jellinek mempergunakannya sebgai kriteria untuk membedakan
antara negara serikat dengan perserikatan negara. Seperti tadi di atas dikatakan
Kranenburg menyatakan bahwa pendapat Jellinek dalam hal ini adalah kurang kuat,
lemah, karena pengertian kedaulatan itu sendiri masih sangat kabur.
Pendapst Kranenburg ini, diatu pihak memang benarm dalam arti bahwa pengertian
kedaultan itu hingga saat ini belum mendapatkan kesatuan pendapat. Tetapi di lain pihak
pernyataan Kranenburg itu adalah tidak tepat, tidak benar, oleh karena dengan demikian
Kranenburg juga mengganggap bahwa pengertian kedaulatan atau souvereinitet itu bagi
Jellinek masih merupakan suatu pengertian yang kabur. Ini adlah tidak benar. Oleh
karena Jellinek memaiaki pengertian kedaulatan atau souvereinitet itu menurut
pengertiannya, menurut pahamnya sendiri. baginya memang telah ada pengertian antara
negara serikat dengan perserikatan negera, jadi bukan mempergunakan pengertian
kedaulatan itu menurut paham umum, atau tegasnya bukan menurut kata sepakat dari
semua orang, melainkan menurut pengertian Jellinek sendiri.
Menurut Jellinek, pengertian kedaulatan atau souvereinitet itu adlah kekuasaan
tertinggi untuk menentukan hukum di dalam suatu negara. Jadi Jellinek itu telah
mempunyai pengertian yang psti dan tetap terhdap istilah kedaultan atau souvereinitet
itu, Negaralah yang mempunyai kekuasaan tertinggi, negaralah yang merupakan sumber
hukum, oleh karena menurut pendapatnya, hukum itu pada hakekatnya merupakan
penjelmaan atau perwujudan daripada kemauan atau kehendak negara.
jadi sekali lagi, bagi Jellinek itu sudah mempunyai pengertian yang pasti dan tetap
tentang istilah kedaulatan atau souvereinitet. Maka tidaklah mungkin kalau pengertian
kedaulatan atau souvereinitet yang dipergunakan oleh Jellinek sebgai kriteria untuk
membedakan pengertian antara negara serikat dengan perserikatan negara-negara itu
diganti dengan pengertian yang lain
Setelah Kranenburg menyatakn ketidak persetujuannya terhadap pendapat Jellinek,
maka beliau sendiri juga kemudian mengajukan pendapat atau ajaran tentang perbedaan
antara negara serikat dan perserikatan-negara.
4. Perbedaan Negara Serikat dengan Perserikatan Negara menurut Kranenburg
Menurut pendapat Kranenburg, perbedaan antara negara serikat dengan
perserikatan negara-negara itu terletak pada persoaln : dapat atau tidaknya pemerintah
Federal atau pemerintah gabungan itu membuat atau mengelurkan peraturan-peraturan
hukum yang langsung mengikat atau berlaku terhadap para warga negara daripada
negara-negara bagian. Jadi inilah yang harus dipergunakan sebgai kriteeria di dalam
pembedaan antara negara serikat dengan perserikatan negara-negara tersebut, dan
bukannya letak kedaulatannya
Apabila peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah negara
federal, pemerintah gabungannya itu dapat secara langsung berlaku atau mengikat
terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka negara federasi itu adalah
berjenis negara serikat. Jadi tanpa ada tindakan-tindakan tertentu dari pemerintah negara
bagian, peraturan-peratuan hukum yang berasal dari pemerintah federal, atau pemerintah
gabungan itu telah dapat berlaku atau mengikat secara langsung para warga negara dari
negara-negara bagian.
Sedangkan kalau peraturan-peraturan hukum yang dibuat dan dikeluarkan oleh
pemerintah federal atau pemerintah gabungannya itu tidak dapat secara langsung berlaku
atau mengikat terhadap para warga negara dari negara-negara bagian, maka negara yang
demikian ini disebut perserikatan negara. Dalam hal ini, maka apabila peraturanperaturan hukum yang dibuat atau dikeluarkan oleh pemerintah federal atau pemerintah
gabungannya itu akan diberlakukan terhadap para warga negara dari negara-negara
bagian, maka pemerintah negara bagian yang bersangkutan terlebih dahulu harus
mengadakan suatu tindakan, yaitu mengadakan atau membuat suatu peraturan, atau
undang-undang, atau pernyataan, atau mungkin berupa tindakan lain,
yang pada
negaranya, meskipun masih harus dalam batas-batas yang ditentukan dalam konstitusi
atau undang-undang dasar negara federalnya.
Demikianlah negara itu kalai ditinjau dari segi susunannya, kita dapat menemukan
dua jenis golongan besar, yaitu negara kesatuan, dan negara federasi. Sedangkan keduaduanya masih dapat dijeniskan lagi. negara kesatuan dapat, negara kesatuan yang
didesentralisir, dan negara kesatuan yang didekonsentralisir. Sedangkan negara federasi
dapat : negara serikat dan perserikatan negara.
Dari jenis-jenis negara tersebut di atas ada kiranya yang perlu mendapatkan
perhatian ;lebih lanjut untuk mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Demikianlah
sepertinya negara kesatuan yang didesentralisir dengan negara federasi khususnya
dengan negara serikat itu terdapat persamaan-persamaan, serta perbedaan-perbedaan
tertentu.
Persamaan-persamaannya. Terdapatnya persamaan-persamaan ini dalam arti bahwa
di dalam kedua negara tersebut terdapat :
1) Pembagian daerah atau wilayah, hanya namanya yang berbeda. Di dalam negara
kesatuan yang didesentralisir daerah-daerah bagian itu namanya daerah, entah
daerah tingkat I, daerah tingkat II, daerah tingkat III yang berhak mengatur dan
mengurus tumah tangganya sendiri, sedangkan pada negara esrikat, daerah-daerah
bagian itu namanya negara-negara. Jadi di sini ada negara di dalam negara,
tidaklah demikian halnya pada negara kesatuan yang didesentralisir.
2) Adanya dua macam pemerintah pad kedua negara terserbut, yaitu : pada negara
kesatuan yang didesentralisir terdapt, pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sedangkan pada negara serikat terdapt, pemerintah federal atau pemerintah negara
gabungan dan pemerintah negara bagian.
Perbedaan-perbedaannya. Perbedaan antara sistem negara kesatuan yang didesentralisir
dengan sistem negara serikat adalah bahwa perbedaan-perbedaan itu tidak saja terdapat
pada perbedaan-perbedaan sebutannya, sepertinya sebutan-sebutan daerah, propinsi,
negara bagian, kanton melainkan perbedaan-perbedaan tersebut sungguh-sungguh
mengenai hukum positifnya, yaitu :
a. Wewenang mengadakan atau membuat undang-undang dasar. Seperti telah kita
ketahui bahwa di dalam negara serikat itu pada azasnya ada dua macam negara,
yaitu negara federal atau negara gabungannya itu sendiri dan negara-negara bagian,
jadi juga ada dua macam pemerintah, yaitu pemerintah federal atau pemerintah
negara gabungannya dan pemerintah dari negara-negara bagian. Sedangkan pada
azasnya masing-masing negara bagian itu berdiri sendiri, dan mempunyai wewenang
untuk membuat undang-undang dasar sendiri, jadi di sini ada dua macam undangundang dasar, yaitu souvereiniteit dasar dari tiap-tiap negara bagian, dan
souvereiniteit
dasar dari negara federasi itu sendiri, yang pada hakekatnya ini
atau
diberikan
kepada
pemerintah-pemerintah
daerah
untuk
bangsa-bangsa yang ada di New York itu sesungguhnya bukanlah merupakan suatu
negara, bukan pula merupakan perserikatan negara, melainkan adalah merupakan suatu
organisasi internasional, organiasasi antar bangsa-bangsa di mana tergabung negaranegara. Organisasi ini dikatakan berdasarkan atas : The proinciple of the souvereign
equality of all its members, dan atas cooperatif.
Masalahnya yang sering timbul ialah, bagamianakh sifat hukumannya daripada
Perserikatn bangsa-bangsa tersebut. Dalam hubungan ini, Sir John Fisher Wiliams, dalam
Suatu ceramahnya di depan International Law Association, dengan judul : the Status of
the League of Nations in International Law, antara lain menyatakan bahwa apabila
masalah sifat hukum daripada Perserikatan bangsa-bangsa itu dikemukakan, secara tidak
salah pula, maka disambutlah kita dengan suara banyak yang serupa, dari pelbagai pihak
yang berkuasa, secara dulu mendahului menyatakan hal-hal tentang ketidakan
organiasi itu.
Perserikatan, bukanlah merupakan negara, bukan pula merupaka negara besar.
Pernyataan ini adalah betul, akan tetaapi hal ini hanya merupakan penyangkalan belaka.
Komentator Inggris yang resmi telah menyatakan tentang perserikatan itu sebagai : a
living organism. Pernyataan ini betul pula, dan dari pernyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa organisai itu, yaitu Perserikatan bangsa-bangsa, mempunyai badan, men-jadi
pendukung hak-hak dan kewjibdan, dan pula mempunyai kekayaan.
Memang demikianlah keadaanya, bahwa Perserikatan bangsa-bangsa itu
mempunyai : pengurus, yang disebut dewn; rapat, yang terdiri atas utusan-utusan
anggauta-anggautanya; pegawai-pegawai sendiri; kantor; sekretariat; dan alat-alat
perlengkapannya tidak dapat diganggu-gugat sepertinya para diplomat. Semuanya itu
dsebutkan dengan tegas di dalam Piagamnya. Piagam daripada Perserikatan bangsabangsa tersebut lahir pada masa perang dunia kedua tanggal 26 Juni 1945, dalam suatu
konperensi internasioanl di San Fransisco. Dan dalam piagam itu pulalah ditetapkan
sebag badan-badan utama daripada Perserikatan bangsa-bangsa ini adalah:
1) General Assembly, atau Majelis Umum. Ini terdiri daripada wakil-wakil negara
anggauta, dan dalam majelis ini setiap negara anggauta mempunyai satu saura.
2) Security Council, atau Dewan Keamanan. ini terdiri daripad lima anggauta tetap,
yang masing-masing memppunyai hak veto, yaitu Amerika Serikat, Inggris,
Perancis, Unie Soviet, dan Tiongkok Nasionalis.
3) Economic and Social Council, atau Dewan Ekonomi dan Sosial. Ini terdiri daripada
18 anggauta yang dipilih oleh majelis umum, untuk jangka waktu 3 tahun, adapun
tugasnya ialah, mengkoordinir aktivitas-aktivitas badan-bdan khusus untuk
Mahkamah ini