Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak dan yang berhubungan
dengan gangguan atau kerusakan jaringan. Rasa nyeri hanya sebagai gejala atau isyarat
adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang otot. Nyeri
dapat terjadi karena rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis yang menimbulkan kerusakan
jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator
nyeri. Mediator Nyeri antara lain Histamin, serotonin, bradikinin, leukotriene, prostaglandin,
dan Ion kalium (Ilham, 2010). Cedera pada sel akan melepaskan berbagai mediator, yang
menstimulasi saraf sensori berdiamater kecil, yang disebut serat delta-A dan C, berespons
terhadap stimulus dengan cara membuat impuls saraf yang menghasilkan sensasi nyeri.
Impuls nyeri dari kulit, jaringan subkutan, otot, dan struktur viseral dalam, akan dihantarkan
ke tanduk dorsal, atau posterior medula spinalis dalam serat-serat ini. Pada medula spinalis,
semua saraf ini membentuk sinaps dengan saraf medula spinalis dan kemudian
menghantarkan impuls saraf tersebut ke otak (Amy M, 2011)
Ada lima klasifikasi dan jenis nyeri yaitu:

Nyeri akut, dapat ringan, sedang, dan berat

Nyeri kronik, dirasakan lebih dari 6 bulan

Nyeri superfisial

Nyeri somatik (tulang, otot rangka, dan sendi)

Nyeri visceral (nyeri dalam)

Analgesik merupakan suatu obat yang digunakan untuk meredakan nyeri. Salah satu cara
kerja analgesik adalah dengan menghambat mediator. Contohnya pada aspirin, ia meredakan
nyeri dengan cara menghambat sintesis prostaglandin. Analgesik dibedakan menjadi dua,
yaitu analgesik nonnarkotik dan analgesik narkotik. Kedua analgesik ini digunakan
tergantung dari beratnya nyeri. Analgesik nonnarkotik biasa digunakan pada nyeri ringan
sampai sedang pada otot rangka dan sendi. Sedangkan analgesik narkotik biasa digunakan
pada nyeri sedang sampai berat pada otot polos, organ, dan tulang. Analgesik narkotik juga
digunakan untuk anastesi.
Analgesik nonnarkotik biasa diberikan secara per oral, sedangkan narkotik bisa diberikan
secara per oral, intramuscular dan subkutan. Masing-masing cara pemberian memiliki aspek
farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda-beda. Pemberian analgesik secara
bersamaan dengan lain beberapa obat dapat menimbulkan tambahan efek samping.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimana aspek farmakologi dari analgesik narkotik ?
Bagaimana aspek farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obatan analgesic narkotika ?

Apa saja indikasi dan kontraindikasi dari obat-obatan analgesic ?


Berapa dosis dan bagaimana cara pemberian obat-obatan analgesic ?
1.3 Tujuan penulisan
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami aspek farmakologi, farmakokinetik, serta
farmakodinamik dari obat-obatan analgesik narkotik.
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami indikasi dan kontraindikasi, dosis serta
bagaimana cara pemberian obat-obatan analgesik narkotik.
1.4 Manfaat

Menambah wawasan mahasiswa tentang obat-obatan khususnya analgesik narkotik.

Menambah wawasan mahasiswa tentang mekanisme kerja obat-obatan khususnya


analgesik narkotik.

Mahasiswa dapat mengaplikasikan pemberian obat-obatan analgesik narkotik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggolongan Obat Narkotika
Obat Narkotika, merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan. (UU RI no. 22 th 1997 tentang Narkotika). Obat ini pada kemasannya
dengan lingkaran yang didalamnya terdapat palang (+) berwarna merah.
Obat narkotika penggunaannya diawasi dengan ketat sehingga obat golongan narkotika hanya
dapat diperoleh di apotek dengan resep dokter asli (tidak dapat menggunakan copy resep).
Dalam bidang kesehatan, obat-obat narkotika biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan
analgetik/obat penghilang rasa sakit. Contoh obat narkotika adalah : codipront (obat batuk),
MST (analgetik) dan fentanil (obat bius).
Menurut UU No.22 tahun 1997, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika digolongkan menjadi 3 golongan :
Golongan I :

Hanya digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan

Tidak digunakan dalam terapi

Potensi ketergantungan sangat tinggi

Contoh : Heroin (putauw), kokain, ganja

Golongan II

Untuk pengobatan pilihan terakhir

Untuk pengembangan ilmu pengetahuan

Potensi ketergantungan sangat tinggi

Contoh : fentanil, petidin, morfin

Golongan III

Digunakan dalam terapi

Potensi ketergantungan ringan

Contoh : kodein, difenoksilat

2.2 Profil farmakologi analgesik narkotik


Narkotik atau opioid berasal dari tanaman opium. Walaupun saat ini sebagian besar
narkotik telah tersedia secara sintetik, struktur kimiawi agents tersebut menyerupai tanaman
alkaloid asli. Semua obat-obatan dalam kelas ini sama-sama menempati reseptor opioid
khusus dalam SSP.
Agonis narkotik merupakan obat yang bereaksi dengan reseptor opioid di seluruh tubuh
untuk menimbulkan efek analgesia, sedasi, atau uforia. Efek lainnya yang mungkin muncul
selain efek analgesia bergantung pada tipe reseptor opioid yang dipengaruhi setiap obat.
Karena obat ini berpotensi menimbulkan ketergantungan fisik, obat ini digolongkan sebagai
zat yang dikontrol. Derajat pengendaliannya ditentukan oleh kemampuan relatif dari setiap
obat untuk menimbulkan ketergantungan fisik.
Obat-obatan narkotik yang digunakan bervariasi sesuai dengan jenis reseptor opioid
tempat obat tersebut bereaksi. Hal itu menyebabkan perubahan peredaan nyeri serta variasi
efek samping yang dapat diantisipasi. Ada empat jenis reseptor opioid yang telah
diidentifikasi: mu (), kappa (), beta (), dan sigma(). Reseptor merupakan reseptor
penghambat nyeri paling utama. Selain analgesia, reseptor juga menyebabkan depresi
pernapasan, perasaan euforia, penurunan aktivitas GI, konstriksi pupil, dan timbulnya
ketergantungan fisik. Reseptor dikaitkan dengan beberapa analgesia dan kontriksi pupil,
sedasi, serta disforia. Enkefalin bereaksi dengan reseptor dalam perifer untuk mengatur
penghantaran nyeri. Reseptor sigma dapat menyebabkan dilatasi pupil dan bertanggung
jawab terhadap timbulnya halusinasi, disforia, dan psikosis yang dapat terjadi akibat
penggunaan narkotik.
2.3 Aspek farmakokinetik dan farmakodinamik
Pemberian obat secara intravenma (IV) merupakan cara yang lebih dapat diandalkan
untuk mencapai kadar terapeutik narkotik. Pemberian obat melalui intramuskular (IM) dan
subkutan (SC) memiliki kecepatan absorpsi obat terjadi lebih lambat pada pasien wanita
daripada pria. Obat-obatan ini mengalami metabolisme di dalam hati dan biasanya
diekskresikan melalui urine dan kandung empedu. Waktu paruh obat-obatan ini sangat
bervariasi bergantung pada obat yang digunakan.
Aspek farmakodinamik dari narkotik/opioid adalah dapat berinteraksi secara
stereospesifik dengan protein reseptor pada membran sel-sel tertentu dalam SSP, pada ujung
saraf perifer, dan pada sel-sel saluran cerna. Banyak peptida yang memberikan efek samping
morfin yang dijumpai dalam otak dan dalam jaringan lain. Peptida-peptida ini
dinamakan opiopeptin. Termasuk dalam molekul peptida ini ialah pentapeptida
methioninenkefalin (met-enkefalin) dan leusin-enkefalin (leu-enkefalin); suatu peptida 17asam-amino, dinorfin; dan suatu polipeptida 31-asam-amino, Beta-endorfin. Telah
diperlihatkan bahwa zat-zat ini berikatan dengan reseptor opioid dan dapat digeser dari
ikatannya oleh a1ntagonis opioid. Walaupun terlihat bahwa zat-zat endogen ini bekerja
sebagai neurotransmiter, perananya dalam fisiologi dan patofisiologi belumlah seluruhnya
dapat dijelaskan.
Efek utama opioid oleh 4 famili reseptor, yang ditunjukkan dengan huruf Yunani: (mu),
(kappa), (sigma), dan (delta). Tiap reseptor menunjukkan spesifisitas yang berlainan
untuk obat-obat yang diikatnya.

Dalam otak dan jaringan tubuh lainnya terdapat 8 jenis reseptor, di antaranya ialah:

Reseptor (mu), yang ternyata berperanan dalam efek-efek analgesik, pernafasan,


dan ketergantungan fisik

Reseptor (kappa), yang mungkin memperantarai efek-efek analgesik spinal, miosis,


dan sedasi

Reseptor (sigma), yang berperanan dalam efek-efek halusinogenik dan


perangsangan jantung.

Beberapa reseptor opioid lain telah diindentifikasi secara tentatif, namun


kemaknaannya belum jelas.

Umumnya, kuat ikatannya berkorelasi dengan sifat analgesiknya. Sifat analgesik opioid
terutama diperantarai oleh reseptor ; dan reseptor pada kornu dorsalis juga menyokong.
Enkefalin berinteraksi lebih selektif dengan reseptor di perifer. Resepetor opioid lain, seperti
reseptor kurang spesifik; reseptor mengikat obat non-opioid, seperti
halusinogen fensiklidin. Reseptor dapat pula bertanggung jawab terhadap halusinasi dan
disforia yang kadang-kadang berkaitan dengan opioid.
Nalokson tidak mengantagonis ikatan-ikatan pada reseptor ini seperti yang terjadi pada
reseptor lain. Semua reseptor opioid berpasang-pasangan dengan Inhibitor protein G dan
menghambat enzim adenil siklase. Selain itu, ini mungkin berkaitan dengan saluran ion untuk
meningkatkan efluks K+(hiperpolarisasi) atau mengurangi influks Ca++ sehingga merintangi
peletupan neuronal dan pembebasan transmiter.
Mekanisme kerja molekular opiat ini belum diketahui. Obat ini memberikan efek pada
adenilat siklase dan pada keadaan tertentu dapat diantagoniskan.
Beberapa obat yang bekerja sebagai agens analgesic adalah:
A. Morfin
Berdasarkan aspek farmakokinetiknya morfin mengalami absorpsi dalam usus dengan
baik. Mulai kerjanya setelah 1-2 jam dan bertahan sampai 7 jam. Absorpsi dari suppositoria
umumnya sedikit lebih baik, secara SC maupun IM. Pengikatan pada protein sekitar 35%,
dalam hati 70% dari morfin dimetabolisasi melalui senyawa konyugasi dengan asam
glukuronat menjadi morfin-3-glukuronida yang tidak aktif dan hanya sebagian kecil (3%)
dari jumlah ini terbentuk morfin 6-glukuronida dengan daya kerja analgetis lebih kuat dari
morfin sendiri. Ekskresinya melalui kemih, empedu dengan siklus enterohepatis dan tinja.
Aspek farmakodinamik dari morfin adalah berkhasiat sebagai analgetik yang sangat kuat,
serta memiliki banyak jenis kerja pusat, seperti analgesik sedative dan hipnotis, menimbulkan
eufaria, menekan pernapasan dan menghilangkan refleks batuk, yang semuanya berdasarkan
supresi susunan saraf pusat (SSP). Morfin juga menimbulkan efek simulasi SSP, misalnya
Miosis (penciutan pupil mata), eksitasi dan konvulsi. Daya stimulasinya pada CTZ
mengakibatkan mual dan muntah-muntah. Efek perifernya yang penting adalah obstipasi,
retensi kemih dan pelepasan histamine yang mengakibatkan vasodilatasi pembuluh kulit dan
gatal-gatal (urticaria). Penggunaannya khusus pada nyeri hebat akut dan kronis, seperti pasca-

bedah dan setelah infark jantung, juga pada fase terminal dari kanker. Banyak digunakan
sebagai tablet retard untuk memperpanjang kerjanya.
B. Codein
Codein merupakan analgesik agonis opioid. Efek kodein terjadi apabila kodein berikatan
secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di susunan saraf pusat. Efek
analgesik kodein tergantung afinitas kodein terhadap reseptor opioid tersebut.Kodein dapat
meningkatkan ambang rasa nyeri dan mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada
waktu persepsi nyeri diterima dari thalamus. Kodein juga merupakan antitusif yang bekerja
pada susunan saraf pusat dengan menekan pusat batuk. Kodein diserap baik pada pemberian
oral dan puncak efeknya ditemukan 1 atau 2 jam dan berlangsung selama 4-6 jam.
Metabolisme terutama di hepar, dan diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah,
diekskresi komplet setelah 24 jam. Dalam jumlah kecil ditemukan dalam air susu ibu.
Kodein digunakan untuk terapi simptomatis batuk non-produktif. Kodein merupakan obat
reference standard dalam penelitian obat batuk lain. Dalam dosis antitusif biasa, kodein
memiliki efek analgesik ringan dan efek sedatif. Efek analgesik kodein ini dapat
dimanfaatkan untuk batuk yang disertai dengan nyeri dan ansietas.
C. Fentanil
Fentanil adalah analgesik opioid yang berkaitan dengan reseptor opiate di SSP, merubah
respons dan persepsi nyeri. Efek terapeutik gabungan berupa neuroleptoanalgesia (tenang,
berkurangnya aktivitas motoric, dan analgesia tanpa kesadaran). Sedangkan efek sampingnya
berupa retensi urin, berkeringat dan kemerahan, rigiditas otot rangka dan toraks, kedinginan,
menggigil, serta wajah berkeringat.
Pada pendistribusian fentanil, analgesik ini dapat menembus sawar otak. Metabolismnya
terjadi dalam hati dengan jumlah kecil sekitar 10-20% serta diekskresi melalui ginjal dalam
bentuk tidak berubah. Waktu paruh fentanil belum diketahui.
D. Petidin
Petidin merupakan narkotika sintetik derivate fenilpiperidinan dan terutama berefek terhadap
susunan saraf pusat. Petidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor . Efeknya terhadap
SSP adalah menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi pernafasan serta efek sentral
lain. Efek analgesic petidin timbul agak lebih cepat daripada efek analgesic morfin, yaitu
kira-kira 10 menit, setelah suntikan subcutan atau intramuscular, tetapi masa kerjanya lebih
pendek, yaitu 2-4 jam. Absorbsi petidin melalui pemberian oral maupun secara suntikan
berlangsung dengan baik. Obat ini mengalami metabolisme dihati dan diekskresikan melalui
urin.
E. Tramadol
Tramadol adalah analgesic kuat yang bekerja pada reseptor opiate. Tramadol mengikat
secara stereospsifik pada reseptor di sistem saraf pusat sehingga sensasi nyeri dan respon
terhadap nyeri. Di samping itu tramadol menghambat pelepasan neutrotransmiter dari saraf
aferen yang bersifat sensitive terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri terhambat. Lama
kerja tramadol 6 jam, Efek absorpsi oral 90%, Ikatan protein plasma 20%, T1/2 6 jam,
metabolismeterjadi di hepatic, sedangkan eliminasi terjadi di ginjal.

F. Metadon
Metadon merupakan suatu agonis opioid sintetik dengan aksi majemuk secara kuantitatif
serupa dengan aksi morfin, terutama mempengaruhi susunan saraf pusat dn organ-organ yang
terdiri dari otot polos. Sebagai suatu anestetik, metadon 3 kali lebih poten dari morfin,
berbeda karena awitannya lebih lambat, perjalanaya lebih lama, dan gejala lebih ringan. Efek
kumulatif terjadi pada penggunaan berulang, menimbulkan lama aksi yang memanjang.
Metadon oral sekitar separuh poten dibandingkan metadon parental.
Farmakodinamik :
Terhadap SSP : sebagai analgetika setara morfin, mempunyai efek antitusif, menimbulkan
hiperglikemi dan penglepasan ADH.
Terhadap otot polos : relaksasi usus, spasme saluran empedu, relaksasi uterus, miosis.
Terhadap sistem kardiovaskuler : vasodilatasi perifer.
Farmakokinetika :
Absorpsi : baik dengan cara peroral dan parenteral
Cepat keluar dari darah dan menumpuk di paru, hati, ginjal, limpa.
Biotransformasi : hati
Ekskresi : empedu
Beberapa obat yang memiliki efek analgesic narkotik adalah:
Nama
Morfin

Indikasi
Analgesik
selama dan
setelah
pembedahan,
situasi lain

Kontra
Indikasi

Depresi
pernafasan
akut,
alkoholisme
akut,
peninggian
Meredakan
tekanan otak
atau
atau cedera
menghilangkan kepala
nyeri hebat
yang tidak
dapat diobati
dengan dengan
analgesic nonopioid
Mengurangi
atau
menghilangkan
sesak napas
akibat edema

Efek Samping

Sediaan

Dosis

Mual, muntah,
konstipasi,
adiksi pada
Organ dalam,
menimbulkan
keracunan dan
dapat
menyebabkan
kematian.

Morfin
HCL
(generic )
Sirup 5
mg/5 ml,
tablet 10
mg, 30 mg,
60 mg,
injeksi 10
mg/ml, 20
mg/ml.

Morfin adalah
obat pilihan
untuk analgesia
pasca bedah,
murah dan
digunakan secara
luas. Atasi nyeri
berat akut atau
pasca bedah
dengan iv 2-3
mg setiap 3-5
menit (1 mg
untuk usia lanjut
dan lemah).
Pasien harus
diawasi ketat
selama paling
sedikit 30 menit
sesudahnya.
Dosis

pulmonal yang
menyertai
gagal jantung
kiri.

intramuskular
adalah 7,5 mg
selama 40-65 kg
berat badan atau
10 mg untuk 65100 kg.

Nyeri ringan
sampai sedang

Codein

Fentanil

Depresi
pernafasan
akut,
Pengobatan
alkoholisme
simtomatik
akut,
batuk kering
peninggian
(non produktif) tekanan otak
yang disertai
atau cedera
keadaan
kepala
alergi.

Mual, Muntah,
Konstipasi,
adiksi pada
organ dalam
menimbulkan
keracunan dan
dapat
menyebabakan
kematian

Codein
(generic)
tablet 10
mg, 15 mg,
20 mg

Nyeri kronik
yang sukar
diatasi pada
kanker

Mual, muntah,
konstipasi,
adiksi pada
OD
menimbulkan
keracunan dan
dapat
menyebabkan
kematian

Dapat
berupa
injeksi atau
cakram
transdermal
(lama kerja
panjang)

Deprsi
pernafasan
akut,
alkoholisme
akut,
peninggian
tekanan otak
atau cedera
kepala

Kodein terdapat
dalam bentuk
tablet berisi 10,
15, dan 20 mg.
Dosis biasa
dewasa: 10-30
Codein
mg setiap 4-6
sirup
jam. Dosis yang
(Codipront)
lebih besar
tidak lagi
menambah
besar efek
secara
proporsional.
Dosis anak: 11,5 mg/kg
BB/hari dalam
dosis terbagi.

Opioid sangat
kuat yang
digunakan
terutama pada
anestesia.
Berguna pada
pompa PCA
(patient
controlled
administr-ation)
jika ada alergi
terhadap
morfin.
Berguna
sebagai
tambahan ke
anestesi lokal
pada suntikan
atau infus
epidural.

Tersedia dalam
formulasi
transdermal.
Sediaan tempel
(patch) kulit 25,
50, 75 m/jam,
namun tidak
terdaftar untuk
nyeri pasca
bedah. Obat
perlu beberapa
jam untuk
mencapai dosis
maksimum dan
berjam-jam
untuk
menghilangnya
efek setelah
sediaan tempel
dilepas.

Petidin HCl

Tramadol HCl

Nyeri ringan
sampai berat,
sebagai
suplemen
sedasi sebelum
pembedahan,
nyeri pada
infark
miokardium
walaupun tidak
seefektif
morfin sulfat,
untuk
menghilangkan
ansietas pada
pasien dispnea
karena acute
pulmonary
edema dan
acute left
ventricular
failure

Deprsi
pernafasan
akut,
alkoholisme
akut,
peninggian
tekanan otak
atau cedera
kepala

Mual, muntah,
konstipasi,
adiksi pada
OD
menimbulkan
keracunan dan
dapat
menyebabkan
kematian

Petidin
(generik)
injeksi 50
mg/ml,
tablet 50
mg

Petidin lebih
baik daripada
morfin untuk
nyeri kolik dan
nyeri pankreas,
namun tidak
ada bukti untuk
ini. Dosis 75100 mg dan
boleh
ditingkatkan
sampai 150 mg
jika dibutuhkan.
Kerja lebih
singkat
daripada morfin
memiliki
metabolit norpetidin yang
neurotoksik
yang bisa
berakumulasi
pada pemakaian
jangka panjang.

Nyeri sedang
sampai berat

Deprsi
pernafasan

Mual, muntah,
konstipasi,

Tramadol
(generik)

Bekerja sebagai
agonis reseptor

Metadon

Analgesik
selama dan
setelah
pembedahan,
situasi lain.

akut,
alkoholisme
akut,
peninggian
tekanan otak
atau cedera
kepala

adiksi pada
OD
menimbulkan
keracunan dan
dapat
menyebabkan
kematian

injeksi 50
mg/ml,
tablet50
mg.

opioid. Juga
memiliki kerja
pada lintasan
noradrenalin
dan
serotonergik.
Bukan
termasuk obat
yang dikontrol
(narkotik)
namun efek
sampingnya
sama yakni
mual dan
muntah.
Berguna pada
nyeri ringan
sampai sedang.
Gunakan 50100 mg setiap 4
jam, dosis
maksimum 400
mg/24 jam.

Depresi
pernafasan
akut,
alkoholisme
akut,
peninggian
tekanan otak
atau cedera
kepala.

Hipotensi,
depresi
sirkulasi,
depresi
pernapasan,
retensi urin,
konstipasi,
miosis, dan
urtikaria..

Suntikan,
10 mg/ml;
Tablet, 5
mg, 10 mg,
40 mg.
Larutan
oral 1
mg/ml, 2
mg/ml.
Konsentrat
larutan 10
mg/ml.

Digunakan
terutama secara
oral tetapi bisa
juga IM atau
IV. Waktuparuh bervariasi
dengan risiko
akumulasi
cukup besar. Ini
bisa terjadi
dalam beberapa
hari. Termasuk
narkoba yang
telah
disalahgunakan,
tetapi
merupakan
analgesik yang
sangat berguna.
Hanya boleh
digunakan oleh
mereka yang

telah
berpengalaman.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nyeri adalah suatu gejala atau isyarat adanya gangguan di jaringan, seperti peradangan,
atau kejang otot yang dapat diredakan dengan analgesik. Analgesik bekerja dengan
menginhibisi sintesis mediator nyeri sehingga nyeri yang timbul dapat berkurang atau bahkan
bisa hilang. Beratnya intensitas rasa nyeri adalah salah satu faktor yang membedakan kapan
pemakaian analgesik nonnarkotik dan analgesik narkotik. Disetiap pemberian secara
bersamaan atau dosis yang tidak tepat dapat mengakibatkan efek samping tambahan sehingga
memungkinkan untuk penggantian obat ataupun penghentian obat.

DAFTAR PUSTAKA
http://fitria-budiarti-fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-99549-april-obatobatan
%20analgesik%20narkotik.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba
https://www.scribd.com/doc/95874344/OBAT-ANALGESIK

Anda mungkin juga menyukai