Anda di halaman 1dari 32

Perbedaan Hukum Perjanjian dan Hukum Perikatan

Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata
tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan
terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal
1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana
salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara
tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain
dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan
demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian
merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal 1313 KUHPerdata
tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUHPerdata, maka terlihat
bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian
itu sendiri.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua
istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum
Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau
memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:

Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut :

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada


seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan
hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian
perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan
munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan.
Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya
merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan
pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan
juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara
orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian
diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada
konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum
untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat.
Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh
masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji
tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal 1313
KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian sepihak
saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya
merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan
perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa
oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya
prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak

dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum


sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).

Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan


pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya
pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal pengertian
perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan mempunyai arti
sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau
lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.
Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak melaksanakan atau
terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan
melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau
penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu
pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat
tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain merupakan
perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun perjanjian
sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi memiliki kekuatan
hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undang-undang, yaitu berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat didalamnya.

Syarat Sahnya Perjanjian


Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang
mengemukakan empat syarat,yaitu :
1
2
3
4

Adanya kesepakatan kedua belah pihak


Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
Adanya suatu hal tertentu.
Adanya sebab yang halal.
Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena kedua syarat

tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir merupakan


syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian.
Keempat syarat tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1 Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat pertama dari sahnya suatu perjanjian adalah adanya
kesepakatan para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai
itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui
orang lain. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diamdiam. Pernyataan secara diam-diam sering terjadi di dalam kehidupan
sehari-hari kita. Misalnya, seorang penumpang yang naik angkutan umum,
dengan membayar ongkos angkutan kepada kondektur kemudian pihak
kondektur

menerima

uang

tersebut

dan

berkewajiban

mengantar

penumpang sampai ke tempat tujuannya dengan aman. Dalam hal ini, telah
terjadi perjanjian walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
Persetujuan tersebut harus bebas, tidak ada paksaan. Kemauan yang
bebas sebagai syarat pertama untuk terjadinya perjanjian yang sah.
Dianggap perjanjian tersebut tidak sah apabila terjadi karena paksaan,
kekhilafan atau penipuan. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH
Perdata yang menyatakan jika di dalam perjanjian terdapat kekhilafan,
paksaan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat
kehendak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Cacat
kehendak artinya bahwa salah satu pihak sebenarnya tidak menghendaki

isi perjanjian yang demikian. Seseorang dikatakan telah membuat kontrak


secara khilaf manakala dia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi
oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar.
2

Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum


Menurut 1329 KUH Perdata kedua belah pihak harus cakap
menurut hukum. Kecakapan bertindak adalah kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum. Dimana perbuatan hukum ialah perbuatan yang
menimbulkan akibat hukum.
Ada beberapa golongan oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap yaitu:
1 Orang yang belum dewasa Menurut Pasal 330 KUH Perdata,
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak berarti
2

mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.


Orang yang ditaruh di bawah pengampuan Orang yang ditaruh
di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat
bebas dengan harta kekayaannya. Seseorang yang berada di
bawah pengawasan pengampuan, kedudukannya sama dengan
seorang anak yang belum dewasa. Jika seorang anak yang
belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya maka
seorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus
diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam pasal 433 KUH
Perdata, disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu
berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus
di

bawah

pengampuan

jika

ia

kadang-kadang

cakap

menggunakan pikirannya. Seseorang yang telah dewasa dapat


3

juga berada di bawah pengampuan karena keborosannya.


Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Tetapi dalam perkembangannya

istri dapat melakukan

perbuatan hukum, sesuai dengan pasal 31 ayat (2) Undang3

undang No. 1 Tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun 1963.


Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Yang
diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau
tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian.
Pasal 1333 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus
mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit dapat ditentukan
jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal
barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung.

Adanya sebab yang halal


Di dalam Undang-undang tidak disebutkan pengertian mengenai
sebab (orzaak,causa). Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang
mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang
menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi
perhatian umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi
perjanjian bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka
salah satu pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namun,
apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum.
Keempat syarat tersebut haruslah dipenuhi oleh para pihak dan
apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka
menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai kekuatan
hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.

Akibat Perjanjian

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, perjanjian bukanlah perikatan moral


tetapi perikatan hukum yang memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari perjanjian
yang sah adalah berlakunya perjanjian sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Yang dimaksud dengan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya, adalah bahwa kesepakatan yang dicapai oleh para pihak dalam
perjanjian mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu undang-undang.
Para pihak dalam perjanjian tidak boleh keluar dari perjanjian secara sepihak,
kecuali apabila telah disepakati oleh para pihak atau apabila berdasarkan pada alasanalasan yang diatur oleh undang-undang atau hal-hal yang disepakati dalam perjanjian.
Sekalipun dasar mengikatnya perjanjian berasal dari kesepakatan dalam perjanjian,
namun suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga mengikat untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-undang.

Untuk itu setiap perjanjian yang disepakati harus dilaksanakan dengan itikad
baik dan adil bagi semua pihak.
Prestasi
Adalah sesuatu yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Prestasi sama dengan objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi
prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 dan 1132
KUHPerdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan
pemenuhan hutangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi
dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian
antara pihak-pihak.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata wujud prestasi ada tiga, yaitu :
a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu.
-

Menurut Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata, pengertian memberikan

sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada
kreditur, contoh : dalam jual beli, sewa-menyewa, hibah, gadai, hutang-piutang.
-

Dalam perikatan yang objeknya berbuat sesuatu, debitur wajib

melakukan perbuatan tertentu yang telah ditetapkan dalam perikatan, contoh :


membangun rumah / gedung, mengosongkan rumah.
-

Dalam perikatan yang objeknya tidak berbuat sesuatu, debitur tidak

melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, contoh : tidak


membangun rumah, tidak membuat pagar, tidak membuat perusahaan yang sama,
dsb.

Sifat Prestasi
Sifat-sifat prestasi adalah sebagai berikut :
1)

Harus sudah tertentu dan dapat ditentukan. Jika prestasi tidak tertentu atau

tidak ditentukan mengakibatkan perikatan batal (nietig).


2)

Harus mungkin, artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara

wajar dengan segala usahanya. Jika tidak demikian perikatan batal (nietig).
3)

Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang,

tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Jika prestasi itu tidak
halal, perikatan batal (nietig).
4)

Harus ada manfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan,

menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan
(vernietigbaar).
5)

Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi terdiri

dari satu perbuatan dilakukan lebih dari satu, mengakibatkan pembatalan perikatan
(vernietigbaar)

Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada
pihak yang dirugikan. Tetapi adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan
baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian
atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah
ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Terdapat beberapa
bentuk wanprestasi,diantaranya:

1. Tidak Memenuhi Prestasi Sama Sekali


Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka
dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi Prestasi Tetapi Tidak Tepat Waktunya
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur
dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi Prestasi Tetapi Tidak Sesuai Atau Keliru
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi
samasekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1)Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2)Melaksanakanapa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3)Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4)Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu
perjanjian, kadang-kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan
dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat
sesuatu, akan mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu
sejak pada saat debitur berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian.
Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan
sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam perjanjian maka menurut pasal
1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi dengan lewatnya batas
waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka untuk

menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan


tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut
dengan somasi. Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada
debitur yang berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi
seketika atau dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Secara garis besar akibat hukum dari adanya wanprestasi tersebut diantaranya:
(1) Debitur wajib membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
(Pasal 1243 KUHPdt).
(2)

Apabila perikatan timbal balik, kreditur dapat menuntut pembatalan

perikatan melalui Hakim (Pasal 1266 KUHPdt).


(3) Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur
sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 ayat (2) KUHPdt).
(4)

Debitur wajib memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau

pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt).


(5) Debitur wajib membayar biaya perkara, jika diperkarakan di Pengadilan
Negeri dan debitur dinyatakan bersalah.

Asas-asas Perjanjian

Selain dari syarat-syarat perjanjian, dalam proses pembuatan perjanjian perlu


diperhatikan juga mengenai ssas-ssas hukum perjanjian atau perikatan yang berlaku.
Asas asas perjanjian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
A. Asas-Asas Perjanjian Ilmu Hukum Perdata
Dalam membuat suatu perjanjian tentunya kita juga harus memperhatikan
asas-asas yang ada pada perjanjian tersebut. Menurut ilmu hukum perdata terdapat 5
(lima) asas penting yang biasa digunakan, yaitu antara lain:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1338 KUHPrdt, yang


berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a.

membuat atau tidak membuat perjanjian;

b.

mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c.

menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta

d.

menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.


2. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer.

Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undangundang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal
1338 ayat (1) KUHPer.
4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi:
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa
para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para
pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad
baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah
laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal
sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan
(penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPrdt. Pasal 1315
KUHPrdt menegaskan:
Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPrdt berbunyi:
Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak
hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu
terdapat

pengecualiannya

sebagaimana

dalam

Pasal

1317

KUHPrdt yang

menyatakan:
Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.

Pasal

ini

mengkonstruksikan

bahwa

seseorang

dapat

mengadakan

perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPrdt, tidak hanya mengatur
perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan
untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal
itu maka Pasal 1317 KUHPrdt mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga,
sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPrdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan
demikian, Pasal 1317 KUHPrdt mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal
1318 KUHPrdt memiliki ruang lingkup yang luas.
B. Asas-Asas Hukum Perikatan Nasional
Di samping kelima asas yang telah diuraikan di atas, dalam Lokakarya
Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 1719 Desember 1985 telah
berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional (BPHN, 1985:21).
Kedelapan asas tersebut adalah :
1. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara
mereka dibelakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun
subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk

menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui
kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan itikad baik.
4. Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undangundang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja
itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak
yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna
bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang
sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat
yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya.
Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
5. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak
debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan
motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

6. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah
pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang
menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus
diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu
kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
7. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya.

8. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang
menurut kebiasaan lazim diikuti.

Macam-macam Perikatan

Macam-macam perikatan dapat dibagi berdasarkan beberapa sumbernya,diantaranya :


A. Menurut KUH Perdata
Menurut KUH Perdata perikatan dibedakan menjadi:
1. Perikatan bersyarat(voorwaardelijk)
Definisi menurut pasal 1253 KUHPerdata, suatu perikatan adalah
bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan
hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan
menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut. Berdasarkan pasal ini,
dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Perikatan dengan syarat tangguh
Sesuai pasal 1263 KUH Perdata, Suatu perikatan dengan suatu syarat
tangguh adalah suatu perikatan yang bergantung pada suatu peristiwa

yang masih akan dating dan yang masih belum tentu akan terjadi, atau
yang bergantung pada suatu hal yang sudah terjadi tetapi tidak
diketahui oleh kedua belah pihak. Dalam hal yang pertama perikatan
tidak dapat dilaksanakan sebelum,peristiwa telah terjadi dalam hal
yang kedua perikatan mulai berlaku sejak hari ia dilahirkan,.
Contohnya saat seseorang berjanji akan menyewakan rumahnya saat
dia dipindahkan ke luar negri. Yang berarti rumahnya hanya dapat
disewa saat seseorang dipindahkan ke luar negri, bila tidak terjadi
maka tidak ada perikatan tentang penyewaan rumah. Atau saat A setuju
apabila B, adiknya, mendiami apartemennya setelah B menikah.
Menikah adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti
terjadi. Jadi disaat nanti B menikah maka A wajib menyerahkan
apartemennya untuk didiami B.
b. Perikatan dengan syarat batal
Sesuai pasal 1265 KUH Perdata, Suatu syarat batal adalah syarat yang
apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada
suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan,
hanyalah mewajibkan siberpiutang mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. Contohnya
saat A mau menyewakan rumahnya kepada B dengan syarat tidak
dijadikan gudang. Bila B menggunakan rumahnya sebagai gudang
maka perikatan akan batal.
2. Perikatan dengan ketepatan waktu(tidjsbepaling)
Perikatan yang berupa suatu hal yang pasti akan datang meskipun
belum dapat ditentukan kapan datangnya. Menurut Pasal 1268 KUHPerdata,
suatu ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya
menangguhkan

pelaksanaanya.

Perikatan

ini

hanya

menangguhkan

pelaksanaanya, bukan menangguhkan lahirnya perikatan. Contohnya saat


seseorang akan menjual rumahnya saat dirinya meninggal.
3. Perikatan yang membolehkan memilih/manasuka(alternatief)

Suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi


sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.
Menurut Pasal 1272 KUHPerdata, tentang perikatan-perikatan mana suka
debitur dibebaskan jika ia menyerahkan saalh satu dari dua barang yang
disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak dapat memaksa kreditor untuk
menerima kreditor untuk sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari
barang yang lainnya. Dalam perikatan ini, debitur bebas jika telah
menyerahkan salah satu dari dua atau lebih barang yang dijadikan alternatif
pembayaran. Meskipun begitu, debitur tidak dapat memaksakan kepada
kreditur untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian barang
yang lainnya. Contohnya saat seseorang membuat tagihan dua ratus ribu
rupiah kepada seorang petani. Lalu membuat perjanjian dengan petani bahwa
dia akan dibebaskan dari utangnya apabila dia menyerahkan kerbaunya atau
100 kg beras.
4. Perikatan tanggung menanggung(hoofdelijk/solidair)
Suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak
yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau
sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari
satu orang. Jadi, jika A dan B secara tanggung menanggung berhutang Rp.
200.000 kepada C, maka A dan B masing-masing dituntut untuk membayar
Rp.200.000. Dalam perikatan tanggung menanggung meliputi,
a. Perikatan tanggung menanggung aktif
Menurut Pasal 1279 KUHPerdata, adalah terserah kepada yang
berpiutang untuk memilih apakah ia akan membayar utang kepada
yang 1 (satu) atau kepada yang lainnya diantara orang-orang yang
berpiutang, selama ia belum digugat oleh salah satu. Meskipun
pembebasan yang diberikan oleh salah satu orang berpiutangdalam
suatu perikatan tanggung-menanggung, tidak dapat membebaskan
siberutang untuk selebihnya dari bagian orang yang berpiutang
tersebut. Terjadi apabila pihak kreditor terdiri dari beberapa orang.
Hak pilih terletak pada debitor.

b. Perikatan tanggung menanggung pasif


Terjadi apabila debitor terdiri dari beberapa orang. Contohnya saat C tidak
berhasil memperoleh pelunasan piutangnya dari debitor B. dalam hal ini C
masih dapat menagih kepada A yang tanggung menanggung dengan B.
Dengan begitu kedudukan kreditor akan aman.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan
tidaknya membagi prestasi dan tergantung pula pada hakekat atau maksud
kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Meskipun barang atau
perbuatan yang dimaksudkan sifatnya dapat dibagi, tetapi jika penyerahan
atau pelaksanaan perbuatan itu tidak dapat dilakukan sebagian-sebagian, maka
perikatan itu harus dianggap tidak dapat dibagi.
6. Perikatan dengan ancaman hukum(strabeding)
Perikatan dimana si berutang untuk

jaminan

pelaksanaan

perjanjiannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatan awalnya tidak


terpenuhi. Atau dengan kata lain,

perikatan yang ada hukumannya jika

debitur tidak melakukan kewajibannya.. Menurut Pasal 1304 KUHPerdata,


anman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana
seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan
melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi. Perikatan dengan
ancaman hukuman walaupun mirip dengan perikatan manasuka (karena ada
dua prestasi yang harus dipenuhi), sangatlah berbeda satu sama lain, karena
dalam perikatan dengan ancaman hukuman sebenarnya prestasinya hanya
satu, kalau ia lalai melakukan prestasi tersebut barulah muncul prestasi yang
ditentukan sebagai hukuman. Contohnya,

A melakukan suatu perjanjian

dengan B yang berprofesi sebagai kontraktor untuk membangun sebuah


apartemen. Pembangunan itu dalam perjanjian harus selesai selama 2 tahun.
Jika terlambat B akan dikenakan denda untuk mengganti kerugian yang
diderita A sebesar 20juta rupiah per bulan keterlambatannya.

B. Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata


Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata perikatan dapat dibedakan menjadi
beberapa macam:
1. Menurut isi dari prestasinya
a. Perikatan positif negatif
Perikatan positif adalah perikatan yang prestasinya memberi sesuatu
dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan negative adalah perikatan
yang prestasinya tidak berbuat sesuatu.
b. Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan
Perikatan sepintas lalu yang pemenuhan prestasinya hanya dilakukan
dengan satu perbuatan dan dalam waktu singkat tujuan dari perikatan
telah tercapai. Sedangkan perikatan berkelanjutan adalah perikatan
yang pemenuhan prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu,
seperti perikatan yang timbul akibat dari perjanjian sewa myewa dan
perjanjian kerja.
c. Perikatan alternatif
Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk
memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam
perjanjian.
d. Perikatan fakultif
Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya mempunyai satu
objek prestasi. dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti
dengan prestasi yang lain, bilamana debitur tidak mungkin memenuhi
prestasi yang telah ditentukan semula.
e. Perikatan generik dan spesifik
Perikatan generik adalah perikatan dimana obyeknya hanya ditentukan
jenis dan jumlah barang yang harus diserahkan dari debitur kepada
kreditur. Contohnya saat ada penyerahan beras sebanyak 5 ton.
Sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan dimana obyeknya
ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri-ciri khususnya.
Contohnya saat debitur wajib menyerahkan beras sebanyak 5 ton dari
karawang kualitas ekspor nomor 1.
f. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi

Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan yang prestasinya dapat


dibagi, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu.
Sedangkan perikatan yang tak dapat dibagi adalah perikatan yang
prestasinya tak dapat dibagi.
2. Menurut subjeknya
a. Perikatan tanggung menanggung(tanggung renteng)
Perikatan tanggung-menanggung adalah perikatan dimana debitur
dan/atau kreditur terdiri dari beberapa orang.
b. Perikatan pokok dan tambahan
Perikatan pokok adalah perikatan antara debitur dan kreditur yang
berdiri sendiri tanpa tergantung pada adanya perikatan yang lain
contohnya,

perjajian

peminjaman

uang.

Sedangkan

perikatan

tambahan ialah perikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan


sebagai perikata tambahan daripada perikatan pokok contohnya,
perjanjian gadai, hipotik dan credietverband.
3. Menurut berlaku dan berakhirnya
a. Perikatan bersyarat
Adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya (batalnya)
digantungkan pada suatu peristiwa yang belum dan tidak tentu akan
terjadi.
b. Perikatan dengan ketepatan waktu
Perikatan dengan ketetapan waktu

adalah

perikatan

yang

pelaksanaanya ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang


pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan waktu yang
dimaksud akan tiba.

Berakhirnya Perikatan

Hal-hal mengenai cara-cara berakhirnya suatu perikatan disebutkan dalam


Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Pembayaran
Mengenai pembayaran diatur dalam Pasal 1382-1403 KUHPerdata.
Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela,
artinya tidak dengan paksaan. Pengertian pembayaran sangat luas, contohnya
saat terjadi jual beli, yang dikatakan membayar bukan hanya pihak pembeli,
tetapi juga pihak penjual yang dikatakan telah membayar saat ia menyerahkan
barang yang dijualnya.
Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang
bersangkutan saja. Namun Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan bahwa
pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undangundang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan tetapi yang
penting adalah utang itu harus dibayar.
Mengenai tempat pembayaran dibahas pada pasal 1393 KUH Perdata
yang berbunyi:
Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam
persetujuan, jika dalam persetujuan tidak ditetapkan suatu tempat, maka
pembayaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, harus terjadi di
tempat barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat. Di luar kedua hal
tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal kreditur, selama
orang ini terus-menerus berdiam dalam keresidenan tempat tinggalnya
sewaktu persetujuan dibuat, dan di dalam hal-hal lain di tempat tinggal
debitur
2. Penawaran tunai disertai dengan penyimpanan atau penitipan
Hal ini diatur dalam Pasal 1404-1412 KUHPerdata. Yang dimaksud
dengan penawaran tunai disertai dengan penyimpanan adalah suatu
pembayaran yang dilakukan dalam keadaan kreditur tidak mau menerima

pembayaran dari debitur, maka debitur dapat melakukan penawaran


pembayaran tunai diikuti dengan penitipan atau konsinyasi.
Penjelasan lebih jelasnya tertera dalam pasal 1404, yaitu:
Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan
penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya; dan jika
kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau
barangnya kepada pengadilan.
Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan
debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu
dilakukan menurut undang-undang; sedangkan apa yang dititipkan secara
demikian adalah atas tanggungan kreditur.
Caranya adalah:
a. Penawaran harus dilakukan secara resmi oleh seorang Notaris atau
seorang juru sita pengadilan.
b. Notaris atau juru sita membuat suatu perincian dari barang-barang atau
uang yang akan dibayarkan dan mendatangi tempat tinggal kreditur.
c. Apabila kreditur menolak pembayaran, maka Notaris atau juru sita
akan mempersilahkan kreditur menandatangani proses penyerahan
tersebut.
d. Jika kreditur menolak, maka akan dicatat oleh Notaris atau juru sita di
atas surat tersebut dan akan menjadi bukti resmi bahwa kreditur
menolak pembayaran.
e. Debitur menghadap ke Pengadilan Negeri dengan membuat surat
permohonan kepada pengadilan supaya mengesahkan penawaran
pembayaran yang telah dilakukan itu.
f. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan, maka barang atau uang
yang akan dibayarkan itu, disimpankan atau dititipkan kepada panitera
Pengadilan Negeri dan dengan demikian hapuslah utang-piutang itu.
Sehingga Barang atau uang tersebut berada dalam simpanan di
kepaniteraan Pengadilan Negeri atas tangggungan atau risiko si
kreditur.
3. Pembaharuan utang atau novasi

Diatur dalam Pasal 1413-1424 KUH Perdata. Menurut pasal 1413


KUHPer, ada tiga macam jalan untuk pembaruan utang:
1. Apabila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk
kepentingan kreditur, yang menggantikan utang lama yang dihapuskan
karenanya;
2. Apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur
lama, yang oleh kreditur dibebaskan dan perikatannya;
3. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, yang terhadapnya debitur
dibebaskan dan perikatannya
Novasi yang disebut sebagai novasi obyektif adalah cara pembaharuan
utang nomor 1, karena yang diperbaharui adalah obyek perjanjiannya.
Sedangkan novasi subyektif untuk nomor 2 dan 3 karena yang diperbaharui
adalah subyek atau orang dalam perjanjian. Novasi subyektif terbagi menjadi
dua, yaitu:

Subyektif pasif: yang diganti adalah debiturnya


Subyektif aktif: yang diganti adalah krediturnya

4. Perjumpaan utang atau kompensasi


Diatur dalam Pasal 1425 s.d 1435 KUHPerdata. Perjumpaan utang
atau kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur. Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan
kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada,
bertimbal-balik untuk jumlah yang sama.
Pasal 1427 menyatakan bahwa:
Perjumpaan hanya terjadi antara dua utang yang dua-duanya
berpokok sejumlah utang, atau sejumlah barang-barang yang dapat
dihabiskan dan jenis yang sama, dan yang dua-duanya dapat diselesaikan
dan ditagih seketika.
Bahan makanan,

gandum

dan

hasil-hasil

pertanian

yang

penyerahannya tidak dibantah dan harganya dapat ditetapkan menurut

catatan harga atau keterangan lain yang biasa dipakai di Indonesia, dapat
diperjumpakan dengan sejumlah uang yang telah diselesaikan dan seketika
dapat ditagih.
5. Percampuran utang
Diatur dalam Pasal 1436-1437 KUHPerdata. Hal ini terjadi apabila
kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah, demi hukum, suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu utangpiutang dihapuskan.
Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris
tunggal oleh krediturnya, atau si debitur meniikah dengan krediturnya dan
menyatukan hartanya. Hapusnya utang-piutang dalam hal ini merupakan demi
hukum.
6. Pembebasan utang
Diatur dalam Pasal 1438-1443 KUHPerdata. Yang dimaksud
pembebasan adalah suatu pernyataan sepihak dan tegas dari kreditur kepada
debitur, bahwa debitur dibebaskan dari perutangan, sehingga perikatan
terhapus.
Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu dan dapat saja
diadakan secara lisan, tetapi untuk adanya kepastian hukum dan agar adanya
bukti yang kuat, maka pernyataan itu harus merupakan tindakan dari kreditur
misalnya dengan mengembalikan surat piutang kepada debitur. Pengembalian
barang yang diberikan dalam gadai tidaklah cukup untuk menjadikan alasan
tentang pembebasan utang.
Pembebasan perlu diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat
dikatakan bahwa perikatan utang-piutang terhapus karena pembebasan.
7. Musnahnya barang yang terutang
Diatur dalam Pasal 1444 dan Pasal 1445 KUHPerdata. Perikatan
terhapus apabila barang yang menjadi obyek perjanjian musnah, tidak dapat
lagi diperdagangkan, atau hilang, hingga tidak diketahui apakah barang itu
masih ada. Syaratnya adalah musnah atau hilangnya barang itu di luar
kesalahan debitur dan sebelum dinyatakan lalai (wanprestasi) oleh kreditur.

Debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut adalah


di luar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga, meskipun
di tangan debitur. Jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha dengan segala
daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada dalam keadaan
semula.
Apabila debitur telah dibebaskan dari perikatannya dengan kreditur,
maka ia diwajibkan menyerahkan segala hak yang mungkin dapat dilakukan
kreditur terhadap pihak ketiga sebagai pemilik barang yang telah hilang itu.
Misalnya, penuntutan uang asuransi.
8. Batal/pembatalan
Diatur dalam Pasal 1446 s/d 1456 KUHPerdata. Bidang kebatalan ini
dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu:
a. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim
yang membatalkan perbuatan tersebut.
b. Batal demi hukum karena kebatalannya yang menyangkut perbuatan
hukum, ketertiban umum atau kesusilaan.
Ada tiga penyebab timbulnya pembatalan perjanjian, yaitu:
1. Adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa
dan di bawah pengampuan (curatele)
2. Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang disyaratkan dalam
undang-undang
3. Persetujuan perjanjian dilakukan secara tidak bebas, yang dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
Kekhilafan: suatu penggambaran yang keliru mengenai orangnya

atau objek perjanjian yang dibuat oleh para pihak.


Paksaan: suatu ancaman yang dilakukan oleh seseorang kepada

pihak lain
Penipuan: dengan sengaja mengajukan gambaran atau fakta yang
salah untuk memasuki suatu perjanjian.

Pembatalan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:


Pembatalan mutlak
Suatu pembatalan yang tidak perlu dituntut secara tegas.
Pembatalan mutlak terjadi karena:

(1) Cacat bentuknya;


(2) Perjanjian itu dilarang undang-undang;
(3) Bertentangan dengan kesusilaan, dan
(4) Bertentangan dengan ketertiban umum.
Contoh pembatalan mutlak:
Perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu, ternyata bentuk
itu tidak dipenuhi. Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris.

Pembatalan relatif

Suatu kebatalan yang dituntut secara tegas, dan biasanya diajukan oleh
salah satu pihak.
Misalnya: wakil dari orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum atau orang yang terhadapnya dilakukan kekerasan atau
penipuan atau orang yang berada dalam kekhilafan.
Akibat Pembatalan:
Akibat pembatalan bagi orang-orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum adalah: pulihnya barang-barang dan orang-orang yang
bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan
pengertian bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada
orang tak berwenang, akibat perikatan itu, hanya dapat dituntut kembali bila
barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang tak berwenang tadi,
atau bila ternyata bahwa orang ini telah mendapatkan keuntungan dan apa
yang telah diberikan atau dibayar itu atau bila yang dinikmati telah dipakai
bagi kepentingannya (Pasal 1451).
Pernyataan batal yang berdasarkan adanya paksaan, penyesatan atau
penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang bersangkutan pulih
dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat (Pasal 1452).
Jangka Waktu Pembatalan
Undang-undang tidak membatasi jangka waktu tuntutan pembatalan
perjanjian secarakhusus. Namun, dalam undang-undang ditentukan jangka

waktu yang pendek, yaitu limatahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Jangka waktu
itu mulai berlaku:

dalam hal kebelumdewasaan sejak hari kedewasaan;


dalam hal pengampuan, sejak hari pencabutan pengampuan;
dalam hal paksaan, sejak hari paksaan itu berhenti;
dalam hal penyesatan atau penipuan, sejak hari diketahuinya penyesatan

atau penipuan itu;


dalam hal perbuatan seorang perempuan bersuami yang dilakukan tanpa

kuasa suami, sejak hari pembubaran perkawinan;


dalam hal batalnya suatu perikatan termaksud dalam Pasal 1341, sejak hari
diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk kebatalan itu ada.
Waktu tersebut di atas, yaitu waktu yang ditetapkan untuk mengajukan
tuntutan, tidak berlaku terhadap kebatalan yang diajukan sebagai
pembelaan atau tangkisan, yang selalu dapat dikemukakan.

9. Berlakunya syarat batal


Berlakunya syarat batal terjadi ketika suatu perikatan yang sudah
dilahirkan berakhir atau dibatalkan apabila suatu peristiwa tertentu terjadi.
Menurut Pasal 1265 BW, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila
terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Biasanya
syarat batal berlaku pada perjanjian timbal balik. Seperti pada perjanjian jual
beli, sewa-menyewa dan lain-lain.
10. Lewat waktu
Menurut pasal 1946 BW, lewat waktu ialah suatu sarana hukum
untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syaratsyarat yang ditentukan dalam undang-undang.

Dengan lewatnya waktu, terhapuslah setiap perikatan hukum dan


menjadi perikatan bebas, artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat
dituntut di depan hakim.
Debitur yang ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan dapat
mengajukan tangkisan tentang kadaluwarsanya piutang dan dengan demikian
mengelak atau menangkis setiap tuntutan
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, baik kontrak yang
dibuat melalui akta di bawah tangan maupun yang dibuat oleh atau di muka
pejabat yang berwenang telah ditentukan secara tegas jangka waktu dan
tanggal berakhirnya perjanjian. Penentuan jangka waktu dan tanggal
berakhirnya perjanjian dimaksudkan bahwa salah satu pihak tidak perlu
memberitahukan tentang berakhirnya perjanjian tersebut. Penentuan jangka
waktu dan tanggal berakhirnya kontrak adalah didasarkan pada kemauan dan
kesepakatan para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

http://hukumindonesia-laylay.blogspot.co.id/2012/02/asas-asas-perjanjian.html
http://yosepaliyinsh.blogspot.co.id/2012/09/asas-asas-hukum-perdata.html
https://cszoel.wordpress.com/2012/06/01/hukum-perikatan-diatur-dalam-buku-iii-bw/
http://ilmuhukumuin-suka.blogspot.co.id/2013/06/macam-macam-perikatan.html
http://dokumen.tips/documents/macam-macam-perikatan.html
http://everythingaboutvanrush88.blogspot.co.id/2014/10/macam-macam-perikatandalam-hukum.html
http://www.jurnalhukum.com/macam-macam-perikatan/
http://istonitarigan.blogspot.co.id/2013/03/macam-macam-perikatan-dalamhukum.html
https://rechtvolution.wordpress.com/2013/05/02/bermacam-macam-perikatan/
https://shareshareilmu.wordpress.com/2012/02/05/hapusnya-perikatan/

Buku:
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2006, Hlm.231
Hukum Perjanjian. Prof. Subekti, S.H. Jakarta: Penerbit Intermasa,
1998.

Anda mungkin juga menyukai