Anda di halaman 1dari 6

FAKTOR KEBERHASILAN PENGOLAHAN EMAS CARBON IN PULP

Proses pengolahan emas dengan sianida terutama dengan menggunakan metode


carbon in pulp ( CIP ) dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :
1. Alkalinity ( pH tinggi )
Kondisi alkalin ( pH tinggi / basa ) saat berlangsungnya proses
sianidasi sangat menentukan keberhasilan proses sianidasi. Penggunaan
alkalies seperti kalsium oksida, akan mencegah dekomposisi dalam larutan
sianida untuk membentuk gas hidrogen sianida ( HCN.) Jika pH terlalu rendah /
asam dapat menghasilkan gas HCN yang mudah menguap akibat proses
hidrolisis, sehingga konsentrasi cyanida berkurang.
CN- (aq) + H+ (aq) HCN(g)
Jika pH terlalu tinggi akan menyebabkan proses sianidasi berlangsung lambat,
hal ini dikarenakan sianida menjadi terlalu stabil dalam pulp. Selain itu dengan
terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan logam-logam lain akan larut
dalam sianida yang membentuk senyawa kompleks sehingga turut terserap oleh
karbon aktif.
Untuk membuat kondisi basa dengan pH 10 - 11 gunakan kapur sebagai
pH Modifier. Kapur aktif / kapur tohor ( CaO ) lebih reaktif menaikan pH sehingga
kebutuhannya sedikit. NamunKapur Hydroksida / kapur sirih ( CaOH ) juga
dapat digunakan. Ketika memasukkan kapur hendaknya dilakukan di atas
saringan 50 mesh agar kotoran atau batuan kapur yang besar tidak ikut masuk
dalam tong. Selain kapur, pH Modifier lainya adalah Soda Api / Coustic
Soda / Sodium Hydroxide ( NaOH ) atau Soda Abu ( Na2CO3 ).
Pastikan pH 10 - 11 untuk mengantisipasi agar NaCN tidak berubah menjadi gas
HCN yang sangat berbahaya ( dosis 60 mg HCN dapat membunuh manusia ).
Dimana pada kondisi pH 9.3, konsentrasi sianida dapat berkurang hingga 50%
karena menguap menjadi gas HCN, bahkan sianida berubah menjadi 99% HCN
pada pH 7. Selain gas ini sangat berbahaya tentu mengurangi jumlah NaCN
yang larut dalam pulp / slurry sehingga kemampuannya untuk melarutkan emas
juga berkurang.
Pengukuran kondisi pH dapat diukur dengan beberapa cara. Secara kualitatif pH
dapat diperkirakan dengan kertas Lakmus ( Litmus ) atau kertas indikator pH.
Secara kuantitatif pengukuran pH dapat digunakan elektroda potensiometrik.
Elektroda ini memonitor perubahan voltase yang disebabkan oleh perubahan
aktifitas ion hidrogen ( H+ ) dalam larutan. Elektroda pH yang paling modern
terdiri dari kombinasi tunggal elektroda referensi ( reference electrode ) dan
elektroda sensor ( sensing electrode ) yang lebih mudah dan lebih murah
daripada elektroda tepisah. Elektroda kombinasi ini mempunyai fungsi yang
sama dengan elektroda pasangan.
1

Free Cyanide
Pelarut yang biasa digunakan dalam proses sianidasi adalah Sodium
Cyanide ( NaCN ),Potassium Cyanide ( KCN ) , Calcium Cyanide [ Ca(CN)2 ],
atau Ammonium Cyanide (NH4CN ). Namun pelarut yang paling sering

digunakan adalah NaCN, karena mampu melarutkan emas lebih baik dari pelarut
lainnya.
Konsentrasi sianida jika terlalu rendah reaksinya tidak optimum sehingga
emasnya tidak terlarut menjadi emas-sianida. Jika terlalu tinggi akan bereaksi
terhadap logam lain sehingga emas tidak banyak terserap oleh karbon aktif.
Selain itu gunakan jenis sianida yang baik.
Sianida dapat bereaksi dengan unsur selain emas,seperti tembaga, besi, perak,
dan merkuri. Ketika sianida bereakasi dengan zat tersebut, maka akan
mengurangi sianida yang tersedia untuk melarutkan emas. Sehingga terkadang
diperlukan sianida yang lebih banyak untuk melarutkan. Bijih tembaga dengan
mineral seperti malachite dan azurite menyebabkan masalah besar karena
mineral tersebut bereaksi dengan cepat dengan sianida.
Oleh karenanya, perlu dijaga kebutuhan ideal free cyanide. Free cyanide
bukanlah cyanide consumtion ( jumlah sianida yang dipakai ) tetapi sianida yang
masih bebas ( belum terikat dengan mineral lain ) dan belum berubah menjadi
Thiocyanate ( SCN - ). Untuk itu perlu diketahui berapa free
cyanide ( CNF ), total cyanide ( CNT ), dan Thiocyanate-nya ( SCN -).
Metode paling umum dipakai adalah titrasi Argentometri dengan
menggunakan Silver Nitrate (AgNO3) di mana reaksi yang terjadi adalah :
2KCN + AgNO3 AgKCN2 + KNO3
2NaCN + AgNO3 AgNaCN2 + NaNO3
Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai penggunaan metode titrasi free cyanide ( CNF ),
total cyanide ( CNT ), dan Thiocyanate-nya ( SCN - ) silahkan klik di sini.
1.

Dissolved Oxygen ( Oksigen terlarut )


Oksigen dan sianida sangat diperlukan pada proses sianidasi bijih emas. Proses
sianidasi dikontrol oleh konsentrasi oksigen (oksigen terlarut) dan konsentrasi
sianida bebas (free cyanide) di dalam larutan, agar dicapai persen ekstraksi yang
tinggi maka keberadaan kedua senyawa ini di dalam larutan harus diamati dengan
baik, artinya tidak ada manfaatnya meningkatkan konsentrasi sianida tetapi ternyata
konsentrasi oksigen di dalam larutan rendah.

Penggunaan oksigen dari udara bebas dengan cara aerasi adalah agen
pengoksidasi paling mudah diterapkan. Namun mungkin pada kondisi tertentu
diperlukan penambahan oxidizing agents untuk memperkuat proses
oksidasi. Oxidizing agents yang biasa digunakan antara lain Hydrogen
Peroxide / Hidrogen peroksida (H2O2), Potassium Ferricyanide, Potassium
Permanganate (KMNO4) , Ozone (O3), Sodium Peroxide (Na2O2), Calsium
Peroxide (CaO2), dan Acetone.
Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 metoda, yaitu :
a. Metoda titrasi dengan cara WINKLER
Metoda titrasi dengan cara WINKLER secara umum banyak digunakan untuk
menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi
iodometri. Dengan menggunakan botol winkler, diperlukan air sampel sebanyak
300 ml atau 60 ml. Tidak boleh ada udara yang terperangkap dalam botol,
caranya botol sampel harus berada di bawah permukaan air. Agar tidak ada

gelembung udara yang terjebak, isi penuh dengan air hingga meluber saat
ditutup. Kemudian sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan
larutan MnCl2 den Na0H - KI, sehingga akan terjadi endapan Mn0 2. Dengan
menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali
dan juga akan membebaskan molekul iodium ( I2 ) yang ekivalen dengan oksigen
terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar
Natrium Thiosulfat ( Na2S203 ) dan menggunakan indikator larutan amilum
( kanji ). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :
MnCI2 + NaOH Mn(OH)2 + 2 NaCI
2 Mn(OH)2 + O2 2 MnO2 + 2 H20
MnO2 + 2 KI + 2 H2O Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 Na2S2C3 Na2S4O6 + 2 NaI
b. Metoda elektrokimia
Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara
langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip
kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda
yang direndam dalarn larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini biasanya
menggunakan katoda perak ( Ag ) dan anoda timbal ( Pb ). Secara keseluruhan,
elektroda ini dilapisi dengan membran plastik yang bersifat semi permeable
terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi adalah :
Katoda : O2 + 2 H2O + 4- 4HOAnoda : Pb + 2 HO- PbO + H2O + 2eAliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada katoda.
Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap konsentrasi
oksigen terlarut. Penentuanoksigen terlarut ( DO ) dengan cara titrasi
berdasarkan metoda WINKLER lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara
alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah
penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan Thiosulfate dan pembuatan
larutan standar Kalium Bichromate yang tepat. Dengan mengikuti prosedur
penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan
diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan
penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan
salinitas sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital
terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter. Disamping
itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat sangat
menentukan akurasinya hasil penentuan.

Karbon aktif.
Di bawah ini adalah spesifikasi yang perlu diperhatikan dalam memilih karbon
aktif untuk adsorbsi emas :
1. Hardness/attrition resistant
2. Activity
3. Total gold capasity adsorption
4. Shape and size distribution

5. Ash content
6. Bulk Density
7. Moisture
8. Surface area
9. %-Carbon Tetrachloride ( CTC / CCl4 )
10. %-w/wt Benzene adsorption
Karbon aktif yang berkualitas baik sangat menentukan hasil produksi
emas yang diperoleh. Karbon aktif yang baik memiliki : struktur pori-pori yang
alami, tingkat ketahanan yang tinggi ( higher resistence ) terhadap gesekan,
tingkat kekerasan yang tinggi ( higher hardness ) dan bentuk yang seragam serta
memiliki CTC yang cukip tinggi.
Pilih karbon aktif yang tingkat kekerasannya (hardness) tinggi (up to 99%)
sehingga tidak mudah pecah dan kandungan abunya (ash content) rendah (max
3%). Pecahan karbon maupun abu karbon mampu mengabsorbsi emas dengan
baik namun kondisi ini tentu akan sangat merugikan karena pecahan karbon
yang halus maupun abunya akan ikut hanyut terbuang saat dilakukan botoyong.
Jika menggunakan karbon aktif yang memiliki CTC rendah, emas yang
terabsopsi dalam karbon aktif akan mudah terlepas lagi saat proses pencucian
karbon / botoyong. CTC yang disarankan sebaiknya 50%-60%. Untuk
menghasilkan karbon CTC tinggi harus menggunakan kiln yang berputar dan
datar serta kontrol temperatur yang akurat. Karbon yang belum melalui proses
kiln biasanya hanya memiliki CTC 10 - 20 %. Hendaknya teliti dalam memilih
karbon aktif karena secara kasat mata kita tidak dapat membedakan mana
karbon aktif yang memiliki CTC rendah dan mana yang CTC nya tinggi, untuk itu
disarankan untuk menggunakan karbon aktif yang diketahui jelas asal usul
pabriknya dan sistem jaminan kualitasnya untuk menghindari karbon aktif yang
memiliki CTC rendah.
Biasanya dalam metode CIP menggunakan karbon aktif granular dengan
ukuran 6x12 atau 6x16 mesh, sedangkan ukuran 6x16 atau 12x30 mesh
digunakan dalam metode CIC. Konsentrasi penggunaan karbon dalam metode
CIP adalah 10-25 gram per liter pulp ( 0.5 sampai 1,2% karbon dari volume ).
1

Ore / rep.
Konsentrasi emas dalam ore sangat menentukan hasil produksi. Ore hasil
tambang sangat bervariasi, ada yang berupa pasir, batu keras ( kuarsa ), batu
lunak ( domato ), lempung ( clay ), dan lumpur.
Secara umum, agar partikel emas dapat cepat larut, pulp/slurry untuk keperluan
produksi dibutuhkan ore dari hasil milling 80 - 90% -200 mesh ( -74 micron )
dengan kepadatan 40 - 50%-solid. Partikel emas 45 micron akan larut dalam 10
- 13 jam, sementara partikel emas 150 micron mungkin memakan waktu 20 - 44
jam untuk larut dalam solusi yang sama.
Untuk mendapatkan hasil optimum, pengolahan emas pada batuan oksida
(oxide ores) biasanya cukup efektif dengan penggilingan pada 65 mesh dan
leaching dengan 0,05% NaCN selama 4 - 24 jam dengan kepadatan 50% solids.
Sedangkan batuan sulfida (sulfida ores) memerlukan penghalusan hingga 325

mesh dan leaching dengan 0,1% NaCN selama 10 - 72 jam dengan kepadatan
40% solids. ( Weiss 1985 ).
Bentuk agitator / propeller.
Tangki agitator dan propeller harus seimbang agar pergerakan ore dan karbon
aktif tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Karena kalau terlalu cepat
senyawa kompleks emas-sianida tidak optimum terserap oleh karbon aktif dan
bila terlalu lambat, ore akan mengendap yang menyebabkan sianida dan karbon
akan terperangkap ke dalam ore.
Tangki agitator bentuk kerucut dapat menjadi pilihan yang ideal untuk mengatasi
masalah di atas. Namun kelemahan model ini memiliki kapasitas yang relatif
terbatas ( maksimal kapasitas yang disarankan 10 ton ), karena bentuk tabung
yang tinggi dan ramping.
1
Retention Time ( Waktu Tinggal )
Proses absorpsi emas ke dalam pori-pori karbon aktif bukan melalui proses
kimiawi melainkan kontak secara fisik. Semakin lama waktu tinggal untuk reaksi
maka recovery bisa meningkat namun kapasitas produksi yang menurun.
1
Temperatur.
Emas akan lebih cepat terserap ke dalam karbon aktif pada suhu yang tinggi.
Tetapi pada umumnya, hal ini tidak dipersoalkan dalam proses produksi.
Pengolahan emas yang optimal akan sulit dicapai apabila bijih yang dikerjakan berasal
dari beberapa jenis dengan tanpa diketahui sifat khas bijihnya. Sehingga proses
sianidasi akan melibatkan aneka ragam reaksi samping, akibatnya kelarutan emas (Au)
tergantung pada tipe dan jumlah unsur pengotor yang terlarut. Dengan demikian, jenis
batuan mineral atau jenis bijih emas sangat mempengaruhi persen rekoveri yang
dihasilkan.
Menurut Vaughan (1988), proses kelarutan emas menjadi senyawa kompleks emassianida dapat terganggu oleh beberapa hal yang berhubungan dengan adanya mineralmineral pengotor ( gangue ) dan sejumlah masalah yang sering muncul sbb :
1. Cyanides dan oxygen consumers.
Cyanides adalah mineral atau senyawa kimia yang dapat bereaksi mengkonsumsi
sianida, sedangkan oxygen consumers adalah sesuatu yang bereaksi dengan
oksigen di dalam larutan sianida selama proses leaching. Keduanya sama-sama
tidak diharapkan selama proses produksi berlangsung, karena akan mengakibatkan
sianidasi terhambat.
Unsur-unsur ekstra pengganggu, seperti digambarkan di atas di antaranya :

Mineral tembaga ( seperti malachite dan azurite ), bereaksi dengan cepat


dan akan larut dalam larutan sianida sehingga menyebabkan peningkatan
penggunaan sianida, tembaga-sianida kompleks yang terbentuk akan cenderung
menghambat pembubaran emas dalam larutan sianida.

Zink, unsur yang digunakan untuk mengendapkan emas dari solusi, jika
hadir dalam bijih, akan bereaksi dengan sianida untuk membentuk senyawa
sianida seng.

Unsur lain adalah nikel, meskipun tidak sampai mengganggu emas masuk
ke solusi, melainkan pengendapan emas dari larutan sianida.
1

Arsenik dan antimon lakukan adalah mempresentasikan masalah yang


lebih besar, dengan bereaksi dengan sianida dan menggunakan semua
kelebihan oksigen, hanya menyisakan sedikit atau tidak ada oksigen untuk efek
pembubaran emas.
2. Adsorbsi larutan emas
Emas dapat juga hilang selama proses sianidasi karena adanya adsorpsi ke dalam
bahan carbonaceous ores dan bahan organik seperti kayu, batu bara, dll. Adsorpsi
adalah proses dimana molekul komples emas dalam larutan sianida berinteraksi
dengan material tersebut yang prosesnya serupa dengan proses penyerapan ke
dalam karbon aktif.
3. Halangan selama proses produksi Mineral-mineral liat ( clay ) karena
ukurannya yang sangat kecil terkadang menjadi penghalang ( blockage ) sehingga
menghalangi mobilisasi emas selama proses produksi.

Anda mungkin juga menyukai