Anda di halaman 1dari 6

Masa kecil

Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak
usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda
atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah
rakyat (Volks-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembagalembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya
Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau
sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu
ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat
lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda.
Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru
Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis
Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga
mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan
untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah
yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa
belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang
memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal
Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun,
keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk
Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas
mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa,
Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.

Belajar ke Eropa

Raden Saleh. Potret sendiri.


Semasa belajar di Belanda keterampilannya berkembang pesat. Wajar ia dianggap saingan berat
sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Para pelukis muda itu mulai melukis bunga.
Lukisan bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh. Terbukti,
beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika keluar berbagai
kalimat ejekan dan cemooh. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden saleh menyingkir.
Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga,
pelukis Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu
rumahnya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling
jerit. "Mayat Raden Saleh" terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik Raden
Saleh muncul dari balik pintu lain. "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu,
tetapi gambar saya bisa menipu manusia", ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu
pun kemudian pergi.
Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua tahun
pertama ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan
batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis
Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi
selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap
menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah
berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh,
masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia
dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.
Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal
lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan

pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (17721843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi
beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun
kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman. Di sini ia
tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke
Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis
istana kerajaan Belanda.
Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme
Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun ke
dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah
pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.
Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau
memengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke
Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham
untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah
lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi:
Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia
bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.

Kembali ke Hindia
Tak banyak catatan sepulangnya di Hindia. Ia dipercaya menjadi konservator pada "Lembaga
Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan
pemandangan menunjukkan ia tetap berkarya. Yang lain, ia bercerai dengan istri terdahulu lalu
menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.
Rumah Raden Saleh di Batavia tahun 1875-1885 (sekarang Rumah Sakit PGI Cikini)
Di Batavia ia tinggal di rumah di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri menurut teknik
sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia
menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini
kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit
Cikini, Jakarta.
Tahun 1875 ia berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878.
Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880 siang hari, konon karena
diracuni pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan, ia meninggal
karena trombosis atau pembekuan darah.

Tertulis pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri
Padoeka Kandjeng Radja Wolanda". Kalimat di nisan itulah yang sering melahirkan banyak
tafsir yang memancing perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh.

Lukisan
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas
menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad
19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks.
Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus
ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (17911824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan
kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh
seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik
makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya
menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya.
Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan,
maka ia menentang penindasan.
Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik
politik represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan Penangkapan
Pangeran Diponegoro.

Lukisan "Penyerahan Diri Diponegoro" karya pelukis Belanda Nicolaas Pieneman.


Meski serupa dengan karya Nicolaas Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda. Lukisan
Pieneman menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah
letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda
kalah perang. Di latar belakang Jenderal de Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta
tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.

Berbeda dengan versi Raden Saleh, di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya tak
membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan,
peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan
niat baik. Namun, perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah, karena Jenderal de
Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu Pangeran
Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris
keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang mengepal menggenggam tasbih.

Lukisan "Penangkapan Diponegoro" karya Raden Saleh


Lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Cock pada tahun
1830 yang terjadi di rumah kediaman Residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh
menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan suasana tragis tersebut
bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jendral De Kock pun kelihatan sangat
segan dan menghormat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa
beliau ke tempat pembuangan.
Pada saat penangkapan itu, beliau berada di Belanda. Setelah puluhan tahun kemudian kembali
ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran
Diponegoro. Dari usaha dan karya tersebut, tidaklah terlalu berlebihan bila beliau mendapat
predikat sebagai Pahlawan Bangsa. Akhirnya, reputasi karya yang ditunjukkan oleh prestasi
artistiknya, membuat Raden Saleh dikenang dengan rasa bangga.
Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa, kini tersimpan dengan
baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden. Berapa
nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah
satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang
Christie's Singapura seharga Rp 5,5 miliar.

Peringatan dan penghargaan


Tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya di
Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan
Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja
Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha.

Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi pelukis
yang semasa di mancanegara tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan
blangkon. Di antara mereka adalah bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria,
dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrtien Baud, dan
Herman Willem Daendels.
Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan
di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de
ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte
Valk (R.W.V.), dll.
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis
Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor
yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai
untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko
seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang
berkelahi.
Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum
akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre,
Paris, Perancis.
Pada tahun 2008, sebuah kawah di planet Merkurius dinamai darinya

Anda mungkin juga menyukai