Anda di halaman 1dari 10

Peran seorang farmasis/apoteker

Apoteker adalah seseorang yang mempunyai keahlian dan kewenangan di bidang


kefarmasian baik di apotek, rumah sakit, industri, pendidikan, dan bidang lain yang
masih berkaitan dengan bidang kefarmasian. Pendidikan apoteker dimulai dari
pendidikan sarjana, kurang lebih empat tahun, ditambah satu tahun untuk pendidikan
profesi apoteker. Profesi apoteker ini merupakan salah satu profesi di bidang kesehatan
khususnya di bidang farmasi yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan.
Kepentingan kemanusiaan yang dimaksud adalah mampu memberikan jaminan bahwa
mereka memberikan pelayanan, arahan atau bimbingan terhadap masyarakat agar
mereka dapat menggunakan sediaan farmasi secara benar. Sediaan farmasi terutama
obat bukanlah zat atau bahan yang begitu saja aman digunakan. tanpa keterlibatan
tenaga profesional.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh apoteker (PP no. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 13). Dalam hal ini praktek
kefarmasian adalah meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Keberadaan apotek turut membantu turut membantu pemerintah dalam menjaga dan
memelihara kesehatan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan
RI menaruh harapan yang besar kepada peran serta profesi apoteker (khususnya
apoteker pengelola apotek) yang merupakan ujung tombak dalam pendistribusian
perbekalan farmasi kepada masyarakat. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa
apotek merupakan suatu jenis bisnis retail yang harus dikelola dengan baik agar
memperoleh keuntungan guna menutup beban biaya operasional dan menjaga
kelangsungan hidupnya. Untuk dapat mengelola apotek, seorang apoteker tidak cukup
dengan berbekal ilmu teknis kefarmasian saja, karena mengelola sebuah apotek sama
saja mengelola sebuah perusahaan. Dibutuhkan kemampuan manajerial yang meliputi
pengelolaan administrasi, persediaan, sarana, keuangan dan pengelolaan sumber daya
manusia.

Tugas, peran, dan tanggung jawab Apoteker menurut PP 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut :
1. Tugas
a. Melakukan pekerjaan kefarmasian (pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional).
b. Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational Procedure) baik di industri
farmasi.
c. Harus memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh menteri
saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi.
d. Apoteker wajib menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Peran
a. Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagan pemastian mutu (Quality
Assurance), produksi, dan pengawasan mutu (Quality Control).
b. Sebagai penanggungjawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yaitu di apotek,
diInstalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama.
c. Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama
komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien.
d. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
apoteker dapat mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
3. Tanggung jawab
a. Melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di apotek untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap sediaan farmasi dalam rangka pemeliharaan dan

peningkatan derajat kesehatan masyarakat, juga untuk melindungi masyarakat dari


bahaya penyalahgunaan atau penggunaan sediaan farmasi yang tidak tepat dan tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan. Pelayanan kefarmasian
juga ditujukan pada perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan terkait dengan
penggunaan farmasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
b. Menjaga rahasia kefarmasian di industri farmasi dan di apotek yang menyangkut
proses produksi, distribusi dan pelayanan dari sediaan farmasi termasuk rahasia
pasien.
c. Harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang
ditetapkan oleh Menteri dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dalam produksi
sediaan farmasi, termasuk di dalamnya melakukan pencatatan segala sesuatu yang
berkaitan dengan proses produksi dan pengawasan mutu sediaan farmasi pada fasilitas
produksi sediaan farmasi.
d. Tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi
sediaan farmasi harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang produksi dan pengawasan mutu.
e. Menerapkan standar pelayanan kefarmasian dalam menjalankan praktek
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
f. Wajib menyelenggarakan program kendali mutu dan kendali biaya, yang dilakukan
melalui audit kefarmasian.
g. Menegakkan disiplin dalam menyelenggarakan pekerjaan kefarmasian yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan aturan perundang-undangan.
Secara umum, peran apoteker dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
1. Profesional
Peran profesi seorang apoteker di apotek tidak lain adalah melaksanakan kegiatan
Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian. Salah satu tujuan utama asuhan
kefarmasian adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Maksudnya pasien yang sakit
bisa menjadi sehat, dan pasien yang sehat bisa menjaga kesehatannya tersebut.
Penerapan asuhan kefarmasian yang baik atau GPP (Good Pharmaceutical Practice) di
apotek telah diatur dalam Permenkes 1027 tahun 2004. Dalam PP no. 51 Pasal 21 ayat
2 juga sudah dipaparkan, bahwa yang boleh melayani pemberian obat berdasarkan

resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada
di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.Bila seorang apoteker ingin
melaksanakan asuhan kefarmasian, ia harus memiliki Competency, Commitment, dan
Care. Apoteker sejatinya harus memiliki kompetensi, maksudnya memiliki ilmu
(knowledge) dan keterampilan (skill) dalam melakukan asuhan kefarmasian. Ilmu
tersebut misalnya untuk obat-obatan diabetes, jantung, kolesterol harus diminum
secara teratur, jangan berhenti kecuali konsultasi dengan dokter. Contoh lain untuk
salep kortikosteroid penggunaannya tidak boleh ditekan di tempat yang luka dan jangan
terlalu tebal mengoleskannya. Informasi-informasi seperti itu yang harus diberikan
kepada pelanggan.
2. Manager
Apoteker harus dapat menjadi manajer yang baik, dalam hal ini apoteker harus mampu
mengatur barang, uang dan pasien. Namun secara umum seorang manager itu harus
mengelola resources yang ia miliki. Tidak hanya barang, uang dan orang, tapi juga
waktu, tempat, dan lain-lain.
Salah satu kunci sukses pengelolaan persediaan barang di sebuah apotek adalah
service level 100%, artinya apotek mampu memenuhi semua permintaan akan obat
(baik resep maupun non resep), sehingga rasio penolakannya 0%. Untuk dapat
menjamin service level tersebut diperlukan perencanaan (planning) yang sangat
matang, jangan sampai ada penumpukan barang (over stock) atau persediaan habis
(out of stock). Itulah tugas seorang apoteker sebagai manager. Tujuannya adalah
supaya perputaran persediaan atau Inventory Turn Over maksimal, risiko over stock
dan out of stock diminimalisir. Bila sudah demikian akan menambah kepuasan
pelanggan karena permintaan akan obat selalu terpenuhi. Kepuasan pelanggan akan
berimbas kepada loyalitas pelanggan dan juga menambah pelanggan-pelanggan baru.
Tidak hanya barang, uang juga harus dikelola karena uang merupakan hal yang krusial
dalam bisnis. Sebaiknya uang hasil penjualan satu hari tidak digabung dengan uang
untuk keperluan operasional apotek dan uang hasil penjualan satu hari harus sama
dengan jumlah barang yang keluar. Jadi jangan sampai ada barang yang tak
menghasilkan uang. Apoteker di sebuah apotek harus menjadi pemimpin yang baik bagi

pegawai yang lain. Memelihara rasa kekeluargaan antar pegawai, memberikan contoh
yang baik dan mampu membina pegawai-pegawainya supaya lebih baik. Apoteker juga
harus bersikap profesional dalam hal ini, lebih bagus lagi menerapkan reward and
punishment sehingga apotek dapat maju dengan pegawai-pegawainya yang berkualitas
(bukan hanya kuantitas).
3. Retailer
Ritel merupakan tahapan akhir dari kanal distribusi, yaitu usaha penjualan barang atau
jasa kepada konsumen untuk keperluannya masing-masing. Kunci sukses seorang
apoteker sebagai retailer adalah Identifying, stimulating, dan satisfying demands.
a. Identifying
Identifying adalah menganalisis dan mengumpulkan informasi-informasi mengenai
konsumen. Informasi tersebut tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
berikut: Siapa yang membeli ? Apa yang mereka beli ? Mengapa mereka membeli ?
Bagaimana mereka memutuskan untuk membeli ? Kapan mereka membeli? Dimana
mereka membeli ? Seberapa sering mereka membeli ? Seyogyanya apoteker harus
mengetahui perilaku-perilaku membeli dari konsumen dengan menjawab pertanyaanpertanyaan diatas. Misalnya saat musim haji, yang banyak dicari adalah multivitamin
dan penambah stamina. Perilaku membeli tersebut juga dipengaruhi oleh banyak hal,
salah satunya adalah profil demografis. Faktor-faktor profil demografis tersebut antara
lain usia, gender, pekerjaan, pendidikan, etnis, lokasi dan lain-lain. Bila profil demografis
diketahui, maka kita akan segera mengetahui peluang-peluang yang menjanjikan.
Misalnya bila apotek terletak didaerah lokalisasi, yang banyak dicari pasti kondom,
lubrikan, obat kuat dan lain-lain.
b. Stimulating Satisfying demands
Setelah menganalis perilaku membeli konsumen, maka selanjutnya harus dilakukan
stimulating, yaitu memberi isyarat atau dorongan sosial, komersial dan lain-lain dengan
diikuti pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan konsumen mengenai produk
yang akan dibeli. Hal ini perlu dilakukan karena sepandai-pandainya kita menganalisis
perilaku membeli, tetap keputusan akhir terletak pada konsumen.
c. Satisfying demands

Tugas selanjutnya setelah konsumen ingin membeli yaitu memenuhi permintaan


tersebut. Berikan pelayan yang terbaik, jujur dan penuh kesabaran. Dan yang
terpenting adalah produk yang dijual harus tepat kualitas, tepat jumlah, tepat waktu.
Inilah yang dimaksud satisfying demands.
Saat ini jumlah apoteker yang ada di Indonesia adalah tiga puluh ribu orang, demikian
yang telah disebutkan oleh ketua Ikatan Apoteker Indonesia dalam situs resminya.
Perbandingan jumlah tersebut terhadap jumlah masyarakat Indonesia adalah 1 : 8000.
Jumlah ini tentu dirasakan masih kurang, dari jumlah tersebut kira-kira sepertiganya
bekerja sebagai penanggung jawab apotek yang menurut data dari departemen
kesehatan berjumlah 10.737 apotek, sedangkan data dari situs organisasi profesi
apoteker per April 2008 sejumlah 10.365 apotek, bisa dikatakan bahwa apotek
merupakan tempat yang paling banyak menampung profesi apoteker. Apoteker juga
banyak yang bekerja di instalasi farmasi rumah sakit, pedagang besar farmasi,
puskesmas, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen kesehatan baik
pusat maupun daerah, sebagai tenaga pendidik ( dosen) di perguruan tinggi, sebagai
guru di sekolah menengah farmasi, industri obat, industri obat tradisional, industri
kosmetik,lembaga penelitian, tenaga pemasaran dan di beberapa tempat lainnya.
Pentingnya profesi apoteker bagi masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Untuk membantu pasien dalam menghemat biaya pengobatan.
Organisasi kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk
pembelanjaan obat di negara-negara berkembang antara 20 40% terhadap total biaya
kesehatan sedangkan di negara maju antara 10 20%. Disebutkan juga bahwa 50
90% pasien di negara berkembang membayar biaya pengobatan dengan uang dari
kantung sendiri ( tidak ditanggung asuransi ). Khusus untuk Indonesia, harga obat
tergolong mahal yang disebabkan oleh lebih dari 90% bahan baku obat harus diimpor
dari luar negeri.
Jumlah obat yang beredar di Indonesia seperti yang pernah disampaikan oleh ketua
Ikatan Apoteker Indonesia pada suatu kesempatan berjumlah sekitar 16 ribuan merek.
Suatu jumlah yang sangat besar. Satu jenis obat terutama obat yang tingkat
penggunaannya tinggi ( menjanjikan secara ekonomi ) bisa diproduksi lebih dari satu
merek. Contohnya antibiotik amoksisilin bisa hadir dalam berbagai merek, dibuat oleh

pabrik yang berbeda dan dengan harga yang tentunya tidak sama dan terkadang
perbedaan harganya bisa sangat jauh, terlebih apabila dibandingkan dengan produk
generiknya. Obat ini hadir dengan puluhan merek yang berbeda. Contoh lain adalah
obat antidiabetes dan antihipertensi yang memang banyak dibutuhkan, juga diproduksi
dalam berbagai merek.
Banyaknya merek-merek yang berbeda ini akan sangat membingungkan pasien
sebagai konsumen obat. Kekurangmengertian terhadap merek ini terkadang
menyebabkan pasien harus membayar mahal atas obat yang harus dibelinya. Misalnya
amoksisilin merek A yang tertulis dalam resep, harganya bisa beberapa kali lipat
dengan amoksisilin dengan merek lain apalagi jika dibandingkan dengan generiknya.
Padahal dari segi khasiat, obat ini sama saja karena memang sudah dijamin oleh
Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan serta Departemen Kesehatan sebagai otoritas
pemerintah di bidang kesehatan dan obat. Di sinilah apoteker bisa berperan dalam
membantu pasien memilih obat yang berkhasiat dengan harga yang lebih murah.
Apoteker memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat.
2. Untuk menjamin agar obat digunakan dengan benar
a. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di University of Texas, Austin USA pada
tahun 1996 di rumah sakit milik pemerintah menemukan hal-hal berikut :
16,2% sampel pasien yang diteliti masuk ICU/ unit penyakit dalam disebabkan oleh
permasalahan yang terkait dengan obat (Drug related Problem/ DRP ). Dan dari jumlah
ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
o 54.8% sampel mengalami kegagalan terapi
o 32.9% sampel mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan (Adcverse drug reaction /
ADR )
o 12.3% sampel mengalami overdosis
43.3% sampel seharusnya bisa dicegah terhadap kejadian DRP
65.8% DRP terjadi karena ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat
b. Penelitian yang dilakukan di University of Toulouse, Perancis yang dipublikasikan
pada tahun 2009, menampilkan data-data sebagai berikut :
8.37% pasien dirawat di rumah sakit disebabkan oleh ADR dimana ADR ini
disebabkan oleh jumlah obat, pengobatan mandiri tanpa melalui pemeriksaan tenaga

ahli, penggunaan obat-obat antitrombotik dan akibat penggunaan obat antibiotic.


ADR ini dilaporkan menjadi penyebab tingginya biaya kesehatan, pasien masuk rumah
sakit dan memperlama waktu perawatan pasien di rumah sakit.
c. Tahun 2002 di Amerika Serikat :
ADR menjadi penyebab kematian no 7 melebihi jumlah kematian yang disebabkan
oleh kecelakaan kendaraan, bunuh diri, atau HIV/ AIDS
Biaya yang dihabiskan untuk perawatan ADR sebesar 76,6 miliar USD
ADR menyebabkan 17 juta kunjungan ke unit emergensi rumah sakit
Data-data tersebut di atas memperlihatkan bahwa obat bukanlah benda atau bahan
yang begitu saja aman dikonsumsi. Perbedaan antara obat dan racun/toksis sangat
tipis hanya tergantung kepada dosis. Dalam dunia kedokteran dan farmasi, untuk setiap
obat dikenal istilah dosis terapi dan dosis toksis, ada efek terapi dan efek toksis. Toksis
sama dengan racun. Pada dosis yang melebihi dosis terapi/pengobatan, setiap obat
bersifat sebagai racun.
Di sinilah antara lain peran seorang apoteker dituntut. Apoteker berfungsi untuk
memberikan jaminan agar obat yang dikonsumsi oleh pasien tidak merubah menjadi
racun yang disebabkan karena ketidak tepatan cara penggunaan oleh pasien. Apoteker
memiliki peranan agar tujuan terapi yang sedang dijalani oleh pasien bisa dicapai
dengan baik. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang sejelas-jelasnya
kepada pasien pemakai obat atau keluarganya agar tidak terjadi kesalahan dalam
penggunaan obat. Agar obat memberikan efek terapi yang diinginkan, dikenal istilah 4 T
1 E, yakni TEPAT DOSIS, TEPAT FREKUENSI, TEPAT INTERVAL PEMBERIAN,
TEPAT WAKTU/LAMA PEMAKAIAN, SERTA WASPADA TERHADAP EFEK SAMPING.
Beberapa penelitian tentang pemakaian obat ini telah dipublikasikan. Dari penelitianpenelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa angka ketidakpatuhan pasien dalam
menggunakan obat cukup tinggi. Beberapa faktor yang menyebabkan ketidak patuhan
ini adalah : pemakaian obat untuk jangka waktu yang lama seperti pada pengobatan
hipertensi, kencing manis ; penggunaan obat yang jumlahnya banyak/beragam : cara
penggunaan yang membingungkan seperti frekuensi yang berbeda untuk tiap-tiap
obat ; faktor ketidaktahuan akan obat dan penyakit ; terjadinya efek samping obat ; dan

lain sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan seperti inilah,


keberadaan apoteker sebagai konselor dan informan obat diperlukan.
Apoteker Indonesia memiliki peran penting dalam dunia kefarmasian. Peran ini terkait
dengan obat beserta penggunaanya. Namun dengan jumlah tiga puluh ribu apoteker di
Indonesia dan sebagian diantaranya merupakan penanggung jawab apotek ternyata
kinerja apoteker masih sangat minim, hal ini terlihat pada saat pasien ingin
berkonsultasi di apotek, apoteker lebih jarang ditemukan untuk dapat memberikan
kontribusinya mengenai penggunaan obat dan hal-hal yang berkaitan tentang obat.
Permasalahan ini nampak sangat kontras dengan jumlah apoteker di Indonesia, dimana
semestinya pasien dapat mudah bertemu langsung dengan apoteker. Ada beberapa
penyebab mengapa apoteker sulit ditemukan. Penyebab pertama adalah kebanyakan
apotek bukanlah milik si apoteker melainkan milik pemodal yang dalam istilah farmasi
disebut PSA ( Pemilik Sarana Apotek ). Dari data yang dipublikasikan oleh situs resmi
organisasi apoteker, Jumlah apotek yang dimiliki oleh PSA kira-kira 50% dari jumlah
apotek yang ada ( 5.106 dari 10.370 ). Apoteker bisa dibilang sebagai orang yang diberi
gaji untuk menjadi penanggung jawab apotek seperti yang disyaratkan oleh peraturan
pemerintah. Inilah masalahnya. Konpensasi gaji yang diterima apoteker tersebut sangat
tidak mencukupi untuk dijadikan sebagai penunjang biaya hidup keluarga. Jadilah
banyak apoteker yang menjadikan posisi sebagai penanggung jawab apotek tersebut
sebagai side job atau pekerjaan sampingannya di samping pekerjaan utamanya,
misalnya sebagai pegawai di departemen kesehatan, Balai POM, dosen, dan lain
sebagainya. Kalau di tempat kerja utamanya saja apoteker harus bekerja office hour
( dari jam 8 pagi sampai 4/5 sore ), kapan lagi mereka akan bisa mempraktekkan
profesinya di apotek yang menjadi tanggung jawabnya. Belum lagi kalau kondisi
tersebut terjadi di kota-kota besar yang sebagian waktu terbuang menghadapi macet di
jalan. Sehingga terkadang apoteker yang menjadikan posisi penanggung jawab apotek
sebagai side job ini hanya datang ke apoteknya bisa 1 atau 2 kali seminggu, 1 atau 2
kali sebulan atau frekuensi kedatangan lainnya. Tentu pasien atau masyarakat akan
susah berkonsultasi dengan profesi apoteker ini. Hal ini disadari oleh para apoteker
sendiri. Tentu, tak semua apoteker sama hal seperti ini, beberapa apotek mewajibkan
apotekernya untuk selalu berada di tempat sehingga pasien dapat berkonsultasi

dengan mereka. Salah satu apotek diantaranya adalah Kimia Farma grup
Penyebab kedua adalah keinginan masyarakat Indonesia untuk mengetahui
pengobatannya yang belum begitu tinggi. Sehingga masyarakat merasa bahwa mereka
tidak perlu berkonsultasi dengan profesi apoteker karena menganggap obat adalah
bahan yang aman-aman saja untuk digunakan, sangat berbeda dengan masyarakat
luar negeri yang menyatakan keinginannya untuk berkonsultasi langsung dengan
apoteker saat membeli obat.
Ada hal penting yang dapat kita lihat bahwa keinginan masyarakat Indonesia untuk
berkonsultasi dengan apoteker masih rendah. Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Ini
juga menjadi tugas penting bagi apoteker untuk menimbul kesadaran masyarakat untuk
lebih memperhatikan kesehatannya dengan mengkonsultasikan obat yang akan
digunakannya.

Anda mungkin juga menyukai