Tugas, peran, dan tanggung jawab Apoteker menurut PP 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut :
1. Tugas
a. Melakukan pekerjaan kefarmasian (pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional).
b. Membuat dan memperbaharui SOP (Standard Operational Procedure) baik di industri
farmasi.
c. Harus memenuhi ketentuan cara distribusi yang baik yang ditetapkan oleh menteri
saat melakukan pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran sediaan
farmasi, termasuk pencatatan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses distribusi
atau penyaluran sediaan farmasi.
d. Apoteker wajib menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Peran
a. Sebagai penanggung jawab di industri farmasi pada bagan pemastian mutu (Quality
Assurance), produksi, dan pengawasan mutu (Quality Control).
b. Sebagai penanggungjawab Fasilitas Pelayanan Kefarmasian yaitu di apotek,
diInstalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama.
c. Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama
komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau
pasien.
d. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
apoteker dapat mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
3. Tanggung jawab
a. Melakukan pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) di apotek untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap sediaan farmasi dalam rangka pemeliharaan dan
resep adalah apoteker. Secara tidak langsung tersirat bahwa apoteker harus selalu ada
di apotek untuk melakukan asuhan kefarmasian.Bila seorang apoteker ingin
melaksanakan asuhan kefarmasian, ia harus memiliki Competency, Commitment, dan
Care. Apoteker sejatinya harus memiliki kompetensi, maksudnya memiliki ilmu
(knowledge) dan keterampilan (skill) dalam melakukan asuhan kefarmasian. Ilmu
tersebut misalnya untuk obat-obatan diabetes, jantung, kolesterol harus diminum
secara teratur, jangan berhenti kecuali konsultasi dengan dokter. Contoh lain untuk
salep kortikosteroid penggunaannya tidak boleh ditekan di tempat yang luka dan jangan
terlalu tebal mengoleskannya. Informasi-informasi seperti itu yang harus diberikan
kepada pelanggan.
2. Manager
Apoteker harus dapat menjadi manajer yang baik, dalam hal ini apoteker harus mampu
mengatur barang, uang dan pasien. Namun secara umum seorang manager itu harus
mengelola resources yang ia miliki. Tidak hanya barang, uang dan orang, tapi juga
waktu, tempat, dan lain-lain.
Salah satu kunci sukses pengelolaan persediaan barang di sebuah apotek adalah
service level 100%, artinya apotek mampu memenuhi semua permintaan akan obat
(baik resep maupun non resep), sehingga rasio penolakannya 0%. Untuk dapat
menjamin service level tersebut diperlukan perencanaan (planning) yang sangat
matang, jangan sampai ada penumpukan barang (over stock) atau persediaan habis
(out of stock). Itulah tugas seorang apoteker sebagai manager. Tujuannya adalah
supaya perputaran persediaan atau Inventory Turn Over maksimal, risiko over stock
dan out of stock diminimalisir. Bila sudah demikian akan menambah kepuasan
pelanggan karena permintaan akan obat selalu terpenuhi. Kepuasan pelanggan akan
berimbas kepada loyalitas pelanggan dan juga menambah pelanggan-pelanggan baru.
Tidak hanya barang, uang juga harus dikelola karena uang merupakan hal yang krusial
dalam bisnis. Sebaiknya uang hasil penjualan satu hari tidak digabung dengan uang
untuk keperluan operasional apotek dan uang hasil penjualan satu hari harus sama
dengan jumlah barang yang keluar. Jadi jangan sampai ada barang yang tak
menghasilkan uang. Apoteker di sebuah apotek harus menjadi pemimpin yang baik bagi
pegawai yang lain. Memelihara rasa kekeluargaan antar pegawai, memberikan contoh
yang baik dan mampu membina pegawai-pegawainya supaya lebih baik. Apoteker juga
harus bersikap profesional dalam hal ini, lebih bagus lagi menerapkan reward and
punishment sehingga apotek dapat maju dengan pegawai-pegawainya yang berkualitas
(bukan hanya kuantitas).
3. Retailer
Ritel merupakan tahapan akhir dari kanal distribusi, yaitu usaha penjualan barang atau
jasa kepada konsumen untuk keperluannya masing-masing. Kunci sukses seorang
apoteker sebagai retailer adalah Identifying, stimulating, dan satisfying demands.
a. Identifying
Identifying adalah menganalisis dan mengumpulkan informasi-informasi mengenai
konsumen. Informasi tersebut tidak lain adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
berikut: Siapa yang membeli ? Apa yang mereka beli ? Mengapa mereka membeli ?
Bagaimana mereka memutuskan untuk membeli ? Kapan mereka membeli? Dimana
mereka membeli ? Seberapa sering mereka membeli ? Seyogyanya apoteker harus
mengetahui perilaku-perilaku membeli dari konsumen dengan menjawab pertanyaanpertanyaan diatas. Misalnya saat musim haji, yang banyak dicari adalah multivitamin
dan penambah stamina. Perilaku membeli tersebut juga dipengaruhi oleh banyak hal,
salah satunya adalah profil demografis. Faktor-faktor profil demografis tersebut antara
lain usia, gender, pekerjaan, pendidikan, etnis, lokasi dan lain-lain. Bila profil demografis
diketahui, maka kita akan segera mengetahui peluang-peluang yang menjanjikan.
Misalnya bila apotek terletak didaerah lokalisasi, yang banyak dicari pasti kondom,
lubrikan, obat kuat dan lain-lain.
b. Stimulating Satisfying demands
Setelah menganalis perilaku membeli konsumen, maka selanjutnya harus dilakukan
stimulating, yaitu memberi isyarat atau dorongan sosial, komersial dan lain-lain dengan
diikuti pemberian informasi-informasi yang dibutuhkan konsumen mengenai produk
yang akan dibeli. Hal ini perlu dilakukan karena sepandai-pandainya kita menganalisis
perilaku membeli, tetap keputusan akhir terletak pada konsumen.
c. Satisfying demands
pabrik yang berbeda dan dengan harga yang tentunya tidak sama dan terkadang
perbedaan harganya bisa sangat jauh, terlebih apabila dibandingkan dengan produk
generiknya. Obat ini hadir dengan puluhan merek yang berbeda. Contoh lain adalah
obat antidiabetes dan antihipertensi yang memang banyak dibutuhkan, juga diproduksi
dalam berbagai merek.
Banyaknya merek-merek yang berbeda ini akan sangat membingungkan pasien
sebagai konsumen obat. Kekurangmengertian terhadap merek ini terkadang
menyebabkan pasien harus membayar mahal atas obat yang harus dibelinya. Misalnya
amoksisilin merek A yang tertulis dalam resep, harganya bisa beberapa kali lipat
dengan amoksisilin dengan merek lain apalagi jika dibandingkan dengan generiknya.
Padahal dari segi khasiat, obat ini sama saja karena memang sudah dijamin oleh
Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan serta Departemen Kesehatan sebagai otoritas
pemerintah di bidang kesehatan dan obat. Di sinilah apoteker bisa berperan dalam
membantu pasien memilih obat yang berkhasiat dengan harga yang lebih murah.
Apoteker memiliki pengetahuan yang mendalam tentang obat.
2. Untuk menjamin agar obat digunakan dengan benar
a. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di University of Texas, Austin USA pada
tahun 1996 di rumah sakit milik pemerintah menemukan hal-hal berikut :
16,2% sampel pasien yang diteliti masuk ICU/ unit penyakit dalam disebabkan oleh
permasalahan yang terkait dengan obat (Drug related Problem/ DRP ). Dan dari jumlah
ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
o 54.8% sampel mengalami kegagalan terapi
o 32.9% sampel mengalami reaksi obat yang tidak diinginkan (Adcverse drug reaction /
ADR )
o 12.3% sampel mengalami overdosis
43.3% sampel seharusnya bisa dicegah terhadap kejadian DRP
65.8% DRP terjadi karena ketidakpatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat
b. Penelitian yang dilakukan di University of Toulouse, Perancis yang dipublikasikan
pada tahun 2009, menampilkan data-data sebagai berikut :
8.37% pasien dirawat di rumah sakit disebabkan oleh ADR dimana ADR ini
disebabkan oleh jumlah obat, pengobatan mandiri tanpa melalui pemeriksaan tenaga
dengan mereka. Salah satu apotek diantaranya adalah Kimia Farma grup
Penyebab kedua adalah keinginan masyarakat Indonesia untuk mengetahui
pengobatannya yang belum begitu tinggi. Sehingga masyarakat merasa bahwa mereka
tidak perlu berkonsultasi dengan profesi apoteker karena menganggap obat adalah
bahan yang aman-aman saja untuk digunakan, sangat berbeda dengan masyarakat
luar negeri yang menyatakan keinginannya untuk berkonsultasi langsung dengan
apoteker saat membeli obat.
Ada hal penting yang dapat kita lihat bahwa keinginan masyarakat Indonesia untuk
berkonsultasi dengan apoteker masih rendah. Hal ini tentu saja sangat disayangkan. Ini
juga menjadi tugas penting bagi apoteker untuk menimbul kesadaran masyarakat untuk
lebih memperhatikan kesehatannya dengan mengkonsultasikan obat yang akan
digunakannya.